Anda di halaman 1dari 17

1

TEOLOGI PRAKTIS-EMPIRIS, PEMBANGUNAN JEMAAT DAN


RELEVANSI PEMIKIRAN EMANUEL GERRIT SINGGIH1
oleh handi hadiwitanto2

1. Pendahuluan
Pengarang memiliki ketertarikan pada studi teologi yang bersifat kontekstual-praktis, karena bagi
pengarang rasanya studi tersebut membawa pikiran bertualang tanpa pernah kehilangan kesadaran pada
kondisi nyata yang harus menjadi muaranya. Menurut pengarang, tulisan dan pemikiran Pdt. Prof.
Emanuel Gerrit Singgih, PhD. (selanjutnya pengarang akan sebut ‘Pak Gerrit’, seperti biasanya pengarang
memanggil beliau) adalah salah satu jawaban yang amat memuaskan. Dari banyak tulisan yang sudah
mulai pengarang baca sejak masih ada di program studi teologi strata 1 Universitas Kristen Duta Wacana
(UKDW), tulisan Pak Gerrit tidak pernah membosankan, meskipun biasanya juga tidak pernah pendek.
Apa yang pengarang lihat adalah, gaya menulis Pak Gerrit yang rapi dan mengalir jelas, diskusi yang
dalam, tafsiran teks yang meyakinkan, dan, ini yang penting, topik yang selalu menantang bagi pemikiran
dan perkembangan teologi dalam konteks Indonesia saat ini. Di dalam alur pemikiran Pak Gerrit yang
tertuang dalam tulisan, selalu ada dialog antara ide/teori dengan kondisi paling nyata dalam konteks
gereja maupun masyarakat Indonesia. Tulisannya tidak berhenti hanya pada hal-hal yang bersifat normatif
atau wacana-wacana teologis yang abstrak. Pak Gerrit juga nampaknya tidak suka sekedar menempelkan
konteks Indonesia sebagai penutup pendek sekedarnya di akhir tulisan. Beliau selalu memberikan tempat
yang cukup untuk mendiskusikan konteks Indonesia dan permasalahannya. Bahkan beliau sering memulai
tulisannya mengenai persoalan tafsir suatu teks tertentu dengan persoalan-persoalan konkret seperti ini.
Pendekatannya amat bersifat empiris-induktif, yang kemudian menjadi semacam konsep dan pola
pendekatan umum untuk studi di program pasca sarjana teologi UKDW sampai dengan sekarang. Sebagai
seorang ahli tafsir yang unggul, nampaknya Pak Gerrit selalu tertantang untuk mempertemukan tafsiran,
pemikiran/wacana dan tradisi-tradisi teologis tertentu dengan hal-hal yang paling praktis, yang berkaitan
dengan situasi dan persoalan-persoalan di tengah gereja dan masyarakat Indonesia. Hal inilah yang
membuat tulisan dan pemikiran Pak Gerrit selalu menjadi tulisan dan pemikiran teologis yang serius
tetapi juga praktis-kontekstual serta mengasyikan tanpa terjebak menjadi terlalu remeh temeh. Pengarang
tidak berlebihan mengatakan bahwa ketertarikan dan pemahaman pengarang pada studi teologi dan

1
Artikel ini dipublikasikan di: Hamel, Victor; Messakh, Besly; Listijabudi, Daniel K.; Wijayatsih, Hendry (eds.),
(2010), Gerrit Singgih. Sang Guru dari Labuang Baji, Jakarta: BPK Gunung Mulia
2
Dosen Teologi Praktis-Empiris (Pembangunan Jemaat) di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana
(UKDW) Yogyakarta.
2

pemahaman mengenai apa itu teologi praktis salah satunya adalah karena pertemuan pengarang dengan
sosok dan pikiran Pak Gerrit.
Pada tahun 2000 pengarang mendapat kesempatan untuk kembali studi secara formal di program
pasca sarjana theologia UKDW untuk program strata 2 Magister Theologiae. Pada saat itu pengarang
masih bertugas sebagai pendeta jemaat. Studi Pembangunan jemaat (PJ) dan teologi praktis yang
pengarang dengar sebagai salah satu bidang minat yang ditawarkan menjadi tujuan studi yang akan
didalami. Terus terang pada awalnya pengarang agak kecewa ketika beberapa tulisan yang sempat
pengarang baca berkaitan dengan bidang PJ justru tidak seperti sebuah studi teologis yang pengarang
bayangkan. Topik-topik seperti bagaimana mengembangkan program pemahaman Alkitab, membentuk
sekolah minggu yang baik, mengelola manajemen gereja, dibahas secara amat sederhana dan tidak
memberikan tempat yang serius pada diskusi mengenai konsep-konsep teologis. Tentu bukan berarti
semua itu tidak berguna bagi pelayanan gerejawi. Tetapi bagi sebuah studi akademis di bidang teologi,
pengarang merasa bahwa PJ dan teologi praktis harus lebih dari sekedar mengurus dan mengerjakan hal-
hal praktis.
Kekecewaan pengarang berangsur hilang ketika pengarang mulai berkenalan secara sungguh-
sungguh dengan bidang studi PJ sebagai teologi praktis. Pertama kali pengarang berada dalam kelas yang
diampu oleh Pak Gerrit dan Prof. Dr. Frans Wijsen dari Radboud University Nijmegen di Belanda, yang
saat ini menjadi tempat pengarang menjalankan studi strata 3 di bidang teologi praktis-empiris. Kedua
pakar ini dengan tegas mengatakan bahwa PJ sebagai teologi praktis adalah sebuah kajian teologis yang
serius. Orientasi praktis dalam kehidupan gereja maupun masyarakat bukan berarti membuat studi ini
dapat mengabaikan kerangka teoritis-teologis dan pendekatan yang ilmiah. Dialog antara yang normatif-
teoritis dengan hal yang bersifat praktis adalah konsep utama dalam teologi praktis. Dan menurut
pengarang, hal inilah yang hampir selalu dapat kita lihat dalam tulisan-tulisan Pak Gerrit. Pada saat itu
juga pengarang diperkenalkan dengan pendekatan empiris dalam berteologi praktis, khususnya terkait
dengan PJ. Belakangan pengarang tahu bahwa Pak Gerrit, yang adalah direktur program pasca sarjana
theologia UKDW pada saat itu, adalah salah satu sosok yang serius memikirkan tempat bagi bidang
teologi praktis-empiris, termasuk PJ. Maka sejak pertemuan pertama di kelas PJ itulah pengarang benar-
benar menjadi bersemangat untuk mendalaminya. Karena bagi pengarang, bukan hanya soal terbukanya
kesempatan untuk mengeksplorasi konsep-konsep teologis dalam kehidupan praktis, tetapi juga
pengarang dapat mulai mempelajari secara lebih serius pendekatan dan metode empiris dalam penelitian-
penelitian teologi praktis.
Karangan ini pengarang andaikan menjadi semacam pengantar untuk konsep awal teologi praktis
dan PJ. Tetapi juga seperti permintaan editor dan tujuan dari buku ini, pengarang akan memperlihatkan
bagaimana pemikiran dalam tulisan-tulisan Pak Gerrit yang nampaknya amat sejalan dengan ide utama
3

dari teologi praktis dan PJ. Di sini kita dapat melihat bahwa Pak Gerrit selain sebagai seorang ahli tafsir
Perjanjian Lama, dapat disebutkan juga sebagai seorang teolog yang mendorong perkembangan
pemikiran-pemikiran teologi praktis dan kontekstual di Indonesia. Untuk tujuan tersebut, karangan ini
akan dibagi dalam beberapa sub-judul. Pertama, pengarang akan berbicara mengenai konsep relasi
normatif dan praktis sebagai dasar pemikiran. Kedua, pengarang akan menjelaskan konsep praksis dan
pendekatan empiris dalam teologi praktis. Bagian ketiga, adalah uraian mengenai apa itu Pembangunan
Jemaat (PJ) sebagai bagian dari teologi praktis-empiris. Bagian terakhir adalah penutup.

2. Relasi normatif – praktis


Teologi dengan berbagai disiplin ilmu di dalamnya (biblika - exegesis, historika, sistematika, teologi
kontekstual) adalah sebuah ilmu yang berdiri sendiri dengan penelitian dan refleksi-refleksi yang
dibuatnya. Teologi mengembangakan teori-teori dan metode-metodenya berdasarkan sumber-sumber
normatif yang dimiliki dalam kekristenan, yaitu: teks suci (Alkitab), sejarah dan juga tradisi-tradisi yang
dimunculkan dalam iman Kristen. Dan pada akhirnya teologi juga menghasilkan nilai-nilai normatif
mengenai kekristenan, baik hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia (teleologis: apa itu kebenaran
dan apa nilai-nilai yang dibutuhkan); maupun tanggung jawab dari manusia itu sendiri (deontologis:
bagaimana keadilan diupayakan, apa tugas dan tanggungjawab manusia dll.) (Van der Ven 2002: 21).
Tetapi selain pertanyaan-pertanyaan teleologis dan deontologis yang menekankan hal normatif,
kita dapat melihat bahwa teologi dan disiplin-disiplin ilmu yang ada di dalamnya juga mengajukan
pertanyaan lain yang lebih bersifat praktis, seperti tindakan yang mana dan bagaimana yang diperlukan
agar kebutuhan-kebutuhan teleologis maupun tanggung jawab deontologis dapat terpenuhi dengan efektif
(pragmatis), serta apa resiko, efek yang dapat muncul, dan antisipasinya (konsekuensi) (Van der Ven
2002: 21-22). Refleksi teologis dalam setiap disiplin ilmu teologi, yang berkaitan dengan bagaimana
teologi mengembangkan sikap iman konkret dalam kekristenan, selalu mengharapkan jawaban atas
pertanyaan praktis di tengah pengalaman konkret tersebut. Kita tentu mengingat bahwa pesan dasar dari
iman Kristenpun tidak pernah memiliki tujuan pada dirinya sendiri. Kehadiran dan misi Yesus Kristus
sebagai sumber normatif utama dalam kekristenan yang kemudian diteruskan kepada gereja adalah soal
kehadiran Kerajaan Allah, yaitu keadilan dan kasih Allah di tengah dunia dan orang lain. Dan ini berarti
soal relasi antara iman Kristen yang harus diwujudkan dalam diri gereja dan dunia (konteks masyarakat).
Iman yang hidup adalah iman yang memperlihatkan relasi itu secara konkret sesuai dengan semangat
Kerajaan Allah (keadilan dan kasih Allah di tengah dunia).
Di sini kita dapat melihat bahwa pendekatan normatif dalam teologi sebenarnya tidak dapat
dipisahkan dengan persoalan praktis. Pada dasarnya teologi bermain dalam dinamika relasi antara hal
yang normatif dengan konteks dan kehidupan praktis gereja serta manusia. Pak Gerrit (2009a: 107, 108),
4

berdasarkan pemahamannya atas tulisan Choan Seng Song, menegaskan bahwa teologi bukan sekedar
ilmu tentang Tuhan, seolah-olah terlepas dari urusan tentang manusia dan dunia ini. Tetapi pada dasarnya
teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan bagaimana Tuhan membuat manusia yang
bermasalah menjadi kurang bermasalah di dalam dunia ini. Teologi berbicara mengenai relasi dan
pemahaman manusia dengan Tuhan, dan pada saat yang bersamaan juga adalah relasi manusia dengan
manusia serta seluruh alam ciptaan. Di sini kita menyadari bahwa teologi tidak mesti terjebak dalam
dikotomi normatif – praktis, atau juga dikotomi lain seperti yang diperlihatkan oleh Pak Gerrit, yaitu
rohani/spiritual – akademis/ilmiah. Teologi harus memiliki sifat akademis-ilmiah tetapi tidak kehilangan
sisi praktisnya (bdk. Habermas 1990). Pada saat yang bersamaan teologi berkaitan dengan hal-hal rohani-
spiritual, dengan nilai-nilai normatif yang dibangun, juga tanpa kehilangan semangat akademis serta
praktis. Keduanya, normatif-teoritis dan praktis berdialog dan berjalan bersama-sama tanpa saling
menghilangkan atau mengabaikan. Itu berarti teologi tidak dapat dipisahkan dari berbagai issue, persoalan
dan perubahan terus menerus yang ada dalam dunia praktis. Teologi harus mampu memperlihatkan relasi
konkret, atau dapat juga disebut sebagai proses komunikasi, antara pengertian normatif dengan kehidupan
sehari-hari yang dijalani oleh orang Kristen dan gereja di tengah-tengah masyarakat yang terus berubah.
Pengarang menyebutnya sebagai fungsi ‘komunikasi religius’ yang menjadi tugas dan konsekuensi logis
bagi teologi dan agama modern, termasuk gereja di dalamnya (bdk. Van der Ven 1993a; Sterkens 2004).
Dalam pengertian ini maka teologi pada dasarnya juga memberikan kontribusi praktis pada kesaksian dan
pelayanan gereja dan manusia (Whitehead & Whitehead 1999; Ballard & Pritchard 1996; Van der Ven
1993a). Tokoh-tokoh seperti J.B. Metz dan J. Moltmann dengan teologi politik di Eropa, L. Boff dan G.
Gutierez dengan teologi pembebasan di Amerika Latin, atau A. Pieris, M. Amalados, K. Koyama, C.S.
Song, Mangunwijaya dengan teologi asia – nya, atau Fiorenza dan L. Russell dengan pendekatan
feminisnya, memperlihatkan bagaimana tafsir, etika, sejarah, eklesiologi dan nilai-nilai normatif kristiani
lainnya secara fundamental bertemu dengan sisi praktis kehidupan manusia dengan segala perubahan dan
kebutuhan yang ada (bdk. van der Ven 1993b : 33-34). Teologi dalam pengertia ini digambarkan lebih
dari sekedar scientia tetapi juga sebagai sapientia (wisdom, nilai-nilai kehidupan) yang berkomunikasi
dan dikomunikasikan kepada konteks di mana teologi itu sendiri hidup.
Sejalan dengan uraian di atas, Pak Gerrit mengatakan bahwa teologi sudah seharusnya menjadi
ilmu yang dialogis, yang bersedia untuk memperhatikan hal-hal penting dalam sejarah tetapi sekaligus
juga berangkat dari kebutuhan-kebutuhan konkret pada masa kini (1997a: 60, 111). Di sini dibutuhkan
sikap terbuka dan kritis, agar proses berteologi benar-benar menjadi sebuah usaha kreatif. Mendukung
sikap dan pengertian mengenai teologi yang harus bersifat praktis ini, dalam banyak tulisannya, Pak
Gerrit tidak pernah berhenti untuk menekankan dialog yang konkret dengan konteks masyarakat,
khususnya masyarakat dan gereja Indonesia. Banyak tulisan-tulisan Pak Gerrit yang justru menjadi sangat
5

hidup dan dekat dengan pembacanya, karena secara sadar dimulai dari uraian mengenai pengamatan atas
situasi dan kondisi konkret masyarakat Indonesia atau persoalan-persoalan global lainnya. Tafsiran-
tafsiran yang kuat dari berbagai teks Alkitab diangkat secara sadar sebagai bagian dalam pembahasan
mengenai isu dan banyak persoalan-persoalan di sekitar kehidupan gereja serta masyarakat tersebut.
Sebutlah misalnya persoalan panggilan gereja, persoalan kekerasan dan HAM di Indonesia, pendidikan,
hubungan agama-agama, keadilan gender, lingkungan hidup, iman dan ilmu, iman dan budaya, dsb. (lih.
Singgih 1999; 2009b). Tanpa kehilangan kepekaannya sebagai seorang ahli tafsir, persoalan-persoalan
praktis dan konkret menjadi semacam pengamatan awal atas berbagai-bagai kondisi praktis. Pengamatan
ini kemudian menjadi prapaham yang secara kritis dikritik atau dievaluasi berdasarkan penafsiran teks.
Hasil dari karya tafsir seperti ini menjadi penting, karena nilai-nilai normatif diangkat dari sebuah tafsiran
yang bertanggungjawab, mandiri, tetapi juga membumi. Selain karya tulis yang memang benar-benar
berangkat dari persoalan tafsir, ada banyak tulisan-tulisan Pak Gerrit yang merupakan persoalan-
persoalan praktis iman, gereja dan masyarakat. Misalnya: persoalan gereja dan gender, konsep bersekutu
dan mencintai gereja, kesenian dalam ibadah, misi gereja Indonesia saat ini, politik di Indonesia,
masyarakat dan penderitaan, transformasi sosial, spiritualitas Kristiani, pluralitas agama, gereja yang
berteologi, pendidikan teologi di Indonesia, dsb. (Singgih 1997a; 1997b; 2000a; 2000b).

3. Konsep praksis dan pendekatan empiris dalam teologi praktis


Jika kita setuju bahwa seluruh disiplin dalam teologi memiliki dimensi praktis dan komunikatif, maka
pertanyaan yang muncul adalah, apa sebenarnya yang membedakan berbagai disiplin teologi yang ada
dengan disiplin teologi praktis itu sendiri? Dalam sejarah, awalnya teologi praktis sering dipahami atau
difungsikan sebagai teologi terapan (applied theology), di mana hasil penelitian dari disiplin teologi yang
sudah ada, seperti biblika - exegesis, historika dan sistematika, kemudian diteruskan dan diterapkan dalam
hal-hal praktis seperti khotbah, konseling pastoral, teknik manajemen gereja dsb. Dan juga biasanya
terkait erat dengan pekerjaan pendeta atau pastor. Karena itu biasanya teologi praktis juga disamakan
begitu saja dengan teologi pastoral dalam arti teologi tentang fungsi jabatan gerejawi seorang pastor
(Heitink 1999: 33). Dan dalam pengertian seperti ini dapat dimengerti kritikan yang mengatakan bahwa
teologi praktis bukanlah sebuah teori kritis dan dianggap kurang bersifat akademis (Ballard & Pritchard
1996 : 9).
Tetapi dalam perkembangan kemudian (dimulai pada tahun 1960-an) para ahli mulai melihat
bahwa teologi praktis sebenarnya dapat menjadi lebih dari sekedar teologi terapan. Orientasi utama dari
teologi praktis tetap adalah hal-hal praktis, tetapi bukan sekedar pada tindakan pejabat gerejawi,
melainkan hal yang juga dilakukan oleh gereja secara khusus bahkan manusia pada umumnya. Hal ini
dapat dikatakan mengembalikan semangat teologi praktis pada ide awalnya yang dikembangkan oleh
6

Schleiermacher pada tahun 1800-an, yaitu teologi praktis yang pada dasarnya adalah sebuah reaksi atau
dialog antara hal-hal normatif , yang telah diproduksi oleh disiplin-disiplin ilmu teologi yang lain, dengan
bagaimana kehidupan gereja dan manusia itu sendiri secara konkret dalam konteks tertentu. Dengan kata
lain, teologi praktis memiliki keseriusan dan spesifikasi pada relasi antara teori teologis yang sudah ada
dengan praksis gereja dan manusia pada umumnya. Dari sini teologi praktis akan menghasilkan kritik dan
teori-teori teologisnya sendiri. Pengarang menggunakan istilah ‘praksis’ yang hendak menunjukkan
bahwa dalam aras kehidupan praktis gereja dan manusia itu sendiri telah terjadi sebuah proses dinamis
antara teori dan praktik yang menghasilkan pemahaman tertentu dan tindakan-tindakan konkret. Dalam
konteks gereja, pertemuan antara norma-norma kristiani dan praktik serta pengakaman sebagai gereja
itulah yang disebut sebagai praksis. Sikap, tindakan, prilaku gereja dan masyarakat pada saat ini adalah
sebuah praksis, dan praksis yang kita lihat tersebut terus mengalami perubahan seiring dengan kondisi
serta konteks yang ada di sekitarnya. Dengan demikian maka ada dua proses yang berjalan secara
bersamaan, yang dapat disebut sebagai proses hermeneutis dalam teologi praktis. Pertama adalah proses
memahami (Versthehen), yaitu bagaimana praksis suatu komunitas dipahami dari kacamata teoritis
tertentu. Kedua adalah proses menjelaskan (Erklären), di mana hasil yang kita dapatkan perlu dilihat
secara kritis, dan peneliti atau pelaku teologi praktis perlu menjaga obyektifitasnya agar dapat menilai
dengan benar mengenai apa yang terjadi. Di dalam pengertian ini, teologi praktis adalah sebuah disiplin
ilmu teologi yang secara serius mengembangkan dan membangun teori teologis atas dasar dan di tengah-
tengah pengalaman konkret dari manusia (Hermans 2004: 22-24; van der Ven 1993b: 34; van Hooijdonk
1996 : 34; Ballard & Pritchard 1996 : 15). Atau dengan kata lain, teologi praktis adalah berteori atas
praksis gereja dan manusia.
Sehubungan dengan konsep praksis ini, hal penting yang diingatkan oleh Van der Ven (2002: 20
dst.) adalah, teologi praktis tidak bertendensi untuk semata-mata menghasilkan arahan atau tips atau
indikasi-indikasi praktis. Praksis menunjukkan perjumpaan tindakan-tindakan yang konkret dan spesifik
di tengah berbagai situasi yang beragam. Sehingga teologi praktis yang memperhatikan praksis bukan
sekedar membicarakan mengenai satu hal praktis tertentu, melainkan proses praksis yang bersifat umum
dalam gereja atau masyarakat. Sebagai contoh, relasi iman kepada Tuhan dalam domain-domain sosial
(domain ekonomi, politik, sosial dan budaya) atau di tengah dimensi-dimensi struktur budaya dan gereja,
dsb. Sampai di sini, menurut pengarang, pertanyaan kritis utama yang harus diajukan oleh teologi praktis
adalah: bagaimana perwujudan iman Kristen di dalam dunia yang bervariasi dan dinamis? Bagaimana
hal-hal yang normatif teologis dihasilkan oleh komunitas Kristen dalam kepelbagaian situasi yang ada?
Dan bagaimana nilai-nilai teologis tersebut dipenuhi dalam pengalaman dan konteks yang terus berubah,
seperti misalnya kemajemukan atau penderitaan? Menurut pengarang, untuk menjawab pertanyaan-
7

pertanyaan ini secara lengkap, selain pendekatan yang bersifat normatif, nampaknya teologi praktis amat
membutuhkan pendekatan lain, yaitu pendekatan yang bersifat empiris.
Dalam banyak literatur, ada banyak pengarang yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
praktis-empiris ini tetapi tetap masih dalam tataran dan pendekatan normatif. Kalaupun dikatakan bahwa
statement tertentu adalah hasil pengamatan tetapi itu belum dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan alat-
alat yang dipersiapkan (lih. Van der Ven 1993b). Biasanya penjelasan berikutnya kembali pada tataran
normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan empiris, terutama yang dianggap memiliki daya kritik
dan relevansi yang kuat, maka pendekatan empiris benar-benar menawarkan hasil yang menarik. Sebagai
contoh persoalan tentang gereja, tanpa menghilangkan persetujuan pada apa yang sudah ditulis, John
Cobb (1997) dalam bukunya mengenai masalah gereja mengatakan bahwa, gereja arus utama harus
berjuang melawan penyakit yang bernama kesuaman (lukewarmness) untuk mengembangkan teologi
yang pada dasarnya adalah penyebab gereja gagal menjawab berbagai perubahan dan melakukan misinya
di dalam dunia. Cobb menjelaskan bahwa persoalan anggota jemaat dan gereja yang tidak berupaya
mengembangkan teologi secara mandiri dan membiarkan teologi hanya sebagai ‘urusan kampus’ benar-
benar mematikan kreatifitas dan kehidupan gereja. Hal ini tentu menarik, tetapi penjelasan dan
kesimpulan tersebut masih bersifat umum. Pertanyaan konkret lebih jauh yang dapat diajukan mungkin
belum terjawab, seperti berteologi tentang apa yang dibutuhkan oleh gereja saat ini? Apa yang dibutuhkan
oleh gereja dan anggotanya saat ini? Berdasarkan penelitian-penelitian empiris mengenai vitalitas gereja,
seperti yang dilakukan oleh Hendriks atau Schwarz, persoalan gereja adalah pada bagaimana gereja
memahami identitas, struktur dan potensi dalam diri mereka sendiri (Hendriks 2002; Schwarz 1996).
Tentu semua itu adalah wujud praktis yang konkret dari teologi yang perlu dikembangkan di tengah
warga jemaat. Pengarang juga teringat pada pembahasan konsep gereja diaspora (Mangunwijaya 1999)
yang amat dekat dengan konsep basic christian community dan basic human community (bdk. Pieris
1996), di mana penguatan terhadap komunitas terkecil (komunitas basis) seperti keluarga akan menjadi
kekuatan simpul dalam gerak dan karya komunitas gereja bahkan komunitas kemanusiaan yang lebih
luas. Tetapi pada saat yang bersamaan, bagaimana penerimaan, dukungan, persoalan dan tantangan
terhadap konsep ini dalam konteks tertentu di masyarakat Indonesia masih membutuhkan penelitian
empiris lebih jauh. Bahkan pengertian dan penghayatan mengenai keluarga dalam satu kondisi
masyarakat tertentu dengan kondisi masyarakat lainnya belum tentu memperlihatkan hasil yang sama.
Contoh lain dalam aras yang lebih makro, misalnya, hipotesis bahwa semakin gereja dan agama
berkembang ke arah fundementalisme, maka kemampuan untuk mengembangkan toleransi dan rasa
percaya yang terbuka dalam masyarakat akan berkurang (lih. Uslaner 2002; Jürgensmeyer 1998).
Hipotesis semacam itu dapat kita mengerti dari perspektif normatif-logis atau juga dapat disebut sebagai
social science approach. Tetapi pembuktian dan pemahaman mengenai variasi fakta di lapangan tetap
8

memerlukan pendekatan empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian empiris yang saat
ini pengarang sedang lakukan ternyata ada cukup banyak variasi tentang rasa percaya yang dapat muncul
dan dipengaruhi oleh berbagai hal lain yang bukan hanya dipengaruhi oleh isu fundamentalisme, misalnya
konteks perekonomian atau politik.3 Dan dengan demikian sebenarnya pendekatan empiris dalam teologi
praktis dapat memperkaya atau bahkan mengoreksi konsep dan teori teologis yang sudah berkembang
selama ini (Singgih 2005: 166). Pak Gerrit ketika membahas mengenai metode studi kasus sebagai sebuah
metode penelitian dalam teologi pastoral praktis dan persoalan metode kuantitatif - kualitatif, menyatakan
persetujuan yang kuat terhadap pendekatan yang bersifat empiris ini (1997a: 72; 2009: 60-65). Tulisan
Pak Gerrit lainnya mengenai pendekatan lingkaran pastoral (the pastoral circle)4 yang jelas-jelas
memberikan tempat amat besar terhadap pendekatan empiris-induktif dalam meneliti berbagai persoalan-
persoalan teologis-sosial, juga menunjukkan dukungan yang sama (2005: 151 dst.).
Isu utama dalam pendekatan empiris ini adalah sikap anti positivis, di mana teori atau norma,
termasuk teori atau nilai teologis tertentu tidak dijadikan sebagai satu-satunya kebenaran yang mati.
Penelitian dalam teologi praktis tetap memperhatikan keilmiahannya, tetapi tidak dengan pendekatan
yang positivistik. Di sini Pak Gerrit memperlihatkan bahwa pendekatan empiris dapat membangun
jembatan antara hal-hal yang bersifat teoritis-normatif dengan berbagai kenyataan konkret yang
kontekstual yang ditemukan dalam masyarakat atau komunitas tertentu. Hasil yang diharapkan adalah
keterbukaan dan keseimbangan antara yang teoritis dan yang praktis (dan bukan berat sebelah entah
kepada yang satu atau yang lainnya) berdasarkan temuan-temuan yang konkret dan dapat
dipertanggungjawabkan (Singgih 2005: 157).
Sampai di sini, kita dapat mengerti bahwa teologi praktis, yang memang sedari awal berupaya
untuk mempertemukan teori teologis dengan praksis gereja serta manusia, amat terbantu dengan
pendekatan yang empiris untuk memenuhi tujuannya. Dan dengan demikian maka teologi praktis dapat
juga disebut sebagai teologi praktis-empiris.5 Pada saat yang bersamaan maka bantuan dari ilmu-ilmu
sosial amat dibutuhkan untuk mendukung penelitian empiris yang valid dan dapat diandalkan. Pendekatan
metodologis dalam melakukan penelitian empiris untuk teologi praktis-empiris ini diperkenalkan oleh
Van der Ven (1993: 119 dst.; 2002: 15; bdk. Hermans 2004: 23) sebagai the empirical cycle (lingkaran

3
Tesis untuk strata 2 yang pengarang tulis (Hadiwitanto 2002) dengan metode penelitian kualitatif menunjukkan bahwa sikap
konservatif tertentu dalam kehidupan beragama masyarakat Tionghoa Kristen khususnya di jemaat GKI Tasikmalaya Jawa Barat
justru diawali dan dipengaruhi oleh masyarakat luas yang juga tidak menjunjung rasa percaya kepada kelompok etnis Tionghoa
(dan tidak selalu sebaliknya). Saat ini pengarang sedang menulis disertasi dengan metode penelitian kuantitatif untuk memeriksa
korelasi antara sikap keagamaan para mahasiswa di Indonesia dengan konsep ‘percaya’ di tengah masyarakat luas.
4
Lingkaran pastoral pastoral juga biasa disebut sebagai lingkaran praksis. Lingkaran ini menunjukkan bagaimana suatu
pengalaman atau realitas sosial dipahami dengan urutan pendekatan sebagai berikut: pemetaan masalah, analisis sosial, refleksi
teologis, dan perencanaan pastoral. Lih. Holland & Henriot 1986: 23-26; Henriot 2005: 16-21
5
Sejarah perkembangan dan penjelasan teoritis-filosofis lebih jauh mengenai teologi praktis-empiris dapat dilihat dalam Van der
Ven (1993), Practical Theology: an Empirical Approach, Kampen.
9

empiris), yang secara umum terdiri dari empat tahapan.6 Tahap pertama, melihat dan menemukan
persoalan dan tujuan penelitian yang relevan di lapangan. Hal ini mengandaikan bahwa seorang peneliti
teologi praktis mengangkat prapaham-prapaham yang ada berdasarkan pengamatan dan observasi awal,
kemudian menemukan persoalan-persoalan teologis yang ada dalam konteks gereja dan atau manusia
secara umum. Tahap kedua, melihat lebih jauh apa yang dialami oleh gereja dan manusia berdasarkan
pengamatan dan persoalan tahap pertama. Tahapan ini disebut sebagai tahapan induksi teologis, yaitu
mencoba memahami persoalan-persoalan dalam praksis dari suatu komunitas melalui observasi lebih
jauh, seperti social science approach, partisipasi, wawancara, studi literatur dsb. Dalam tahapan ini,
seorang peneliti akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang konkret. Tahap ketiga,
sistematisasi dan konseptualisasi hasil dari tahap kedua. Di sini dilakukan proses deduksi teologis, di
mana peneliti dengan persoalan dan teori-teori yang sudah ada membuat hipotesis, operasionalisasi
berbagai konsep dan penyusunan alat-alat tes yang terukur. Tahap pertama sampai dengan yang ketiga ini
disebut oleh Hermans (2004: 24) sebagai tahap memahami (Verstehen). Sedangkan tahap keempat dan
kelima adalah tahap menjelaskan (Erklären), di mana apa yang kita pahami akan dikoreksi secara kritis.
Tahap keempat, biasa disebut sebagai empirical testing, di mana hipotesis akan diperiksa, seluruh data
dikumpulkan (baik dengan metode kualitatif dan atau kuantitatif), dan dianalisis sesuai dengan pertanyaan
penelitian. Tahap kelima, adalah evaluasi atau refleksi teologis, baik terhadap praksis maupun teori yang
telah kita gunakan sebagai kerangka teoritis penelitian.
Jika kita perhatikan dalam lingkaran empiris ini, diandaikan ada kombinasi pendekatan yang
induktif maupun deduktif. Pada saat seorang peneliti dalam teologi praktis-empiris akan menyusun
pertanyaan-pertanyaan penelitian berdasarkan pengamatan, maka proses induktif sedang dilakukan.
Tetapi ketika alat-alat penelitian dibuat, ketika teori-teori dipilih dan dioperasionalisasi, guna membuat
alat tes serta pengukuran, maka di sini pendekatan deduktiflah yang digunakan. Barulah dalam tahap
keempat, yaitu ketika pengumpulan data akan dilakukan, persoalan pemilihan metode kualitatif (yang
lebih bersifat induktif) atau kuantitatif (yang lebih bersifat deduktif) dimunculkan kembali sebagai
persoalan pilihan metodologis pengumpulan data empiris. Toh, dalam kedua metode ini, masing-masing
memiliki kekurangan dan kelebihan, atau yang dapat disebut sebagai keterbatasan (limitation). Dalam
metode dan pengumpulan data yang bersifat kuantitatif, peneliti akan mendapatkan generalisasi karakter
dari suatu populasi. Penelitian ini amat berguna untuk membuat prediksi atas suatu fenomena dan
merancang tindakan strategis secara umum. Tetapi harus diakui di sini bahwa keunikan dari setiap
individu dan perbedaan-perbedaan makna tidak dapat diperiksa secara detil. Sebaliknya penelitian
kualitatif lebih memberikan masukan terhadap kekayaan dan keunikan karakter serta makna dari setiap

6
Bandingkan kedekatan pendekatan ini dengan konsep lingkaran pastoral. Menurut hemat pengarang, pendekatan lingkaran
empiris memiliki kesamaan ide dengan lingkaran pastoral, karena berangkat dari persoalan (induktif). Tetapi lingkaran empiris
memberikan perhatian lebih detil pada penyusunan alat penelitian dan prosedural analisis yang akan dilakukan.
10

informan yang terlibat. Tetapi tentu jumlah informan yang diteliti lebih terbatas dan konsekuensinya,
peneliti harus bijaksana dalam menempatkan hasil penelitian pada konteks yang lebih besar (Van der Ven
2002; 1993b; Singgih 2009a: 60-61). Karena itu sebenarnya pemilihan metode ini bukan didasarkan pada
mana yang lebih baik, tetapi tergantung pada tujuan penelitian, hasil yang diharapkan, dan kondisi tempat
penelitian. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang utuh, pengarang cenderung melihat kombinasi kedua
metode pengumpulan data ini justru akan menawarkan hasil yang menarik.
Apa yang hendak pengarang sampaikan di atas adalah, dalam teologi praktis-empiris tidak ada
persaingan antara pendekatan yang induktif dan deduktif. Keduanya, baik dalam pendekatan umum
(lingkaran empiris) maupun dalam pemilihan metode pengumpulan data (kuantitatif dan kualitatif),
sebenarnya dibutuhkan dan dapat saling melengkapi. Hal ini mengingatkan kita pada tulisan menarik
yang diangkat oleh Pak Gerrit (2009a: 48 dst.) berkaitan dengan epistemologi, khususnya metode yang
bersifat induktif dan deduktif. Pak Gerrit memperlihatkan bahwa ketegangan kedua pendekatan ini adalah
persoalan lama yang terjadi dalam ilmu pengetahuan, baik itu ilmu pasti-alam maupun ilmu-ilmu sosial,
akibat perubahan-perubahan yang terus terjadi di dalam dunia ini. Tetapi dengan berkaca pada
epistemologi, baik dari Timur maupun Barat, sebenarnya ketegangan ini tidak perlu terjadi. Karena
keduanya, baik deduktif maupun induktif, justru dihargai. Dan kita dapat setuju pada kesimpulan yang
sudah kita ambil dalam alinea sebelum ini, yaitu baik pendekatan deduktif maupun induktif dapat saling
melengkapi. Pak Gerrit menegaskan kesalahan umum dalam melihat persoalan dari kedua pendekatan ini,
yaitu asumsi bahwa yang satu lebih obyektif dari yang lain, dan seolah-olah subyektifitas itu mutlak harus
ditiadakan (cara pandang positivistik). Padahal yang benar adalah, obyektifitas itu dapat terwujud selama
subyektifitas yang kita miliki disadari, apapun pendekatannya (2009a: 61, 64). Dengan demikian
pemilihan pada metode, apakah itu kuantitatif (yang bersifat deduktif) atau kualitatif (yang bersifat
induktif), juga berdasarkan pemahaman epitemologis seperti di atas.
Apa yang menurut pengarang menjadi penting di sini adalah, Pak Gerrit justru memberikan
catatan pada empirisme itu sendiri. Setiap hasil dari penelitian empiris adalah pengetahuan yang tidak
kebal dari kritik dan terbuka untuk diperbaiki. Ketika seorang peneliti menganggap bahwa pendekatan
dan hasil penelitian empiris justru sebagai satu-satunya kebenaran yang kaku dan mutlak dalam penelitian
dan ilmu pengetahuan, maka ia justru kehilangan kekayaan penelitian tersebut (2009a: 52-53).
Pendekatan empiris tidak pernah boleh mengandaikan bahwa pendekatan lain seperti pendekatan normatif
atau literatur dsb. sebagai hal yang kurang baik. Pendekatan ini hanyalah salah satu upaya penelitian dari
sekian banyak upaya pendekatan lain yang dapat dilakukan oleh seorang peneliti. Jadi, jika ada
pertanyaan, dapatkah teologi praktis berjalan tidak dengan pendekatan empiris? Maka pengarang harus
dengan lega hati menjawab, “tentu bisa saja.”
11

4. Pembangunan Jemaat
Di atas sudah beberapa kali disebutkan bahwa subyek dan tujuan dari teologi praktis adalah praksis gereja
dan manusia dan bagaimana komunikasi religius dapat terwujud dengan baik. Sub disiplin yang
membahas gereja secara khusus saat ini, selain eklesiologi yang ada di bawah payung teologi sistematis,
adalah Pembangunan Jemaat (Church Development, selanjutnya disingkat PJ) dalam teologi praktis (lih
Van Hooijdonk 1996; Van Kessel 1997; Van Kooij dkk. 2007). Dan dengan demikian PJ sebenarnya
memiliki peranan yang amat penting dalam teologi praktis.Van Hooijdonk (1996: 7 dst.) menyebut PJ
sebagai sub disiplin yang menyediakan paham inti bagi teologi praktis. Sedangkan Van Kessel memahami
PJ sebagai bidang kerja (empiris) bagi penelitian teologi praktis (1997 : 4). Karena berdasarkan penelitian
dan pembahasan PJ inilah, teologi praktis mendapatkan informasi terkini dan membangun refleksi bahkan
menghadirkan upaya transformasi terhadap gereja dan masyarakat sebagai tujuan utamanya. Dalam
payung teologi praktis-empiris, PJ melakukan penelitian empiris dan refleksi teologis kritis atas praksis
anggota jemaat maupun gereja sebagai institusi dengan memperhatikan nilai-nilai normatif utama, yaitu
eklesiologi, termasuk setiap dimensinya, tujuan dan tugas gereja serta berbagai perubahan dan tantangan
yang ada dalam dunia. Transformasi gereja adalah orientasi yang penting dalam PJ, dalam arti gereja
berubah sebagai hasil beradaptasi dengan perubahan dalam konteks sosial tertentu. Tetapi juga gereja
terus membangun orientasi baru untuk melakukan tugas dan tujuannya dan menghadirkan transformasi di
tengah-tengah permasalahan dunia (Sterkens 2004: 297 dst.; Van der Ven 1993a; Van Kessel 1997).
Kita dapat membandingkan konsep dan pengertian PJ ini dengan upaya-upaya teologi oikumenis
dunia dalam gereja Protestan maupun Katolik untuk membangun pemahaman eklesiologi kontemporer
seperti church for others atau church of the poors. Pemahaman ini berangkat dari pencarian nilai-nilai
normatif eklesiologis yang diperhadapkan pada konteks nyata masyarakat dunia pada saat ini dan
semangat untuk membangun komunikasi religius, yang bukan hanya bagi anggota gereja tetapi juga
kepada masyarakat, khususnya mereka yang terpinggirkan atau yang mengalami ketidakadilan. Gereja
dimengerti sebagai komunitas yang menginterpretasi, memahami dan meneruskan kesaksian serta karya
Kristus (Kerajaan Allah) bagi dunia yang tidak adil. Berangkat dari nilai normatif semacam ini, maka PJ
adalah upaya sistematis, metodologis dan empiris yang menaruh perhatian amat serius pada konsep
eklesiologis dan praksis gereja untuk melihat kesulitan, menemukan persoalan, mengembangkan
kekuatan, serta mengkomunikasikan serta menghadirkan secara konkret tujuan besar gereja. Van Kessel
(1997) dan Hendriks (2003) menyebut tujuan PJ ini sebagai upaya mewujudkan ‘gereja yang vital’.
Dengan kata lain PJ adalah ilmu yang secara konkret mengembangkan eklesiologi dari bawah, eklesiologi
12

yang bersifat kontekstual-empiris, yang berangkat dari dan relevan bagi kehidupan gereja serta manusia
pada saat ini (bdk. Sterkens 2004).7
Komunikasi religius dan tujuan gereja yang dikembangkan dalam PJ, di satu pihak, mencakup
seluruh dimensi dalam eklesiologi, yaitu dimensi kerigmatik (komunikasi dan pemberitaan: pemahaman
pada pesan dan tugas gereja dalam komunikasi religius, religiositas dan praksis gereja dalam dunia);
dimensi liturgikal (mediasi: pemahaman pada simbol, pemahaman pada konsep pemahaman teologis
tertentu seperti gambar Tuhan, konsep perayaan); dimensi koinonia (persekutuan – integrasi: gambar
gereja, kepemimpinan, struktur, penggembalaan - mencakup pemahaman pada fungsi dan relasi individu,
kelompok dan organisasi); dimensi diakonia (pelayanan: pemahaman pada masyarakat/dunia, wujud
nyata dari tugas dan tindakan etis gereja). Keempat dimensi ini berkorelasi dan saling mempengaruhi satu
dengan yang lain (lih. Anthony 1997: 136-139). Dan di pihak yang lain, PJ menaruh perhatian yang serius
pada pemahaman konteks (termasuk budaya) dan perubahan dalam masyarakat. Meminjam skema dari
Whitehead (1999: 6), konsep penelitian dan refleksi dalam PJ sebagai teologi praktis-empiris dapat dilihat
sebagai berikut:

The religious tradition The surrounding culture


(ecclesiological dimensions)
The Church
development
challenge

(empirical) experience

Ketiga hal ini dalam relasinya memperlihatkan PJ sebagai teologi praktis-empiris yang harus
menjawab asumsi tantangan perubahan sosial terkait budaya dan pengalaman manusia secara individual
maupun dalam masyarakat. Perubahan-perubahan yang amat kuat terjadi pada saat ini dan juga yang
menjadi konteks nyata bagi gereja dan teologi secara umum, terutama di Indonesia, adalah (lih. Ballard
&, Pritchard 1996 : 3-4; van der Ven 1993; Mangunwijaya 1999; Banawiratma 1997; van Kooij dkk
2007; van Kooij & Tsalatsa 2007b; Singgih 2000a: 209 dst.) :

7
Istilah eklesiologi ‘dari bawah’ adalah lawan dari eklesiologi ‘dari atas’. Yang pertama menunjukkan konsep eklesiologis yang
berangkat dari pergumulan dan situasi konkret gereja atau komunitas lokal di tengah konteksnya. Sedangkan pengertian yang
kedua adalah eklesiologi umum yang biasanya bersifat dogmatis-normatif dan merupakan hasil dari tradisi umum gereja dan
teologi sistematik (lih. Kärkkäinen 2002:180-182). Tulisan yang menarik sebagai hasil penelitian empiris dan teoritis mengenai
eklesiologi di Eropa, ditulis oleh Van der Ven (1993a) dalam buku Ecclesiology in Context, Cambridge. Sedangkan penelitian
empiris yang dilakukan dalam konteks gereja di Indonesia, khususnya dalam pencarian model penelitian PJ yang relevan, ditulis
oleh van Kooij dkk . (2007), Menguak Fakta, Menata Karya Nyata, Jakarta. Atau penelitian berkaitan dengan relasi gereja
mainstream dengan kelompok karismatik-pentakostal, dalam van Kooij & Tsalatsa¸Bermain Dengan Api, Jakarta.
13

a. Perubahan fundamental dalam masyarakat : pluralitas, modernitas / postmodernitas, sekularisasi,


kesetaraan kemanusiaan, keadilan gender, kondisi sosio-politik, budaya populer, kemiskinan,
kekerasan, dan isu lingkungan hidup.
b. Perkembangan dalam ilmu-ilmu sosial : tantangan-tantangan intelektual baru pada kehidupan
sosial, misalnya yang mendorong terjadinya dialog-dialog antar agama, relasi dengan kultur
modern, inklusifitas.
c. Pluralitas dalam tradisi keagamaan dan penafsiran baru atas teks-teks suci, termasuk perlawanan
terhadap fundamentalisme.
Sampai di sini pengarang melihat bahwa PJ sebagai sebuah upaya berteologi praktis-empiris
dapat kita bedakan dalam tiga aras persoalan praksis gereja. Pertama, adalah aras mikro, yaitu berkaitan
dengan hal yang lebih bersifat individual seperti kepercayaan, pengakuan iman atau religius dari setiap
individu warga jemaat (misalnya, konsep pengakuan mengenai gambar Tuhan, pengakuan pada trinitas).
Kedua, adalah aras meso, yaitu institusi sosial, khususnya gereja sebagai institusi religius di tengah
perubahan-perubahan masyarakat (misalnya, liturgi dan ibadah kontemporer, struktur gereja modern).
Ketiga, aras makro, yaitu kehidupan dan relasi gereja dan masyarakat Kristen dengan masyarakat secara
luas (misalnya, eklesiologi dan kemiskinan) (Van der Ven 2002: 21; 1993a: xii; Sterkens 2004: 299).
Tidak diragukan lagi dalam banyak tulisannya, Pak Gerrit memiliki perhatian yang amat tinggi
terhadap gereja, baik dalam aras mikro, meso maupun makro. Secara sederhana pengarang dapat
menggolongkan beberapa isu utama mengenai topik gereja yang beliau tulis sebagai berikut: pertama,
eklesiologi umat. Apa yang dimaksud di sini adalah pemahaman anggota jemaat mengenai gereja itu
sendiri (termasuk konsep gambar gereja). Anggota jemaat dapat memiliki pemahaman yang beragam
mengenai gereja. Tetapi secara prinsip penting untuk mengoreksi pemahaman gereja yang sempit,
eksklusif, dan sektarian. Gereja adalah komunitas yang besar, karena itu gambar gereja sebagai sebuah
persekutuan iman yang luas perlu mendapatkan perhatian (1997a; 2000a). Kedua, tugas dan struktur
gereja yang bersifat ritual sekaligus etis. Seringkali gereja lupa bahwa tanggungjawabnya di dunia ini
bukan sekedar untuk menjalankan ritual saja. Tanggungjawab etis terhadap sesama (yang lemah dan
membutuhkan) dan lingkungan hidup pada dasarnya adalah ajaran Yesus Kristus yang amat kuat. Untuk
memiliki kesadaran mengenai hal ini, dibutuhkan eklesiologi yang meluas, yang mampu melihat bahwa
konteks, kemanusiaan yang luas, dan realitas sosial, termasuk lingkungan hidup, adalah bagian dari gereja
itu sendiri. Pelayanan sosial bukan strategi kepentingan gereja atau tanggungjawab segelintir pejabat
gereja. Pelayanan sosial adalah panggilan etis yang konkret dari gereja, yang harus dilakukan secara tulus
oleh seluruh anggota gereja. Kondisi di Indonesia yang amat membutuhkan perhatian adalah persoalan
kemiskinan, penderitaan, keadilan, kedaulatan rakyat, demokrasi dan HAM, relasi antar agama, selain
juga isu lingkungan hidup yang selalu diingatkan oleh Pak Gerrit karena sering terlewat. Karena itu juga
14

menarik untuk melihat perubahan konsep church for the poor menjadi church of the poor yang
menggambarkan transformasi paradigma mengenai gambar gereja dan eklesiologi terkait dengan tugas
serta konteks gereja saat ini (1997a; 1997b; 2005). Ketiga, umat yang berteologi. Gereja yang akan terus
mereformasi dirinya adalah gereja yang berteologi secara dinamis dan tidak bersembunyi di balik konsep
‘kemurnian iman’ yang semu. Kemurnian iman adalah dalih untuk bertahan pada ortodoksi konservatif
dan pemahaman teologis tertentu yang dianggap mapan. Biasanya kondisi ini anti pada perubahan dan
menganggap bahwa yang berubah itulah yang salah. Kondisi seperti ini tentu juga menjadi kendala untuk
membangun eklesiologi ‘dari bawah’, yang berangkat dari pergumulan konkret jemaat dan persoalan-
persoalan sosial lainnya, seperti konteks kemajemukan agama, persoalan-persoalan kemanusiaan dsb.
Karena itu gereja dan para pejabat gerejawi perlu menyediakan tempat yang luas di mana anggota jemaat
dapat secara leluasa membangun dan mendiskusikan teologi secara sehat (1997a; 2009a).
Nah, sampai di sini, pertanyaan yang dapat diajukan adalah, apakah yang telah dikerjakan oleh
Pak Gerrit dalam tulisan-tulisannya dapat dikategorikan sebagai PJ? Ada dua hal yang pengarang hendak
sampaikan sebagai jawaban. Pertama, tidak diragukan bahwa Pak Gerrit dalam setiap tulisannya
mengenai gereja berangkat dari pengamatan yang kuat dan tajam. Memang Pak Gerrit tidak melakukan
penelitian dengan pendekatan empiris, tetapi beliau juga tidak berangkat dari sekedar asumsi. Tentu di
sana sini kita dapat menemukan contoh-contoh mengenai gereja dan kondisi yang saat ini sudah berubah
(karena pada dasarnya realitas terus berubah). Tetapi sebagai sebuah permasalahan mengenai gereja,
rasanya kita tetap mendapatkan gambaran yang konkret. Hasil pengamatan itulah yang kemudian dibahas
oleh Pak Gerrit baik melalui penafsiran teks-teks tertentu atau diskusi teologis berdasarkan teolog-teolog
tertentu yang relevan, seperti Choan Seng Song, Aloysius Pieris, Leonardo Boff, Mangunwijaya dsb.
Pengarang melihat bahwa Pak Gerrit berdasarkan pendekatan normatif, literatur, dan juga sering
menggunakan social science approach, mampu memperlihatkan kepada kita persoalan-persoalan gereja
masa kini dan mendorong kita semua untuk memikirkan lebih jauh eklesiologi ‘dari bawah’ serta
berdialog dengan hal-hal normatif yang menjadi salah satu ciri dan tujuan PJ.
Kedua, jika kita kembali pada lingkaran empiris dan konsep bahwa PJ sebagai bagian dari teologi
praktis-empiris, maka tentu tulisan-tulisan Pak Gerrit masih harus dilanjutkan. Menurut pengarang karya
Pak Gerrit telah mengisi dengan sangat baik tahap pertama dan kedua dari lingkaran empiris. Pak Gerrit
telah memperlihatkan pengamatan awal atas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan gereja di
Indonesia dan melakukan induksi teologis dengan menggali pertanyaan-pertanyaan penting yang
dikaitkan dengan teori-teori teologis yang mendukung. Mungkin satu hal kecil yang kurang sejauh
pengamatan pengarang adalah, Pak Gerrit banyak berbicara mengenai aras makro dalam praksis gereja
(seperti gereja dan kemiskinan atau gereja dan pelayanan sosial), tetapi tidak cukup banyak berbicara
mengenai aras mikro dan meso. Tetapi terlepas dari hal itu, karya Pak Gerrit dapat diteruskan menjadi
15

bahan untuk penelitian empiris yang konkret, yaitu dengan membuat alat-alat penelitian (operasionalisasi
atas persoalan dan teori-teori yang sudah diawali oleh pak Gerrit), yang kemudian dapat digunakan untuk
melakukan tes empiris serta membuat dukungan maupun kritik atas tulisan sudah dibuat. Sayangnya
sampai sejauh ini tidak cukup banyak mahasiswa dalam mata kuliah PJ atau yang menulis skripsi atau
tesis dalam bidang PJ yang benar-benar berangkat dari apa yang sudah dikerjakan oleh Pak Gerrit.
Seringkali para mahasiswa berusaha berangkat dari persoalan dan pengamatannya sendiri (tentu tidak
salah) tetapi apa yang terjadi adalah ingin segera meloncat pada tahap ketiga dan keempat tanpa memiliki
kerangka persoalan serta kerangka teoritis yang kuat. Akibatnya tentu berantai seperti efek domino, alat
dan konsep penelitian yang diajukan tidak jelas, karena tidak berangkat dari persoalan yang juga jelas.
Selanjutnya tentu pengumpulan data, pengujian empiris dan refleksi teologisnya menjadi kurang dapat
dipertanggungjawabkan. Nah, kenapa kita tidak memanfaatkan begitu banyaknya bahan dan persoalan
yang sudah siap untuk dilanjutkan menjadi sebuah penelitian empiris di bidang PJ. Siapa tahu hasil dari
penelitian tersebut dapat memperkaya, mempertajam atau bahkan membangun kritik-kritik teologis yang
berbobot atas eklesiologi, praksis gereja di Indonesia, dan tentunya juga tulisan-tulisan Pak Gerrit itu
sendiri. Pengarang yakin jika semakin banyak teolog Indonesia melakukan hal tersebut maka beliau akan
tersenyum bahagia.

5. Penutup
Schwarz (1996: 68) dalam tulisannya mengenai hasil penelitian tentang gereja, mengatakan bahwa buah
sejati adalah terjadinya pelipatgandaan. Seorang pemimpin yang berbuah adalah bukan menghasilkan
pengikut tetapi yang menghasilkan pemimpin-pemimpin baru. Pak Gerrit yang pengarang kenal memiliki
konsep yang mirip. Baginya, seorang teolog dan guru sejati, predikat yang telah beliau sandang selama
bertahun-tahun, tentu harus berbuah, dan buah yang sejati adalah bukan sekedar menghasilkan murid-
murid yang menghormati beliau, tetapi menghasilkan teolog-teolog baru di Indonesia yang memiliki
sikap kritis. Hal yang seringkali menjadi kerinduannya ketika berbicara mengenai lulusan Fakultas
Theologia UKDW. Karena itu dari karangan ini pengarang berharap bahwa pemikiran dan tulisan Pak
Gerrit, khususnya tentang gereja, akan terus digunakan dan dikritisi untuk menghasilkan teologi tentang
gereja Indonesia yang menjawab tantangan jaman. Dan tentu selain itu juga, dari sisi bidang ilmu,
pengarang ingin mendorong studi teologi praktis dengan pendekatan empiris serta PJ sebagai bagian di
dalamnya menjadi semakin akrab dalam studi teologi di Indonesia. Karena menurut hemat pengarang,
studi-studi teologi di Indonesia sebenarnya sudah maju, sedangkan perubahan serta persoalan di tengah
gereja serta masyarakat tidak akan pernah habis. Studi PJ sebagai teologi praktis-empiris dapat menjadi
salah cara untuk tetap membuat teologi dan praksis gereja terus membangun sikap kritis.
16

Bahan pustaka
Anthony, Francis-Vincent
1997, Ecclesial Praxis of Inculturation, LAS-Roma, Rome
Ballard, Paul; Pritchard, John
1996, Practical Theology in Action. Christian Thinking in the Service of Church and Society, SPCK, London
Cobb Jr., John B.
1997, Reclaiming The Church, Westminster John Knox Press, Louisville, Kentucky
Habermas, Juergen
1990, Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, LP3ES, Jakarta
Hadiwitanto, Handi
2002, Berani Melawan Rasa Takut, tesis MTh, fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana,
Yogyakarta.
Heitink, Gerben
1999, Teologi Praktis, Kanisius, Yogyakarta
Hendriks, Jan
2002, Jemaat Vital & Menarik, Kanisius, Yogyakarta
Hermans, Chris A.M.,
2004, “When Theology goes ‘Practical’, From Applied to Empirical Theology”, in Hermans, Chris and
Moore, Mary E. (eds.), Hermeneutics and Empirical Research in Practical Theology, Brill, Leiden
Jürgensmeyer, Mark,
1998, Menentang Negara Sekuler, Mizan, Jakarta
Kärkkäinen, Veli-Matti
2002, An Introduction to Ecclesiology, IVP AcademicDowners Grove, Illinois
Sterkens C.
2004, Challenges for the Modern Church in Empirical Ecclesiology. In: Hermans C.A.M., Moore, M.E.
(eds.). Hermeneutics and Empirical Research in Practical Theology. The Contribution of Empirical Theology
by Johannes A. van der Ven (Empirical Studies in Theology 12). Leiden.
Mangunwijaya, Y.B.
1999, Gereja Diaspora, Kanisius, Yogyakarta
Pieris, Aloysius, SJ.,
1996 Berteologi Dalam Konteks Asia, Kanisius, Yogyakarta.
Schwarz, Christian A.,
1996, Pertumbuhan Gereja yang Alamiah, Metanoia, Jakarta
Singgih, Emanuel Gerrit
1997a, Beregereja, Berteologi dan Bermasyarakat, TPK, Yogyakarta
1999, Dunia yang Bermakna, Persetia, Jakarta
2000a, Berteologi dalam Konteks, BPK Gunung Mulia, Kanisius, Yogyakarta
2000b, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta
2005, “Punishment and Liberation. How the Pastoral Circle Transfomrs Our Theologies”, in Wijsen, Frans
dkk., The Pastoral Circle Revisited, Orbis Books, Maryknoll, New York
2009a, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi, BPK Gunung Mulia, Jakarta
2009b, Dua Konteks, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Uslaner, Eric M.
2002, The Moral Foundations of Trust, Cambridge University Press, Cambridge, NY
Van der Ven, Johannes A.
1993a, Ecclesiology in Context, William B. Eerdmans Pub. Co, Grand Rapids, Michigan
1993b, Practical Theology : an Empirical Approach, Kok Pharos Publishing House, Kampen
2002, “An Empirical or a Normative Approach to Practical-Theological Research. A False Dilemma”, in
Journal of Empirical Theology¸vol. 2, hal. 5-33
Van Hooijdonk, P.G.
1996, Batu-batu yang Hidup, BPK, Kanisius, Yogyakarta
Van Kessel, Rob
1997, Enam Tempayan Air, Kanisius, Yogyakarta
Van Kooij, Rijnardus A.; Patnaningsih, Sri Agus; Tsalatsa, Yam’ah
2007, Menguak Fakta, Menata Karya Nyata. Sumbangan Teologi Praktis dalam Pencarian Model
Pembangunan Jemaat KOntekstual, BPK Gunung Mulia, Jakarta
17

Van Kooij, Rijnardus A.; Tsalatsa, Yam’ah


2007, Bermain dengan Api. Relasi antara Gereja-gereja Mainstream dan Kalanbgan Kharismatik
Pentakosta, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Whitehead, James D.; Whitehead, Evelyn Eaton
1999, Method in Ministry. Theological Reflection and Christian Ministry (revised edition), Sheed and Ward,
Franklin, Wisconsin

Anda mungkin juga menyukai