Anda di halaman 1dari 3

Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif didalam

memecahkan berbagai masalah yang dihadapi manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar
menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara
konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Agama sering dipahami sebagai sumber gambaran-gambaran yang sesungguhnya tentang
dunia ini, sebab ia diyakini berasal dari wahyu yang diturunkan untuk semua manusia. Namun,
dewasa ini, agama kerap kali dikritik karena tidak dapat mengakomodir segala kebutuhan
manusia, bahkan agama dianggap sebagai sesuatu yang “menakutkan”, karena berangkat dari
sanalah tumbuh berbagai macam konflik, pertentangan yang terus meminta korban. Kemudian
sebagai tanggapan atas kritik itu, orang mulai mempertanyakan kembali dan mencari hubungan
yang paling otentik antara agama dengan masalah-masalah kehidupan sosial budaya
kemasyarakatan yang berlaku dewasa ini.
Agama sebagai objek kajian dapat didekati dengan mempergunakan berbagai pendekatan.
Pendekatan teologi dalam memandang suatu agama atau ajaran terkadang masih sulit untuk
mewujudkan objektivitas, sebab sering seorang peneliti dalam melakukan penelitian, diwarnai
dengan pola pikir berdasarkan doktrin yang dianutnya. Kecenderungan seperti itu, cenderung
melahirkan hasil penelitian yang bersifat apologis dan menutup mata terhadap kemungkinan
adanya kebenaran ajaran-ajaran di luar yang dianutnya.
Apa yang menjadi kritik terhadap agama adalah bahwa agama, tepatnya pemikiran-
pemikiran keagamaannya terlalu menitik beratkan pada struktur-struktur logis argumen tekstual
(normative). Ini berarti mengabaikan segala sesuatu yang membuat agama dihayati secara
semestinya. Struktur logis tidak pernah berhubungan dengan tema-tema yang menyangkut
tradisi, kehidupan sosial dan kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat.
Istilah teologi dalam tradisi Islam dikenal dengan ilmu kalam yang berarti perkataan-
perkataan manusia tentang Allah. Namun, pengertian ini menurut Steenbrink dianggap kurang
tepat karena teologi tidak bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan, baik
wujud, sifat dan perbuatan-Nya. Pendapat Steenbrink juga diamini oleh Al-Ahwani.
Ia mengatakan bahwa teologi tidak identik dengan ilmu kalam atau ilmu luhut. Maksud dari
pernyataan Al-Ahwani adalah bahwa teologi diartikan sebagai rangkaian argumentasi rasional
yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran akidah agama Islam.

Ada tiga macam pendekatan Teologis yang kami rangkum dalam makalah ini yaitu
pendekatan Teologis normatif, pendekatan Teologis-dialogis dan pendekatan Teologis-
konvergensi, adapun penjelasan mengenai ketiga pendekatan Teologis tersebut adalah sebagai
berikut:1
1. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama, ialah upaya memahami agama
dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud
empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar bila dibandingkan dengan
yang lainnya. Model pendekatan ini, oleh Muh. Natsir Mahmud, disebut sebagai pendekatan
teologis-apologis. Sebab cenderung mengklaim diri sebagai yang paling benar, dan memandang
yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang salah, atau minimal keliru.

2. Pendekatan Teologis–Dialogis
Pendekatan teologis–dialogis seperti yang telah dijelaskan ialah mengkaji agama tertentu
dengan mempergunakan perspektif agama lain. Model pendekatan ini, banyak digunakan oleh
orientalis dalam mengkaji Islam.
3. Pendekatan Teologis-Konvergensi
Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan terdahulu bahwa "pendekatan teologi
konvergensi" adalah merupakan metode pendekatan terhadap agama dengan melihat unsur-unsur
persamaan dari masing-masing agama atau aliran. Maksudnya dari pendekatan ini ialah ingin
mempersatukan unsur-unsur esensial dalam agama-agama, sehingga tidak nampak perbedaan
yang esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat disatukan dalam satu
konsep teologi universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.
Ilmu kalam terbentuk sebagai ilmu tersendiri pada abad ke-2 H (8M) tepatnya pada masa
al-Makmun setelah ulama’ Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang diterjemahkan
kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu para ahli menganggap pendiri ilmu ini adalah kelompok
Mu’tazilah. Melalui terjemahan-terjemahan itu, mereka mempertemukan cara (sistem) filsafat
dengan sistem ilmu kalam. Sejak saat itulah dipakai perkataan al-Kalam untuk ilmu yang berdiri
sendiri.2
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas
inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari
Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Dari persoalan dosa besar kemudian muncul

1 Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 105.
2 A Hanafi, Theology Islam (Jakarta; Bulan Bintang , 1979), hlm. 11.
persoalan sumber kejahatan atau sumber perbuatan. Dari persoalan ini lahir beberapa aliran
teologi. Aliran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Aliran Khawarij, berpandangan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti
murtad oleh karena itu wajib dibunuh. Kaum Khawarij memandang diri mereka
sebagai orang yang meninggalkan kampung halamannya untuk mengabdikan diri
kepada Allah dan rasulnya.
2. Aliran Murji’ah, yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih
muknin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah
SWT untuk mengampuni atau tidak.
3. Aliran Mu’tazilah, aliran ini berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan
kafir tetapi bukan pula mukmin. Namun mereka terletak di antara dua posisi kafir dan
mukmin. Dalam teologi mu’tazilah, orang seperti ini dikatakan “tanzilu baina
manzilatain.”
4. Aliran Qodariah, aliran ini terkenal dengan pemikiran Free Will dan Free act
(kebebasan berkehendak dan berbuat). Aliran ini memiliki pandangan yang
menyatakan manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan berbuat
5. Aliran Jabariah, aliran Jabariah berpandangan manusia dalam segala tingkah lakunya
bertindak atas dasar paksaan dari Allah atau dengan kata lain manusia tidak
mempunyai kemerdekaan menentukan kehendak dan perbuatan.
6. Aliran Asy’ariah, aliran Asy’ariah merupakan aliran teologi tradisional yang di susun
oleh Abu Hasan al-Asy’ari (935 M). Pada awalnya Abu Hasan al-Asy’ari merupakan
orang Mu’tazilah yang merasa tidak puas dengan teologi Mu’tazilah. Dalam satu
riwayat keluarnya Abu Musa al-Asy’ari dari Mu’tazilah dikarenakan ia pernah
bermimpi bahwa Mu’tazilah di cap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat.
7. Aliran Maturidiah, aliran yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi
(944 M).

Anda mungkin juga menyukai