Anda di halaman 1dari 5

Nama : Elza Hamiidah

NIM : 11000220410138

Matkul : Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan Perkawinan

Resume Materi Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan Perkawinan

Perjanjian perkawinan atau perjanjian kawin atau Prenuptial Agreement dibuat semata -
mata untuk menjaga kepentingan usaha dan menghargai martabat masing-masing pihak.
Perjanjian Perkawinan dapat memastikan bahwa pasangan Anda menikah dengan Anda, bukan
dengan kekayaan Anda. Sehingga niatan tulus Anda dan calon pasangan dapat dibuktikan
sebelum membangun rumah tangga. Lebih lanjut, urgensi dari dibuatnya Perjanjian Perkawinan
adalah sebagai berikut :

 Menjamin keamanan dan kepentingan usaha

 Menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga

 Melindungi kepentingan seorang istri dalam hal suami melakukan poligami

 Menjaga hubungan kemitraan dalam political marriage

 Menjamin kondisi finansial Anda setelah perkawinan putus atau berakhir

 Menghindari motivasi perkawinan yang tidak sehat

Materi yang diatur di dalam perjanjian tergantung pada pihak - pihak calon suam istri,
asal tidak bertentangan dengan hukum, undang - undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan.
Perjanjian perkawinan yang lazim disepakati antara lain berisi harta bawaan dalam perkawinan,
utang yang dibawa oleh suami atau istri, dan lain sebagainya. Dalam Pasal 29 UU Perkawinan
disebutkan bahwa Perjanjian Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang dibuat pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan lebih lanjut dijelaskan bahwa Perjanjian
Perkawinan tersebut wajib untuk disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Berdasarkan
ketentuan dalam pasal tersebut maka perjanjian perkawinan dibuat pada saat maupun sebelum
perkawinan dilangsungkan. Dalam penerapannya berikut adalah hal - hal yang umumnya diatur
dalam perjanjian perkawinan :

 Harta bawaan dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing
maupun dari hibah, warisan ataupun cuma - cuma yang diperoleh masing - masing
selama perkawinan.

 Semua hutang dan piutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka,
sehingga tanggung jawab yang dibuat oleh mereka selama perkawinan tetap akan
menjadi tanggungan masing-masing atau tanggung jawab keduanya dengan pembatasan
tertentu.

 Hak istri dalam mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak dan dengan tugas memungut (menikmati) hasil serta pendapatan baik dari
pekerjaannya sendiri atau sumber lain

 Kewenangan istri dalam mengurus hartanya, agar tidak memerlukan bantuan atau
pengalihan kuasa dari suami.

 Pencabutan wasiat, serta ketentuan - ketentuan lain yang dapat melindungi kekayaan
maupun kelanjutan bisnis masing - masing pihak
Materi hukum kelurga dan harta perkawinan mencakup dua bagian yaitu, hukum keluarga
dan hukum harta perkawinan. Bidang hukum keluarga dan harta perkawinan saat ini
pengaturanya terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan dan hukum lama sebagai pluralnya.
dasar peraturan :

1. UU No. 1 Tahun 1974

2. PP No. 9 tahun 1975

3. KUH.Perdata

4. Hukum Adat (Parental, Patrilineal, Matrilineal).

5. KHI

Karena terdapat keragaman aturan atau sistem hukum, maka harus bisa menerapkan
aturan hukum yang tepat sebagai landasan penyelsaian sengketa khususnya terkait harta
kekayaan perkawinan. Untuk bidang Hukum Keluarga khususnya Hukum Perkawinan sudah
memiliki UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP nya (PP No. 9 tahun 1975).
Hukum Keluarga adalah hubungan-hubungan hukum yang timbul dari kehidupan keluarga
sedarah, akibat perkawinan dan keturunan dalam KUHPerdata, hukum keluarga diatur dalam
buku pertama tentang orang, judul dan isinya tidak sesuai dengan materi hukum perseorangan
karena ternyata juga diatur matri hukum kekeluargaan. Bidang Hukum Keluarga merupakan
salah satu bidang hukum yang mempunyai sifat sensitif dan konflik.

Dalam hal harta kekayaan perkawinan telah diatur dalam Bab VII Pasal 35 sampai Pasal
37 UUP dan tidak diatur lebih lanjut dalam PP No 9 tahun 1975. Keberadaan UUP mengenai
harta kekayaan perkawinan telah menghasilkan multitafsir yaitu, dianggap belum berlaku
efektif karena tidak diatur dalam PP, serta dianggap sebagai pasal jadi sehingga tidak
memerlukan adanya PP. perkawinan yang sah menimbulkan beberapa akibat, yakni :

1. Terciptanya hubungan suami istri;

2. Tercipta hubungan antara orang tua dan anak

3. Tercipta harta kekayaan perkawinan


Pada praktiknya, hukum harta kekayaan perkawinan mengalami kerancuan pada lingkup
pengadilan, lingkup notaris dan lingkup KC. Di lingkup Peradilan, problem penerapan aturan
(antara PN yang satu dengan lainnya, bahkan dalam satu PN tidak terdapat kesatuan persepsi),
di kalangan Notaris, penerapan landasan aturan (baik HKP + PK) dan problem kewenangan
bertindak, serta di Lingkup KCS, pendaftaran PK. Sumber dalam pengaturan hukum perkawinan
dalam UUP yakni dengan mengambil oper konsep harta perkawinan dari Hukum Adat yang
bersifat pariental. Macam – macam harta dalam perkawinan yang termuat dalam Pasal 35 UUP
antara lain :

(1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2). Harta bawaan dari masing masing suami & isteri dan harta benda yang diperoleh masing
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.

Akibat hukum mengenai harta bersama adalah meliputi seluruh harta suami isteri baik
yang sudah ada ataupun yang akan ada. Pada saat terjadinya perkawinan, maka berlakulah
persatuan bulat harta kekayaan dalam perkawinan antara suami isteri. Tidak menutup
kemungkinan harta kekayaan dalam perkawinan terdapat harta milik pribadi masing-masing
suami isteri. Bentuk harta bersama itu dapat berupa benda berwujud atau juga tidak berwujud.
Yang berwujud dapat meliputi benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga
sedangkan yang tidak berwujud dapat berupa hak atau kewajiban.

Berkaitan dengan harta bersama ini Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang hak
dan kewajiban suami isteri dalam hal pengurusan harta bersama yang menyatakan dalam Pasal
36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bahwa mengenai harta bersama suami atau isteri
dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Jadi atas dasar pasal tersebut dapat
diketahui bahwa kedudukan suami isteri terhadap harta bersama adalah sama yang berarti:

1. Suami dapat bertindak atas harta bersama setelah ada persetujuan isteri;

2. Sebaliknya isteri dapat bertindak atas harta bersama setelah mendapat persetujuan dari
suami.
Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum kawin, baik diperolehnya
karena mendapat warisan atau usaha-usaha lainnya, disebut harta bawaan, harta bawaan
dikuasai masing-masing pemiliknya yaitu suami atau isteri. Artinya, seorang isteri atau suami
berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya masing-
masing. Apabila suami isteri menentukan hal lain seperti yang dituangkan dalam perjanjian
perkawinan, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian tersebut.
Demikian pula apabila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-
masing pemiliknya, kecuali apabila telah ditentukan dalam perjanjian perkawinan.
Hal tersebut di atas terdapat pada Pasal 35 ayat 2 UU No.1 tahun 1974 dikatakan bahwa
harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan hal lain. Dan terdapat pula pada Pasal 36 ayat 2 UU No.1 tahun
1974 yaitu “Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengeni harta bendanya”. 

Anda mungkin juga menyukai