Merdeka Belajar Dan Urgensi Belajar Mandiri
Merdeka Belajar Dan Urgensi Belajar Mandiri
30 JUNI 2020
WEBINAR NASIONAL “MERDEKA BELAJAR: URGENSI BELAJAR MANDIRI. IKATAN ALUMNI KURIKULUM DAN
TEKNOLOGI PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Merdeka Belajar. Demikian, dua kata penuh makna yang disampaikan oleh Mas
Mendikbud. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR, Mas Menteri
dengan percaya diri menyatakan bahwa ide yang dilontarkan, dalam hal ini asesmen
kompetensi, bukan tanpa dasar atau rasional yang kuat. Apa makna Merdeka
Belajar? Mengapa Merdeka Belajar penting? Penulis ingin mencoba sedikit
mengupas urgensi Merdeka Belajar bagi siswa dari perspektif teknologi
pembelajaran.
Ryan & Deci (2000) dari Universitas Rochester menamakan ini dengan sef-
determinant theory. Teori ini menyatakan bahwa kendali diri atau kemandirian
membuat seseorang mampu menentukan nasibnya sendiri dan mendorong individu
untuk memiliki motivasi intrinsik yang tinggi yang berpengaruh terhadap
perkembangan sosial dan kesejahteraan seseorang.
Dengan kata lain, jika seseorang memiliki kemandirian, maka ia memiliki kendali diri.
Dengan adanya kendali diri, ia akan merasa bahwa apapun yang mereka lakukan
dan hasilnya adalah merupakan buah dari keputusannya sendiri. Sebaliknya,
seseorang dengan kemandirian rendah akan merasa bahwa segala tindakan dan
keputusannya sangat terganting pada lingkungan eksternal yang diluar kendali
dirinya.
1
Disampaikan dalam Webinar Nasional “Merdeka Belajar: Urgensi Belajar Mandiri”, diselenggarakan oleh
Ikatan Alumni Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UNJ, 30 Juni 2020 pukul 14:00 WIB sd 17:00 WIB.
2
Dosen Program Studi Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta
1
UWES ANIS CHAERUMAN
30 JUNI 2020
WEBINAR NASIONAL “MERDEKA BELAJAR: URGENSI BELAJAR MANDIRI. IKATAN ALUMNI KURIKULUM DAN
TEKNOLOGI PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Belajar, dalam konteks pembelajaran di kelas, pada dasarnya sangat erat kaitanya
dengan student-centered learning (SCL). Bukan hal baru, sebenarnya.
Dengan ragam locus of control yang diberikan kepada siswa oleh guru, siswa
didorong, bahkan terpaksa untuk mengembangkan kedaulatan (kuasa dan kendali)
dalam menentukan tujuan belajar serta keputusan yang dia ambil untuk mencapai
tujuan belajarnya tersebut.
Namun demikian, Merdeka Belajar yang dimaksud disini, bukan kemerdekaan dalam
arti independensi (independence). Bukan pula dalam arti otodidak (autodidaxy).
Tapi, kemerdekaan dalam arti mendorong pengembangan kedaulatan dan tanggung
jawab siswa melalui keberadaan guru (pendidik) serta sumber belajar relevan
lainnya.
Jadi, sangatlah jelas, ditinjau dari teori di atas, Merdeka Belajar menjadi sangat
"urgent" sifatnya. Indonesia, di tahun 2045, memerlukan generasi emas sebagai
bonus demografi.
Generasi emas yang dimaksud adalah generasi yang bukan hanya sekedar
menguasai "pengetahuan tentang". Tapi, generasi yang memiliki "kemampuan
untuk". Mas Menteri menyebutnya sebagai generasi yang memiliki kompetensi,
bukan kemampuan menghafal.
Generasi yang memiliki kemampuan nalar dan literasi yang tinggi. Teori tersebut di
atas menjelaskan bahwa, Merdeka Belajar yang diberikan kepada siswa, akan dapat
membangun atau mengembangkan kedaulatan dan tanggung jawab diri pribadi
siswa.
Kedaulatan dan tanggung jawab inilah yang menjadi modal besar bangsa untuk
memiliki generasi yang menentukan tujuan (goal setting), mengambil keputusan
(decisions) dan mengambil tindakan (actions).
2
UWES ANIS CHAERUMAN
30 JUNI 2020
WEBINAR NASIONAL “MERDEKA BELAJAR: URGENSI BELAJAR MANDIRI. IKATAN ALUMNI KURIKULUM DAN
TEKNOLOGI PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Mas Mendikbud seakan ingin menyampaikan pesan bahwa pendekatan lama sudah
kuno. Pendekatan lama, melalui pelatihan dan penataran, tidak efektif, bahkan
justeru menghabiskan, tenaga, waktu dan biaya yang sangat besar. UNESCO
(2005) menyatakan bahwa pendekatan "to push" (dipaksa untuk melakukan walau
perubahan kecil dan sederhana) lebih efektif , bahkan lebih efisien, dibandingkan
dengan pendekatan "to pull" (sejenis pelatihan/penataran) yang tidak dirancang,
dikembangkan dan dilaksanakan dengan baik.
Lee & Hannafin (2016) dalam artikelnya yang berjudul, "A design framework for
enhancing engagement in student-centered learning: own it, learn it", memberikan
resep sederhana. Memfasilitasi "Merdeka Belajar" bisa terjadi dalam kelas dapat
dilakukan dengan tiga langkah, yaitu own it, learn it, dan share it.
Own it, maksudnya adalah upaya guru memfasilitasi siswa membangun rasa
memiliki terhadap pemeblajaran yang akan terjadi di kelas. Setidaknya ada tiga
langkah yang dapat dilakukan guru. Pertama, endorse external goal, secara rasional
kaitkan tujuan dengan konteks.
Kedua, provide opportunities to set sepcific personal goals. Mengajak siswa untuk
menentukan tujuan belajar. Ketiga, provide choices yang memungkinkan siswa
memperoleh beberapa alternatif pilihan dalam menentukan tujuan. Personal goals
tidak harus seragam dan bisa saja goals kelompok untuk rentang waktu tertentu.
3
UWES ANIS CHAERUMAN
30 JUNI 2020
WEBINAR NASIONAL “MERDEKA BELAJAR: URGENSI BELAJAR MANDIRI. IKATAN ALUMNI KURIKULUM DAN
TEKNOLOGI PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Share it, maksudnya adalah meningkatkan engagement siswa terkait apa yang
sedang dipelajari dengan cara mempublikasikan, mendemonstrasikan dan
menyajikan hasil belajar otentik siswa kepada khalayak (sesama teman atau bahkan
orang lain).
Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, mendorong terjadinya dialog dan
umpan balik dari khalayak tersebt. Kedua, mendorong terjadinya review
sebaya. Dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi yang sangat luar biasa
dewasa ini, proses tersebut diatas dapat terjadi dengan mudah. Oleh karenanya,
untuk mewujudkan hal ini, guru harus memiliki kemampuan mengintegrasikan
teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran. Dalam hal ini, keberadaan
TIK bukan sebagai mata pelajaran, tapi terintegrasi dalam pembelajaran.
Jika hal ini benar-benar dapat kita wujudkan, maka pendidikan yang memberikan
"Merdeka Belajar" di beberapa tahun awal ini, kelak akan meghasilkan insan-insan
generasi emas yang memiliki kedaulatan dan tanggung jawab diri dalam
menentukan tujuan, mengambil keputusan dan mengambil tindakan menuju bangsa
Indonesia yang mandiri. Dengan demikian, ending yang diharapkan Mas Mendikbud
Nadiem Makarim adalah mewujudkan generasi yang dapat membangun Indonesia
menjadi bangsa yang mandiri.
Inti "merdeka belajar" adalah memberikan kendali belajar yang lebih besar kepada
siswa. Sehingga siswa terbiasa menetapkan tujuan, mengambil keputusan dan
bertindak. mengacu pada teori self-deteminant theory (Ryan & Deci, 2000) atau
autonomus learning (Knowles, 1976). Dewasa ini lebih dikenal dengan self-regulated
learning dalam konteks andragogy dan self-determined learning dalam konteks
heutagogy (Hase & Kanyon, 2007). Merdeka belajar, bukan berarti independence
learning, dalam arti "bebas euy", belajar tanpa guru. Tapi, harus tetap ada guru
yang meng"orkestrasi" proses pembeajaran.
Kasus Ilustratif 1:
Tujuan: Siswa kelas 4 SD, dapat membedakan zat cair, padat, dan gas
Aktivitas Pembelajaran:
1. Diluar ruang kelas, siswa dibagi dalam tiga kelompok. Klp 1 berpegangan erat,
Klp 2 cukup merapat, Klp 3 renggang. Salah seorang siswa diminta menerjang
kelompok-kelompok tersebut. Semua kelompok, duduk berkumpul dan
mendiskusikan apa yang terjadi.
2. Setiap kelompok diminta mengambil apa saja yang bisa di bawa dari sekitar
luar sekolah. Kemudian diminta mengklasifikasikan mana yang kategori padat,
cair dan gas.
4
UWES ANIS CHAERUMAN
30 JUNI 2020
WEBINAR NASIONAL “MERDEKA BELAJAR: URGENSI BELAJAR MANDIRI. IKATAN ALUMNI KURIKULUM DAN
TEKNOLOGI PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Kasus Ilustratif 2:
Tujuan: Siswa kelas 4 SD, dapat membedakan zat cair, padat, dan gas
Aktivitas Pembelajaran:
1. Diluar ruang kelas, siswa dibagi dalam tiga kelompok. Klp 1 berpegangan erat,
Klp 2 cukup merapat, Klp 3 renggang. Salah seorang siswa diminta menerjang
kelompok-kelompok tersebut. Semua kelompok, duduk berkumpul dan
mendiskusikan apa yang terjadi.
2. Guru memberikan waktu sebanyak 5', memberikan kesempatan kepada setiap
kelompok untuk memtoret apa saja yang ada di sekitar lingkungan sekolah
dengan handphonenya masing-masing. Setelah itu kembali kedalam kelas dan
berkelompok.
3. Guru memberikan tugas menantang kepada setiap kelompok dengan cara
meminta mereka mengklasifikasikan hasil pemotretan tersbut kedalam kelompk
padat, cair dan gas. Guru memberikan kewenangan (otonomi) kepada kelompok
untuk secara kreatif menyajikannya dengan cara kelompok masing-masing. Jika
senang dengan slide presentasi, silakan. Jika ingin menyajikan dengan lagu
(parodi), silakan. Kelompok diberi kebebasan untuk menjelaskan hasil kerjanya
dengan cara masing-maing.
4. Setiap kelompok diberi kesempatan yang sama untuk menyajikan hasil kerja
kelompoknya. Setiap siswa dari kelompok lain diperkenankan untuk mengkritisi
dengan bertanya atau klarifikasi atau memberikan ide konstruktif. Guru
memoderasi proses pembelajaran dengan penuh antusias dan bijak.
5. Sebagai pentutup. Guru memberikan tindak lanjut dengan cara menugaskan
siswa sharing hasil belajar hari ini dengan cara menuangkannya kedalam
instagram atau facebook (sosial media) masing-masing siswa. Siswa diminta
menuliskan apa yang terjadi, dan menggambarkan hasil belajar hari ini. Guru juga
menganjurkan agar sharing via sosial media tersebut mendapat komentar atau
masukan minimal dari ornag tua dan lima orang teman lainnya di luar sekolah
tersebut.
Kasus Ilustratif 3:
Tujuan: Siswa kelas 4 SD, dapat membedakan zat cair, padat, dan gas
Aktivitas Pembelajaran:
1. Guru masuk dalam kelas dengan membawa laptop dan lcd projector
2. Guru menjelaskan tentang zat cair, padat dan gas menggunakan slide
presentasi yang diproyeksikan melalui LCD projector. Lengkap dengan animasi,
bahkan video dari internet yang cukup menarik.
3. Guru melakukan tanya dan jawab dengan siswa.
4. Sebagai penutup, setelah kesimpulan, guru memberikan pekerjaan rumah.
5
UWES ANIS CHAERUMAN
30 JUNI 2020
WEBINAR NASIONAL “MERDEKA BELAJAR: URGENSI BELAJAR MANDIRI. IKATAN ALUMNI KURIKULUM DAN
TEKNOLOGI PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Pembaca yang budiman, penulis ingin menyampaikan bahwa kasus ketiga adalah
pembelajaran kuno dengan teknologi modern dan tidak memberikan kemerdekaan
belajar. Dalam kasus ilustratif 3, terlihat jelas bahwa kendali belajar sepenuhnya ada
di tangan guru (teacher-centered learning). Guru menjadi pemain utama, sementara
siswa menjadi penonton utama dalam sinteron pembelajaran di kelas. Penulsi
pernah melakukan survey di tahun 2009 bersama worldbank terhadap beberapa
rintisan sekolah bertaraf internasional. Apa yang terjadi di kelas? sebagian besar
seperti kasus ilustratif 3. Ditinjau dari sisi penerapan TIK dalam pembelajaran, kasus
ilustratif 3 menunjukan proses mengajar dengan TIK, bukan membelajarkan dengan
dan melalui TIK. Mengajar dengan TIK tidak memberikan kemerdekaan belajar. Jika
guru mengajar dengan TIK, maka perannya dapat digantikan oleh mesin/robot, atau
digantikan oleh video guru yang sedang mengajar.
Jadi, sebagai guru penggerak yang akan memberikan kemerdekaan belajar kepada
siswa, ketika membuat RPP, apakah:
Jika jawaban kita adalah A, maka siap-siap digantikan oleh mesin. Jika jawaban kita
adalah B, maka kita, sebagai guru tidak akan pernah tergantikan. Jika kita jawab B,
kita telah memberikan kemerdekaan belajar, maka sekecil apapun aktivitas belajar
yang kita lakukan akan memberikan pengaruh yang luar biasa kepada siswa/siswi
kita di masa mendatang.
Catatan:
Diatas adalah kasus ilustratif, walaupun kasus ilustratif 1 pernah saya alami ketika
saya di SD dahulu. Conto ilustratif 1 dan 2 adalah contoh sederhana dari penulis.
Contoh yang lebih baik adalah perubahan kecil yang Bapak/ibu lakukan yang serupa
6
UWES ANIS CHAERUMAN
30 JUNI 2020
WEBINAR NASIONAL “MERDEKA BELAJAR: URGENSI BELAJAR MANDIRI. IKATAN ALUMNI KURIKULUM DAN
TEKNOLOGI PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
dengan kasus ilustratif 1 dan 2. Dengan demikian, mulai hari ini, sebaiknya mari kita
hentikan secara perlahan praktek pembelajaran seperti kasus ilustratif 3.
Referensi: