Anda di halaman 1dari 3

Cinta kepada Allah

Ma’rifatullah adalah sebagai pengarah yang akan meluruskan orientasi hidup seorang
muslim. Dari sinilah dia menyadari bahwa hidupnya bukan untuk siapapun kecuali hanya
untuk Allah . Mahabbah kepada Allah berarti mencintai Allah karena keagungan Allah,
Menurut Said Ramadhan Al-Buthy dalam bukunya yang berjudul “Qur‟an Kitab Cinta”, bahwa cinta
adalah ketergantungan hati kepada sesuatu sehingga menyebabkan kenyamanan dihati saat berada
didekatnya atau perasaan gelisah saat berada jauh darinya . Seorang muslim selayaknya
memahami bahwa keindahan cinta yang paling hakiki adalah ketika mencintai Allah swt.
Pondasi utama yang harus dibangun oleh seorang muslim untuk menggapai keindahan cinta
tersebut dengan mengenal Allah.

Menurut Imam Al-Ghazali, kadar cinta itu ditentukan oleh tiga faktor, yakni:

a. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma„rifah) dan pengetahuan.
b. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan.
c. Manusia tentu mencintai dirinya.

Selain itu sebab-sebab tumbuhnya cinta dalam diri kepada Allah adalah dikarenakan oleh berbagai
hal di bawah ini:

a. Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup.


b. Cinta kepada orang yang berbuat baik.
c. Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan.
d. Cinta kepada setiap keindahan.
e. Kesesuaian dan keserasian

Menurut Ahlul Mahabbah, mahabbah mempunyai tiga tingkat:

A. Cinta orang biasa, yaitu selalu mengingat Allah Swt dengan dzikir, suka menyebut
nama-nama Allah Swt dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya
serta senantiasa memuji-Nya
B. Cinta orang shidîq (jujur, benar), yaitu orang yang kenal kepada Allah Swt, seperti
kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, dan ilmu-Nya. Cinta ini dapat menghilangkan tabir
yang memisahkan diri seseorang dari Allah Swt, sehingga ia dapat melihat rahasia-
rahasia yang ada pada Allah Swt. Ia mengadakan dialog dengan Allah Swt dan
memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orang
sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifat-Nya sendiri, sementara hatinya
penuh dengan perasaan cinta dan selalu rindu kepada Allah Swt.
C. Cinta orang arîf, yaitu cinta orang yang tahu betul akan Allah Swt yang dilihat dan
dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang
menyebabkan seorang hamba (sufi) dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak
Allah Swt.

Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari
mengenal sifat-sifat tuhan dengan menyebut namanya melalui zikir, dilanjutkan dengan
leburnya diri (fana‟) pada sifat-sifat tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang
terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah sulfiyah. Selanjutnya cinta kepada Allah itu bukan
hanya pengakuan mulut bukan pula khayalan dalam angan-angan saja. Tetapi harus
disertai sikap mengikuti Rasŭlullah saw., melaksanakan petunjuknya, dan melaksanakan
manhaj-Nya dalam kehidupan.

Kebutuhan Manusia terhadap Rasul

Kata Rasul dalam bahasa Arab berarti utusan. Secara Istilah, rasul adalah seorang
manusia yang dipilih oleh Allah SWT kepada umat manusia untuk menyampaikan ajaraan
agama (ajaran mengesakan Allah). Definisi ini menggambarkan secara jelas bahwa rasul
merupakan manusia terbaik (pilihan) sehingga apa yang dibawa, dikatakan, dan dilakukan
oleh rasul merupakan sesuatu yang terpilih terbaik dan mulia. Setiap manusia diciptakan oleh
Allah SWT sesuai dengan fitrah. Fitrah berarti sesuai dengan kodrat penciptaan Allah. Fitrah
manusia selalu suci, bersih dan memiliki kecenderungan pada nilai nilai kebaikan dan hal-hal
positif. Keyakinan yang benar (beragama tauhid) juga merupakan bagian fitrah manusia,
sejak ia dilahirkan.

Salah satu fitrah manusia adalah mengakui Allah sebagai pencipta, juga keinginan untuk
beribadah dan menghendaki kehidupan teratur. Fitrah demikian perlu diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari melalui petunjuk Al-quran (firman-firman Allah) dan panduan sunnah
(keteladanan dari rasul). Oleh karena itu, manusia pada dasarnya tetap memerlukan keberadaan
rasul dan ajaran agama demi menerangi jiwa dan memberikan petunjuk bagi akal pikiran.
Peran rasul dalam kehidupan manusia sebagai teladan dalam segala hal kebaikan,
menghantarkan manusia pada sisi kehidupan dan martabat yang jauh lebih baik dan
berkualitas, secara lahiriyah dan rohaniyah.
Keberadaan rasul memperkuat fitrah manusia yang selalu ingin dibimbing dan
diarahkan kejalan yang lurus, yaitu jalan kehidupan yang selamat di dunia dan akhirat.
Manusia yang menjalankan perintah Allah adalah orang yang berpedoman pada perintah
rasul. Sebab diantara peran rasul adalah membimbing manusia untuk dapat mengenal,
mengabdi dan mencintai tuhannya berdasarkan petunjuk yang benar. Dua kalimat shahadat
pun terdiri dari pengakuan pada dua hal utama, yaitu mengakui dan meyakini eksistensi Allah
dan rasulnya

Hadits, J. T., Ushuluddin, F., Filsafat, D. A. N., Syarif, V. I. N., & Jakarta, H. (n.d.). Konsep
cinta menurut al-qur’ an.

Cinta, K., Hubb, A. L., Quraish, M. M., Dan, S., Ramadhan, M. S., Buthi, A. L., & Latif, M.
(2019). Konsep cinta “ al hubb” menurut m. quraish shihab dan m. said ramadhan al
buthi. http://e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5675/1/awal-akhir.pdf

Anda mungkin juga menyukai