Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bentuk tubuh ideal adalah idaman bagi banyak individu, tidak terkecuali

remaja. Remaja adalah tahapan dimana individu mengalami perubahan fisik

maupun pola pikir. Pada umumnya masa remaja akan memiliki perhatian lebih

terhadap tubuhnya dan remaja akan membangun sikap tentang tubuhnya melalui

penilaian positif atau negatif, namun kebanyakan remaja putri memiliki penilaian

negatif tentang tubuh dan cenderung kurang puas dengan kondisi tubuhnya.

Perasaan remaja putri mengenai ketidakpuasan yang berlebihan terhadap tubuh ini

dapat berkembang menjadi sebuah kecenderungan ​Body Dysmorphic Disorder​.

Menurut Kaplan dan Sadock ​Body Dysmorphic Disorder ​atau yang biasa

disebut gangguan dismorik tubuh merupakan salah satu jenis gangguan

somatoform. Body dysmorphic disorder d​ itandai oleh kepercayaan yang salah atau

persepsi berlebihan bahwa suatu bagian tubuh mereka mengalami ketidak

sempurnaan atau kecacatan. Sedangkan menurut Phillips, seorang peneliti yang

khusus meneliti masalah ​Body Dysmorphic Disorder, p​ ada umumnya mulai

tampak ketika seorang individu dalam masa remaja ataupun awal masa dewasa

(bisa jadi berawal sejak masa kecil, namun selama ini tidak pernah terdeteksi

(Oktaviana, 2013:7:2:53-62).

Menurut Perugi dkk, (Gerald, 2010: 239) pada gangguan dismorfik tubuh

atau ​Body Dysmorphic Disorder s​ eseorang dipenuhi kekhawatiran dengan

kerusakan penampilan yang hanya dalam banyangan atau dilebih-lebihkan, sering

1
2

kali pada wajah. Contohnya, kerutan wajah, bulu di wajah lebat, bentuk atau

ukuran hidung. Perempuan juga cenderung memusatkan pada kulit, pinggul,

payudara dan kaki. Sedangkan pria lebih terpicu lebih menyakini bahwa tubuh

mereka terlalu pendek dan bulu badannya terlalu banyak.

Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri

di depan cermin dan mengambil tindakan yang ekstrim untuk memperbaiki

kerusakan yang dipersepsikan, bahkan menjalani oprasi plastik yang tidak

dibutuhkan. Orang dengan BDD dapat percaya bahwa orang lain memandang diri

mereka jelek atau berubah bentuk menjadi rusak dan bahwa penampilan fisik

mereka yang tidak menarik mendorong orang lain untuk berfikir negatif tentang

karakter dan harga diri mereka dari seorang manusia (Jeffery SN dkk, 2003:219).

Body dysmorphic disorder ​diklasifikasikan sebagai ​somatoform disorder

(gangguan tubuh) pada DSM IV. DSM IV menyebutkan lima gangguan

somatoform ​yakni: gangguan nyeri, gangguang dismorfik tubuh, hipokondriasis,

gangguan konversi, gangguan somatisasi. Gangguan dismorfik tubuh adalah suatu

preokupasi dengan kerusakan dalam penampilan fisik yang hanya dibayangkan

atau dilebih-lebihkan (Gerald dkk:2010:238).

Adapun kriteria diagnosis dismorfik tubuh menurut DSM IV diantaranya

(Nurlita:2016:7:5:83): (1) Preokupasi dengan persepsi kecacatan pada

penampilan. Jika ditemukan kelainan kecil pada fisik pasien, maka pasien akan

memperlihatkannya secara berlebihan. (2) Preokupasi menyebabkan penderitaan

klinis yang signifikan atau kegagalan dalam sosial, pekerjaan, ataupun hal penting

lain. (3) Preokupasi sebaiknya tidak disamakan dengan gangguan mental lainnya

(misalnya ketidakpuasan bentuk tubuh dan ukuran ukuran pada anorexia


3

nervousa).

Ketidak puasan terhadap bentuk tubuh muncul berkaitan dengan salah satu

ciri pertumbuhan pada masa remaja akhir menuju dewasa awal yaitu adanya

perubahan bentuk fisik. Sejalan dengan perubahan tubuh pada masa ini, gambaran

dan penilaian terhadap diri mulai terbentuk. Hal ini terjadi disebabkan adanya

penilaian dari orang lain terdahap diri kita dan doa kecil atau sugesti yang sering

berulang dari dalam diri kita. Baik itu bernada positif atau negative, gema itu akan

sampai pada pikiran. Pikiran yang berulang-ulang akan menentukan perilaku dan

perilaku yang beruang akan menentukan kepribadian (Obee:2016:59)

Diketahui dampak dari hal ini mereka akan dapat semakin mengecewakan

dirinya dan pada umumnya, kaum wanita mempunyai kepedulian yang lebih besar

dibandingkan kaum laki-laki terhadap masalah penampilan fisik tersebut. Mereka

selalu berupaya agar jangan sampai dirinya memiliki kondisi fisik yang tidak baik

(Dariyo:2004:19).

Bimbingan dan konseling memiliki peranan yang besar di sekolah untuk

mendukung proses belajar mengajar serta guru BK bertugas untuk memberikan

pelayanan bantuan kepada peserta didik. Kegiatan layanan bantuan dapat

diberikan melalui berbagai jenis layanan bimbingan maupun layanan konseling,

dan juga dapat dipergunakan beberapa kegiatan pendukung yang tentunya

pelaksanaannya tak lepas dari norma-norma yang berlaku.

Selain dari dari mengecewakan dirinya seperti yang dijelaskan sebelumnya,

terdapat juga dampak fisik yang dapat kita lihat dan amati, diantaranya kerutan

pada wajah, warna kulit tidak merata, dan bentuk tubuh tidak proporsional seperti

memiliki banyak lipatan pada perut, pinggang dan lengan atau bahkan ukuran
4

tubuh yang kecil, kurus dan gendut. Namun, dari dampak fisik tersebut dapat

mengubah seseorang untuk tetap menjaga penampilannya dengan cara mengubah

gaya rambut,​make-up,​ cara berpakaian, bentuk tubuh yang proporsional dan

sebagainya, sehingga ia merasa nyaman dengan penampilannya

(Widyarini:2009:73).

Berdasarkan pengamatan dan observasi awal yang peneliti lakukan pada

remaja putri di SMK Negeri 3 Kota Bengkulu tentang ​Body Dismorphic

Disorder,​ bahwa remaja putri di SMK Negeri 3 Kota Bengkulu masih terdapat

yang merasa minder, merendahkan kemampuan dan bakat yang dimilikinya

hingga merasa kurang puas dengan bentuk fisik yang mereka miliki.

Dalam hal upaya menangani permasalahan siswa sebagaimana di atas,

memerlukan pelayanan lebih lanjut oleh guru BK. Layanan konseling kelompok

bisa dilakukan untuk permasalahan seperti ini. Dengan teknik bermain peran

untuk menguatkan ​Self Esteem siswa sehingga menurunkan kecendrungan

gangguan ​Body Dismorphic Disorder pada pemaja putri. Penerapan teknik

bermain peran dalam layanan konseling kelompok dapat membantu dalam upaya

peningkatan ​Self Esteem ​siswa. Hal di atas yang melatar belakangi penulis untuk

mengangkat topik permasalahan ke dalam sebuah penelitian ilmiah. Yang menjadi

judul dalam penelitian ini adalah ​“Menurunkan Kecendrungan Gangguan

Body Dismorphic Disorder Dengan Latihan Penguatan ​Self Esteem Pada

Generasi Milenial Remaja Putri di SMK Negeri 3 Kota Bengkulu”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka diidentifikasikan beberapa

masalah yang akan dikemukaan dalam penelitian ini yaitu:


5

1. Masih terdapat siswa yang kurang puas dengan kondisi fisik yang mereka

miliki.

2. Sebagian siswa masih belum mampu bersosialisasi dengan baik terhadap

rekan-rekannya dikarenakan minder dengan kondisi yang mereka miliki.

3. Sebagian siswa masih ada yang beranggapan bahwa orang lain tidak

menerima dirinya.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat terlalu luasnya penelitian ini serta keterbatasan waktu, tenaga

dan biaya yang dibutuhkan, maka peneliti membatasi masalah yang dilihat

kelompok remaja putri di salah satu sekolah di Kota Bengkulu.

D. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang telah dibuat,maka peneliti merumuskan

masalah masalah yang akan dibahas di dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana tingkat Kecendrungan Gangguan ​Body Dismorphic Disorder

Sebelum diberikan latihan penguatan ​Self Esteem pada generasi milenial

remaja putri di SMK Negeri 3 Kota Bengkulu?

2. Bagaimana kecendrungan gangguan ​Body Dismorphic Disorder sesudah

diberikan latihan penguatan ​Self Esteem Pada generasi milenial remaja Putri

di SMK Negeri 3 Kota Bengkulu?

3. Apakah ada pengaruh penguatan ​Self Esteem pada generasi milenial remaja

putri di SMK Negeri 3 Kota Bengkulu terhadap kecendrungan gangguan

Body Dismorphic Disorder​ .


6

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yang ingin penulis capai dalam penulisan ini
adalah:

1. Mendeskripsikan tingkat kecendrungan gangguan ​Body Dismorphic

Disorder sebelum diberikan latihan penguatan ​Self Esteem pada generasi

milenial remaja putri di SMK Negeri 3 Kota Bengkulu.

