Anda di halaman 1dari 66

Reformulasi Sanksi Pidana UU Republik Indonesia Nomor 42 Tahun1999

Tentang Jaminan Fidusia Terkait Peran Kepolisian dan Debt Collector


Dalam Penarikan Objek Jaminan Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan
Terhadap Wanprestasi Debitur

HALAMAN JUDUL

USULAN PENELITIAN

Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu


Hukum

Alfian Nurrizal

NIM: 11000120510058

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i


DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Fokus Studi dan Permasalahan .......................................................................... 20
C. Kerangka Pemikiran .......................................................................................... 22
D. Tujuan dan Kontribusi Penelitian ...................................................................... 41
1. Tujuan Penelitian .............................................................................. 41
2. Kontribusi Penelitian ........................................................................ 41
E. Metode Penelitian .............................................................................................. 43
1. Jenis Penelitian ................................................................................. 43
2. Pendekatan Penelitian ....................................................................... 44
3. Sumber Data Penelitian .................................................................... 46
4. Teknik Pengumpulan Data................................................................ 48
5. Teknik Analisis Data ........................................................................ 49
F. Orisinalitas Penelitian ........................................................................................ 50
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 55
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 58

ii
Reformulasi Sanksi Pidana UU Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia Terkait Peran Kepolisian dan Debt Collector
Dalam Penarikan Objek Jaminan Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan
Terhadap Wanprestasi Debitur

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan Nasional

merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil

dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Dalam

rangka dan meneruskan pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat,

baik perseorangan maupun badan hukum memerlukan dana besar. Seiring

dengan meningkatnya pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap

pendanaan, yang sebahagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan tersebut melalui pinjam-meminjam.1

Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan

ketersediaan modal yang menjadi salah satu sarana pengembangan unit usaha.

Modal yang tersedia digunakan oleh masyarakat sebagai dana untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Masyarakat juga membutuhkan modal sebagai sarana

pokok untuk mengembangkan usaha yang dimilikinya. Modal dibutuhkan

masyarakat sebagai dana alternatif untuk menjalankan usahanya atau sebagai

penunjang kebutuhan pokok. Modal masyarakat untuk memenuhi dana

alternatif dilakukan dengan melakukan pinjaman di lembaga keuangan baik

lembaga keuangan, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga pembiayaan.2

1
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Semarang: Fakultas Hukum, Universitas
Diponegoro, 2008, hal 32.
2
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. v.

1
Semua orang atau perusahaan pasti memiliki kebutuhan, kebutuhan ada

yang bersifat mendesak dan ada yang bersifat tidak mendesak. Kebutuhan yang

mendesak menuntut untuk segera dipenuhi. Namun pemenuhan tersebut tidak

terlepas dari masalah biaya atau dana. Dana yang diperlukan biasanya tidak

sedikit jumlahnya, sementara dana yang tersedia acap kali tidak bisa

mencukupi. Untuk dapat mencapai dana dalam jumlah yang tergolong cukup

besar tidak mudah apalagi dengan cara menggali dana sendiri, kebanyakan

orang maupun badan usaha dalam menghadapi kekurangan dana salah satu

jalan keluar yang dapat dilakukan adalah dengan berhutang kepada pihak lain.

Dengan kata lain meminjam dana dari kreditur kemudian setelah jatuh tempo

akan di bayar kembali kewajibannya.3

Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada

masyarakat, industri perbankan menjalankan usahanya memberikan kredit

kepada nasabah (debitur). Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya harus

dilandasi keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi

hutangnya, dan wajib dilakukan atas dasar asas pemberian kredit yang tidak

merugikan kepentingan bank, nasabah debitor dan masyarakat penyimpan

dana. Hal tersebut wajib dilaksanakan, mengingat kredit yang diberikan bank

mengandung resiko. Untuk itu diperlukan adanya jaminan (agunan) yang

menyangkut harta benda milik nasabah debitor atau dapat juga milik pihak

ketiga yang merupakan jaminan untuk mengamankan penyelesaian kredit.

3
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, Jakarta:
Rineka Cipta, 2009, hal. 1.

2
Kredit merupakan kegiatan usaha utama yang harus dilakukan oleh bank

karena pendapatan terbesar dari usaha bank berasal dari pendapatan kredit yaitu

berupa bunga dan provisi pinjaman. Ditinjau dari sudut perkembangan

perekonomian nasional dan internasional akan dapat diketahui betapa besar

peranan yang terkait dengan kegiatan perkreditan pada saat ini. Berbagai lembaga

keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan

dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain

dalam bentuk kredit perbankan.4

Bank sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan yang bertujuan

“financial intermediary” dengan usaha utama menghimpun dan menyalurkan

dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran.

Bank sebagai badan usaha mendapatkan keuntungan yang besar dari usahanya.

Sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai kewajiban pokok menjaga

kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi, dan memperluas kesempatan

kerja.5 Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan Pembangunan

nasional dalam rangka peningkatan, pemerataan, dan stabilitas nasional ke arah

peningkatan kesejahteraan rakyat banyak, sehingga jelas sekali bahwa fungsi

perbankan di Indonesia di samping sebagai penghimpun dan penyalur dana

masyarakat memiliki peran untuk melaksanakan pembangunan nasional.6

4
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007, hal. 2.
5
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2001, hal. 59.
6
Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Sekitar Perjanjian Kredit, Universitas Diponegoro,
Semarang, 1997, hal. 1.

3
Unsur utama pemberian kredit adalah kepercayaan. Kepercayaan

merupakan keyakinan kreditur bahwa penerima kredit (debitur) dapat

memenuhi segala sesuatu yang telah disepakati di kemudian hari. Untuk

memperoleh keyakinan dan kepercayaan tersebut harus sampai pada suatu

keyakinan sejauh mana konsep penilaian kredit dapat terpenuhi dengan baik.7

Menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga

Pembiayaan (selanjutnya disebut Perpres Lembaga Pembiayaan) adalah

kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan

konsumen dengan pembayaran secara angsuran.

Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan

pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.8 Perusahaan

Pembiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan Sewa

Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu

Kredit.9 Sedangkan pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah

kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan

konsumen dengan pembayaran secara angsuran.10 Kebutuhan konsumen

meliputi pembiayaan kendaraan bermotor, pembiayaan alat-alat rumah tangga,

pembiayaan barang- barang elektronik dan pembiayaan perumahan.11

7
Willy Putra and Haryati Widjaja, ‘Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Penyaluran Kredit
(Studi Kasus Di Bank BRI Cabang Semarang)’ (2019) 3 (1) Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu
Hukum, hal. 84
8
Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan
9
Pasal 1 angka 2
10
Pasal 1 angka 7
11
Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/Pmk.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan, Pasal 6 ayat 2.

4
Bank selaku lembaga pembiayaan wajib memperhatikan calon debitur

dengan melakukan penilaian terhadap watak, kemampuan, modal, jaminan dan

keadaan. Salah satu bentuk pengamanan kredit dengan perjanjian jaminan.

Jaminan sebagai lembaga hukum melahirkan asas-asas hukum sebagaimana

diatur dalam hukum perdata yang memiliki kedudukan penting dalam dunia

ekonomi.12

Pelaksanaan pemberian kredit oleh Bank diawali dengan adanya

perjanjian kredit antara kreditur dengan debitur. Perjanjian kredit adalah

perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil, sebagai perjanjian prinsipil maka

perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Maka ada dan berakhirnya perjanjian

jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Kredit yang diberikan oleh Bank

mengandung risiko, sehingga Bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan

yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut maka dibutuhkan jaminan

pemberian kredit untuk memberikan keyakinan atas kemampuan dan

kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang

diperjanjikan. Untuk itu dalam pemberian fasilitas kredit bank melakukan

penilaian terhadap nasabah menggunakan prinsip 5C berdasarkan asas kehati-

hatian yaitu: character (watak), capacity (kemampuan), capital (modal),

conditions of economic (kondisi ekonomi), dan collateral (jaminan).13

12
Ridwan Fathoni, Siti Malikhatun Badriyah dan R Suharto, ‘Efektivitas Pemberlakuan
Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik Terhadap Pembiayaan Bank Syariah (Studi
Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Artha Amanah Ummat Kabupaten Semarang)’
(2016) 5 (3) Diponegoro Law Journal 1, 2.
13
Lihat Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2004, hal. 23.

5
Secara umum jaminan dibedakan menjadi dua macam yaitu jaminan

kebendaan dan jaminan perorangan, jaminan kebendaan adalah jaminan yang

mempunyai hubungan langsung dengan benda tertentu sedangkan jaminan

perorangan adalah jaminan yang hanya mempunyai hubungan langsung dengan

pihak pemberi jaminan, bukan terhadap benda tertentu. Mengenai macam

jaminan kebendaan, pertama-tama yang dikenal oleh KUH Perdata ialah gadai

dan hipotek dan kedua yang diperkenalkan oleh yurisprudensi ialah fidusia.14

Jaminan barang bergerak salah satunya adalah gadai sebagaimana diatur

di dalam KUH Perdata. Barang yang digadaikan menurut aturannya wajib

diserahkan kepada kreditur sampai utang debitur lunas. Kewajiban tersebut

itulah yang menimbulkan masalah dalam praktiknya, apabila barang yang

dijaminkan itu berupa alat yang digunakan untuk mencari penghasilan

diserahkan kreditur, maka akibatnya debitur memenuhi dua hambatan yaitu

tidak memperoleh penghasilan dan utangnya menjadi tidak dapat dilunasi.15

Fidusia sering disebut jaminan hak milik secara kepercayaan, merupakan

suatu bentuk jaminan atas benda-benda bergerak di samping gadai yang

dikembangkan oleh yurisprudensi. Pada fidusia, berbeda dengan gadai, yang

diserahkan sebagai jaminan kepada kreditur adalah hak milik sedang

barangnya tetap dikuasai oleh debitur, sehingga yang terjadi adalah penyerahan

secara constitutum possessorium.16

14
Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013, hal. 10
15
Ibid, hal. 232
16
Oey Hoey Tiong, Fidusia sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985, hal. 21.

6
Secara historis lembaga fidusia dalam bentuk klasik sudah ditemukan

sejak zaman Romawi. Dalam hal ini, di Romawi terdapat apa yang disebut

dengan Fidusia Cum Crediture, konstruksi hukum dimana barang-barang

debitur diserahkan miliknya kepada kreditur, tetapi dimaksudkan hanya

sebagai jaminan hutang. Bersamaan dengan itu, di Romawi terdapat pula apa

yang disebut dengan Fidusia Cum Amico, tetapi dalam hal ini hanya

dimaksudkan sebagai pengangkatan seorang wakil untuk memelihara

kepentingannya. Jadi tidak ada penyerahan hak milik atau jaminan hutang

sebagaimana dilakukan dalam pengikatan fidusia saat ini.17

Setelah Bierbrouwerij Arrest di negeri Belanda (Nederland), kemudian

pada tahun 1932 barulah terdapat petunjuk bahwa di Indonesia juga mengikuti

praktek di Belanda mengenai fidusia. Yaitu dengan adanya keputusan

Hoogerechtshof (HGH), tanggal 18 Agustus 1932, merupakan kasus yang

dikenal dengan sebutan BPM Arrest. Putusan ini merupakan suatu tonggak

dimulainya perkembangan fidusia di Indonesia.18 Bentuk jaminan ini

digunakan secara luas dalam transaksi pinjam meminjam karena proses

pembebanannya dianggap sederhana, mudah dan cepat, tetapi tidak menjamin

adanya kepastian hukum, karena dapat saja debitur menjaminkan benda yang

telah dibebani dengan Fidusia kepada pihak lain tanpa sepengetahuan penerima

Fidusia.19

17
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung, 2000, hal. 8
18
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hal. 40.
19
Kashadi, Hukum Jaminan, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 2000, hal.
59.

7
Lembaga Jaminan Fidusia telah diakui eksistensinva dengan adanya

Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 42 tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia dan Undang-undang ini pada Pasal 40 disebut Undang- undang

Fidusia, yang telah diundangkan pada tanggal 30 September 1999. Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia)

merupakan hukum pengaturan jaminan fidusia. Mengenai tata cara pendaftaran

jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan fidusia diatur dalam PP

Nomor 86 Tahun 2000.

Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang secara

yuridis formal diakui sejak berlakunya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Jaminan

Fidusia menentukan bahwa, “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu

benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak

kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Jaminan

fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud dan tidak

berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar dan juga bergerak maupun tidak

bergerak dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dibebani dengan hak

tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996

tentang hak tanggungan atau hipotek sebagaimana dimaksud pada Pasal 314

ayat (3) KUH Dagang Jis Pasal 1162 KUH Perdata.20

20
Sri Soedewi Masjoen Sofyan, Hukum dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1995,
hal. 40.

8
Fidusia juga dapat disimpulkan sbagai perjanjian dimana salah satu pihak

mengikatkan diri untuk menyerahkan hak milik atas benda bergerak sebagai

jaminan. Dalam praktek yang terjadi di masyarakat timbulnya perjanjian

pengikatan jaminan fidusia pada umumnya berawal dari adanya perjanjian

hutang-piutang antara kreditor dengan debitor dimana perjanjian pengikatan

jaminan fidusia itu bertujuan sebagai tindakan antisipasi bagi kreditor apabila

ternyata debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk melunasi

hutangnya sebagaimana yang telah termuat dan disepakati dalam perjanjian

utang piutang tersebut. Adanya kewajiban menyerahkan sesuatu hak

kebendaan barang bergerak kepada pihak lain, membuktikan bahwa perjanjian

pengikatan jaminan fidusia merupakan perjanjian yang bersifat kebendaan

(zakelijk).21

Istilah jaminan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerheid atau

cautie, yang mencakup secara umum cara-cara kreditor menjamin dipenuhi

tagihannya, disambung pertanggungjawaban debitor terhadap barang-

barangnya.22 Jaminan adalah tanggungan yang diberikan oleh debitor dan atau

pihak ketiga kepada kreditor karena pihak kreditor mempunyai suatu

kepentingan bahwa debitor harus memenuhi kewajibannya dalam suatu

perikatan.23

21
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan Penjelasannya,
Bandung: Alumni, 1993, hal. 92
22
Salim H.S., Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004, hal. 21.
23
HR. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hal.
208.

9
Pada prinsipnya tidak semua jaminan dapat dijaminkan kepada lembaga

perbankan atau lembaga keuangan non bank, namun benda-benda yang dapat

dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat tertentu. Syarat-syarat

benda jaminan yang baik adalah:24

1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang

memerlukannya;

2. tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk

melakukan atau meneruskan usahanya;

3. memberikan kepastian kepada si kreditor, dalam arti bahwa barang

jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat

mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil)

kredit.

Selama ini, kegiatan pinjam meminjam tersebut di atas dengan

menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan sebagaimana telah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang

merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari

lembaga Hipotek atas tanah dan credietverhand. Di samping itu, hak jaminan

lainnya yang banyak digunakan dewasa ini adalah Gadai, Hipotek selain tanah,

dan Jaminan Fidusia.

24
Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut
Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 73.

10
Jaminan fidusia sudah dipakai di Indonesia sejak jaman penjajahan

Belanda sebagai bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi yang dikenal

dengan yurisprudensi Bierbroueric Arrest tanggal 29 Januari 1929, yang di

Indonesia diakui berdasarkan Arrest Hooggerechtshof atau keputusan

Hooggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 dalam perkara BPM Clignet.25

Bentuk jaminan ini digunakan karena proses pembebanannya dianggap

sederhana mudah dan cepat. Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada

para Pemberi Fidusia untuk menguasai benda yang dijaminkan, untuk

melakukan usaha yang dibiayai dari pinjaman menggunakan Jaminan Fidusia.

Pada awalnya, benda yang menjadi obyek fidusia terbatas pada kekayaan

benda bergerak yang berwujud dalam bentuk peralatan. Dalam

perkembangannya obyek fidusia termasuk kekayaan benda bergerak yang tak

berwujud, maupun benda tak bergerak. Jaminan dalam fidusia itu mengambil

wujud “penyerahan hak milik secara kepercayaan (fides)” atau lazim disebut

dengan Fiduciare Eigendom Overdracht. Faktor kepercayaan dalam

penyerahan hak milik ditujukan kepada kepercayaan yang diberikan secara

bertimbal balik oleh satu pihak kepada pihak lain, bahwa apa yang “keluar

ditampakkan sebagai pemindahan milik”, sebenarnya hanya sebagai suatu

“jaminan” saja untuk suatu hutang, kepercayaan debitor kepada kreditor bahwa

hak miliknya akan kembali setelah hutang-hutangnya dilunasi.26

25
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Jaminan Khususnva
Fidusia di dalam Praktek dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum
UGM, 1977, hal. 74
26
Subekti, Op.Cit., hal. 66.

11
Jaminan fidusia tidak dapat dilepaskan dengan masalah perkreditan.4

Sebagai jaminan kebendaan, dalam praktik perbankan dan lembaga

pembiayaan non bank, fidusia sangat digemari dan populer karena dapat

memenuhi kebutuhan masyarakat. Kenyataan baik secara teoretis maupun

empiris bahwa fidusia memiliki arti penting dalam hal menampung keinginan

masyarakat akan kebutuhan kredit. Di pihak penerima kredit masih dapat

menguasai barang jaminan untuk keperluan usahanya sehari-hari. Di pihak

perbankan atau lembaga keuangan non bank lebih praktis mempergunakan

prosedur pengikatan fidusia, karena tidak perlu menyediakan tempat khusus

untuk penyimpanan barang jaminan seperti pada lembaga gadai (pand).27

Jaminan yang diminta bank atau lembaga keuangan non bank dapat

berupa jaminan pokok dan jaminan tambahan. Jaminan pokok berupa barang,

proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit tersebut, sedangkan jaminan

tambahan adalah harta kekayaan nasabah debitur. Harta kekayaan dapat berupa

barang bergerak dan tidak bergerak, seperti bangunan/rumah, mobil, motor,

barang dagangan, inventaris perusahaan, mesin-mesin di pabrik. Salah satu

pengikatan jaminan atas harta kekayaan mi adalah jaminan fidusia. Dalam

pemberian kredit dengan jaminan fidusia, kewenangan pemberi fidusia harus

diteliti secara hati-hati karena dapat menimbulkan persoalan hukum

sehubungan dengan asas yang tercantum dalam Pasal 1977 KUH Perdata.28

27
Lihat Sri Soedewi Mascjhun Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan
Khususnya Fiducia di dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1977, hal. 75.
28
Asas hukum dalam Pasal 1977 KUH Perdata adalah setiap orang yang menguasai barang
bergerak dianggap sebagai pemilik (Bezit geldt als volkomen titel)

12
Pada Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU Jaminan Fidusia) mengatur bahwa

“untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi kreditur maupun

debitur, pengikatan jaminan fidusia harus dituangkan dalam akta otentik.”

Selanjutnya, Pasal 11 UU Jaminan Fidusia mengatur bahwa benda yang

dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia.

Pendaftaran jaminan fidusia bertujuan untuk menjamin kepastian hukum, salah

satunya kepastian eksekusi objek fidusia apabila debitur wanprestasi. Titel

eksekutorial “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

termaktub pada kepala sertifikat jaminan fidusia. Dengan title tersebut, kreditur

dapat melakukan eksekusi langsung tanpa proses pengadilan. Kegiatan

pembiayaan konsumen29 sebenarnya telah memiliki landasan hukum dalam

peraturan perundangundangan yang diharapkan mampu mendukung industri

pembiayaan sehingga dapat mencegah dan mengatasi permasalahan yang

terjadi. Permasalahan antara konsumen dan lembaga pembiayaan30 seringkali

terjadi karena adanya perbedaan pandangan hukum terhadap Pasal 11 UU

Jaminan Fidusia.31 Pasal ini dikaitkan dengan penarikan unit kendaraan oleh

lembaga pembiayaan yang terkadang melibatkan penegak hukum sehingga

berdampak pada opini publik yang kurang tepat.

29
Vide Pasal 1 angka 7 Perpres Lembaga Pembiayaan.
30
Vide Pasal 1 angka 1 Perpres Lembaga Pembiayaan.
31
Abednego Isa Latuihamallo, Dilema Dunia Multifinance, Sebuah Analisis Ilmiah Terhadap
Fidusia dan Permasalahannya Dalam Dunia Multifinance, Cet. pertama, Jakarta: Grasindo
2014, hal. 2.

13
Berdasarkan Pasal 11 tersebut jaminan fidusia dianggap baru lahir setelah

didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia. Namun, dewasa ini muncul

persoalan yang berkaitan dengan pendaftaran jaminan fidusia yang mana

lembaga pembiayaan tidak melakukan pendaftaran sehingga tidak memiliki

sertifikat jaminan fidusia. Muncullah opini publik yang bersifat tendensius

mengenai keabsahan penarikan tersebut.

Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

menegaskan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib

didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Benda yang menjadi obyek

jaminan fidusia tersebut, dapat berupa benda bergerak yang berwujud maupun

tak berwujud, dan benda tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak

tanggungan sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan. Dengan pembebanan didaftarkannya jaminan fidusia maka

asas publisitas terpenuhi dan sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap

kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Jaminan

fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia

dalam Buku Daftar Fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia tidak hanya dilakukan

untuk diadakannya jaminan fidusia, akan tetapi juga mencakup perubahan,

pengalihan, dan hapusnya jaminan fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia

tersebut, disamping untuk memberikan kepastian hukum kepada para yang

berkepentingan juga memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada

penerima fidusia terhadap kreditor lain.

14
Tata cara pendaftaran jamina fidusia dimulai dengan pembuatan akta

jaminan fidusia oleh notaris yang kemudian dilakukan pendaftaran di Kantor

Pendaftaran Fidusia. Pelaksanaan jaminan fidusia ini melalui 2 (dua) tahapan:

tahapan pembebanan jaminan dan tahapan pendaftaran jaminan fidusia.

Pembebanan jaminan fidusia dibuat dengan syarat-syarat sebagai berikut:32

1) Akta notaris;

2) dalam bahasa Indonesia;

3) merupakan akta jaminan fidusia yang sekurang-kurangnya memuat:

a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;

b. data perjanjian pokok yang dijaminkan fidusia;

c. uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

d. nilai penjaminan; dan

e. nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Pendaftaran sendiri memiliki arti yuridis sebagai suatu rangkaian yang

tidak terpisah dari proses terjadinya perjanjian jaminan fidusia. Pendaftaran

jaminan fidusia merupakan perwujudan dari asas publisitas dan kepastian

hukum. Jaminan fidusia yang telah terdaftar dalam buku daftar fidusia

dibuktikan dengan sertifikat jaminan fidusia yang dapat diunduh secara online.

Pada sertifikat tersebut terdapat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa” yang bermakna bahwa sertifikat fidusia

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya apabila debitor wanprestasi,

32
Pasal 6 UU Jaminan Fidusia

15
maka kreditur berhak untuk mengeksekusi atau menjual objek jaminan fidusia

atas kekuasaan kreditur sendiri.

Lembaga jaminan fidusia mengalami perubahan yang mendasar

khususnya setelah UU Jaminan Fidusia diundangkan. Perubahan pokoknya

perihal kewajiban pendaftaran jaminan fidusia. Meskipun pendaftaran ini

sangat penting, namun masih menimbulkan berbagai pertanyaan dan keraguan

akan kewajiban pendaftaran tersebut. Perbedaan pendapat di kalangan ahli

hukum ini masih menjadi persoalan. Sebagian mengatakan bahwa yang

didaftarkan ialah akta jaminan fidusianya, sebagian yang lain mengatakan

bukan hanya akta yang didaftarkan melainkan bendanya pun harus turut

didaftar. Fakta yuridisnya, apabila dianalisa dari klausul akta jaminan fidusia

yang dibuat notaris, ditemukan bahwa yang didaftarkan adalah akta jaminan

fidusia dan benda jaminan fidusia.33

Sehubungan dengan penjaminan ini, apa yang harus dilakukan oleh

penerima fidusia (kreditor) apabila pemberi fidusia (debitor) melalaikan

kewajibannya atau cidera janji yang berupa lalainya pemberi fidusia (debitor)

memenuhi kewajibannya pada saat pelunasan utangnya sudah matang untuk

ditagih, maka dalam peristiwa seperti itu, penerima fidusia (kreditor) bisa

melaksanakan eksekusinya atas benda jaminan fidusia.34

33
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Cet. pertama,
Bandung: Alumni, 2014, hal. 213.
34
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hal.
319.

16
Pada umumnya eksekusi bidang hukum perdata dilakukan melalui

lembaga pengadilan baik karena suatu putusan hakim yang berkekuatan hukum

tetap ataupun dokumen lain yang memiliki kekuatan eksekutorial yang dapat

dilakukan eksekusi melalui fiat ketua pengadilan negeri seperti pada sertifikat

jaminan fidusia. Menurut Harahap35, eksekusi merupakan tindakan hukum

yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara.

Apabila piutang kreditur dijamin dengan jaminan yang mengandung titel

eksekutorial seperti pada jaminan kebendaan fidusia maka kreditur dapat

langsung meminta pelaksanaan penjualan lelang melalui fiat ketua pengadilan

negeri tanpa harus melalui proses gugatan.36 UU Jaminan Fidusia juga telah

memberikan wewenang kepada para pihak untuk memperjanjikan adanya

kewenangan dalam melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaannya

sendiri terhadap jaminan-jaminan kebendaan.

Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat jaminan fidusia yang

berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

merupakan pernyataan yang mengandung suatu kewenangan bahwa dokumen

(naskah) telah memiliki kekuatan eksekusi (pelaksanaan secara paksa) dengan

bantuan alat negara. Atas adanya titel eksekutorial tersebut pemegang jaminan

fidusia dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan dan

pengadilan akan memenuhinya dengan prosedur eksekusi.

35
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Cet. ke-3,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1988, hal. 1.
36
DY Witanto, Hukum Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Aspek
Perikatan, Pendaftaran, Dan Eksekusi), Cet. pertama, Bandung: Mandar Maju 2015,
hal.229

17
Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 ayat (3) HIR, kreditur harus

mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan, agar dilaksanakan eksekusi

atas benda jaminan berdasarkan titel eksekutorial sertifikat jaminan fidusia.

Ketua pengadilan akan memanggil dan memerintahkan debitur untuk

melaksanakan kewajibannya. Setelah waktu tersebut lampau dan debitur tetap

tidak dapat melunasi hutangnya, maka ketua pengadilan akan memerintahkan

juru sita untuk menyita benda jaminan. Pelaksanaan eksekusi tersebut

dilakukan dengan cara menjual objek jaminan fidusia di muka umum

(pelelangan) atau dengan cara yang dianggap patut oleh ketua pengadilan.37

Pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan

fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Apabila pemberi

fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada

waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang

menjadi objek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak

yang berwenang. Peraturan mengenai jaminan fidusia tidak mengatur lebih

lanjut berkaitan dengan pihak yang berwenang untuk dimintai bantuan dalam

eksekusi jaminan fidusia. Oleh karena itu, POLRI sebagai alat negara yang

bertugas dan berperan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat, berwenang memberikan bantuan pengamanan pelaksanaan

putusan pengadilan atau eksekusi jaminan fidusia.

37
Khifni Kafa Rufaida, “Keotentikan Akta Jaminan Fidusia yang Tidak Ditandatangani di
Hadapan Notaris Setelah Berlakunya Sistim Pendaftaran Fidusia Secara Online”, Tesis,
Universitas Diponegoro, 2014, hal. 64.

18
Eksekusi Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan hukum mengikat yang

sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,

sehingga memerlukan pengamanan dari POLRI. oleh karena itu dibentuklah

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011

tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. Kepolisian Republik Indonesia

(Polri) merupakan alat negara yang berperan dalam pemeliharaan keamanan

dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam

negeri. Kedudukan Polri dalam organisasi negara memiliki pengaruh dominan

dalam penyelenggaraan kepolisian secara proporsional dan profesional yang

merupakan syarat pendukung terwujudnya pemerintahan yang baik (good

governance).38

Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan

salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan

fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi

langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam

perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan

pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Jika penerima

fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan

setempat melalui juru sita (Debt Collector) membuat surat penetapan

permohonan bantuan pengamanan eksekusi kepada aparat kepolisian, pamong

praja dan pamong desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada.

38
Sadjijono, 2008, Seri hukum Kepolisian, Polri dan Good Governance, Laksbang
Mediatama, Surabaya, hal. 22.

19
B. Fokus Studi dan Permasalahan

Studi ini difokuskan pada Reformulasi Sanksi Pidana UU Republik

Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Terkait Peran

Kepolisian dan Debt Collector Dalam Penarikan Objek Jaminan Fidusia Serta

Berkelanjutan Tindakan Terhadap Wanprestasi Debitur. Hal tersebut berangkat

dari perbedaan pendapat hukum dipicu karena adanya pro dan kontra atas

kewajiban pendaftaran jaminan fidusia oleh perusahaan pembiayaan. Dari

ketentuan Pasal 11 dapat dipastikan bahwa pendaftaran jaminan fidusia

menjadi tolak ukur keabsahan hukum dari suatu perjanjian pembiayaan.

Padahal perjanjian pembiayaan berlaku sebagai UU bagi mereka yang

membuat dan tunduk pada hukum perjanjian.39 Asas pacta sunt servanda yang

termuat dalam KUH Perdata merupakan dasar kebebasan membuat perjanjian

dan pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik juga berlaku dalam perjanjian

kredit perbankan. Sehingga dengan adanya perjanjian pembiayaan sebetulnya

perjanjian tersebut sudah mengikat kedua belah pihak.

Prinsip perjanjian kredit pada dasarnya pemberian kredit oleh bank

kepada nasabah peminjam selaku debitur selalu didasarkan kepada 2 (dua)

prinsip dasar yaitu prinsip kepercayaan dan prinsip kehati-hatian (prudential

principle). Salah satu pelaksanaan dari kedua prinsip di atas dengan

menerapkan prinsip know your customer.40 Prinsip mengenal nasabah ini

digunakan untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi

nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.

39
Vide Pasal 1338 Ayat (1) dan (2) jo Pasal 1320 KUH Perdata
40
Willy Putra and Haryati Widjaja, Op. Cit, hal. 86

20
Permasalahan yang berkaitan dengan pendaftaran jaminan fidusia antara

lain mengenai cara debt collector dalam penarikan objek jaminan fidusia

terhadap nasabah yang lalai tanpa sertifikat merupakan suatu perbuatan yang

melawan hukum? Sebelum membahas mengenai salah tidaknya perbuatan debt

collector tersebut, secara komprehensif yang bersifat objektif dengan

mendasarkan pada norma atau teori hukum yang tepat bahwa dalam kegiatan

pembiayaan akan diawali dengan suatu perjanjian yang disebut perjanjian

pembiayaan. Perjanjian pembiayaan tersebut merupakan perjanjian hutang

piutang/perjanjian pokok yang mana jaminan utamanya adalah pembayaran

hutang debitur secara penuh kepada kreditur. Berdasarkan KUH Perdata

perjanjian tersebut telah berlaku mengikat.41

Berdasarkan uraian tersebur, maka beberapa rumusan masalah dalam

penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Peran Kepolisian dalam Penarikan Objek Jaminan Fidusia

Serta Berkelanjutan Tindakan Terhadap Wanprestasi Debitur berdasarkan

UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia?

2. Bagaimanakah Peran Debt Collector dalam Penarikan Objek Jaminan

Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan Terhadap Wanprestasi Debitur

berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia?

3. Bagaimanakah Reformulasi Kebijakan dalam Penarikan Objek Jaminan

Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan Terhadap Wanprestasi Debitur

berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia?

41

21
C. Kerangka Pemikiran

Studi ini bertitik tolak dari Lembaga Jaminan Fidusia yang telah diakui

eksistensinva dengan adanya Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 42

tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Undang-undang ini pada Pasal 40

disebut Undang- undang Fidusia, yang telah diundangkan pada tanggal 30

September 1999. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia (UU Fidusia) merupakan hukum pengaturan jaminan fidusia. Definisi

fidusia menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Fidusia adalah:

“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar


kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikan haknya
dialihkan tetap dalam pengawasan pemilik benda.”

Sedangkan yang dimaksud dengan jaminan fidusia juga dijelaskan dalam

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Jaminan Fidusia sebagai berikut:

“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik


yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur
lainnya.”

Menyimak penjelasan tersebut di atas, kita dapat dengan jelas

membedakan antara fidusia dan jaminan fidusia, dimana “fidusia merupakan

proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah jaminan yang

diberikan dalam bentuk fidusia.42

42
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000, hal. 130.

22
Fidusia sering disebut jaminan hak milik secara kepercayaan, merupakan

suatu bentuk jaminan atas benda-benda bergerak. Pada fidusia yang diserahkan

sebagai jaminan kepada kreditur adalah hak milik sedang barangnya tetap

dikuasai oleh debitur, sehingga yang terjadi adalah penyerahan secara

constitutum possessorium.43 Dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia

kreditur dan debitur bersepakat untuk tidak perlu menyerahkan barang jaminan,

debitur hanya menyerahkan bukti kepemilikan barang kepada kreditur. Selama

utang belum lunas kepemilikan barang dialihkan secara kepercayaan. Namun

apabila debitur wanprestasi atas uangnya, maka objek jaminan diserahkan

kepada kreditur. Penyerahan demikian tidak dikenal dalam KUHPerdata, akan

tetapi penyerahan constitution possessorium dapat dilakukan secara sah karena

pada dasarnya para pihak bebas menjanjikan apa yang mereka kehendaki.44

Dalam perjanjian fidusia benda yang dijadikan objek jaminan fidusia

kekuasaannya tetap berada di tangan pemilik benda (debitur) dalam hal ini

adalah penyerahan benda tanpa menyerahkan fisik dari benda tersebut.

Kreditur mempercayakan kepada debitur untuk tetap bisa mempergunakan

benda jaminan tersebut sebagaimana fungsinya, debitur harus mempunyai

itikad baik untuk memelihara benda jaminan dengan sebaik-baiknya. Debitur

tidak diperbolehkan mengalihkan benda jaminan tersebut kepada pihak lain.45

43
Oey Hoey Tiong, Fidusia sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985, hal. 21.
44
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1991, hal. 170.
45
Rilla Rininta Eka Satriya, “Pengalihan Objek Jaminan Fidusia oleh Debitur tanpa
Persetujuan Kreditur dalam Perjanjian Kredit Bank”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas
Narotama Surabaya, (2015), hal. 2.

23
Perkembangan hukum nasional, dalam hal ini kaitannya dengan

perkembangan hukum jaminan, khususnya perkembangan lembaga jaminan di

Indonesia dapat diamati dari perubahan melalui pembentukan peraturan

perundang-undangan, hal ini terjadi karena pertimbangan kebutuhan hukum,

akibat dari percepatan perekonomian, selain itu perubahan hukum diadakan

karena negara-negara bekas jajahan memiliki kesadaran tinggi untuk

memperbaiki sistem hukumnya, maka hukum jaminan dibutuhkan karena

berkaitan dengan aspek ekonomi, juga untuk kepastian hukum.46

Kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut

harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki

adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh

pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki

aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi

sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.47 Dalam pembentukan aturan

hukum, terbangun asas yang utama agar tercipta suatu kejelasan terhadap

peraturan hukum, asas tersebut ialah kepastian hukum. Gagasan mengenai asas

kepastian hukum ini awalnya diperkenalkan oleh Gustav Radbruch48. Radbruch

menuliskan bahwa di dalam hukum terdapat 3 (tiga) nilai dasar, yakni: (1)

Keadilan (Gerechtigkeit); (2) Kemanfaatan (Zweckmassigkeit); dan (3)

Kepastian Hukum (Rechtssicherheit).

46
Marulak Pardede, dkk, Laporan Akhir Penelitian Hukum Laporan Akhir Penelitian Hukum
Tentang Implementasi Jaminan Fidusia Implementasi Jaminan Fidusia Dalam Pemberian
Kredit Dalam Pemberian Kredit Di Indonesia, Jakarta: BPHN Departemen Hukum dan
HAM RI, 2006, hal. 28
47
Asikin zainal, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 2012, hal. 35
48
dalam bukunya yang berjudul “einführung in die rechtswissenschaften” sebagaimana dikutip
oleh Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2012, hal. 19

24
Kepastian hukum dimaknai sebagai suatu keadaan dimana telah pastinya

hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang bersangkutan.

Keberadaan asas kepastian hukum merupakan sebuah bentuk perlindungan

bagi pencari keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang, seseorang akan dan

dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.

Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Van Apeldoorn

bahwa kepastian hukum memiliki dua segi, yaitu dapat ditentukannya hukum

dalam hal yang konkret dan keamanan hukum. Pihak yang mencari keadilan

ingin mengetahui apa yang menjadi hukum dalam suatu hal tertentu sebelum ia

memulai perkara dan perlindungan bagi para pencari keadilan.49

Lebih lanjut terkait kepastian hukum, Lord Lloyd mengatakan bahwa:50

“…law seems to require a certain minimum degree of regularity


and certainty for without that it would be impossible to assert that what
was operating in a given territory amounted to a legal system”

Tanpa adanya kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus

diperbuatnya dan akhirnya timbulah ketidakpastian (uncertainty) yang pada

akhirnya akan menimbulkan kekerasan (chaos) akibat ketidaktegasan sistem

hukum. Sehingga dengan demikian kepastian hukum menunjuk kepada

pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya

tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.51

49
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti: Bandung,
1993, hal. 2
50
Lord Lloyd dalam Mirza Satria Buana, “Hubungan Tarik-Menarik Antara Asas Kepastian
Hukum (Legal Certainpi) Dengan Asas Keadilan (Substantial Justice) Dalam Putusan-
Putusan Mahkamah Konstltusi”, Yogyakarta: Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas
Islam Indonesia, 2010, hal. 34
51
R. Tony Prayogo, “Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah

25
Bentuk awal dari fiducia yang kita kenal sekarang ini ialah fiducia cum

creditore. Penyerahan hak milik pada fiducia cum kreditor ini terjadi secara

sempurna, sehingga penerima fiducia (kreditur) berkedudukan sebagai pemilik

yang sempurna. Sebagai pemilik tentu saja ia bebas berbuat apa pun terhadap

barang yang dimilikinya, hanya saja berdasarkan fides ia berkewajiban

mengembalikan hak milik atas barang tadi kepada debitur pemberi fiducia,

apabila pihak yang belakangan ini telah melunasi utangnya kepada kreditur.

Tidak ada pembatasan lain dalam hubungan fiducia cum kreditur. Hak milik di

sini bersifat sempurna yang terbatas, karena digantungkan pada syarat tertentu.

Untuk pemilik fiducia, hak miliknya digantungkan pada syarat putus

(ontbindende voorwaarde). Hak miliknya yang sempurna baru lahir jika

pemberi fiducia tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi).52

Akan tetapi, pendapat tersebut tidak memberi kejelasan bagaimana

kedudukan pemegang fiducsia selama syarat putus yang dimaksud belum

terjadi. Meskipun demikian tidak ada bedanya dengan akibat dari jualbeli

dengan hak membeli kembali, di mana kalau penjual (debitur) tidak membeli

kembali barangnya maka pembeli (kreditur menjadi pemilik barang yang telah

dijual tadi. Lagi pula pendapat tersebut bertentangan dengan system hukum

jaminan di mana dalam hukum jaminan tidak diperbolehkan seorang penerima

jaminan (kreditur) menjadi pemilik dari barang jaminan, bahkan setelah debitur

wanprestasi pun kreditur dilarang menjadi pemilik barang jaminan.

Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-


Undang “, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, 2016, hal.194
52
Oey Hoey Tiong, Fidusia sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985, hal. 47

26
Setelah debitur wanprestasi, kreditur hanya berhak menjual secara umum

barang jaminan dan hasil penjualan itu dipergunakan untuk melunasi

hutangnya. Pasal 1155 dan 1156 KUHPer mengenai pelaksanaan hak kreditur

atas barang jaminan apabila debitur lalai memenuhi kewajibannya. Dengan

demikian, telah diakui pula bahwa dianalogkan ketentuan-ketentuan tentang

gadai dapat dipergunakan bagi fidusia. Maka kedudukan kreditur selama

debitur belum lalai memenuhi kewajibannya ialah bahwa kreditur

berkedudukan sebagai penerima jaminan, maka kreditur dapat melakukan

beberapa tindakan, seperti pengawasan atas barang jaminan.

