Anda di halaman 1dari 140

Simponi Kenangan

dari

Gereja Tua,
dan Cerita Lainnya

Sebuah Antologi Cerpen Rohani


Fr. Patrich Specla & Tantrini Andang
Simponi Kenangan dari Gereja Tua

ii
Kata Pengantar

Berawal dari keinginan untuk mengumpulkan karya-


karya cerpen rohani yang pernah dimuat di media maupun
yang masih tersimpan di dalam folder pribadi, kedua penulis
ini memilih untuk mendokumentasikannya dalam bentuk
buku yang kini ada di tangan pembaca.

Tiga belas karya cerpen dalam buku ini adalah hasil


dari pemikiran dan perenungan pada peristiwa-peristiwa
kehidupan keseharian yang sangat mungkin dialami oleh
siapa saja. Dengan napas rohani yang kental, diharapkan
bahwa segala hasil permenungan ini tidak tercecer atau
hilang sia-sia.

Dua penulis buku ini memiliki latar belakang


berbeda, yang satu seorang calon gembala umat dengan
segala kekayaan cara berpikirnya sementara yang lainnya
lagi seorang awam biasa dengan bermacam pengalaman-
pengalaman dalam hidupnya. Kedua penulis berusaha untuk
memadukan karya cerpen-cerpennya agar menjadi sebuah

iii
buku kumpulan cerpen yang kaya muatan-muatan pesan
melalui gaya tutur masing-masing.

Sebuah cerpen tentang panggilan hidup sebagai


gembala umat yang dirasakan oleh seorang lelaki dan
bagaimana pergulatan hatinya saat ia mencoba
menyampaikan niatnya itu kepada kekasih yang telah lama
menunggunya tergambar jelas oleh Patrich Specla dalam
Masih Adakah Cinta Kita. Sementara di sisi lain, bagaimana
kecamuk perasaan seorang perempuan yang harus bersaing
dengan Tuhan dalam memperebutkan hati kekasihnya saat
memutuskan untuk menjadi imam digambarkan oleh
Tantrini Andang dalam Altar yang Kurindukan.

Kisah-kisah lain yang tak kalah menariknya adalah


tentang seorang anak yang baru mengetahui jati dirinya
setelah ia dewasa. Bagaimana ia mengelola perasaan
bingung dan keterkejutannya terlukis dalam Mamak,
Perempuan yang Tak Pernah Melahirkanku. Rasa hormat
pada adat dan cinta pada kedua orang tua dalam cerpen
Rambu Solo memberi wawasan lain tentang kekayaan
budaya yang kita miliki yang kadang berbenturan dengan

iv
kondisi sosial masyarakat modern saat ini. Kedua cerpen di
atas pernah dimuat dalam mingguan Hidup.

Cerpen-cerpen yang bernafaskan rohani katholik


dipilih karena disamping hanya sedikit buku-buku tentang
cerpen rohani katholik yang telah beredar, juga karena
adanya harapan bahwa dengan membaca cerpen semacam
ini, pembaca akan mendapat kesempatan untuk
memperluas pengetahuannya tentang pergulatan hidup
dalam mengikuti jalan Tuhan, juga tergugah rasa
kemanusiaannya kepada sesama kaum beriman. Dengan
demikian kumpulan karya cerpen ini mampu berperan serta
dalam mewartakan kasih kepada sesama.

Tentu tidak mudah mewujudkan harapan penulis ini


jika tidak didukung oleh pihak-pihak yang bekerja keras di
belakangnya hingga buku ini benar-benar menebar
manfaatnya kepada pembaca. Mereka adalah para editor
dan penerbit, juga pembaca yang bersedia meluangkan
waktu untuk menikmati tulisan-tulisan dalam buku ini. Sebab
itu segala bentuk saran yang ditujukan untuk perbaikan
buku ini sangat diharapkan oleh kedua penulis.

v
Semoga apa yang dihasilkan oleh kedua penulis ini
memberi pengalaman baru dalam iman dan pemahaman
tentang kehidupan yang sarat cinta kasih.

Penulis

vi
Daftar Isi

Namaku Bukan Lazarus 1


Rambu Solo 9
Simponi Kenangan dari Gereja Tua 23
Gugur di Pengujung Senja 33
Gerimis Rindu 43
Masih Adakah Cinta Kita 49
Surat Kepada Kawan 65
Lelaki di Bawah Hujan 77
Perempuan Itu Bernama Erika 85
Mamak, Perempuan yang Tak Pernah Melahirkanku 93
Jalan Pulang 101
Altar yang Kurindukan 109
Pintu Nomor Sebelas 119
Biodata Penulis 129

vii
Mencintai dan Dicintai Bukanlah Hal yang Salah
Namun Jika Terasa Salah, Mungkin Kamu yang Keliru
Memilih Caranya.

(Patrich Specla)

Buku Ini Dipersembahkan Untuk

...............................................................................
...............................................................................
...............................................................................
...............................................................................
...............................................................................
...............................................................................
...............................................................................
...............................................................................

viii
Namaku Bukan Lazarus

Patrich Specla

Prolog

Namaku bukan Lazarus tetapi Lazarah. Aku tidak


pernah tahu mengapa orang tuaku memberiku nama
Lazarah. Mungkin karena terinspirasi dari cerita Kitab Suci,
atau bisa saja itu salah satu doa kedua orang tua agar
hidupku senantiasa diberkati Tuhan. Sayangnya aku belum
sempat menanyakannya kepada kedua orang tuaku
sebelum mereka meninggal ketika aku masih berumur enam
tahun. Aku lalu dibesarkan oleh saudara ayahku yang bukan

1
seorang Katolik. Namun meski demikian dia tidak pernah
bermasalah dengan agamaku, dia bahkan setiap hari minggu
mengantarku ke gereja. Kehidupanku berlanjut dengan baik
sampai pada akhirnya ketika sudah dewasa, aku
memutuskan untuk menikah. Aku meninggalkannya dan
membangun keluarga baru.

Hadiah Paskah untuk Lazarah

Matahari sudah mulai meninggi dan kabut pagi


perlahan-lahan lenyap. Seorang ibu tampak lusuh sedang
tertidur di atas sebuah dipan bambu. Kapas kasurnya sudah
tipis dan dingin. Biasanya, suami bersama putrinya yang
menemaninya tidur di sana. Tapi sejak lima tahun lalu
suaminya tak lagi bersamanya. Ia pergi begitu saja, entah
mengapa. Hal itu membuat wanita itu semakin terpuruk dan
lemah. Menjadi orang yang ditinggalkan memang tidak
pernah indah.

Memang sunggu malang nasib Lazarah. Sudah dua


minggu ia hanya bisa menghabiskan waktunya dengan
berbaring. Leher, dada, ketiak dan selangkangannya telah

2
dipenuhi borok. Matanya merah, dan bibirnya kering.
Syphilis sungguh menyiksanya.

Berbagai pengobatan telah dilakukan. Mulai dari


pengobatan medis yang mengahbiskan cukup banyak uang,
hingga pengobatan tradisional, namun hasilnya nihil.

“Ini sarapanmu,” kata Andini dengan suara datar. Di


sana sungguh terdengar jelas nada ketidaksukaan Andini
terhadap ibunya.

“Terima kasih, nak” jawab Lazarah dengan suara


yang lemah. Nyaris tak terdengar.

“Aku lelah memikirkan dan mengurus ibu.”

“Maafkan aku, Nak”

Andini tidak menjawab. Ia segera meninggalkan


ibunya sambil menutup hidupnya tak tahan mencium bau
borok tanpa memikirkan perasaan ibunya.

Lazarah menarik napasnya dalam-dalam, ada getir


yang ia rasakan. Luka dihatinya terasa lebih menyiksanya
dari pada luka di sekujur tubuhnya. Ia ingin saja mengadu
kepada Tuhan. Tapi apakah Tuhan masih sudi

3
mendengarnya? Setelah sekian lama ia menjauhi Tuhan
dengan menghabiskan hari-hari menjadi tunasusila. Pilihan
menjadi seorang tunasusila tidak pernah benar, dan Lazarah
menyadari itu. Meskipun alasan ekonomi karena kepergian
suaminya bisa menjadi alasan.

***

Matahari bersinar dengan teriknya, membuat tubuh


Lazarah yang dipenuhi borok semakin perih. Bau borok
tubuhnya pun semakin menyengat. Ia memaksakan dirinya
untuk bangun dari tempat tidur lalu berjalan sempoyongan
tanpa alas kaki menuju Pastoran. Di sana ia menemui
seorang koster.

“Sedang apa kau disini?” tanya koster itu sambil


mengamati Lazarah. Ekspresi wajahnya berubah seketika.

“Aku ingin mengaku dosa”

“Tapi Pastor sedang istirahat. Kau bisa datang di


sore hari.”

“Tolonglah aku. Aku akan segera mati”

4
“Kamu sakit?” tanya Koster itu sambil mengamati
tubuh Maryam. Ia menutup hidupnya tidak tahan.

“Ia. Aku sakit.”

“Aku tidak bisa membangunkan Pastor. Datanglah


kembali di sore hari.” Koster itu berlalu tanpa
mengghiraukannya lagi. Lazarah menarik napasnya lebih
dalam. Mencoba mengusir sesak.

Lazarah putus asa. Ia membalikkan badannya lalu


berjalan menuju samping gereja. Ia hanya bisa mengiptip
dari kaca jendela untuk melihat bagian dalam, karena semua
pintu terkunci. Dilihatnya lampu tabernakel yang berkedap-
kedip. Ia bisa merasakan rindu yang menyesakkan di hatinya.
Dia sungguh merindukan Tuhan.

Tak lama kemudian ia terjatuh. Bumi dirasakannya


seakan bergoncang dan semua tiba-tiba menjadi gelap. Tak
lama setelah itu ia tidak menyadari apa-apa lagi.

***

Lazarah tersadar, namun ia tidak mengenali lagi


tempat di mana ia berada. Semua terasa sunyi dan asing. Ia
seperti di berada di sebuah padang ilalang yang luas. Tidak

5
ada siapa-siapa. Di hadapannya tampak jejak kaki yang
terbentuk dari pijakan orang yang baru saja melintas di
tempat itu. Ia mengikuti jejak-jejak itu. Meskipun langkahnya
sempoyongan, namun rasa penasaran membuatnya
mengikuti jejak itu. Jejak itu pun berakhir di sebuah tepi
sungai. Air sungai itu jernih dan sejuk.

“Kemarilah!” tiba-tiba seseorang memanggilnya dari


seberang sungai.

“Siapakah engkau?”

“Aku kekasihmu” jawab orang itu.

“Aku tidak mengenalmu”

“Tapi aku mengenalmu sejak dulu”

“Siapa namamu?”

“Mengapa kau mempertanyakannya lagi. Kau


sebenarnya sudah tahu”

Lazarah penuh kebingungan. Namun meskipun


demikian ia tetap melangkah lalu menyeberangi sungai.
Airnya yang jernih hampir menenggelamkan seluruh
tubuhnya. Hanya kepalanya yang masih nampak di

6
permukaan. Kesejukan air membuat luka-luka di sekujur
tubuhnya terasa ringan. Sambil memejamkan mata
perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya. Ia tidak peduli jika
ia akan tenggelam lalu mati. Bukankah hidupnya memang
sudah berakhir.

Ketika ia sampai di seberang sungai, seketika itu juga


ia menyadari semua luka-lukanya sudah sembuh. Tidak ada
lagi borok yang bau. Tubuhnya benar-benar bersih kembali.
Semua terjadi secara ajaib.

Lazarah mengarahkan pandangannya ke arah orang


yang memanggilnya tadi. Orang itu tersenyum padanya.
Lazarah berlari mendapatkan orang itu memeluknya erat-
erat. Ia menghujani orang itu dengan ciuman. Namun
ciumannya tiba-tiba berhenti. Ia menjumpai bekas-bekas
luka di tubuh orang itu. Di lambung kirinya, kedua telapak
tangannya dan juga di kedua telapak kakinya. Lazarah
meneteskan air matanya. Dia penyebab luka itu.

7
8
Rambu Solo

(Tentang hidup, cinta dan adat)


Patrich Specla

Makassar, 2014
Pukul 20.00
Tana Toraja. Tanah kelahiran yang selalu kurindukan.
Entah seperti apa sekarang, aku tak tahu. Aku telah
meninggalkannya selama delapan tahun. Belum satu
dasawarsa, tetapi bukan waktu yang singkat untuk sebuah
kerinduan. Ah, sepertinya malam ini aku akan bernostalgia
lagi tentang tanah kelahiranku itu. Tanah di mana aku
mengawali tangisanku di dunia ini. Tanah di mana aku
belajar, bertumbuh, dan dewasa sampai akhirnya aku
memutuskan untuk pergi ke rantau orang.

9
Jika kau suka cuaca yang dingin, maka kau akan
betah tinggal di tanah kelahiranku itu. Setiap hari, entah
pagi, siang ataupun malam engkau akan merasakan
kesejukan yang luar biasa. Jadi jangan heran jika kau akan
jarang melihat penduduk tanah kelahiranku yang
menggunakan baju mini seperti pakaian orang-orang
perkotaan.
Sehari-hari kau tidak akan pernah lepas dari
pemandangan hijau yang terbias indah dari persawahan
yang luas dan juga dari gunung-gunung yang menjulang
tinggi. Dan apabila musim panen tiba, kau akan
mendapatkan pemandangan yang unik. Situasi di sekitarmu
akan mendadak sunyi. Tidak ada suara orang yang kumalasi1,
perbincangan maupun gelak tawa dari wajah-wajah yang
tertutupi sarong.2 Semua sibuk menuai padi seiring bayu
yang berhembus membawa kesejukan. Ah, aku semakin
rindu saja.
Rindu. Rindu serindu-rindunya. Ingin saja aku
kembali ke Tana Toraja. Ingin rasanya aku memecahkan

1
Teriakan khas Toraja (Heheiii…) yang diucapkan dengan suara yang
melengking.
2 Caping

10
tabungan rinduku yang sudah semakin penuh dan sesak lalu
menukarkannya dengan sebuah pertemuan. Ya, pertemuan.
Pertemuan dengan tanah kelahiran, pertemuan dengan
Sabe kakak perempuanku, dan tentunya pertemuan dengan
Ambe3 dan Indo4 yang masih sakit.
***
Tana Toraja, 2006
Sudah sekian lama Ambe sakit. Begitu juga dengan
Indo. Setahun setelah Ambe menjadi To Makula’5, Indo pun
turut menjadi To Makula’. Kian hari tubuh mereka kian
menyusut. Aku bersama Sabe, kakak perempuanku belum
mempunyai cukup uang untuk mengadakan Upacara Rambu
Solo6 untuk Ambe dan Indo. Sehari-hari Ambe dan Indo hanya
terbaring tak berdaya di dalam Rumah Tongkonan. Rumah
Tongkonan adalah rumah adat tanah kelahiranku. Atapnya
melengkung menyerupai perahu, sekeliling dindingnya

3 Ayah
4 Ibu
5 To Makula’ adalah istilah daerah yang artinya orang sakit. Digunakan

untuk menyebut orang yang sudah meninggal tetapi belum diupacarakan.


Bagi orang Toraja,
mayat yang belum diupacarakan secara adat masih disebut sebagai orang
sakit.
6 Upacara kematian yang dilakukan dengan meriah.

11
terdapat ukiran-ukiran indah yang menggambarkan status
sosial sang pemilik.
Dan dari ukiran Rumah Tongkonan keluargaku,
tampak jelas bahwa kami adalah keturunan puang7. Dan
karena status itulah diriku dan Sabe mempunyai keharusan
untuk melakukan Upacara Rambu Solo’ yang meriah untuk
Ambe dan Indo. Kami harus menyembelih puluhan babi dan
kerbau ditambah lagi sebagai keturunan puang kami juga
harus membeli tedong bonga8 yang harganya ratusan juta.
Dan semuanya itu tidaklah mudah untuk aku dan Sabe yang
sehari-hari bekerja sebagai petani.
"Sabe, bagaimana kalau kita tidak usah memotong
tedong bonga untuk Ambe dan Indo?”
“Itu tidak mungkin, Duma. Ambe dan Indo akan
tersesat dan tidak akan sampai ke Surga,” jawab Sabe
dengan tegas.
“Tapi tedong bonga harganya ratusan juta. Aku rasa
itu harga yang mahal untuk kita tebus.”

7
Bangsawan.
8Kerbau jenis ini tidak akan ditemukan di belahan bumi manapun kecuali di
Tana Toraja

12
“Kita harus berusaha untuk Ambe dan Indo. Jika
tidak, mereka tidak akan mempunyai kendaraan untuk pergi
ke surga.”
“Kalau begitu, aku menyesal menjadi keturunan
puang!”
“Kau ini! Jaga perkataanmu. Ambe dan Indo akan
marah karena mendengar perkataanmu seperti itu.” Nada
bicara Sabe meninggi.
“Sabe, sampai kapan kita mau seperti ini? Kita mesti
percaya Ambe dan Indo akan sampai ke surga meski tanpa
Rambu Solo dan tedong bonga”
“Tidak semudah itu. Ada adat yang mesti kita ingat.”
“Tetapi ada yang lebih penting dari itu. Kita adalah
orang beriman. Tidak cukupkah Kristus menyelamatkan
Ambe dan Indo?”
“Sudahlah, pokoknya kita harus menyelamatkan
Ambe dan Indo. Bagaimana pun caranya.”
“Terserah kau saja. Aku sudah mengingatkanmu,
namun kau tidak mengerti. Semoga saja Tuhan tidak
marah.”
Setelah pertengkaranku dengan Sabe hari itu, aku
kemudian mulai berpikir untuk pergi meninggalkan

13
kampung halaman. Mengharapkan uang dari hasil bertani
tidak akan pernah cukup untuk mengadakan Upacara
Rambu Solo’ untuk Ambe dan Indo. Merantau kupikir
merupakan jalan yang terbaik untuk masalah ini.
***
Aku telah merancanakan kepergianku ke tanah
orang. Tanah yang tidak pernah kutahu aroma tanahnya
seperti apa. Tanah yang tidak pernah kurasakan suhu
udaranya sekalipun. Dan hujan masih deras membasahi Tana
Toraja di sore hari ketika aku hendak mengutarakan
rencanaku ini kepada Sabe.
“Tidak adakah cara lain selain merantau?” tanya
Sabe. Ia cukup kaget mendengar rencana kepergianku ini.
“Sabe, kumohon mengertilah. Ini juga demi Ambe
dan Indo.”
“Aku tahu.” Suara Sabe melemah. Nyaris tak
terdengar. Tak lama kemudian telaga beningnya mulai
berkaca-kaca.
“Tidakkah kau kasihan melihat Ambe dan Indo.
Sudah sekian lama menjadi To Makula’. Rambu Solo tidak
akan pernah ada untuk orang tua kita jika kita hanya
mengharapkan hasil dari bertani.”

14
“Lantas?”
“Kau tidak mengerti juga rupanya.”
“Aku tahu. Tapi tidak adakah pilihan lain selain
merantau. Selain meninggalkanku bersama Ambe dan Indo
di rumah ini. Duma, merantau ke tanah orang belum tentu
akan menjanjikan.
“Setidaknya aku sudah berusaha, Sabe. Kumohon
mengertilah. Seperti katamu, Ambe dan Indo tidak akan
pernah memiliki tedong bonga sebagai kendaran menuju
surga jika kita hanya mengharapkan hasil bertani”
“Sudahlah, kalau memang itu maumu. Aku hanya
bisa mendoakanmu. Jangan lupa juga minta doa kepada
Ambe dan Indo. Semoga restunya menyertaimu.”
Malam itu berlalu senyap. Hanya lampu pijar yantg
terangnya redup yang menemaniku bersama Sabe. Cahaya
kuningnya membuatku mendadak sepi. Ada rasa yang tidak
mampu kututurkan. Seolah ada bayangan Ambe dan Indo di
balik cahaya itu.
***

15
Makassar, 2014
Pukul 21.28
Sudah cukup lama aku melamun di kamar ini.
Sungguh rindu rasanya. Sepertinya sudah tidak ada jalan lain
untuk mengobati rindu ini selain dengan pertemuan. Ya,
pertemuan dengan tanah kelahiranku. Pertemuan dengan
Sabe dan tentunya pertemuan dengan Ambe dan Indo.
“Romo,” seorang pria memanggilku dari balik pintu
kamarku. Aku tahu itu suara siapa. Itu suara anak
pastoranku.
“Kenapa?” tanyaku.
“Baru saja aku menerima telepon. Seorang umat
menelepon untuk pemberian minyak suci kepada ayahnya.”
“Baiklah, terima kasih. Aku akan segera berangkat.”
Aku kemudian mempersiapkan segala sesuatu yang
aku butuhkan dan segera berangkat.
Beginilah keseharianku. Diriku selalu berusaha untuk
memberikan pelayanan terbaikku. Aku kadang berpikir
mengapa dulu aku tidak berjuang untuk menuntun Indo dan
Ambe untuk lebih dekat dengan Sang Pencipta. Begitu juga
dengan Sabe, seandainya saja aku mampu meyakinkannya
untuk tidak memaksakan Rambu Solo, tentu Indo dan Ambe

16
sudah bahagia bersama-Nya. Tapi sudahlah Tuhan tentu
mengetahui semuanya, termasuk penyesalanku ini.
***
Aku tidak tahu bagaimana nantinya reaksi keluarga
ketika mengetahui bahwa sekarang aku bukanlah seorang
perantau yang sukses tetapi seorang yang dalam
perjalanannya merasa terpanggil lalu memutuskan untuk
menjadi seorang pelayan Tuhan. Bertemu dengan seorang
romo dalam perantauan mampu membuat diriku tergerak
dan tertarik untuk juga menjadi sepertinya, dan kini jadilah
aku seperti ini. Seorang romo dengan usia tahbisan yang
muda namun dengan umur yang tidak dapat dikatakan
muda.

***

Tana Toraja
Pukul 09.00, setelah perjalanan panjang.
Kini rinduku mulai terobati. Sambil merapatkan
jaketku karena udara terasa sangat dingin, aku mengisap
rokokku dalam-dalam. Jalan yang dulu selalu aku lalui
ternyata kini sudah di aspal dan diperlebar. Beberapa

17
hamparan sawah yang dulu kutempati menggembalakan
kerbau kini sudah tidak ada. Banyak yang sudah ditimbun
lalu dibangun rumah megah di atasnya.
Aku masih berjalan perlahan. Atap Tongkonan-ku
sudah mulai kelihatan. Masih ada satu jalan menanjak yang
aku lalui. Rinduku semakin menggebu-gebu. Sepertinya aku
akan menangis melihat Tongkonanku. Tongkonan masih
seperti dulu. Aku pun semakin mempercepat jalanku.
Meskipun jalan semakin menanjak, namun aku tidak merasa
kelelahan sedikitpun. Aku melirik ke arah kanan jalan. Hutan
pinus yang terhampar luas masih megah seperti dulu. Buah-
buahnya yang berwarna kecokelatan menambah
keindahannya. Burung-burung Gereja pun masih asyik
bernyanyi di ranting-rantingnya.
Tongkonan semakin dekat. Aku melihat sosok yang
aku rindukan itu sedang menyapu halaman rumah. Ya, dia
adalah Sabe. Aku berlari mendapatkannya lalu
merangkulnya kuat-kuat.
“Duma?” kata Sabe penuh keheranan. Air matanya
berlinang sambil membalas rangkulanku.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku.
“Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja.”

18
Setelah puas melepaskan rinduku dengan Sabe aku
kemudian masuk ke dalam Tongkonan.
“Aku juga rindu dengan Ambe dan Indo” kataku
berlari.
Dan betapa remuknya aku ketika tidak mendapatkan
Ambe dengan Indo. Aku hanya menemukan tulang-tulang
yang dikerumuni ulat dan belatung. Maafkan aku Ambe dan
Indo.
Air mataku menjatuhi tulang belulang mereka. Aku
menangis sejadi-jadinya. Aku menggenggam tengkorak-
tengkorak Ambe dan Indo yang berserakan di atas tempat
tidur, di mana Ambe dan Indo selama ini menjadi to makula’
(orang sakit) karena belum diupacarakan secara adat.
Sabe memelukku dari belakang. Ia ikut terisak. Ada
penyesalan yang luar biasa nampak dari tangisannya.
“Maafkan aku Duma. Aku yang salah. Seharusnya
aku mendengar perkataanmu tempo hari.”
Aku tidak berkata-kata. Menemukan kenyataan ini
cukup membuatku kaget.
“Benar katamu, Duma. Rambu Solo tidak mesti kita
paksakan mengingat keadaan ekonomi kita.” tutur Sabe
sambil sesekali mengusap air matanya.

19
“Kita harus bagaimana?” kataku. Aku benar-benar
bingung.
“Selama kau pergi merantau, sesekali romo paroki
datang membujukku untuk menguburkan saja Ambe dengan
Indo tanpa harus mengadakan Rambu Solo.”
“Lalu kenapa kau tidak mengiyakannya?”
“Aku masih berharap kau kembali sebagai perantau
yang sukses dan bisa mengadakan Rambu Solo untuk Ambe
dan Indo. Namun ternyata yang terjadi malah seperti ini.”
“Sabe, maafkan aku. Sekarang aku pun belum
menjadi perantau yang sukses. Aku sekarang adalah seorang
romo.” Aku menjelaskan semuanya kepada Sabe.
“Aku sungguh menyesal.”
“Sudahlah, penyesalan tidak ada gunanya. Mari kita
mempersiapkan diri. Lebih baik kita berdoa saja untuk
mengiringi kepergian Ambe dan Indo. Kita meski percaya
bukan tedong bonga dan Rambu Solo yang akan
menyelamatkan dan membawa Ambe dan Indo ke surga.
Tapi Tuhanlah satu-satunya jalan. Pengorbanan-Nya di kayu
salib sudah cukup untuk keselamatan kita semua.”

20
Sabe kemudian bangkit dari duduknya lalu
memelukku erat bersama tulang-tulang Ambe dan Indo.
***
*
Cerpen ini ditulis sebagai persembahan dalam menyambut
80 Tahun Baptisan pertama di Tana Toraja dan dimuat di
majalah Hidup edisi 15 /2017

21
22
Simponi Kenangan dari
Gereja Tua.
Patrich Specla

Prolog
Seorang wanita, lebih tepatnya seorang ibu tampak
lusuh tertidur di atas sebuah dipan bambu. Kapas kasurnya
sudah tipis dan dingin. Biasanya, suaminyalah bersama
putrinya yang tidur di sana. Tapi sejak dua tahun lalu
suaminya tak lagi bersamanya. Ia pergi begitu saja, entah
mengapa. Hal itu membuat wanita itu semakin terpuruk dan
lemah.
“Ma... aku pergi gereja dulu.” Seorang anak kecil
menghampirinya lalu mencium keningnya.

23
“Iya, nak.” Suara wanita itu sungguh lemah. Nyaris
tak terdengar.
***
Sebuah keping kenangan.
Kau bagaikan shimponi yang telah terukir rapi dalam
lubuk hatiku. Dan entah mengapa, getar-getar nadanya
kembali melonjak dalam hatiku saat memasuki halaman
gereja tua ini. Aku mengalihkan pandanganku ke arah timur,
kudapati mentari pagi yang tampak enggan bersinar di balik
mendung hari ini.
Aku mengamati sekelilingku. Sudah banyak yang
hadir, orang tua sampai anak-anak. Sekali lagi aku menarik
napasku dalam-dalam untuk menghilangkan sesak dalam
hatiku. Aku kemudian melangkahkan kakiku memasuki
gereja kenangan kita ini. Belum banyak yang berubah
setelah kutinggalkan 14 tahun yang lalu. Hanya warna catnya
yang kini sudah mulai usang dan langit-langitnya yang mulai
berlumut.
Pandanganku beredar. Sejurus kemudian
pandanganku berhenti pada organ tua. Spontan aku
mendekatinya. Seiring dengan jemariku menekan tuts-tuts

24
hitam-putihnya dengan lembut, khayalanku terbang jauh
pada sebuah kenangan. Kenangan antara kau dan aku.
***
Perkenalanku denganmu memanglah suatu
peristiwa yang sederhana. Entah kapan untuk pertama
kalinya aku dan kau bersapa muka. Yang jelas aku bisa
mengenalmu karena sejak kecil kau dan aku selalu bersama
baik di sekolah maupun dalam kegiatan menggereja. Aku
ingat, dulu kau dan aku selalu berlomba dalam segala hal.
Mencari telur paskah, berdeklamasi, menyanyi, menjawab
pertanyaan para suster pada waktu katekismus. Kau selalu
tak mau kalah. Ah, masa kecil yang indah!
Aku menghela nafas panjang. Barangkali aku tak
akan pernah bertemu lagi denganmu. Sejak aku
meninggalkan tanah kelahiran kita, 14 tahun yang lalu, aku
tak pernah lagi bertemu denganmu.
Keputusan hidup yang aku ambil mengharuskan kita
terpisah antara ruang dan waktu. Ya, aku ingat betul saat
terakhir kita bertemu. Saat itu bersama senja Desember
yang memerah dan juga gerimis yang turun sejak siang dan
tak juga membesar, kita berdua duduk di samping gereja.
Angin yang menerpa kita sungguh terasa sejuk, dan

25
memberi kesan sendu. Sendu seperti hatiku yang harus
melepasmu demi panggilan suci ini.
“Maafkan aku, yah,” kataku setelah
mengungkapkan semuanya.
Kau tak menyahut. Tapi tak apa. Aku mengerti, pasti
saat itu kau kaget mendengar keinginanku untuk masuk
seminari.
Kau lalu menunduk. Matamu segera menjadi telaga.
Saat itu dua sudut bendungan di sisi luar pangkal hidungmu
makin tak mampu menahan air telagamu yang membanjir.
Air matamu berjatuhan tanpa tercegah. Aku merapat begitu
saja. Kau menjatuhkan bahumu ke dadaku.
“Meskipun berat, semua ini harus aku terima dan
jalani. Kuharap kita akan bertemu lagi kelak.” Suaramu
menyendat.
“Cinta... kau harus tahu. Aku tak pernah menyesal
mencintaimu, yang kusesalkan hanyalah kamu harus terluka
karenaku.” gumamku.
***

Cerita kita belum usai

26
Suara lonceng gereja yang bergema menyentakkan
lamunanku. Bergegas aku meninggalkan organ tua ini. Ada
keengganan yang hadir di hatiku, ketika hendak
menggunakan jubah putihku. Aku masih mencari-cari
sosokmu di antara umat yang menurutku jumlahnya lebih
banyak dari pada dulu. Aku menyapukan pandanganku
sekali lagi. Tetapi tetap saja hasilnya nihil. Aku menyerah,
kemudian menggunakan stola putih yang tergantung rapi,
kemudian kulanjutkan dengan menggunakan kasula warna
yang sama.
Dua tahun sudah aku menjadi seorang imam, namun
ini adalah kali pertamaku mendapat kesempatan kembali ke
kampung halaman, dan merayakan perayaan Ekaristi
bersama umat, yang sebagian besar sudah tidak aku kenal.
Hanya ada beberapa teman SEKAMI dan OMK yang kini
sudah berkeluarga yang masih aku kenal.
Entah mengapa selama perayaan Ekaristi,
perhatianku kerap ditarik oleh seorang anak kecil yang
duduk di bagian depan. Ia duduk seorang diri. Matanya
bening mampu menunjukkan sesuatu yang aku rindukan.
Aku begitu familiar dengan bola matanya. Maka setelah
perayaan Ekaristi dan bertegur sapa dengan umat, aku

27
mendekati anak itu. Anak itu masih khusyuk berdoa ketika
aku menemuinya.
“Hei, siapa namamu?” kataku menyapanya setelah ia
mengakhiri doanya dengan sebuah tanda salib.
“Angel, Pastor.” Anak itu menjawab sedikit gugup.
“Kamu datang sendiri yah? Mana orang tuamu?”
tanyaku lagi.
“Nenek sedang menjaga ibuku yang sedang sakit,
jadi aku datang seorang diri saja”
“Bapakmu?”
Anak yang bernama Angel itu tidak segera
menjawab. Ekspresi wajahnya segera berubah. Antara
bingung dan sedih. Ia hanya menggeleng pelan. Aku tak
bertanya lagi. Aku memutuskan untuk mengantar anak itu
pulang.
“Ini rumahku,” kata Angel ketika kami memasuki
halaman sebuah rumah sederhana, atau bahkan jauh dari
kata sederhana.
“Nek... aku pulang” teriak Angel di depan pintu
sambil membuka sepatunya kemudian berlari dan dalam
waktu singkat keluar sambil menarik lengan sorang wanita
tua. Aku langsung tahu bahwa itu neneknya. Aku mengenali

28
wajah itu, namun aku tak bisa ingat sepenuhnya karena kulit
wajahnya sudah keriput.
“Selamat pagi Pastor” sapa wanita tua itu dengan
ramahnya. Aku kemudian dipersilakan masuk.
“Si Angel bilang ibunya sedang sakit yah?” tanyaku
di selah perbincangan. Wanita tua itu mengangguk.
“Sudah setahun lebih ibunya sakit.”
“Kalau boleh tahu dia sakit apa?”
“Menurut dokter, pada rahimnya terjadi infeksi.
Kami tidak punya biaya yang cukup untuk operasi
pengangkatan rahimnya. Kasihan dia, kian hari kondisinya
semakin memburuk. Ditambah lagi suaminya yang pergi
meninggalkannya karena hal ini.” Wanita tua berkisah.
Aku kemudian meminta wanita tua itu mengantar
aku menemui wanita yang sakit itu. Sebelum aku memasuki
kamarnya, aku mengeluarkan sebuah stola dan
mengalungkannya pada leherku. Aku juga mengeluarkan
Hosti kudus yang telah aku siapkan. Tak lupa aku juga
mengeluarkan minyak suci dan sebuah buku doa yang selalu
kubawa setiap memberikan pelayanan sakramen minyak
suci.

29
Kamar wanita itu tidak berpintu hanya ditutupi
dengan sebuah kain gorden. Perlahan aku menyibak kain
gorden itu. Tiba-tiba saja hatiku sungguh pilu ketika melihat
sebuah tubuh kurus terbaring lemah. Dan lebih pilunya aku,
ketika menyaksikan wajah yang putus harapan itu
menatapku degan sendu. Wajah itu aku kenal dan wajah
itulah yang selama ini aku rindukan.

