Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

NAMA : JUWITALIA S.Kep


NIM : 03.2020.052
NAMA PEMBIMBING : Ns. WANTO SINAGA M.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
KURNIA JAYA PERSADA PALOPO
TAHUN 2020/2021
A. Defenisi

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai


Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran
pernafasan yang progresif dan ireversibel; terjadi bersamaan bronkitis kronik,
emfisema atau kedua-duanya (Snider, 2003).

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah penyakit tunggal, tetapi


merupakan satu istilah yang merujuk kepada penyakit paru kronis yang
mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan. Secara klinis, bronkitis kronik
didefinisikan sebagai manifestasi batuk kronik yang produktif selama 3 bulan
sepanjang dua tahun berturut-turut. Sementara emfisema didefinisikan sebagai
pembesaran alveolus di hujung terminal bronkiol yang permanen dan abnormal
disertai dengan destruksi pada dinding alveolus serta tanpa fibrosis yang jelas.

The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)


guidelines mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan gangguan
pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi yang
abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas yang
berbahaya (Kamangar, 2010).

Sementara menurut Affyarsyah Abidin, Faisal Yunus dan Wiwien Heru


Wiyono (2009), PPOK adalah penyakit paru kronik yang tidak sepenuhnya
reversibel, progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal
terhadap partikel dan gas yang berbahaya. Kata “progresif” disini berarti semakin
memburuknya keadaan seiring berjalannya waktu (National Heart Lung and Blood
Institute, 2009).

Menurut kami PPOK adalah sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung


lama, penyakit ini biasanya menyerang orang orang pecandu rokok. Yang ditandai
dengan adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitis kronis atau
empisema.
A. Etiologi PPOK
1.  Asap rokok
2. Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala
respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada
orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita COPD bergantung pada “dosis
merokok”nya, seperti umur orang tersebut mulai merokok, jumlah rokok yang
dihisap per hari dan berapa lama orang tersebut merokok.Enviromental tobacco
smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat mengalami gejala-gejala respiratorik
dan COPD dikarenakan oleh partikel-partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga
mengakibatkan paru-paru “terbakar”.Merokok selama masa kehamilan juga dapat
mewariskan faktor resiko kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan paru-paru dan perkembangan janin dalam kandungan, bahkan
mungkin juga dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.
3. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)
4. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang, kayu
bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk
memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya. Sehingga IAP
memiliki tanggung jawab besar jika dibandingkan dengan polusi di luar ruangan
seperti gas buang kendaraan bermotor. IAP diperkirakan membunuh 2 juta wanita
dan anak-anak setiap tahunnya.
5. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan.
6. Infeksi saluran nafas berulang
7. Jenis kelamin
8. Dahulu, COPD lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita. Karena
dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa ini
prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan
pola dari merokok itu sendiri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok
wanita lebih rentan untuk terkena COPD dibandingkan perokok pria.
9. Status sosio ekonomi dan status nutrisi
10. Asma
11. Usia
B. Patofisiologi PPOK
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai
hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi.

Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi
adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah. perfusi adalah
distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan
restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa
perlambatan aliran udara di saluran napas.(Sherwood, 2011)

Pada PPOK, hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama yang
diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran napas bagian proksimal,
perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi
yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya penebalan pada saluran
napas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam
dinding luar saluran napas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan napas. Lumen
saluran napas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat
inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit.

Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di
paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan
menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat
menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi
lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi.
Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan
menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8 dan
leukotrien B4, tumuor necrosis factor (TNF),
monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS).

Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang


akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar
dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya
limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan
normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang
ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul
oksigen menjadi anion superoksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase.

Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan
menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah
menjadi anion hipohalida (HOCl). Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok.
Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia.

Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu


sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam
jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi
terhambat.

Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan
akibat mukus yang kental dan adanya peradangan. Komponen-komponen asap rokok
juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator
peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat
hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Parenkim paru kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran
udara kolaps , sehingga dapat terjadi sesak nafas (GOLD, 2015).

C. Manifestasi klinis
1. Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:
 Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater).
 Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).
2. Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:
 Kelemahan badan
 Batuk
 Sesak napas.
 Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
 Mengi atau wheeze
 Ekspirasi yang memanjang
 Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.
 Penggunaan otot bantu pernapasan.
 Suara napas melemah.

D. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP) Obstruksi ditentukan oleh nilai
VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan parameter yang paling
umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian
pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
2. Radiologi (foto toraks) Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru
berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler
meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-
kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi
pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit
paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.
3. Laboratorium darah rutin
4. Analisa gas darah
5. Mikrobiologi sputum. (GOLD, 2009).

E. Penatalaksanaan
1. Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian dari
eksaserbasi sangat berhubungan dengan terjadinya asidosis respiratorik, adanya
komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi (GOLD, 2009). Penanganan
eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau
di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi
akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan
dilakukan di poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau
ruang ICU (PDPI, 2003).
2. Bronkodilator Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK
adalah short-acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum
tercapai, direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun bukti ilmiah
efektivitas kombinasi ini masih kontroversial. Walaupun penggunaan klinisnya
yang luas, peranan metilxantin dalam terapi eksaserbasi masih kontroversial.
Sekarang metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan sebagai terapi lini
kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari penggunaan short-acting inhaled
B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan long-
acting inhaled B2-agonists dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid selama
eksaserbasi (GOLD, 2009).
Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan peningkatan
dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang tepat,
nebulizer dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan
penggunaan nebulizer yang memakai oksigen sebagai kompresor, karena
penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi
CO2. Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama dengan bronkodilator
lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di
rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan
nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya
palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (PDPI, 2003).

3. Kortikosteroid Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan


terapi pada penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti yang direkomendasikan
tidak diketahui, tetapi dosis tinggi berhubungan dengan risiko efek samping yang
bermakna. Dosis prednisolon oral sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari adalah
efektif dan aman (GOLD, 2009). Menurut PDPI (2003), kortikosteroid tidak
selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat
sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat
berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek
samping.
4. Antibiotik Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada
(GOLD, 2009): a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu
peningkatan volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan
sesak b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan
purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut c. Pasien eksaserbasi yang
memerlukan ventilasi mekanik. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola
kuman setempat dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian
antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat
jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya diberikan kombinasi dengan makrolid, dan
bila ringan dapat diberikan tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan di Puskesmas
yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II: Ampisilin
kombinasi Kloramfenikol, Eritromisin, kombinasi Kloramfenikol dengan
Kotrimaksasol ditambah dengan Eritromisin sebagai Makrolid (PDPI, 2003).

5. Terapi Oksigen Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama
dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di
ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau
SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi
retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang
sedikit sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan
kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan
apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan
PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus
digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).

6. Ventilasi Mekanik Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK


eksaserbasi berat adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki
gejala. Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik
yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi
mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan
penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan
intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa Randomized Controlled
Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten menunjukkan hasil
positif dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa
NIV memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi pernapasan, derajat
keparahan sesak, dan lamanya rawat inap di rumah sakit atau di institusi
lain(Gold , 2009)

F. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal
napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas
kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan
PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan
purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang
berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi
berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai
oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan
(Hidayat, Azis Alimul. 2008)
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Observasi :
   Aktivitas/Istirahat
   Sirkulasi
   Integritas ego
   Makanan/Cairan
   Higiene
   Pernapasan
   Keamanan
   Seksualitas
   Interaksi social
   Penyuluhan dan pembelajaran
2. Wawancara :
 Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan bernapas ?
 Apakah aktivitas meningkatkan dispnea ? Jenis  aktivitas apa ?
 Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas ?
 Kapan selama siang hari pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
 Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh ?
 Apa yang pasien ketahui tentang penyakit dan kondisinya ?:
 Berapa frekuensi nadi dan pernapasan pasien ?
 Apakah pernapasan sama dan tanpa upaya ?
 Apakah pasien mengkontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi ?
 Apakah pasien mneggunakan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan
?
 Apakah tampak sianosis ?
 Apakah vena leher pasien tampak membesar ?
 Apakah pasien mengalami edema perifer ?
 Apakah pasien batuk ?
 Apa warna, jumlah, dan konsistensi sputum pasien ?
 Bagaimana status sensorium pasien ?
 Apakah terdapat peningkatan stupor ? kegelisahan ?

3. pemeriksaan fisik
 Inspeksi
a. Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
b. Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)
c. Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas.
d. Pelebaran sela iga
 Perkusi
a. Hipersonor
 Auskultasi
a. Fremitus melemah,
b. Suara nafas vesikuler melemah atau normal.
c. Ekspirasi memanjang
d. Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
e. Ronki
B. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,


peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2.  Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen.
5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap
kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.
9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas,
depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak
mengetahui sumber informasi.

C. Intervensi
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien
Intervensi keperawatan :
a. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
b. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan
batuk.
c. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
d. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam
hari sesuai yang diharuskan.
e. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu
yang ekstrim, dan asap.
f.  Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter
dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum,
peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.
g. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.
h. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap influenzae dan
streptococcus pneumoniae.

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi


dan iritan jalan napas.
Tujuan: Perbaikan pola pernapasan klien
Intervensi:
a. Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.
b. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat. Biarkan
pasien membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan tingkat toleransi
pasien.
c. Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi.


Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas
Intervensi keperawatan:
a. Deteksi bronkospasme saat auskultasi.
b. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
c. Berikan obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan waspada
kemungkinan efek sampingnya.
d. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu mengencerkan
sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
e. Pantau pemberian oksigen.

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan


kebutuhan oksigen.
Tujuan: Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas yang
mungkin.
Intervensi keperawatan:
a. Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan.
b. Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3 menit
kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
c. Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan treadmill
dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan perlahan
d. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan
berdasarkan pada status fungsi dasar.
e. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program latihan
spesifik terhadap kemampuan pasien.
f. Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama menjalankan
aktivitas untuk berjaga-jaga.
g. Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring lama
mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
h. Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien melakukan
aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan istirahat yang lebih
banyak atau dengan banyak bantuan.
i. Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan waktu diluar
tempat tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.

5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,


kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Intervensi keperawatan :
a. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan.
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
b. Auskultasi bunyi usus
c. Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
d. Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.
e. Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.
f.  Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.
g. Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.


Tujuan: Kebutuhan tidur terpenuhi
Intervensi keperawatan :
a. Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.
b. Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk
melakukan tindakan tersebut.
c. Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
d. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.
e. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.

7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan


upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan: Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri
Intervensi :
a. Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas seperti
berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki tangga.
b. Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat, istirahat
sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea berlebihan. Bahas
tindakan penghematan energi.
c. Ajarkan tentang postural drainage bila memungkinkan.

8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap


kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.
Tujuan: Klien tidak terjadi kecemasan
Intervensi keperawatan :
a. Bantu klien untuk menceritakan kecemasan dan ketakutannya pada perawat.
b. Jangan tinggalkan pasien sendirian selama mengalami sesak.
c. Jelaskan kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat mengalami sesak.

9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas,


depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
Tujuan: Pencapaian tingkat koping yang optimal.
Intervensi keperawatan:
a. Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan
pada pasien.
b. Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala.
c. Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.
d. Daftarkan pasien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.
e. Tingkatkan harga diri klien.
f. Rencanakan terapi kelompok untuk menghilangkan kekesalan yang sangat
menumpuk.

10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui


sumber informasi.
Tujuan: Klien meningkat pengetahuannya.
Intervensi keperawatan:
a. Bantu pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek; ajarkan
pasien tentang penyakit dan perawatannya.
b. Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok. Berikan informasi tentang sumber-
sumber kelompok
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis NANDA


NIC NOC. Yogyakarta : Media Action.

Global initiative for chronic obstructive lung disease, global strategy for diagnosis,
management and prevention of chronic obstructive lung disease 2009

Herdman,T.Heather.2010.Diagnosa Keperawatan: definisi dan klasifikasi 2009-2011.Jakarta


: EGC

Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis


Eksasebrasi Akut Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam Medis Pasien Rawat
Inap Di RSUD SRAGEN. Sragen : Jurnal Keperawatan.

Tamsuri, Anas .2008.Seri Asuhan Keperawtan Klien Gangguan Pernafasan.Jakarta : EGC

Tim PDPI.2008.Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Paru.Jakarta : Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai