Anda di halaman 1dari 34

Pencegahan Dan Penularan HIV AIDS Termasuk

Penyalahgunaan NAPZA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan HIV AIDS yang
diampuh dr. Edwina Rugaiah Monayo, M.Biomed
Disusun Oleh:

Kelas A

Kelompok V

1. Ramdan Hunowu (841418015)


2. Parida Luawo (841418004)
3. Sumiyati Moo (841418010)
4. Iin N. Uno (841418020)
5. Rayhan binti Hasan (841418025)
6. Rezgina Mahmud (841418030)
7. Ilman Asman (841418035)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini terwujud berkat partisispasi berbagai pihak. Oleh Karena
itu, kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Tak ada gading yang tak retak begitu juga kami menyadari bahwa makalah
ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran yang
bersifat membangun agar kami menjadi lebih baik lagi. Adapun harapan kami
semoga makalah ini dapat diterima dengan semestinya dan bermanfaat bagi kita
semua dan semoga Allah SWT meridhai kami. Aamiin.

Gorontalo , Januari 2020

Penulis

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
Bab I.........................................................................................................................1
Pendahuluan.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................1
Bab II........................................................................................................................2
Pembahasan..............................................................................................................2
2.1 Definisi HIV AIDS.........................................................................................2
2.2 Pencegahan HIV AIDS..................................................................................2
2.2.1 Pencegahan HIV Melalui Hubungan Seksual..........................................2
2.2.2 Pencegahan Penularan HIV Melalui Hubungan Non Seksual.................4
2.2.3 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anaknya (PPIA).......................8
2.3 Proses Penularan HIV AIDS........................................................................11
2.3.1 Perjalanan Infeksi HIV dalam Tubuh Manusia.....................................16
2.4 Keterkaitan Penyalahgunaan NAPZA Dengan Penularan HIV AIDS.........22
2.4.1 Pengertian Napza...................................................................................22
2.4.2 Jenis jenis napza....................................................................................22
2.4.3 Keterkaitan napza dengan hiv aids........................................................23
Bab III....................................................................................................................26
Penutup...................................................................................................................26
3.1 Kesimpulan...................................................................................................26
3.2 Saran.............................................................................................................26
Daftar Pustaka........................................................................................................27

iii
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Berdasarkan data WHO, hingga akhir tahun 2017, terdapat 36,9 juta orang
hidup dengan HIV, dengan 1,8 juta infeksi baru di tahun yang sama. Berdasarkan
Laporan Perkembangan HIV AIDS dan Infeksi Seksual Menular tahun 2017 oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah kumulatif infeksi HIV
sampai dengan Desember 2017 di Indonesia adalah sebanyak 280.263 kasus,
dengan jumlah kumulatif AIDS sebanyak 102.667 kasus terhitung dari tahun 1987
hingga Desember 2017. Dalam laporan yang sama juga ditemukan bahwa jumlah
penemuan kasus infeksi baru HIV dan AIDS mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Data ini mengindikasikan peningkatan jumlah penularan infeksi HIV di
Indonesia (Maidina, 2019).
Kita diberi tahu bahwa kita terinfeksi HIV. Ini berarti di dalam tubuh kita
terdapat HIV serta antibodi untuk melawan infeksinya. Menjadi terinfeksi HIV
bukan selalu berarti kita telah jatuh sakit, menjadi AIDS, atau sekarat. Beberapa
orang hidup dengan HIV di dalam tubuhnya bisa sampai sepuluh tahun bahkan
lebih. Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan atau bertindak apa saja.
(Foundation, Aids, & Fund, 2016).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan HIV AIDS?


2. Bagaimana pencegahan HIV AIDS?
3. Bagaimana proses penularan HIV AIDS?
4. Apakan penyalahgunaan NAPZA dapat termasuk dalam proses penularan
HIV AIDS?

1.3 Tujuan

1 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan HIV AIDS.


2 Untuk mengatahui pencegahan HIV AIDS.

1
3 Untuk mengetahui proses penularan HIV AIDS.
4 Untuk mengatahui Apakan penyalahgunaan NAPZA dapat termasuk dalam
proses penularan HIV AIDS.
Bab II
Pembahasan
2.1 Definisi HIV AIDS

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, sebuah virus


yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.

AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. AIDS


muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh kita selama lima
hingga sepuluh tahun atau lebih. Sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan satu
atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi,
beberapa penyakit bisa menjadi lebih berat daripada biasanya (Foundation et al.,
2016).

Sistem kekebalan tubuh kita bertugas untuk melindungi kita dari penyakit
apa pun yang setiap hari menyerang kita. Antibodi adalah protein yang dibuat
oleh sistem kekebalan tubuh ketika benda asing ditemukan di tubuh manusia.
Bersama dengan bagian sistem kekebalan tubuh yang lain, antibodi bekerja untuk
menghancurkan penyebab penyakit, yaitu bakteri, jamur, virus, dan parasit.
Sistem kekebalan tubuh kita membuat antibodi yang berbedabeda sesuai dengan
kuman yang dilawannya. Ada antibodi khusus untuk semua penyakit, termasuk
HIV. Antibodi khusus HIV inilah yang terdeteksi keberadaannya ketika hasil tes
HIV kita dinyatakan positif (Foundation et al., 2016)

2
2.2 Pencegahan HIV AIDS

Kebijakan yang dianut oleh Indonesia terkait dengan pencegahan


penularan HIV terbagi menjadi 3 jenis upaya yaitu: pencegahan penularan HIV
melalui hubungan seksual, pencegahan penularan HIV melalui hubungan non
seksual dan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya (Maidina, 2019).

2.2.1 Pencegahan HIV Melalui Hubungan Seksual

Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual merupakan


berbagai upaya untuk mencegah seseorang terinfeksi HIV dan/atau penyakit
IMS lain yang ditularkan melalui hubungan seksual. Terdapat 4 kegiatan
terintegrasi pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual yang terdiri
dari peningkatan peran pemangku kepentingan, intervensi perubahan perilaku,
manajemen pasokan perbekalan kesehatan pencegahan; dan penatalaksanaan
IMS (Infeksi Menular Seksual) (Maidina, 2019).

Sedangkan yang dimaksud dengan Intervensi perubahan perilaku


ditujukan untuk memberi pemahaman dan mengubah perilaku kelompok
secara kolektif dan perilaku setiap individu dalam kelompok sehingga
kerentanan terhadap HIV berkurang. Manajemen pasokan perbekalan
kesehatan ditujukan untuk menjamin tersedianya perbekalan kesehatan
pencegahan yang bermutu dan terjangkau. Penatalaksanaan IMS ditujukan
untuk menyembuhkan IMS pada individu dengan memutus mata rantai
penularan IMS melalui penyediaan pelayanan diagnosis dan pengobatan serta
konseling perubahan perilaku (Maidina, 2019).

Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan


melalui 6 upaya,yaitu sebagai berrikut (Maidina, 2019).

a. Tidak melakukan hubungan seksual (Abstinensia) bagi yang belum


menikah

3
b. Setia dengan pasangan (Be Faithful) tetap yang diketahui tidak
terinfeksi HIV
c. Menggunakan kondom secara konsisten (Condom use)
d. Menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug)
e. Meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk
mengobati IMS sedini mungkin (Education)
f. Melakukan pencegahan lain, antara lain melalui sirkumsisi atau sunat.

2.2.2 Pencegahan Penularan HIV Melalui Hubungan Non Seksual

Dalam PERMENKES 21 tahun 2013 dijelaskan mengenai


komitmen pencegahan HIV melalui hubungan non seksual yang berarti
mencegah penularan HIV melalui dara yang terbagi menjadi 3 jenis
kegiatan, yaitu uji saring darah pendonor, pencegahan infeksi HIV pada
tindakan medis atau non medis yang melukai tubuh yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan dan pengurangan dampak buruk penggunaan napza
suntik (Maidina, 2019).

a. Uji Saring Darah

4
Pencegahan HIV melalui uji saring darah diatur dalam
standar pelayanan darah dalam Pasal 89 UU Nomor 36 tahun
2009. Aturan pelaksana dari pelayanan darah diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2011 tentang Pelayanan
Darah (PP 7 tahun 2011). Dalam Pasal 11 ayat (1) PP 7 tahun
2011 tersebut dijelaskan bahwa tenaga kesehatan wajib
melakukan uji saring darah untuk mencegah penularan
penyakit, uji saring darah tersebut juga meliputi pencegahan
penularan penyakit HIV/AIDS. Kententuan lanjutan mengenai
standar uji saring darah kemudian diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No. 91 tahun 2015 tentang Standar
Pelayanan Transfusi Darah (Permenkes 91 tahun 2015), yang
pada Pasal 5 Permenkes tersebut memberikan kewenangan
pada Menteri, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan,
Gubernur dan/atau Bupati/Walikota untuk dapat memberikan
tindakan administratif kepada Unit Transfusi Darah (UTD) dan
Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) dan tenaga kesehatan yang
melakukan pelanggaran dalam standar transfusi darah
(Maidina, 2019).

Dalam Standar tersebut dijelaskan bahwa terdapat prinsip


dari distribusi darah, yang salah satunya menjelaskan bahwa
darah yang distribusikan harus bebas dari sedikitnya empat
penyakit menular (HIV, HBsAg, HCV, dan Sifilis) yang
ditunjukkan dengan hasil uji saring Infeksi Menular Melalui
Transfusi Darah (IMLTD) non reaktif menggunakan metoda uji
saring dan reagen IMLTD yang telah divalidasi dan disetujui.
Berdasarkan Permenkes 91 tahun 2015 tersebut, saat ini setiap
tahun rata-rata sekitar 3% dari darah donor yang dikumpulkan
oleh UTD tidak dapat dipergunakan untuk transfusi disebabkan
hasil uji saring IMLTD repeated reactive terhadap anti-HIV,
HBsAg, anti-HCV dan TPHA. Hasil repeated reactive (RR)

5
menunjukan hasil ulangan uji saring serologi kedua kalinya
secara induplicate pada sampel darah donor yang initial
reactive (IR), dimana salah satu atau kedua hasil menunjukkan
reaktif (Maidina, 2019).
Permenkes 91 tahun 2015 ini juga mengacu pada
Permenkes 21 tahun 2013, tercantum bahwa UTD harus
melakukan pemeriksaan ulang pada hasil pemeriksaan yang IR,
dan dalam hal hasil pemeriksaan ulang tetap reaktif, UTD harus
memberikan surat pemberitahuan disertai dengan anjuran untuk
melakukan konseling pasca uji saring darah. Lebih lanjut,
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan
Transfusi Darah menekankan pentingnya pemberitahuan
kepada pendonor atas hasil uji saring darah yang RR melalui
konseling dan rujukan pendonor darah ke Rumah Sakit untuk
mendapatkan pemeriksaan diagnostik dan penanganan
selanjutnya (Maidina, 2019).

b. Pengurangan Dampak Buruk bagi Pengguna Napza Suntik

Upaya lainnya pencegahan HIV melalui hubungan non


seksual adalah dengan upaya pengurangan dampak buruk pada
pengguna napza suntik, dalam Pasal 15 ayat (5) Permenkes No.
21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dijelaskan bahwa
upaya pengurangan dampak buruk bagi Pengguna Napza
Suntik meliputi (Maidina, 2019):

1) Program layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan


perilaku serta dukungan psikososial;
2) Mendorong pengguna napza suntik khususnya pecandu opiat
menjalani program terapi rumatan;
3) Mendorong pengguna napza suntik untuk melakukan pencegahan
penularan seksual; dan

6
4) Layanan konseling dan tes HIV serta pencegahan/imunisasi
hepatitis.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengurangan dampak


buruk penggunaan napza suntik diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No. 55 tahun 2015 tentang Pengurangan Dampak Buruk pada Pengguna
Napza Suntik (Permenkes 55 tahun 2015). Dalam Pasal 2 dijelaskan
bahwa Pengaturan Pengurangan Dampak Buruk Pada Penasun bertujuan
untuk mengurangi jumlah angka kesakitan dan kematian penyakit HIV dan
AIDS akibat penggunaan Napza suntik serta meningkatkan kualitas hidup
ODHA. Penasun dalam upaya ini merupakan pusat dari intervensi dan
diposisikan sebagai individu yang membutuhkan akses layanan untuk
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai warga negara
Indonesia, sekaligus komponen kunci keberhasilan program melalui
keterlibatan aktif di dalam penyelenggaraannya (Maidina, 2019).

Adapun yang termasuk ke dalam kegiatan pelaksaanaan


pengurangan dampak buruk pada penasun meliputi (Maidina, 2019):

a) Layanan Alat Suntik Steril dengan Konseling Perubahan Perilaku


Serta Dukungan Psikososial
Layanan alat suntik dan konseling perubahan perilaku ini
dilakukan oleh puskesmas yang memiliki layanan pengurangan
dampak buruk pada penasun yang ditetapkan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/kota setempat dan lembaga swadaya
masyarakat dan organisasi masyarakat yang menyelenggarakan
kegiatan pengurangan dampak buruk pada penasun yang harus
bekerja sama dengan puskesmas. Dalam Permenkes 55 tahun 2015
ini, maksud dari pelayanan alat suntik steril dan konseling
perubahan perilaku adalah untuk untuk melakukan upaya promosi
kepada Penasun untuk berhenti menggunakan Napza. Namun
dalam kerangka ini juga diakui bahwa tidak serta merta penasun

7
dapat berhenti menggunakan napza, dan diakui juga bahwa
menghentikan penggunaan napza tidak mudah dilajukan secara
cepat, dalam hal tersebut dimana penasun belum dapat berhenti
menggunakan napza, upaya promosi yang dilakukan dengan
melakukan upaya untuk mendorong tidak menggunakan napza
suntik atau mendorong penggunaan alat suntik steril.

Penyediaan peralatan tersebut disertai dengan pemberian


informasi tentang dampak buruk Napza dan HIV-AIDS, rujukan
kepada layanan medis, hukum dan sosial dalam rangka
peningkatan kesadaran terhadap perilaku berisiko serta dukungan
terhadap perubahan perilaku pada Penasun sehingga terhindar dari
infeksi HIV dan mau mengakses layanan kesehatan terkait HIV-
AIDS yang dibutuhkan (Maidina, 2019).

b) Terapi Rumatan Opioida dan Terapi Ketergantungan Napza


Lainnya

Dalam Permenkes 55 tahun 2015 dinyatakan bahwa fokus


terapi ketergantungan Napza suntik adalah menyediakan berbagai
jenis pilihan, yang dapat mendukung proses pemulihan melalui
berbagai keterampilan yang diperlukan dan mencegah kekambuhan
(relapse) (Maidina, 2019).

1) Terapi Rumatan Opioida yang menggunakan Metadona melalui


Terapi Rumatan Metadona (TRM) dan Buprenorfina melalui
Terapi Rumatan Buprenorfina (TRB).
2) Terapi Ketergantungan Napza Lainnya melalui Detoksifikasi
dan Terapi Putus Zat, Terapi terhadap Kondisi Gawat Darurat,
Terapi Komordibitas Fisik dan Psikiatri, Terapi Rawat Jalan,
Rehabilitasi Rawat Inap.

8
2.2.3 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anaknya (PPIA)

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya (PPIA)


dilaksanakan melalui 4 (empat) kegiatan yang meliputi (Maidina, 2019):

a. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;


b. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan
dengan HIV;
c. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya; dan
d. Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarganya.

Pedoman pencegahan penularan HIV dari Ibu ke Anak selanjutnya


diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 51 tahun 2013 (Permenkes
51 tahun 2013). Latar belakang terbitnya peraturan ini adalah dikarenakan
dari tahun ke tahun jumlah perempuan yang terinfeksi HIV semakin
banyak seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan
hubungan seksual tidak aman yang selanjutnya menularkan pada pasangan
seksualnya (Maidina, 2019).

Kegiatan pertama terkait dengan pencegahan tramisi HIV ibu ke


anak dilakukan dengan pencegahan primer, artinya mencegah penularan
HIV pada perempuan usia produktif, mencegah penularan HIV dari ibu ke
anak secara dini, yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual
berisiko atau bila terjadi perilaku seksual berisiko maka penularan masih
bisa dicegah, termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak tertular oleh
pasangannya yang terinfeksi HIV. Upaya pencegahan ini tentunya harus

9
dilakukan dengan penyuluhan dan penjelasan yang benar terkait penyakit
HIV dan AIDS, dan penyakit IMS dan di dalam koridor kesehatan
reproduksi, yang dilakukan dengan menyebarluaskan KIE untuk (Maidina,
2019):

a. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menghindari


penularan HIV dan IMS
b. Menjelaskan manfaat mengetahui status atau tes HIV sedini
mungkin
c. Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan tentang tata laksana
ODHA perempuan
d. Meningkatkan keterlibatan aktif keluarga dan komunitas untuk
meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV dan IMS (Maidina,
2019).

Tidak hanya terkait dengan intervensi kepada individual, program


pencegahan juga dilakukan dengan melakukan mobilisasi masyarakat yaitu
(Maidina, 2019):

a. Melibatkan petugas lapangan (seperti kader kesehatan/PKK, Petugas


Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), atau posyandu) sebagai pemberi
informasi pencegahan HIV dan IMS kepada masyarakat dan untuk
membantu klien mendapatkan akses layanan kesehatan
b. Menjelaskan tentang cara pengurangan risiko penularan HIV dan IMS,
termasuk melalui penggunaan kondom dan alat suntik steril
c. Melibatkan komunitas, kelompok dukungan sebaya, tokoh agama dan
tokoh masyarakat dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi
(Maidina, 2019).

Kegiatan yang kedua pencegahan juga jelas dilakukan kepada ODHA


perempuan. ODHA perempuan disarankan untuk mendapatkan akses layanan
yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif untuk

10
mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Konseling yang berkualitas,
penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta penggunaan kondom
secara konsisten akan membantu perempuan dengan HIV agar melakukan
hubungan seksual yang aman, serta menghindari terjadinya kehamilan yang tidak
direncanakan (Maidina, 2019).

Sejalan dengan kemajuan pengobatan HIV dan intervensi PPIA, ibu


dengan HIV dapat merencanakan kehamilannya dan diupayakan agar bayinya
tidak terinfeksi HIV. Petugas kesehatan harus memberikan informasi yang
lengkap tentang berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, terkait kemungkinan
terjadinya penularan, peluang anak untuk tidak terinfeksi HIV. Dalam konseling
perlu juga disampaikan bahwa perempuan dengan HIV yang belum terindikasi
untuk terapi ARV bila memutuskan untuk hamil akan menerima ARV seumur
hidupnya. Dalam pedoman ini juga dikatakan bahwa walau ibu/pasangannya
sudah mendapatkan ARV namun penggunaan kondom harus tetap dilakukan
setiap hubungan seksual untuk pencegahan penularan HIV pada pasangannya
(Maidina, 2019).

Kegiatan ketiga terkait dengan pencegahan HIV dari ibu ke anak adalah
Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya. Pelayanan pencegahan ini harus dilakukan secara
berkesinambungan dan komprehensif melalui kegiatan (Maidina, 2019):

1. Layanan AnteNatal Care (ANC) terpadu termasuk penawaran dan tes HIV;
2. Diagnosis HIV;
3. Pemberian terapi antiretroviral;
4. Persalinan yang aman;
5. Tata laksana pemberian makanan bagi bayi dan anak;
6. Menunda dan mengatur kehamilan;
7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak;
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.

11
Kegiatan keempat adalah terkait dengan Pemberian Dukungan Psikologis,
Sosial dan Perawatan kepada Ibu dengan HIV beserta Anak dan Keluarganya.
Upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak tidak berhenti setelah ibu
melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya. Ia membutuhkan dukungan
psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama karena si ibu
akan menghadapi masalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA.
Faktor kerahasiaan status HIV ibu sangat penting dijaga (Maidina, 2019).

Dalam kerangka kebijakan tentang Penggulangan HIV/AIDS yang diatur


dalam Permenkes 21 tahun 2013 juga diatur mengenai peran serta masyarakat
dalam penanggulangan HIV/AIDS, dengan asas yang diatur dalam Pasal 50
Permenkes 21 tahun 2013 yang menyebutkan bahwa Setiap orang harus
berpartisipasi secara aktif untuk mencegah dan menanggulangi epidemi HIV
(Maidina, 2019).

2.3 Proses Penularan HIV AIDS

Di dalam tubuh kita terdapat sel darah putih yang disebut sel CD4.
Fungsinya seperti sakelar yang menghidupkan dan memadamkan kegiatan sistem
kekebalan tubuh, tergantung ada tidaknya kuman yang harus dilawan (Foundation
et al., 2016)

HIV yang masuk ke tubuh menularkan sel ini, ‘membajak’ sel tersebut,
dan kemudian menjadikannya ‘pabrik’ yang membuat miliaran tiruan virus.
Ketika proses tersebut selesai, tiruan HIV itu meninggalkan sel dan masuk ke sel
CD4 yang lain. Sel yang ditinggalkan menjadi rusak atau mati. Jika sel-sel ini

12
hancur, maka sistem kekebalan tubuh kehilangan kemampuan untuk melindungi
tubuh kita dari serangan penyakit. Keadaan ini membuat kita mudah terserang
berbagai penyakit (Foundation et al., 2016).
Penularan terjadi bila ada kontak atau percampuran dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, yaitu melalui:

a) Hubungan seksual dengan seseorang yang mengidap HIV. Hubungan


seksual ini bisa homoseksual maupun heteroseksual.
b) Alat jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) yang
tercemar oleh HIV. Oleh sebab itu pemakaian jarum suntik secara bersama
sama oleh para pecandu narkotika akan mudah menularkan HIV diantara
mereka bila salah satu diantaranya seorang pengidap HIV.
c) Ibu hamil yang mengidap HIV kepada bayi yang dikandungnya (Immune,
Syndrome, & Virus, n.d.).

Perempuan merupakan salah satu yang kelompok rentan tertular HIV/AIDS.


Dilihat dari kecenderungan peningkatan ODHA berdasarkan jenis kelamin,
jumlah ODHA perempuan cenderung meningkat setiap tahunnya. Dalam Modul
Pelatihan Deteksi Dini, Pencegahan, dan Penanganan HIV AIDS Pada Perempuan
untuk Perawat Kesehatan Masyarakat, selain dikarnakan faktor tingginya angka
pelanggan WPS yang memungkinkan penularan pada perempuan pelanggan WPS
yaitu perempuan atau istri, faktor-faktor kerentanan lainnya diantaranya dari segi
biologis, ketidaksetaraan gender, kemiskinan, dan kekerasan pada perempuan.
Menurut data darai Pusat Komunikasi Publik Setjen Kementerian Kesehatan RI
2012 ditemukan bahwa di Indonesia terdapat 1.103 kasus AIDS pada perempuan
yang didominasi oleh ibu rumah tangga (Ayuningtias, Solehati, & Maryati, 2018).

Walaupun prevalensi HIV pada perempuan di Indonesia hanya 26.8% dari


laki-laki, tetapi mayoritas (92,54%) berada dalam usia reproduksi aktif (15-49
tahun) sehingga diperkirakan jumlah kehamilan dan persalinan dari perempuan
yang terinfeksi HIV akan terus meningkat (Ayuningtias et al., 2018).

13
Selain itu jika dilihat dari aspek pengetahuan. perempuan memiliki
pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS. Pengetahuan HIV/AIDS pada
penduduk di Indonesia masih tergolong rendah. Masyarakat Indonesia memiliki
pengetahuan yang “buruk” tentang HIV/AIDS dimana lebih dari setengah
responden yaitu sebanyak 66,2 %. Upaya perempuan untuk mencegah HIV/AIDS
juga masih rendah (Ayuningtias et al., 2018).

Pada perempuaan, kelompok Ibu rumah tangga merupakan termasuk


kelompok yang tinggi resikonya terkena HIVAIDS jika memiliki pasangan yang
beresiko. Tingginya penderita AIDS pada kelompok Ibu Rumah Tangga,
mengharuskan mereka untuk melakukan pencegahan sejak dini. Diperlukan
upaya pencegahan berupa Tes dan Konseling HIV bagi mereka yang beresiko
(Ayuningtias et al., 2018)

Tes tersebut bisa diperoleh pada program PITC (Provider Initiated HIV
Testing and Counseling) dan VCT (Voluntary Counceling and Testing). PITC
adalah tes HIV yang dilakukan atas inisiatif dari pemberi layanan kesehatan dan
konseling (Kemenkes, 2013). Sedangkan VCT dilakukan secara sukarela oleh
orang yang merasa dirinya berisiko atau mungkin berisiko (Kurniawati, 2007).
Selain itu penggunaan kondom. Tetapi hal ini mendapat tantangan Tantangan bagi
ibu rumah tangga dimana para suami mereka tidak mau menggunakan kondom.
Selain itu, banyak para ibu yang enggan untuk memerikasakan dirinya untuk
dilakukan Tes dan Konseling HIV walaupun mereka memiliki suami yang
beresiko. Sehingga dengan demikian para ibu rumah tangga yang memiliki suami
beresiko terebut masih tetap menjadi kelompok resiko tinggi tertular HIV/AIDS
(Ayuningtias et al., 2018).

Dalam laporan UNAIDS pada hari AIDS 2018, menurut global statistik pada
2017, 36,9 Juta orang hidup dengan virus HIV termasuk didalamnya 1,8 Juta
anak-anak kurang dari 15 tahun. Sepanjang sejarah penemuannya, tercatat 77,3
Juta orang terinfeksi HIV, sebanyak 35, 4 Juta orang sudah meninggal akibat sakit
berkaitan dengan AIDS sejak penemuan pertama HIV (Maidina, 2019).

14
Pada 2017, di seluruh dunia tercatat bahwa 3 dari 4 orang yang hidup dengan
HIV mengetahui status HIV nya, 79% dari yang mengetahui status HIV nya
mengakses pelayanan HIV, 81% dari yang mengakses pelayanan tersebut, telah
berhasil meraih kondisi viral suppression. 47% orang yang hidup dengan HIV
telah berhasil meraih kondisi viral suppression tersebut (Maidina, 2019).

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa pada populasi kunci,


Infeksi baru HIV di wilayah Asia dan Pasifik berdasarkan laporan statistik 2017
dengan urutan dari paling tinggi ke paling rendah adalah :

1) Klien pekerja seks dan pasangan seksual lain dari populasi kunci,
2) Laki-laki homoseksual ataupun laki-laki lain yang melakukan hubungan
seksual dengan lakilaki,
3) Popuplasi lain yang tidak teridentifikasi perilaku beresikonya
4) Orang yang menginjeksi narkotika,
5) Pekerja Seks,
6) Transgender perempuan(Maidina, 2019).

Dalam konteks Indonesia, penanganan dan pencatatan perkembangan


HIV/AIDS di Indonesia sudah cukup memadai. Terkait dengan data, Kementerian
Kesehatan sudah memiliki pencacatan kasus dan infeksi HIV yang teraktualisasi
melalui Sistem Informasi HIV/AIDS dan IMS (SIHA) yang dilaporkan per
triwulan setiap tahunnya(Maidina, 2019).

15
Sejak pertama kali ditemukan di Indonesia pada 1987 di Provinsi Bali
hingga Desember 2018, HIV/AIDS melalui SIHA telah dilaporkan oleh 460
(89,5%) dari 514 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Hal ini
mengalami peningkatan dari Laporan Triwulan IV pada 2017 pada Desember
2017 yang baru menjangkau 421 (81,9%) dari 514 kabupaten /kota di seluruh
Indonesia(Maidina, 2019).
Jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahun
2018 mengalami kenaikan tiap tahunnya. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang
dilaporkan sampai dengan Desember 2018 sebanyak 327.282 (51,1 % dari
estimasi odha tahun 2016 sebanyak 640.443) (Maidina, 2019).

Jumlah kasus HIV yang ditemukan dan dilaporkan masih jauh dari jumlah
kasus HIV yang diperkirakan. Estimasi ODHA tahun 2016 sebesar 640.443
sementara yang dilaporkan sampai dengan Desember 2018 sebanyak 327.282
(51,1%)(Maidina, 2019).

Berdasarkan kategori perilaku resiko, terdapat trend perubahan kategori


perilaku beresiko di Indonesia (Maidina, 2019).

16
Perilaku beresiko yang secara umum penunjukkan trend penurunan adalah
pada perilaku beresiko narkotika suntik atau penasun, sampai dengan 2010
tercatat dengan jumlah infeksi sebagai 2.780 orang sedangkan pada Desember
2018 menunjukkan angka hanya mencapai 409. Sedangkan kategori perilaku
beresiko yang cenderung mengalami kenaikan secara umum adalah infeksi pada
hubungan seksual antara lelaki (LSL) yang tercatat sampai dengan 2010
berjumlah 506 orang, sedangkan pada Desember 2017 mengalami peningkatan
mencapai lebih dari 20 kali sampai dengan 11.630 orang, dan di Desember 2018
pada angka 9.133 orang (Maidina, 2019).

Sepanjang pendataan dari Kementerian kesehatan, maka trend transmisi


HIV berdasarkan perilaku beresikonya dari yang paling besar sampai dengan yang
paling rendah adalah sebagai berikut:

1. Perilaku beresiko hubungan seksual heteroseksual: 102.959 orang


tertransmisi HIV

2. Perilaku beresiko hubungan seksual laki-laki dengan laki-laki: 48.661


orang tertransmisi HIV

3. Perilaku beresiko penggunaan narkotika suntik: 15.990 orang


tertransmisi HIV

17
Namun patut dipertanyakan keterangan lebih lanjut mengenai data ini,
karena 80.969 orang dari 298.874 orang tercatat tidak diketahui perilaku
beriskonya atau sekitar 27% nya, belum lagi soal penjelasan kategori “lain-lain”
yang tidak jelas dalam laporan perkembangan tersebut apa pendefinisiannya
(Maidina, 2019).

Gejala penularan HIV/AIDS terjadi beberapa hari atau beberapa minggu


setelah terinfeksi HIV, seseorang mungkin akan menjadi sakit dengan gejalagejala
seperti flu, yaitu:

a) Demam

b) Rasa lemah dan lesu

c) Sendi- sendi terasa nyeri

d) Batuk

e) Nyeri tenggorokan (Immune et al., n.d.).

Gejala-gejala ini hanya berlangsung beberapa hari atau beberapa minggu


saja, lalu hilang dengan sendirinya (Immune et al., n.d.)

Gejala Selanjutnya adalah memasuki tahap di mana sudah mulai timbul


gejala-gejala yang mirip yang dengan gejala-gejala penyakit lain, yaitu:

a) Demam berkepanjangan

b) Penurunan berat badan ( lebih dari 10% dalam waktu 3 hari)

18
c) Kelemahan tubuh yang mengganggu/menurunkan aktivitas fisik sehari-
hari

d) Pembengkakan kelenjar di leher, lipat paha, dan ketiak

e) Diare atau mencret terus menerus tanpa sebab yang jelas

f) Batuk dan sesak nafas lebih dari 1 bulan secara terus menerus
g) Kulit gatal dan bercak-bercak merah kebiruan (Immune et al., n.d.).

Gejala penurunan kekebalan tubuh di tandai dengan mudahnya diserang


penyakit lain, dan disebut infeksi oportunistik. Maksudnya adalah penyakit yang
disebabkan baik oleh virus lain, bakteri, jamur, atau parasit (yang bisa juga hidup
dalam tubuh kita), yang bila sistem kekebalan tubuh baik kuman ini dapat
dikendalikan oleh tubuh. Pada tahap ini pengidap HIV telah berkembang menjadi
penderita AIDS. Gejala AIDS yang timbul adalah:

a) Radang paru

b) Radang saluran pencernaan

c) Radang karena jamur di mulut dan kerongkongan

d) Kanker kulit

e) TBC

f) Gangguan susunan saraf (Immune et al., n.d.).


Pada umumnya penderita AIDS akan meninggal dunia sekitar 2 tahun
setelah gejala AIDS ini muncul.

19
2.3.1 Perjalanan Infeksi HIV dalam Tubuh Manusia
Untuk memahami cara kerja HIV dalam tubuh manusia kita perlu
memahami sistem kekebalan tubuh manusia sebagaimana berikut:

a. Kekebalan tubuh menggambarkan tentang fungsi sel darah putih


dalam tubuh seseorang sebagai sistem kekebalan tubuh dalam
menghadapi serangan kuman, virus, dan lainnya. Manusia dengan
imunitas atau sistem kekebalan tubuh yang sehat mampu
memerangi infeksi dan bakteri karena adanya sel darah putih dalam
tubuh yang mampu memerangi bibit penyakit yang masuk. Sel
darah putih bekerja memerangi berbagai jenis bibit penyakit yang
ditemuinya dalam tubuh agar seseorang tetap sehat. Cara kerja sel
darah putih adalah dengan memanggil bala bantuan sel lainnya
guna memerangi infeksi secara langsung, atau dengan
memproduksi bahan kimia yang kita kenal dengan nama antibodi
guna menetralisir bibit penyakit itu. Bila virus masuk ke dalam
tubuh, maka sel darah putih akan berusaha melumpuhkan bibit
penyakit tersebut. Misalnya, virus influenza, diare dan batuk akan
dilumpuhkan oleh sel darah putih (Immune et al., n.d.).
b. Berbeda dengan virus lainnya, HIV adalah virus yang tidak mudah
dilumpuhkan oleh sel darah putih. Apabila masuk ke dalam tubuh
kita justru HIV yang akan melumpuhkan sel darah putih, terutama
menyerang CD4 dan menggunakannya untuk memperbanyak HIV
dalam tubuh pengidap sehingga tubuh tidak mampu melawan
penyakit lain yang masuk. Sel CD4 adalah jenis sel darah putih
atau limfosit. CD4 adalah bagian dari sel darah putih manusia yang
menjadi sasaran penyerangan HIV apabila HIV masuk ke dalam
darah manusia, sel CD4 inilah yang digunakan oleh HIV untuk
memperbanyak dirinya. Jumlah CD4 pada seorang sehat adalah
sekitar 500 – 1500 sel/mm3 darah (Immune et al., n.d.).
c. Menurut teori yang telah diterima secara luas, HIV menyerang sel
darah putih (khususnya yang dinamakan CD4) yang berperan
menjaga kekebalan tubuh manusia. CD4 adalah pemimpin yang

20
memegang komando mengatur pertahanan sistem kekebalan tubuh
manusia karena kemampuannya yang baik untuk berkomunikasi
dengan sel lain. Bila ada bibit penyakit masuk maka CD4 sebagai
komandan yang memberikan tugas pada sel-sel lain untuk
memerangi bibit penyakit tersebut hingga tuntas. Kehadiran CD4
sangatlah dibutuhkan dalam menjaga kesehatan tubuh manusia,
karena itu tubuh secara terus-menerus memproduksinya untuk
membantu memerangi berbagai infeksi. HIV masuk ke dalam
tubuh secara diam-diam dan seolah-olah dia adalah salah satu bala
tentara CD4. Namun, kemudian HIV menyusup molekul reseptor
CD4 agar HIV bisa masuk ke dalam CD4. Setelah masuk, HIV lalu
membajak genetika sel CD4 tersebut dengan diam-diam kemudian
menggunakan CD4 sebagai tempat HIV memperbanyak dirinya.
Akibatnya yang terjadi adalah meningkatnya produksi HIV secara
massal. Keadaan ini menyebabkan banyak CD4 yang rusak dan
mati. Semakin banyak CD4 yang rusak dan mati dan semakin
banyak HIV yang diproduksi, artinya semakin sedikit jumlah CD4
dalam tubuh kita, yang mengakibatkan sistem kekebalan tubuh
manusia perlahan-lahan semakin lemah untuk dapat melawan bibit
penyakit yang masuk menyerang tubuh (Immune et al., n.d.).
d. HIV memakan waktu lama sebelum menampakkan diri. Ia
bersembunyi dalam CD4 dalam waktu yang cukup lama sebelum
mulai dengan pesat memperbanyak diri dalam jumlah sangat
banyak serta merusak CD4. Dengan bersembunyi dalam sel CD4
itu pulalah ia dapat menghindari serangan antibodi yang sudah
beredar dalam darah dan yang berusaha membunuhnya karena
CD4 tidak dapat membunuh dirinya sendiri. Cara sembunyi HIV
yang seperti ini berakhir ketika sudah cukup banyak sel darah putih
dalam tubuh manusia yang dirusaknya dan jumlah HIV dalam
darah sudah cukup banyak untuk melumpuhkan kemampuan
manusia untuk memerangi penyakit yang kemudian tubuh mulai
memproduksi antibody HIV untuk memberikan perlawanan pada

21
HIV walaupun perlawanan ini tidak efektif bagi HIV (Immune et
al., n.d.).

Saat HIV sudah masuk ke dalam tubuh manusia, maka dimulailah masa
inkubasi yang cukup lama, yaitu antara 7 sampai 10 tahun. Masa inkubasi dari
suatu penyakit adalah masa antara masuknya suatu bibit penyakit ke dalam
tubuh (infeksi) sampai mulainya orang tersebut menunjukkan tanda-tanda dan
gejalagejala sakitnya (Immune et al., n.d.).

Fase perkembangan perjalanan HIV di dalam tubuh manusia secara umum


dibagi dalam empat (4) fase, yaitu:

a) Fase Window Period (Periode Jendela) Pada fase ini seseorang yang telah
terinfeksi HIV sama sekali tidak menunjukkan gejala apapun. Beberapa
kejadian yang bisa dialami seorang pengidap HIV pada fase ini antara lain
adalah beberapa gejala flu (pusing, lemas, agak demam, lain lain). Hal ini
biasanya terjadi antara 2-4 minggu setelah seseorang terinfeksi HIV. Pada
fase periode jendela ini di dalam darah pengidap HIV belum terbentuk
antibodi HIV sehingga apabila darahnya di tes dengan jenis tes yang cara
kerjanya adalah mencari antibodi HIV maka hasil tes akan negatif. Fase
periode jendela ini bisa berlangsung selama sekitar 3 bulan sampai 6 bulan
dari saat terinfeksi HIV. Pada infeksi atau masuknya HIV ke dalam tubuh
manusia dikenal adanya periode jendela (Window Period). Yaitu masa di
mana orang tersebut telah terinfeksi HIV, tetapi bila dilakukan
pemeriksaan darahnya maka belum menunjukkan hasil apa-apa (masih
negatif) yang berarti zat anti (antibodi) terhadap HIV belum dapat
terdeteksi oleh pemeriksaan laboratorium. Periode jendela ini biasanya
berlangsung antara 1-6 bulan dari sejak mulainya infeksi. Namun satu hal
yang perlu diingat adalah bahwa sejak masuknya HIV, seseorang telah
menjadi pengidap HIV dan ia dapat menularkan HIV sepanjang hidupnya.
Sehingga walaupun dalam masa periode jendela, orang tersebut sudah
menjadi sumber penularan. Ia dapat menularkan virusnya kepada orang
lain pada setiap kesempatan yang memungkinkan terjadinya penularan itu.
Pada infeksi HIV, dari mulai masuknya HIV ke dalam tubuh sampai

22
timbulnya gejala-gejala AIDS berlangsung cukup lama yaitu seperti telah
disebutkan, antara 7 sampai 10 tahun. Selama 7 sampai 10 tahun ini orang
tersebut disebut pengidap HIV, yang disebut juga ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS). Pengidap HIV ini tampak seperti orang sehat lainnya, karena
belum adanya gejala sakit apapun. Namun walaupun demikian, ía dapat
menularkan HIV kepada orang lain. Selanjutnya setelah periode 7-10
tahun ini dilalui barulah timbul gejala-gejala AIDS, dan orang tersebut
disebut penderita AIDS. Gejala-gejala dan tanda-tanda sakit munculnya
secara bertahap, bertambah lama bertambah berat sampai akhirnya
penderita meninggal dunia (Immune et al., n.d.).
b) Fase Asimptomatik atau Tanpa Gejala
Pada fase ini seorang pengidap HIV tidak menunjukkan gejala sama
sekali. Perlahanlahan jumlah CD4 dalam darah menurun karena diserang
oleh HIV. Kadang ada keluhan berkaitan dengan pembengkakan di
kelenjar getah bening, tempat dimana sel darah putih diproduksi (Immune
et al., n.d.).
c) Fase Simptomatik atau Bergejala
Pada fase ini seseorang yang mengidap HIV akan mengalami gejala-gejala
ringan, namun tidak mengancam nyawanya, seperti: demam yang bertahan
lebih dari sebulan, menurunnya berat badan lebih dari 10 %, diare selama
sebulan (konsisten atau terputus-putus), berkeringat di malam hari, batuk
lebih dari sebulan dan gejala kelelahan yang berkepanjangan (fatigue).
Sering kali gejala-gejala dermatitis mulai muncul pada kulit, infeksi pada
mulut dimana lidah sering terlihat dilapisi oleh lapisan putih, herpes, dan
lainnya. Kehadiran satu atau lebih tanda-tanda terakhir ini menunjukkan
seseorang sudah berpindah dari tahap infeksi HIV menuju AIDS. Bila
hitungan CD4 turun drastis di bawah 200 sel/mm3 maka pada umumnya
gejala menjadi kian parah sehingga membutuhkan perawatan yang lebih
intensif (Immune et al., n.d.).
d) Fase AIDS
Pada fase ini seorang pengidap HIV telah menunjukkan gejala-gejala
AIDS. Ini menyangkut tanda-tanda yang khas AIDS, yaitu adanya infeksi

23
oportunistik (penyakit yang muncul karena kekebalan tubuh manusia
sudah sangat lemah) seperti: Pneumocytis Carinii (PCP) atau radang paru-
paru, Candidiasis atau jamur, Sarkoma Kaposis atau kanker kulit,
Tuberkulosis (TB), berat badan menurun drastis, diare tanpa henti, dan
penyakit lainnya yang berakibat fatal. Gangguan syaraf juga sering
dilaporkan, diantaranya: hilangnya ketajaman daya ingat, timbulnya gejala
gangguan mental (dementia), dan perubahan perilaku secara progresif.
Disfungsi kognitif sering terjadi, dengan tanda awal diantaranya adalah
tremor (gemetar tubuh) serta kelambanan bergerak. Hilangnya
kemampuan melihat dan paraplegia (kelumpuhan kaki) juga bisa timbul di
fase ini. Perjalanan cepat atau lamanya perkembangan HIV pada seorang
pengidap HIV sangatlah bersifat individual. Setiap orang sangat mungkin
mengalami kejadian atau gejala yang berlainan. Secara umum, pesatnya
perkembangan dari HIV positif ke arah AIDS tergantung pada berbagai
faktor: riwayat medis, status kekebalan tubuh atau immunitas, adanya
infeksi lain, perawatan yang diperoleh dan lain-lain. Di samping itu, gizi
dan kebersihan lingkungan hidupnya juga berpengaruh pada taraf
kesehatannya secara umum. Polusi udara dan udara yang lembab tanpa
ventilasi yang memadai, dapat dengan cepat menurunkan kesehatan paru-
paru pengidap HIV. Pola makan yang kurang sehat dan gizi yang buruk
juga dapat memperburuk kesehatan dari orang yang HIV positif. Menurut
WHO, awalnya diperkirakan hanya sebagian kecil dari mereka yang
terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala AIDS. Namun kini ditemukan
bahwa sekitar 20% dari mereka yang HIV positif akan berkembang
menjadi AIDS dalam waktu 10 tahun setelah terinfeksi. Sedangkan 50%
lainnya, dalam waktu 15 tahun. Berdasarkan keterangan di atas, seseorang
bisa saja terkena HIV dan tidak menunjukkan gejala apapun
(Asymptomatic) dalam waktu yang cukup lama (3-10 tahun). Karenanya,
kita tidak bisa mendeteksi apakah seseorang adalah pengidap HIV atau
tidak berdasarkan penampilan fisiknya saja. Meskipun seseorang tidak
menunjukkan gejala apapun, ia sudah dapat menularkan HIV pada orang
lain. Seringkali orang tersebut tidak menyadari dirinya sudah terkena HIV.

24
Lebih jauh lagi, meskipun ia sudah tahu dirinya mengidap HIV, mungkin
ia tidak bisa membuka statusnya dengan mudah karena tidak yakin
terhadap reaksi orang lain (Immune et al., n.d.).

2.4 Keterkaitan Penyalahgunaan NAPZA Dengan Penularan HIV


AIDS

2.4.1 Pengertian Napza

Narkoba adalah zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik
secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah pikiran,
suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba dapat
menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis Menurut pengaruh
penggunaannya (effect), akibat kelebihan dosis (overdosis) dan gejala bebas
pengaruhnya (Withdrawal Syndrome) dan kalangan medis, obat-obatan yang
sering disalahgunakan (Narkoba & Kalangan, 2017). Zat atau obat sintesis juga
dipakai oleh para dokter untuk terapi bagi para pecandu narkoba itu dibagi ke
dalam 2 (dua) kelompok yaitu:
1. Kelompok Narkotika, pengaruhnya menimbulkan euphoria, rasa
ngantuk berat, penciutan pupil mata, dan sesak napas. Kelebihan dosis
akan mengakibatkan kejangkejang, koma, napas lambat dan
pendekpendek. Gejala bebas pengaruhnya adalah gambang marah,
gemetaran, panik serta berkeringat, obatnya seperti: metadon, kodein,
dan hidrimorfon (Narkoba & Kalangan, 2017).
2. Kelompok Depresent, adalah jenis obat yang berfungsi mengurangi
aktivitas fungsional tubuh. Obat ini dapat membuat si pemakai merasa
tenang dan bahkan membuatnya tertidur atau tidak sadarkan diri
(Narkoba & Kalangan, 2017).

25
2.4.2 Jenis jenis napza

Sesuai dengan Undang-Undang Narkoba Nomor 35 Tahun 2009


tentang Narkotika dalam (Narkoba & Kalangan, 2017), Narkoba dibagi 18
dalam 3 jenis yaitu Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya.
1. Narkotika adalah “Zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi
yang menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh.” Pengaruh
tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan
semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat
tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan
dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia di bidang
pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain (Narkoba &
Kalangan, 2017).
2. Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah
maupun sintesis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada 19 aktivitas normal dan perilaku (Narkoba & Kalangan, 2017).
3. Zat adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang
dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakainya, diantaranya
adalah: a. Rokok b. Kelompok alkohol dan minuman lain yang
memabukkan dan menimbulkan ketagihan c. Thiner dan zat lainnya,
seperti lem kayu, penghapus cair dan aseton, cat, bensin yang bila
dihirup akan dapat memabukkan (Narkoba & Kalangan, 2017).

2.4.3 Keterkaitan napza dengan hiv aids

1. Penggunaan narkoba dengan seks tidak aman


Para pengguna narkoba jenis apapun berpeluang besar (rentan)
terkena penyakit HIV/AIDS, pasalnya, seseorang yang kecanduan
narkoba cenderung melakukan seks bebas, gonta ganti pasangan, bahkan
melakukan seks menyimpangi (Multazam, Asrina, Urip, Km, & Ii,
2018).

26
Penggunaan Jenis Shabu (Inex, Tramadol, Somadril) pada
Residen Penyalahgunaan NAPZA Terhadap Dampak Perilaku Seksual
Pranikah. Penyalahguna NAPZA berperan penting dalam peningkatan
kasus HIV/AIDS. Hal ini dikarenakan karena peningkatan libido akibat
pengaruh narkoba. Amphetamine-type stimulant (ATS) mencakup
berbagai sintesis psychostimulants, termasuk metamphetamine,
amfetamin dan ekstasi (Multazam et al., 2018).
Efek obat ini yakni bergairah, peningkatan libido, meningkatkan
respon saraf simpatik (denyut jantung, pernapasan meningkat, tekanan
darah), lebih percaya diri, energik, dan kekuatan fisik meningkat12.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa residen
menggunakan inex dengan mengkombinasikannya dengan shabu
(Multazam et al., 2018).
Berdasarkan informasi tersebut, diketahui setelah residen
mengkonsumsi kedua zat tersebut, diperoleh sensasi seksual yang lebih
nikmat dan residen melakukan hubungan seksual bersama teman
kencannya hingga merasa lelah, karena pengaruh dari inex tersebut.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari residen, dapat disimpulkan
bahwa inex dan tramadol merupakan jenis amphetamin yang juga
bersifat stimulan, sehingga penggunaan jenis ini dapat berpengaruh
terhadap dampak perilaku seksual pranikah. Karena bersifat stimulan,
maka ekstasi menyebabkan pengguna merasa terus bersemangat tinggi,
selalu gembira, dan ingin bergerak terus. Maka peningkatan dophamine
sebagai akibat pengaruh ekstasi dapat menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk mengontrol perilaku seksual. Pengguna ekstasi
menjadi lebih berani, tanpa kontrol, melakukan hubungan seks tanpa
memikirkan resiko yang mungkin terjadi, bahkan pengguna ekstasi
mungkin dapat melakukan suatu aktivitas seksual yang tidak mungkin
dilakukan dalam keadaan normal (Multazam et al., 2018).
Perilaku seksual tanpa kontrol ini tentu sangat beresiko tinggi,
antara lain bagi penularan penyakit menular seksual seperti
HIV/AIDS(Multazam et al., 2018).

27
2. Penggunaan napza dengan jarum suntik
HIV dapat menyebar dengan cepat diantara pengguna Napza suntik
dan dapat meningkatkan prevalensi HIV dari yang pada awalnya masih 0
menjadi meningkat hingga 20- 50% (Cahyani, Widjanarko, & Laksono,
2015).
Di Indonesia, epidemi HIV secara sangat mengejutkan melonjak cepat
sekali dengan infeksi baru di kalangan penasun pada tahun 1998/1999. Sharing
peralatan suntik yang terkontaminasi HIV mendorong laju epidemi HIV di
Indonesia. penasun di sebuah program ketergantungan obat di Jakarta
mengindikasikan peningkatan prevalensi HIV dari yang awalnya mendekati 0
pada tahun 1995 meningkat menjadi 50% pada tahun 2002 (Cahyani et al., 2015).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan penasun menjadi salah satu
populasi yang memiliki risiko tinggi untuk menularkan HIV. Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya tahun 2010
melaporkan bahwa penasun tidak hanya menyumbang kasus HIV di Indonesia
melalui perilaku menyuntik yang tidak aman, yaitu perilaku penggunaan alat
suntik bekas pakai atau tidak steril, selain itu juga melalui perilaku seksualnya
yang berisiko (Cahyani et al., 2015).

28
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan

Kebijakan yang dianut oleh Indonesia terkait dengan pencegahan


penularan HIV terbagi menjadi 3 jenis upaya yaitu: pencegahan penularan HIV
melalui hubungan seksual, pencegahan penularan HIV melalui hubungan non
seksual dan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya (Maidina, 2019).

HIV yang masuk ke tubuh menularkan sel ini, ‘membajak’ sel tersebut,
dan kemudian menjadikannya ‘pabrik’ yang membuat miliaran tiruan virus.
Ketika proses tersebut selesai, tiruan HIV itu meninggalkan sel dan masuk ke sel
CD4 yang lain. Sel yang ditinggalkan menjadi rusak atau mati. Jika sel-sel ini
hancur, maka sistem kekebalan tubuh kehilangan kemampuan untuk melindungi
tubuh kita dari serangan penyakit. Keadaan ini membuat kita mudah terserang
berbagai penyakit (Foundation et al., 2016).

Penularan terjadi bila ada kontak atau percampuran dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, yaitu melalui:

a) Hubungan seksual dengan seseorang yang mengidap HIV. Hubungan


seksual ini bisa homoseksual maupun heteroseksual.
b) Alat jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) yang
tercemar oleh HIV. Oleh sebab itu pemakaian jarum suntik secara bersama
sama oleh para pecandu narkotika akan mudah menularkan HIV diantara
mereka bila salah satu diantaranya seorang pengidap HIV.
c) Ibu hamil yang mengidap HIV kepada bayi yang dikandungnya (Immune,
Syndrome, & Virus, n.d.).

3.2 Saran
Dengan adanya Makalah “Pencegahan Dan Penularan HIV AIDS
Termasuk Penyalahgunaan NAPZA” yang penulis buat ini semoga para pemabaca

29
atau masyarakat luas dapat menambah pemahaman serta mengetahui penularan
serta pencegahan penyakit ini. Diharapkan kepada para pembaca supaya lebih
dapat membedakan antara HIV dan AIDS, memahami penularan serta pencegahan
HIV/AIDS agar dapat hidup secara produktif.

30
Daftar Pustaka

Ayuningtias, R., Solehati, T., & Maryati, I. (2018). Jurnal Aisyah : Jurnal Ilmu
Kesehatan Pengetahuan huan dan Sikap Perempuan yang Sudah Menikah
Terhadap Pencegahan Penularan Human Immunodeficiency Virus /
Acquired Immune Deficiency Syndrome ( HIV / AIDS ). 3(2), 153–162.

Cahyani, A. E., Widjanarko, B., & Laksono, B. (2015). Gambaran Perilaku


Berisiko HIV pada Pengguna Napza Suntik di Provinsi Jawa Tengah. 10(1).

Foundation, F., Aids, A., & Fund, T. G. (2016). Hidup dengan HIV-AIDS Hidup
dengan HIV-AIDS. (10).

Immune, A., Syndrome, D., & Virus, H. I. (n.d.). Menganalisis Bahaya ,


Penularan dan Pencegahan Penyakit HIV / AIDS.

Multazam, M., Asrina, A., Urip, J., Km, S., & Ii, K. (2018). Dampak
Penyalahgunaan Narkotika , Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya ( NAPZA )
terhadap Perilaku Seks Pranikah Public Health Faculty Universitas Muslim
Indonesia Address : Email : Phone : Article history : Received 04 June 2017
Accepted 09 July 2018. 1(3), 204–216.

Narkoba, P., & Kalangan, D. I. (2017). ( ADOLESCENT SUBSTANCE ABUSE ).


4, 339–345.

Rahmawati, Maidina. 2019. Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dalam


Ancaman RKUHP. Jakarta Selatan : Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR)

31

Anda mungkin juga menyukai