Anda di halaman 1dari 5

Time and Love

Di suatu pagi yang cerah, para pedagang telah menjajakan barang-barangnya.


Seorang pemuda tampan, bersih dengan mata hazel yang indah terlihat duduk
menghadap barang-barangnya, menatap sekeliling sambil meneriakkan barang-barang
yang ia jual. Barang yang Ia jual berupa barang barang antik yang bagus, keindahannya
yang sederhana bahkan dapat memesona saudagar kaya sekali pun. Tetapi, di antara
barang dagangannya itu, pemuda tersebut menjual berbagai macam jam, dari jam
berbandul, jam burung, jam biasa yang antik, berbahan kayu, tembaga, ataupun
kuningan. Akan sangat indah jika diterpa sinar matahari. Hanya ada satu jam yang selalu
menemaninya di sisinya, dan tidak untuk dijual.

Berbagai pengunjung melihat sejenak barang-barangnya, mulai dari anak-anak,


orang tua, pria atau wanita. Ada yang hanya sekedar menyapanya. Tetapi, barangnya
sangat sedikit yang laku, hanya segelintir orang yang membelinya. Para wanita yang
datang terkadang bahkan hanya merayunya, yang pemuda itu balas dengan senyuman
kecil. Ia sungguh tidak tertarik pada mereka, ia hanya ingin berjualan untuk memenuhi
kehidupannya, bukan memamerkan wajahnya.

Suatu hari, Mitosch sang pemuda kedatangan seorang saudagar kaya. Si Saudagar
Kaya tersebut mengira Mitosch seorang pengrajin jam karena banyaknya jam yang
dijualnya, sehingga ia meminta Mitosch untuk membuatkan Si Saudagar Kaya tersebut
jam terindah yang dapat dibuatnya “Hei, pemuda, buatkanlah aku jam terindah yang
dapat kau buat dan aku menawarkan koin emas lebih dari yang kau bayangkan untuk
sebuah jam!” Mitosch ingin menolak pada awalnya, tapi ini kesempatan untuk
mendapatkan uang yang banyak, Mitosch pun menerima permintaan Si Saudagar Kaya
tersebut.

Malam harinya, Mitosch belum mendapatan ide bagaimana untuk membuat jam
indah itu, ia berpikir sampai tengah malam, lalu, sekelebat ide melintas di kepalanya.
Segera ia memisah-misahkan bagian-bagian berbagai jam yang ia jual, lalu mulai
merangkai kembali dengan mengabungkan bagian-bagiannya satu demi satu. Mulai dari
angka jam romawi, bandul yang semula terperangkap dalam kayu sekarang terperangkap
dalam kuningan yang mengilap, jarum jam yang telah diukir kembali dan bentuk antik
jam tersebut. Merasa ia puas dan tidak sabar dengan hasil jamnya, Mitosch pun tidak
bisa tidur hingga fajar tiba, ia langsung bergegas menjajakan dagangannya dan jam-jam
yang tersisa, lalu menyimpan jam pesanan Si Saudagar dalam kotak khusus dan
menyimpannya sembari menunggu Si Saudagar datang. Pada waktu yang sama seperti
kemarin, Si Saudagar pun datang, ia melihat pesanannya, mengangguk ringan, lalu
memberikan sekantong koin emas kepada Mitosch. “Ini sangat indah, wahai Pemuda,
putriku akan menyukainya, terima kasih.” Lalu Si Saudagar pun berlalu. Meninggalkan
Mitosch dalam kegirangan.

Keesokan harinya, sambil menjalani rutinitas biasanya, Mitosch mendapatkan


seorang gadis bertudung menghampirinya. “Kau menjual jam-jam ini?” Tanya Sang
Gadis. “Ya, aku menjualnya.” Jawab Mitosch, ia tidak dapat melihat wajahnya dengan
jelas.”Kalau begitu, aku beli yang ini.” Tunjuk Sang Gadis ke salah satu jam, lalu
mengeluarkan segenggam koin emas, dan berdiri meninggalkan Mitosch. “Hey tunggu,
ini terlalu banyak.” Sahut Mitosch. Tetapi, Sang Gadis telah pergi. Mitosch pun
memutuskan untuk berharap gadis itu akan datang lagi esok hari.

Hari setelahnya, harapan Mitosch terkabul, Sang Gadis sedang berlutut di


depannya sambil melihat-lihat barangnya lagi. “Maaf, kemarin ketika kau membeli
jamku, kau memberiku terlalu banyak koin emas.” Kata Mitosch. Saat Sang Gadis
mendongak menatap Mitosch, barulah ia sadar betapa cantiknya gadis itu. “Menurutku,
itu harga yang pantas. Simpanlah,” Balas Sang Gadis sambil tersenyum. “Aku beli yang
ini.” Sang Gadis mengambil sebuah jam lagi lalu memberi Mitosch segenggam Koin Mas
lagi. Mitosch hanya terperangah sambil menerima koin emas itu, lalu ia tersenyum karena
kebaikan Sang Gadis itu. Dan untuk yang pertama kali, Mitosch tidak sabar untuk
berdagang lagi esok hari.

“Hai.” Sapa Sang Gadis, hari ini, ia datang lagi, Mitosch sangat senang. “Hai,
apakah kau ingin membeli jam lagi?” Tanya Mitosch. “Tentu, lagipula, jam yang kau
buat waktu itu indah sekali.” Jawab Sang Gadis. Mitosch terperangah, “Kau anak Si
Saudagar?” “Yah, kau bisa bilang seperti itu.” Sang Gadis tersenyum dan mulai melihat
koleksi jam Mitosch yang tinggal sedikit.

“Mengapa kau terus membeli jam?” Tanya Mitosch penasaran.

“Apakah itu aneh?” Balas Sang Gadis sambil tertawa kecil.

“Itu tidak aneh, aku hanya penasaran, bisa saja kau memang menyukai jam.”

“Ya, itu bisa juga.”

Mitosch hanya mengangkat alisnya keheranan dan terus menatap Sang Gadis.
Tiba-tiba ia merasa sangat familiar dengan Sang Gadis, tetapi, ia berpikir hanya karena
Sang Gadis sering datang untuk membeli jamnya. Ia pun menghapus pikiran itu. “Apakah
kau besok tetap berdagang?” Tanya Sang Gadis. Mitosch tidak perlu berpikir untuk
menjawab pertanyaan itu. “Ya tentu, mengapa?” “Aku ingin mengajakmu ke Bukit
Kamien, untuk menunjukkan sesuatu, tapi, tentu tidak apa-apa jika kau besok tetap
berdagang.” Jawab Sang Gadis masih memasang senyum manisnya. “Ya, tentu aku bisa,
sehari saja tidak apa-apa.” Kata Mitosch tiba-tiba. Sang Gadis sedikit terkejut dengan
reaksi Mitosch, ia lalu menunjuk jam yang berdiri di samping Mitosch. “Kalau begitu,
bolehkan aku meminjam jam itu? Aku akan kembalikan besok di Bukit Kamien.”
Mitosch sedikit segan meminjamkan jam itu, jam itu merupakan pemberian seseorang. Di
dalamnya terdapat suatu barang yang tidak dapat Mitosch buka karena kuncinya berada
entah dimana seseorang itu berada. Tetapi, ia tetap meminjamkannya mengingat Sang
Gadis sepertinya menyukai jam. “Kau boleh meminjamnya, aku akan menemuimu
besok.” Mitosch merekahkan senyumnya. “Terima kasih, aku akan menunggumu di
bukit besok.” Sang Gadis pun melangkahkan kakinya menjauhi Mitosch.

Ketika Mitosch berjalan menuju Bukit Kamien, hari itu sangat cerah. Ia terbiasa
pergi ke Bukit Kamien dulu bersama seseorang, tetapi itu sudah lama sekali. Ketika
mendaki sedikit, ia melihat figur yang tak asing, Sang Gadis, tiba-tiba saja Mitosch sadar
bahwa ia tidak mengetahui nama gadis itu. Ketika Sang Gadis menengok ke belakang ia
mendapati Mitosch sedang berdiri, “Mitosch,” Sang Gadis mengulurkan tangannya
untuk membantu Mitosch menanjak. “Kau datang.” Mitosch tersenyum, membersihkan
pakaiannya yang lusuh, lalu memulai percakapan. “Jadi, apa yang kau ingin tunjukan?”
Sang Gadis hanya tersenyum lalu perlahan ia mengangkat jam milik Mitosch sehingga
Mitosch dapat melihatnya, ia mengeluarkan sebuah benda kecil, bewarna serasi dengan
bahan jam Mitosch lalu memasukkannya ke lubang kunci kecil di jam tersebut. Mitosch
mundur sedikit, seakan tidak percaya. Sang Gadis memutar kuncinya lalu terbukalah jam
itu. Ia mengambil sesuatu di dalamnya, lalu mengeluarkan secarik kertas. Tangan Sang
Gadis mengulur kepada Mitosch, ia berkata. “Maaf membuatmu menunggu lama,
Mitosch.” Mitosch menerima secarik kertas tersebut, lalu membukanya.

“Untuk Mitosch,

Ketika kamu membaca ini aku pasti berada di sampingmu, karena sudah kubilang
aku akan kembali. Aku benar-benar tidak ingin meninggalkanmu, Mitosch. Tapi
sekarang aku telah kembali. Karena kamu membuka ini di masa depan, aku ingin
mengingatkanmu bahwa kamu pernah memberiku kalung berbentuk hati. Aku yakin aku
akan masih memakainya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu karena sudah
menungguku, aku pasti sangat senang. Sekarang aku akan memberikanmu sebuah kalung
juga, terimalah.

Czasia”

Mitosch kembali menatap Sang Gadis, seseorang yang telah ia tunggu selama
bertahun-tahun, seseorang bernama Czasia, sahabat kecilnya dulu dan cinta pertamanya.
Kemudian, Mitosch melihat Czasia memegang kalung yang telah dituliskannya dalam
surat, sebuah kalung bertali dengan liontin yang berupa sebuah jam pasir. “Maaf aku
tidak memberi tahumu, aku memutuskan untuk membuat momen dan aku ingin
memakaikan ini kepadamu seperti dulu kau, jika kau mau,” Czasia menunjukan sebuah
liontin berbetuk hati di lehernya. “Aku masih menyimpannya.” Ia tersenyum menyesal,
menunggu jawaban Mitosch.

“Maaf aku membuatmu menung- ”

Tiba-tiba, Mitosch memeluk Czasia dan membenamkan kepala Czasia dibahunya


“Diamlah, dan biarkan aku membuktikan bahwa kau benar disini.” Setelah beberapa
menit, Mitosch melepaskan Czasia, ekspresinya sudah tenang, lalu ia tersenyum.
“Pakaikan aku kalung itu, Czas.” Czasia tersentak sedikit mendengar nama kecilnya.
Lalu perlahan, ia memaikan kalung itu ke leher Mitosch. Setelah selesai, Mitosch
memegang liontin jam pasirnya, lalu menatap Czasia.

“Czas, yang berarti waktu, kau belum berubah sama sekali, harusnya aku sadar,
ketika ayahmu datang, ketika kau datang dan pergi untuk membeli jam.” Gumam
Mitosch, senyum Czasia merekah seindah bunga Hydrangea yang berada di sekitar
mereka. “Mitosch,

Anda mungkin juga menyukai