Anda di halaman 1dari 8

Kesetaraan Gender: fakta atau mitos?

Oleh Ken Budha Kusumandaru*

Baru-baru ini, MetroTV menayangkan satu liputan mengenai kampanye “Jangan Bugil di depan Kamera.”
Kampanye ini ditujukan untuk menangkal maraknya video adegan seks amatir yang beredar di internet. Sejak
peristiwa yang dikenal sebagai “Bandung Lautan Asmara,” seakan orang berlomba membuat video seks yang
makin lama makin spektakuler. Di samping itu, salah satu produk pembalut wanita memakai tagline “Stay
Virgin, Stay Healthy” – jaga keperawanan, jaga kesehatan.

Perda-perda yang mendiskriminasi perempuan juga makin lama makin banyak. Mau tidak mau, aku teringat
program-program tayangan televisi dan kampanye publik yang konon dilancarkan di Amerika di pertengahan
1950-an. Nuansanya sama – yang paling menyolok adalah tekanan represif terhadap peran seksualitas
perempuan. Aku jadi tergugah untuk meneliti kembali peran seks dan gender dalam masyarakat manusia.
Dan, cara yang terbaik untuk ini adalah dengan kembali pada penelusuran sejarah, terutama perjalanan
evolusi mahluk hidup sampai menghasilkan spesies yang kita sebut Manusia.

1. Laki-laki dan perempuan, sebuah strategi evolusi

Di bumi ini, kita hanya mengenal dua macam cara untuk mengadakan reproduksi (proses menghasilkan
keturunan), yakni seksual dan aseksual. Proses reproduksi aseksual terjadi dengan apa yang disebut
reproduksi vegetatif atau membelah diri. Virus, bakteri dan beberapa bentuk kehidupan yang lebih sederhana
mengandalkan cara ini untuk reproduksi. Sementara yang seksual mengandalkan pembedaan sel reproduktif
menjadi sel “jantan” dan “betina”. Yang kita sebut “tumbuhan” berada di perbatasan antara kedua cara ini,
seringkali kita membiakkan tumbuhan melalui proses vegetatif (misalnya dengan setek atau kultur jaringan)
tapi normalnya perbiakan tumbuhan terjadi melalui proses seksual (yakni pembuahan putik bunga oleh
serbuk sari). Sementara “hewan” melakukan proses perbiakan secara eksklusif dengan proses seksual.

Proses aseksual diperkirakan muncul pada sekitar 4 Ga (Giga annum = milyar tahun lalu) dalam bentuk
penggandaan RNA (ribonucleicacid – asam ribonukleat, bahan dasar yang berfungsi menyampaikan materi
genetik), yang kemudian disusul bentuk yang lebih maju yakni virus. Namun demikian, proses ini belum lagi
dapat disebut “pembiakan” dalam pengertian modern. Walau demikian, hal ini cukup mengejutkan karena
berarti jarak antara pembentukan bumi (diperkirakan 4,5 Ga) dengan munculnya benih-benih kehidupan di
bumi hanya berjarak 500 juta tahun – waktu yang relatif singkat dalam sejarah bintang-bintang. Pembiakan
aseksual pertama, pada mahluk yang saat ini kita golongkan sebagai hidup, muncul sekitar 2,5 Ga.
Pembiakan aseksual ini berkembang menjadi pembiakan seksual, yang diperkirakan mulai muncul pada 1 Ga
(1 milyar tahun tahun lalu). Diperkirakan, inilah saat awal kemunculan Kingdom Fungi (jamur) dan Animalia
(hewan) di muka bumi. Setelah bergulat dengan keadaan “hidup-belum-mati-sudah tidak”, yakni keadaan
viral (bentuk kehidupan seperti virus) selama hampir 1,5 milyar tahun, dan menghabiskan 1,5 milyar tahun
berikutnya dalam cara perbiakan aseksual, kehidupan di bumi “menemukan” cara berbiak lain yang lebih
canggih.

Tapi, sampai 1 milyar tahun lalu, bentuk kehidupan di bumi ini hanya berupa sel-sel tunggal. Baik
digolongkan sebagai bakteri, jamur maupun hewan, bentuk kehidupan masih sangat sederhana, yakni
masing-masing “individu” hanya terdiri dari satu sel saja. Bentuk kehidupan multi-selular (bersel banyak)
muncul pada 500 Ma (Million annum = juta tahun lalu). Yang menakjubkan, desain dasar dari bentuk-
bentuk kehidupan yang muncul dalam apa yang disebut “Ledakan Kambrian” ini tetap tidak berubah sampai
sekarang. Berbagai macam variasi bentuk kehidupan kita lihat berganti memenuhi muka bumi, tapi desain
dasarnya tetap sama – terutama pola reproduksi seksual.

Jadi, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan (atau “jantan” dan “betina” secara lebih umum)
merupakan satu strategi evolusi yang telah berusia sekurangnya 1 milyar tahun. Dan, kita lihat dari garis
perjalanan evolusi kehidupan di muka bumi, begitu pola reproduksi seksual muncul, perkembangan
kehidupan berjalan dengan amat cepatnya. Selama sekurangnya 3 milyar tahun, evolusi hanya menghasilkan
mahluk-mahluk bersel tunggal. Tapi, begitu perbiakan seksual terjadi, hanya dibutuhkan 500 juta tahun
untuk munculnya mahluk bersel-banyak. Dan dalam 500 juta tahun berikutnya, kita melihat kemunculan
mahluk-mahluk yang makin lama makin menakjubkan, yang raksasa seperti dinosaurus atau yang cerdas
seperti manusia.

Jika kita anggap sejarah bumi ini terjadi dalam 24 jam dan bumi terbentuk pada pukul 00.00 tengah malam,
benih-benih kehidupan mulai muncul pada pukul 02.40 pagi. Mahluk “hidup” yang berbiak secara aseksual
muncul sekitar pukul 08.00 pagi. Sekitar pukul 16.00 sore, perbiakan seksual mulai terjadi. Mahluk bersel
banyak mulai menampakkan diri pada pukul 18.40 petang. Dinosaurus mulai merajai bumi pada pukul 23.00
malam dan punah pada pukul 23.39. Proses evolusi ke arah manusia dimulai pada pukul 23.58 lewat 5 detik.
Manusia purba mulai menggunakan alat pada pukul 23.59 lewat 22 detik. Dan Homo sapiens mulai
merambah permukaan bumi pada pukul 23.59 lewat 58 detik. Jika kita menggunakan bumi sebagai tolok
ukur, kita ini baru sekejap mata saja ada di muka bumi. Dan dalam sekejap ini, manusia sudah sampai di
tahap yang mampu menggulingkan proses evolusi alami. Ini adalah kasus klasik dari proses negasi dari
negasi, di mana yang baru akan menggulingkan yang lama – dan jarak antar penggulingan ini terjadi semakin
lama semakin pendek.