Pemberian jaminan fidusia ini merupakan perjanjian yang bersifat

accessoir sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 6 huruf b Undang-

undang No. 42 Tahun 1999 dan harus dibuat dengan suatu akta notaris yang

disebut sebagai akta Jaminan Fidusia. Akan tetapi ada sebagian ahli hokum

berpendapat bahwa penyerahan hak milik secara fidusia tidak memiliki sifat

accesoir dan berdiri sendiri. Akibatnya ialah bahwa lahir dan berakhirnya

fidusia tidak tergantung pada perikatan yang lain (pokok). Jika penyerahan hak

milik secara fidusia akan diakhiri, maka harus diadakan perbuatan hokum

sendiri, yang menyatakan bahwa penyerahan hak milik secara fidusia itu telah

berakhir. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, Penyerahan hak milik secara

fidusia sebagai jaminan mempunyai sifat accesoir karena melekat pada

perjanjian pokok (pinjam uang).53

53
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai Dan Fiducia, cet.5,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 96.

27
Sifat jaminan fidusia yang diatur didalam Undang-undang Fidusia

diantaranya sebagai berikut:54

1. Sifat Accesoir

Artinya Jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri melainkan

kelahiran dan keberadaannya atau hapusnya tergantung dari perjanjian

pokoknya.

2. Sifat Droit de Suite

Artinya penerima fidusia/Kreditor mempunyai hak mengikuti yang

menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu

berada. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan debitor lalai maka

kreditor sebagai pemegang jaminan fidusia tidak kehilangan haknya

untuk mengeksekusi objek fidusia walaupun objek tersebut telah

dijual dan dikuasai oleh pihak lain.

3. Jaminan fidusia mempunyai hak Preferent

Artinya kreditor sebagai penerima fidusia memiliki hak yang

didahulukan (Preferent) terhadap kreditor lainnya untuk menjual atau

mengeksekusi benda jaminan fidusia dan hak didahulukan untuk

mendapatkan pelunasan utang dari hasil eksekusi benda jaminan

fidusia tersebut dalam hal debitor cedera janji atau lalai membayar

utangnya.

4. Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada

54
Agustinus Edy Kristianto, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta 2009, hal, 174-180

28
Maksudnya utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus

memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Fidusia

yaitu:

a. Utang yang telah ada, yaitu besarnya utang yang ditentukan

dalam perjanjian kredit.

b. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah

diperjanjikan dalam jumlah tertentu.

5. Jamina Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang

Maksudnya Benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitor

kepada beberapa kreditor yang secara bersama-sama memberikan

kredit kepada seorang debitor dalam satu perjanjian kredit. Ketentuan

mengenai hal ini diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Fidusia.

Ketentuan tersebut harus dipandang berbeda dengan ketentuan Pasal

17 Undang-Undang Fidusia, yakni pemberi fidusia dilarang

melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek fidusia

yang sudah terdaftar.

6. Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial

Maksudnya Kreditor sebagai penerima Fidusia mempunyai hak untuk

mengeksekusi benda jaminan benda jaminan bila debitor cedera janji,

Eksekusi tersebut dapat dilakukan atas kekuasaan sendiri atau tanpa

putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini

ditegaskan dalam Pasal 15 Undang-Undang Fidusia, yang intinya

menyatakan bahwa didalam sertifikat jaminan fidusia yang

29
mencantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama

dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.

7. Jaminan fidusia mempunya sifat spesialitas dan Publisitas

Maksudnya Spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai

objek jaminan fidusia dalam Akta Jaminan Fidusia, Sedangkan

publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan fidusia yang

dilakukan dikantor Pendaftara Fidusia.

8. Jaminan fidusia berisi hak untuk melunasi utang

Maksudnya Sifat ini sesuai dengan fungsi setiap jaminan yang

memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditor untuk mendapatkan

pelunasan dari hasil penjualan jaminan tersebut bila debitor cedera

janji dan bukan untuk dimiliki oleh kreditor. Ketentuan ini bertujuan

untuk melindungi debitor dari tindakan sewenang-wenang yang bisa

dilakukan oleh kreditor. Seandainya debitor setuju mencantumkan

janji bahwa benda yang menjadi objek fidusia akan menjadi milik

kreditor jika debitor cedera janji maka janji semacam itu batal demi

hukum atau dianggap tidak pernah ada.

9. Jaminan fidusia meliputi hasil benda yang menjadi objek jaminan

fidusia dan klaim asuransi

Objek jaminan fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud, benda

tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan.

30
Kaidah hukum perjanjian yang termaktub dalam Pasal 1320 KUH

Perdata jo Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian pembiayaan yang telah

disepakati para pihak mempunyai konsekuensi hukum. Perjanjian itu tidak

dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena

adanya alasanalasan yang ditentukan oleh UU. Perjanjian harus dilaksanakan

dengan itikad baik. Hukum jaminan terdiri atas beberapa asas. Badrulzaman

mengatakan bahwa asas-asas hukum jaminan antara lain:55

1. Pancasila sebagai asas filosofi/idealis,

2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sebagai asas konstitusional,

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai asas politik, dan

4. UU sebagai asas operasional.

Namun demikian, jaminan umum ini belum sepenuhnya memberikan

kepuasan kepada kreditur karena dimungkinkan konsumen pembiayaan

memiliki kreditur-kreditur yang lain. Dengan demikian muncul peluang

timbulnya pengikatan ganda atas objek jaminan fidusia yang sama, kantor

fidusia dapat menerbitkan sertifikat jaminan fidusia untuk beberapa kreditur

atas pendaftaran objek jaminan fidusia yang sama. Undang-undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memang mengatur penyelesaian masalah

penjaminan ganda, yakni dengan memenangkan pendaftar pertama jaminan

fidusia, namun di pengadilan atau kantor lelang, biasanya justru terjadi

sebaliknya.

55
Fatma Pararang, ‘Implementasi Jaminan Fidusia Dalam Pemberian Kredit di Indonesia’
(2014) 1 (2) Jurnal LPPM Bidang Ekososbudkum, hal. 56

31
Ditinjau dari teori hukum jaminan yang merupakan keseluruhan aturan

hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan

dalam kaitanya dengan pembebenan jaminan untuk mendapatkan fasilitas

kredit. Jaminan menurut objeknya meliputi benda bergerak dan benda tidak

bergerak. Benda-benda yang tidak bergerak yaitu melalui gadai dan Fidusia.

Sedangkan benda-benda tidak bergerak melalui hak tanggungan. Cara

penyerahan benda bergerak yaitu penyerahannya melalui mekanisme balik

nama penyerahan yuridis yang bermaksud memberikan hak itu, kemudian

dibuat dengan bentuk akta otentik dan didaftarkan.56

Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia

menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa

melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan

kesewenang-wenangan dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan

atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau,

debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang

dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak

sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi

tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan

umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan

Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata dan dapat digugat ganti kerugian.

56
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2009, hal.
199.

32
Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan

masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan

pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:57 a) Barang

siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah

kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun

menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara

paling lama sembilan bulan. b) Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan

keempat berlaku bagi kejahatan ini. Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam

eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal

diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain.

Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik

kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor

fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa

dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh

jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi

perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.

Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan

dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun

1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian

jaminan fidusia yang dibuat. Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang

57
Grace, P, Nugroho, Eksekusi Terhadap Objek PerJanjian Fidusia Dengan Akta Dibawah
Tangan, 2009, Diakses dari http://www. Hukum Online 10 Nopember 2020

33
objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372

KUHPidana menandaskan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum

memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan

orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan

diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun

atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Oleh kreditor, tetapi

ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari

barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan

keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan porsi

masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini

ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan

menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak

dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi

waktu dan pemikiran.

Tindak pidana adalah perbuatan yang aturan hukum dilarang dan

diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan

yang bersifat aktif atau melakukan suatu yang sebenarnya dilarang oleh

hukum. Juga perbuatan yang bersifat pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang

sebenarnya diharuskan oleh hukum.58 Menurut H.R Abdussalam, tindak pidana

adalah perbuatan melakukan dan tidak melakukan sesuatu yang oleh yang oleh

peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang

yang bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum

58
Teguh Prasetyo, 2012, Hukum Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal. 50.

34
masyarakat sehingga dapat dapat diancam pidana.59 Menurut Wirjono

Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat

dikenakan hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek

tindak pidana.60 Para pakar asing hukum pidana menggunakan istilah tindak

pidana atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana, dengan istilah sebagai

berikut:

1. Stafbaar Feit adalah peristiwa pidana,

2. Stafbare Handlung yang diterjemahkan dengan perbuatan pidana

yang digunakan oleh para sarjana hukum pidana Jerman,

3. Criminal Act adalah diterjemahkan dengan istilah perbuatan

kriminal.

Istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau

perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut

delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman

(pidana). Andi Hamzah dalam bukunya Azas-Azas Hukum Pidana memberikan

definisi mengenai delik, yakni delik adalah suatu perbuatan atau tindakan yang

terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana).

Menurut Hans Kelsen, delik adalah suatu kondisi dimana sanksi diberikan

berdasarkan norma hukum yang ada.61

59
Abdussalam, 2006, Sinerama Hukum Pidana, Liberty: Yogyakarta, hal. 6.
60
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama:
Bandung, hal 1.
61
Jimly Asshidiqie, Ali Safa’at M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Konpres,
2012, hal.46.

35
Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia

sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal.

Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima

selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena

kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan

zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara

lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan

dalam waktu yang relatif cepat. Saat ini banyak lembaga pembiayaan

melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang

tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini

perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja.

Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah

terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum

masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku

bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank

yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.

Dalam proses eksekusi kita mengetahi Bahwa asas perjanjian “pacta sun

servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak

yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku

dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian

yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan

eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan

perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga

36
turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar

dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang

dikandungnya. Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para

pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti

dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih

mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua

pihak. Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan

teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian,

keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.

POLRI sebagai alat negara yang bertugas dan berperan untuk memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, berperan pula untuk

memberikan bantuan pengamanan pelaksanaan putusan pengadilan atau

eksekusi jaminan fidusia. Pasal 15 ayat 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia menerangkan bahwa sertifikat jaminan fidusia

memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga memerlukan pengamanan

dari Polri. Oleh karena itu dibentuklah Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi

Jaminan Fidusia.

Tujuan dibentuknya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan

Fidusia adalah terselenggaranya pelaksanaan eksekusi jaminan Fidusia secara

37
aman, tertib, lancar, dan dapat dipertanggungjawabkan serta terlindunginya

keselamatan dan keamanan Penerima Jaminan Fidusia, Pemberi Jaminan

Fidusia dan/atau masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian

harta benda dan/atau keselamatan jiwa.

Permohonan pengamanan eksekusi jaminan fidusia kepada Polisi dapat

dilakukan apabila pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang akan dilakukan

dirasa dapat membahayakan para pihak dalam perjanjian jaminan fidusia.

Indikator bahwa pelaksanaan eksekusi itu dapat membahayakan adalah:62

a. Dilihat dari tempramen dan reaksi masyarakat di lingkungan sekitar,

apabila masyarakat memiliki tempramen tinggi, maka dikhawatirkan

akan terjadi perlawanan yang dapat melukai fisik kreditur maupun

masyarakat saat kreditur akan melakukan pengambilan barang.

Contohnya ketika masyarakat di lokasi tempat pengambilan barang

merupakan suku yang terkenal memiliki tempramen tinggi, maka

mereka akan bersatu untung menentang apa yang akan dilakukan

kreditur, tidak jarang mereka melakukan kekerasan kepada kreditur

agar kreditur tidak jadi mengambil barang milik debitur.

b. Dilihat dari watak debitur lalai, apabila debitur lalai memiliki watak

keras dan tidak mau menyerahkan objek jaminan fidusia, maka

dikhawatirkan terjadi perkelahian untuk memperebutkan objek

jaminan fidusia karena kreditur juga tidak dapat menahan emosinya.

62
Safira Angela Islami, “Hambatan Pelaksanaan Peranan Polisi Dalam Pengamanan Eksekusi
Objek Jaminan Fidusia Di Polres Malang Kota”, Artikel Hukum, Universitas Brawijaya
Fakultas Hukum, Malang, 2013, hal. 9

38
Contohnya ketika debitur lalai memiliki watak keras, maka akan

terjadi perdebatan antara debitur dan kreditur karena debitur enggan

menyerahkan barang. Apabila kreditur dapat menjaga emosi, maka

perdebatan akan segera usai namun apabila kreditur juga ikut emosi,

maka perdebatan dikhawatirkan berlanjut pada perkelahian.

Pengamanan terhadap objek jaminan fidusia dapat dilaksanakan dengan

persyaratan yang diatur dalam pasal 6 Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi

Jaminan Fidusia, yaitu:

a. ada permintaan dari pemohon;

b. memiliki akta jaminan fidusia;

c. jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia;

d. memiliki sertifikat jaminan fidusia;

e. jaminan fidusia berada di wilayah negara Indonesia.

Berkaitan dengan hal itu kerangka teori yang dijadikan sebagai analisis

dalam disertasi ini dapat dilihat dalam bentuk diagram dibawah ini:

39
Reformulasi Sanksi Pidana UU Republik Indonesia Nomor 42 Tahun1999
Tentang Jaminan Fidusia Terkait Peran Kepolisian dan Debt Collector
Dalam Penarikan Objek Jaminan Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan
Terhadap Wanprestasi Debitur

Kebijakan UU Republik Indonesia


Nomor 42 Tahun1999 Tentang
Jaminan Fidusia

Peran Eksekusi Jaminan Fidusia Peran


POLRI Debt Collector

Identifikasi dan Kajian UU Republik


Indonesia Nomor 42 Tahun1999
Tentang Jaminan Fidusia

Prioritas Kebijakan

Refromulasi Kebijakan

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran

40
D. Tujuan dan Kontribusi Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam disertasi ini sebagai berikut:

a. Untuk mengkaji dan menemukan Peran Kepolisian dalam Penarikan

Objek Jaminan Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan Terhadap

Wanprestasi Debitur berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang

Jaminan Fidusia

b. Untuk mengkaji dan menemukan Peran Debt Collector dalam

Penarikan Objek Jaminan Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan

Terhadap Wanprestasi Debitur berdasarkan UU Nomor 42 Tahun

1999 Tentang Jaminan Fidusia.

c. Untuk mengkaji dan menemukan konsep/reformulasi Kebijakan dalam

Penarikan Objek Jaminan Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan

Terhadap Wanprestasi Debitur berdasarkan UU Nomor 42 Tahun

1999 Tentang Jaminan Fidusia?

2. Kontribusi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan kegunaan

baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun kegunaan penelitian

sebagai berikut:

a. Kegunaan teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah dan

menyumbangkan pemikiran hukum terkait bidang ilmu hukum,

khususnya tentang Reformulasi Kebijakan dalam Penarikan Objek

41
Jaminan Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan Terhadap Wanprestasi

Debitur terkait peran POLRI dan Debt Collector berdasarkan UU

Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Hasil penelitian ini

juga diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah wawasan materi

hukum pidana sebagai bahan literatur bagi peminat akademik dan

pihak lainnya.

b. Kegunaan praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam

tiga hal, yakni:

a. Memberikan manfaat bagi hukum jaminan dalam

mempertimbangkan kepastian hukum jaminan khususny a

tentang jaminan fidusia.

b. Memberikan manfaat bagi pemerintah dalam

memformulasikan Reformulasi Kebijakan dalam Penarikan

Objek Jaminan Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan

Terhadap Wanprestasi Debitur terkait peran POLRI dan

Debt Collector berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia.

c. Memberikan manfaat bagi kalangan aparat penegak hukum

dalam Kebijakan dalam Penarikan Objek Jaminan Fidusia

Serta Berkelanjutan Tindakan Terhadap Wanprestasi

Debitur terkait peran POLRI dan Debt Collector

berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan

Fidusia

42
E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ilmu hukum adalah mengetahui mengenai proses

hukum, peristiwa hukum, ketentuan peraturan hukum, dan mengetahui subtansi

maupun prosedur hukumnya.63 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari

pemecahan atas isu hukum yang muncul, sehingga dapat dilakukan bahwa

penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di

dalam hukum. Untuk mendapatkan petunjuk peraturan terhadap apa yang

seharusnya dilakukan terhadap isu yang dimunculkan.64 Karena melakukan

suatu penelitian hukum pada dasarnya tidak dapat terlepas dari penggunaan

metode penelitian. Sebab, setiap penelitian pasti menggunakan metode untuk

menganalisa permasalahan yang diangkat.

Untuk membantu memudahkan dalam penyusunan disertasi ini, maka

disusun metode penelitian sebagai jalan petunjuk yang akan mengarahkan

jalannya penelitian ini, atau dengan kata lain sebagai jalan atau cara dalam

rangka usaha mencari data yang akan digunakan untuk memecahkan suatu

masalah yang ada dalam disertasi ini,65 yaitu sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam disertasi ini termasuk dalam jenis penelitian

doktrinal, dimana metode pendekatan yang digunakan bersifat yuridis

normatif. Pendekatan yuridis normatif yaitu memahami permasalahan

63
Sabian Utsman, Metodologi Penelitian Hukum Progresif, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2014,
hal. 1.
64
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 41.
65
Arianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004, hal. 61.

43
menggunakan pendekatan peraturan hukum atau peraturan perundang-

undangan yang berlaku.66 Metode penelitian hukum normatif disebut juga

dengan ilmu hukum positif yang dimaksud disini adalah hukum yang

berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, yaitu suatu aturan dan norma

tertulis yang secara resmi dibentuk dan diundangkan oleh penguasa,

disamping hukum yang tertulis yang secara efektif mengatur perilaku

anggota masyarakat.67 Hal ini karena data yang diambil bersumber dari

Kebijakan dalam Penarikan Objek Jaminan Fidusia Serta Berkelanjutan

Tindakan Terhadap Wanprestasi Debitur terkait peran POLRI dan Debt

Collector berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan

penelitian.68 Dari ungkapan konsep tersebut jelas bahwa yang dikehendaki

adalah suatu informasi dalam bentuk deskripsi dan menghendaki makna

yang berada di balik bahan hukum. Pendekatan diperlukan dalam disertasi

ini untuk lebih menjelaskan dan mencapai maksud serta tujuan penelitian.

Pendekatan tersebut dimaksudkan agar pembahasan dapat terfokus pada

permasalahan yang dituju, sesuai dengan ruang lingkup permasalahan yang

dituju.

66
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
hal. 134.
67
Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 81.
68
Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 23.

44
Disertasi ini menggunakan pendekatan hukum normatif, sesuai

dengan jenis penelitiannya yakni penelitian hukum normatif (yuridis

normatif), maka dapat digunakan lebih dari satu pendekatan.69 Dalam

penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan

perbandingan.70 Dengan memuat deskripsi yang diteliti berdasarkan

tinjauan pustaka yang dilakukan dengan cermat dan mendalam. penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder.71 Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

pendekatan yang dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-

undangan dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang

diangkat.

Kemudian pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu

pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

yang berkembang di dalam ilmu hukum. Konsep merupakan integrasi

mental atas dua unit atau lebih yang diisolasikan menurut ciri khas dan

yang disatukan dengan definisi yang khas.72 Pendekatan konsep digunakan

berkenaan dengan konsep-konsep dalam Penarikan Objek Jaminan Fidusia

Serta Berkelanjutan Tindakan Terhadap Wanprestasi Debitur.

69
Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing: Malang, hal. 300
70
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Adiya Bakti:
Bandung, hal. 113.
71
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009, hal. 13-14.
72
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008,
hal. 95.

45
3. Sumber Data Penelitian

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai

kekuatan hukum mengikat seperti norma dasar, peraturan dasar,

peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, konvensi internasional

doktrin para ahli hukum yang terkait dengan obyek penelitian. Adapun

rincian peraturan perundang-undangan yang dijadikan obyek analisis dan

evaluasi hukum sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);

3) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);

4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana);

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia, Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3889;

6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996

Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda

Yang Berkaitan Dengan Tanah, Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3632;

7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998

46
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun

1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3790;

8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234;

9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

10) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 21 Tahun 2015

Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya

Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 80;

11) Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga

Pembiayaan; Peraturan Bank Indonesia Nomor :

9/14/PBI/2007 Tentang Sistem Informasi Debitor; Keputusan

Menteri Keuangan Nomor : 130/PMK.010/2012 Tentang

Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan

Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan

Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia;

12) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia

47
b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelaahan

terhadap literatur, jurnal, surat kabar, majalah, rancangan peraturan

perundangundangan, kamus, hasil wawancara dan bahan tertulis lainnya

yang terkait dengan masalah yang diteliti serta dokumentasi resmi

institusional dimana penelitian ini dilakukan.

c. Bahan Hukum Tersier

Selain bahan hukum primer dan sekunder, penelitian hukum dapat

juga menggunakan bahan non hukum bila dipandang perlu. Bahan-bahan

non hukum dapat berupa buku-buku, jurnal, laporan hasil penelitian

mengenai ilmu ekonomi, ilmu politik, dan disiplin ilmu lainya sepanjang

mempunyai relevensi dengan objek permasalahan yang diteliti. Bahan-

bahan non hukum tersebut untuk memperluas wawasan peneliti dan

memperkaya sudut pandang peneliti. Relevan atau tidaknya bahan-bahan

non hukum tersebut amat ditentukan oleh objek yang menjadi

permasalahan dalam penelitian.73

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara

penelitian kepustakaan library research, yaitu penelitian yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan bahan

hukum sekunder. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

penulisan disertasi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi

73
Zainuddin, Metode Penelitian Ilmu Hukum, hal. 58.

48
pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel yang berkaitan dengan

objek penelitian. Tahap-tahap pengumpulan bahan hukum melalui studi

pustaka adalah sebagai berikut:

1. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum

lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

2. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel

media cetak maupun elektronik. Mengelompokan bahan-bahan

hukum yang relevan dengan permasalahan.

3. Mengelompokan bahan hukum sesuai dengan permasalahan.

4. Menganalisa bahan-bahan hukum yang relevan tersebut untuk

menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

5. Teknik Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif

kualitatif. Analisa kualitatif yang dilakukan dengan cara data yang

diperoleh akan disusun secara sistematis melalui pendekatan secara

yuridis normatif kemudian dilakukan analisis secara mendalam terkait

dengan obyek penelitian dan dilanjutkan dengan kesimpulan. Penelitian

ini menggunakan teknik analisis bahan hukum deduktif. Logika deduktif

yaitu cara berfikir yang bertolak dari pengertian bahwa sesuatu yang

berlaku bagi keseluruhan peristiwa atau kelompok atau jenis.74

74
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan
Empiris, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2010, hal 110

49
F. Orisinalitas Penelitian

Berkaitan dengan penulisan disertasi yang berjudul “Reformulasi

Sanksi Pidana UU Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang

Jaminan Fidusia Terkait Peran Kepolisian dan Debt Collector Dalam

Penarikan Objek Jaminan Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan Terhadap

Wanprestasi Debitur” yang dikembangkan untuk disertasi ini menurut

pengetahuan penelitian belum dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.

Penegasan menyangkut orisinalitas dari disertasi ini dapat

dikemukakan sebagai berikut:

1. Penelitian ini mempertegas belum ditemukanya penelitian disertasi yang

menghubungkan jaminan fidusia dengan peran kepolisian dan dcebt

collector.

2. Beberapa penelitian terdahulu sebagaimana penelitian Celina Tri

Siwi Kristiyanti, (2014) tentang hukum jaminan fidusia dalam sistem

jaminan kebendaan dan penelitian Dwi Tatak Subagyo (2018) tentang

hakikat kedudukan hukum debitor selama menguasai objek jaminan

fidusia, berbeda objek kajiannya dengan penelitian disertasi ini yang

difokuskan pada reformulasi sanksi pidana uu republik indonesia nomor

42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia terkait peran kepolisian dan debt

collector dalam penarikan objek jaminan fidusia serta berkelanjutan

tindakan terhadap wanprestasi debitur.

50
Lebih lanjut orisinalitas penelitian disertasi ini dapat dilihat

berdasarkan perbandingan beberapa penelitian terdahulu sebagaimana

berikut ini:

Tabel 1.1. Matrik Perbandingan Substansi Disertasi

Substansi Alfian Nurrizal Dwi Tatak Kristiyanti,


Subagiyo CelinaTriSiwi

Universitas Universitas 17 Universitas


Diponegoro Agustus 1945 Brawijaya
Semaranag Surabaya Malang
Judul Reformulasi Sanksi Hakikat Kedudukan Hukum Jaminan
Disertasi Pidana UU Republik Hukum Debitor Fidusia dalam
Indonesia Nomor 42 Selama Menguasai Sistem Jaminan
Tahun 1999 Tentang Objek Jaminan Kebendaan
Jaminan Fidusia Fidusia
Terkait Peran
Kepolisian dan Debt
Collector Dalam
Penarikan Objek
Jaminan Fidusia Serta
Berkelanjutan
Tindakan Terhadap
Wanprestasi Debitur
Perumusan 1. Bagaimanakah 1. Apa dasar 1. Bagaimana
Masalah Peran Kepolisian filosofis kepastian hukum
dalam Penarikan eksistensi jaminan fidusia
Objek Jaminan lembaga jaminan dalam sistem
Fidusia Serta fidusia? jaminan
Berkelanjutan 2. Apakah dengan kebendaan?
Tindakan Terhadap diaturnya 2. Bagaimana
Wanprestasi lembaga jaminan integrasi asas
Debitur fidusia dalam hukum jaminan
berdasarkan UU Undang-Undang fidusia dengan
Nomor 42 Tahun dapat menjamin asas dalam
1999 Tentang kepastian sistem jaminan
Jaminan Fidusia? hukum? kebendaan?
2. Bagaimanakah 3. Bagaimana
Peran Debt kedudukan
Collector dalam hukum debitor
Penarikan Objek saat tetap
Jaminan Fidusia menguasai objek

51
Serta jaminan fidusia?
Berkelanjutan
Tindakan Terhadap
Wanprestasi
Debitur
berdasarkan UU
Nomor 42 Tahun
1999 Tentang
Jaminan Fidusia?
3. Bagaimanakah
Reformulasi
Kebijakan dalam
Penarikan Objek
Jaminan Fidusia
Serta
Berkelanjutan
Tindakan Terhadap
Wanprestasi
Debitur
berdasarkan UU
Nomor 42 Tahun
1999 Tentang
Jaminan Fidusia?
Objek Reformulasi Sanksi Kebutuhan modal Isu hukum dalam
Penelitian Pidana UU Republik dari para pengusaha disertasi ini adanya
Indonesia Nomor 42 untuk digunakan konflik norma antara
Tahun 1999 Tentang meningkatkan norma yang bersifat
Jaminan Fidusia kesejahteraan hidup, regulatif dengan
Terkait Peran di samping usahanya yang bersifat
Kepolisian dan Debt tetap berjalan. fasilitatif, Pasal 2
Collector Dalam Undang-Undang dengan Pasal 37 dan
Penarikan Objek Republik Indonesia Pasal 38 tentang
Jaminan Fidusia Serta Nomor 42 Tahun keberlakuan jaminan
Berkelanjutan 1999 Tentang fidusia dan FEO.
Tindakan Terhadap Jaminan Fidusia,
Wanprestasi Debitur dinyatakan terdapat
perpindahan hak
milik yaitu dari
debitor (pemberi
fidusia) ke kreditor
(penerima fidusia),
padahal kedudukan
benda jaminan, tetap
berada di tangan
debitor.

52
Metodologi Tipe penelitian Metode penelitian studi normatif
penelitian hukum yang digunakan dengan pendekatan
Yuridis normative. merupakan konsep, pendekatan
Pendekatan yang penelitian hukum historis, dan
digunakan adalah normatif, dengan pendekatan
pendekatan menggunakan perbandingan,
perundang-undangan analisis dari berbagai pendekatan
(statuta approach), bahan hukum. perundang-
pendekatan konseptual undangan.
(conceptual Pendekatan yang
approach). analisis
digunakan adalah
data dengan deskriptif pendekatan
analisis dan preskriptif
peraturan
analisis perundang-undangan
(statute approach),
pendekatan
konseptual
(conseptual
approach),
pendekatan historis
(historical
approach), dan
pendekatan filsafat
(philosophical
approach).
Teori Teori Kepastian teori pembentukan teori kepastian
Hukum peraturan hukum,
Teori Keadilan perundang- teori perlindungan
Teori Hierarki undangan, hukum (grand
Perundang-undangan. teori tujuan hukum, theory)
Teori hukum teori keadilan, teori perundang-
perikatan teori kepastian undangan (middle
teori hukum jaminan hukum, theory)
Teori kemanfaatan teori kemanfaatan teori hermeneutika
dan teori sistem
(applied theory)
Hasil Pertama, dasar Hasil penelitian yang
Penelitian filosofis eksistensi diperoleh (1) hukum
lembaga jaminan jaminan fidusia tidak
fidusia, digunakan memberikan
untuk menampung kepastian hukum
kebutuhan dalam sistem
masyarakat akan jaminan kebendaan
pentingnya faktor penyebabnya
tambahan modal adalah pada
berupa dana dalam perkembangan

53
melakukan kegiatan hukum jaminan
usaha di bidang fidusia; faktor
ekonomi dengan jaminan fidusia tidak
tetap menguasai didaftarkan, faktor
benda modalnya itu penormaan; (2) asas-
digunakan dalam asas dalam hukum
mempertahankan jaminan fidusia
kegiatan usaha, sebagai subsistem
sebagai hukum jaminan
agunan/jaminan kebendaan belum
memperoleh bantuan terintegrasi dengan
dana. Mengingat asas-asas hukum
kedua lembaga jaminan kebendaan
jaminan yang ada yang lain dalam
dalam KUHPerdata sistem jaminan
yaitu gadai dan kebendaan, yang
hipotek, tidak seharusnya saling
memberikan ruang komplementer,
dan tempat bagi terpadu dan
masyarakat yang konsisten. Oleh
mengembangkan karenanya
usaha dengan dibutuhkan politik
perolehan dana dari hukum sistemik
lembaga keuangan. sebagai solusi
Kedua, keberadaan permasalahan dari
Undangundang hukum jaminan
jaminan fidusia kebendaan ( ius
apabila diteliti dan constituendum ).
dicermati ternyata Politik hukum
tidak mengandung memiliki peran
kepastian hukum sangat penting,
(rechtszekerheid). paling tidak untuk
Berdasarkan teori dua hal. Pertama,
kepastian hukum sebagai alasan
dari Lon Fuller, mengapa diperlukan
UUJF dalam pembentukan suatu
rumusan pasal- peraturan
pasalnya terdapat perundang-
tumpang tindih, undangan. Kedua,
menjadikan tidak untuk menentukan
terwujudnya apa yang hendak
kepastian hukum diterjemahkan ke
yang berakibat dalam kalimat
adanya pemahaman hukum dan menjadi
norma yang berbeda perumusan pasal
dalam perlu dilakukan

54
pelaksanaanya. pembaharuan norma
Ketiga, hakikat dengan melakukan
kedudukan hukum harmonisasi
debitor dalam sehingga asas-asas
menguasai benda hukum jaminan
jaminan fidusia fidusia terintegrasi
menurut undang- dengan asas jaminan
undang jaminan kebendaan dalam
fidusia, sangat sistem jaminan
dipahami adanya kebendaan.
prinsip bahwa Keberadaan
selama benda peraturan
dijadikan objek perundang-undangan
jaminan, hak milik dan perumusan pasal
benda yang merupakan
bersangkutan, diakui `jembatan` antara
tetap ada pada politik hukum yang
debitor dan debitor ditetapkan dengan
selaku peminjam pelaksanaan dari
pakai benda. politik hukum
Sedangkan atas xvi tersebut dalam tahap
agunan yang implementasi
bersangkutan, peraturan
kreditor hanya perundang-undangan
sekedar mempunyai yang terpadu. Hal ini
hak jaminan mengingat antara
kebendaan dan pelaksanaan
bukan hak peraturan
kepemilikan. perundang-undangan
harus ada konsistensi
dan korelasi yang
erat dengan apa yang
ditetapkan sebagai
politik hukum.

G. Sistematika Penulisan

Analisis dan evaluasi ini akan disusun dengan sistematika penulisan

sebagai berikut:

55
Bab I memuat pendahuluan yang didalamnya menguraikan latar belakang

penelitian, perumusan masalah, orisinalitas penelitian, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika penulisan

disertasi.

Bab II mengenai Tinjauan Umum Eksistensi Lembaga Jaminan Fidusia di

Indonesia. Bab ini akan menguraikan mengenai dasar-dasar eksitensi Lembaga

jaminan fidusia di Indonesia berdasarkan dasar historis, dasar filosofis, dan dasar

yuridis.

Bab III memuat jawaban atas rumusan masalah pertama dan kedua dalam

penelitian ini yaitu Peran Kepolisian dalam Penarikan Objek Jaminan Fidusia

Serta Berkelanjutan Tindakan Terhadap Wanprestasi Debitur berdasarkan UU

Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan Peran Debt Collector dalam

Penarikan Objek Jaminan Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan Terhadap

Wanprestasi Debitur berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan

Fidusia.

Bab IV memuat jawaban atas rumusan masalah ketiga dalam penelitian

ini yaitu Reformulasi Kebijakan dalam Penarikan Objek Jaminan Fidusia Serta

Berkelanjutan Tindakan Terhadap Wanprestasi Debitur berdasarkan UU Nomor

42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

Bab V memuat simpulan dan rekomendasi dari hasil analisis dan evaluasi

Reformulasi Sanksi Pidana UU Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia Terkait Peran Kepolisian dan Debt Collector Dalam

56
Penarikan Objek Jaminan Fidusia Serta Berkelanjutan Tindakan Terhadap

Wanprestasi Debitur. Rekomendasi terdiri dari rekomendasi umum, yang berisi

saran terkait dengan substansi hukum, struktur hukum, ataupun budaya hukum,

sedangkan rekomendasi khusus berisi saran normatif, yang didasarkan pada hasil

analisis.

57
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra
Adiya Bakti.

Abdus Salam, 2006, Sinerama Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty.

Abednego Isa Latuihamallo, 2014, Dilema Dunia Multifinance, Sebuah Analisis


Ilmiah Terhadap Fidusia dan Permasalahannya Dalam Dunia Multifinance,
Cet. pertama, Jakarta: Grasindo.

Agustinus Edy Kristianto, 2009, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia.

Arianto Adi, 2004, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit.

Asikin Zainal, 2012, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press

DY Witanto, 2015, Hukum Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan


Konsumen (Aspek Perikatan, Pendaftaran, Dan Eksekusi), Cet. pertama,
Bandung: Mandar Maju.

Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di


Bidang Yuridis, Jakarta: Rineka Cipta.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

HR. Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Bandung: Citra Aditya
Bakti

Ignatius Ridwan Widyadharma, 1997, Hukum Sekitar Perjanjian Kredit,


Semarang: Universitas Diponegoro.

J. Satrio, 1991, Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra


Aditya Bakti.

58
Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia Publishing: Malang.

Jimly Asshidiqie, Ali Safa’at M, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Jakarta: Konpres.

Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju.

Kashadi, 2000, Hukum Jaminan, Fakultas Hukum, Semarang: Universitas


Diponegoro.

M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

M. Yahya Harahap, 1988, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang


Perdata, Cet. ke-3, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai Dan


Fiducia, cet.5, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan
Penjelasannya, Bandung: Alumni.

Marulak Pardede, dkk, 2006, Laporan Akhir Penelitian Hukum Laporan Akhir
Penelitian Hukum Tentang Implementasi Jaminan Fidusia Implementasi
Jaminan Fidusia Dalam Pemberian Kredit Dalam Pemberian Kredit Di
Indonesia, Jakarta: BPHN Departemen Hukum dan HAM RI.

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian
Hukum: Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Munir Fuady, 2000, Jaminan Fidusia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Munir Fuady, 2013, Hukum Jaminan Utang, Jakarta: Penerbit Erlangga.

59
Oey Hoey Tiong, 1985, Fidusia sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan,
Jakarta: Ghalia Indonesia.

Permadi Gandapradja, 2004, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada


Media Group.

Purwahid Patrik dan Kashadi, 2008, Hukum Jaminan, Semarang: Fakultas


Hukum, Universitas Diponegoro.

Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta:


PT. Gramedia Pustaka Utama.

Rachmadi Usman, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta: Penerbit Sinar


Grafika.

Sabian Utsman, 2014, Metodologi Penelitian Hukum Progresif, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

Sadjijono, 2008, Seri hukum Kepolisian, Polri dan Good Governance, Surabaya:
Laksbang Mediatama.

Salim H.S., 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: Raja


Grafindo Persada.

Satjipto Rahardjo, 2012, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sri Soedewi Mascjhun Sofwan, 1977, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga


Jaminan Khususnya Fiducia di dalam Praktek dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

60
Sri Soedewi Masjoen Sofwan, 1997, Beberapa Masalah Pelaksanaan Jaminan
Khususnva Fidusia di dalam Praktek dan Perkembangannya di Indonesia,
Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM.

Sri Soedewi Masjoen Sofyan, 1995, Hukum dan Jaminan Perorangan,


Yogyakarta: Liberty.

Subekti, 1996, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak


Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sudikno Mertokusumo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung:


Citra Aditya Bakti.

Sunaryo, 2008, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika.

Tan Kamelo, 2014, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan,
Cet. pertama, Bandung: Alumni.

Teguh Prasetyo, 2012, Hukum Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung:


Refika Aditama: Bandung.

Artikel/Jurnal/Penelitian
Fatma Pararang, (2014), “Implementasi Jaminan Fidusia Dalam Pemberian Kredit
di Indonesia” Jurnal LPPM Bidang Ekososbudkum Vol 1 (2)

Grace, P, Nugroho, (2009), “Eksekusi Terhadap Objek PerJanjian Fidusia Dengan


Akta Dibawah Tangan”, Diakses dari http://www. Hukum Online 10
Nopember 2020

Khifni Kafa Rufaida, (2014), “Keotentikan Akta Jaminan Fidusia yang Tidak
Ditandatangani di Hadapan Notaris Setelah Berlakunya Sistim Pendaftaran
Fidusia Secara Online”, Tesis, Universitas Diponegoro.

61
Mirza Satria Buana, (2010), “Hubungan Tarik-Menarik Antara Asas Kepastian
Hukum (Legal Certainpi) Dengan Asas Keadilan (Substantial Justice)
Dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstltusi”, Yogyakarta: Tesis
Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia.

R. Tony Prayogo,(2016), “Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan


Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan
Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang “, Jurnal Legislasi
Indonesia, Volume 13, Nomor 2, 2016

Ridwan Fathoni, Siti Malikhatun Badriyah dan R Suharto, (2016), “Efektivitas


Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik Terhadap
Pembiayaan Bank Syariah (Studi Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Artha Amanah Ummat Kabupaten Semarang)’ Diponegoro Law Journal
(2016) 5 (3).

Rilla Rininta Eka Satriya, (2015), “Pengalihan Objek Jaminan Fidusia oleh
Debitur tanpa Persetujuan Kreditur dalam Perjanjian Kredit Bank”, Tesis,
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

Safira Angela Islami, (2013), “Hambatan Pelaksanaan Peranan Polisi Dalam


Pengamanan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Di Polres Malang Kota”,
Artikel Hukum, Universitas Brawijaya Fakultas Hukum, Malang

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, (1997), “Beberapa Masalah Pelaksanaan


Jaminan Khususnva Fidusia di dalam Praktek dan Perkembangannya di
Indonesia”, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1977

Willy Putra and Haryati Widjaja, (2019), “Penerapan Prinsip Kehati-Hatian


Dalam Penyaluran Kredit (Studi Kasus Di Bank BRI Cabang Semarang)’
(2019) 3 (1) Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum

62
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana);

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan


Fidusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak


Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan


Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian


Negara Republik Indonesia

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara
Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 80;

63
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan;
Peraturan Bank Indonesia Nomor : 9/14/PBI/2007 Tentang Sistem
Informasi Debitor; Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
130/PMK.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan
Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan
Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia;

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang


Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia

64

Anda mungkin juga menyukai