Epilog
“Ericha?” suaraku seolah tercekik mengucapkan
namanya.
Wanita itu hanya mengangguk pelan. Mulutnya
bergerak tanpa suara. Iya menyebut namaku.
“Aku mendekatinya. Menggenggam tangannya
erat. Kuucapkan sebait doa di telinganya. Ia mengikuti doa
itu perlahan. Aku kemudian melepaskan tangannya. Aku,
bersama anggota keluarga yang lainnya kemudian berdoa
bersama, lalu memberikan komuni kudus kepadanya.
“Tubuh Kristus”
“A...a..min” jawabnya dengan terbata-bata.
Suaranya semakin lemah. Ada rasa haru yang tergores di

30
wajahnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Ini pertama kalinya
iya boleh menyambut Hosti Kudus dari tanganku.
Aku pun kemudian memberinya sakramen minyak
suci. Semua berjalan mengharukan. Aku mengakhiri
semuanya dengan sebuah tanda salib.
Aku kembali meraih tangannya. Ku pegang erat. Aku
membantunya membentuk sebuah tanda salib.
“Dalam nama Bapa dan Putra, dan Roh Kudus.”
“Amin...” Kami mengakhiri bersama dengan amin.
Air mataku gugur, seirama nafasnya yang berhembus untuk
terkahir kalinya.
***

Cerpen ini dimuat di majalah Seed, Juni 2014

31
32
Gugur di Pengujung Senja

Patric Specla

Senja Desember yang selalu kurindukan. Sudah


begitu lama aku menahan setiap buih-buih rindu ini
terhadapnya. Entah apa yang selalu membuatku
merindukan senja di tempat ini. Mungkinkah karena kemilau
kemuningnya yang indah? Ataukah karena kesenduhanya?
Entahlah aku belum mampu memberikan alasan saat ini.
Yang pasti adalah bahwa dengan senja ini, rasa sesakku bisa
terobati. Dengan senja hatiku menjadi teduh, meski tak
dapat kupungkiri, berada di tempat ini menikmati senja,

33
selalu saja membuat telaga beningku berujung pada air
mata.
Masih di sini. Ya, aku masih di tempat ini. Tempat di
mana ada sejuta kenangan yang boleh kita rajut dan lalui
bersama. Tempat di mana aku dan kau berbagi sejuta tawa.
Sungguh semua masih jelas dalam setiap ingatanku. Kuingat
betul saat kau petikkan kembang putih untukku lalu kau
selipkan pada telingaku. Kuingat betul saat suara gitarmu
melantun harmoni bersama nyanyianku. Sungguh aku tak
melupakan sedikitpun.
“Ini akan membuatmu semakin cantik,”
katamu setiap kau menyelipkan kembang putih di
telingaku, dan aku hanya bisa tersenyum sebagai bentuk
ungkapan kebahagiaan dan terima kasihku.
“Kau tahu mengapa aku memilihnya untukmu?”
tanyamu lagi, dan aku hanya menggelengkan kepalaku.
“Cinta itu indah seperti bunga.” Kau tersenyum.
Kebahagian terpancar dari wajahmu.
“Bukankah kembang tidak warna putih saja.
Bukankah masih banyak kembang yang memiliki warna yang
indah?” tanyaku saat itu juga.
“Nata, cinta itu tidak cukup hanya indah.”

34
“Lantas?”
“Kau tak mengerti juga?” Kau menghembuskan
napasmu dengan kasar. Kau terdiam sesaat.
“Nata, cinta itu tak cukup hanya indah. Cinta itu
mestinya suci.”
“Jadi itu alasanmu selalu memberiku kembang
putih?”
“Ya. Aku ingin cinta kita tidak hanya indah tapi juga
suci,” tuturmu dengan tatapan teduh.
Ah, aku sunguh merindukan saat seperti itu lagi.
***
Tiga tahun sudah berlalu. Tiga tahun juga kita sudah
tidak bersapa muka lagi atau bahkan hanya untuk sekedar
bertukar kabar. Ingin kuingat lagi masa di saat terakhir kali
kita menghabiskan senja.Momen di saat kau menaruh
kembang putih (lagi) di telingaku.
“Kuharap kau akan menungguku kembali.” Suaramu
pelan nyaris tak terdengar. Jelas kudengar di sana ada
kesedihan seperti yang juga kurasakan saat ini.
“Tak adakah pilihan lain selain meninggalkanku?” Air
mataku mulai mengalir pelan.

35
“Nata, kuharap kau bisa mengerti dan mau
melepaskanku untuk sebuah cita-cita.”
“Lantas, aku harus membohongi diriku bahwa aku
kuat melepaskan orang yang aku cintai?”
“Kumohon mengertilah. Jangan membuatku berat
untuk pergi,” katamu dengan penuh harap. Aku hanya bisa
diam.Bukankah aku hanya pergi untuk sesaat saja, dan
semua itu aku lakukan untuk kita.
aku hanya membisu. Aku tak bisa lagi menanggapi
perkataanmu. Di satu sisi aku ingin mencoba mengerti
bahwa kau hendak meninggalkan kampung halaman kita
hanya untuk sebuah cita-cita. Dan itu kau lakukanbukan
hanya untuk masa depan dan keluargamu, tetapi juga untuk
masa depan kita. Meski demikian, di sisi lain aku juga takut
jika esok tak ada lagi yang menemaniku menikmati
lembayung senja, mengiringi nyanyianku, dan juga
menyelipkan kembang putih di telingaku.
“Sudahlah…aku yakin semua dapat kita lalui
bersama,” katamu hangat menjelang kepergianmu. Ragamu
yang kokoh memeluk tubuhku sambil mengusap lembut
setiap tetesan air mataku.
***

36
Sunggu berat melewati semuanya. Hari-hariku
terasa tanpa makna. Selalu saja bayangmu menghantuiku.
Berlebihan memang tapi itulah yang aku alami. Hari-hari
kuhabiskan hanya dengan menulis bait-bait puisi yang entah
kapan dapat kau baca agar mengerti setiap tetesan air mata
yang membasahi kertas puisiku. Waktu berlalu dengan
terasa berat.
Kini setelah sekian lama menabung setiap buih-buih
rinduku akan dirimu, aku kembali mengunjungi tempat
kenangan kita. Tidak banyak yang berubah dengan Pantai
Losari. Malahan taman kecil tempat di mana kau senantiasa
memetik kembang putih untukku dulu masih ada.
Aku melirik jam tanganku. Sudah jam tiga sore. Senja
perlahan mulai nampak namun kau belum juga datang
menemuiku seperti janjimu beberapa hari yang lalu di
telepon. Aku masih enggan beranjak, aku ingin menikati
senja sore ini sampai benar-benar habis meski kau tidak ada
di sampingku seperti dulu kala.
Langit jimbaran kini perlahan berganti warna seiring
luruhnya sinar mentari. Sebagian air laut kini berwarna

37
sendu. Aku memutuskan untuk duduk saja dan membiarkan
sebagian kakiku tersapu oleh ombak. Di sekelilingku tampak
banyak pengunjung pantai yang asyik menikmati angin sore.
Anak-anak berkejar-kejaran. Sedangkan tak jauh dariku, aku
juga melihat sepasang kekasih yang dengan mesrahnya
duduk membiarkan kaki mereka disapu air sesekali,
sambil berbagi cerita. Si gadis menyandarkan kepalanya di
bahu si pria. Mereka tampak sangat bahagia seperti yang
kurasakan dulu. Kuharap aku juga akan merasakannya lagi
suatu kelak bersamamu.
Kau tak kunjung datang juga. Semakin lama senja
semakin memudar dan berubah menjadi awan mendung.
Sepertinya hujan akan turun sore ini. Aku melirik sekelilingku
berharap aku akan menemukan bayanganmu, tapi tetap saja
nihil, kau tak datang juga seperti pesanmu kepadaku
beberapa hari yang lalu. Aku menghirup napasku dalam-
dalam lalu menghembuskanya perlahan. Perasaanku ringan.
Namun hanya sesaat saja, karena suaramu tiba-tiba saja
terdengar oleh kedua telingaku.
“Bagaimana kabarmu?” bisikmu di kupingku saat
merangkulku. Aku hanya diam. Sejujurnya rinduku ingin saja
berteriak dan membalas pelukanmu, tapi ternyata rasa

38
kesalku terhadapmu mampu mencegahnya. Tiga tahun tak
mengabariku setelah kepergianmu bukanlah hal yang
mudah untuk dimaklumi apalagi dimaafkan.
“Maaf aku terlambat,” sapamu. Masih dengan gaya
bahasa yang sopan dan halus seperti dulu. Senyummu
menyimpul.
“Kau membuatku menunggu terlalu lama!”
“Sekali lagi, maafkan aku,” katamu singkat,
kemudian mendekatiku dan duduk di sampingku.
“Kau tak banyak berubah. Masih seperti yang dulu”
katamu kemudian.
“Ya. Tak seperti dirimu yang sudah menjadi orang
hebat sekarang.”
“Ah. Aku biasa saja. Masih seperti yang dulu,”
jawabmu dengan nada yang biasa seolah tak mampu
menangkap kesal dari nada bicaraku.
“Masih seperti dulu? Tak ada yang berubah?”
“Ya. Semua masih seperti dulu. Angga yang kau
kenal.”
“Termasuk perasaanmu terhadapku?” tanyaku
dengan nada datar. Dan saat itu juga sorot matamu berubah.

39
Aku tak mampu lagi menemukan cinta di sana. Sudah tak
seteduh dulu. Tatapan matamu sayu.
“Itulah mengapa aku mengajakmu bertemu hari ini.”
Kau menatapku sejenak lalu kembali mengalihkan
pandanganmu ke luasnya hamparan laut biru.
“Nata…” Panggilmu dengan lembut. Aku hanya
menoleh sejenak lalu kembali menyapukan pandanganku ke
arah para pengunjung yang perlahan-lahan mulai pergi
meninggalkan pantai. Mungkin karena awan mendung yang
mengisyaratkan hujan akan segera turun.
“Sebetulnya berat untuk mengatakan semuanya
padamu,” katamu dengan lembut. Ada getaran yang tak
mampu kudefenisikan.
“Mengapa? Apakah kau ingin meralat perkataanmu
bahwa tak ada yang berubah dari dirimu setelah tiga tahun
kita berpisah?” Aku berusaha menatap bola matamu walau
hatiku sudah diselimuti ketakutan.
“Karena kau baru menyadari bahwa sebenarnya ada
yang berubah. Cinta yang dulu kita simpan bersama-sama
sudah tak seperti dulu lagi,” lanjutku. Air mataku tak mampu
terbendung lagi.

40
“Maafkan aku,” katamu penuh penyesalan. Biar
bagaimanapun aku tetap mampu membaca kesedihan dari
sorot matamu.
“Sudah kuduga. Aku memang bodoh. Menunggu
bertahun-tahun apa yang semestinya tidak dinantikan dan
justru seharusnya dilupakan.” Aku menertawakan diriku.
Aku mengusap air mataku dengan kasar.
“Nata… Maafkan aku. Semuanya terjadi diluar
kendaliku. Aku hanya membiarkan cinta bekerja sesuai
dengan caranya. Bukankah cinta selalu menyangkut soal
hati?”
“Termasuk membuat orang yang menantimu penuh
harapan harus terluka?” tangisku semakin menjadi-jadi.
“Sekali lagi maafkan aku.” Kau menatapku. Tak lama
kemudian kau mengapus air mataku dengan sapu tangamu.
Ingin saja kutepis, tapi aku sadar mungkin ini yang terakhir
yang bisa kau lakukan untukku.
Segaris tipis lembayung yang masih tersisa di ujung
senja mulai menghilang. Yang tersisa hanyalah air laut yang
berwarna sendu. Hawa sejuk karena gerimis yang turun
cukup mendinginkan tubuh kita berdua.

41
Kau kemudian bangkit dari dudukmu lalu mengecup
keningku dan pergi. Kau meninggalkan sesuatu tepat di
sampingku. Tangisanku semakin keras seperti gerimis
yang turun. Tubuhku mulai basah seperti undangan
pernikahanmu yang tergeletak begitu saja di sampingku.
Angin bertiup kencang aku melirik taman kecil tempat kau
selalu memetik kembang untukku. Beberapa kembang
sudah layu bahkan ada yang sudah gugur.
Benar katamu. Cintamu itu seperti bunga yang selalu
kau petikkan untukku, indah dan suci serta suatu saat nanti
ia akan layu lalu mati. Aku terlalu lambat untuk mengerti
perkataanmu tempo hari.
***

42
Gerimis Rindu

Patrich Specla

Aku menatap langit sore yang sudah berwarna sendu.


Tersirat isyarat bahwa hujan akan segera turun. Aku berdiri
dari dudukku untuk menutup semua jendela-jendela ruangan
pastoranku. Setelah itu aku kembali duduk. Dan benar saja,
tak lama setelah aku duduk gerimis pun turun. Seperti
gerimis dalam hatiku.

Kutahu hati bisa berbicara tanpa kata. Dan sayang


adalah cinta walau tak terucap oleh kata sepatah. Kini
kutitipkan salam rindu dan doa penghabisan, walau aku

43
hanyalah daun kering yang menatapmu penuh penat, tak
habis diterpa angin-angin kerinduan.
***
Penghujung desember yang selalu aku rindukan,
bersama gerimis yang selalu membasahi ibu pertiwi.
Hangatnya dirimu yang terbang bersama buih-buih rindu
yang tak menentu. Di sinilah, aku bersama denyut-denyut
kenangan, terbias lalu termangu seolah tak ada lagi yang
bisa kuraih.
Ya, kisah kita terlalu indah untuk dilupakan, namun
juga terlalu sakit untuk diingat. Tapi entah mengapa angin
sore ini menggodaku untuk mengingatnya sekali lagi.
***
Kala itu, berbimbingan tangan kita berjalan,
berpegangan tangan kita berlarian. Lalu engkau lepasakan
tanganmu dari genggamanku dan berlari sendiri sambil
tertawa-tawa. Kejar aku! Kejar aku! Serumu manja. Dan
engkau ku kejar. Rambutmu tergerai oleh angin. Sedang
lariku sedikit terseok-seok lantaran gitar yang aku panggul
dan engkau dengan lincah terus berlompatan menyusuri
tepi pantai yang bergelombang. Aku tertinggal sudah di
belakang.

44
Aku menyerah dan kemudian duduk membiarkan
sebagian kakiku basah disapu ombak. Kemudian aku
memetik gitar, engkau bernyanyi. Lagu yang amat engkau
senangi adalah From this moment on yang entah siapa
penciptanya, aku lupa.
“Suaramu bagus!” pujiku selalu.
“Ah!” balasmu. Tapi matamu tak mampu
menyembunyikan sinar kebahagiaan bahwa kau bangga
saat itu. Namun aku memang bukan pula sekedar memuji
agar hatimu senang saja. Pujian itu setulusnya aku
keluarkan. Dan benarkan? Sekarang kau sudah menjadi
salah-satu penyanyi terkenal.
Aku ingat jelas ketika itu. Awal semuanya mulai
terkeok. Suatu ketika aku mentraktir teman-temanku di
warung Pak Jaya yang terletak di samping sekolah kita
dengan honor cerpenku yang dimuat salah satu buletin
bulanan nasional. Lalu kau datang bersama Raras. Begitu
engkau masuk, begitu pula mata kita bertemu pandang. Air
mukamu seketika itu juga berubah, dan berbegas kau
berbalik meninggalkan warung dan meninggalkan Raras
kebingungan. Aku segera bangkit dari dudukku, namun kau
tak mau sekalipun menghiraukan panggilan-pangilanku.

45
Tidak engkau acuhkan. Maka kupepeti langkahmu dengan
nafas terengah-engah.
“Aku tahu,” katamu dengan penuh amarah. “Kau
telah jadi orang hebat sekarang kau sudah jadi penulis
terkenal! Tentu gadis-gadis akan dengan mudahnya kau
peroleh!” nada bicaramu masih sama. Penuh amarah.
“Ah!” Kataku masih dengan nada pelan. Kapan aku
berbuat begitu? Aku bukan orang yang seperti itu.” Aku
berusaha tenang saat itu dengan harapan bisa melunakkan
hatimu.
“Bohong!” katamu dengan marah pula. “ Kau pikir
aku tidak tahu? Apa artinya sikapmu selama ini. Apa artinya
sikapmu yang suka cengar-cengir bersama gadis lain seperti
di warung tadi. He?”
Maka aku berusaha menerangkan padamu apa-apa
yang terkandung di hatiku. Namun engkau tidak mau
mengerti.
“Uh!” sergahmu. “Tapi tidak masalah. Toh, tak lama
lagi aku berada di tempat ini. Sudah lama aku ingin sekolah
di ibu kota.
Dan tiga bulan setelah itu kau benar-benar pergi, dan
meninggalkan kampung halaman kita.

46
***
Aku menarik nafasku dalam-dalam lalu
menghembuskannya. Begitulah aku. Entah mengapa hatiku
selalu saja sesak bisa mengingat episode-episode yang telah
kita lakoni.
Sore ini seperti biasanya apabila jadwal pelayananku
tidak terlalu padat, aku suka duduk di teras depan
pastoranku.Yah, aku telah menjadi seorang imam. Mungkin
engkau sedikit kaget apabila mendengar hal ini, atau
mungkin kau tak mau tahu apalagi peduli. Tapi tak apalah.
Toh, kau sudah bahagia. Dan tentunya juga aku bahagia.
Aku menatap langit sore yang sudah berwarna
sendu. Tersirat isyarat bahwa hujan akan segera turun. Aku
berdiri dari dudukku untuk menutup semua jendela-jendela
ruangan pastoranku. Setelah itu aku kembali duduk. Dan
benar saja, tak lama setelah aku duduk gerimis pun turun.
Nada… sore ini gerimis turun lagi. Kau kan tahu aku
sangat suka dengan gerimis, dan aku juga tahu kalau dirimu
justru tak suka. “Apa bagusnya?” tanyamu saat itu. Dan aku
pun menjawab dengan jawaban yang sederhana : “Gerimis
selalu memberiku inspirasa untuk menulis.” Tapi jika kau ingin
bertanya sekali lagi tentang alasanku mengapa aku menyukai

47
gerimis maka jawabanku akan berubah. “Aku suka gerimis,
karena gerimis selalu mengingatkanku pada saat terakhir kita
bersama. Bukankha sebelum kepergianmu ke ibu kota kita
berdua dibasahi geimis?”
***
Gerimis kini berubah menjadi hujan yang deras. Aku
meulai kedinginan. Aku masuk kedalam kamarku lalu
menyalakan TV. Lengang terus menyemilir. Pun bayu tak
hentinya berhembus membawa aroma tanah kelahiran
sekaligus tanah dimana aku sekarang bertugas sebagai
seorang imam.
Tiba-tiba saja makin sempurna kepenatan dalam
hatiku. Dan terus terang aku ingin katakan, aku sangat
terkejut melihat sebuah tayangan tentang dirimu di dalam
TV.
Seorang penyanyi terkenal, Nada Vincencia ditemukan
tewas di apartemennya. Dengan ditemukannya sejumlah
obat terlarang heroin, korban diduga tewas karena
overdosis.
Bibirku tiba-tiba saja tak mampu terbuka. Aku diam
seribu bahasa.
***

48
Masih Adakah Cinta Kita

Patrich Specla

Prolog
Suatu waktu yang kuingat. Ya, bukan waktu tentang
diriku, ataupun waktu tentang dirimu, tetapi waktu tentang
kita, tentang kebersamaan yang pernah kita lalui bersama.
Entah aku harus bersyukur atau tidak kepada waktu yang
mempertemukan kita di suatu malam. Namun yang jelas aku
selalu merindukan saat itu. Aku berharap suatu waktu

49
semua akan terulang, meskipun saat itu mungkin hati kita
masing-masing telah berubah.
***
Suatu Waktu yang Kuingat
Masih jelas dalam ingatanku, tentang suatu waktu di
malam itu. Ya, tidak ada bintang atau bulan. Tidak ada pesta
dan yang ada hanya gerimis yang turun membawa kesejukan
pada diri kita masing-masing. Kita duduk berdua di salah satu
sudut taman kota. Sudah tidak ada pengunjung lain.
Sepertinya kau sengaja mengaturnya agar kita berdua lebih
leluasa.
“Kau pernah mengatakan kau menyukai gerimis, kan?”
katamu memecahkan keheningan.
Aku hanya mengangguk pelan. Menikmati setiap detak
jantungku yang rasanya berdebar lebih kencang.
“Kenapa?” tanyamu kemudian.
“Entahlah,” kataku singkat, seolah tidak tahu apa-apa.
Namun seandainya aku berani jujur maka akan kututurkan
semuanya. Termasuk cerita tentang gerimis yang selalu
membawa bayangan tentang dirimu. Ya, dirimu yang belum
pernah kumiliki seutuhnya.
“Kau menyukai ini?”

