Anda di halaman 1dari 12

JELASKAN TEKNIK PEMASANGAN KONDOM KATETER

HIDROSTATIK INTRA UTERIN DAN TEKNIK

PEMASANGAN KONDOM

KATETER SAYEBA

OLEH:

ENI WULANDARI

NIM:180132155

DOSEN PEMBIMBING : JITASARI TARIGAN, S.ST. M.KES

MATA KULIAH: TREND DAN ISSUE MATERNAL NEONATAL

PROGRAM STUDI D4 KEBIDANAN


FAKULTAS FARMASI DAN KESEHATAN
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN 2019
1. Tuliskan dan jelaskanlah perbedaan teknik pemasangan kondom kateter
hidrostatik intra uterin dan teknik pemasangan keteter metode sabeya
2. Tuliskan dan jelaskanlah teknik pemasangan kondom kateter hidrostatik intra
uterin dan teknik pemasangan keteter metode sabeya

JAWAB
Perdarahan pasca persalinan masih merupakan penyebab kematian ibu
tertinggi di dunia, khususnya di negara-negara berkembang. Permasalahan ini
sebenarnya adalah masalah klasik yang sudah ada sejak berabad-abad lamanya.
Sejarah merekam Mumtaz Mahal (1630 – Istri dari Raja Shah Jahan) di India,
dan Ratu Charlotte Augusta dari Wale, Inggris (1817), keduanya meninggal dunia
karena perdarahan pasca persalinan. RA Kartini, pejuang hak-hak wanita di
Indonesia ini, meninggal dunia karena perdarahan pasca persalinan lanjut, empat
hari setelah ia melahirkan putra pertamanya diusianya yang ke-25 pada tanggal 17
september 1904. Nasib tragis yang menimpa Kartini itu pula yang kini masih
menimpa sebagian ibu Indonesia setiap tahun yang meninggal akibat melahirkan.
Angka kematian ibu di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik (BPS) pada
tahun 2005 adalah 262 per 100 ribu kelahiran hidup. Dibandingkan dengan
negara-negara tetangga kita, pada tahun 2000, angka ini masih jauh tertinggal
dibandingkan dengan angka kematian ibu di negara tetangga. Malaysia masih jauh
di bawah Indonesia yaitu 41 per 100 ribu kelahiran hidup, Singapura 6 per 100
ribu kelahiran hidup, Thailand 44 per 100 ribu kelahiran hidup, dan Filipina 170
per 100 ribu kelahiran hidup. Padahal, tahun 2000 itu angka kematian ibu di
Indonesia masih berkisar di angka 307 per 100 ribu kelahiran hidup. Bahkan
Indonesia kalah dibandingkan Vietnam, Negara yang belum lama merdeka, yang
memiliki angka kematian ibu 160 per 100 ribu kelahiran hidup. Dilihat dari angka
statistik ini, angka kematian ibu di Indonesia masih yang tertinggi diantara
negara-negara di Asia Tenggara. Di Indonesia, perdarahan pasca persalinan
menyumbangkan angka pertama penyebab kematian ibu, setelah eklampsia dan
infeksi.. Dalam satu dekade terakhir ini, banyak cara baru ditemukan untuk
menanggulangi perdarahan pasca persalinan, yang diharapkan dapat menekan
angka kematian ibu.
Dalam tatalaksana perdarahan pasca persalinan, urutan tindakan yang
cepat dan tepat, akan membuat pasien dapat tertangani dengan baik. Untuk
memudahkan tatalaksana, digunakan istilah singkatan HAEMOSTASIS, yang
sekaligus merupakan prinsip tatalaksana perdarahan pasca persalinan, yaitu
hemostasis atau hentikan perdarahan.

H Help. Ask for help. INITIAL MANAGEMENT


A Assess (vital parameters, blood loss) and
resucitate.
E Establish aetiology, ensure availability of
blood, ecbolics (oxytocin, ergometrine, or
syntometrine bolus IV/IM).
M Massage uterus.
O Oxytocin infusion, ergometrin bolus MEDICATION
IV/IM, prostaglandins per rectal. MANAGEMENT
S Shift to the theatre. Exclude retain NON-SURGICAL
products and trauma, bimanual CONSERVATIVE
compression, abdominal aorta MANAGEMENT
compression.
T Tamponade balloon and uterine packing
A Apply compression uterus, B-lynch SURGICAL CONSERVATIVE
technique or modified, Lasso-Budiman MANAGEMENT
technique.
S Systemic pelvic devascularization:
uterine, ovarian, quadriple, internal
iliaca.
I Interventional radiologist, if appropriate,
uterine artery embolization.
S Subtotal/total hysterectomy. LAST EFFORT – SURGICAL
NON-CONSERVATIVE
MANAGEMENT

1. Non surgical conservative management

Pada perdarahan pasca persalinan yang terjadi di suatu tempat dengan


fasilitas minimal, seperti tidak tersedianya dokter ahli obstetri, rumah sakit
rujukan yang jauh, penanganan non pembedahan untuk perdarahan pasca
persalinan bukan lagi merupakan pilihan dan sudah merupakan suatu keharusan.

Non surgical conservative management atau tatalaksana konservatif non


pembedahan untuk perdarahan pasca persalinan adalah tindakan non pembedahan
yang dilakukan setelah tatalaksana medikamentosa gagal mengatasi perdarahan
pasca persalinan, pada saat menunggu tatalaksana lebih lanjut seperti laparotomi
atau merujuk pasien ke rumah sakit. Tamponade intrauterin dengan menggunakan
balon adalah tindakan yang tidak invasif dan tindakan yang paling cepat dan
tindakan ini logis untuk dilakukan sebagai langkah pertama bila tatalaksana
menggunakan medikamentosa gagal mengatasi perdarahan pasca persalinan.

Arulkumaran dan kawan-kawan, melakukan systematic review untuk


mengidentifikasi angka keberhasilan pada semua penelitian tentang penanganan
perdarahan pasca persalinan secara konservatif dengan menggunakan balon
tamponade intrauterin, penjahitan untuk kompresi uterus, devaskularisasi pelvis
dan embolisasi arteri. Setelah dilakukan eksklusi dari 396 publikasi, 46 penelitian
dmasukkan ke dalam systematic review ini. Dari kajian yang telah dilakukan ini,
didapatkan angka keberhasilan 90,7% untuk embolisasi arteri, 84 % untuk balon
tamponade, 91,7% untuk kompresi uterus dengan penjahitan, 84,6% untuk ligasi
arteri iliaka interna atau devaskularisasi uterus.

Penggunaan kassa gulung tamponade intrauterin dalam penanganan


perdarahan pasca persalinan terjadi penurunan setelah 1950 karena efek samping
yang ditimbulkannya. Perdarahan tersembunyi, terjadinya infeksi dan pendekatan
yang tidak fisiologis saat aplikasi, kemungkinan terjadinya trauma saat
memasukkan kassa gulung ke dalam uterus, menjadi concern utama
ditinggalkannya teknik ini. Tetapi sejak dilakukan kajian kembali pada awal 1980
dan 1990, ketakutan terjadinya efek samping seperti di atas tidak terbukti.
Secara prinsip, tamponade intrauterin membutuhkan tekanan intrauterin
yang cukup untuk menghentikan perdarahan. Hal ini dapat dicapai dengan 2 cara:

1. Dengan cara memasukkan balon yang digembungkan didalam kavum


uteri, yang akan memenuhi semua ruang, sehingga akan tercapai tekanan
intrauterin yang lebih besar dari tekanan sistemik arteri. Apabila tidak
terjadi laserasi, perdarahan akan berhenti.
2. Dengan cara memasukkan kassa gulung sebagai tampon ke dalam uterus,
kemudian dipadatkan, yang akan menekan pembuluh darah, sehingga
perdarahan akan berkurang atau berhenti.
Tamponade uterus menggunakan kassa gulung, masih merupakan pilihan,
jika balon kateter atau balon yang lain tidak tersedia. Risiko infeksi intrauterin
bisa diminimalkan dengan antibiotik profilaksis.
Di Indonesia, kematian maternal karena perdarahan pasca persalinan
masih cukup tinggi, sehingga dibutuhkan metode yang aman, murah, mudah,
tersedia di mana saja termasuk di puskesmas, dan dapat dikerjakan oleh siapa saja,
termasuk petugas kesehatan di tingkat puskesmas untuk menangani perdarahan
pasca persalinan yang tidak berespon terhadap medikamentosa. Penggunaan
misoprostol untuk tatalaksana perdarahan pasca persalinan cukup efektif, namun
tidak tersedia secara luas.
Pada saat tidak tersedia medikamentosa, kegagalan penggunaan
medikamentosa, atau adanya kontraindikasi untuk penggunaan medikamentosa,
adalah penting untuk mempunyai alternatif metode lain yang sesegera mungkin
dapat dilakukan untuk penanganan perdarahan pasca persalinan. Variasi berbagai
intervensi pembedahan dapat digunakan, seperti ligasi arteri hipogastrika, ligasi
arteri uterina, ligasi arteri ovarika dan teknik b-lynch serta modifikasinya. Semua
prosedur di atas efektif untuk menghindari histerektomi, tetapi penundaan dalam
mengerjakan prosedur ini menunjukkan prognosis yang buruk. Lagipula, prosedur
ini harus dikerjakan oleh petugas kesehatan yang terlatih, yaitu dokter ahli
kebidanan dan dikerjakan minimal di rumah sakit dengan fasilitas ruang operasi.
Intervensi pembedahan ini juga bukan merupakan intervensi awal pada kasus
perdarahan pasca persalinan pada persalinan per vaginam.

Metode Sayeba dan modifikasinya


Metode inovatif yang diperkenalkan pada tahun 1997 oleh Profesor
Sayeba Akhter, ahli kebidanan dari Bangladesh, adalah penggunaan kondom
kateter hidrostatik intrauterin untuk penanganan perdarahan pasca persalinan.
Bahan yang digunakan adalah kateter Folley no 24, kondom, blood set (set
transfusi) atau infuse set (set infus), cairan garam fisiologis. Benang chromic atau
silk untuk mengikat dan beberapa tampon bola untuk fiksasi. Kateter Folley steril
dimasukkan ke dalam kondom, dan diiikat dengan pangkal kondom menggunakan
benang silk dan ujung luar dari kateter dihubungkan dengan infus set yang berisi
cairan salin. Setelah kateter dimasukkan ke dalam uterus, kondom digembungkan
dengan 250 – 500 ml cairan salin tergantung kebutuhan dan pada ujung luar
kateter diikat dan set infus/set transfusi dikunci begitu perdarahan berhenti.
Intervensi ini dapat dilakukan dengan murah, mudah, cepat dan tidak
membutuhkan petugas kesehatan yang terlatih. Metode ini dinamakan ”Metode
Sayeba untuk mengatasi perdarahan pasca persalinan” sesuai dengan nama
penemunya, yaitu Professor Sayeba. Pada penelitiannya, 23 pasien dilakukan
intervensi dengan kondom kateter setelah mengalami perdarahan pasca persalinan.
Dari 23 pasien tersebut, 19 (82%) pasien mengalami perdarahan pasca persalinan
primer, 4 (17%) pasien mengalami perdarahan pasca persalinan sekunder. Dari 23
pasien tersebut, 12 (52%) mengalami syok akibat perdarahan yang hebat. Pada
kasus ini, kondom kateter segera diaplikasikan tanpa menunggu penanganan
medikamentosa terlebih dahulu.
Pada kasus yang lain, masase fundus dan pemberian uterotonika
(methergin dan oksitosin, sedangkan misoprostol tidak digunakan dalam institusi
ini) gagal menghentikan perdarahan pada 10 pasien. Dan pada 1 pasien, teknik
kompresi penjahitan uterus yang dikerjakan pada pasien dengan perdarahan pasca
persalinan tidak menghentikan perdarahan. Pada kebanyakan kasus (56,5%),
kondom kateter dipasang dalam waktu 0-4 jam setelah melahirkan. Sedangkan
pada 32,7% kasus, dikerjakan antara 5-24 jam setelah melahirkan. Pada 23 pasien
ini, perdarahan berhenti dalam waktu 15 menit. Dilakukan pemantauan selama 48-
72 jam. Tidak ada pasien yang membutuhkan intervensi lebih lanjut, dan tidak ada
morbiditas yang serius yang ditemukan. Dibutuhkan 200-500 ml (rata-rata 336,4
ml) larutan garam fisiologis untuk menggembungkan balon.
Rata-rata 3,23 unit darah (berkisar 2-10 unit) dibutuhkan untuk mencapai
stabilitas hemodinamik. Tidak ada pasien yang jatuh ke dalam syok yang
ireversibel. Tidak ada infeksi intrauterin dilihat dari tanda dan gejala klinis,
maupun laboratoris dari kultur sensitivitas apusan vagina. Pada tulisan ini, metode
yang diperkenalkan adalah modifikasi teknik Sayeba, yang menghilangkan
komponen kateter Folley no 24, dengan alasan penggunaan kateter dengan metode
ini tidak bermakna. Kateter Folley no 24 tidak selalu ada di puskesmas, dan
penggunaan kateter Folley no 16 dan no 18 membutuhkan waktu yang lama untuk
mengalirkan cairan ke dalam kondom.. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk
merakit metode ini menjadi lebih cepat, karena tidak perlu menyambungkan
kondom dengan set infus/set transfusi. Metode ini dinamakan kondom hidrostatik
intrauterin untuk penanganan perdarahan pasca persalinan. Bahan yang digunakan
hampir sama dengan metode Sayeba, tetapi tanpa kateter Folley no 24. Bahan-
bahannya adalah kondom, blood set (set transfusi) atau infuse set (set infus),
cairan garam fisiologis. Benang chromic atau silk atau benang tali pusat untuk
mengikat dan beberapa tampon bola untuk fiksasi. Set infus/set transfusi yang
sudah disambungkan dengan cairan, ujungnya dimasukkan ke dalam kondom,
kemudian kondom diikat pada ujung set infus/set transfusi, kemudian dimasukkan
ke dalam kavum uteri, dan kemudian digembungkan dengan mengalirkan cairan
melalui set infus/set transfusi. Kondom ini bisa digembungkan rata-rata 500 cc.
Bahkan di literatur lain, disebutkan apabila perdarahan masih terus mengalir,
kondom dapat digembungkan mencapai 2000 cc. Isu tentang kekuatan kondom ini
sendiri kadang menjadi pertanyaan. Menurut Food and Drug Administration
(FDA) di Amerika Serikat, kondom yang terjual di pasaran sudah melewati
quality control, dan memenuhi syarat karakteristik fisik yang ditentukan. Kondom
minimal harus memiliki tensile strength 15.000 pounds psa dan minimal harus
bisa dilakukan elongasi sampai dengan 625% sebelum kemudian robek atau
pecah.
Teknik pemasangan kondom hidrostatik intrauterin
1. Penderita tidur diatas meja ginekologi dalam posisi lithotomi.
2. Alat-alat telah disiapkan.

3. Aseptik dan antiseptik genitalia eksterna dan sekitarnya.


4. Kandung kemih dikosongkan.
5. Telah dipersiapkan sebelumnya, set infus/set transfusi yang sudah
disambungkan dengan cairan NaCl/RL, ujungnya dimasukkan ke dalam
kondom, kemudian kondom diikat pada ujung set infus/set transfusi dengan
benang chromic/silk atau benang tali pusat.
6. Introduksi kondom ke dalam kavum uteri bisa dilakukan dengan 2 cara, yang
pertama dengan menggunakan spekulum sims / L, bibir serviks bagian
anterior dan posterior dijepit dengan ring forsep, dan kondom yang sudah
diikat pada ujung set infus/set transfusi dimasukkan intra kavum uteri dengan
menggunakan tampon tang. Cara yang kedua, kondom yang sudah diikat pada
ujung set infus/set transfusi dimasukkan secara digital menggunakan jari, cara
yang sama dipakai untuk memasukkan kateter folley untuk induksi.

7. Kemudian kondom digembungkan dengan mengalirkan cairan dari selang


infus, sampai ada tahanan atau perdarahan berhenti, kemudian cairan infus
ditutup kembali. Cairan yang dimasukkan antara 250 – 2000 cc.
8. Dimasukkan tampon bola untuk memfiksasi kondom supaya tidak terlepas

9. Dilakukan observasi tanda vital dan perdarahan pervaginam. Bila tanda vital
stabil dan perdarahan pervaginam berhenti, berarti pemasangan kondom
hidrostatik intrauterin berhasil.
10. Pasien dapat dilakukan observasi atau segera dirujuk atau bila tindakan
dilakukan di Rumah Sakit, dapat dilakukan persiapan kamar operasi untuk
laparatomi sebagai rencana cadangan.
11. Apabila pasien stabil dan perdarahan per vaginam berhenti, kondom
hidrostatik intrauterin menjadi tatalaksana utama, dan dapat dipertahankan
selama 24-48 jam, jika perlu cairan dalam kondom dikeluarkan secara
bertahap.

TES TAMPONADE

Tes Tamponade Sampai saat ini, belum ada tes diagnostik yang dapat
mengidentifikasi pasien dengan perdarahan pasca persalinan yang masif, pasien
mana yang memerlukan intervensi pembedahan. Tes tamponade yang
diperkenalkan oleh Arulkumaran dan kawan-kawan adalah penggunaan balon
tamponade sebagai tes untuk menilai apakah pasien tersebut memerlukan
intervensi pembedahan atau tidak. Pada pasien yang perdarahannya berhenti
dengan intervensi balon tamponade, intervensi pembedahan lanjutan tidak
diperlukan, dan tamponade menjadi prosedur terapeutik yang utama. Tes
tamponade ini tidak hanya menghentikan perdarahan dan menyelamatkan uterus,
tetapi juga memberikan kesempatan untuk memperbaiki dan mengkoreksi
koagulopati konsumtif.

KESIMPULAN

1. Penggunaan kondom hidrostatik tamponade intrauterin ini adalah aman,


sederhana, murah untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan dan dapat
dijadikan pilihan utama untuk perdarahan pasca persalinan pada persalinan
pervaginam.

2. Seluruh petugas kesehatan termasuk bidan dapat melakukan teknik ini saat
menghadapi perdarahan pasca persalinan.

3. Tes tamponade menggunakan kondom hidrostatik tamponade intrauterin ini,


dapat dijadikan pilihan untuk menentukan apakah tindakan pembedahan lebih
lanjut diperlukan atau tidak. 4. Dibutuhkan lebih banyak kasus dan pengalaman
apabila teknik ini akan digunakan sebagai praktek rutin
DAFTAR PUSTAKA

http://bidanhana.blogspot.com

http://doktergokilsaja.blogspot.com

http://ratnaramdhani32.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai