Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi
adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah. perfusi adalah
distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan
restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa
perlambatan aliran udara di saluran napas.(Sherwood, 2011)
Pada PPOK, hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama yang
diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran napas bagian proksimal,
perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi
yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya penebalan pada saluran
napas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam
dinding luar saluran napas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan napas. Lumen
saluran napas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat
inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di
paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan
menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat
menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi
lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi.
Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan
menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8 dan
leukotrien B4, tumuor necrosis factor (TNF),
monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS).
Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan
menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah
menjadi anion hipohalida (HOCl). Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok.
Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia.
Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan
akibat mukus yang kental dan adanya peradangan. Komponen-komponen asap rokok
juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator
peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat
hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Parenkim paru kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran
udara kolaps , sehingga dapat terjadi sesak nafas (GOLD, 2015).
C. Manifestasi klinis
1. Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:
Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater).
Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).
2. Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:
Kelemahan badan
Batuk
Sesak napas.
Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
Mengi atau wheeze
Ekspirasi yang memanjang
Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.
Penggunaan otot bantu pernapasan.
Suara napas melemah.
D. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP) Obstruksi ditentukan oleh nilai
VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan parameter yang paling
umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian
pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
2. Radiologi (foto toraks) Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru
berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler
meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-
kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi
pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit
paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.
3. Laboratorium darah rutin
4. Analisa gas darah
5. Mikrobiologi sputum. (GOLD, 2009).
E. Penatalaksanaan
1. Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian dari
eksaserbasi sangat berhubungan dengan terjadinya asidosis respiratorik, adanya
komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi (GOLD, 2009). Penanganan
eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau
di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi
akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan
dilakukan di poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau
ruang ICU (PDPI, 2003).
2. Bronkodilator Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK
adalah short-acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum
tercapai, direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun bukti ilmiah
efektivitas kombinasi ini masih kontroversial. Walaupun penggunaan klinisnya
yang luas, peranan metilxantin dalam terapi eksaserbasi masih kontroversial.
Sekarang metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan sebagai terapi lini
kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari penggunaan short-acting inhaled
B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan long-
acting inhaled B2-agonists dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid selama
eksaserbasi (GOLD, 2009).
Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan peningkatan
dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang tepat,
nebulizer dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan
penggunaan nebulizer yang memakai oksigen sebagai kompresor, karena
penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi
CO2. Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama dengan bronkodilator
lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di
rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan
nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya
palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (PDPI, 2003).
5. Terapi Oksigen Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama
dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di
ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau
SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi
retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang
sedikit sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan
kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan
apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan
PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus
digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal
napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas
kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan
PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan
purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang
berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi
berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai
oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan
(Hidayat, Azis Alimul. 2008)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Observasi :
Aktivitas/Istirahat
Sirkulasi
Integritas ego
Makanan/Cairan
Higiene
Pernapasan
Keamanan
Seksualitas
Interaksi social
Penyuluhan dan pembelajaran
2. Wawancara :
Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan bernapas ?
Apakah aktivitas meningkatkan dispnea ? Jenis aktivitas apa ?
Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas ?
Kapan selama siang hari pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh ?
Apa yang pasien ketahui tentang penyakit dan kondisinya ?:
Berapa frekuensi nadi dan pernapasan pasien ?
Apakah pernapasan sama dan tanpa upaya ?
Apakah pasien mengkontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi ?
Apakah pasien mneggunakan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan
?
Apakah tampak sianosis ?
Apakah vena leher pasien tampak membesar ?
Apakah pasien mengalami edema perifer ?
Apakah pasien batuk ?
Apa warna, jumlah, dan konsistensi sputum pasien ?
Bagaimana status sensorium pasien ?
Apakah terdapat peningkatan stupor ? kegelisahan ?
3. pemeriksaan fisik
Inspeksi
a. Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
b. Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)
c. Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas.
d. Pelebaran sela iga
Perkusi
a. Hipersonor
Auskultasi
a. Fremitus melemah,
b. Suara nafas vesikuler melemah atau normal.
c. Ekspirasi memanjang
d. Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
e. Ronki
B. Diagnosa keperawatan
C. Intervensi
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien
Intervensi keperawatan :
a. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
b. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan
batuk.
c. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
d. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam
hari sesuai yang diharuskan.
e. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu
yang ekstrim, dan asap.
f. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter
dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum,
peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.
g. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.
h. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap influenzae dan
streptococcus pneumoniae.
Global initiative for chronic obstructive lung disease, global strategy for diagnosis,
management and prevention of chronic obstructive lung disease 2009
Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.