50
“Ya.” Aku mengangguk pelan. Tiba-tiba terlintas
sesuatu dalam benakku. Sesuatu yang membuatmu menjadi
ketidakmungkinan untuk diperjuangkan. Bukankah sesaat
lagi kita akan berpisah
“Entah mengapa aku selalu ingin dekat denganmu
seperti ini. Mungkin hatiku yang terlalu naif pada godaan
bernama cinta.”
“Cinta?”
“Ya, aku sepertinya mulai mencintaimu,” katamu saat
itu dengan perlahan. Entah tulus atau tidak. Tapi yang jelas
saat itu juga aku memiliki keberanian untuk menuturkan apa
yang sebenarnya aku rasakan selama ini.
“Aku juga ingin jujur padamu.”
“Jujur?” Dahimu berkerut. Kau memperbaiki posisi
dudukmu lalu mengarahkan wajahku mendekat dengan
wajahmu. Aku merasakan aliran darahku berdesir lebih
kencang. Kini wajahku dan wajahmu terpaut tak jauh lagi.
“Katakanlah,” lanjutmu. Kau menatap kedua bola
mataku.
Aku diam sejenak. Mengumpulkan segala sesak yang
menyiksaku selama ini. Aku menarik napasku dalam-dalam.
Aku menutup kedua mataku.

51
“Sesungguhnya...” Aku diam sesaat. Ragu untuk
melanjutkan. Namun pelukan yang tiba-tiba kau berikan
memberikanku kekuatan.
“Aku dari dulu mencintaimu. Hanya saja kau begitu
sempurna untuk dijatuhi cinta oleh orang seperti diriku.”
Rasanya beban yang menumpuk selama ini habis dalam
pelukanmu. Kau tersenyum lalu memelukku semakin erat.
Tanpa ragu kau mengecup keningku. Aku memejamkan
mata.
“Terima kasih telah mencintaiku. Seperti yang
kukatakan tadi. Aku juga tidak bisa mengingkari bahwa aku
mulai mencintaimu. Tapi kau tahu ini adalah malam terakhir
kita berdua. Besok tidak akan sama lagi. Jarak dan waktu
akan memisahkan kita.”
“Aku tahu. Inilah yang kusayangkan. Mengapa
kesempatan untuk berterus terang tentang rasa kita
masing-masing datang di saat semuanya terasa terlambat.”
“Maafkan aku. Aku yang terlambat menyadari
semuanya. Aku terlalu lamban untuk memahami
perhatianmu selama ini. Aku menyesal telah
mengacuhkanmu selama ini.”

52
“Sudahlah semua sudah terjadi. Bisa mengungkapkan
semuanya dan saling berterus terang seperti ini sudah cukup
bagiku. Aku sadar tidak layak menerima cinta darimu.”
“Ssssttt.” Kau meletakkan jarimu tepat di bibirku.
“Maukah kau menungguku? Selepas pulang mengejar
cita-cita di rantu orang, aku akan kembali untukmu,” katamu
setelah diam cukup lama. Ada keyakinan yang besar.
“Jika aku tidak bisa menunggu. Tentu dari dulu aku akan
membuang rasaku untukmu. Kau tahu? Mengagumi secara
diam-diam selama setahun bukanlah waktu yang singkat,”
tuturku.
Selanjutnya, yang terjadi hanya diam. Tidak ada yang
memulai percakapan. Kita sama-sama menikmati situasi
yang ada. Perlahan-lahan jemarimu menyusup ke dalam sela-
sela jariku untuk berbagi kehangatan. Tanpa ragu aku pun
menyandarkan kepalaku di bahumu. Kau tidak menolak, dan
malah merangkulku dengan sebelah tanganmu. Membelai
dan mempermainkan ujung rambutku.
“Maafkan besok aku tidak bisa mengantarmu.” kataku
kemudian. Mengingat perpisahan yang akan terjadi esok
hari membuat sesak kembali hadir dalam hatiku.
“Kau tak ingin mengantarku? Kenapa?”

53
“Terlalu menyakitkan menyaksikan waktu dan jarak
memisahkan kita.”
“Flora...,” kau menyebut namaku dengan lembut.
Jemarimu masih sibuk memainkanku rambutku. Dan aku
menyukainya.
“Kau tahu? Memang tidak pernah indah menjadi orang
yang ditinggalkan. Apa lagi ketika seutuhnya cinta masih
menuntut kehadiran. Namun mesti kau ingat, lebih tidak
indah lagi menjadi orang yang harus meninggalkan.”
“Tak adakah pilihan lain selain meninggalkanku?” Air
mataku mulai mengalir pelan.
“Flora, kuharap kau bisa mengerti dan mau
melepaskanku untuk sebuah cita-cita.”
“Lantas, aku harus membohongi diriku bahwa aku kuat
melepaskan orang yang aku cintai?”
“Bukankah aku hanya pergi untuk sesaat saja, dan
semua itu aku lakukan untuk kita?”
“Lantas, jika ternyata waktu tidak mengijinkan kita
bersama lagi?”
“Flora..., cinta selalu punya waktu. Kita hanya perlu
bersabar. Biarkan semua berjalan seperti angin. Bertiup ke
mana dia inginkan.”

54
“Sudahlah…, aku yakin semua dapat kita lalui
bersama,” katamu, sambil mengusap air mataku lalu
memelukku.
***
Tentang Cinta yang Masih Utuh
Kini empat tahun sudah kau meninggalkanku. Memang
belum cukup satu dasawarsa, tapi bukanlah suatu waktu
yang singkat untuk sebuah kerinduan. Kau mesti tahu bahwa
semuanya masih utuh. Ternasuk cintaku. Aku masih setia
menunggumu, seperti permintaanmu tempo hari. Yakni di
malam terakhir sebelum kita berpisah. Malam di mana kita
menuturkan rasa saling mencintai kita.
Entah kau seperti apa sekarang, aku tidak tahu. Adakah
kau masih setia? Adakah kau juga rindu? Adakah kau masih
menjaga cintamu untukku. Ataukah semua sudah berubah?
Seperti zaman yang kini sudah banyak berubah. Ah, tak bisa
kubayangkan jika ternyata penantianku sia-sia.
Suatu waktu ketika masa itu datang. Masa di mana kau
dan aku bisa saling bersapa muka lagi, aku akan
menceritakan semua yang aku alami selama empat tahun
menunggumu. Termasuk semua laki-laki yang memintaku

55
mencintainya ataupun hanya sekadar menerima cintanya.
Kau ingat si Angga? Teman sekampung kita dan teman
sekolah kita dulu.
Dia pernah menyatakan cinta untukku. Sayangnya aku
tidak bisa memaksakan diriku untuk menerimanya. Aku tidak
mau menyakitinya lebih jauh jika pada akhirnya dia tahu
kalau ternyata aku tidak akan pernah bisa mencintainya.
Meskipun menolaknya setelah ia memberikan banyak
perhatian dan kebaikan, termasuk tindakan yang
menyakitinya pula.
Lain lagi dengan kawan kuliahku, Adolf. Dia juga pernah
menyatakan cinta kepadaku. Tapi seperti halnya dengan
Angga. Aku juga menolaknya. Aku mengatakan bahwa aku
tidak mencintainya. Dia lalu mengatakan bahwa tidak apa-
apa aku tidak mencintainya, yang terpenting aku mau
menerimanya dan belajar mencintainya. Tapi demi dirimu
aku tetap mengatakan tidak. Belajar mencintainya sama saja
belajar melupakanmu. Butuh seumur hidup.
Ah, sepertinya malam ini aku akan bernostalgia lagi
tentangmu. Malam ini adalah malam di nama genap empat
tahun kau meninggalkanku. Tanggal pertama di bulan

56
November, 2011. Tangggal yang unik bukan. Semoga seindah
cinta kita nantinya.
***

Waktu Kembali Mempertemukan Kita (2 November 2015,


sehari setelah genap empat tahun kau meninggalkanku)

Aku bersyukur kepada waktu yang kini


mempertemukan kita lagi setelah memisahkan kita empat
tahun yang lalu. Sehari setelah tepat kau meninggalkanku
selama empat tahun, aku mendapatkan sebuah telpon dari
nomor yang tidak aku kenal. Dan ternyata itu adalah kamu.
Aku sungguh tidak menyangka bahwa kau akan
menghubungiku setelah sekian lama kita tidak
berkomunikasi.
Aku melirik jam tanganku. Sudah jam tiga sore. Senja
perlahan mulai nampak namun kau belum juga datang
menemuiku seperti janjimu beberapa jam yang lalu di
telepon. Aku masih enggan beranjak, aku ingin menikmati
senja sore ini sampai benar-benar habis meski kau tidak ada
di sampingku seperti dulu kala.

57
Langit kini perlahan berganti warna seiring luruhnya
sinar mentari. Sebagian air laut kini berwarna sendu. Aku
memutuskan untuk duduk saja dan membiarkan sebagian
kakiku tersapu oleh ombak. Di sekelilingku tampak banyak
pengunjung pantai yang asyik menikmati angin sore.
Anak-anak berkejar-kejaran. Sedangkan tak jauh dariku,
aku juga melihat sepasang kekasih tengah duduk mesra dan
membiarkan kaki mereka disapu air sesekali, sambil berbagi
cerita. Si gadis menyandarkan kepalanya di bahu si pria.
Mereka tampak sangat bahagia seperti yang kurasakan dulu.
Kuharap aku juga akan merasakannya lagi kelak bersamamu.
Kau tak kunjung datang juga. Semakin lama senja
semakin memudar dan berubah menjadi awan mendung.
Sepertinya hujan akan turun sore ini. Aku melirik sekelilingku
berharap aku akan menemukan bayanganmu, tapi tetap saja
nihil, kau tak datang juga seperti pesanmu kepadaku. Aku
menghirup napasku dalam-dalam lalu mengembuskannya
perlahan. Perasaanku ringan. Namun hanya sesaat saja,
karena suaramu tiba-tiba saja terdengar oleh kedua
telingaku.
“Maaf aku terlambat,” sapamu. Masih dengan gaya
bahasa yang sopan dan halus seperti dulu.

58
“Kau membuatku menunggu terlalu lama!”
“Sekali lagi, maafkan aku.” Kau kemudian mendekatiku
dan duduk di sampingku.
“Kau tak banyak berubah. Masih seperti yang dulu,”
katamu kemudian.
“Ya. Tak seperti dirimu yang sudah menjadi orang hebat
sekarang.” Sejujurnya rinduku ingin saja berteriak meminta
pelukanmu, tapi ternyata rasa kesalku terhadapmu mampu
mencegahnya. Empat tahun tak mengabariku setelah
kepergianmu bukanlah hal yang mudah untuk dimaklumi
apalagi dimaafkan.
“Ah. Aku biasa saja. Masih seperti yang dulu,” jawabmu
dengan nada yang biasa seolah tak mampu menangkap
kesal dari nada bicaraku.
“Masih seperti dulu? Tak ada yang berubah?”
“Ya. Semua masih seperti dulu. Teddy yang kau kenal.”
“Termasuk perasaanmu terhadapku?” tanyaku dengan
nada datar. Dan saat itu juga sorot matamu berubah. Aku tak
mampu lagi menemukan cinta di sana. Sudah tak seteduh
dulu. Tatapan matamu sayu.

59
“Itulah mengapa aku mengajakmu bertemu hari ini.”
Kau menatapku sejenak lalu kembali mengalihkan
pandanganmu ke luasnya hamparan laut biru.
“Flora…,” panggilmu dengan lembut. Aku hanya
menoleh sejenak lalu kembali menyapukan pandanganku ke
arah para pengunjung yang perlahan-lahan mulai pergi
meninggalkan pantai. Mungkin karena awan mendung yang
mengisyaratkan hujan akan segera turun.
“Sebetulnya berat untuk mengatakan semuanya
padamu,” katamu dengan lembut. Ada getaran yang tak
mampu kudefinisikan.
“Mengapa? Apakah kau ingin meralat perkataanmu
bahwa tak ada yang berubah dari dirimu setelah empat
tahun kita berpisah?” Aku berusaha menatap bola matamu
walau hatiku sudah diselimuti ketakutan. “Karena kau baru
menyadari bahwa sebenarnya ada yang berubah. Cinta yang
dulu kita simpan bersama-sama sudah tak seperti dulu lagi,”
lanjutku. Air mataku tak mampu terbendung lagi.
“Maafkan aku,” katamu penuh penyesalan. Biar
bagaimanapun aku tetap mampu membaca kesedihan dari
sorot matamu.

60
“Sudah kuduga. Aku memang bodoh. Menunggu
bertahun-tahun apa yang semestinya tidak dinantikan dan
justru seharusnya dilupakan.” Aku menertawakan diriku.
Aku mengusap air mataku dengan kasar.
“Flora…. Maafkan aku. Semuanya terjadi diluar
kendaliku. Aku hanya membiarkan cinta bekerja sesuai
dengan caranya. Bukankah cinta selalu menyangkut soal
hati?”
“Termasuk membuat orang yang menantimu penuh
harapan harus terluka?” tangisku semakin menjadi-jadi.
“Sekali lagi maafkan aku.” Kau menatapku. Tak lama
kemudian kau menghapus air mataku dengan sapu
tangamu. Ingin saja kutepis, tapi aku sadar mungkin ini yang
terakhir yang bisa kau lakukan untukku.
“Perlu kau tahu. Semua bukan karena aku telah
mencintai yang lain. Cita-cita membuatku harus
meninggalkanmu. Kini aku hampir saja mencapai cita-
citaku.”
“Aku tidak mengerti.” Aku tetap terisak.
“Entah mengapa aku merasa terpanggil untuk
menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Flora..., Jika kau
mau mengerti datanglah besok di Gereja, tempat di mana

61
kita pertama kali bertemu saat kita masih kecil dulu. Di sana
kau akan mengerti tentang semuanya,” katamu sambil
menyodorkan sesuatu.
Dan aku hanya bisa diam. Air mataku berguguran
membasahi undangan tahbisan yang kau berikan baru saja.
Undangan itu cukup menjelaskan bahwa semuanya
memang harus berakhir. Aku menggelengkan kepala.
Ternyata selama ini aku telah berebut cinta dengan Tuhan.
Kau memelukku seerat mungkin dan aku hanya bisa
membiarkan diriku. Ini terakhir kalinya. Esok atau lusa tidak
akan ada lagi. Kau juga mengecup keningku sebelum
meninggalkanku seorang diri.
“Maafkan aku,” kata terakhirmu. Aku melihat matamu
yang berkaca-kaca.
“Teddy, entah aku harus bersyukur atau tidak, tetapi
mungkin Tuhan lebih membutuhkanmu. Maafkan jika besok
aku tidak menghadiri penthabisanmu. Cukup kukirimkan doa
saja dan air mata ini. Air mata kesedihan dan air mata
kebahagiaan. Jadilah Pastor yang baik.” aku membatin sambil
memeluk undangan pentahbisanmu. Angin berhembus
dingin, aku menarik napas dalam-dalam. Saatnya beranjak
pulang. Biar semua kenangan kubawa pulang. Akan

62
kuceritakan kepada anak cucuku kelak jika nanti aku berhasil
membuka hati untuk cinta yang lain.

63
64
Surat Kepada Kawan

Patrich Specla

Entah apa yang harus aku katakan kepadamu, selain


ketakukan. Tak ada yang lain, Pat. Tak ada cerita tentang
impian, tentang kenangan, dan tentang semua cerita-cerita
semasa kecil. Aku menulis surat balasan ini untukmu bukan
untuk bernostalgia atau untuk menuangkan setiap rasa yang
kian lama menumpuk lalu membentuk sebuah rindu. Ada yang
lebih penting dari nostalgia dan rindu. Kau tahu? Kini hidupku
lebih banyak berubah. Bukan menjadi lebih baik. Tetapi aku
tidak ingin mengatakan bahwa hidupku jadi buruk. Bukankah
seperti yang kerap kau katakan ketika masih bersama, bahwa
apa yang terjadi di dalam hidup kita mesti kita syukuri?

65
Prolog
Ada banyak arti untuk setiap kehidupan yang kita
jalani. Dan yang terpenting adalah bagaimana kita membuat
hidup itu memiliki arti. Dalam hidup ini kita tidak bisa
memungkiri bahwa kerap kali kita akan menemui
perbedaan. Tapi meski demikian janganlah perrnah melihat
perbedaan sebagai sebuah halangan untuk kita menjalin
persaudaraan. Menghadapi perbedaan ada dua pilihan yang
kita dapatkan. Melihat perbedaan sebagai sumber
permusuhan atau melihat perbedaan sebagai sumber
kekuatan untuk saling melengkapi. Tentu sudah jelas apa
yang mesti kita pilih.
***

Tana Toraja, Juni 2000


Langit yang basah karena gerimis sore ini masih
menggores warna sendu. Sawah dan kebun ilalang serta
ladang-ladang milik para tuan tanah yang basah membawa
aroma yang membuatku mengingat seberkas kenangan
bertahun-tahun silam.
Jika menghitung hari, rupanya sudah sewindu kita
berpisah. Memang belum satu dasawarsa tetapi ketahuilah

66
bahwa itu bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah
kerinduan.
Masih jelas betul kenangan itu dalam memori
ingatanku, tentang episode-episode kita berdua dulu. Kini
melalui sebuah surat sederhana ini, ingin kuturutkan sebuah
rasa rindu yang begitu besar. Kau tahu betapa indahnya
sekaligus betapa sulitnya menjadi orang yang bernapaskan
rindu. Meski aku tahu bahwa hati bisa berbicara tanpa kata,
dan sayang adalah cinta walau tak terucap oleh kata
sepatah. Kini kutitipkan salam rindu dan doa penghabisan,
walau aku hanyalah daun kering yang menatapmu penuh
penat, tak habis diterpa angin-angin kerinduan.
Dulu kita adalah sahabat yang sangat akrab dan
selalu bersama. Dalam setiap kesempatan kita selalu
menunjukkan kekompakan kita. Di mana ada aku di situ ada
kau, atau sebaliknya. Waktu tak pernah menjadi batu
sandungan untuk persahabatan. Waktu selalu
mempersatukan kita. Kita terus bersahabat sedari kanak-
kanak hingga suatu hari kita harus berpisah di penghujung
Desember. Kau memutuskan untuk melanjutkan
pendidikanmu untuk menjadi seorang tentara dan aku

67
sendiri memilih untuk melanjutkan pendidikanku di
kampung halaman kita.
Kau ingat? Dulu kita mempunyai kebiasaan
menghabiskan waktu kosong dengan duduk di bawah
lingkupan daun pohon flamboyan yang rindang di halaman
belakang sekolah. Kita pun bersantai sambil menikmati
udara yang sungguh membuat sejeuk, mengursir
kegerahan. Kita pun mulai bercakap-cakap.
“Suatu hari nanti aku mau jadi orang hebat!” katamu
dengan penuh keyakinan. Tentu aku mendukungmu.
“Aku ingin jadi seorang romo.” aku turut
mengungkapkan impian yang selama ini kupendam dalam
hatiku.
Aku kemudian berbaring di atas tanah yang
ditumbuhi rumput hijau yang lebat. Siang itu kita tanpa
beban. Kau mulai bercerita konyol dan aku hanya bisa
ngakak.
Ya Tuhan, apa yang terjadi kemudian?
Suster kepala sekolah yang secara kebetulan
melintas di halaman belakang sekolah menghampiri kita.
Aku mulai panik dan bangun dari tidurku namun kau belum
menyadarinya dan masih terus bertutur. Aku segera

68
memberimu isyarat namun kamu tetap tidak mengerti
hingga akhirnya daun telinga kita berdua mendapat
jeweran. Wajahmu menjadi merah dadu. Aku masih bisa
membayangkan wajahmu saat itu. Lucu.
Kini sembilan tahun telah berlalu. Gimana kabarmu?
Apakah kau sudah berhasil menjadi orang hebat? Ku yakin
iya. Kau kan orang yang cerdas. Angga..., tidakkah kau
bangga , umpama suatu hari kita bersapa muka kembali lalu
kau menanyakan keadaanku, memintaku untuk bercerita
tentang apa saja yang aku alami dan rasakan setelah sekian
lama kita tak bertemu, lalu dengan antusias aku bercerita
bahwa sekarang saya sudah mencapai apa yang aku impikan
selama ini. Aku telah menjadi seorang romo dan telah
dipercayakan untuk menggembalakan umat di sebuah
paroki. Mungkin kau kaget atau tersentak mendengar ini,
namun aku yakin pasti engkau akan tetap mendukungku.
Bukankah selama ini kita selalu saling mendukung.
Namun jika Tuhan tidak mempertemukan kita lagi,
sedang hidupku terus bergulir bersama kata-kata yang
terangkai bersama kesunyian. Ketahuilah bahwa aku bisa
meraih cita-citaku ini karena kenangan kita. Hadirmu dalam

69
hidupku sebagai sahabat sejati memberiku keberanian
untuk bermimpi.

Yang selalu merindukamu.


Patrich.
***
Ambon, Desember 2000
Untukmu sahabat kecil, aku ingin meminta maaf jika
baru mempunyai kesempatan membalas surat yang pernah
kau kirimkan tempo hari. Bukan karena malas atau tidak
mau, tetapi percayalah situasi benar-benar tidak
memungkinkan. Tanah Ambon benar-benar sedang dalam
situasi rumit. Banyak pertumpahan darah yang terjadi.
Entah apa yang harus aku katakan kepadamu, selain
ketakukan. Tak ada yang lain, Pat. Tak ada cerita tentang
impian, tentang kenangan, dan tentang semua cerita-cerita
semasa kecil. Aku menulis surat balasan ini untukmu bukan
untuk bernostalgia atau untuk menuangkan setiap rasa yang
kian lama menumpuk lalu membentuk sebuah rindu. Ada
yang lebih penting dari nostalgia dan rindu. Kau tahu? Kini
hidupku lebih banyak berubah. Bukan menjadi lebih baik,
tetapi aku tidak ingin mengatakan bahwa hidupku jadi

70
buruk. Bukankah seperti yang kerap kau katakan ketika
masih bersama, bahwa apa yang terjadi di dalam hidup kita
mesti kita syukuri?
Sejujurnya kini hidupku banyak dipenuhi
ketegangan. Tidak ada ketenangan lagi. Setiap pagi aku
hanya bisa menunggu malam, dan ketika malam aku hanya
bisa menunggu pagi. Dan diantara perjalanan pagi menuju
malam atau perjalanan dari malam menuju pagi, akan ada
ketakutan yang saling bersahut-sahutan.
Masih kuingat jelas waktu di mana pertama kali aku
meninggalkan tanah kelahiranku, tanah di mana ari-ariku
dikuburkan. Menjadi seorang tentara sudah menjadi suatu
tuntutan untuk menjalankan tugas di mana pun itu. Dan atas
tuntutan tugas pun akhirnya aku merantau ke Tanah
Ambon.
Tentunya kau sudah mendengar apa yang terjadi
saat ini di tempat di mana aku merantau. Sudah beberapa
hari situasi menjadi sangat menegangkan dan menakutkan.
Serangan dan pertikaian terjadi di mana-mana. Ambon yang
sebelumnya damai kini benar-benar menjadi menakutkan.
Pat, ketahuilah bahwa saat ini aku benar-benar
takut. Aku ingin pulang. Sayangnya situasi saat ini

71
membuatku tidak mempunyai pilihan lain. Dalam
kesendirian dan situasi menghadapi ancaman bahaya di
depan mata, serta setelah memperoleh informasi bahwa
aparat di Ambon pun sudah terpecah dan memihak, selintas
aku berpikir mau tidak mau aku pun harus berpihak juga,
yaitu mendukung kelompok merah karena aku seorang
Kristiani. Namun, cepat-cepat pikiran itu kubuang jauh-jauh
dan menyadarkan diri bahwa aku terpanggil menjadi tentara
bukan untuk membela kelompok merah maupun kelompok
putih. Aku dipanggil untuk merah putih! Dan akan berjuang
mewujudkan Ambon yang damai dengan segenap jiwa raga
dan kemampuan yang kumiliki. Bukankah Tuhan
memberikan kita talenta guna untuk melakukan kebaikan?
Mungkin saya termasuk perantau yang gagal saat
ini. Tidak ada yang dapat kubawah pulang akibat kerusuhan
yang terjadi ini. Semuanya sudah sirna, rumah telah habis
terbakar. Jika saja menangis dapat menghilangkan
ketakutan ini maka aku akan melakukannya sampai
tangisanku tidak berair mata lagi.
Mungkin kau masih bertanya-tanya saat ini mengapa
Tanah Ambon jadi seperti ini. Banyak kabar yang belalu-

72
lalang bak angin yang berhembus begitu saja. Katanya ini
terjadi karena konflik antar umat beriman.
Sejujurnya bagiku sungguh disayangkan bahwa kita
harus bertikai hanya karena perbedaan. Perbedaan yang
sebenarnya diciptakan oleh kita sendiri. Bukankah kita
sebenarnya sama saja di mata Tuhan?
Tapi sudahlah Pat. Biar kujalani saja ketakutan ini.
Biarkan saja semua terjadi. Aku sebenarnya sudah tidak
tahan lagi jika setiap malam harus terjaga dari tidur karena
bunyi ledakan ataupun karena isak tangis. Sudah tak mampu
kulukiskan seberapa banyak anak yang kehilangan orang tua
ataupun seberapa orang tua yang kehilangan anak.
Sungguh tidak mengenakkan jika setiap hari harus
menghadapi korban akibat bom maupun serangan
tembakan. Tidak banyak yang bisa kulakukan selain
menolong mereka semampuku. Dan yang lebih disayangkan
lagi bahwa banyak yang menjadi korban adalah mereka yang
tidak bersalah.
Sebelum kuakhiri suratku ini, maka ketahuilah
bahwa saat ini aku bersyukur telah menerima suratmu.
Terlebih atas kabar bahwa saat ini kau telah menjadi seorang
imam. Selamat telah mencapai cita-citamu. Semoga dengan

73
rahmat itu kau mampu membagi damai dan terlebih
memberi teladan untuk senantiasa memperjuangkan
perdamaian. Bukankah lebih mudah mengajarkan damai
dengan memulai dari diri sendiri?
Dan jika nanti aku tidak bisa lagi bertemu denganmu,
percayalah bahwa aku masih menjadi seorang sahabat
untukmu.
Yang merindukanmu
Angga.
***
Gulungan awan masih setia melindungi dari terik
surya yang mencodongi barat. Pun bayu masih setia
hantarkan semilir untuk mengusir jengah yang
mengungkungi raga sembari membawa wangi bunga ilalang
ke penciuman.
Romo Patrich melipat surat yang baru saja
dibacanya. Sebuah surat balasan dari sahabat kecilnya. Surat
yang ia terima setelah terlebih dahulu mengirimkan surat
sehari setelah tahbisan imamatnya. Ia menarik napasnya
dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Ada
sesak yang luar biasa dirasakannya. Semua seperti terasa

74
berat. Balasan surat yang diterimanya kini bukanlah menjadi
pengobat rindu.
Seolah mengerti apa yang dirasakan oleh Romo
Patrich, awan tiba-tiba mendung, menunjukkan isyarat
bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Romo Patrich
kemudian bergegas menyimpan suratnya di balik saku
jubahnya lalu menutup semua jendela pastoran. Dan benar
saja gerimis pun turun sesaat setelah ia menutup semua
jendela pastoran.
Karena matahari yang tidak tampak lagi, ia kemudian
menyalakan lampu kamarnya lalu menyandarkan tubuhnya
ke atas kursi sofa. Selanjutnya dalam kegundahannya, ia pun
menyalakan televisi. Ia ingin mengetahui berita terbaru
tentang kerusuhan yang sementara terjadi di Ambon.
Hujan yang awalnya hanya berupa gerimis kini
berubah menjadi sangat desar. Seperti deras air mata Romo
Patrich ketika melihat sebuah berita.
Seorang Tentara yang bernama Angga Taruna telah
ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Korban
ditemukan di tempat meletusnya bom dini hari tadi.

75
76
Lelaki di Bawah Hujan

Tantrini Andang

Hujan sudah mulai mereda. Aku memandang ke luar.


Lelaki itu masih berdiri di seberang jalan depan rumah.
Sebuah payung hitam menaungi tubuhnya. Ia memandang
gelisah ke arah rumah. Ku hela nafas panjang, berusaha
menenangkan detak jantungku. Sungguh tidak nyaman
rasanya berada dalam situasi ingin dan tak mungkin.
Jika menuruti kata hati, aku ingin membuka pintu,
berlari keluar lalu mengajak lelaki itu masuk ke rumah.
Namun aku tak mungkin melakukannya. Ada hati yang harus
kujaga. Hati yang rapuh karena terlalu lama memendam
luka. Hati ibu.

77
Kualihkan pandanganku pada ibu. Perempuan yang
sangat kuhormati itu tekun mengayuh pedal mesin jahitnya.
Sesekali ibu melempar pandang ke arahku lalu tersenyum.
Dalam senyumnya aku menangkap harapan agar aku tidak
beranjak dari kursiku dan membuka pintu bagi lelaki yang
berdiri di bawah hujan itu.
Lelaki itu sering kulihat berdiri di sana sejak aku
masih mengenakan seragam merah putih. Matanya yang
menyimpan sesal itu tidak pernah mampu kuhapus dari
ingatanku. Aku masih ingat jelas pada suatu sore, saat lelaki
itu memohon untuk dibukakan pintu, namun ibu
mengusirnya dengan caci maki yang kasar. Aku tidak pernah
melihat ibu semarah itu pada siapapun.
“Masuk Reta, jangan pedulikan lelaki itu!” kata ibu
sambil menarik pergelangan tanganku untuk masuk rumah.
Kulihat lelaki itu melambaikan tangan padaku. Air mukanya
penuh harap. Ada kelelahan dan kesedihan yang tak
menutupi gurat-gurat ketampanan di wajahnya.
“Siapa dia ibu?” tanyaku tak mengerti. Aku tidak
melihat maksud jahat pada sorot mata lelaki itu, namun
melihat bagaimana ibu memperlakukannya membuatku
ragu. Ibu selalu mengajariku untuk berbagi dengan

78
siapapun. Saat ada pengemis di depan rumah, ibu
memintaku untuk memberikan sesuatu yang ada. Namun
mengapa lelaki itu tidak diperlakukan seperti itu?
“Bukan siapa-siapa. Jangan tanyakan apa-apa lagi,”
bentak ibu sambil mendorongku masuk dan mengunci pintu
rumah. Sesaat lelaki itu masih meneriakkan sesuatu di luar,
seperti memanggil nama ibu, namun suaranya segera
tertelan oleh hujan yang mengguyur tiba-tiba. Ibu tetap
membiarkan lelaki itu berdiri di depan pagar.
“Ia kehujanan Bu” kataku. Namun ibu tak peduli.
Saat itu pertama kalinya aku melihat ibu begitu marah.. Rasa
takut dan cemas menjalariku. Ibu yang biasanya lembut
berubah menjadi sosok yang menakutkan.
“Ingat Reta, jangan sekali-kali kamu membuka pintu
saat lelaki itu datang kemari.. Mengerti?” Ibu
mengancamku. Aku hanya menganggukkan kepalaku
pasrah. Kutelan rasa keingintahuanku dalam-dalam. Di
usiaku yang ke sembilan tahun itu, aku belajar tentang
kebencian Aku melihat itu di wajah Ibu.
Waktu berlalu cepat. Beberapa kali aku melihat
lelaki itu berdiri di seberang jalan, memandang ke arah
rumah dengan penuh harap. Namun ibu selalu mengunci

79
pagar. Aku hanya berani mengintip lelaki itu dari balik
jendela. Mengamati sorot matanya yang sedih, serta
bibirnya yang gemetar memanggil nama ibu. Aku tak bisa
menahan air mataku setiap kali lelaki itu membalikkan badan
dan pergi menjauh dengan pundak menurun, Siapakah lelaki
yang begitu gigih mencari ibu itu?
Lalu aku pun mendapat jawabannya. Saat itu usiaku
lima belas tahun. Suatu sore lelaki itu berdiri di depan pintu
rumah. Aku mendengar ibu berteriak menyuruh lelaki itu
pergi.
“Kamu sudah memilih perempuan itu Aryo, uruslah
perempuan itu! Jangan ganggu kami lagi!”
“Seandainya aku tahu waktu itu kamu sedang
mengandung anak kita, aku tidak akan meninggalkanmu,
Iren. Sudah lima belas tahun berlalu, mengapa kamu masih
belum mempercayaiku? Bagaimana dengan anak itu? Ia
harus tahu siapa ayahnya!” ucap lelaki itu.
Ibu hampir mengusir lelaki itu lagi saat aku keluar
dari dalam kamar. Berdua mereka memandangku. Ibu
tampak terkejut dan gemetar, tak kalah gemetarnya
denganku. Dadaku serasa sakit saat lelaki itu menatapku
dengan tatapan penuh kasih.

80
“Dia…sangat mirip denganmu Iren…Cantik..”
bisiknya dengan suara parau. Ibu lalu menyuruhku masuk.
Aku pun menuruti kata-kata ibu dengan membawa
pertanyaan di kepala. Telah sejak lama aku berhenti
menanyakan tentang keberadaan ayah pada ibu. Aku tak
ingin melihat ibu bersedih.. Lelaki itu pasti ayahku!. Ibu
membencinya karena saat mengandung aku, ayah
meninggalkan ibu demi perempuan lain. Bisa kubayangkan
dalamnya luka yang diderita ibu. Aku paham pasti tidak
mudah mengasuhku sendirian dengan membawa rasa sakit
di dada. Namun di sisi lain aku juga merasakan kelegaan saat
tahu bahwa aku masih punya ayah.
Setelah hari itu, lelaki itu tak lagi muncul. Padahal
aku sangat ingin menemuinya, menatap matanya yang
sangat mirip dengan mataku, dan menghambur dalam
pelukannya... Dalam doa Rosario dan doa-doa Novena yang
kudaraskan setiap hari, selalu kuselipkan permohonan agar
ayah tetap gigih mencairkan beku di hati ibu. Luka di hati ibu
saat ayah mengkhianati sakramen perkawinan demi
perempuan lain mungkin tidak mudah sembuh oleh waktu,
namun aku yakin waktu selalu memberi kesempatan untuk
memperbaiki segala hal, termasuk cara memaafkan.

81
Bukankah Yesus mengatakan dalam doa yang diajarkannya
bahwa kita harus mengampuni kesalahan orang lain seperti
Tuhan juga telah mengampuni kita?
Dan sore ini, dua tahun setelah peristiwa itu, doaku
terjawab. Di bawah hujan yang tipis, lelaki itu berdiri di
seberang jalan. Sebuah payung hitam menaungi tubuhnya..
Dadaku berdetak lebih cepat. Kembali aku terjebak pada
situasi yang sulit. Aku harus memilih di antara dua. Untuk
membahagiakan ayah, itu berarti melukai ibu, sementara
untuk menuruti keinginan ibu, berarti semakin membuat
ayah menderita. Nafasku tertahan beberapa saat. Aku harus
memutuskan sesuatu!.
“Hujan mulai reda Bu..” bisikku. Ibu
menganggukkan kepalanya. Kami saling bertatapan. Ibu
juga telah melihat lelaki itu berdiri di sana. Aku merasa ibu
tahu apa yang kuinginkan saat ini. Namun perempuan itu tak
mengatakan apa-apa.. Perlahan kutolehkan lagi kepalaku ke
luar. Lelaki di bawah hujan itu sudah tidak ada. Aku
terkesiap. Kemana dia? Apakah hanya sampai di situ
perjuangannya untuk mendapatkan kami kembali? Tiba-tiba
aku merasa kecewa. Segera aku bangkit, menuju pintu,

82
berharap aku belum terlambat, masih bisa menangkap
sosok lelaki itu di belokan jalan.
“Mau kemana?” tanya ibu dengan nada khawatir.
Sepertinya ibu tahu apa yang kupikirkan. Aku belum sempat
menjawab pertanyaan ibu saat tiba-tiba dadaku berdegup
kencang. Saat kubuka pintu, lelaki itu telah berdiri di sana.
Dilipatnya payungnya yang basah. Matanya menatapku
penuh kasih, sama seperti dua tahun lalu.
“Ayah…” bibirku berucap gemetar. Lelaki itu
tersenyum lalu mengembangkan tangannya. Tanpa berpikir
lama, aku pun menghambur ke dadanya
“Maafkan ayahmu ini…” Lelaki itu tak kuasa
melanjutkan kata-katanya. Aku tak bisa menghentikan
tangisku.. Kami berpelukan dalam rindu yang kami simpan
karena sekat luka di hati ibu. Aku tak tahu berapa lama kami
saling berpelukan hingga kudengar suara sedu sedan di
belakangku. Ibu memandang kami dengan mata basah dan
wajah terharu.
“Ibu, ini ayah. Ayah telah kembali” kataku. Ibu hanya
diam. Namun aku lega karena tak ada kata-kata makian lagi
yang keluar dari mulutnya. Aku harap ini adalah sebuah awal
yang baik. Nyeri itu mungkin belum bisa terlupakan, namun

83
waktu selalu memberi kesempatan untuk menyembuhkan.
Aku sangat yakin itu.

Cerpen ini dimuat di majalah Hidup edisi 4 /22 januari 2017

84
Perempuan Itu Bernama Erika

Tantrini Andang

Siang merangkak menuju senja. Setelah membuat


tanda salib penutup doa untuk arwah ayah yang baru saja
dimakamkan dua minggu lalu, aku meninggalkan
pemakaman menuju mobilku. Kususuri jalanan menuju
sebuah desa. Di jok kursi sebelahku tergeletak sebuah novel.
Pada bagian sampulnya tertulis nama ayah sebagai
penulisnya. Buku itu baru saja terbit satu bulan sebelum
ayah meninggal. Dalam keadaan lemah ayah berpesan
padaku untuk memberikan satu buku novel itu kepada
seseorang.
Aku tak tahu banyak tentang masa lalu ayah dan ibu.
Yang jelas selama ini keluarga kami baik-baik saja. Ayah dan

85
ibu jarang bertengkar. Menurutku mereka adalah pasangan
yang harmonis. Ayah tampan dan gagah, sementara ibu
adalah perempuan lembut yang cantik. Aku bangga pada
mereka.
Lalu siapakah seseorang yang menghiasi halaman
persembahan novel ayah ini? Mengapa ia begitu istimewa
bagi ayah? Seorang perempuan bernama Erika itu jugalah
yang menjadi penyebab dinginnya hubungan ayah dan ibu
dua tahun terakhir ini. Sesuatu yang tak pernah
kubayangkan bisa terjadi pada keluargaku yang semula baik-
baik saja.
Semua berawal dari PHK besar-besaran yang
dialami ayah di tempat kerjanya. Ayah putus asa karena
kesulitan mencari pekerjaan baru. Meskipun bisnis katering
yang dijalani ibu cukup untuk membiayai kebutuhan hidup
kami bertiga, namun ayah tetap merasa bahwa semestinya
tanggung jawab keluarga ada di pundaknya.
Malam itu entah setan dari mana yang membuat
ayah pulang dalam keadaan mabuk. Saat dalam keadaan
hilang kesadaraan itulah terungkap semua isi hati ayah.
Tentang perasaannya yang lama tersimpan untuk
seseorang. Dari ocehan ayah malam itu aku mulai mengerti

86
bahwa ayah dan ibu menikah bukan dilandasi cinta.
Meskipun dalam perjalanan perkawinan akhirnya ibu
berhasil mencintai ayah, namun ternyata tidak demikian
dengan ayah. Ayah masih tetap mencintai perempuan yang
bernama Erika, nama yang disebutnya saat dalam keadaan
tidak sadar.
Malam itu aku melihat ibu menangis di kamar.
Kekecewaan menggores begitu dalam di hati perempuan
itu. Pengabdiannya selama puluhan tahun kepada ayah
ternyata tak membuat lelaki itu tulus mencintainya. Semua
perhatian dan kebaikan yang ayah lakukan adalah karena
tanggung jawabnya sebagai suami dan kepala keluarga.
Cintanya hanya untuk seorang perempuan bernama Erika.
Lalu perkawinan ayah dan ibu semakin mendingin.
Ibu hanya melakukan kewajibannya seperti robot.
Sementara ayah yang merasa bersalah semakin canggung
berhadapan dengan ibu. Mereka pun saling mendiamkan.
Aku yang sedih tak mampu berbuat apa-apa.
Lalu ayah mengisi waktunya dengan menulis.
Beberapa tulisannya menembus media lokal maupun
nasional. Yang terakhir adalah sebuah novel yang
diselesaikannya dalam waktu setahun. Saat penulisan novel

87
ini, aku sering melihat ayah menangis. Belakangan aku tahu
bahwa novel itu adalah kisah pribadi ayah sendiri.
Hingga suatu saat ayah jatuh sakit, ada secercah
sinar di mata ayah saat novel pertamanya terbit.
“Berikan satu novel ini padanya.” Ayah
menyerahkan sebuah buku novel karyanya. “Aku ingin dia
tidak lagi terbebani dengan rasa bersalah. Katakan bahwa
ayah tetap bangga padanya,” Selembar kertas kecil
bertuliskan alamat di sebuah desa menjadi bekalku untuk
mencari perempuan itu.
Dan senja ini aku memacu mobilku menyusuri jalan
panjang di sebuah desa kecil tempat alamat itu berada.
Kuharap sebelum malam aku sudah sampai kesana.
Aku berhenti di sebuah bangunan sederhana di
ujung desa. Sebuah papan nama bertuliskan nama panti
asuhan terpasang di bagian depan halaman yang luas.
Beberapa remaja sedang membersihkan halaman depan
bangunan itu. Segera aku turun dari mobil dan
menganggukkan kepalaku pada mereka. Aku pun
menanyakan tentang keberadaan perempuan bernama
Erika itu pada salah satu dari remaja itu.

88
“Maksudnya Suster Erika? Mari saya antar.” jawab
remaja itu. Lalu menunjuk pada bangunan sederhana itu.
Aku tercekat. Suster? Erika adalah seorang suster?
Aku mengikutinya menuju bangunan yang
dimaksud. Langkahku terhenti pada sebuah ruang yang
bertuliskan “Kepala Panti” Remaja itu mempersilakan aku
duduk di sebuah kursi di beranda. Aku mulai mengerti bahwa
suster Erika ternyata adalah kepala panti asuhan ini.
“Selamat sore..” Seorang perempuan berjubah
putih dan berkerudung putih menyapaku. Ia tidak cantik,
namun senyumnya sangat menawan. Selain itu, kaca mata
yang menghiasi wajah tirusnya itu tidak menyembunyikan
sepasang mata yang menatap lembut namun penuh dengan
kharisma. Sejenak aku terpaku menatap suster yang terlihat
anggun itu. Kuanggukkan kepalaku dan menyalaminya
sambil menyebut namaku.
Setelah tahu siapa aku dan maksud kedatanganku,
Suster Erika hampir tidak mampu menyembunyikan rasa
harunya. Dengan tangan gemetar ia menerima buku novel
yang kubawa khusus untuknya. Sesaat Suster Erika
memejamkan matanya. Sepertinya ia mengucap doa,
sekaligus berusaha menenangkan dirinya. Lalu dari bibirnya

89
mengalirlah cerita tentang hubungannya dengan ayah di
masa lalu.
”Kami bersahabat sejak kecil. Tak ada satu hari pun
yang kulewati tanpa ayahmu. Hingga kami beranjak remaja
aku tak tahu bahwa ada perasaan lain yang tumbuh di hati
ayahmu terhadapku, perasaan sayang lebih dari pada
sekedar sahabat.” Suster Erika berhenti sebentar, menghela
nafas untuk melanjutkan lagi ceritanya.
“Semuanya terbuka saat aku mengatakan
keinginanku untuk menjadi pelayan Tuhan pada ayahmu. Dia
kaget dan menyatakan ketidak setujuannya. Saat itu ia tidak
mengatakan alasannya mengapa. Namun aku sangat marah
karena kupikir sebagai sahabat semestinya ia mendorong
keinginan baikku. Kami sempat bertengkar hebat tentang
itu. Beberapa bulan kami tidak bertegur sapa karena
keinginanku tidak lagi mampu kubendung. Aku nekad
meninggalkan dia untuk mengikuti pendidikan novisiat di
kota lain. Saat itu aku baru tahu kalau ayahmu begitu kecewa
dan patah hati. Aku menyesal telah melukainya begitu
dalam. Ayahmu sudah seperti saudara bagiku. Ia sudah lama
menjadi bagian dari hidupku, meskipun aku tak mampu
memenuhi harapannya. Aku merasa sangat bersalah.

90
Namun aku tak mampu berbuat apa-apa.” Suster Erika
berhenti lagi, melepas kaca matanya, lalu mengusap air
bening yang menggulir dari sana. Aku menghela nafas,
serasa ikut merasakan sesak di dada perempuan
berkerudung itu.
“Terakhir kudengar kabar ayahmu telah menikah.
Aku bersyukur dengan itu. Aku selalu berharap ayahmu
berbahagia bersama keluarganya, meskipun dalam hati aku
tidak bisa menyingkirkan rasa bersalah padanya.”
“Ayah telah memahami semuanya Suster. Jangan
lagi rasa bersalah menjadi beban Suster. Ayah sangat
bangga pada Suster. Demikian pesan ayah sebelum
meninggal.” ucapku, Kulihat mata Suster Erika semakin
membasah. Ia menganggukkan kepalanya mengucap terima
kasih. Dielusnya novel karya ayah yang ada di pangkuannya.
“Antar aku ke makam ayahmu ya.” katanya
kemudian. Aku menganggukkan kepalaku sambil
tersenyum.
“Tentu Suster”.
Langit terlihat semakin abu-abu menuju gelap.
Namun aku yakin hati Suster Erika tak segelap langit itu.

91
Seperti harapan setiap insan bahwa esok akan ada mentari
yang akan membuat langit membiru kembali.

Cerpen ini dimuat di majalah Hidup edisi 13 / 14 Maret 2017

92
Mamak, Perempuan yang

Tak Pernah Melahirkanku.

Tantrini Andang

Sebuah kopor ukuran sedang telah siap di depan


pintu. Kulirik jam mungil di pergelangan tanganku. Sopir
taksi yang kutunggu akan datang sebentar lagi. Di dapur,
Mamak masih sibuk membereskan meja bekas menguleni
adonan pempek. Sepertinya ia masih mau berlama-lama di
belakang.
“Mak, sebentar lagi aku berangkat,” kataku
setengah berteriak. Tak ada jawaban. Aku melangkah
menuju dapur. Kulihat Mamak sedang berdiri mematung di
depan pintu dapur yang menghadap ke arah luar. Kulihat
ada sesuatu yang mengkilap di pipinya. Mungkin itu
keringat, atau air mata? Entahlah.

93
“Mak?” panggilku ragu. Mamak menoleh cepat. Lalu
ia menangkupkan telapak tangan ke wajahnya, membuat
gerakan mengusap pipinya. Ia meraih tumpukan wadah
plastik berisi pempek yang tersusun di atas meja. Mamak lalu
tampak sibuk menghitung pempek yang akan diantar ke
pedagang di pasar.
“Belum datang taksinya?” tanyanya dengan nada
datar. Tangan perempuan itu lalu menumpuk wadah-wadah
pempek itu dalam kantong plastik besar. Kugelengkan
kepalaku.
“Sebentar lagi,” jawabku. Lalu hening. Janggal sekali
rasanya. Biasanya kami tak pernah kehabisan bahan
pembicaraan. Namun pagi ini memang berbeda. Sangat
berbeda..
*******
Semua berawal dari kedatangan perempuan itu.
Seorang perempuan berpakaian necis dengan aroma
parfum yang menguar ke seluruh ruang tamu. Perempuan
itu wajahnya sangat mirip denganku. Ia mengaku sebagai ibu
kandungku. Tak bisa kulukiskan bingung dan terpukulnya
aku waktu itu. Selama ini aku hanya mengenal Mamak

94
sebagai ibuku. Bagaimana mungkin ada perempuan lain
yang juga ibuku?
“Untuk apa kau mencarinya?” tanya Mamak. Aku
duduk mendengarkan pembicaraan mereka dengan
bingung. Apa yang belum kuketahui tentang jalan hidupku
sendiri? Rahasia apa yang mereka simpan tentang aku?
Perempuan itu menatap tajam pada Mamak.
Melihat wajahnya membuatku seperti sedang bercermin
dan melihat diriku sedang menahan amarah.
“Kau tak pernah tahu bagaimana rasanya saat aku
dihalangi untuk melihat bayiku sendiri. Kaujuga tak pernah
merasakan sakitnya merindu saat payudaraku membengkak
karena air susu yang tak bisa kuberikan pada bayiku sendiri.
Pahamkah kau dengan rasa sakit itu?” sanggah perempuan
itu dengan suara keras. Mamak terdiam. Aku tercenung.
“Bisakah kalian bercerita dari awal? Jangan
membuatku semakin bingung,” seruku menahan tangis.
Lalu perempuan itu mengelus lenganku lembut. Ditatapnya
aku dengan pandangan yang dalam.
“Namaku Rosita.” Ia mulai bercerita. “Dulu,
pergaulanku terlalu bebas hingga aku hamil. Meskipun
begitu aku tetap berpegang pada ajaran gereja yang

95
berpihak pada kehidupan. Aku ingin merawatmu. Namun
nenekmu melarangku. Dia juga menolak lamaran ayahmu
sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Nenekmu
mengirimku bersekolah ke Australia. Sekeras apapun aku
memohon untuk bisa melihatmu, nenekmu tidak pernah
mengijinkan. Kau telah dilenyapkan dari hidupku.” Rosita
berhenti sebentar. Diambilnya sehelai tissue dari tasnya
yang terlihat mahal. Diusapnya air mata yang mengalir di
pipinya. Aku diam, sementara Mamak menghela nafas
panjang berkali-kali.
“Bertahun kemudian, nenekmu sakit dan
memintaku untuk pulang. Awalnya aku menolak pulang. Aku
telanjur membencinya. Setelah ia menjanjikan akan
memberi informasi tentang keberadaanmu, baru aku mau
pulang. Ternyata kau dititipkan pada seorang pembantu
yang pernah bekerja di rumahku, perempuan tukang
pempek ini.” Rosita menunjuk pada Mamak.
“Tukang pempek ini yang kukenal sebagai ibuku,”
tukasku cepat. Perempuan bernama Rosita itu menatapku
dengan pandangan tidak suka. Ia lalu memalingkan
wajahnya pada Mamak.

96
“Jadi kau tak pernah bercerita tentang siapa dia
sebenarnya? Kau juga tak pernah bercerita tentang aku?”
tanyanya. Mamak mengeraskan rahangnya.
“Ibumu yang menghendaki demikian. Beliau
melarangku menceritakan semuanya.” Lalu Mamak
menoleh padaku. Ada warna kemerahan di kedua matanya.
“Maafkan Mamak, Ning. Kau harus mengetahui
semuanya dengan cara seperti ini.” Suara Mamak
mengandung penyesalan. Aku diam, tak mampu
menyalahkan. Bagaimanapun posisi Mamak pasti sangat
sulit waktu itu. Ia hanya menjalankan amanat dari seseorang
yang dihormatinya.
Rosita, ibu kandungku itu lalu bercerita bagaimana
ia mencari informasi melalui tetangga dan saudara yang lain.
Namun hasilnya nihil. Nenek langsung meminta Mamak
untuk pulang ke kampungnya di Palembang untuk
merawatku hingga kini.
Kami bertiga menangis bersama, meskipun dengan
alasan berbeda. Ibu menangis terharu karena
menemukanku. Mamak menangis karena tahu akan
kehilangan aku. Sementara aku menyesali jalan hidupku
yang menyimpan masa lalu yang buruk.

97
Lalu ibu memintaku untuk pulang bersamanya ke
Yogyakarta, sebuah kota yang seumur hidup hanya
kudengar namanya saja. Aku meminta waktu untuk berpikir.
“Aku telah lama menghabiskan malam-malamku
dengan doa novena. Kini aku menemukanmu. Tidakkah kau
ingin membayar kebersamaan kita yang telah hilang?”
tanyanya.
“Jangan bersikap egois. Kau harus memahami
bahwa Ning masih terpukul setelah mengetahui jati dirinya
secara tiba-tiba. Ning butuh waktu,” kata Mamak
membelaku. Ibu membelalakkan matanya. Bibirnya bergetar
seakan ingin mengucapkan sesuatu, namun kemudian ia
urungkan saat melihatku terisak. Ia lalu memelukku erat
sambil menangis. Tubuhku meregang kaku. Aku masih
merasa canggung.
“Pulanglah ke rumah. Aku menunggumu.” Ibu lalu
menyodorkan sebuah kartu nama padaku. Tertulis di sana
nama, alamat lengkap serta nomor telpon. Aku hanya
menganggukkan kepalaku tanpa menjanjikan apa-apa. Aku
belum bisa membayangkan harus memulai hidupku
bersama seseorang yang baru saja kukenal. Meskipun ia
adalah perempuan yang melahirkanku. Dalam beberapa saat

98
yang singkat aku dipaksa untuk melihat potongan hidupku
yang lain. Serupa menemukan kepingan puzzle yang hilang
dan harus kususun sendiri dalam gambar yang belum
kumengerti.
*****
Setelah kedatangan ibu kandungku, Mamak
menyerahkan sebuah buku tabungan kepadaku. Katanya itu
adalah gajinya yang diberikan oleh nenek selama
merawatku. “Bagaimana mungkin aku memakan uang
dari merawatmu? Aku sangat bahagia dengan kehadiranmu.
Itu sudah lebih dari cukup,” ucapnya membuatku terharu.
“Gunakan saja uang ini untuk keperluanmu.” Mamak
tidak ingin menggunakan uang itu untuk kebutuhannya
sendiri. Malam itu hatiku semakin berat meninggalkan
Mamak. Tak bisa kubayangkan bagaimana aku hidup
berjauhan dengan perempuan yang telah bersamaku selama
dua puluh tahun ini.
“Maafkan Mamak yang tak pernah memberitahumu
tentang asal-usulmu. Selain karena pesan nenekmu, aku
sudah lupa bahwa kau bukan anak kandungku. Aku sangat
menyayangimu seperti anakku sendiri.” Mamak memelukku
erat. “Pulanglah pada ibumu. Ia sudah cukup menderita

99
karena kehilangan waktu bersamamu selama ini,” lanjut
Mamak. Kami pun berpelukan dan bertangisan malam itu.
*****
Suara klakson taksi yang berhenti di depan rumah
menyentakkan lamunanku. Mamak menghentikan
kesibukannya membungkus wadah-wadah pempek. Ia
mendekatiku dengan bibir gemetar.
“Baik-baiklah kau bersama ibumu. Mamak doakan
kau sukses di sana.”
“Maaakk...” Aku menghambur dalam pelukan
Mamak. Dia seorang tukang pempek yang telah merawatku.
Perempuan ini tidak pernah melahirkanku, namun ia
mengajariku tentang kasih sayang seorang ibu.
“Aku akan sering-sering menengok Mamak.” isakku.
Mamak mengelus rambutku. Tak ada suara isakannya,
namun aku merasakan kedua pipinya membasah. Mamak
sangat menyayangiku. Aku tahu pasti itu.

Cerpen ini dimuat di Hidup edisi 32, 6 Agustus 2017

100
Jalan Pulang

Tantrini Andang

Aku mengulaskan bedak tipis ke wajahku sambil


mendengarkan Rocky menjelaskan perjalanan yang akan
kulewati. Robot humanoid seri terbaru itu menekan tombol
di lengannya yang menampilkan layar besar di dinding
kamarku. Tampaklah peta perjalanan menuju rumah
keluarga Mariokendar.
“Lokasi ini cukup jauh. Kau butuh 6 jam 48 menit 19
detik dengan mobil antikmu itu. Kusarankan gunakan
Carembo, mobil terbangmu, agar perjalananmu menjadi 2
jam 39 menit 54 detik,” ujarnya.
Dua puluh tahun lalu, keluarga Mariokendar
menghabisi keluargaku. Mereka menjadikanku yatim piatu

101
di usia enam tahun. Johan Risang menemukanku duduk
gemetaran di antara mayat keluargaku usai pembantaian.
Lelaki itu lalu merawatku sebagai anaknya sendiri hingga
kini. Rocky adalah hadiah ulang tahunku yang ke-17 darinya.
Johan Risang memiliki banyak pembunuh bayaran
yang disewakannya pada orang-orang untuk kepentingan
tertentu dengan bayaran mahal. Aku sudah terbiasa dengan
bisnis kotor ayah angkatku ini. Boleh dikatakan kami hidup
dari membunuh.
Beberapa minggu lalu, seorang klien Johan Risang
menyewa salah satu anak buahnya untuk menghabisi
keluarga Mariokendar karena persaingan bisnis. Aku yang
tanpa sengaja mendengar percakapan mereka langsung
menyediakan diri untuk melaksanakan tugas ini. Alangkah
menyenangkan bisa membantai keluarga Mariokendar.
Dendam yang kusimpan pada mereka sudah saatnya
kuledakkan. Awalnya Johan Risang menolak keinginanku.
Namun setelah aku mengancam akan pergi dari rumah, ayah
angkatku itu pun mengabulkan keinginanku.
“Aku akan menggunakan Silia. Aku ingin menikmati
perjalanan ini,” kataku pada Rocky. Aku lebih suka
mengendarai mobil antik keluaran tahun 2375 yang kunamai

102
Silia itu. Mobil darat itu sudah jarang digunakan orang
karena kecepatannya yang kalah jauh dengan Carembo,
mobil terbang keluaran terbaru. Namun di tahun 2392 ini,
arus lalu lintas darat tak seramai lalu lintas udara yang
dipenuhi mobil terbang. Aku lebih suka melakukan
perjalanan darat meskipun waktu tempuhnya lebih lama.
“Terserah kau. Aku sudah memberikan gambaran.”
Rocky memencet tombol off di lengannya. Layar di dinding
pun lenyap.
Satu jam kemudian aku telah siap berangkat. Sebuah
arloji canggih yang melingkar di pergelangan tanganku akan
mengeksekusi keluarga Mariokendar dengan cepat tanpa
bekas.
Silia melaju setelah kutekan tombol koordinat tujuan
pada panel GPS yang ada di bagian depan. Pada layar
mungilnya tampak angka waktu perjalanan. Persis seperti
yang dikatakan Rocky, 6 jam 48 menit 19 detik.
Saat melewati jalanan yang diapit dua perbukitan,
tiba-tiba Silia membelok ke sebuah arah yang salah. Kutekan
tombol rerouting untuk mengembalikannya ke arah yang
benar. Namun Silia tetap melaju, melewati persawahan dan
pepohonan yang tak kukenal.

103
“Hai Silia, kenapa kau?’ Aku mulai cemas. Silia tidak
merespon. Aku mengecek tombol deteksi kondisi jalan di
layar monitor, namun tak kulihat sesuatu yang janggal
hingga Silia benar-benar berhenti.
Aku melihat sekeliling. Jalanan itu sangat sepi.
Beberapa meter dariku, tampak sebuah rumah mungil
bercat hijau. Suara “beep” pada arloji di tanganku
mendeteksi ada seseorang dalam rumah itu. Kuputuskan
untuk memasuki rumah itu. Lalu tiba-tiba...
Blam!
Pintu tertutup sendiri. Kutekan tombol stand by
pada arlojiku, berjaga-jaga jika ada yang membahayakan.
Bunyi “beep” di arlojiku menuntunku ke sebuah arah.
Sebuah pintu yang terbuka lebar di bagian dalam ruangan
menarik perhatianku. Perlahan kulangkahkan kaki kesana.
Seorang lelaki sedang bertelut menghadap sebuah meja
kecil. Nampak dua lilin menyala dan sebuah besi bersilangan
seperti tanda plus dengan patung kecil tergantung di
depannya.
Aku berhenti sejenak. Ingatanku melayang pada
masa kecilku dulu. Ibu sering menempatkan benda seperti
itu di ruang keluarga. Lalu kami akan mengelilinginya dan

104
membuat sikap persis seperti yang dilakukan oleh lelaki itu.
Aku merasa nyaman dan tak asing. Dadaku berdesir cepat.
Kemudian sesuatu yang basah mengaliri pipiku. Aku seperti
sedang merindukan sesuatu.
Lalu lelaki itu menegakkan kepalanya, membuat
sebuah gerakan tangan menyentuh dahi dan dada secara
berurutan, persis seperti yang dilakukan kedua orang tuaku
dulu. Lelaki itu menoleh padaku dan tersenyum.
“Akhirnya kau datang juga,” katanya, seolah telah
lama menungguku. Aku memegang arlojiku, bersiap untuk
menekan tombol on. Ia mengangkat tangannya
“Jangan Lexa, aku bukan lawanmu.” Ia berjalan
mendekatiku. Dia ternyata tampan sekali. Aku hampir
kehabisan nafas saat jarak kami tinggal satu langkah lagi.
“Sssiiapa kamu? Kenapa kau tahu namaku?” tanyaku
gugup. Ia mengulurkan tangannya.
“Aku Rain. Aku yang mengarahkan Silia kesini.”
“Kenapa?” tanyaku curiga.
“Kita memang harus bertemu. Ada yang harus
kulakukan padamu.”
“Apa itu?” Akubersiap untuk menyerang. Namun
Rain tetap tenang. Senyumnya membuat dadaku berdesir.

105
“Lexa, rencanamu untuk menghabisi keluarga
Mariokendar itu karena dendam yang kau simpan terlalu
lama. Kau membuat energi positif di sekelilingmu semakin
menipis. Apakah kau yakin setelah menghabisi keluarga
Mariokendar kau akan bahagia?” tanyanya. Aku terdiam
ragu. Tak terasa setitik air mengaliri pipiku. Sejujurnya aku
merasa sangat lelah menanggung dendam ini sepanjang
hidupku. Namun aku tak tahu cara mengendalikannya.
“Aku mengerti kau belum tahu banyak tentang lelaki
yang tergantung di salib ini. Dia lelaki yang memiliki cinta
terbesar. Karena cintanya adalah penyerahan nyawanya
sendiri. Sebenarnya kau gadis kuat yang memiliki hati
lembut. Kau menjadi pendendam karena penderitaanmu
semasa kecil.” Rain mengambil salib itu ke dadanya. Ia
memejamkan matanya. Sebelah tangannya diarahkannya
kepadaku.
“Aku akan mentransfer rasa cinta dan energi positif
yang akan kau simpan dalam jiwamu. Lalu kau akan bisa
memaafkan mereka yang telah menyakitimu dan
menjadikan luka-lukamu sebagai ladang kasih bagi sesama.
Batalkan keinginanmu untuk menghabisi keluarga
Mariokendar. Maafkanlah mereka,” lanjut Rain.

106
Lalu seluruh tubuhku menghangat. Aku seperti
melihat pembantaian yang membuatku menyimpan
dendam itu. Awalnya aku sangat takut lalu muncul rasa benci
dan dendam, namun perlahan semuanya tertutup kabut
yang semakin menebal. Lalu aku melihat hal yang baru:
seorang perempuan berkerudung yang tersenyum anggun,
lelaki berambut gondrong memanggul salib dan jatuh
berkali-kali, serta sekumpulan awan yang mengangkatnya
ke atas. Lelaki gondrong itu tersenyum sambil
membentangkan kedua tangannya yang berlubang. Tiba-
tiba aku merasa bahagia.
“Tugasku selesai. Aku harus pergi. Saatnya kau
membagi apa yang telah kaudapat dariku pada sesamamu.”
Rain tersenyum.
“Kau mau kemana? Jangan tinggalkan aku!” Tiba-
tiba aku takut kehilangan Rain. Dia telah membuka sesuatu
yang selama ini tak kupunya: rasa cinta. Rain
menggelengkan kepalanya. Ia membuka kemeja. Aku
terkejut.
“Rain? Kamu...sebuah…”
“Betul Lexa, aku hanya salah satu robot humanoid
ciptaan Johan Risang. Meskipun ayah angkatmu menggeluti

107
bisnis kotor, namun ia tak mau kau tersesat di jalan yang
salah. Kau harus pulang. Mulailah berbagi kasih dengan
sesamamu. Selamat tinggal Lexa.” Rain menekan tombol
berwarna merah di dadanya. Aku menjerit memanggil
namanya. Namun terlambat, Rain rontok dalam hitungan
detik. Tinggal aku sendirian. Termangu antara dendam yang
harus kutuntaskan dan rasa bahagia yang baru saja
kuperoleh karena memaafkan.
Catatan: robot humanoid = robot canggih yang penampilan
keseluruhannya dibentuk berdasarkan tubuh manusia

108
Altar yang Kurindukan

Tantrini Andang

Jam menunjuk pukul delapan kurang lima menit.


Bergegas aku memasuki pintu gereja dan mencelupkan
jariku ke dalam cawan air suci yang tergantung di pintu
masuk. Kubuat tanda salib perlahan sambil mengedarkan
pandangan mencari bangku yang masih kosong. Kuhela
nafas panjang saat kutemukan jajaran umat yang masih
longgar di bagian depan. Mestinya aku datang tak terlalu
dekat dengan waktu misa. Beginilah jadinya, aku harus
menempati bangku di bagian depan, karena umat biasa lebih
memilih duduk di bangku belakang.
Dengan sedikit ragu, kulangkahkan kakiku menapaki
lantai. Kubayangkan nanti aku akan begitu dekat dengan

109
altar tempat pastor memberikan pelayanannya. Hari ini
adalah pertama kali aku kembali mengikuti misa di paroki ini.
Kuhitung sudah beberapa waktu aku tak lagi mengikuti misa
di gereja ini. Rasa canggung dan janggal kembali menguasai
hatiku. Sebuah perasan yang selama hampir setahun ini
membuatku enggan mengikuti misa di gereja ini.
Seorang perempuan setengah baya
mempersilakanku duduk di sebelahnya dengan menggeser
tubuhnya lebih ke tengah. Kuanggukkan kepala sambil
mengucapkan terima kasih. Beberapa menit sebelum gong
awal misa dimulai aku masih sempat bertelut dan
menyatukan telapak tanganku untuk menyiapkan hati
mengikuti misa pagi ini.
Misa diawali dengan lagu pembukaan yang menjadi
salah satu lagu favoritku. Tak dapat kuingkari perasan
rinduku pada saat-saat aku masih aktif di paduan suara dulu,
hampir setahun lalu. Tuhan yang Maha Baik telah
menganugerahi aku suara yang empuk dan merdu. Aku
adalah solis yang menjadi pujaan seluruh anggota paduan
suara, juga umat di paroki ini. Perlahan aku mulai
mendendangkan lagu dengan sepenuh perasaan. Hingga
lagu berakhir aku baru menyadari perempuan setengah

110
baya yang berdiri di sebelahku memandangku dengan
pancaran mata penuh kekaguman.
“Suaramu merdu sekali Nak,” katanya setengah
berbisik. Aku hanya tersenyum agak tersipu. Sebuah pujian
yang dulu sering kudengar, namun entah pagi ini terasa
menggetarkan. Apakah karena rasa rindu yang tak bisa
kuingkari ini? Aku rindu untuk bernyanyi lagi,
menyumbangkan suaraku untuk memuji kebesaran Tuhan
dan segala anugerahnya, juga berkumpul bersama para
anggota paduan suara yang selalu kompak dan bersahabat.
Ah. Rasanya sudah terlalu lama aku meningggalkan mereka.
Dadaku berdebar saat iring-iringan misdinar,
prodikon dan pastor memasuki ruangan. Kuhela nafas
panjang, berusaha menenangkan gempar yang melanda
dadaku. Aku berusaha memusatkan diri pada ketenangan
yang ingin kuraih. Masa lalu biarlah menjadi buku cerita lucu
yang sekali-kali bisa kubaca lalu kututup kembali. Bukankah
jalan yang dipersiapkan Tuhan selalu baik? Aku telah lama
pergi dan ingin kembali. Dimulai dengan mengiikuti misa
pagi ini. Bersama mengikuti homili dan pelayanan yang
diberikan oleh Romo Markus.

111
Dalam jubahnya yang membungkus kegagahan dan
ketampanannya, Romo Markus begitu khusyuk memimpin
misa. Selama misa beragsung, aku lebih sering
menundukkan kepala. Meskipun telah kutetapkan hatiku
pagi ini untuk mengikuti misa dengan khusyuk, namun tak
bisa kuhindari kelebatan peristiwa-peristiwa masa lalu yang
melinatkan lelaki yang ada di depan altar itu.
Romo Markus yang sedang memimpin misa itu
adalah alasanku mengapa aku tidak lagi mengikuti misa di
parokiku sendiri selama hampir setahun ini. Kami bersahabat
sejak kecil hingga kedekatan kami menjadi sesuatu yang
tidak main-main bagiku. Namun aku salah duga. Markus
tidak pernah menganggapku lebih dari seorang saudara
perempuannya. Panggilan hidupnya untuk menjadi pelayan
Tuhan begitu kental dan tak mampu dibendungnya,
mengalahkan air mataku yang tumpah saat kuungkapkan
kekecewaanku yang begitu dalam karena berharap terlalu
banyak darinya.
“Maafkan aku Tari, aku sayang padamu, tapi aku
telah jatuh cinta pada Sang Pemberi Hidup dan ingin
mengabdikan segala yang kupunya untukNya. Kuharap kau

112
akan baik-baik saja tanpa aku.” Begitu hiburnya saat aku
menangis karena hatiku patah.
Markus memutuskan untuk memasuki seminari.
Semenjak itu aku tak pernah mengadakan kontak apapun
dengannya. Aku bahkan tak tertarik untuk menghadiri misa
kaul kekalnya saat ia menerima sakramen imamat. Aku
benar-benar memutuskan hubungan dengan Markus.
Hingga setahun lalu aku dengar ia bertugas di parokiku.
Sejak itulah aku jadi enggan mengikuti misa di parokiku
sendiri. Semua kegiatan lingkungan juga kutinggalkan,
termasuk latihan-latihan paduan suara yang selalu kuhadiri.
Aku menjauh dari parokiku. Aku tak siap bertemu lagi
dengan Romo Markus.
Waktu baerlalu, dan akhirnya aku menyadari tak
bisa terus menerus bersembunyi. Aku mulai rindu dengan
teman-teman paduan suaraku, dengan semua kegiatan
lingkungan yang dulu aktif kuikuti. Menghindar dari Romo
Markus dan meninggalkan komunitas yang telah mendarah
daging dengan kehidupanku selama bertahun-tahun
ternyata ttidak membuatku tenang. Aku ingin kembali
bertelut di depan altar di gereja parokiku. Lalu pagi ini adalah
misa pertamaku di paroki ini setelah aku memutuskan untuk

113
meninggalkan rasa kecewaku pada Markus dan melupakan
patah hatiku. Kutegarkan diri untuk kembali pulang ke
paroki yang lama kutinggalkan ini. Aku pun bersiap untuk
mengikuti misa yang dipimpin oleh sahabat masa kecilku
itu..
Saat tiba waktunya pembagian komuni, dengan
memantapkan hati kulangkahkan kaki mendekati Romo
Markus yang membagi-bagikan tubuh Kristus. Ia berdiri
gagah dengan ampul di tangannya. Sebersit rasa haru dan
bangga merasuki dadaku. Sahabatku itu, dia seorang
pelayan Tuhan yang berkharisma!.
“Tubuh Kristus, ” katanya. Lalu kami pun tak bisa
menghindari dari momen itu. Saat kami saling bertatapan.
Kulihat keterkejutan yang terpancar di mata Romo Markus.
Lalu seulas senyum kecil menghiasi wajahnya.
“Amin.” Kujawab lirih sambil menganggukkan
kepalaku tanda hormatku padanya. Kudengar ada desahan
nafas panjang yang keluar dari mulutnya sesaat sebelum aku
melangkah ke bangkuku kembali.
Setelah pemberian berkat terakhir, aku keluar
dengan tergesa. Banyaknya umat yang telah mengenalku di
paroki itu satu-persatu mendatangi dan memberikan salam.

114
Terutama anggota paduan suara yang dulu membesarkan
namaku. Teman-teman masih memintaku untuk kembali
bergabung pada paduan suara mereka. Aku menjawab
untuk berusaha memikirkannya dan mengatur jadwal
latihan bersama.Bagaimanapun aku memang telah
merindukan mereka. Juga saat-saat aku menjadi pemazmur
atau solis dalam paduan suara.
“Tari..”sebuah suara yang sangat kukenal
memanggilku saat aku sedang membuka pintu mobilku.
Romo Markus tersenyum dan mengangsurkan tangannya.
Tatapannya masih teduh seperti dulu. Namun begitu aku
merasa ada jarak yang sengaja ia ciptakan dari caranya
menyapaku. Aku menganggukkan kepalaku sambil
menyambut uluran tangannya.
“Selamat pagi Romo...”
“Aku senang kamu kembali berangkat ke gereja.
Kupikir kamu sudah meninggalkan kami selamanya,”
katanya masih dengan senyumnya. Aku tersipu.
“Aku tetap ke gereja kok, tapi tidak di paroki ini. “
jawabku jujur.
“Kenapa Tari? Banyak hal yang bisa kau lakukan
untuk paroki ini. Kamu adalah solis handal yang belum ada

115
duanya. Kuharap …kuharap bukan karena aku ya?” bisiknya
masih menatapku. Aku menghela nafas panjang. Kurasa aku
tak perlu menjawabnya. Ia pasti tahu gejolak yang
kurasakaan beberapa tahun lalu saat ia memutuskan untuk
memasuki seminari dan meninggalkan aku dalam keadan
patah hati.
“Mulai hari ini aku kan mengikuti misa di paroki ini,
Mo. Aku tadi juga sudah bertemu teman-teman paduan
suara. Aku akan aktif lagi di lingkungan.” Jawabku mantap.
Romo Markus tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar.
“Itu berita bagus Tari! Aku tunggu penampilanmu
saat mazmur minggu depan ya.” Romo Markus tampak
bersemangat. Dan entah kenapa aku mulai tertulari
semangat itu.
Misa kali ini kurasakan begitu menyejukkan aku telah
berdamai dengan perasaanku sendiri. Keputusanku telah
benar. Keinginanku untuk pulang kembali ke gereja parokiku
telah membuatku kembali tenang. Altar yang telah lama
kurindukan kini kembali akan kukunjungi sebagai tempatku
menyembahNya. Senyuman Romo Markus yang
menyejukkan kembali memenuhi relung dadaku, Namun
bukan lagi sebagai lelaki yang pernah menjadi pangeran di

116
hatiku. Ia kini adalah seseorang utusan Tuhan yang
kuhormati sepenuh hati.

117
118
Pintu Nomor Sebelas

Tantrini Andang

Di depan rumah dengan pintu bernomor sebelas,


lelaki dengan cambang lebat itu berdiri mematung.
Tatapannya tak lepas dari daun pintu yang tertutup itu. Ia
menghirup udara dalam-dalam, seolah kemaruk dengan
oksigen yang tiba-tiba bermurah hati membanjiri
sekelilingnya. Setelah sepuluh tahun hidup dalam tembok
tinggi yang terpisah dari dunia luar, kebebasan ini adalah
sesuatu yang mahal baginya. Setelah membuat tanda salib,
ia memantapkan langkahnya untuk memulai perjalanan baru
dalam hidupnya.
Pintu bernomor sebelas itu adalah tujuan
pertamanya setelah sipir penjara mempersilakan gerbang

119
tinggi itu dibuka dan memberinya jalan keluar. Seraut wajah
lembut bermata telaga yang tak pernah berhenti menghiasi
malam-malamnya saat di penjara kini semakin jelas
terbayang di pelupuk matanya. Adakah pemilik mata telaga
itu masih mengingatnya? Semua pengorbanannya?
Peristiwa itu masih disimpannya rapat. Tak pernah
dilupakannya setiap detak dada yang dirasakannya waktu
itu. Aroma anyir darah, tetesan keringat kegelisahan, hingga
raut wajah ketakutan itu selalu membayangi mimpi-mimpi
malamnya. Di dalam tembok tinggi itu darasan Novena
dilantunkannya demi sebuah nama yang terpahat di hatinya.
Nama seseorang yang akan ditemuinya segera.
******
“Kemarikan pisau itu, cepat berikan padaku!”
katanya sepuluh tahun lalu pada perempuan yang terlihat
ketakutan dan gemetaran itu. Matanya membelalak dengan
air mata yang mengalir deras, bibirnya bergetar, rambutnya
kusut masai dan pakaiannya berantakan. Perempuan itu
menggenggam sebilah pisau yang bahkan kilaunya tak lagi
nampak karena telah berlumuran darah. Di depannya
sesosok lelaki dengan mulut berbau alkohol mengerang
kesakitan memegangi perutnya yang terluka parah. Lelaki

120
itu ayahnya sendiri. Lelaki yang semestinya melindunginya,
namun menjelma iblis yang tega berniat memporak-
porandakan masa depannya.
Darah yang berleleran pada bilah pisau, lelaki
setengah baya dengan perut koyak, serta kusut masai
pakaian yang dikenakan perempuan itu sudah cukup
membuatnya mengerti apa yang telah terjadi.
“Berikan pisau itu padaku Sonia, lalu pergilah sejauh
mungkin. Kau akan melupakan kejadian ini, Kau harus
lupakan semuanya! Kau tak pernah mengalaminya.”
teriaknya. Lalu ia merebut pisau yang ada dalam genggaman
perempuan yang gemetaran itu. Didorongnya pelan tubuh
perempuan itu agar menjauh dari sosok lelaki berlumuran
darah yang masih berusaha menghirup sisa-sisa nafas
penghabisannya itu.
“Cepat pergi! Lupakan semuanya!”
Pisau telah berpindah tangan. Perempuan itu berlari
meninggalkan tempat itu dengan gemetaran. Sosok lelaki
yang bersimbah darah di depannya masih mengerang
kesakitan, berusaha menghirup sisa-sisa nafas yang
penghabisan.

121
Entah mengapa ia melakukan itu. Sebilah pisau
penuh darah yang digenggamnya itu akan membawa
masalah besar. Ia sangat tahu hal itu. Ia tak rela perempuan
bermata telaga itu harus menanggung lukanya sendirian.
Luka yang membuat masa depannya berantakan. Hari-hari
ke depan miliknya dan milik perempun itu telah terbayang.
Namun ia akan melaluinya dengan kerelaan penuh. Ia akan
lebih menderita jika harus melihat perempuan itu
menanggung lukanya sendirian. Dengan dada pecah dan
tubuh gemetaran, ia menggantikan posisi perempuan itu.
Dan semua orang pun melihatnya sebagai
pembunuh. Pembunuh yang menghabisi nyawa seorang
lelaki terhormat di kampung itu. Sepuluh tahun adalah
waktu yang dibayarkannya demi perempuan itu. Ia rela
menjalani hari-hari suram dalam dinding tinggi yang tak
menawarkan apa-apa selain kepedihan dan keputusasaan.
Pada pintu nomor sebelas kini ia terpaku, berdiri
mematung. Ia berharap perempuan itu keluar dan
mengenalinya, sebagai pahlawan yang telah
menyelamatkan hidupnya. Terbayang lagi kehidupan yang
ingin dijalaninya bersama perempuan itu. Ia ingin

122
membangun semuanya dari awal, memperbaiki luka-luka
bersama-sama.
Tak berapa lama pintu itu terbuka. Degup di dadanya
semakin kencang. Perempuan itu! Masih seperti dulu. Manis
dan mendebarkan. Mereka bertatapan. Sekilas ia melihat
bibir perempuan itu bergerak, namun tertahan.
“Sonia..” sapanya dengan suara parau. Mata mereka
masih bertautan. Lelaki itu mencari-cari binar yang dulu
bersemayam di mata telaga itu. Namun ia tak
menemukannya. Sonia menatapnya seolah ia adalah orang
asing.
“Sssiapaa…?” tanyanya dengan suara lirih.
“Aku Baskara Nia, masih ingat aku? Aku telah
kembali. Aku sudah bebas,” kata lelaki itu sambil mengulas
senyum. Namun senyumnya tampak getir. Ia tak
menemukan senyum sedikitpun di wajah Sonia, Ada apa
dengan perempuan itu? Mengapa ia seolah tak
mengenalinya?
“Aku…Aku…tak tahu.” Lalu perempuan itu terlihat
ketakutan. Ia segera berlari menuju pintu dan menutupnya.
Ditinggalkannya Baskara yang masih termangu ditelan
kerinduan dan luka.

123
Bagaimana mungkin perempuan itu melupakannya?
Ia telah mengorbankan waktu dan hidupnya di balik dinding
penjara hanya untuk membelanya, melindunginya dari kesia-
siaan hidup. Sonia telah mengalami kekejaman luar biasa
yang dilakukan ayah kandungnya sendiri, Ia juga telah
mengalami shock karena rasa bersalah telah menghilangkan
nyawa ayahnya itu. Baskaralah yang membuatnya tetap bisa
berdiri di luar tanpa cemoohan orang-orang, tanpa label
“pembunuh” yang akan selalu melekat setiap saat bahkan
setelah selesai menebusnya. Baskara telah merelakan itu
semua, menelan penderitaan selama sepuluh tahun dalam
penjara. Ia rela disiksa para tahanan lain, diperlakukan tidak
adil dan mengalami pelecehan-pelecehan yang tak
terhindarkan. Apakah semua itu belum cukup untuk sekedar
terbayarkan dengan sebuah ingatan?
Baskara merasa terluka. Ia melangkah pulang
dengan gontai dan rasa nyeri di dada. Namun ia tak
menyerah, Ia tak ingin semua pengorbanannya sia-sia. Ia
kembali ke rumah itu di hari berikutnya, menunggu Sonia
dan berusaha mengembalikan ingatan perempuan itu
tentang dirinya.

124
“Kamu ingat kan waktu itu? Kau memegang pisau
berdarah itu, aku yang melihatmu. Tak ada orang lain. Aku
yang menggantikanmu.” Mata perempuan itu membelalak.
Bibirnya gemetaran. Ia menggelengkan kepalanya. Ada
genangan yang hampir tumpah di sudut matanya.
“Tidaak…Tidaaakk.., !” Sonia menjerit histeris lalu
berlari masuk ke dalam rumah.
“Sonia…Tunggu…” Namun pintu itu telah tertutup.
Baskara menelan kembali rasa kecewanya.
Tak berapa lama pintu kembali terbuka. Keluarlah
seorang laki-laki dari dalam rumah. Wajahnya tampan
namun tidak ramah. Ia memandang Baskara dengan rasa tak
suka.
“Mengapa kau kemari pembunuh? Gara-gara kamu
istriku mengalami depresi luar biasa. Kini ia hampir
melupakan semuanya. Kuharap kau tak lagi
mengganggunya. Enyahlah! Kembalilah pada hidupmu.
Jangan ganggu Sonia lagi.” Begitu kata laki- laki yang
mengaku sebagai suami Sonia itu.
Baskara terdiam mematung. Dadanya kembali
serasa ditusuk puluhan belati. Apa tadi yang dia bilang?
Pembunuh? Ia tidak membunuh! Ia hanya memegang pisau

125
yang berdarah itu. Mulutnya seakan ingin meneriakkan itu,
namun ia ingat Sonia. Ia tak akan rela membebani
perempuan yang dicintainya itu dengan berbagai perkara.
Hatinya bergolak hebat. Ia tak bisa menerima semua
ini. Ia sungguh tak rela pengorbanannya sia-sia. Ia sangat
mencintai perempuan itu. Bahkan ia tak pernah
melupakannya selama sepuluh tahun di dalam penjara.
Mengapa hanya seperti ini akhirnya?
Baskara pulang kembali dengan hati remuk
berkeping-keping. Begini mungkin perasaan Anak Manusia
yang telah mencintai sepenuh hati dengan pengorbanan
yang besar namun tak ditanggapi dan dibalas dengan
sepadan oleh manusia. Baskara menahan nafas dan
menahan perih dari luka di dadanya. Ia tak tahu. Tak akan
pernah tahu bahwa dari balik korden pintu rumah nomor
sebelas itu, Sonia mendesiskan namanya dengan hati tak
kalah terlukanya,
“Baskara, Maafkan aku. Aku berpura-pura
melupakanmu meskipun sesungguhnya aku tak pernah
mampu. Aku harus belajar untuk sungguh-sungguh
melupakanmu. Aku tak mungkin menyakiti hati suamiku yang
telah mengikatku dalam sakramen suci. Kuharap kau

126
menemukan seseorang lain yang melebihi segalanya dariku.
Biarlah kau berada hanya dalam hatiku, namun tidak di
hidupku.”

127
128
Biodata Penulis

Tantrini Andang
adalah salah satu
pemenang lomba
Novela yang
diadakan oleh
penerbit Bentang
Pustaka. Karya
noveletnya yang
berjudul Cinta
Dalam Secangkir
Coklat menjadi salah satu karya terpilih untuk diterbitkan
dalam bentuk e-book dan dipasarkan di Google Play Book.
Beberapa cerpennya dimuat di Majalah Story, Harian
JogloSemar, dan Mingguan Hidup. Karya penulis yang lain
adalah Sahabat Rahasia, (Novel Anak), Cerita Rakyat
Jerman (Cerita Anak), 45 Penyakit Musuh Kaum
Perempuan, bersama dr Yekti Mumpuni, (Buku Kesehatan

129
Populer), Melukis Senja, (Antologi Puisi), bersama Yusup
Priyasudiarja, Hujan Terlalu Pagi (Antologi Cerita Pendek)
bersama Yusup Priyasudiarja. Cincin Mirah Delima
(Sehimpun Cerita Pendek).
Bersama para penulis Komunitas Penulis Katholik
Deo Gratias, penulis juga telah menerbitkan beberapa
antologi: Dari Mijil ke Kali Progo (Antologi Cerita Pendek
Rohani) Orang-Orang Pertama yang Menunggu (Antologi
Cerpen ), Surat Tentang Harapan yang Baru (Sehimpun Puisi
untuk Ahok). Selain itu juga telah terbit dua buah kitab
pentigraf (cerpen tiga paragraf) Pedagang Jambu Biji dari
Pnom Pehn dan Dari Robot Sempurna Sampai Alea Ingin
ke Surga, serta kitab penagraf (cerpen lima paragraf) Burger
Terakhir yang Terbuang.
Penulis bisa dihubungi di akun FBnya :Tantrini
Andang, atau email tantrini@gmail.com

130
Patrich Specla,
seorang yang
mencintai gerimis
namun tidak menyukai
hujan. Saat ini sedang
menempuh formatio
sebagai seorang calon
imam Keuskupan
Agung Makassar.
Merupakan alumnus
Kampus Fiksi
Indonesia 2015
(sebuah pelatihan
kepenulisan nasional). Selain menulis, juga suka bermain
badminton dan membaca. Getar-getar Nada Cinta adalah
novel pertamanya ketika duduk di bangku Seminari
Menengah, selanjutnya di tahun 2014, ia menyelesaikan
novel keduanya yang berjudul Travelove. Telah menulis 8
buku antologi cerpen bersama beberapa penulis lainnya.
Buku ini merupakan buku ke-11 yang telah ditulisnya. Penulis
dapat di hubungi melalu email tandiangga@gmail.com dan

131
twitter Patrich_Specla. Karya-karyanya juga dapat ditemui di
blog “Kata Hati”, www.patrichspecla.blogspot.com.

132

Anda mungkin juga menyukai