Anda di halaman 1dari 26

TUGAS 1, 2, 3, dan 4

pada Pertemuan Rabu, 18 Maret 2020


KMB II

Disusun oleh :

Nama : Frina Meisha Andita Wineyni

NIM : PO.62.20.1.18.092

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN


PALANGKARAYA

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

2020
TUGAS 1

A. Tanda Rangsangan Meningeal, diantaranya adalah sebagai berikut:


1. Tanda Kaku-Kuduk
Pasien tidur telentang tanpa bantal. Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah
kepalapasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan ( fleksi) dan
diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya
tahanan. Bila terdapatkaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat
mencapai dada. Kaku kudukdapat bersifat ringan atau berat.

2. Tanda Laseque
Pasien baring terlentang, lakukan fleksi pada sendi panggul pada waktu tungkai
dalam sikap lurus. Bila timbul nyeri di lekuk iskhiadikus atau tahanan pada waktu
fleksi <70 derajat.

3. Tanda Kernig
Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya padaper
sendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawahdiek
stensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135
derajatterhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang
dari sudut135 derajat, maka dikatakan kernig sign positif.

4. Tanda Brudzinski I
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan
dibawahkepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi
sebaiknyaditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudia
n kepalapasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Hasil Pemeriksaan
:Test ini adalahpositif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di
sendi lutut dan panggulkedua tungkai secara reflektorik

5. Tanda Brudzinki II
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada sendi
lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. 
Hasil Pemeriksaan : Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai
kontralateral pada sendi lutut danpanggul ini menandakan test ini postif.
B. Pemeriksaan Saraf Kranial
12 Syaraf Kranial dan Cara Pemeriksaannya, yaitu antaralin :
1. Nervus Olfaktorius (Saraf Otak I)
Fungsi : Saraf sensorik, untuk penciuman.
Cara Pemeriksaan : Pasien memejamkan mata, dan membedakan bau yang
dirasakan seperti teh, kopi, dll.

2. Nervus Optikus (Saraf Otak II)


Fungsi : Saraf sensorik, untuk penglihatan
Cara pemeriksaan : Memeriksa ketajaman penglihatan dengan tabel Snellem,
hitung jari, gerakan tangan, penglihatan dekat dengan membaca buku. Lapangan
penglihatan yaitu pasien dan pemeriksa duduk/berdiri berhadapan jarak 60-100
cm, pasien menutup satu mata dan pemeriksa menutup juga satu mata yang
berlawanan dengan mata pasien ditutup, pemeriksa menggerakkan tangan dari
arah luar lapang pandang atas, bawah, dari kedua sisi. Dengan alat
kampimetri/perimetri.

3. Nervus Okulomotorius (Saraf Otak III)


Fungsi : Saraf sensorik, untuk mengangkat kelopak mata keatas, kontriksi pupil
dan sebagian gerakan ekstraouler.
Cara Pemeriksaan : Tes putaran bola mata, menggerakkan konjungtiva, refleks
pupil dan inspeksi kelopak mata.

4. Nervus Trochklearis (Saraf Otak IV)


Fungsi : Saraf motorik, gerakan mata kebawah dan kedalam
Cara Pemeriksaan : Tes putaran bola mata, menggerakkan konjungtiva, rerfleks
pupil dan inspeksi kelopak mata.

5. Nervus Trigeminus (Saraf Otak V)


Fungsi : Saraf motorik, gerakan mengunyah, sensai wajah lidah dan gigi, refleks
kornea dan refleks kedip.
Cara Pemeriksaan : Menggerakkan rahang kesemua sisi, pasien memejamkan
mata, sentuh dengan kapas atau dahi pada pipi, menyentuh permukaan kornea
dengan kapas.
6. Nervus Abducens (Saraf Otak VI)
Fungsi : Saraf motorik, deviasi mata ke lateral
Cara Pemeriksaan : Tes putaran bola mata, menggerakkan konjungtiva, refleks
pupil dan inspeksi kelopak mata.

7. Nervus Fasialis (Saraf Otak VII)


Fungsi : Sarak motorik, untuk ekspresi wajah
Cara Pemeriksaan : senyum, bersiul, mengangkat alis mata, menutup kelopak
mata denga tahanan, menjulurkan lidah untuk membedakan gula dan garam.

8. Nervus Vestibulo koklearis (Saraf Otak VIII)


Fungsi : Saraf sensorik, untuk pendengaran
Cara Pemeriksaan : mendengarkan tangan pemeriksa, detik arloji, tes Rinne
Webber.

9. Nervus Glosofaringeus (Saraf Otak IX)


Fungsi : saraf sensorik dan motorik, untuk sensasi rasa
Cara Pemeriksaan : Pasiem suruh membuka mulut, lihat palatum dan uvula.
Ucapkan aaa, normal dinding pharing terangkat simetris, uvula ditengah bekerja
sama dengan N X.

10. Nervus Vagus (Saraf Otak X)


Fungsi : Saraf sensorik dan motorik, refleks muntah dan menelan
Cara Pemeriksaan : Menyentuh faring posterior, pasien menelan saliva, pasien
mengucapkan aah.

11. Nervus Aksesorius (Saraf Otak XI)


Fungsi : Saraf motorik, utuk menggerakkan bahu
Cara Pemeriksaan : Pasien dimita menoleh kesatu sisi melawan tangan pemeriksa,
pasien disuruh mengangkat bahu pemeriksa menahan kebawah.

12. Nervus Hipoglosus (Saraf Otak XII)


Fungsi : Saraf motorik, untuk gerakan lidah
Cara Pemeriksaan : Pasien disuruh menjulurkan lidah dan menggerakkan dari sisi
ke sisi.
C. Pemeriksaan Motorik
1. Bentuk otot : observasi apakah ada hipotrofi, atrofi, hipertrofi.
2. Tonus otot (ketegangan otot dalam keadaan istirahat) : diraba otot bandingkan
kanan kiri. Tonus meninggi akan dirasakan ada tahanan.
3. Kekuatan otot, dinilai dalam derajat kekuatan :
5 : Normal seluruh gerakan dapat dilakukan dengan tahanan maksimal
4: Dapat melawan gaya berat dan melawan tahanan ringan dan sedang dari
pemeriksa.
3 : Dapat melawan gaya berat tetapi tidak dapat melawan tahanan daro pemeriksa
2 : Otot hanya dapat bergerak bila gaya berat dihilangkan
1 : Kontraksiv otot minimal dapat terasa pada otot bersangkutan tanpa
mengakibatkan gerakan.
0 : Tidak ada kontraksi otot sama sekali. Paralisis total.
4. Cara berdiri/berjalan
5. Gerakan spontan abnormal

D. Pemeriksaan Refleks
1. Refleks Fisiologis
a).Biceps
Ketokan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m. biseps brachii,
posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku, muncul respon fleksi lengan pada
sendi siku.
b). Triceps
Ketukan pada tendon otot triseps brachii, posisi lengan fleksi pada sendi siku
dan sedikit pronasi, muncul respons ekstensi lengan bawah disendi siku.
c). Ulnaris
Ketukan pada periosteum procesus styloigeus
d). Radialis
Ketukan pada periosteum ujung distal os radii, posisi lengan setengah fleksi
dan sedikit pronasi, muncul respons : fleksi lengan bawah di sendi siku dan
supinasi karena kontraksi m. brachioradialis.
e). Patella
Ketukan pada tendon patella, akam muncul respons ekstensi tungkai bawah
karena kontraksi m. quadriceps Femoris.
f). Achilles
Ketukan pada tendon Achilles, akan muncul.
2. Reflek Patologis
a). Babinski
Telapak kaki digores dari tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu
jari, timbul dorso fleksi ibu jari dan pemekaran jari-jari lainnya.
b). Chadock
Tanda Babinski akan timbul dengan menggores punggung kaki dari arah
lateral kedepan.
c). Openheim
Mengurut tibia dengan ibu jari, jari telunjuk, jari tengah dari lutut menyusur
kebawah.
Tugas 2

1. Jelaskan pengertian pemeriksaan CT Scan


CT (Computed Tomography) Scan adalah prosedur yang menggabungkan serangkaian
gambar X-ray yang diambil dari berbagai sisi di sekitar tubuh seseorang. Pemeriksaann
ini menggunakan komputer untuk membuat gambar cross-sectional tulang, pembuluh
darah, dan jaringan lunak yang ada di dalam tubuh orang tersebut. Prosedur ini
menunjukkan gambar yang lebih detail daripada X-ray biasa. (halodoc.com)
CT Scan adalah pemeriksaan yang non-invasif dan sederhana. Pasien diminta
berbaring di atas meja periksa yang akan masuk ke dalam mesin CT Scan, berbentuk
seperti terowongan. Sebelum melakukan CT Scan, dokter akan melakukan pemeriksaan
terlebih dahulu untuk konsultasi dan persiapan. Biasanya pasien diminta untuk puasa
selama beberapa jam jika pasien melakukan CT Scan dengan disuntik cairan kontras.
Sebelum melakukan CT Scan, sebaiknya pasien mengabari dokter mengenai alergi yang
dimiliki, pengobatan yang sedang dilakukan, atau kondisi khusus lainnya seperti
kehamilan. (awalbros.com)

2. Indikasi CT Scan
CT Scan dapat membantu menegakkan diagnosis :
a. Stroke iskemik / hemoragik
b. Trauma kepala
c. Tumor otak
d. Kalsifikasi di otak
e. Malformasi otak; agenesis korpus kalosum, scizencephali,dll
f. Abses otak
g. Hidrosefalus
3. Apakah gambaran CT Scan :
a. Hipodens
Sinar-X yang melalaui jaringan otak yang mengalami iskemia atau infark akan
tampak lebih hitam dari jaringan otak yang normal hal ini disebut sebagai gambaran
hipodens. Lesi hipodens (bagian gelap) berbentuk baji luas pada hemisfer dekstra,
sesuai dengan area a cerebri media disetai midline shift sejauh beberapa centimeter,
sesuai gambaran stroke infark emboli.

b. Hiperdens
Bagian yang tidak dilalaui sinar-X akan tampak sebagai gambaran putih dan disebut
hiperdens hal ini disebabkan karena tidak adanya sinar-X yang diubah oleh detektor
menjadi listrik untuk ditampilkan di komputer Gambaran lesi hiperdens (daerah
berwarna putih) di lobus oksipital kiri. Volume 2x3x4/2=12 cc.
Tugas 3
A. PENGERTIAN

1. Posisi Supine
Posisi supine adalah posisi pasien terbaring terlentang dengan kedua tangan
dan kaki lurus dalam posisi horizontal. Posisi ini merupakan posisi yang paling
lazim.
Tujuan posisi ini banyak digunakan pada pasien tirah baring (bedrest) untuk
memberikan posisi yang nyaman dan pada perawatan tulang belakang.
Prosedur :
1.      Memberitahu pasien
2.      Mencuci tangan
3.      Tempatkan pasien dalam posisi terlentang di tempat tidur
4.      Letakan bantal dibawah kepala
5.      Jika diperlukan,dapat ditempatkan :
a.       Handuk kecil dibawah spina lumbal apabila terdapat kontra indikasi
b.      Gulung handuk kecil/guling dibawah lutut sampai mengangkat tumit
c.       Papan menahan kaki dibawah telapak kaki pasien untuk mencegah pasien
melorot
d.      Bantal dibawah lengan bawah yang telungkup untuk mempertahankan lengan
atas sejajar tubuh.
6.      Merapikan tempat tidur.
7.      Mencuci tangan.

2. Posisi Lateral
Posisi Lateral adalah posisi pasien berbaring miring pada satu sisi tubuh.
Tujuan posisi ini baik digunakan untuk pasien yang membutuhkan istirahat
atau tidur yang baik. Posisi lateral juga menghilangkan tekanan pada sakrum dan
tumit.
Prosedur :
1.      Identifikasi kebutuhan pasien akan posisi lateral.
2.      Lakukan prosedur 2-7 seperti pada posisi flower.
3.      Kaji daerah-daerah yang mungkin tertekan pada posisi tidur ini, seperti
ischium, telinga bawah, pipi, lateral maleolus tumit bawah, medial maleolus tumit
atas, dan trokanter major.
4.      Atur tempat tidur pada posisi datar. Ambil semua bantal dan perlengkapan
lain yang digunakan pada posisi sebelumnya. Letakkan bantal pada tempat tidur
pasien bagian atas. Atur posisi pasien pada bagian atas tempat tidur. Ajak pasien
bekerja sama.
a.       Tekuk lutut pasien dan anjurkan untuk meletakkan tangan di atas dadanya.
b.      Letakkan satu tangan anda di bawah paha pasien.
c.       Angkat dan tarik pasien sesuai yang diinginkan, mintalah pasien untuk
mendorong kakinya.
5.      Bantu pasien miring
6.      Letakkan bantal di bawah kepala dan leher.
7.      Atur posisi bahu di bawah sedikit fleksi dan agak condong ke depan, lengan
atas didukung dengan bantal setinggi bahu.
8.      Letakkan bantal yang keras pada punggung pasien untuk menstabilkan posisi.
9.      Letakkan dua atau lebih bantal di antara kedua kaki pasien dengan posisi kaki
sebelah atas semifleksi. Bantal harus menyangga tunggkai dengan baik, dari lipat
paha hingga kaki.
10.  Evaluasi tindakan yang telah dilakukan dengan menilai rasa nyaman pada
pasien.
11.  Rapikan alat-alat dan cuci tangan.
12.  Catat tindakan yang telah dilakukan.

B. PROSEDUR LANGKAH-LANGKAH
1. Pengkajian yang tepat
Tetap perhatikan ABC (Airway, Breathing, Circulation).
2. Mobilisasi & Stabilisasi kepala & leher → Pasang collar neck.
3. Memindahkan pasien dari posisi supine menuju posisi lateral paling sedikit 4
orang dengan hati – hati.
4. Orang pertama memegang kepala pasien dengan cara memegang bagian leher
dengan kedua tangan, lalu lengan bagian bawah hingga siku menjepit kepala
pasien, orang kedua memegang bahu kiri dan pinggang bagian kiri pasien,
orang ketiga memegang pinggang bagian kiri dan lutut bagian belakang
sebelah kiri pasien, orang keempat memegang betis kiri dan pergelangan kaki
kiri pasien.
5. Pada hitungan ketiga pasien di ubah posisinya dari posisi supine menuju posisi
lateral.
Tugas 4

A. PENGERTIAN

1. Pengertian Cedera Kepala

Brunner dan Suddarth (2001), menjelaskan cedera kepala adalah cedera

yang terjadi di kulit kepala, tengkorak dan otak.

Berdasarkan pengertian yang dijelaskan oleh pakar di atas bahwa

pengertian stroke adalah gangguan fungsi otak yang diakibatkan oleh berkurangnya

atau berhentinya suplai oksigen ke otak baik karena embolus maupun trombus

sehingga mengakibatkan kematian jaringan otak yang bisa mengakibatkan

kelumpuhan maupun kematian bagi penderitanya.

2. Klasifikasi Cedera Kepala

Menurut NANDA (2015): klasifikasi cedera kepala dibedakan menjadi 2, yaitu:

1) Berdasarkan Patologi

a) Cedera Kepala Primer

cedera kepala primer merupakan cedera awal yang dapat menyebabkan

gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut, yang

menyebabkan kematian sel.

b) Cedera Kepala sekunder

Cedera kepala sekunder merupakan cedera yang terjadi setelah trauma

sehingga dapat menyebabkan kerusakan otak dan TIK yang tidak

terkendali, seperti respon fisiologis cedera otak, edema serebral,

perubahan biokimia, perubahan hemodinamik serebral, iskemia serebral,

hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.


2) Berdasarkan jenis cedera

a) Cedera kepala terbuka

Cedera kepala terbuka adalah cedera yang menembus tengkorak dan

jaringan otak sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan

laserasi diameter.

b) Cedera kepala tertutup

Cedera kepala tertutup merupakan cedera gegar otak ringan dengan cedera

serebral yang luas.

3) Berdasarkan Glasgown Coma Scale

a) Cedera Kepala Ringan (Minor), dengan ciri-ciri:

 GCS 14-15

 Dapat terjadi kehilangan kesadaran dan amnesia <30 menit

 Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusia serebral dan hematoma

b) Cedera Kepala Sedang, dengan ciri-ciri:

 GCS 9-13

 Kehilangan kesadaran dan dan amnesia >30 menit namun tidak

lebih dari 24 jam

 Dapat mengalami fraktur tengkorak, contusia serebral, laserasia

dan hematoma intrakranial

c) Cedera Kepala Berat, dengan ciri-ciri:

 GCS 3-8

 Kehilangan kesadaran, amnesia lebih dari 24 jam

 Mengalami kontusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranial


3. Etiologi

Menurut Nanda (2015) mekanisme cedera kepala meliputi:

1) Cedera Akselerasi, yaitu ketika objek bergerak menghantam kepala

yang tidak bergerak

2) Cedera Deselerasi, yaitu ketika kepala yang bergerak membentur

objek yang diam

3) Cedera akselerasi-deselerasi, sering dijumpai dalam kasus

kecelakaan bermotor dan kekerasan fisik

4) Cedera Coup-countre coup, yaitu ketika kepala terbentur dan

menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat

mengenai area tulang tengkorak

5) Cedera Rotasional, yaitu benturan/pukulan yang menyebabkan otak

berputar dalam tengkorak, sehingga terjadi peregangan atau

robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh

darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.

Menurut Yasmara dkk (2006) Cidera kepala secara umum disebabkan oleh

beberapa faktor seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pukulan

pada kepala, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, luka tembak, atau cidera saat

lahir.

Arifin dkk (2013) menambahkan bahwa hipoksia dan hipoperfusi

merupakan faktor penyebab utama. Penyebab lainnya adalah eksititixisitas,

kerusakan akibat radikal bebas, gangguan regulasi ion, mediator inflamasi, tekanan

tinggi intrakranial dan hipertermia.


4. Manifestasi Klinis

Pada pemeriksaan klinis biasanya memakai pemeriksaan GCS yang dikelompokkan

menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat.

Kondisi cedera kepala yang dapat terjadi yaitu:

a. Komosio serebri, yaitu kehilangan fungsi otak sesaat karna pingsan < 10

menit atau amnesia pasca cedera kepala, namun tidak ada kerusakan jaringan

otak.

b. Kontusio serebri, yaitu kerusakan jaringan otak dan fungsi otak karna

pingsan > 10 menit dan terdapat lesi neurologik yang jelas. Kontusio serebri

lebih sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal dibandingkan bagian

otak lain.

c. Laserasi serebri, yaitu kerusakan otak luas yang disertai robekan durameter

dan fraktur terbuka pada kranium.

d. Epidural hematom, yaitu hematom antara durameter dan tulang. Sumber

perdarahan berasal dari robeknya arteri meningea media. Epidural hematom

biasanya ditandai dengan penurunan kesadaran dengan ketidaksamaan

neurologis sisi kiri dan kanan. Jika perdarahan > 20 cc atau > 1 cm midline

shift > 5 mm akan dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan.

Gambaran CT scan didapatkan area hiperdens dengan bentuk bikonvek atau

letikuler antara 2 sutura.

e. Subdural Hematom (SDH), yaitu terkumpulnya darah antara durameter dan

jaringan otak, dapat terjadi akut atau kronik. hematom dibawah lapisan

durameter dengan sumber perdarahan dari bridging vein, a/v cortical, sinus

venous. Gejala-gejalanya antara lain nyeri kepala, bingung, mengantuk,

berpikir lambat, kejang dan udem pupil. Secara klinis dapat dikenali dengan
penurunan kesadaran disertai dengan adanya laterasi yang paling sering

berupa hemiparese/plegi. Gambaran CT scan didapatkan hiperdens yang

yang berupa bulan sabit (cresent).

f. Subarachnoid Hematom (SAH), yaitu perdarahan fokal di daerah

subarachnoid. Gejala klinis hampir menyerupai kontusio serebri. Pada

pemeriksaan CT scan didapatkan lesi hiperdens yang mengikuti arah girus-

girus serebri didaerah yang berdekatan dengan hematom.

g. ICH (Intracerebral Hematom), yaitu perdarahan yang terjadi pada jaringan

otak nyang terjadi akibat robekan pembuluh darah yang ada pada jaringan

otak. Pada pemeriksaan CT scan terdapat lesi perdarahan antara neuron otak

yang relatif normal.

h. Fraktur basis kranii (misulis KE, head TC), yaitu fraktur dari dasar tengkorak

(temporal, oksipital, sphenoid dan etmoid). Terbagi menjadi 2 yaitu fraktur

anterior (melibatkan tulang etmoid dan sphenoid) dan fraktur posterior

(melibatkan tulang temporal, oksipital dan beberapa bagian tulang sphenoid).

Tanda-tanda dari fraktur basis kranii yaitu:

a) Ekimosis periorbital (racoon’s eyes)

b) Ekimosis mastoid (battle’s sign)

c) Keluar darah berserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga

(rinore atau otore)

d) Kelumpuhan nervus cranial

5. Pemeriksaan Penunjang

a. Foto polos tengkorak (skull X-ray)

b. Angiografi serebral
c. Pemeriksaan MRI

d. CT scan: Indikasi muntah-muntah, penurunan GCS lebih dari 1 point, adanya

laterasi dan bradikardi (nadi<60x/menit), fraktur impresi dengan lateralisasi

tidak sesuai, tidak ada perubahan selama 3 hari perawatan dan luka tembus

benda tajam/peluru.

Pemeriksaan diagnostic

a. Laboratorium

 GDA untuk menentukan adanya masalah ventilasi atau oksigenasi dan

peningkatan tekanan intrakranial (TIK).

 Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan yang

memperberat peningkatan TIK, sedangkan peningkatan laju dari

metabolisme dan diaforesis dapat menyebabkan hipernatremia.

b. Pencitraan

 CT scan diperlukan untuk mengidentifikasi adanya hematoma,

hemoragi, kontusia, fraktur tengkorak, pembengkakan atau

pergeseran jaringan otak.

 MRI untuk memeriksa defisit neurologis yang tidak terdeteksi oleh

CT scan.

c. Prosedur Diagnostik

 EEG diperlukan untuk mengidentifikasi adanya gelombang patologis.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pengkajian asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala

“Pengkajian Pola Kesehatan Fungsional” adalah sebagai berikut :


a. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan Utama

Keluhan utama pada pasien gangguan sistem saraf biasanya akan terlihat

bila sudah terjadi disfungsi neurologis, keluhan yang didapatkan meliputi

kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat

berkomunikasi, konvulsi, sakit kepala hebat, tingkat kesadaran menurun

(GCS <15), akral dingin dan ekspresi rasa takut.

2) Riwayat Kesehatan Sekarang

Pada gangguan neurologis riwayat penyakit sekarang yang mungkin

didapatkan meliputi adanya riwayat jatuh, keluhan mendadak lumpuh pada

saat pasien sedang melakukan aktivitas, keluhan pada gastrointestinal

seperti mual muntah bahkan kejang sampai tidak sadar di samping gejala

kelumpuhan separuh badan.

3) Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian riwayat penyakit dahulu diarahkan pada penyakit penyakit yang

dialami sebelumnya yang kemungkinan mempunyai hubungan dengan

masalah yang dialami klien sekarang seperti adakah riwayat penggunaan

obat obat, tekanan darah tinggi.

4) Riwayat Penyakit Keluarga

Pengkajian riwayat penyakit keluarga diarahkan pada penyakit penyakit

yang terjadi pada keluarga pasien secara garis keturunan maupun yang

tinggal serumah yang dapat mempengaruhi kesehatan pada pasien. Buat

genogram untuk mengetahui alur keturunan jika terdapat faktor penyakit

keturunan.
5) Pola Metabolik

Kaji kesulitan menelan dan adanya mual muntah (yang berkaitan dengan

perdarahan).

6) Pola Eliminasi

Kaji adanya inkontinensia urin atau feses.

7) Pola Aktivitas

Kaji adanya kelemahan pada satu sisi tubuh (hemiplegi).

8) Pola Persepsi

a) Kaji pasien apabila tidak memahami penjelasan dari apa yang telah

terjadi atau menanggapi pertanyaan.

b) Kaji pasien saat mengeluh pusing, mengantuk, sakit kepala, leher kaku,

dan merasakan nyeri atau sakit di kaki.

c) Kaji pola pikir pasien, emosi labil dan perubahan perilaku.

9) Pola Istirahat

Kaji gejala-gejala dari trombosis saat tiduratau saat bangun tidur.

10) Kardiovaskular

Kaji adanya hipertensi atau hipotensi.

11) Paru-paru

Kaji respirasi pasien apakah terjadi takipnea atau bradhipnea.

12) Neurologis

Kaji adanya kejang, perubahan tingkat kesadaran, kaku kuduk, gangguan

memori, kebingungan, perdarahan retina, hemiparalise, hemianopia (defisit

bidang visual pada satu atau kedua mata), apraxia (keridakmampuan untuk

melakukan tindakan terarah), afasia reseptif (ketidakmampuan untuk

memahami kata-kata) atau ekspresif (ketidakmampuan untuk mengucapkan


kata-kata), agnosia (ketidakmampuan untuk mengenali obyek secara detail),

disorientasi, ukuran pupil yang abnormal, disfagia, dan defisit sensorik.

13) Integumen

Kaji Cappilary Refill Time (CRT), turgor kulit dan adanya tanda sianosis.

2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Diagnosa dan fokus intervensi menurut Holloway (2004) adalah :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret.

Tujuan : Mempertahankan jalan napas paten dan mencegah komplikasi paru,

dengan kriteria hasil pasien tidak sesak nafas, tidak terdapat ronchi, wheezing

maupun terdapat suara nafas tambahan, tidak terdapat retraksi otot bantu

pernafasan, pernafasan teratur (16-20 x/menit).

Intervensi:

1) Posisikan pasien lebih tinggi dari jantung atau miring jika memungkinkan.

Posisikan pasien dengan tepat agar tidak menghambat ekspansi dada.

2) Berikan terapi oksigen sesuai advice.

3) Posisikan pasien yang mengalami hemiplegi dengan tepat agar tidak

menghambat atau memperberat ekspansi dada.

4) Dorong pasien untukmelakukan batuk efektif (kecuali pada pasien dengan

CVA hemoragik) dan nafas dalam setiap 2 jam saat terjaga. Lakukan

suction jika diperlukan karena terjadi penumpukan secret.

5) Nilai suara paru setidaknya setiap 4 jam. Perhatikan juga kecukupan upaya

pernapasan, tingkat dan karakteristik pernapasan, dan warna kulit. Selidiki

kegelisahan segera, terutama pada pasien afasia.

6) Evaluasi kemampuan menelan pasien. Jika pasien mengalami kesulitan

menelan bantu atau mengamati makan pasien.


b. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan iskemia

jaringan otak.

Tujuan : Meningkatkan perfusi jaringan otak dengan kriteria hasil pasien tidak

gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang, GCS E4, M6, V5, pupil

isokor, refleks cahaya baik, tanda-tanda vital normal (tekanan darah : 100-

140/80-90 mmHg, nadi : 60-100 x/menit, suhu : 36-36,7ºC, RR : 16-20x/menit).

Intervensi:

1) Nilai status neurologis, memeriksa tingkat kesadaran, orientasi, kekuatan

kaki, respon di bawah naungan, dan tanda-tanda vital setiap jam. Laporkan

setiap ada kelainan atau perubahan, terutama penurunan kesadaran dan

mengalami kelemahan, kegelisahan, ukuran pupil yang tidak sama,

pelebaran tekanan nadi, kejang, sakit kepala parah, vertigo, pingsan, atau

mimisan.

2) Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30º dengan letak jantung dan berikan

oksigen tambahan sesuai advice.

3) Monitor tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi

pernapasan.

4) Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.

c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular.

Tujuan : Meminimalkan efek imobilitas dan mencegah komplikasi yang terkait

dengan kriteria hasil adalah mempertahankan posisi yang optimal dibuktikan

dengan tidak adanya kontraktur, mempertahankan atau meningkatkan kekuatan

dari fungsi bagian tubuh yang terkena, mendemonstrasikan perilaku yang

memungkinkan melakukan aktivitas, serta mempertahankan integritas kulit.


Intervensi:

a) Menjaga aligment fungsional dalam posisi pasien saat istirahat, bantu pasien

saat melakukan mobilisasi.

b) Latih gerakan aktif pasif dan berbagai latihan gerak untuk semua ekstremitas

setidaknya empat kali sehari. Meningkatkan tingkat aktivitas yang diizinkan,

tergantung pada penyebab CVA. Kolaborasi dengan fisioterapi untuk

merencanakan jadwal rehabilitasi dengan pasien dan keluarga.

c) Dorong pasien untuk melakukan perawatan diri semaksimal mungkin jika

tidak ada kontraindikasi.

d) Pantau pasien jika terdapat tanda komplikasi tromboemboli. Laporsegera

setiap nyeri dada, sesak napas, nyeri, kemerahan atau bengkak di ekstremitas.

Kolaborasi pemberian obat anti trombolitik.

e) Ubah pasien dari sisi ke sisi setidaknya setiap 2 jam, tempat tidur tetap bersih

dan kering.

f) Pertahankan eliminasi yang memadai. jika pasien terpasang kateter latih

kembali sesegera mungkin, menurut sebuah protokol yang ditetapkan atau

perintah medis. Jika pasien tidak tidak terpasang tawarkan pispot setiap 2

jam. Amati urin pantau jumlah dan warna. memberikan pelunak tinja dan

pencahar, seperti yang diperintahkan dan memantau frekuensi dan

karakteristik buang air besar. Memberikan jaminan bahwa usus dan kandung

kemih dapat mengkontrol dengan baik seperti biasa kembali selama

rehabilitasi.

d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan cedera otak.

Tujuan : Meminimalkan efek dari defisit persepsi dan meningkatkan fungsi

neurologis dengan kriteria hasil adalah memperthankan tingkat kesadaran dan


fungsi perceptual, mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya

kemampuan residual.

Intervensi:

1) Bangun kedekatan dengan menggunakan secara meyakinkan dan tenang,

kontak mata, dan sentuhan. Memanggil pasien dengan nama panggilannya.

2) Lindungi pasien dari cedera pada sisi yang terjadi hemiparalise. Berikan

pengingat reguler untuk melihat dan menyentuh sisi yang terkena

hemiparalise.

3) Pastikan bahwa makanan dan benda-benda di samping tempat tidur di

tempatkan baik dalam bidang visual pasien.

e. Resiko tinggi gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak.

Tujuan : Membangun sarana komunikasi yang efektif, dengan kriteria hasil

adalah terciptanya komunikasi dimana kebutuhan pasiendapat terpenuhi,

pasienmampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.

Intervensi :

1) Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana.

2) Hargai kemampuan pasiendalam berkomunikasi.

3) Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien.

4) Kolaborasi ke ahli terapi wicara.

f. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan serta perawatan.

Tujuan : Diharapkan keluarga dan pasien dapat memahami proses dan

prognosis penyakit dan pengobatannya dengan kriteria hasil adalah

berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang

kondisin / prognosis dan aturan, setalah itu memulai perubahan gaya hidup yang

diperlukan.
Intervensi:

1) Analisa kurangnya pengetahuan pada keluarga klien.

2) Jelaskan kepada keluarga bahwa beberapa emosi pada pasien labil

umumnya terkait dengan cedera otak tetapi perilaku seperti itu biasanya

menurun dari waktu ke waktu. mendorong keluarga membantu

pasiendengan bimbingan lembut secara emosional dan fisik, menunjukkan

rasa kasih sayang dan kesabaran serta dapat menggunakan humor.

3) Berikan sikap penerimaan dan pengertian dan tidak memperburuk ledakan

emosional.

4) Ajarkan pasien dan keluarga tentang semua pengobatan yang harus dibawa

ke rumah, seperti antihipertensi, antikoagulan, dan obat-obatan agregasi

antiplatelet.

5) Pengobatan pasien dilanjutkan di rumah untuk terapi antikoagulan, berikan

petunjuk tentang obat, dosis, dan waktu pemberian : Kebutuhan untuk

sering cek laboratorium sebagai tindak lanjut untuk menentukan

persyaratan dosis, tanda masalah perdarahan (melena, petechiae, mudah

memar, hematuria, epistaksis) dan pentingnya untuk melaporkan pada

petugas medis, langkah-langkah untuk mengontrol perdarahan, menghindari

trauma.

6) Ajarkan pentingnya modifikasi gaya hidup untuk meminimalkan risiko

kekambuhan CVA seperti kontrol tekanan darah, mengontrol berat badan,

berhenti merokok, kontrol diabetes, modifikasi diet, dan pengurangan

stress.
3. Implementasi Keperawatan

Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan tindak keperawatan yang

telah di tentukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.

Pelaksanaan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang

telah di susun pada tahap perencanaan. Implementasi dilakukan sesuai prioritas

masalah dan kondisi pasien yang memungkinkan.

4. Evaluasi

Menurut Doenges (2000), evaluasi adalah tahapan yang menentukan apakah tujuan

dari intervensi tersebut tercapai atau tidak. Evaluasi dilakukan menggunakan metode

SOAP. Dan hasil yang diharapkan sebagai indikator evaluasi asuhan keperawatan

pada penderita stroke yang tertuang dalam tujuan pemulangan adalah :

a. Bersihan jalan nafas baik dan paten.

b. Perfusi jaringan otak efektif.

c. Pasien dapat melakukan mobilitas mandiri.

d. Fungsi neurologis pasien dapat meningkat secara bertahap, pasien dapat

menelan.

e. Proses komunikasi pasien dapat berfungsi secara optimal.

f. Keluarga dan pasien dapat memahami proses dan prognosis penyakit dan

pengobatanya.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan

Cedera kepala adalah dimana kepala yang mengalami benturan karena jatuh atau
juga karena terkena benda tertentu yang menyebabkan sakit kepala atau bahkan sampai
tidak sadarkan diri.
Cedera kepala primer merupakan cedera awal yang dapat menyebabkan gangguan
integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut, yang menyebabkan kematian
sel.
Cedera kepala sekunder merupakan cedera yang terjadi setelah trauma sehingga
dapat menyebabkan kerusakan otak dan TIK yang tidak terkendali, seperti respon
fisiologis cedera otak, edema serebral, perubahan biokimia, perubahan hemodinamik
serebral, iskemia serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.

Anda mungkin juga menyukai