Debat Agama

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 2

DEBAT AGAMA

1. Pembukaan

Yg kita u mengenai LGBTQ+ adalah komunitas yang dimana mereka memiliki sexual preference/ pilihan
sendiri mengenai orientasi seksualitas mereka.

-Kami dari team pro ingin berargumen bahwa kaum LGBTQ+ bukanlah sebuah penyakit mental maupun
kelainan jiwa. Kita harus mengubah cara pandang kita bahwa kaum komunitas LGBTQ+ tetaplah sama
seperti kita, manusia yang masih bisa berpikir logis, dan masih hidup dan menjalankan mereka aktivitas
seperti orang-orang pada umumnya. Lalu, kita juga tidak seharusnya menghakimi dan membenci
mereka berdasarkan orientasi seksual mereka. Karena kita tidak sepantasnya bagi kita untuk menilai
siapa yang mereka cintai, dan dengan siapa mereka menjalin hubungan.

a) Resiko HIV/AIDS bagi homosexual lebih tinggi dari heterosexual


Kami tidak setuju terhadap pernyataan ini karena penularan HIV/AIDS hanya terjadi apabila kita
tidak menggunakan pengaman saat melakukan intercourse. Sehingga, baik homo maupun
hetero memiliki tingkat penularan yang sama tinggi nya, semua tergantung bagaimana menjaga
keamanan tubuh kita masing-masing.

b) Hukum LGBTQ+ di Indonesia


Kita tidak memiliki hukum mengenai LGBTQ+. Oleh karena itu, kita tidak perlu
mempermasalahkan mereka, dan berusaha melindungi mereka dan menghargai keberadaan
mereka meskipun kita kontra sekalipun, untuk melindungi hak asasi mereka.

c) Mereka tidak bisa menghasilkan keturunan


Memang mereka tidak bisa menghasilkan keterunan, tetapi kita hidup di zaman yang modern.
Dengan kemajuan teknologi yang kita miliki, siapa pun bisa memiliki anak, begitu pula kaum
LGBTQ+. Kita sudah bisa melakukan sperm donor, Bayi tabung, dan melakukan adopsi. Masih
banyak pasangan straight yang berakhir meninggalkan dan membuang anak mereka, dan kaum
LGBTQ+ masih disalahkan dibanding mereka yang tidak mau bertanggung jawab atas darah
daging mereka sendiri.

Contoh: Pasangan gay Bernama Michael dan Kai korok mengadopsi seorang anak dan dalam
studi laporan sejumlah peneliti mengatakan bahwa tidak terjadi perbedaan antara anak yang
dibesarkan dengan orang tua heterosex maupun homosexual dan orang tua tunggal.
"Kami tahu betapa pentingnya merawat anak dan kita tahu bahwa Lesbian, Gay, Biseksual dan
Transgender (LGBT) sering datang ke tempat adopsi untuk membina keluarga. Mereka datang
membawa cinta, antusiasme yang nyata, "kata Helen Donohoe, Director of Public Policy at
Action for Children, LGBT Adoption, dilansir dari yourtango.

d) LGBTQ+ adalah sebuah dosa dan pelanggaran


Tertulis jelas dalam alkitab dalam hukum yang kedua dalam injil Matius 22:39 22:39 “Dan hukum
yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Pendapat kita masing-masing mengenai komunitas ini memang tergantung pandangan masing-
masing, tetapi bukan berarti kita harus membenci dan menghina mereka dan harus tetap
mengasihi dan cukup memberikan menghormati pilihan mereka, baik pro dan kontra.

e) Kaum LGBTQ+ pantas mendapatkan hukuman yang berat


Kami menolak keras mengenai pendapat ini. Jika kaum LGBTQ+, yang belum tentu berbuat salah
dan dosa besar, dianggap melanggar HAM dan pantas mendapat hukuman berat, Lalu apakah
hukuman berat ini tetaplah benar dan masih bisa kita anggap ‘menegakan keadilan’? Memberi
hukuman berat seperti cambuk, hukuman mati, sama saja dengan kita tidak menegakan
keadilan HAM dan bukan berarti hukuman itu BUKANLAH SEBUAH DOSA dan Bahkan, dosa-dosa
itu masih lebih besar, tetapi kenapa perbedaan orientasi seksual yang disalahkan?

f) Kaum LGBTQ+ merusak moral bangsa


Kita sudah memasuki zaman dimana kita bisa mencari informasi dengan mudah. Moral bangsa
dan pola pikir bangsa ini tergantung dengan cara mereka MENGEDUKASI DIRI SENDIRI.
Masyarakat terlalu sering mengambil garis besar permasalahan dan tidak mau menelaah lebih
dalam mengenai permasalahan yang ada di kehidupan sosial kita. Inilah mengapa, kita harus
menjadi masyarakat yang open minded.
Orang yang open minded adalah orang yang mau menerima informasi, permasalah maupun
pendapat yang ada dan terjadi di dunia ini. Orang yang open minded bukan berarti harus setuju,
tetapi mereka mampu menerima info tersebut, mencari tahu seluk beluk nya, baru mereka
pantas memberikan pendapat mereka.

g) LGBTQ+ tidak ‘normal’


Orang-orang terbiasa menganggap kaum mayoritas lah yang normal, walau pada dasarnya kata
normal itu subjektif. Dan kata ‘normal’ ini lebih baik diterapkan dalam kehidupan dimana kita
saling mengasihi satu sama lain apapun pilihan mereka dalam pola hidup, agama dan juga
seksualitas.

> Kesimpulan

Orientasi seksual seseorang bukan lah permasalahan kita, dan itu adalah sebuah pilihan, bukan
keharusan. Negara kita juga memiliki semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’, yaitu berbeda-beda tetapi tetap
satu. Dengan adanya perbedaan ini, kita boleh berpendapat dan boleh tidak setuju, tetapi Kita harus
tetap menghormati pilihan mereka, mengasihi mereka selayaknya kita mengasihi saudara kita seperti
yang lain nya dan tidak perlu menebarkan kebencian kepada mereka yang tidak pernah berbuat salah
dengan kita.

Anda mungkin juga menyukai