Hal ini dimungkinkan karena perbiakan seksual memaksa terjadinya kocok ulang dalam materi genetik
kehidupan, yakni RNA dan DNA (deoxyribonucleicacid – asam deoksiribonukleat, materi genetik, bahan
dasar pembentuk sel yang diwariskan pada keturunan). Jika perbiakan terjadi secara vegetatif atau aseksual,
keturunan biasanya hampir sama persis dengan induknya. Kita harus menunggu terjadinya mutasi yang
signifikan sebelum keturunan menghasilkan sesuatu yang berbeda. Itupun belum tentu menghasilkan hal

1
yang menguntungkan dalam proses adaptasi terhadap lingkungan. Kebanyakan mutasi mati atau layu
sebelum berkembang. Proses pengembangan bentuk-bentuk kehidupan berjalan amat lambat jika dilakukan
dengan proses aseksual. Tapi, dengan proses seksual, hanya setengah dari rantai DNA jantan yang terlibat
dalam proses perbiakan. Setengahnya lagi datang dari yang betina. Ini memaksa proses kocok ulang dan
perubahan yang signifikan terjadi pada keturunan. Yang kita lihat sekarang, semua hasil keturunan dari
proses seksual selalu mirip dengan induk (“ibu” dan “ayah”)-nya. Tapi sama sekali tidak sama. Keturunan
adalah individu yang berbeda susunan genetiknya dari mereka yang menurunkannya.

Strategi perbiakan seksual merupakan hal yang menguntungkan bagi evolusi karena memungkinkan
munculnya perubahan-perubahan yang sesuai dengan perubahan dalam lingkungan alam di mana mahluk
tersebut hidup.

2. Permainan gender, strategi keberlangsungan spesies

Ketika perbiakan seksual muncul pertama kali, bentuknya masih sangat sederhana – misalnya yang kita lihat
pada tumbuhan. Pada kebanyakan jenis tumbuhan, putik dan tepung sari ada di satu bunga, atau bunga
jantan dan betina muncul bersamaan di pohon yang sama. Ada jenis lain yang telah membedakan antara
pohon jantan dan pohon betina, tapi jenisnya tidak banyak. Agar terjadi pembiakan seksual, sifat tepung sari
yang ringan dan mudah dibawa angin merupakan kuncinya. Dengan mudahnya tepung sari lepas dari
wadahnya, angin dan beberapa jenis serangga dapat membantu perbiakan seksual – yang pada tumbuhan
kita sebut penyerbukan.

Persoalannya menjadi lebih rumit di dunia hewan, di mana pembedaan antara mahluk jantan dan mahluk
betina sudah berlangsung semakin lama semakin sempurna. Beberapa di antara anggota dunia hewan yang
lebih sederhana masih menyisakan sistem perbiakan tumbuhan, yakni yang kita sebut hermafrodit
(berkelamin ganda), seperti belut. Kerumitan ini muncul dari proses perbiakan ini sendiri. Dengan
pembedaan yang tajam antara jantan dan betina, dibutuhkan proses kopulasi (injeksi sel jantan kepada sel
betina). Proses kopulasi adalah proses yang (di alam liar) membahayakan, karena dua mahluk yang terlibat
dalam proses ini harus mencurahkan perhatian pada proses ini sehingga ia akan rentan pada ancaman
pemangsa atau bahaya lain di sekitarnya. Hewan-hewan tidak bisa begitu saja melakukan kopulasi di
manapun dan kapanpun – karena mereka bisa dimangsa ketika sedang melakukannya. Oleh karena bahaya
ini, maka masing-masing spesies hewan mengembangkan cara-cara untuk memberi tanda agar proses ini
dapat dilakukan secara paling ekonomis. Ekonomis di sini berarti saat di mana proses kopulasi dipastikan
menghasilkan keturunan (yakni ketika si betina berada dalam masa subur) dan bagaimana proses ini dapat
menghasilkan keturunan dengan kualitas terbaik (artinya si betina mendapatkan benih dari pejantan
berkualitas unggul). Salah satu proses evolusi terpenting dalam dunia hewan adalah pengasahan terhadap
kemampuan anggota spesies menerapkan efisiensi dan efektivitas dalam perbiakan seksualnya.

Oleh karena proses peningkatan efisiensi dan efektivitas inilah kita menemui berbagai perilaku dan
perubahan struktur tubuh yang digunakan hewan-hewan dalam proses yang kita sebut “musim kawin”.
Pemastian bahwa betina berada dalam masa subur seringkali dilangsungkan dengan mekanisme di mana
masa subur itu hanya terjadi dalam waktu tertentu dalam setahun – ini terutama terjadi pada hewan yang
bersifat sosial atau berkumpul dalam kawanan. Pada rentang waktu yang relatif sempit ini, hampir semua
betina yang telah mencapai kematangan seksual (mampu menghasilkan sel telur) mengalami masa subur
secara bersamaan. Dengan demikian, begitu banyak pasangan melakukan kopulasi pada saat bersamaan. Ini
meningkatkan persentase peluang untuk bertahan hidup, karena pemangsa cukup memilih salah satu atau
beberapa pasangan, sementara pasangan lain akan selamat. Ini prinsip yang disebut “keamanan dalam
kawanan” (safety in numbers) – prinsip yang digunakan juga dalam aksi massa, di mana orang yang berada
di tengah barisan dan berdisiplin biasanya adalah orang yang selamat ketika aksi massa mengalami represi.

Cara lain yang digunakan beragam dan begitu menakjubkan. Gajah betina, misalnya, mengabarkan bahwa ia
sedang subur dengan menghentakkan kakinya dengan irama tertentu. Getaran yang merambat di permukaan
tanah dapat “didengar” dengan indera khusus yang terdapat pada telapak kaki gajah jantan yang berada
sampai 4,5 kilometer jauhnya dari si betina. Dengan petunjuk kekuatan getaran dan arah datangnya, seekor
gajah jantan dapat menemukan si betina dengan mudah. Beberapa jenis kera lebih vulgar, karena bila si
betina sedang subur, ia akan berjongkok di depan para jantan, memamerkan alat kelaminnya, memancing
para jantan untuk mendekatinya. Rusa betina, di lain pihak, terasa lebih “sopan” karena mereka hanya
mengeluarkan bau khas ketika sedang subur. Dengan mengikuti petunjuk dari indera penciumannya, rusa
jantan akan menghampiri si betina.

Untuk proses pemilihan calon ayah terbaik (yang berkualitas paling unggul), proses evolusi juga
menghasilkan berbagai hal yang mencengangkan dan kadang tidak masuk akal kalau dipandang dari
pertimbangan evolusioner. Misalnya saja, kita tahu burung merak jantan akan memamerkan bulunya yang
lebat dan indah itu untuk memikat si betina. Ini agak aneh, karena warna bulu yang menyolok itu akan
mengundang predator (pemangsa). Berbagai jenis hewan berkuku belah (ungulata), seperti sapi, kuda atau
rusa, akan mengadu para jantan untuk memperebutkan hak kawin. Ini juga menyulitkan dalam proses
bertahan hidup, karena pejantan terkuat akan kelelahan setelah bertarung dan rentan terhadap pemangsa.

Para ahli masih belum yakin betul mengapa evolusi menghasilkan paradoks semacam ini. Tapi, teori yang
sementara ini diunggulkan adalah teori yang diusulkan Amotz Zahavi. Teori ini mengatakan bahwa, jika si
jantan masih dapat bertahan hidup sekalipun ia mengundang bahaya, inilah tanda bahwa dia benar-benar
pejantan unggul. Kita sendiri masih begitu sering melihat bagaimana seorang perempuan baik-baik, cerdas
dan cantik ternyata memilih seorang lelaki bajingan sebagai pasangan hidupnya. Tak terkira juga contoh di
mana seorang lelaki berusaha mengesankan pasangannya dengan menantang maut. Rayuan gombal yang
sering kita dengar, “Aku cinta padamu, belahlah dadaku,” barangkali bisa mewakili teori ini.

2
3. Battle of sexes, memperebutkan hak pewarisan

Jika diperhatikan, uraian di atas menunjukkan bahwa peran yang dimainkan betina jauh lebih vital dalam
proses evolusi dan pewarisan genetik – ketimbang yang jantan. Sejak evolusi menghasilkan tumbuhan jantan
dan betina, hanya yang betina yang berbuah. Proses ini jauh lebih nyata terlihat dalam dunia hewan –
terutama mamalia (hewan menyusui) dan aves (burung), yang proses evolusinya tergolong paling “baru”
dalam sejarah bumi.

Kini, proses menghasilkan telur dan proses mengandung merupakan proses yang menuntut enerji biosintetik
(proses menghasilkan jaringan tubuh) yang sangat besar. Enerji ini harus disediakan oleh si betina. Si
pejantan tidak dapat membantu dalam proses ini. Kelihatannya, ini tidak adil. Tapi, demikianlah cara evolusi
bekerja.

Dari sudut pandang ideologi kelas berkuasa saat ini, barangkali keadaan tersebut akan dilihat sebagai bukti
“superioritas pejantan” (male superiority) – di mana para pejantan dilihat sebagai penikmat waktu luang
(idle). Tapi, dari sudut pandangku, ini berarti para pejantan tidak memiliki peran penting dalam proses
evolusi, kecuali berfungsi sebagai gene pool (himpunan materi genetik) yang dapat dipilih oleh si betina
dalam memastikan agar keturunannya merupakan keturunan kualitas unggul. Si betina sudah pasti
mewariskan materi genetiknya, tapi si pejantan tidak bisa memastikan ia mendapat kesempatan mewariskan
gennya melalui proses perkawinan.

Karena perempuan yang ber-“investasi” lebih besar pada proses pewarisan ini, kebanyakan spesies
memasukkan mekanisme pencarian makanan secara lebih kuat pada para betinanya. Pada hampir semua
(kalau tidak dapat disebut “semua”) spesies, yang betina biasanya lebih cerdik dalam mencari makan dan
lebih ulet dalam berjuang mempertahankan hidup (tahan stress). Termasuk kasus ekstrim seperti laba-laba
Janda Hitam (Black Widow) yang terkenal itu, di mana si jantan biasanya dimakan oleh si betina segera
setelah proses kopulasi selesai. Si jantan sudah melakukan tugasnya menyampaikan materi genetik, kini ia
memberi sumbangan terakhir dengan memberi protein yang cukup bagi si betina dengan jalan
mengorbankan hidupnya sendiri.

Mekanisme evolusi yang secara umum sangat berat memihak para betina ini menimbulkan counter-measure
(mekanisme tandingan) dalam evolusi para jantan. Sekarang para ahli evolusi dan zoologi (ilmu hewan)
terutama yang menyangkut perilaku hewan, telah menemukan bahwa para pejantan melakukan hal-hal yang
ajaib bersangkutan dengan upayanya untuk mendapat bagian dalam memperbesar kesempatan mewariskan
materi genetiknya. Mekanisme ini meliputi perselingkuhan dan penipuan, misalnya, yang terjadi pada
burung Pied Flycatcher (sangat mirip dengan yang dilakukan manusia lelaki) bahkan juga infantisida
(pembunuhan balita) yang dilakukan di kebanyakan komunitas gorila.

Dalam kasus-kasus di mana proses evolusi memunculkan mekanisme tandingan bagi para jantan, para betina
berada dalam posisi dirugikan. Di satu pihak, ia tetap merupakan pihak yang menanam modal paling besar
dalam proses pewarisan keturunan. Tapi, seringkali usahanya ini menjadi sia-sia. Para betina Pied Flycatcher
yang tertipu dan dijadikan “selingkuhan” tidak mendapatkan tambahan makanan yang dibawakan si jantan,
karena yang jantan hanya membawakan makanan bagi betina pertama yang dikawininya (mirip dengan
manusiakah?). Akibatnya, banyak telur dari betina “selingkuhan” ini tidak menetas akibat kurang gizi. Yang
terjadi pada gorila betina bisa kita pandang lebih “tragis” karena sekian banyak enerji yang mereka curahkan
untuk menghasilkan keturunan mubazir begitu saja, ketika ada pejantan baru merebut kepemimpinan
kelompok dan membunuhi anak-anak dari kepala kelompok sebelumnya.

Kemunculan mekanisme tandingan ini memang bukan norma dalam dunia hewan. Tapi keberadaannya saja
sudah cukup membuktikan bahwa mekanisme yang sangat memihak para betina memang mendapat
tandingan dari mekanisme yang memihak para jantan. Ini kasus yang sangat bersesuaian dengan dialektika,
yakni apa yang bertentangan niscaya muncul bersamaan dan saling menyaratkan – sekaligus saling
menggulingkan.

Persoalan mana mekanisme yang akan dominan dipakai dalam satu spesies ditentukan oleh kemampuan
mekanisme itu dalam memastikan keberlangsungan hidup spesiesnya. Di sini, ternyata, battle of sexes
merupakan satu mekanisme alami dalam memperkuat peluang satu spesies dalam bertahan hidup.

4. Seksualitas dalam masyarakat manusia

Salah satu ciri yang menyolok dalam seksualitas manusia (secara spesifik adalah spesies Homo sapiens)
adalah ketidakmampuan perempuan untuk menunjukkan masa suburnya. Ini bukan hal yang umum terjadi
dalam dunia hewan, sekalipun beberapa hewan (terutama dari keluarga kera) juga menunjukkan hal ini – apa
yang dikenal sebagai “ovulasi (pematangan sel telur) tersembunyi.” Baik perempuan maupun laki-laki
memang menunjukkan ciri-ciri kematangan seksual – tumbuhnya rambut di tempat tertentu, perubahan
suara, “mimpi basah” pada lelaki atau pembesaran payudara pada perempuan. Tapi, tidak ada orang yang
bisa tahu apakah seorang perempuan sedang mengalami masa subur atau tidak dari penampilannya. Yang
kita tahu justru masa di mana seorang perempuan paling tidak subur – yakni saat menstruasi, di mana sel
telur yang gagal dibuahi dikeluarkan paksa oleh tubuh daripada membusuk di dalam rahim. Di masa kini,
ketika kita sudah mengenal siklus kesuburan perempuan, kita dapat memperkirakan dengan kalender
bilamana seorang perempuan mengalami masa subur. Itupun seringkali tidak memadai.

Menurut para ahli, tersembunyi kesuburan perempuan ini berkaitan erat dengan posisi tubuh yang
semakin lama semakin mengandalkan bipedalisme (bergerak dengan dua kaki), bukan empat kaki
sebagaimana kera. Posisi yang tegak ini memaksa posisi organ-organ peranakan perempuan tertarik lebih ke
belakang, untuk mencegah kerusakan pada janin apabila dibawa ke mana-mana sambil berlari.

3
Ini jelas tidak “menguntungkan” bagi kelangsungan reproduksi spesies ini. Ketidaktahuan individu
mengenai masa subur perempuan menyebabkan ketidakmampuan untuk menyelenggarakan aktivitas
perkembangbiakan di saat yang tepat. Maka, tak terhindarkan lagi, manusia terpaksa menyelenggarakan
aktivitas reproduksi sebagai aktivitas harian – bukan lagi musiman.

Untungnya bagi manusia, perkembangan evolusinya yang menyembunyikan masa subur perempuan
ini terjadi seiring dengan perbesaran otak dan semakin diandalkannya mekanisme sosial (budaya) dalam
pewarisan kemampuan bertahan hidup. Oleh karena itu, proses kawin-mawin pun kemudian terserap ke
dalam proses budaya ini pula. Barangkali, karena proses ini menjadi proses harian, manusia terpaksa
menjalankannya di tempat-tempat tersembunyi – untuk menghindar dari kemungkinan dimangsa ketika
sedang berkopulasi. Barangkali keharusan ini berkontribusi (merupakan satu faktor penting) dalam proses
mulai menetapnya manusia ke dalam gua-gua – satu hal yang tidak ditemui pada kebanyakan kera.

Tidak akan mengherankan jika kemudian manusia mengembangkan satu sistem budaya untuk
mewariskan cara perkawinan semacam ini, yakni dengan menandai bagian kelaminnya dengan pakaian.
Kalau kita berpegangan bahwa segala sesuatu berjalan dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks dan
rumit, maka bentuk paling sederhana dari budaya berpakaian (hanya menutupi kelamin) tentulah
merupakan cara berpakaian paling awal yang dikenal manusia. Dapat dibayangkan bahwa nenek-moyang
kita ingin memberi tahu: jangan dibuka di sembarang tempat, bahaya. Bahayanya bukan “kecelakaan” atau
kehamilan tak diinginkan seperti maknanya yang sekarang, tapi bahaya dimangsa hewan buas ketika sedang
berkopulasi.

Dengan sistem pewarisan sosial melalui pengajaran (yakni budaya), manusia meneruskan sistem ini
dari generasi ke generasi. Mengingat bahwa pewarisan budaya paling awal dalam sejarah manusia adalah
dalam bentuk tabu atau pamali, tidak akan terlalu mengherankan jika kemudian banyak komunitas manusia
yang menabukan ketelanjangan. Lama-kelamaan manusia lupa mengapa ia membuat ketelanjangan alat
kelamin menjadi sebuah tabu. Ia kemudian mengarang cerita untuk menjelaskan hal ini. Sampai sekarang
pun banyak orangtua masih lebih suka menakut-nakuti anaknya yang ingin tahu dengan cerita-cerita seram.
Sangat mungkin bahwa, sejak jaman dahulu, manusia sudah berkelakuan seperti itu juga: lebih suka
menakut-nakuti ketimbang berusaha mencari tahu kebenaran di balik satu peristiwa atau keadaan.

Satu hal lain yang penting dari lingkup reproduksi manusia adalah kenyataan bahwa semua bayi
manusia lahir dalam keadaan prematur. Kita kini mengartikan prematur sebagai “lahir sebelum masa
kandungan berusia 9 bulan 10 hari.” Tapi, sebenarnya, semua bayi manusia lahir dalam keadaan sama sekali
belum siap untuk dilahirkan. Semua bayi hewan lain telah memiliki kelengkapan bertahan hidup memadai
ketika lahir. Tapi, bayi manusia membutuhkan lima tahun, setidaknya, untuk mulai dapat menyamai tingkat
kesiapan alat-alat perlengkapan hidup seperti yang dimiliki seekor bayi sapi atau kerbau, misalnya, dalam
waktu beberapa menit. Seorang anak manusia membutuhkan setidaknya lima tahun lagi sampai ia mulai
memasuki masa kematangan seksual dan lima tahun berikutnya agar proses kematangan seksual itu selesai.

Kenyataan ini menimbulkan kerumitan tersendiri, karena “investasi” yang diperlukan dalam proses
pewarisan genetik menjadi berlipat ganda. Dan, nampaknya, jalur evolusi yang menghasilkan manusia
berlangsung terlampau cepat (hanya sekitar 6 juta tahun) sehingga alam belum lagi mengembangkan
mekanisme perawatan investasi, yang ditanam secara genetik ke dalam tubuh manusia. Perkembangan yang
terlampau cepat ini dijawab oleh manusia melalui proses sosial.

5. Jawaban sosial manusia atas problem seksualitas

Manusia menjawab persoalan ini dengan sistem sosial yang kini kita kenal dengan nama “keluarga”. Jangan
dulu dibayangkan bahwa sistem keluarga ini selalu tinggal tetap dari jaman ke jaman. Evolusi yang bekerja
pada alam juga bekerja pada sistem sosial, di mana satu sistem akan berkembang untuk mengatasi satu
situasi tertentu, dan akan terguling ketika situasi yang berubah menuntut pula perubahan pada sistem.

Ada begitu banyak bentuk yang diambil dalam sistem keluarga ini, tapi di sini aku akan mengikuti
penggolongan yang dibuat oleh Lewis Morgan, seorang etnolog (ahli kebudayaan manusia), di akhir abad ke-
19 lalu. Aku mengambil sistem penggolongan yang usianya sudah lebih dari 100 tahun ini semata karena
inilah salah satu upaya pertama manusia memahami pola reproduksinya sendiri.

Morgan membagi pola-pola reproduksi manusia ke dalam empat golongan:

1. Keluarga konsanguin (consanguine family), satu sistem perkawinan di mana lelaki dan perempuan di
satu generasi diperbolehkan kawin-mawin dengan bebas, tapi tidak dengan lelaki atau perempuan lain
dari generasi di atas atau di bawahnya. Dengan demikian, seorang lelaki adalah “ayah” bagi semua
anggota generasi di bawahnya, dan seorang perempuan akan dipanggil “ibu” oleh semua orang yang
satu generasi dengan anak kandungnya. Di abad ke-19 sekalipun sistem ini sudah tidak lagi
dipraktekkan orang. Hanya tinggal sisanya saja, seperti sistem sosial orang Hawaii, di mana seseorang
akan memanggil lelaki yang sebaya dengan ayah kandungnya sebagai “ayah” dan perempuan yang
sebaya dengan ibu kandungnya sebagai “ibu”.
2. Keluarga punaluan (punaluan family), sistem di mana, di samping larangan kopulasi antar generasi,
saudara sekandung juga tidak lagi diperbolehkan saling mengawini. Sampai akhir abad ke-19, sistem
ini masih banyak ditemukan di seluruh penjuru dunia. Di kepulauan Shakalin, misalnya, seorang
perempuan dari bangsa Gilyaks, yang menjadi istri seorang lelaki, secara otomatis turut mengawini
pula saudara kandung suaminya dan suami dari saudari-saudari sekandungnya. Demikian pula lelaki
itu, otomatis mengawini saudari kandung istrinya dan istri dari saudara-saudara sekandungnya. Sistem
kekerabatan ini diberi nama dari sistem serupa yang merupakan bagian kebudayaan Hawaii, di mana
para suami yang terikat pada istri yang sama (atau para istri yang terikat pada suami yang sama) saling

4
memanggil punaluan – yang artinya rekanan. Selain di kepulauan Shakalin dan Hawaii, sistem ini juga
ditemukan di tengah masyarakat Aborigin.
3. Keluarga berpasangan (pairing family), sistem di mana satu keluarga tinggal terdiri dari satu orang
lelaki dan satu orang perempuan, tapi hubungan ini dapat diputus oleh salah satu pihak tanpa ada
hambatan. Bentuk ini adalah transisi (peralihan) dari sistem keluarga berkelompok ke keluarga
individual. Seringkali dalam tahap transisi ini, sisa dari sistem lama masih tertinggal. Misalnya, pada
akhir abad ke-19 orang-orang di kepulauan Balearik (Spanyol) atau suku Bareas di Etiopia ditemui
menganut satu budaya di mana seorang perempuan yang menikah harus terlebih dahulu mengadakan
kopulasi dengan saudara-saudara suaminya, bahkan si suami mendapat giliran terakhir. Orang-orang
di Alaska dan suku Tahus di Meksiko bagian utara memiliki kebiasaan lain, di mana para shaman atau
pemimpin suku mendapat hak pertama setelah malam upacara pernikahan. Kebiasaan ini masih terus
tersisa di Eropa sampai abad pertengahan dalam bentuk hak primae noctis.
4. Keluarga berpasangan tunggal (monogamous family) adalah bentuk keluarga yang kita kenal saat ini.
Seharusnya, dalam keluarga semacam ini tidak ada lagi perselingkuhan, bigami (beristeri dua) atau
poligami (beristeri banyak). Tapi, itu angan-angan belaka. Perselingkuhan menjadi penyakit akut
dalam sistem monogami. Sementara beberapa lembaga masyarakat menganjurkan poligami, yang
kiranya merupakan sisa ingatan kolektif manusia atas sistem perkawinan kelompok – hanya saja dalam
poligami tidak dikenal kesetaraan derajat lelaki dan perempuan seperti dalam sistem perkawinan
kelompok. Monogami adalah sistem di mana kekuasaan laki-laki atas perempuan berada pada
puncaknya.

Penggolongan yang dibuat Morgan boleh jadi bukan penggolongan yang tepat atau dibenarkan oleh
data-data yang lebih modern. Namun demikian, tidak dapat disangkal lagi bahwa, pada awalnya, manusia
mengembangkan sistem perkawinan kelompok (group marriage) sebagai jawaban atas ketidakmampuan
spesies ini untuk mengetahui kapan para betinanya mengalami masa subur. Dengan adanya perkawinan
kelompok ini, ketika semua pria adalah “ayah” bagi anak-anak yang dilahirkan, masyarakat manusia
mengambil oper tanggungjawab pemeliharaan balita dari pundak individu.

Dengan model seperti ini, tidak terhindarkan lagi, akan terdapat anak-anak yang “kurang fit” karena
lahir dari bibit yang kurang baik (misalnya cacat atau menderita penyakit degeneratif, penyakit bawaan bayi).
Oleh karena itulah, barangkali, masyarakat manusia mengembangkan berbagai upacara akil-baliq (initiation
rituals) untuk menguji apakah seorang anak cukup sehat dan kuat untuk meneruskan keturunannya. Maka,
upacara-upacara ini biasanya mengandung horor yang luar biasa. Suku Wayana, di Guyana Perancis,
misalnya, mengharuskan para remaja lelaki atau perempuan melakukan upacara di mana seluruh tubuh
mereka disengat semut bakau. Mereka harus bertahan tanpa mengeluh selama jangka waktu yang
ditentukan. Siapa yang tidak lulus dinyatakan belum dewasa dan belum boleh menikah. Dalam buku-buku
karangan Karl May, yang banyak bercerita tentang kehidupan Indian Amerika, kita temui berbagai upacara di
mana anak-anak muda diharuskan bertahan dari bahaya maut, bahkan juga siksaan, sebelum dinyatakan
dewasa. Nampaknya, upacara ini ditujukan agar mereka yang lemah dan tidak fit tidak akan “mengotori”
himpunan genetik. Dengan kata lain, orang yang dianggap bukan bibit unggul tidak usah memiliki
keturunan. Ini, menurutku, adalah bentuk paling primitif dari eugenetika (pemilihan bibit unggul) yang pada
abad lalu diterapkan secara brutal dan membabi-buta oleh Hitler dengan membantai semua orang yang
dianggap cacat, sakit jiwa dan bodoh.

Penelitian sejarah menunjukkan bahwa, pada awalnya, manusia menjawab persoalan seksualitas
mereka dengan menjadikan aktivitas reproduksi ini sebagai bagian dari tanggungjawab masyarakat.

6. Seksualitas manusia dan sistem kepemilikan dalam masyarakatnya

Yang juga menarik adalah kenyataan bahwa perkembangan sistem perkawinan dalam masyarakat manusia
berjalan sejajar dengan perkembangan sistem kepemilikan di dalamnya. Semakin ke belakang, ketika
kepemilikan pribadi semakin menjadi raja, tanggungjawab untuk membesarkan balita juga semakin
ditumpangkan ke pundak pribadi-pribadi. Sistem kepemilikan menentukan hak penggunaan (utilisasi) atas
berbagai barang pemenuhan kebutuhan hidup. Karenanya, dalam masyarakat di mana berlaku sistem
kepemilikan komunal, distribusi atas barang pemenuh kebutuhan hidup juga diputuskan bersama. Ini
terlihat dalam berbagai macam suku bangsa yang masih hidup dalam tahap yang kini disebut “primitif” –
satu penyebutan penuh prasangka atas masyarakat yang masih menganut sistem kepemilikan bersama.

Perkembangan di mana keluarga semakin menjadi urusan individu, bukan lagi urusan masyarakat
atau urusan bersama, menurutku merupakan formasi yang merugikan bagi perempuan. Dengan
mempertimbangkan bahwa seorang laki-laki tidak akan pernah sanggup memberikan sumbangan berarti
dalam perawatan anak, beban untuk membesarkan keturunan jatuh sepenuhnya ke pundak perempuan.

Sialnya lagi, pergeseran dari model perkawinan kelompok ke model perkawinan perseorangan ini
terjadi di tengah berkembangnya masyarakat berkelas – yang membagi anggota masyarakat ke dalam kelas-
kelas penghisap dan kelas-kelas terhisap. Dalam kondisi ini, semakin tidak mungkin seorang laki-laki kelas
pekerja sanggup memberi nafkah yang mencukupi bagi proses perawatan anak (yang mencakup juga jatah
untuk sang induk, atau ibu). Seorang laki-laki kelas pekerja hanya akan dapat menghasilkan nafkah jika ia
mempekerjakan perempuan sebagai tenaga kerja di rumah tangganya.

Beberapa ahli mencurigai bahwa perubahan pola penghidupan masyarakat, dari berburu-
mengumpul ke pertanian, adalah biang keladi dari pergeseran pola kepemilikan dan pola perkawinan.
Pertanian membutuhkan banyak ketrampilan (skill) yang sifatnya hanya dapat dikuasai oleh individu –
karena untuk menguasai ketrampilan itu dibutuhkan begitu banyak waktu dan tenaga. Misalnya, teknik
pengolahan logam atau pembuatan gerabah. Demikian juga dengan ketrampilan bertanam satu jenis
tanaman atau merawat satu jenis ternak. Berlawanan dengan aktivitas berburu, yang sampai sekarang masih

5
tetap harus dilakukan secara kolektif, pertanian mendorong orang untuk mengkhususkan diri pada bidang
tertentu dari kerja pertanian itu.

Pertanian, pada awal kemunculannya, juga hanya memiliki satu pilihan untuk peningkatan hasil,
yakni dengan perluasan areal tanam (ekstensifikasi). Untuk keperluan ini, dibutuhkan begitu banyak tenaga
kerja tambahan. Tidak akan terlalu mengherankan kiranya jika masyarakat, setidaknya pada masa itu,
memutuskan untuk memberikan tugas khusus pada para perempuan – untuk menghasilkan tenaga kerja
ekstra itu. Kondisi di mana perempuan terikat pada proses reproduksi menyingkirkannya dari lapangan
produksi. Ia tidak lagi punya tenaga untuk aktif menghasilkan barang kebutuhan masyarakat. Ia juga tidak
punya waktu dan tenaga memadai untuk mempelajari khasanah pengetahuan yang dikumpulkan dengan
cepat oleh masyarkat bertani. Dengan demikian, peran perempuan dalam lapangan pengambilan keputusan
masyarakat pun terkikis.

Dari keterangan ringkas ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pergeseran dalam pola
kepemilikan, pola produksi masyarakat dan pola perkawinan merupakan kunci untuk memahami bagaimana
peran perempuan dalam masyarakat manusia mengalami pergeseran.

7. Masyarakat manusia hari ini dan beberapa potensi yang dikandungnya

Saat ini, masyarakat manusia sedang berada di tahap tertinggi sistem kepemilikan pribadi. Di titik tertinggi
ini, hampir tidak ada lagi kebersamaan di antara manusia. Pemujaan terhadap kepemilikan pribadi bahkan
telah menjadikannya salah satu “hak asasi manusia”, yang konon telah dimiliki seorang manusia begitu ia
dilahirkan. Kepentingan pribadi berada di atas segalanya, bahkan juga kepentingan umum. Sistem ekonomi-
politik manusia didasarkan pada asumsi bahwa yang baik bagi individu adalah baik bagi masyarakat – seperti
asumsi yang dilancarkan oleh Adam Smith, orang pertama yang menyusun pemahaman mengenai sistem
yang kini kita kenal sebagai “kapitalisme”.

Namun, dialektika menggariskan bahwa ketika satu hal dibawa ke titik ekstrimnya, ia akan mulai
berbalik kualitasnya. Semakin dekat satu hal ke titik ekstrimnya, akan semakin banyak unsur-unsur yang
sifatnya berkebalikan dengan hal tersebut, unsur-unsur yang akan menjadi tulang punggung bagi satu hal
yang baru, setelah menggulingkan dominasi penguasa lama.

Ini nampak jelas dalam dunia yang kini dikuasai sistem kapitalisme. Di tengah dunia ini, di mana
individualisme dipuja sebagai dewa, sistem produksinya sudah berlangsung begitu massal dan jejaringnya
mendunia. Tidak ada lagi orang yang dapat disebut “menguasai satu bidang pekerjaan”. Setiap orang
(betapapun jeniusnya) hanya dapat menguasai satu aspek saja dari himpunan pengetahuan yang dibutuhkan
untuk menghasilkan satu jenis barang. Tanpa kerja bersama, proses produksi di jaman kapitalis ini tidak
akan jalan.

Proses spesialisasi (pengkhususan kerja), yang di awal kemunculannya membiakkan individualisme,


kini juga mulai memunculkan banyak hal yang sifatnya justru mendorong terjadinya kerja bersama. Dengan
spesialisasi, proses produksi berlangsung terlampau cepat sehingga membutuhkan sarana transportasi dan
komunikasi yang ekstra cepat pula. Ini hanya akan dapat dipenuhi dengan jaringan transportasi massal-cepat
(Rapid Mass Transport) dan jejaring komunikasi yang massal dan terbuka (seperti misalnya internet).

Urusan membesarkan anak kini juga semakin menjadi urusan publik. Gairah kapitalisme untuk
memperluas jejaring produksinya memaksa banyak perempuan untuk memasuki lapangan produksi. Akibat
dari proses ini, perawatan anak telah banyak diserahkan pada para pekerja domestik (yang kita kenal sebagai
“pembantu rumah tangga”) atau rumah-rumah penitipan anak (“daycare”).

Di pihak lain, teknologi biosintetik kini tidak lagi terbatas pada mahluk-mahluk bernyawa. Dengan
kemampuan pengetahuan yang dimilikinya, Manusia telah berhasil melompati keterbatasan proses evolusi.
Awalnya, pengetahuan tentang proses biosintetik ini diperlukan untuk meningkatkan hasil produksi
pertanian dan peternakan – seperti bagaimana mencampur gen untuk mendapatkan bibit unggul bagi ternak
dan tanaman. Namun kini manusia telah dengan gagah berani melangkah ke arah yang tak pernah
terpikirkan selama milyaran tahun evolusi kehidupan di muka bumi: bagaimana menciptakan mahluk hidup
sendiri. Manusia memulainya dengan teknik persilangan, teknik setek dan kultur jaringan, teknik manipulasi
genetik. Kini Manusia telah sampai pada inseminasi buatan, operasi ubah kelamin, bayi tabung dan kloning.
Beberapa percobaan yang lebih mencengangkan dan kontroversial, seperti membuat laki-laki dapat
melahirkan dan menyusui, juga telah dilakukan di beberapa tempat (sekalipun, dengan bijaksana,
disembunyikan dari pengetahuan publik). Tapi, setidaknya ada satu film (aku lupa judulnya, yang aku ingat
salah satu pemerannya Danny de Vito) yang secara komedi melontarkan kemungkinan lelaki hamil. Peluang
mengakali keterbatasan evolusi – pilihan strategi menguntungkan betina atau menguntungkan jantan –
dapat diraih jika berbagai percobaan ini dibawa ke arah yang menguntungkan publik.

Kembalinya perempuan ke lapangan produksi, munculnya kembali sistem kerja bersama dan
tergerusnya peran keluarga monogami (di mana ibu ditempatkan sebagai pekerja domestik), dapat diduga,
merupakan faktor yang menyangga kembalinya ketertarikan manusia kepada imaji tentang tubuh yang
telanjang. Ini, menurutku, adalah bagian dari kembalinya seksualitas ke dalam urusan publik.

Memang, saat ini, yang sanggup memanfaatkan kembalinya perhatian manusia kepada urusan
seksual ini adalah kapitalisme. Sebagaimana segala hal lain, sebagaimana yang diatur dalam hukum besi
kapitalisme, seksualitas juga ditempatkan dalam pemberhalaan komoditi (commodity fetishism) – segala
sesuatu adalah barang dagangan. Maka, yang pertama kali melihat ini sebagai peluang adalah para kapitalis,
yang memuntir seksualitas ini ke dalam sebuah eksploitasi bentuk baru: eksploitasi atas ketelanjangan
manusia.

6
Padahal, jika masyarakat mengakui bahwa seksualitas adalah sebuah urusan publik – terutama
dalam soal penyediaan kebutuhan perawatan anak dan penciptaan keturunan berkualitas unggul – gejala
yang sekarang muncul di masyarakat merupakan hal yang sangat positif. Ketertarikan manusia pada hal-hal
yang berbau seksual, jika dibawa menjadi urusan publik dan dibicarakan secara terbuka, akan membuka
banyak kemungkinan baru dalam soal kemampuan bertahan hidup sebagai satu spesies. Kesehatan
reproduksi, misalnya, sudah mulai masuk dalam ruang publik. Pendidikan yang menyangkut bagaimana
menikmati seks secara sehat dan bertanggungjawab juga sudah masuk. Yang belum masuk adalah
pembicaraan tentang peranan seksual laki-laki dan perempuan (baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat) dalam proses pengembangan generasi baru umat manusia yang berkualitas. Termasuk
peran laki-laki dalam reproduksi, kemungkinan perempuan memilih bibit yang unggul bagi keturunannya
dan bagaimana masyarakat mengatur penyediaan sumberdaya bagi perawatan generasi baru. Atau beberapa
hal lain yang lebih imajinatif, seperti kemungkinan laki-laki memilih untuk hamil dan menyusui atau
rekayasa genetika terhadap manusia.

Jika ini terjadi, jelas perkawinan monogami akan terguling. Bukan oleh poligami. Bahkan mungkin
juga tidak kembali pada perkawinan kelompok. Tapi, mungkin, menjadi sistem baru di mana lelaki dan
perempuan hidup berpasangan sebagai keluarga – untuk menikmati hidup (dan seks, tentunya) – tanpa
terbebani terlalu berat lagi dengan persoalan membesarkan anak. Anak telah menjadi tanggungjawab
bersama seluruh anggota masyarakat, direncanakan dan diatur bersama agar mendapatkan generasi manusia
baru yang lebih unggul daripada yang pernah ada dalam 120.000 tahun sejarah evolusi Homo sapiens.

Tapi, persoalan-persoalan yang lebih lanjut ini tidak akan dapat dilakukan secara bertanggungjawab
apabila sistem pengambilan keputusan dalam masyarakat masih dikuasai oleh beberapa gelintir orang. Basis
bagi pengambilan keputusan dalam skala massal sudah tersedia – internet, telepon genggam, komputerisasi
– tinggal bagaimana kita menggulingkan sistem yang dikuasai segelintir orang ini dan menggantinya dengan
sistem di mana semua orang memiliki hak dan kewajiban yang setara terhadap pengambilan keputusan.

Umat manusia kini menggenggam potensi untuk bergerak jauh lebih cepat daripada apa yang pernah
dicapai oleh proses evolusi secara alami. Proses ini juga akan dapat menguntungkan bagi manusia sebagai
spesies, jika keputusan-keputusan tentang hal ini juga diambil secara sadar oleh spesies Homo sapiens ini.
Kata “sapiens” berarti “yang mampu berpikir”. Artinya, sebagai spesies, tanpa memandang perempuan atau
lelaki, kita harus memiliki satu sistem yang membuat setiap anggotanya memberi sumbangan pemikiran bagi
perkembangan spesiesnya sendiri.

8. Kesimpulan

Dengan begini, aku jadi berani mengambil kesimpulan bahwa kita harus menolak seruan “Jangan Telanjang
di Depan Kamera”. Seruan ini didasarkan pada moral, sesuatu yang berasal dari jaman perkawinan
monogamis – di mana perempuan ditempatkan sebagai pekerja domestik. Kita harus membela hak setiap
orang untuk memperlakukan tubuhnya sendiri dengan cara yang terbaik untuk diri dan masyarakatnya.

Sebaliknya, kita akan menolak segala bentuk prostitusi, pornografi dan eksploitasi lain terhadap
tubuh perempuan dan laki-laki – yang dilakukan demi kepentingan pemilik modal. Kita tidak menolak
ketelanjangan tapi kita akan menghukum orang yang memanfaatkan ketelanjangan itu demi kepentingan
yang sifatnya menindas atau eksploitatif. Kita akan mendorong terus agar seksualitas dan segala hal yang
bersangkutan dengan proses reproduksi dan perawatan anak agar semakin masuk dalam wilayah publik dan
dilindungi serta dirawat oleh masyarakat – sekaligus menolak adanya campur-tangan lembaga-lembaga
publik dalam pilihan-pilihan pribadi yang bersangkutan dengan pilihan seksual seseorang. Termasuk di
dalamnya menolak pilihan yang dibuat lembaga yang didominasi laki-laki terhadap cara perempuan
berpakaian (atau tidak berpakaian). Dengan kata lain, kita mengembalikan seksualitas ke tempatnya semula,
tempat terhormat yang menentukan dalam proses perkembangan evolusi manusia.

Evolusi boleh jadi menciptakan mekanisme yang menguntungkan salah satu pihak, entah itu yang
betina atau yang jantan. Tapi, kita sudah menggenggam potensi untuk tidak lagi mempedulikan pembedaan
itu. Sejak awal perkembangan evolusinya, manusia sudah memilih untuk mengatasi persoalan evolusi itu
melalui proses sosial. Dan proses sosial yang pertama dibangun oleh manusia adalah sistem yang memaksa
semua anggota komunitasnya (baik perempuan maupun laki-laki) bertanggungjawab setara dalam proses
reproduksi. Akibat pergeseran sistem sosial, munculnya ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat
manusia itu. Kini, ada potensi untuk menghapus ketimpangan-ketimpangan itu dan mengembalikan
kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam proses reproduksi dan seksualitas.

Kesetaraan gender memang bukan bagian dari mekanisme yang diciptakan alam dalam proses
evolusinya. Tapi, sejak awal, kesetaraan inilah yang membuat Homo sapiens dapat bertahan hidup dan
berkembang menjadi penguasa bumi. Sudah tiba saatnya kita mengembalikan kesetaraan itu – kesetaraan
dalam hak atas tubuh, kesetaraan dalam status sosial dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan dalam
masyarakat.

9. Bacaan lebih lanjut

Dalam penelusuranku, aku menemukan sebuah buku, “Why is Sex Fun, the evolution of human sexuality”
karya Jared Diamond (Basic Books, New York: 1997). Sebagaimana karya Jared Diamond lainnya, buku ini
juga sangat lugas dan menggelitik kekritisan pemikiran. Dalam buku ini, Diamond memaparkan berbagai
aspek seksualitas manusia. Mulai dari peran seks dalam evolusi, manfaaat pembagian gender dalam
membangun kemampuan spesies dalam bertahan hidup, sampai bagaimana sistem sosial terbangun sebagai
bagian dari strategi evolusi masing-masing spesies. Setelah “berdialog” dengan buku ini, aku mencapai
beberapa kesimpulan yang aku jadikan tulisan ini. Tulisan ini tidak berkaitan dengan pandangan Diamond,

7
yang aku pikir banyak mengandung kekeliruan asumsi, tapi memang sudut pandang yang diambilnya
sangatlah menarik.

Buku kedua yang aku pakai di sini adalah karya Muriel Gargaud, dkk., “From Suns To Life: a
chronological approach to the history of life on earth” (Springer, Dordrecht: 2006). Buku ini sangat teknis
dalam pembahasaan, sehingga agak sulit diikuti oleh orang-orang yang tidak mendapatkan latihan formal
dalam ilmu arkeologi-bumi (geoarcheology), fisika perbintangan (astrophysics), kimia kehidupan
(biochemistry) dan biologi evolusioner (evolutionary biology) – seperti aku. Tapi data di dalamnya sangat
mengagumkan dan mencengangkan. Terpaksa aku cantumkan di sini sebagai salah satu buku yang
dianjurkan. Siapa tahu saja ada yang berniat mencoba-coba.

Buku lain yang aku anjurkan adalah karya Ted Grant dan Alan Woods, “Reason in Revolt” (WellRed
Books, London: 1995). Buku ini merupakan upaya untuk menunjukkan penerapan dialektika pada gejala-
gejala alam. Sangat baik dibaca, sekalipun dianjurkan untuk mendiskusikan kembali implikasi ideologis dan
saran-saran yang diajukan oleh penulisnya, karena kedua penulis mewakili satu aliran politik yang mereka
definisikan dengan baik, yakni Trotskyisme. Tidak selalu cocok untuk diterapkan dalam konteks kita.

Untuk karya klasik, aku menganjurkan untuk membaca karya Frederick Engels, “The Origin of Family,
Private Property and the State” yang dapat diunduh dari internet dengan alamat
www.marx2mao.com/M&E/OFPS84.html. Buku yang didasarkan pada penelitian Lewis H. Morgan yang
diberi judul “Ancient Society, or Researches in the Lines of Human Progress from Savagery, Through
Barbarism to Civilization” ini sangat gamblang menjelaskan perjalanan sejarah pembentukan keluarga dan
represi terhadap peran perempuan dalam masyarakat.

Untuk memahami sejarah perkembangan masyarakat, buku karya Chris Harman, “A People’s
History of the World” dapat dibaca. Buku yang dapat diunduh dari http://www.istendency.net/node/view/7
ini sangat baik dalam menggambarkan posisi dan hubungan sebab-akibat dari berbagai peristiwa dalam
sejarah.

Sumber lain, yang tidak secara langsung berhubungan dengan masalah reproduksi seksual, tapi
menurutku sangat tepat menggambarkan konteks perkembangan fisiologis (struktur tubuh) manusia yang
melahirkan kecerdasan dan strategi bertahan hidup secara sosial, adalah karya-karya W.H. Calvin, yang
dapat diunduh di www.williamcalvin.com. Anda akan menemukan begitu banyak buku yang dapat diunduh
gratis dan dalam bahasa yang sangat populer.

Bahan-bahan tentang arkeologi dan antropologi aku ambil dari artikel-artikel dalam National
Geographic. Tidak jarang artikel-artikel di sini memiliki bias kelas yang tajam. Maklum saja, majalah ini
didanai besar-besaran oleh lembaga-lembaga bisnis Amerika Serikat. Tapi, sebagai sumber data, sayang bila
kita lewatkan begitu saja.

Memang sayang, seribu sayang, buku-buku ini dalam bahasa Inggris. Tapi, untuk itulah serikat rakyat
perlu keluar dari kungkungan ekonomisme, membatasi diri pada tuntutan ekonomis dan kesejahteraan yang
sifatnya instan. Serikat perlu membangun pula kemampuan anggotanya menyerap ilmu pengetahuan yang
berkembang dalam masyarakat – seperti kemampuan berbahasa asing. Sebaliknya, itulah juga gunanya
orang-orang yang memiliki akses pada pengetahuan untuk “menerjemahkan” (dalam arti menuliskan ulang
dalam bahasa Indonesia yang mudah dipahami) teori-teori ilmu pengetahuan yang rumit, agar dapat diserap
oleh para pimpinan yang tumbuh dari kalangan rakyat pekerja. **

Jakarta, 20 September 2007

* Ketua Divisi Pendidikan KP PRP

Anda mungkin juga menyukai