2. Mendiskripsikan tingkat kecendrungan gangguan ​Body Dismorphic

Disorder sesudah diberikan latihan penguatan ​Self Esteem pada generasi

milenial remaja Putri di SMK Negeri 3 Kota Bengkulu.

3. Mendiskripsikan apakah ada pengaruh latihan penguatan ​Self Esteem pada

generasi milenial remaja putri di SMK Negeri 3 Kota Bengkulu terhadap

kecendrungan gangguan ​Body Dismorphic Disorder​.

F. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi peneliti maupun penelitian

serta pembaca dikemudian hari.

1. Manfaat Teoritis

✔ Dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan pengetahuan yang mendalam

tentang Menurunkan Kecendrungan Gangguan ​Body Dismorphic Disorder

Dengan latihan Penguatan ​Self Esteem Pada genersi milenial Remaja Putri di

SMK Negeri 3 Kota Bengkulu​.

✔ Sebagai refrensi atau rujukan untuk penelitian serupa lainnya.


7

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Remaja putri

1) Remaja putri yang mempunyai Kecendrungan Gangguan ​Body

Dismorphic Disorder Pada Remaja Putri” dapat di atasi melalui

penguatan ​Self esteem​.

2) Dapat terentaskan masalah dalam hal ​Body Dismorphic Disorder pada

diri remaja putri sehingga mereka bisa menerima keadaan fisik diri.

b. Bagi Peneliti

1) Dapat memperluas jangkauan layanan dan meningkatkan informasi

mengenai remaja putri.

2) Memberikan pengalaman secara praktik dalam merencanakan,

Melaksanakan layanan dan menganalisis masalah dalam permasalahan

remaja putri.

3) Menambah wawasan dalam mengaplikasikan teori yang didapat selama

perkuliahan di kampus.

c. Bagi Lembaga Sekolah

Sebagai masukan dalam memberikan informasi yang diharapkan

dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pembinaan remaja

yang bersangkutan terutama di Kota Bengkulu.


8

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Body Dysmorphic Disorder

1. Definisi ​Body Dysmorphic Disorder (​ BDD)

Body Dysmorphic Disorder (​ BDD) awalnya dikategorikan sebagai

dysmorphophobia.​ Istilah tersebut untuk pertama kalinya dimunculkan oleh

seorang doktor Italia yang bernama Morselli pada tahun 1886. ​Dysmorphophobia

berasal dari bahasa Yunani, “​dysmorph” y​ ang berarti ​misshapen ​dalam bahasa

Inggris. Kemudian namanya diresmikan oleh ​American Psychiatric Classification

menjadi ​Body Dysmorphic Disorder (​ BDD). Sebenarnya, sejak Freud praktek

sudah disinyalir mengenai gejala ini yang oleh Freud sendiri dinamakan sebagai

‘​wolf man’​. Karena gejala ​Body Dysmorphic Disorder (BDD) tersebut terjadi

pada seorang pria bernama Sergei Pankejeff yang mempunyai masalah dengan

kecemasan terhadap bentuk hidungnya.

Istilah ​Body Dysmorphic Disorder (​ BDD), secara formal juga tercantum

dalam Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (4th Ed), untuk

menerangkan kondisi seseorang yang terus menerus memikirkan kekurangan fisik

minor atau bahkan ​imagine defect​. Akibatnya, individu itu tidak hanya merasa

tertekan, bahkan kondisi tersebut melemahkan taraf berfungsinya individu dalam

kehidupan sosial, pekerjaan atau bidang kehidupan lainnya (misalnya, kehidupan

keluarga dan perkawinan).

Media kadang menyebutnya sebagai ​”imagined ugliness syndrome”​ . ​Body

Dysmorphic Disorder (​ BDD) dimasukkan ke dalam DSM IV di bawah


9

somatization disorders.​ Keduanya merupakan gangguan tubuh (​somatoform)​ yang

disebabkan oleh pengaruh psikologis dan kesulitan emosional yang ditunjukkan

dengan bentuk-bentuk perilaku tubuh tertentu. Kata “​soma​” berasal dari bahasa

Yunani yang memiliki persamaan istilah dengan ​“body”.​ ​Somatoform disorders

merupakan lima gangguan besar yang saling berhubungan (Bruno, 1989).

Penjelasannya sebagai berikut:

a). Body Dysmorphic Disorder (​ BDD) merupakan bentuk gangguan mental

yang mempersepsi tubuh dengan ide-ide bahwa dirinya memiliki kekurangan

yang berarti pada wajah dan badannya sehingga kekurangan itu membuatnya

tidak menarik.

b). Conversion disorder a​ dalah suatu kapasitas kerusakan fisik yang disebabkan

oleh konflik emosional.

c). Hypocondriasis ​diartikan sebagai karakteristik gangguan mental yang kronis

dan kecemasan yang irrasional mengenai kesehatan.

d). Somatization disorders ​adalah kerusakan fisik yang ditandai oleh adanya

kondisi saraf yang lemah dan kecapaian yang terus-menerus karena konflik

psikis.

e). Somatoform pain disorders ​merupakan gangguan perasaan sakit tanpa alasan

yang jelas.

Secara sederhana, seorang yang terkena gangguan Body Dysmorphic

Disorder (BDD) selalu mencemaskan penampilan karena merasa memiliki

kekurangan pada tubuhnya (​body image y​ ang negatif). ​Body image j​ uga

mengandung arti sebagai persepsi dan penilaian tubuh, fungsi fisik, dan
10

penampilan seseorang terhadap dirinya sendiri (Taylor, 2003:525). Sebenarnya,

apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar merepresentasikan

keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian diri yang subyektif.

Definisi ​Body Dysmorphic Disorder (​ BDD) dapat diindikasikan dengan

gejala ketidak-puasan tingkat tinggi terhadap tubuh, pemikiran negatif atau

hubungan kognisi terhadap bagian-bagian tubuh tertentu atau bahkan tingkatan

yang tinggi dari penghindaran situasi sosial yang disebabkan perasaan-perasaan

negatif mengenai tubuh. ​“These measure may indicate high levels of body

dissatisfaction, negative thoughts, or cognitions associated with certain body

parts, or even high levels of social avoidance due to negative feelings about the

body” (​ Thompson, 2002).

Dengan demikian, Body Dysmorphic Disorder (BDD) adalah gangguan

pada seseorang yang mengalami ketidak-puasan terhadap beberapa bagian tubuh

dengan tingkat yang tinggi, kecemasan yang ditunjukkan dengan perilaku, pikiran

dan perasaan yang negatif mengenai tubuh, serta menghindari hubungan dan

situasi sosial.

2. Aspek-Aspek ​Body Dysmorphic Disorder

Ada beberapa aspek yang mempengaruhi kecenderungan ​Body

Dysmorphic ​disorder. Menurut Rosen (1996), ​Body Dysmorphic Disorder

memiliki empat aspek, yaitu: Aspek pikiran (kognitif) yaitu kecemasan terhadap

tubuh dan pikiran negatif tentang tubuh, aspek perasaan (afektif) yaitu

ketidakpuasan terhadap bagian tubuh, dan perasaan negatif tentang tubuh, aspek
11

perilaku (behavioral) yaitu perilaku obsesif- kompulsif dan aspek hubungan sosial

yaitu menghindari situasi dan hubungan sosial.

Sedangkan menurut Annastasia (2006:105), ​Body Dysmorphic Disorder

memiliki tiga aspek, yaitu ketidakpuasan dengan penampilan tubuh, preokupasi

dengan aspek penampilan dan melebih-lebihkan kekurangan tubuh. Suatu

penelitian pada 1989 menemukan bahwa 36% perempuan usia kuliah menyatakan

sangat setuju dengan ketiga aspek tersebut, dengan 85% menyatakan

ketidakpuasan yang sangat, dan 75% terlalu melebih-lebihkan.

Dalam penelitian ini untuk mengkaji kecenderungan ​Body Dysmorphic

​ enggunakan pendapat Rosen yang meliputi aspek pikiran (kognitif),


Disorder m

aspek perasaan (afektif), aspek perilaku (behavioral) dan aspek hubungan sosial.

3. Gejala Body Dysmorphic Disorder​ (BDD)

Bentuk-bentuk perilaku yang mengindikasikan Body Dysmorphic

Disorder (BDD) (menurut Watkins, 2006; Thompson, 2002; Wikipedia, 2006;

Weinshenker, 2001; dan David Veale) adalah sebagai berikut.

a. Secara berkala mengamati bentuk penampilan lebih dari satu jam per hari atau

menghindari sesuatu yang dapat memperlihatkan penampilan, seperti melalui

cermin atau kamera.

b. Mengukur atau menyentuh kekurangan yang dirasakannya secara

berulang-ulang.

c. Meminta pendapat yang dapat mengukuhkan penampilan setiap saat.

d. Mengkamuflasekan kekurangan fisik yang dirasakannya.

e. Menghindari situasi dan hubungan sosial.


12

f. Mempunyai sikap obsesi terhadap selebritis atau model yang mempengaruhi

idealitas penampilan fisiknya.

g. Berpikir untuk melakukan operasi plastik.

h. Selalu tidak puas dengan diagnosis ​dermatologist a​ tau ahli bedah plastik.

i. Mengubah-ubah gaya dan model rambut untuk menutupi kekurangan yang

dirasakannya.

j. Mengubah warna kulit yang diharapkan memberi kepuasan pada penampilan.

k. Berdiet secara ketat dengan kepuasan tanpa akhir.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ​Body Dysmorphic Disorder

Beberapa faktor kunci berperan dalam etiologi dan patofisiologi BDD.

Faktor biologis, perubahan kelainan neuroanatomi, ketidaksesuaian proses visual,

perubahan neurotransmitter, dan perdisposisi genetik berkontribusi paada BDD.

Faktor psikologis seperti kesulitan pada masa kanak-kanak, sifat individu secara

pribadi, dan berbagai teori belajar juga berkontribusi. Terakhir peranan dari

gender,​culture,​ dan media masa sebagai faktor yang penting (Nurlita, 2016:5:82).

BDD bukan terbentuk dari kerusakan tunggal, melainkan dari manifestasi

multipel faktor seperti biologis, psikologis,dan sosiokultural. Beberapa komponen

yang berpotensi memicu perkembangan dari BDD sudah diidentifikasi. Namun

urutan tertentu peristiwa yang pada akhirnya menyebabkan gangguan ini sulit

untuk ditentukan (Nurlita, 2016:5:82).


13

B. Self Esteem

1. Pengertian ​Self Esteem

Para psikolog menggunakan istilah ​Self ​yang merujuk kepada kata “aku”

sebagai suatu diri yang utuh dan unik. Dua aspek penting dari diri adalah harga

diri dan identitas (Santrock 2009:127). Harga diri (​Self Esteem​) sangat diperlukan

oleh siswa untuk membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan

terutama proses belajar mengajar di sekolah. Menurut Barron (2004:175) ​Self

Esteem ​merupakan sikap seseorang terhadap dirinya mulai dari sikap negatif

sampai sikap positif. Dengan memiliki ​Self Esteem ​yang baik, akan membantu

siswa untuk lebih percaya diri dan mampu untuk mengaktualisasikan dirinya.

​ erujuk pada
Menurut Santrock (2009:127) harga diri atau ​Self Esteem m

pandangan individu tentang dirinya sendiri. Harga diri juga disebut dengan nilai

diri (​self worth) atau citra diri (​self image)​ . Pada pembahasan ini kita

menggunakan ​self esteem untuk menjelaskan ​image ​atau penilaian positif

seseorang untuk dirinya, evaluasi global seseorang mengenai dirinya (Santrock

2007:63). Tingkatan ​self esteem pada diri seseorang sangat bergantung kepada

bagaimana ia mengevaluasi mengenai dirinya, penerimaan dirinya dan juga

penghargaan diri.

Perasaan harga diri tampaknya dengan sederhana menyatakan secara tidak

langsung bahwa individu yang bersangkutan merasakan bahwa dia seseorang

yang berharga, menghargai dirinya sendri terhadap sebagai apa dia sekarang ini,

tidak mencela tentang apa dia yang tidak dilakukan, dan tingkatan dimana dia
14

merasa positif terhadap dirinya sendiri. perasaan harga diri yang rendah

menyiratkan penolakan diri, penghinaan diri dan evaluasi diri yang negatif.

Dengan adanya ​self-esteem​, seseorang dapat memahami dan menerima

kekurangan dan kelebihan dirinya, yang kemudian dapat memaksimalkan

kelebihannya untuk mencapai keberhasilan. ​Self-esteem j​ uga dapat

mengoptimalkan kepribadian dan usaha seseorang. Hal yang paling penting ialah

self-esteem ​menggerakkan kemampuan untuk mencapai tujuan hidup dan

merespon secara positif terhadap rintangan yang akan dialami. Apabila seseorang

memiliki ​self-esteem p​ ositif, secara tidak langsung akan membuat seseorang

dengan mudah menjalin hubungan interpersonal yang baik.

Menurut Rogers (dalam Jarvis 2014:343) ​Self Esteem dapat didefinisikan

sebagai seberapa besar kita menyukai diri kita sendiri. Penerimaan diri yang

kurang baik yang mengakibatkan rendahnya ​Self Esteem ​peserta didik

mempengaruhi proses perkembangannya terutama dalam pendidikan. Hal ini

ditunjukkan dengan masih terdapat siswa-siswa yang merasa malu akan dirinya,

rendah diri, menganggap dirinya tidak mampu yang kemudian menghambat

tugas-tugas perkembangan yang seharusnya telah bisa ia lewati. Melihat dari hal

tersebut maka harga diri atau ​self esteem ​sangat penting untuk diperhatikan lebih

lanjut oleh para pendidik.

Lerner dan Spanier (Ghufron,2014:40) berpendapat bahwa harga diri

adalah tingkat penilaian yang positif atau negatif yang dihubungkan dengan

konsep diri seseorang. Harga diri merupakan evaluasi seseorang terhadap dirinya

sendiri secara positif dan juga sebaliknya dapat menghargai secara negatif.
15

Seharusnya seorang remaja akhir yang memasuki dewasa awal juga merupakan

seorang mahasiswi melaksanakan tugas perkembangannya seperti menerima

keadaan fisik, memperoleh kebebasan emosional, mampu bergaul, mengetahui

dan menerima kemampuan sendiri, dan menentukan karirnya (Gunarsa:2008:207).

Juga melaksanakan perannya sebagai seorang yang terpelajar seperti memahami

dan bertanggung jawab terhadap peran diri, belajar sebaik mungkin, memahami

peran orang lain, dapat bekerjasama dengan orang lain dan dapat hidup

berdampingan dengan orang lain (Hidayah:2014:65)

Dapat disimpulkan dari beberapa kutipan berkenaan ​self esteem ​di atas,

bahwa ​self esteem ​merupakan pandangan individu mengenai dirinya sendiri baik

dalam hal yang positif ataupun negatif.

2. Definisi ​Self Esteem

Menurut Sunaryo (2004:34), harga diri adalah penilaian individu terhadap

hasil yang dicapai, dengan cara menganalisis seberapa jauh perilaku individu

tersebut sesuai dengan ideal diri. Harga diri dapat diperoleh melalui orang lain dan

diri sendiri. Pengertian lain, ​Self Esteem a​ dalah penilaian pribadi tentang apa yang

siswa rasakan, dan lakukan yang diekspresikan melalui sikap. Jadi, sikap yang

positif berhubungan dengan ​self esteem y​ ang baik. Sebaliknya, ​sikap negatif

berhubungan dengan kurangnya ​self esteem ​dari siswa (Rafli , 2016:436).

Menurut Mary Jo Meadow (2006:62), harga diri (​self esteem​) adalah

penilaian yang kita lakukan terhadap diri sendiri. Penilaian diri ditentukan oleh

berbagai emosi yang mudah mempengaruhi kita, kemampuan kita mempersepsi

diri, dan sejauh mana pengendalian diri kita. Kesemuanya itu mewarnai berbagai
16

harapan, mempengaruhi perilaku kita, dan membantu menentukan pendapat

tentang diri kita.

Lerner dan Spanier (Ghufron , 2014:39), berpendapat bahwa harga diri

adalah tingkat penilaian yang positif atau negatif yang dihubungkan dengan

konsep diri merupakan evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri secara positif

dan juga sebaliknya dapat menghargai secara negatif. Mirels dan McPeek

(Ghufron, 2014:40), berpendapat bahwa harga diri sebenarnya memiliki dua

pengertian, yaitu pengertian yang berhubungan dengan harga diri akademik dan

harga diri non-akademik. Berhubungan dengan harga diri akademik adalah jika

Seseorang mempunyai harga diri tinggi karena kesuksesannya di bangku sekolah,

tetapi pada saat yang sama ia tidak merasa berharga karena penampilan fisiknya

kurang menyakinkan, misalnya postur tubuhnya terlalu pendek. Sementara itu,

contoh harga diri non-akademik adalah jika seseorang mungkin memiliki harga

diri yang tinggi karena cakap dan sempurna dalam salah satu cabang olahraga.

Tetapi, pada saat yag sama merasa kurang berharga karena kegagalannya dibidang

pendidikan khususnya berkaitan dengan kecakapan verbal.

Selanjutnya, Palladino (Mulyadi : 09), berpendapat bahwa ​Self Esteem

merupakan kepercayaan terhadap diri sendiri, kemampuan untuk melihat posisi

diri di dunia ini secara realistis dan optimis, keyakinan akan kemampuan dalam

membuat perubahan dan menghadapi tantangan hidup, kapasitas untuk memahami

kelemahan diri dan berusaha memperbaiki diri, pengetahuan tentang diri sendiri

serta penerimaan akan pengetahuan tersebut, kemampuan untuk mengakui

keunikan diri dan berbangga terhadap apa yang membuat diri kita unik,
17

kepercayaan akan nilai diri dan penghargaan akan kemampuan yang dimiliki,

kepercayaan tentang apa yang dapat kita lakukan, cara pandang positif dan

keyakinan diri untuk melakukan sesuatu yang baru, kemampuan untuk menggali

dan menerapkan keterampilan dalam perilaku positif, pemahaman bahwa kita

berharga bagi diri sendiri dan orang lain.

Berdasarkan dari penjelasan beberapa tokoh diatas maka dapat

disimpulkan bahwa ​Self Esteem ​adalah penilaian individu terhadap hasil analisa

dari perilakunya dan menggambarkan sejauhmana individu tersebut menilai

dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan, keberartian, berharga dan

kompeten.

3. Aspek-Aspek ​Self Esteem

Menurut Coopermith (dalam Sri Hartati 2012:52), ​Self Esteem ​terdiri dari

empat aspek, yaitu:

1. Kekuasaan (​power​), menunjukkan adanya kemampuan seseorang untuk dapat

mengatur dan mengontrol tingkah laku dan mendapat pengakuan atau tingkah

laku tersebut dari orang lain.

2. Keberartian (​significance​), menunjukkan pada kepedulian, perhatian, afeksi

dan ekspresi cinta yang diterima oleh seseorang dari orang lain yang

menjukkan adanya penerimanaan dan popularitas individu dari lingkungan

sosial.

3. Kebajikan (​virtue​), menunjukkan suatu ketaatan untuk mengikuti standar moral

dan etika serta agama dimana individu akan menjauhi tingkah laku yang harus
18

dihindari dan melakukan tingkah laku yang diizinkan oleh moral, etika dan

agama.

4. Kemampuan (​competence​), menunjukkan suatu performasi yang tinggi untuk

memenuhi kebutuhan dan mencapai prestasi dimana level dan tugas-tugas

tersebut tergantung pada variasi usia seseorang.

Menurut Sunaryo (2004:34), aspek utama harga diri adalah dicintai,

disayangi, dikasihi orang lain dan mendapat penghargaan dari orang lain. Tanpa

adanya rasa cinta dan kasih sayang dari orang lain, maka seseorang akan merasa

harga dirinya rendah. Sehingga ia akan merasa kurang percaya diri terhadap

dirinya sendiri untuk bergaul dengan anggota masyarakat yang ada disekitar

lingkungannya.

4. Faktor-Faktor ​Self Esteem

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi harga diri dan citra tubuh.

Diantara faktor-faktor tersebut adalah (Sharma:177):

a) Pubertas dan perubahan sejumlah remaja berjuang ubtuk mendapatkan harga

diri dan citra tubuh mereka. Karena saat mereka mulai mengalami pubertas,

tubuh mereka mengalami sejumlah perubahan.

b) Media gambar Remaja akan lebih sadar akan sejumlah perkembangan selebriti

dan media gambar.

c) Keluarga dan sekolah Manusia tidak mengembangkan harga diri dan citra

tubuh dengan sendirinya. Keluarga, sekolah dan anggota masyarakat lainnya

yang mempengaruhi harga diri seseorang.

d) Pengalaman hidup dan pendewasaan diri ketika tubuh kita berubah karena
19

penuaan alami, kita memiliki perasaan yang berbeda mengenai tubuh kita yang

akan mempengaruhi harga diri kita.

Adapun menurut Ghufron dan Risnawati dalam bukunya (2014:44), ada

beberapa faktor yang mempengaruhi harga diri diantaranya yaitu:

1. Faktor jenis kelamin

Menurut Ancok dkk, wanita selalu merasa rendah harga dirinya daripada pria

seperti perasaan kurang mampu, kepercayaan diri yang kurang mampu, atau

merasa harus dilindungi.

2. Intilegensi

Menurut Coopersmith individu dengan harga diri yang tinggi akan mencapai

prestasi akademik yang tinggi daripada individu dengan harga diri yang

rendah.

3. Kondisi fisik
Coopresmith menemukan adanya hubungan yang konsisten antara daya tarik

fisik dan tinggi badan dengan harga diri.

4. Lingkungan keluarga
Savany berpendapat bahwa keluarga berperan dalam menentukan

perkembangan harga diri anak.

5. Lingkungan sosial

Klass da Hodge berpendapat bahwa pembentukan harga diri seseorang yang

menyadari bahwa dirinya berharga atau tidak. Hal ini merupakan hasil dari

proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain

kepadanya.
20

5. Proses Pembentukan ​Self Esteem

Self-esteem mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan

dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya.

Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling

tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi

menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman

tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian orang lain terhadap dirinya

sebagai orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya

sehingga individu mempunyai ​Self Esteem ​(Burn 1993:46).

Self Esteem ​mengandung pengertian ”siapa dan apa diri saya”. Segala

sesuatu yang berhubungan dengan seseorang, selalu mendapat penilaian

berdasarkan kriteria dan standar tertentu, atribut-atribut yang melekatpada remaja

akan mendapat masukan dari orang lain dalam proses berinteraksi dimana proses

ini dapat menguji individu, yang memperlihatkan standar dan nilai diri yang

terinternalisasi dari masyarakat dan orang lain.

Menurut Burns ( dalam Sabriani 2004:33) pembentukan ​self esteem

mencakup dua proses psikologis, yaitu evaluasi diri (​self evaluation)​ dan

keberhargaan diri (​self worth​).

a. Evaluasi diri (​self evaluation​)

Evaluasi diri (​self evaluation​) mengacu pada pembuatan penilaian

mengenai pentingnya diri (​self)​ . Di dalam evaluasi diri terdapat tiga faktor utama,

yaitu:
21

1) Perbandingan antara gambaran diri yang dimiliki (​self image)​ dengan gambaran

yang diinginkan (​ideal self​), ​Self image merupakan suatu gambaran diri dan

keadaan diri yang dimiliki oleh remaja yangbersangkutan, sedangkan ​idealself

adalah suatu gambaran dari keadaan diri yang diinginkan oleh remaja. Di

dalam evaluasi diri (​self evaluation​), remaja akan melakukan suatu

perbandingan antara gambaran diri yang ia miliki (​self image)​ dengan

gambaran diri yang ia inginkan ​(ideal self)​ . Jika perbandingan antara ​self image

dengan ​ideal self menghasilkan suatu gambaran yang sangat berbeda, remaja

akan merasa tidak puas dan sangat mungkin mengembangkan self esteem

rendah. Sebaliknya, jika gambaran diri yang ia inginkan (​ideal self)​ , remaja

akan merasa puas dan menerima dirinya secara realistis dan akan

mengembangkan ​Self Esteem t​ inggi.

2) Internalisasi dari penilaian lingkungan sosial (​society’s judgement)​ . Dalam hal

ini, ​self evaluation ditentukan oleh keyakinan remaja mengenai bagaimana

orang lain mengevaluasi dan memberikan penilaian atas dirinya. Proses

pembentukan ini terjadi semenjak remaja berinteraksi dengan lingkungannya di

mana penilaian dari lingkungan tersebut akan terinternalisasi dan menjadi

batasan tingkah laku.

3) Evaluasi terhadap kesuksesan dan kegagalan dalam melakukan sesuatu sebagai

bagian dari identitas diri (​self​). Dalam hal ini remaja dapat melakukan sesuatu

yang membuat dirinya merasa berharga baik secara pribadi maupun secara

sosial dimana hal ini dapat meningkatkan rasa harga diri remaja. Ketiga faktor

ini saling terkait dan menentukan proses pembentukan ​self-esteem​ remaja.


22

b. Keberhargaan diri ​(self worth​)

Keberhargaan diri (​self worth​) merupakan perasaan bahwa diri (​self)​ itu

berharga. ​Self worth melibatkan sudut pandang dari diri sendiri dalam

melakukan suatu tindakan. Misalkan perasaan kompetisi muncul dari dalam

diri remaja tersebut karena ia merasa memiliki harga diri dan tidak ditentukan

atau bergantung kepada dukungan atau pandangan yang sifatnya eksternal.

Dari ​self evaluation dan ​self worth tersebut, remaja akan mengembangkan ​Self

esteem.​

6. Karakteristik​ Self Esteem

Karakteristik ​self esteem dapat dikategorikan menjadi 2, yakni

karakteristik ​self esteem​ tinggi dan karakeristik ​self esteem​ rendah.

a. Karakteristik ​Self Esteem​ Tinggi

Self esteem yang tinggi akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan

diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna, serta rasa bahwa

kehadirannya diperlukan didalam dunia ini. Karakteristik anak yang memiliki ​self

esteem (harga diri) yang tinggi menurut Clemes dan Bean ( dalam Freist

Jess&FeistGregory J 2011:46)antara lain : Bangga dengan hasil kerjanya,

bertindak mandiri, mudah menerima tanggung jawab, mengatasi prestasi dengan

baik, menanggapi tantangan baru dengan antusiasme, merasa sanggup

mempengaruhi orang lain dan menunjukkan jangkauan perasaan dan emosi yang

luas.
23

Berdasarkan karakteristik ​self esteem diatas bahwa siswa yang memiliki

self esteem yang tinggi akan berperilaku ke arah yang lebihpositif. Ciri-ciri

individu yang mempunyai ​self esteem yang tinggi menurut Branden (2010:43),

yaitu; Mampu menanggulangi kesengsaraan dan kemalangan hidup, lebih tabah

dan ulet, lebih mampu melawan suatu kekalahan, kegagalan, dan keutusasaan,

cenderung lebih berambisi, memiliki kemungkinan untuk lebih kreatif untuk

memeroleh keberhasilan, serta memiliki kemungkinan lebih dalam dan besar

dalam membina hubungan interpersonal dan tampak lebih gembira

dalammenghadapi realitas.

Berdasarkan ciri individu yang memiliki ​self esteem tinggi diatas individu

tersebut akan lebih menghargai dirinya sendiri dan dapat mengenali

keterbatasannya sehingga ingin mengalami perubahan yang lebih baik.

b. Karakteristik ​Self Esteem​ Rendah

Menurut Frey dan Carlock ( dalam Ghufron 2010:43) ciri individu yang

memiliki ​self esteem rendah cenderung menolak dirinya dan cenderung tidak

puas. Sedangkan karakteristik anak dengan ​self esteem (harga diri) yang rendah

menurut Clemes dan Bean ( dalam Freist Jess&Feist.Gregory J 2011:45) adalah :

Menghindari situasi yang dapat mencetuskan kecemasan, merendahkan bakat

dirinya, merasa tak ada seorangpun yang menghargainya, menyalahkan orang lain

atas kelemahannya sendiri, mudah dipengaruhi oleh orang lain, bersikap defensif

dan mudah frustrasi, merasa tidak berdaya, serta Menunjukkan jangkauan

perasaan dan emosi yang sempit


24

Berdasarkan karakteristik yang telah dikemukakan diatas bahwa individu

yang memiliki ​self esteem yang rendah akan menimbulkan dampak yang negatif

terhadap keberlangsungan hidupnya.

7. Komponen ​self Esteem

Menurut Battle ( dalam Refnaldi 2018 :18), komponen self-esteem terdiri

atas tiga, yaitu: ​a.general self-esteem, b.social self-esteem, c.personal self-esteem.

a. General Self-esteem

General self-esteem mengacu pada perasaan keseluruhan seseorang

terhadap ​self-worth yang bertentangan dengan ​self-esteem dalam kaitannya

dengan aktivitas tertentu atau keterampilan dan perasaan harga diri dan

kepercayaan diri serta persepsi keseluruhan individu dari nilai mereka yang

merupakan hasil dari pengalaman masa lalu dan sejarah individu.

Seorang individu dikatakan berperilaku dengan cara tertentu karena tinggi

atau rendahnya tingkat ​self-esteem.​ ​General self-esteem mempengaruhi tujuan dan

kegiatan yang sedang dalam proses, dan juga membantu menentukan perilaku

sehari-hari. Dapat kita simpulkan bahwa General ​self esteem b​ erkenaan dengan

penilaian individu mengenai dirinya sendiri baik hal itu menyangkut minat dan

kemampuan yang dimiliki, keberhargaan diri maupun rasa tanggngjawab dirinya

terhadap suatu hal.

b. Social Self-esteem

Social self-estem adalah aspek harga diri yang mengacu pada persepsi

individu terhadap kualitas hubungan mereka dengan teman sebaya serta

kemampuan untuk terlibat dalam interaksi interpersonal individu hidup dalam


25

dunia sosial. Kenyamanan merupakan hal yang penting untuk interaksi sosial.

Dalam hubungannya dengan lingkungan sosial, perasaan diterima dalam suatu

kelompok dapat memberikan pengaruh yang kuat dalam meningkatkan ​self esteem

seseorang. Kemampuan dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial juga

memberikan pengaruh terhadap ​self esteem​.

c. Personal Self Esteem

Personal Self Esteem a​ dalah cara melihat diri sendiri dan berkaitan erat

dengan ​self-image.​ Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi cara

seseorang merasa tentang dirinya dan bagaimana seseorang berperilaku dalam

situasi yang menantang. Yang paling penting untuk disadari tentang personal ​Self

Esteem ​adalah bahwa hal itu berhubungan dengan bagaimana orang lain melihat

Anda. Dalam hal ini seseorang akan berada pada harmoni dengan dunia dan

orang lain di sekitarnya atau dapat sangat berbeda dari bagaimana orang lain

melihat dirinya dan sebagainya. Individu mungkin merasa salah paham dan

merasa hidup adalah pertempuran untuk membuat orang lain menghargai siapa

dirinya. Salah satu masalah terbesar orang dengan ​Self Esteem ​adalah mereka

tidak dapat menerima atau mungkin buta terhadap siapa mereka dan apa yang

mereka yakini. Sebagian besar dari kita hari ini menderitasampai batas tertentu

karena masyarakat tampaknya ingin kita untuk bersikap dan hidup dengan cara

yang mungkin tidak persis dengan apa yang kita inginkan.

Langkah pertama menuju ​Self Esteem y​ ang lebih tinggi adalah menjadi

jelas tentang siapa dan apa yang percaya. Ini adalah tujuan dari kesadaran diri.

Sebelum individu dapat meningkatkan ​Self Esteem ​atau bahkan membuat


26

perubahan positif bagi hidup dirinya, seseorang perlu menyediakan waktu untuk

membentuk perbaikan diri. Oleh karena itu, memahami ​personal self-esteem

adalah langkah pertama yang diperlukan dan hanya setelah langkah ini seseorang

dapat berpikir tentang bagaimana mengubah hidup secara positif. Dapat

​ erupakan cara pandang individu


disimpulkan juga bahwa ​personal self-esteemm

mengenai gambaran personal dirinya.

C. Generasi Milenial

Generasi milenial adalah terminologi yang saat ini banyak

diperbincangkan.​Millennials ​(juga dikenal sebagai Generasi Millenial atau

Generasi Y) adalah kelompok demografis (cohort) setelah Generasi X.Peneliti

sosial sering mengelompokkan generasi yang lahir antara 1980-2000 sebagai

generasi ​millennial.​Jadi bisa dikatakan generasi ​millennial a​ dalah generasi muda

masa kini yang saat ini berusia antara 15–34 tahun.Studi tentang generasi

millenial di dunia, terutama di Amerika, sudah banyak dilakukan. Di antaranya

studi yang dilakukan oleh ​BostonConsulting Group (BCG) b​ ersama​University of

Berkley t​ ahun 2011 dengan mengambil tema ​American Millennials: Deciphering

the Enigma Generation.

Karakteristik Nilai-Nilai Budaya Generasi ​Millennial a​ ntara lain adalah

menjadikan teknologi sebagai gaya hidup (​lifestyle), s​ ebagai generasi yang

ternaungi ​(sheltered), k​ arena mereka lahir dari orang tua yang terdidik. Mereka

​ andangan
multi talented, multi language, lebih ekspresif dan eksploratif. P

terhadap hakekat hidup, selalu yakin, optimistik, percaya diri, menginginkan

kesimplean, dan segala sesuatunya serba instan. Pandangan terhadap hakekat


27

karya atau kerja, memandang prestasi merupakan sesuatu yang harus dicapai,

bekerja dan belajar lebih interaktif melalui kerjasama tim, kolaborasi dan

kelompok berpikir, mandiri dan tersturuktur dalam penggunaan teknologi,

communication gadget, ​dalam akses internet lebih menyukai petunjuk visual atau

gambar.

Ciri generasi millennial dalam berkomunikasi bersifat ​Instant

Communication d​ i lingkungan ​real time, Network Development,​ yaitu

mengembangkan jaringan yang memungkinkan generasi ini untuk terhubung satu

sama lain untuk berkoneksi dan kolaborasi. Terkait dengan prinsip dasar

hubungan manusia dengan alam, mempunyai prinsip pemanfaatan dan sekaligus

pelestarian lingkungan alam.Manusia harus menguasai teknologi dan ilmu

pengetahuan untuk digunakan dalam pemanfaatan, pengelolaan, kelestarian

sekaligus bagi keselarasan, harmoni dan penguasaan alam demi kemanfaatan umat

manusia dan alam sekitarnya.Sementara itu, dalam melihat hubungan manusia

dengan sesama manusia, lebih terbuka terhadap berbagai akses informasi yang

bersifat lintas batas, cenderung lebih permisif terhadap keanekaragaman.Mereka

tidak peduli tentang privasi dan bersedia untuk berbagi rincian intim tentang diri

mereka sendiri dengan orang asing.Budaya membuat status merupakan aktivitas

sehari-hari.

D. Koseling kelompok

1. Pengertian Layanan Konseling Kelompok

Layanan konseling kelompok merupakan salah satu layanan bimbingan dan

konseling yang diberikan dalam bentuk kelompok kecil dengan memanfaatkan

dinamika kelompok untuk membahas masalah-masalah yang berkenaan dengan


28

individu anggota kelompok. Menurut Kurnanto (2014:9), konseling kelompok

adalah proses konseling yang dilakukan dalam situasi kelompok, dimana konselor

berinteraksi dengan konseli dalam bentuk kelompok yang dinamis untuk

memfasilitasi perkembangan individu dan membantu individu dalam mengatasi

masalah yang dihadapinya secara bersama.

Menurut Tohirin (2011: 152) layanan konseling kelompok dimaknai sebagai

suatu upaya pembimbing atau konselor membantu memecahkan masalah-masalah

pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok melalui kegiatan

kelompok agar tercapai perkembangan yang optimal. Selain itu, menurut Prayitno

dan Amti (2008: 314), konseling kelompok adalah konseling yang terdiri dari 5 -

10 konseli yang bertemu dengan 1 - 2 konselor. Pada prosesnya, konseling dapat

membicarakan beberapa masalah, seperti kemampuan dalam membangun

hubungan dan komunikasi, pengembangan harga diri, dan

keterampilan-keterampilan dalam mengatasi masalah.

Berdasarkan pengertian-pengertian konseling kelompok menurut ahli di

atas, dapatlah kita simpulkan bahwa konseling kelompok merupakan proses

pemberian bantuan yang diberikan oleh guru BK atau konselor kepada klien

terhadap permasalahan yang dihadapi oleh klien dalam suatu kelompok kecil yang

proses pengentasan masalahnya memanfaatkan dinamika kelompok dengan tujuan

agar terentaskannya permasalahan yang dihadapi oleh anggota kelompok.

Menurut Ruch (dalam Gerungan 2002: 110) kelompok adalah analisis dari

hubungan–hubungan kelompok sosial yang berdasarkan prinsip, bahwa tingkah

laku dalam kelompok itu adalah hasil dari interaksi yang dinamis antara

individu-individu dalam situasi sosial. Proses konseling kelompok tentunya


29

diperlukan dinamika yang baik dan mendukung dalam upaya pengentasan

masalah dari anggota kelompok, yang mana interaksi antar anggota kelompok

sangat memiliki peran yang cukup penting.

Anggota yang secara langsung terlibat dan menjalani dinamika kelompok

dalam konseling kelompok juga akan mencapai tujuan ganda, yaitu mendapat

kesempatan untuk mengembangkan diri untuk memperoleh

kemampuan-kemampuan sosial seperti kemampuan beradaptasi, dan segi lain

diperoleh berbagai informasi, wawasan, pemahaman, nilai dan sikap, serta

berbagai alternatif yang akan memperkaya pengalaman yang dapat mereka

pratikkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu tentunya menjadi upaya dalam

pengentasan permasalahan yang dihadapi.

Konseling kelompok adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh

sekelompok orang dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Artinya, semua

peserta dalam konseling kelompok dapat saling berinteraksi, bebas mengeluarkan

pendapat, bebas dalam menanggapi, dan lain-lain sebagainya, apa yang

dibicarakan itu semua bermanfaat untuk diri peserta yang sedang mengalami

permasalahan dan untuk peserta lainnya.

2. Tujuan Layanan Konseling Kelompok

Konseling kelompok merupakan layanan bimbingan dan konseling yang

memungkinkan klien memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan

pengentasan masalah yang dialaminya melalui dinamika kelompok. Winkel


30

(dalam Kurnanto, 2014: 10), menjelaskan bahwa tujuan layanan konseling

kelompok meliputi:

a) Masing-masing anggota kelompok memahami dirinya dengan baik dan

menemukan dirinya sendiri.

b) Para anggota kelompok mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu

sama lain sehingga mereka dapat saling memberikan bantuan dalam

menyelsaikan tugas-tugas.

c) Para anggota kelompok memperoleh kemampuan pengatur dirinya sendiri

dan mengarahkan hidupnya sendiri, mula-mula dalam kontrak antar pribadi

di dalam kelompok dan kemudian juga dalam kehidupan sehari-hari di luar

kehidupan kelompoknya.

d) Para anggota kelompok menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain

dan lebih mampu menghayati peraasan orang lain.

e) Masing-masing anggota kelompok menetapkan suatu sasaran yang ingin

mereka capai, yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang lebih

konstruktif.

f) Para anggota kelompok lebih berani melangkah maju dan menerima resiko

yang wajar dalam bertindak, dari pada tinggal diam dan tidak berbuat

apa-apa.

Menurut Tohirin (2011: 153), tujuan konseling kelompok adalah

berkembangnya kemampuan berkomunikasinya. Melalui konseling kelompok,

hal-hal yang dapat menghambat atau mengganggu sosialisasi dan komunikasi

klien diungkapkan dan didinamikakan melalui konseling kelompok, sehingga

kemampuan sosialisasi dan berkomunikasi siswa berkembang secara optimal.


31

Selanjutnya Prayitno (dalam Tohirin, 2011: 154), secara khusus tujuan

konseling kelompok adalah masalah pribadi individu peserta layanan, maka

layanan konseling kelompok yang intensif dalam upaya pemecahan masalah

tersebut, para peserta memperoleh dua tujuan sekaligus yaitu: pertama,

terkembangnya perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap terarah kepada

tingkah bersosialisasi dan berkomunikasi. Kedua, terpecahnya masalah individu

yang bersangkutan dan diperolehnya pemecahan masalah tersebut bagi

individu-individu lain yang menjadi peserta layanan.

E. Hasil penelitian yang relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh mahdiyyah Amorreta Isnain (2019) yang

berjudul Hubungan Antara Kecenderungan ​Body Dysmorphic Disorder

Dengan Perilaku diet pada remaja putri, menyimpulkan bahwa ada hubungan

yang kuat antara kecenderungan ​body dysmorphic disorder d​ engan remaja

yang termasuk adalah remaja putri.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Mochamad Indra Wahyudi (2018) yang

​ an Kecenderungan ​Body Dysmorphic Disorder P


berjudul ​Body Image D ​ ada

Mahasiswi. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara ​body

image dengan ​kecenderungan ​Body Dysmorphic Disorder.​

​ engan
3. Transvara putri yunistika 2018 berjudul Hubungan Antara ​Self Esteem D

Kecenderungan ​Body Dysmorphic Disorder ​Pada Mahasiswi Prodi Psikologi

Islam Fakultas Psikologi Uin Raden Fatah Palembang, dalam penelitian ini

juga disimpul kan bahwa terdapat hubungun antara ​Self Esteem ​dengan

kecenderungan ​Body Dysmorphic Disorder.


32

Dari penelitian diatas terlihat bahwa ada hubungan antara ​Self Esteem

Dengan Kecenderungan ​Body Dysmorphic Disorder. ​Sedangkan ada perbedaan

serta kesaman dari penelitian yang tertulius diatas adalah:

Persamaan dari ketiga penelitian yang relevan diatas adalah sama- sama meneliti
tentang ​Self Esteem d​ an ​Body Dismorphic Disorder sedangkan Perbedaan dari
penelitian diatas adalah penelitian tersebut bukanlah penelitian eksperimen
melainkan adalah hubungan, serta tempat pengambilan populasi dan sampel
berbeda.

F. Kerangka Pikir

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

1. Variabel terikat (​dependent​) adalah ​Body Dysmorphic Disorder


2. Variabel perlakuan adalah ​Self Esteem

Dalam penelitian ini adanya perlakuan (​treatment)​ yaitu untuk melihat sejauh

mana pengaruh latihan penguatan ​Self Esteem t​ erhadap Body Dysmorphic Remaja

Wanita.

G. Hipotesis penelitian

Dalam hal ini peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut:

a. Ho = Tidak ada pengaruh latihan penguatan ​Self Esteem t​ erhadap ​self esteem

​ emaja Wanita​.
siswa ​Body Dysmorphic Disorder R
33

b. Ha = Ada pengaruh latihan penguatan ​self esteem t​ erhadap ​Body Dysmorphic

Disorder r​ emaja wanita.


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian eksperimen. Dalam

eksperimen ada perlakuan yang diberikan. Menurut Sugiyono (2010:107), metode

penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan

untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang

terkendalikan.

Penelitian kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal

(angka) yang diolah dengan metoda statistika. Pada dasarnya, pendekatan

kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial (dalam angka pengujian hipotesis)

dan menyandarkan kesimpulan hasilnya pada suatu probabilitas kesalahan

penolakan hipotesis nihil. Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikansi

hubungan antar variabel yang diteliti. Pada umumnya, penelitian kuantitatif

merupakan penelitian sampel besar (Azwar, 1998:5).

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen dengan

cara memberikan layanan konseling kelompok kepada kelompok eksperimen.

Desain dalam penelitian ini adalah ​pre eksperimental ​dengan desain ​one group

pre-test and post-test.​

Menurut Sugiyono (2010:74) ​pre-eksperiment design b​ elum merupakan

eksperimen sungguh-sungguh. Hal ini karena masih terdapat variabel luar yang

berpengaruh terhadap terbentuknya variabel dependen. Jadi hasil eksperimen yang

34
35

merupakan dependen itu bukan semata-mata dipengaruhi oleh variabel

independen.Hal ini terjadikarena tidak adanya variabel kontrol dan sampel tidak

dipilih secara random.

Penelitian ini menggunakan ​one group pretest-posttest design.​ Metode ​one group

pretest-posttest design a​ dalah satu kelompok tes diberikan satu perlakuan yang

sama sebelum dan sesudah mendapatkan perlakuan tertentu. Dalam penelitian,

subyek dikenakan dua kali pengukuran. Pengukuran yang pertama dilakukan untuk

mengetahui sejauh mana ​Body Dysmorphic Remaja Wanita s​ iswa sebelum

diberikan penguatan ​Self Esteem.​

melalui ​pretest d​ an pengukuran yang kedua untuk mengukur konsep diri

siswa sesudah diberikan layanan penguasaan konten konsep dirimelalui ​posttest.​

Desainnya adalah sebagai berikut:

Gambar 3.1

Pengukuran perlakuan Pengukuran


(​Pre-test​ ) (​Post-test​ )

Keterangan:

O​1 : Sebelum tretmen diberikan b​ ertujuan untuk mengetahui sejauh mana


Body Dysmorphic Remaja Wanita s​ iswa sebelum diberikan penguatan
Self Esteem​.

X : Perlakuan (latihan penguatan ​Self Esteem)​


36

O​2 : ​Sesudah Perlakuan diberikan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana


Body Dysmorphic Remaja Wanita sesudah diberikan penguatan ​Self
Esteem​.

Dengan skala di lingkungan sosial yang sama dengan pengukuran yang pertama.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 3 Kota Bengkulu yang akan

dilaksanakan pada tahun 2020 selama satu bulan.

C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi

Menurut Zuriah (2009:116) populasi adalah semua anggota kelompok

manusia, binatang, peristiwa atau benda yang tinggal bersama dalam satu tempat

dan secara terencana menjadi target kesimpulan dari hasil akhir suatu penelitian.

Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang

lingkup dan waktu yang kita temukan. Jadi populasi berhubungan dengan data,

bukan manusianya. Kalau setiap manusia memberikan suatu data, maka banyaknya

atau ukuran populasi akan sama dengan banyaknya manusia.

Populasi yang akan diambil dalam penelitian ini adalah siswi SMK Negeri 3

Kota Bengkulu yang terdapat di beberapa kelas.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi, sebagai contoh yang diambil dengan

menggunakan cara-cara tertentu (Zuriah 2009:119). Adapun menurut Tohirin (169:

2014) kelompok yang ideal jumlah anggota antara 8-10 orang. Dengan demikian
37

sampel penelitian ini dari populasi adalah siswi yang memiliki ​Body Dysmorphic

rendah. Penelitian ini berbentuk studi lapangan. Jenis data yang digunakan adalah

data kuantitatif (data-data yang menunjukkan angka-angka), untuk mengelola data

yang terdiri dari angka-angka uji statiskik.

3. Teknik Sampling

Teknik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang jumlahnya

sesuai dengan ukuran sampel yang dijadikan sumber data sebenarnya, dengan

memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang

representatif (Zuriah 2009:122). Dalam hal ini pertimbangannya adalah siswa dan

siswi yang memiliki ​Body Dysmorphic​ yang rendah dan sedang.

Selanjutnya, ditentukan sampel penelitian dalam hal ini pengambilan

sampel yang peneliti lakukan adalah dengan cara ​purposive random sampling,

dengan memilih siswi yang memiliki ​Body Dysmorphic sedang dan rendah serta

memenuhi perasyarat dalam pengambilan sampel penelitian.

D. Prosedur Pengambilan Subjek Penelitian

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan teknik ​purposive random sampling.​ Teknik ​purposive random

sampling i​ ni adalah teknik penentuan sampel penelitian dengan

pertimbangan-pertimbangan tertentu, dengan cara peneliti memilih subjek sebagai

sampel yang benar-benar memenuhi kriteria yang sesuai dengan topik penelitian.

Yang menjadi sampel pada penelitian ini adalah siswi SMK N 3 Kota Bengkulu

yang yang memiliki ​Body Dysmorphic rendah dan sedang teknik ​purposive random
38

sampling. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan cara penguatan

Self Esteem​. Untuk mengetahui jumlah sampel penelitian terhadap siswa yang

memiliki ​Body Dysmorphic rendah, peneliti melakukan penyebaran angket

berdasarkan kisi-kisi yang dibuat berkenaan ​body dysmorphic​.

E. Prosedur Eksperimen

Prosedur yang dilakukan dalam penelitian eksperimen ini adalah dengan

cara memberikan ​pre-test s​ ebelum latihan ​penguatan ​Self Esteem,​ kemudian

diberikan perlakuan yaitu latihan penguatan ​Self Esteem,​ dan ​post-test y​ ang akan

diberikan setelah dilakukannya latihan penguatan ​Self Esteem​. Adapun prosedur

pelaksanaan penelitian eksperimen sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Memilih siswi yang memiliki ​Body Dysmorphic​ rendah dan sedang.

Peserta dalam latihan penguatan ​self esteem diambil berdasarkan hasil

pengolahan ​pre-test ​dari populasi yang memiliki ​Body Dysmorphic y​ ang rendah

dan sedang, yang akan diberikan perlakuan latihan penguatan ​Self Esteem​.

2. Tahap Pelaksanaan

Dalam tahap pelaksaaan ini penulis terlebih dahulu akan memberikan ​pre-test

kepada siswi dikelas kemudian barulah melakukan tahapan-tahapan dari latihan

penguatan ​Self Esteem​ yang meliputi:


39

a. Tahap Pembentukan

1) Menerima kehadiran peserta.

2) Memimpin doa.

3) Saling memperkenalkan diri.

4) Mengungkapkan tujuan dan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam

kegiatan.

b. Tahap Peralihan

1) Menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh selanjutnya.

2) Menawarkan dan mengamati apakah anggota telah siap untuk menjalani

kegiatan pada tahap selanjutnya.

c. Tahap Kegiatan

1) Memberikan materi motivasi kepada peserta dengan berbagai topik serta

materi bahasan yang sudah disiapkan.

2) Melakukan tanya jawab serta diskusi kepada kelompok

3) Peserta menarik kesimpulan mengenai materi.

d. Tahap pengakhiran

1) Menjelaskan bahwa kegiatan berakhir

2) Anggota kelompok mengemukakan kesan-kesan selama layanan layanan

diberikan.

3) Membaca do’a

4) Mengucapkan salam
40

Pelaksanaan latihan penguatan ​Self Esteem berkenaan dengan Body

Dismorphic yang dibahas dalam layanan yang diberikan merupakan topik yang

mengarah pada ​Body Dismorphic​.

3) Post-test

Post-test dilakukan setelah pelaksanaan perlakuan ​tujuannya untuk

mengetahui bagaimana keefektifan latihan penguatan ​Self Esteem dan untuk

mengetahui tingkat ​Body Dismorphic peserta setelah diberi perlakuan latihan

penguatan ​Self Esteem​.

F. Variabel Penelitian

1. Variabel Terikat ​Body Dismorphic

1. Definisi konseptual

Body Dysmorphic Disorder a​ tau yang biasanya disebut gangguan dismorfik

tubuh merupakan salah satu jenis dari gangguan ​somatoform.​

2. Devinisi operasional

Suatu perasaan tidak puas terhadap penampilan fisiknya sendiri kini sudah

menjadi fenomenal yang umumnya disebut dengan gangguan dismorfik tubuh atau

body dysmorphic disorder.​ Tingkat perubahannya sejajar dengan tingkat perubahan

fisik yang disertai perubahan hormonal.

Untuk mengukur kecenderungan ​body dysmorphic disoder d​ alam penelitian

ini, peneliti menggunakan alat ukur skala ​body dysmorphic disorder y​ ang mengacu

pada pendapat Rosen (1996), yaitu dengan menggunakan empat aspek, diantaranya:
41

1. Aspek pikiran (kognitif) yaitu kecemasan terhadap tubuh dan pikiran negatif

tentang tubuh.

2. Aspek perasaan (afektif) yaitu ketidakpuasan terhadap bagian tubuh, dan

perasaan negatif tentang tubuh.

3. Aspek perilaku (behavioral) yaitu perilaku obsesif- kompulsif.

4. Aspek hubungan sosial yaitu menghindari situasi dan hubungan sosial.

2. Variabel Eksperimen penguatan ​self esteem

1. Definisi Konseptual

Self esteem ​secara umum yaitu bagaimana seseorang mengevaluasi dan

menilai tentang dirinya. ​Self esteem j​ uga erat kaitannya dengan ​Self Image ​(citra

diri) atau ​Self Worth ​(nilai diri). Secara tidak langsung dalam hal ini bahwa seorang

individu merasakan bahwa ia adalah seorang yang berharga.

2. Definisi Operasional

Self Esteem ​dapat didefinisikan sebagai seberapa besar kita menyukai diri kita

sendiri. Bagaimana seseorang menerima dirinya sendiri. Penerimaan diri yang

kurang baik mengakibatkan rendahnya ​Self Esteem p​ eserta didik. Yang

berpengaruh kepada proses perkembangannya, terutama dalam hal pendidikan.

Untuk melihat bagaimana tingkat ​self esteem p​ eserta didik diperlukan sebuah

pengukuran yang dilakukan. Dimensi yang digunakan untuk mengukur ​Self Esteem

siswa dirangkum dalam komponen-komponen ​Self Esteem ​sebagai berikut: (1)

General Self Esteem​; (2) ​Social Self Esteem;​ (3) ​Personal Self Esteem.​
42

Tabel 3.2
Jadwal Perencanaan Kegiatan

No Hari/Tanggal Kegiatan Waktu

1 February 2020 pre-test ± ​45 menit

2 February 2020 Diskusi kelompok tentang ± ​45 menit


bagaimana cara bertindak
mandiri.

3 February 2020 Diskusi kelompok ± ​45 menit


bagaimana Menerima
tanggung jawab yang
diberikan
4 February 2020 Diskusi kelompok ± ​45 menit
bagaimana merasa bangga
akan prestasi diri yang
didapat
5 February 2020 Diskusi kelompok cara ± ​45 menit
mendekati tantangan baru
dengan penuh antusias.
6 February 2020 Diskusi kelompok ± ​45 menit
bagaimana cara
menunjukkan sederet
perasaan dengan emosi yang
luas.
7 February 2020 post-test ± ​45 menit

G. Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi

Observasi yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan jalan

pengamatan dan pencatatan secara sistematis, logis, objektif, dan rasional mengenai

berbagai fenomena, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi
43

buatan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan dari observasi ini untuk mengetahui

sejauh mana ​body dismorphic ​yang dimiliki oleh siswi Kota Bengkulu.

2. Angket

Angket adalah instrumen penelitian yang terdapat beberapa pertanyaan atau

pernyataan yang berisi mengenai ​body dismorphic ​untuk menjaring data atau

informasi yang harus dijawab responden secara bebas sesuai dengan pendapatnya.

Pernyataan tersebut ada yang bersifat terbuka, ada yang bersifat tertutup, dan ada

juga yang berstruktur. Angket yang digunakan peneliti dalam hal ini yaitu angket

skala, yang mana memiliki 5 kriteria dalam angket tersebut, yaitu: sangat sesuai

(SS), sesuai (S), ragu-ragu (RR), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS).

Tabel 3.3
Skor Angket ​Self Esteem

Pernyataan positif (+) Skor Pernyataan negatif (-) Skor

Sangat Sesuai (SS) 5 Sangat Sesuai (SS) 1

Sesuai (S) 4 Sesuai (S) 2

Ragu-Ragu (RR) 3 Ragu-Ragu (RR) 3

4
Tidak Sesuai (TS) 2 Tidak Sesuai (TS)

Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 Sangat Tidak Sesuai (STS) 5


44

Pengambilan angket ini berisikan kisi-kisi ​Body Dismorphic y​ ang diambil

dari komponen ​Body Dismorphic, k​ omponen ​Body Dismorphic ​terdiri atas tiga

yaitu:

1. Persepsi individu berkenaan dengan bagaimana individu menilai dirinya

2. Persepsi individu berkenaan dengan kualitas hubungan dengan orang lain

3. Persepsi individu berkenaan dengan hal-hal yang bersifat personal.

H. Teknik Analisis Data

Setelah diperolehnya seluruh data-data yang dibutuhkan, maka langkah

selanjutnya adalah pengolahan data dan analisis data. Adapun analisis data yang

peneliti gunakan adalah pendekatan kuantitatif metode eksperimen.

1. Uji validitas

Uji Validitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kesahihan dari

angket atau kuesioner. Kesahihan disini mempunyai arti kuesioner atau angket yang

dipergunakan mampu untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Suatu

kuesioner dikatakan valid (handal) jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan

yang terdapat dalam kuesioner tersebut adalah konsisten atau stabil dari waktu ke

waktu. Subjek yang akan diukur dapat menggunakan uji coba instrument dengan

subjek siswi SMK Negeri 3 Kota Bengkulu, selain itu dapat pula menggunakan uji

validitas yang diuji oleh ahli.


45

2. Uji realibilitas

Uji reliabilitas merupakan pengujian tentang seberapa mampu lat ukur

untuk digunakan dalam penelitian. Untuk menguji reabilitas angket yaitu dengan

menggunakan aplikasi SPSS.

1. Teknik Analisis Data

Pengolahan data terkumpul melalui soal. Data yang telah terkumpul diolah

dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Memeriksa kelengkapan isian instrument yang telah diterima dari subjek

penelitian.

2. Membuat tabel pengolahan

3. Meneliti dan menghitung jumlah jawaban siswa serta memasukkan kedalam

tabel pengolahan

4. Menghitung persentase masing-masing frekuensi yang diperoleh.

Menurut Nurkanca (2000: 87) pengukuran untuk menentukan kelas interval

skor konsep diri siswa memiliki rumus sebagai berikut:

a. Sangat tinggi : M + 1.5 (SD)

b. Tinggi : M + 0.5 (SD)

c. Sedang :M

d. Rendah : M - 0.5 (SD)

e. Sangat rendah : M - 1.5 (SD)

Keterangan :

M: Mean,

SD : Standar Deviasi.
46

2. Uji Hipotesis

Pengujian ini dilakukan pada nilai rata-rata pada tes awal (​pre-test)​ dan

akhir (​post-test)​ standar deviasi dan jumlah responden. Adapun rumus uji- t yang

digunakan menurut (Sudjana, 1992:239) adalah sebagai berikut:

1. Mencari nilai t hitung


x̌1 −x˜ 2
t=
√ ( )
jk1 +jk2 1
n1 +n2−2
+1
n1 n2

Keterangan :

X1 : Rata-rata ​Pre-test

X2 : Rata-rata ​Post-test

n1 : Jumlah responden ​pre-test

n2 : Jumlah responden ​post-test

jk 1 : Jumlah kuadrat X​1

jk 2 : jumlah kuadrat X​2

2. Menentukan derajat kebebasan

ttabel = n-k= 22-2=20

n = Jumlah sampel kontrol

k = jumlah variabel

Dari hasil hitung tersebut dikonsultasikan dengan indeks tabel ​t-test jika hasil

analisis lebih besar dari indeks ​t-test ​maka berarti layanan informasi dianggap dapat
47

memberikan pengaruh yaitu ​Self Esteem SMK Negeri 3 Kota Bengkulu. Untuk

mengambil keputusan menggunakan pedoman dengan taraf signifikansi 5% 1 ekor

dengan ketentuan: Ho ditolak dan Ha diterima apabila thitung lebih besar atau sama

dengan ttabel Ho diterima dan Ha ditolak apabila thitung lebih kecil dari ttabel .
DAFTAR PUSTAKA

Amti, Erman dan Prayitno. (2008)​. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling.​


Jakarta: Rineka Cipta

A, Gerungan W. (2002). ​Psikologi Sosial​. Bandung: Refita Aditama

Borualogo, Ihsana Sabriani. (2004). “Hubungan antara Persepsi tentang Figur


Attachment dengan Self Esteem Remaja Panti Asuhan Muhammadiyah”.
jurnal Psikologi​ 13. (1). 29-49.

Branden, Nathaniel. (2010). ​Kiat Jitu Meningkatkan Harga Diri​. Jakarta:Pustaka


Delapratasa

Burn, R.B. (1993). ​Konsep Diri:Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku​.


Jakarta: Erlangga

Dachmiati, Sabrina dan Rizki Amalia. (2017). “Layanan Bimbingan Kelompok


Untuk Meningkatkan Self Esteem Siswa”, ​Jurnal Fokus Konseling​.
Universitas Indraprasta PGRI Jakarta, III(2), 148-153

Dahar, Ratna W. (2011). ​Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran.​ Jakarta: Erlangga

Danim, Sudarwan. (2014). ​Perkembangan Peserta Didik.​ Bandung: Alfabeta

Fiest, J. Fiest, G.J. (2011). ​Teori Kepribadian : Theories of Personality​. Jakarta:


Salemba Humanika

Ghufron, Nur & Rini Risnawita S(2014), ​Teori-Teori Psikologi, ​Yogjakarta:


Ar-Ruzz Media, Gunarsa, S.D & Gunarsa Y.S.D, ​Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja, J​ akarta: Gunung

PMulia, 2008

Hidayah, Nur & Adi, Atmoko(2014), ​Landasan Sosial Budaya dan Psikologi
Sosial,​ Malang: Gunung Samudera,

Jarvis, Matt. (2014). ​Teori-Teori Psikologi: Pendekatan Modern Untuk Memahami


Perilaku Perasaan dan Pikiran Manusia. Bandung: Nusamedia dan
Nuansa

Johana E. Prawitasari. (2011). ​Psikologi Klinis. Pengantar terapan Mikro dan


Makro.​ Jakarta : Erlangga.

Kementrian Pendidikan Nasional. (2003). ​Undang-undang No.20 Tahun 2003


”Sistem Pendidikan Nasional”.​ Jakarta.

48
​ ahasiswa STAIN Ponorogo dengan
Lia, Amalia, Meningkatkan ​Self Esteem M
Pelatihan Pengenalan Diri, ​Jurnal Pendidikan, ​Ponorogo: Jurusan
Tarbiyan STAIN Ponorogo, 2014, Vol.8, No.1

Meadow, Mary Jo, ​Memahami Orang Lain,​ Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006

Melliana S, Annastasia, ​Menjelajah Tubuh: Perempuan dan Mitos Kecantikan,


Yogyakarta:PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2006

Murk. J, Cristhoper.(2006). ​Self-Esteem, Research, Theory and Practice​. New York


: Springer Publishing Company.

Noor, Juliansyah(2014), ​Metode Penelitian​, Jakarta: Kencana,

Nurlita, Dessy & Rika Lisiswanti, ​Body Dysmorphic Disorder,​ ​Jurnal Kedokteran,
2016, Vol 5, No 5

Oktaviana , Rina, Hubungan Antara ​Self Esteem d​ engan kecenderungan ​Body


Dysmorphic Disorder p​ ada siswa YPAC Palembang, ​Jurnal Ilmiah
PSYCHE, P ​ alembang: Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma, 2013,
Vol.7, No.2

​ ew
Phillips, K.A, ​Understanding Body Dysmorphic Disorder An Essential Guide, N
York: Oxford University Press, 2009

Rafli, Zainal & Ninuk Lustyantie (2016), ​Teori Pembelajaran Bahasa (suatu
​ ogyakarta: Ghudawaca
catatan singkat), Y

Rahman, Agus Abdul(2013), ​Psikologi Sosial​, Jakarta: Rajagrafindo Persada,

Rahmania PN, Ika Yanuar C, Hubungan Antara ​Self Esteem​, dengan


Kecenderungan ​Body Dismorphic Disorder pada remaja Putri, ​Jurnal
Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 2​ 012, Vol 1, No. 02

Reza, Iredho fani(2016), ​Metodologi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan


​ alembang: NoerFikri,
Kombinasi, P

Refnaldi. (2018). “Konsep Self Esteem Serta Implikasinya Pada Siswa”,​Jurnal


Education​. IICET, IV (1), 16-22, E ISSN 2477-0302.

Rosen. J. Reiter J.C (1996), ​Cognitif-Behavioral Body Image Therapy For Body
Dysmorphic Disorder, A Journal in Departement Of Psychology,
University of Vermont, Burlington 05404,

Robbert A, Barron. (2004). ​Psikologi Sosial.​ Jakarta:Erlangga

Santrock, John W. (2009). ​Perkembangan Anak, Edisi II​. Jakarta:Erlangga


​ ogyakarta: Penerbit Kanisius,
Semiun , Yustinus(2006), ​kesehatan Mental 2, Y

Sukardi, Dewa Ketut (2002) ​Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan


Konseling di Sekolah.​ Jakarta: Rineka Cipta.
Sumanto (2014), ​Psikologi Perkembangan fungsi dan Teori​, Yogjakarta: CAPS,
Sunaryo(2004), ​Psikologi Untuk Keperawatan, J​ akarta: Buku Kedokteran EGC,

Tohirin (2011), ​Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah​. Jakarta:


Rajagrafindo Persada
Willis, Sofyan S. (2009), ​Konseling Keluarga: Family Counseling.​ Bandung:
Alfabeta
Zuriah, Nurul.(2009), ​Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Teori-Aplikasi​.
Jakarta: Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai