Anda di halaman 1dari 13

SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PERKARA KORUPSI DALAM RANGKA

PERCEPATAN PENYELAMATAN UANG NEGARA

Oleh : Jawade Hafidz, SH., MH


Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung
E-mail: jawade.hafidz@yahoo.com

Abstract

Any person (civil servants) and the corporation if found guilty of corruption, it can be
held responsible. Criminal liability of corruption cases provided for in Article 2
through Article 24 of Law Number 31 Year 1999 jo. Law Number 20 Year 2001.
Regulations governing the crime of corruption has changed several times. This is done
to reach a modus operandi of various criminal acts of corruption and minimize the
legal gaps that can be used as an excuse for the perpetrators of corruption to be able
to detach himself from the shackles of law. Investigation, prosecution and
examination before the court in a corruption case precedence over any other case to
completion as soon as possible. In the Law of Criminal Acts of Corruption, the loss
state is enough to capture perpetrators of corruption. Perpetrators of corruption have
the right to prove that he did not commit corruption. Even so, the prosecutor still
must prove the charges. Greater accountability of corruption, namely the possibility
of imposition of penalty in absentia, the possibility of seizure of goods that had been
seized for a defendant who has died before a verdict can not be changed again, the
formulation of a broad scope of the offense, the expansion of the interpretation of
the word "embezzle "the offense of embezzlement.

Keyword : Corruption and Financial State

Abstrak

Setiap orang (pegawai negeri sipil) dan korporasi jika terbukti bersalah korupsi, dapat
bertanggung jawab. Kewajiban Pidana kasus korupsi diatur dalam Pasal 2 sampai
dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001. Peraturan yang mengatur tindak pidana korupsi telah berubah beberapa
kali. Hal ini dilakukan untuk mencapai modus operandi berbagai tindak pidana korupsi
dan meminimalkan celah-celah hukum yang dapat digunakan sebagai alasan bagi pelaku
korupsi untuk dapat melepaskan diri dari belenggu hukum. Penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan di urutan-urutan kasus korupsi atas setiap kasus lain
untuk penyelesaian sesegera mungkin. Dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi,
kerugian negara sudah cukup untuk menangkap pelaku korupsi. Pelaku korupsi memiliki
hak untuk membuktikan bahwa dia tidak melakukan korupsi. Meskipun demikian, jaksa
masih harus membuktikan tuduhan. Akuntabilitas yang lebih besar korupsi, yaitu
kemungkinan pengenaan denda in absentia, kemungkinan perampasan barang yang
telah disita untuk terdakwa yang telah meninggal sebelum vonis tidak dapat diubah
lagi, perumusan lingkup yang luas dari pelanggaran, perluasan penafsiran dari
"menggelapkan" kata tindak penggelapan.

Kata Kunci: Korupsi dan Keuangan Negara

1
PENDAHULUAN Lemahnya perundang-undangandan gabungan
Korupsi sedang naik daun! Pasti ber- dari sejumlah faktor yang menyebabkan ter-
sama dua kembaran lain: kolusi dan nepotisme. jadinya korupsi.3
Korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri ini Korupsi pada umumnya dilakukan oleh
telah menjadi “tri tunggal” drakula yang orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu
menghisap uang rakyat dan kekayaan negara. jabatan, sehingga karakteristik kejahatan
Korupsi akhir-akhir ini semakin ramai diper- korupsi selalu berkaitan dengan penyalah-
bincangkan, baik di media cetak, elektronik gunaan kekuasaan, dalam perspektif kejahatan
maupun dalam seminar-seminar, lokakarya, yang terorganisir, korupsi pada akhirnya di-
diskusi, dan sebagainya. jadikan sebagai modus operandi untuk mem-
Masalah korupsi sebenarnya bukanlah bangun diri sebagai kekuatan besar dari
masalah baru di Indonesia, karena telah ada kejahatan terorganisir, sebagaimana dinyata-
sejak era tahun 1950-an. Bahkan berbagai kan oleh Syed Hussain Alatas bahwa korupsi
kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi adalah senjata utama kejahatan utama yang
bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem terorganisir untuk memantapkan kekuasaan dan
dan menyatu dengan penyelenggaraan peme- kebebasan untuk berbuat. Korupsi yang terjadi
rintahan negara. Kasus-kasus korupsi yang sarat dalam lingkungan kekuasaan tergambar dalam
muatan politis makin meningkat setelah krisis adagium yang diungkapkan oleh Lord Acton,
moneter terjadi di Indonesia.1 Dalam hal ini yakni kekuasan cenderung korup dan kekuasaan
gejala yang obvious, yaitu kerusuhan sosial dan mutlak korup secara mutlak.
krisis moneter, dianggap bersumber pada se- Dengan menunjuk pada pendapat
suatu yang sama sekali berbeda, remang- Daniel.P.Huntington bahwa modernisasi me-
remang dan bersifat politik. 2 ngembangbiakkan korupsi karena membuka
Penanggulangan korupsi di era tersebut sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru,
maupun dengan menggunakan perangkat melipat gandakan kegiatan-kegiatan yang
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang diatur oleh peraturan pemerintah.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi banyak Ruang lingkup terjadinya korupsi adalah
menemui kegagalan. Kegagalan tersebut antara berada dalam lingkungan kekuasaan atau we-
lain disebabkan karena berbagai institusi yang wenang atau kedudukan. Pemegang kekuasaan
dibentuk untuk pemberantasan korupsi tidak merupakan orang-orang yang memiliki pribadi
menjalankan fungsinya dengan efektif, pe- dan intelektualitas tinggi, sehingga mempunyai
rangkat hukum yang lemah, ditambah dengan banyak akal untuk mempermudah perbuatan-
aparat penegak hukum yang tidak sungguh- nya yang koruptif. Pada tahun 2004 Trans-
sungguh menyadari akibat serius dari tindakan perancy Internasional mengumumkan kembali
korupsi. Lebih lanjut, Baharudin Lopa menya- Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang menyebutkan
takan bahwa terdapat 11 (sebelas) faktor bahwa posisi Indonesia berada di urutan kelima
penyebab terjadinya korupsi di Indonesia, negara terkorup di dunia dari 146 yang diteliti.4
yaitu:Kerusakan moral, Kelemahan sistem, Dalam perkembangan selanjutnya,
Kerawanan sosial ekonomi, Tindakan hukum korupsi tidak hanya makin meluas, tetapi juga
yang belum tegas, Seringnya pejabat minta dilakukan secara sistematis sehingga tidak saja
sumbangan, Pungli, Kurangnya pengertian semata-mata merugikan keuangan negara
tentang tindak pidana korupsi, Penyeleng- tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan
garaan pemerintahan dan pembangunan yang ekonomi masyarakat. Selain itu, menurut Drs.
serba tertutup, Lemahnya kontrol DPR,
3
Marsono, “Pemberantasan Korupsi di Indonesia dari
1
Otto Cornelis Caligis, “Korupsi Sebagai Tndakan Kriminal Perspektif Penegakan Hukum”, Jurnal Menejemen
yang Harus Diberantas: Karakter dan Prakek Hukum di Pembangunan, No.58, 2007, hal.60.
Indonesia”.Jurnal Equality, Volume.11, No.02,2006,hal. 4
A Djoko Sumaryanto,”Rancangan Model Penyidikan Tindak
152. Pidana di Indonesia”,Supremasi Hukum,Volume 10,
2
Ibid,hlm.152 No.01,2005, hlm.11.
Soejono Karmi, masih terdapat beberapa akibat Rumusan Masalah
tindakan korupsi, yaitu: Permasalahan korupsi di Indonesia
semakin pelik. Meski telah dibuat peraturan
1. Merusak sistem tatanan masyarakat. perundang-undangan yang mengatur mengenai
Norma-norma masyarakat dirusak per- sanksi tindak pidana korupsi ini, namun masih
sekongkolan yang didukung oleh publik. saja banyak koruptor yang bermunculan.
2. Penderitaan sebagian besar masyarakat Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah dan
baik dalam sektor ekonomi, adminis- memberantas, alhasil upaya tersebut sia-sia.
trasi, politik, maupun hukum. Kalaupun koruptor telah terbukti secara sah
3. Kehancuran ekonomi suatu negara yang dan meyakinkan melakukan tindak pidana
diakibatkan tindak korupsi secara lang- korupsi, tapi tetap saja uang negara belum bisa
sung atau tidak langsung mengakibat- dikembalikan ke keadaan semula. Hal ini
kan penderitaan bagi sebagian besar dikarenakan karakteristik hukum pidana mem-
masyarakat.5 punyai kelemahan dan keterbatasan, antara
lain :
Sehingga, wajar kalau korupsi digolo- 1. Sebab-sebab terjadinya kejahatan (khusus-
ngkan sebagai extra ordinary crime. Keadaan nya korupsi) sangat kompleks dan berada di
yang demikian, suka atau tidak suka akan luar jangkauan hukum pidana.
menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama 2. Hukum pidana hanya merupakan bagian ke-
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, cil (sub-sistem) dari sarana kontrol sosial yang
melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan
hukum serta semakin jauh dari tujuan ter- sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyara-
capainya masyarakat yang sejahtera. katan yang kompleks (sebagai masalah sosio-
Untuk memberantas korupsi dan psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio
mempercepat pengembalian uang negara, maka kultural dsb);
mau tidak mau hukum harus disucikan dari 3. Penggunaan hukum pidana dalam menang-
praktek korupsi itu sendiri. Hanya sanksi hukum gulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren
efektif yang bisa menjadi rel bagi penyim- am symptom” (penaggulangan/pengobatan ge-
pangan perilaku politik. Perlu diingat, perilaku jala), oleh karena itu hukum pidana hanya
politik yang korup adalah sumber segala merupakan pengibatan simptomatik dan bukan
kerusakan sebab politik adalah saudara kembar pengobatan kausatif;
kekuasaan, padahal kekuasaan cenderung ko- 4. Sanksi hukum pidana merupakan remidium
rup. Bangsa Indonesia nyaris kehilangan akal yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal
untuk mengatasi korupsi. Meski demikian, ma- dan mengandung unsur-unsur serta efek sam-
sih tak bosan-bosan mencari jalan keluar. pingan negatif;
Oleh karena itu Bangsa Indonesia harus 5. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan
melakukan perang suci (holy war) melawan individual/personal tidak bersifat struktural/-
korupsi. Sebagai tombaknya adalah hukum yang fungsional;
benar-benar mampu membunuh monster korup- 6. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem
si. Untuk itu, diperlukan pembaharuan hukum perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku
terhadap sistem pertanggungjawaban perkara dan imperatif;
korupsi untuk mempercepat pengembalian uang 7. Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana
negara yang telah “dicuri” oleh koruptor. memerlukan sarana pendukung yang lebih ber-
variasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”.6

6
Barda Nawawi Arief, “Beberapa Masalah dan Upaya
5
La Sina, “Dampak dan Upaya Pemberantasaan Serta Peningkatan Kualitas Penegakan Hukum Pidana Dalam
Pengawasan Korupsi di Indonesia”, Jurnal Hukum Pro Pemberantasan Korupsi”, Jurnal Legislasi ndonesia, Volume
Justitia, Volume 26, No.01, 2008,hal.43. 4, No.01, 2007,hal.36.

3
Dengan demikian, perlu untuk didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
diketahui mengenai sistem yang berbunyi bahwa korupsi telah banyak me-
pertanggungjawaban perkara korupsi dalam rugikan keuangan dan perokonomian negara,
rangka percepatan penyelamatan uang negara. sementara perundang-undangan yang ada tidak
lagi efektif memberantas tindak pidana
PEMBAHASAN korupsi yang semakin meningkat dan
Semangat untuk memberantas korupsi kompleks.7 Oleh karena itu, tujuan pemerintah
terkesan hanya menyalahkan sistem yang ada, dan pembuat undang-undang melakukan revisi
tetapi kurang berorientasi kepada peningkatan atau meng-ganti produk legislasi tersebut
dan pengawasan kinerja dan profesionalitas merupakan upaya untuk mendorong institusi
aparat penegak hukum, sehingga tidak jarang yang ber-wenang dalam pemberantasan korupsi
dalam proses pencegahan dan penindakan agar dapat menjangkau berbagai modus
tindak pidana korupsi itu sendiri terhalang oleh operandi tindak pidana korupsi dan
perilaku para penegak hukum yang menyalah- meminimalisir celah-celah hukum yang dapat
gunakan kewenangan (abuse of power). dijadikan alasan bagi para pelaku tindak pidana
Semangat yang hanya berorentasi untuk korupsi untuk dapat melepaskan dirinya dari
perbaikan sistem hukum materiil dapat diihat jeratan hukum.
dari peraturan perundang-undangan tentang Meskipun demikian, penegakan hukum
tindak pidana korupsi yang telah mengalami harus tetap melindungi hak konstitusional
beberapa kali perubahan, yaitu : warga negara untuk memperoleh jaminan dan
 Peraturan Nomor PRT/PM 06/1957 perlindungan hukum yang pasti. Hal itu di-
Tentang Pemberantasan Korupsi dan nyatakan oleh Undang-Undang Dasar Republik
PRT/PERPU/013/1958 Tentang Peng- Indonesia Tahun 1945 setelah diamandemen
usutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan pada Pasal 28 D ayat (1), sedangkan dalam
Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta bidang hukum pidana dimuat dalam Pasal 1
Benda dari Kepala Staf Angkatan Darat ayat (1) KUHP yang diterjemahkan sebagai asas
selaku Penguasa Perang Pusat Angkatan legalitas. Dengan demikian maka setiap tin-
Darat (secara berturut-turut mengalami dakan dalam proses hukum harus mengacu
perubahan 4 kali; kepada suatu peraturan yang tertulis yang telah
 Perpu Nomor 24 Tahun 1960 Tentang ditetapkan terlebih dahulu oleh peraturan
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemerik- perundang-undangan. Itulah makna dari negara
saan Tindak Pidana Korupsi yang hukum. Maka setiap aspek pemberantasan
menjadi undang-undang berdasarkan korupsi harus di dasarkan pada hukum, karena
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961; dalam negara hukum terdapat prinsip wet-
 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 matigheid van bestuur menurut Hukum
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Administrasi Negara atau di dalam pidana dike-
Korupsi; nal dengan asas legalitas (asas nullum crimen
 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sine lege). Dalam pelaksanaan penegakan
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana hukum terhadap tindakan korupsi, juga para
Korupsi; dan aparat penegak hukum perlu melakukan
 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 strategi, yaitu:
Tentang Perubahan Atas Undang- 1. Tindakan pencegahan;
undang Nomor 31 Tahun 1999. 2. Penindakan;
Jika dicermati setiap konsideran 3. Pengembalian aset hasil korupsi (asset
maupun penjelasan umum dalam setiap recovery);
perubahan perundang-undangan tersebut di-
atas, akan terungkap bahwa setiap pergantian 7
Ramelan, “ Metode Interpretasi dan Jaminan Kepastian
atas perubahan perundang-undangan senantiasa Hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”,
Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 4, No.01,2007,hal.47-48.
4. Kerjasama internasional8. menurut perasaan keadilan masyakat harus
dituntut dan dipidana”.
Perluasan Rumusan Arti Melawan Beberapa pertimbangan pembuat
Hukum Dalam Undang-Undang Tindak Pidana undang-undang mencantumkan unsur melawan
Korupsi hukum dalam pengertian formil maupun mate-
Perumusan dalam penafsiran arti riil di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
melawan hukum dalam Undang-Undang Nomor 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak adalah :
Pidana Korupsi mengalami perluasan, tidak saja 1. Mengingat korupsi terjadi secara sis-
telah menyatakan dengan tegas bahwa tindak tematis dan meluas, tidak hanya meru-
pidana korupsi sebagai delik formil, tetapi gikan keuangan dan perekonomian
telah menegaskan pula pengertian melawan negara, tetapi juga merupakan pelang-
hukum suatu tindak pidana korupsi dalam arti garan terhadap hak-hak sosial dan eko-
formil dan materiil. nomi masyarakat secara luas, sehingga
Dikatakan sebagai delik formil bahwa digolongkan sebagai extra ordinary
suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai crime, maka pemberantasannya harus
tindak pidana, jika perbuatan tersebut telah dilakukan dengan cara yang luar biasa;
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang 2. Dampak dari tindak pidana korupsi
tanpa harus menimbulkan akibat yang selama ini, selain merugikan keuangan
merugikan. Jadi meskipun perbuatan itu belum dan perekonomian negara, juga meng-
sampai menimbulkan kerugian keuangan nega- hambat pertumbuhan dan kelangsungan
ra, tetapi apabila perbuatannya telah “dapat” pembangunan nasional yang menuntut
dikategorikan akan menimbulkan kerugian efisiensi tinggi;
negara, maka pelakunya sudah dapat dihukum. 3. Dalam upaya merespon perkembangan
Demikian pula meskipun hasil dari perbuatan kebutuhan hukum di dalam masyarakat,
korupsi telah dikembalikan kepada negara, agar dapat lebih memudahkan di dalam
akan tetapi tidak menghapus sifat melawan pembuktian, sehingga dapat menjang-
hukum perbuatan tersebut, dan pelaku tindak kau berbagai modus operandi penyim-
pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan pangan keuangan atau perekonomin
dan dipidana. negara yang semakin canggih (sophis-
Pengertian sifat melawan hukum formil ticated) dan rumit.
dan materiil adalah perbuatan tersebut tidak Perluasan sifat melawan hukum
hanya bertentangan dengan peraturan per- materiil, tersebut expressisverbis merupakan
undang-undangan yang berlaku, tetapi juga perluasan dari asas legalitas dan Buku I KUHP.
merupakan perbuatan tercela dan bertentang- Asas Legalitas tersebut dapat disimpulkan da-
an dengan perasaan keadilan masyarakat. Hal lam pasal 1 ayat 1 KUHP mempunyai makna
ini dirumuskan dalam Penjelasan Umum ”Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Lega Poenali” (“Tiada Delik, Tiada Pidana
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berikut : Tanpa Peraturan Yang Mengancam Pidana
“Bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan Lebih Dahulu”) sehingga secara a contrario
hukum, dalam pengertian formil dan materiiil, meskipun perbuatan pelaku adalah “materiele
bilamana tindak pidana korupsi tersebut weder-rechtlijk” namun terbukti perbuatannya
mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang “for-mele” tidak “wederrechtlijk” dengan
alasan tiada peraturan yang mempunyai sanksi
pidana yang mengatur perbuatannya, maka
8
Bambang Widjojanto, Harmonisasi Peran Penegak Hukum
dalam Pemberantasan Korupsi, Jurnal Legislasi Indonesia,
Volume 4, No. 01, 2007,hal. 11.

5
terhadap pelakunya tidak dapat dipidana 9. Asas bank tersebut diajukan kepada Gubernur Bank
tersebut memasukkan unsur melawan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan per-
dalam pengertian materiil, selain di dalam undang-undangan yang berlaku. Penyidik, pe-
pengertian formil amat besar pengaruhnya di nuntut umum, atau hakim dapat meminta
dalam pem-buktian, sebab jika arti melawan kepada bank untuk memblokir rekening sim-
hukum hanya sebatas bertentangan dengan panan milik tersangka atau terdakwa yang
undang-undang sebagaimana pandangan formil, diduga hasil dari korupsi. Dalam hal hasil
maka akan menyulitkan bagi penegak hukum pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa
menjerat para koruptor. tidak diperoleh bukti yang cukup, atas per-
Penerapan unsur melawan hukum mintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim,
materiil dalam Undang-Undang Tindak Pidana bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran.
Korupsi akan menimbulkan rasa keadilan dan Dalam tahap penyidikan, penyidik ber-
kepastian hukum. Pandangan memperluas pe- hak membuka, memeriksa, dan menyita surat
ngertian ajaran sifat melawan hukum dalam dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau
pengertian formil dan materiil tersebut sudah alat lainnya yang dicurigai mempunyai hu-
sejak lama diterapkan oleh Mahkamah Agung, bungan dengan perkara tindak pidana korupsi
dan hal itu terlihat dalam Putusannya Nomor yang sedang diperiksa.
275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 yang Apabila dalam penyidikan, penyidik
menyatakan : “… adalah tidak tepat jika menemukan dan berpendapat bahwa satu atau
melawan hukum hanya dihubungkan dengan lebih unsur tindak pidana korupsi tidak
melanggar peraturan yang ada sanksi pida- terdapat cukup bukti, sedangkan secara
nanya, akan tetapi sesuai dengan pendapat nyata telah ada kerugian keuangan negara,
yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, maka penyidik segera menyerahkan berkas
seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-sas perkara hasil penyidikan tersebut kepada jaksa
yang bersifat umum menurut kepatutan dalam pengacara negara untuk dilakukan gugatan
masyarakat”. perdata atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan. Kalau
Penyidikan, Penuntutan, dan terdakwa diputus bebas dalam perkara tindak
Pemeriksaan Sidang Pengadilan Perkara pidana korupsi, maka tidak menghapuskan
Korupsi hak untuk menuntut kerugian terhadap
Penyidikan, penuntutan, dan pemerik- keuangan negara.
saan di sidang pengadilan dalam perkara tindak Dalam hal tersangka meninggal dunia
pidana korupsi harus didahulukan dari perkara pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan
lain guna penyelesaian secepatnya. secara nyata telah ada kerugian keuangan
Untuk kepentingan penyidikan, tersang- negara, maka penyidik segera menyerahkan
ka wajib memberikan keterangan tentang se- berkas perkara hasil penyidikan tersebut
luruh harta bendanya dan harta benda istri kepada jaksa pengacara negara atau diserahkan
atau suami, anak, dan harta benda setiap orang kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan
atau korporasi yang diketahui dan atau yang gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
diduga mempunyai hubungan dengan tindak Apabila pada saat dilakukan pemerik-
pidana korupsi yang dilakukan tersangka. saan di sidang pengadilan, terdakwa meninggal
Penyidik, penuntut umum, atau hakim ber- dunia, sedangkan secara nyata telah ada ke-
wenang meminta keterangan kepada bank rugian keuangan negara, maka penuntut umum
tentang keadaan keuangan tersangka atau segera menyerahkan salinan berkas berita
terdakwa, dan permintaan keterangan kepada acara sidang tersebut kepada jaksa pengacara
negara atau diserahkan kepada instansi yang
9
Indriyanto Seno Aji,”Perspektif Ajaran Melawan Hukum dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata
Terhadap Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Hukum Pro terhadap ahli warisnya.
Justitia, Volume 25, No 04,2007, hal.285.
Terdakwa mempunyai hak untuk berwenang atau hakim dapat mempertim-
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak bangkan keterangan tersebut sebagai hal yang
pidana korupsi. Dalam hal terdakwa dapat setidak-tidaknya menguntungkan bagi diri se-
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak seorang atau terdakwa, atau sebaliknya dapat
pidana korupsi, maka keterangan tersebut di- merugikan diri seseorang atau terdakwa apabila
pergunakan sebagai hal yang menguntungkan keterangan tersebut ternyata tidak benar. 10
baginya, selain itu terdakwa wajib memberikan Pada sistem pembuktian dalam perkara pidana
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan pada umumnya di dasarkan pada Undang-
harta benda istri atau suami, anak, dan harta Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
benda setiap orang atau korporasi yang diduga Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
mempunyai hubungan dengan perkara yang Demikian juga dengan tindak pidana korupsi,
bersangkutan. juga di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 8
Apabila terdakwa tidak dapat mem- Tahun 1981, akan tetapi ada beberapa penge-
buktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang cualian terutama dalam penanganan tindak
dengan penghasilannya atau sumber penambah pidana korupsi ini mengingat bahwa korupsi
kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat merupakan extra ordinary crime, sehingga
digunakan untuk memperkuat alat bukti yang dalam penanganannya pun harus melalui cara-
sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan cara yang luar biasa. Salah satu bentuk penge-
tindak pidana korupsi. Meskipun terdakwa telah cualian dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun
membuktikan dirinya tidak melakukan korupsi, 1981 ini adalah sistem pembuktian tindak
penuntut umum tetap berkewajiban untuk pidana korupsi. Sistem pembuktian tindak pida-
membuktikan dakwaannya. na korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20
Dalam hal terdakwa meninggal dunia Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-
sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah
telah melakukan tindak pidana korupsi, maka sistem pembuktian terbalik yang terbatas dan
hakim atas tuntutan penuntut umum menetap- berimbang, sebagaimana ditegaskan dalam
kan perampasan barang-barang yang telah Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
disita. Untuk penetapan perampasan barang- yakni :
barang milik terdakwa yang disita tidak dapat (1) Terdakwa mempunyai hak untuk mem-
dimohonkan upaya banding, namun bagi setiap buktikan bahwa ia tidak melakukan
orang yang berkepentingan dapat mengajukan tindak pidana korupsi.
keberatan kepada pengadilan yang telah (2) Dalam hal Terdakwa dapat membuk-
menjatuhkan penetapan. tikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian ter-
Sistem Pembuktian Terbalik sebut dipergunakan oleh pengadilan
Pembalikan beban pembuktian atau sebagai dasar untuk menyatakan bahwa
sering disebut beban pembuktian terbalik da- dakwaan tidak terbukti.
lam bahasa inggris disebut reversal burden of Pembuktian terbalik ini diberlakukan
proof. Selain itu juga beberapa kalangan me- pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan
madankan dengan istilah shifting burden of terhadap perampasan harta benda terdakwa
proof . Penerapan beban pembuktian dalam yang diduga berasal dari salah satu tindak
tindak pidana korupsi berdasarkan sistem atau pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,
azas tersebut adalah untuk memberikan pasal 3, pasal 4, pasal 13, pasal 14, pasal 15,
kesempatan seseorang atau terdakwa membuk- dan pasal 16 Undang-undang No 31 tahun 199
tikan dirinya tidak besalah melakukan tidak 10
Marwan Effendi,”Pembalikan beban pembuktian dan
pidana korupsi, dan jika keterangan seseorang implementasinya dalam pemberantasan tindak pidana
atau terdakwa ini benar, maka pihak yang korupsi di Indonesia”,Jurnal Pembangunan dan Hukum,
Volume 39, No 01, 2009,hal.6.

7
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tikan bahwa ia tidak melakukan pidana korupsi
dan pasal 5 sampai dengan pasal 12 undang- setelah diperkenankan oleh hakim. Selain itu,
undang ini.11 pembuktian bahwa terdakwa tidak melakukan
Ketentuan ini tidak menganut sistim tindak pidana korupsi tidaklah sifat imperatif.
pembuktian secara negatif menurut un- Artinya, apabila terdakwa tidak mempergu-
dang-undang (negatief wettelijk). Terdakwa nakan kesempatan ini, maka hal tersebut justru
dapat membuktikan ketidak terlibatannya da- akan memperkuat dugaan penuntut umum bah-
lam melakukan tindak pidana korupsi, akan wa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi.
tetapi bukti itu belum dapat menjamin ketidak Sebaliknya, apabila terdakwa dapat membuk-
terlibatannya dalam korupsi yang disangkakan tikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
itu, oleh karena penuntut umum masih tetap korupsi, maka keterangan tersebut dapat
berkewajiban membuktikan dakwaannya.12 dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
Sistem pembalikan beban pembuktian terdakwa. Dalam keadaan seperti ini, jaksa
(umum mengenal dengan sistem pembuktian penuntut umum tetap berkewajiban membuk-
terbalik) atau Reserval Burden of Proof tikan bahwa terdakwa bersalah melakukan
(Omkering van het Bewijlast) merupakan pola tindak pidana korupsi. Dari sini jelaslah bahwa
baru yang diadopsi dari sistim hukum Anglo beban pembuktian tetap diserahkan kepada
Saxon, mengingat suap sebagai perbuatan ko- jaksa penuntut umum. Hal ini dipertegas
rupsi memiliki tingkat indikasi tertinggi, tetapi melalui Penjelasan Pasal 17 ayat (1) yang
sangat limitatif keberhasilannya. Penindakan menyatakan : “Aturan mengenai pembebanan
suap (bribery) dengan pola pembuktian yang la- pembuktian tidak diikuti sepenuhnya, meskipun
ma tidak berhasil memberikan arah optimalisasi hal ini tidak berarti bahwa pasal ini meng-
penanganannya. hendaki suatu pembuktian terbalik”.
Masalah beban pembuktian sebagai Pembuktian yang terbalik akan meng-
bagian dari Hukum Pidana Formil, mengalami akibatkan penuntut umum dibebaskan dari
suatu perubahan paradigma sejak diberlakukan kewajiban untuk membuktikan terhadap salah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 maupun atau tidaknya seorang terdakwa, dan terdakwa
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 seba- sebaliknya dibebani pembuktian tentang salah
gaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor atau tidaknya.
20 Tahun 2001. Semuanya sebagai produk hu- Dalam pasal ini, hakim memper-
kum yang mengatur tentang Pemberantasan kenankan terdakwa memberi keterangan
Tindak Pidana Korupsi. tentang pembuktian yang tidak merupakan alat
Dalam Pasal 17 ayat (1) sampai ayat (4) bukti menurut hukum, tetapi segala sesuatu ya-
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, maka ng dapat lebih memberikan kejelasan membuat
beban pembuktian dalam perkara pidana terang tentang duduknya suatu perkara.
korup-si mengalarni perubahan paradigma Banyak pihak menghendaki adanya
baru. Di sini terjadi “pergeseran" (shifting) perubahan sistem pembuktian dalam perkara
beban pem-buktian atau "shifting of burden tindak pidana korupsi mengingat salah satu
proof", bukan mengarah pada "reversal of kendala utama dalam pemberantasan tindak
burden proof" (pembalikan beban pem- pidana korupsi adalah masalah pembuktian.
buktian/pembuktian terbalik) sebagaimana Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR-
anggapan masyarakat Hukum Pidana terdahulu. GR) pada masa itu, memang menghendaki
Memang, terdakwa "dapat" membuk- sistem pembuktian terbalik (pembalikan beban
11
pembuktian) secara total terhadap delik-delik
Anis Bafadhal,”Tinjauan Umum Pengaturan Tindak
Pidana Korupsi Dalam Undang-Undang No. 31 Th 1999 Jo Uu
korupsi.
No.20 Th 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Apabila ini yang terjadi maka hanya
Korupsi”, Jurnal Percikan, Volume 98,2009,hal.26.
12 akan membebaskan jaksa penuntut umum dari
IGM.Nurdjana, 2005, Korupsi Dalam Praktik Bisnis,
beban untuk membuktikan terhadap salah atau
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 63.
tidaknya seorang terdakwa. Selain itu, menurut Penjelasan Pasal 37 dikatakan :"Keten-
Prof. Oemar Seno Adji, S.H., penerapan "re- tuan ini merupakan suatu penyimpangan dari
versal of burden proof" secara absolut dan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
total akan menimbulkan potensi pelanggaran Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang
Hak Asasi Manusia, khususnya pelanggaran wajib membuktikan dilakukannya tindak pida-
terhadap asas "presumption of Innocence" dan na, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini ter-
"non self-incrimination". Oleh karena itu, dakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
menurut beliau, yang diterapkan dalam sistem melakukan tindak pidana korupsi. Apabila
beban pembuktian ini hanyalah sekadar terdakwa dapat membuktikan hal tersebut ti-
"shifting of burden proof" dengan memberikan dak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi,
kesempatan terdakwa untuk membuktikan sebab penuntut umum masih tetap berke-
bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak wajiban untuk membuktikan dakwaannya.
pidana korupsi. Begitu pula beban pembuktian Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian
kepada jaksa penuntut umum untuk mem- terbalik yang terbatas, karena jaksa masih
buktikan bahwa terdakwa bersalah me-lakukan tetap wajib membuktikan dakwaannya”.
tindak pidana korupsi. Dengan demikian, beban Memang, sebagaimana Undang-Undang
pembuktian terhadap suatu perkara pidana Nomor 3 Tahun 1971, ketentuan Undang-
tetap dibebankan kepada jaksa penuntut Undang ini (Undang-Undang Nomor 31 Tahun
umum. Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999) yang menegaskan dianutnya sistem
1971 ini belum terdapat rumusan delik pembalikan beban pembuktian/pembuktian
mengenai pembalikan beban pem- terbalik yang masih bersifat terbatas ini masih
buktian/pembuktian terbalik. belum jelas eksplisitasnya. "Terbatas" menurut
Aturan tentang beban pembuktian yang Undang-Undang ini menunjuk pada peran jaksa
ada dalam ketentuan Pasal 37 Undang-Undang penuntut umum yang masih memiliki kewajiban
Nomor 31 Tahun 1999 ini dan Pasal 17 Undang- untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Undang Nomor 3 Tahun 1971 hampir memiliki Sebenarnya, antara kedua Undang-
persamaan. Artinya, belum terjadi "reversal of Undang ini belum memberikan gambaran yang
burden proof" secara total, karena jaksa jelas di mana letak "keterbatasan"-nya ter-
penuntut umum tetap diwajibkan membuktikan sebut. Apabila ditilik pada sistim Anglo-Saxon
kesalahan terdakwa. terhadap pembalikan beban pembuktian maka
Sistem beban pembuktian dalam Un- letak limitatif dan restriktifnya undang-undang
dang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bukanlah tersebut adalah pada penepatan delik baru ten-
pembalikan beban pembuktian/pembuktian tang "gratification" (pemberian) yang berkaitan
terbalik secara total dan absolut sebagaimana dengan "bribery" (suap). Hal ini pernah dike-
memang digariskan menurut Penjelasan Umum mukakan oleh Prof. Oemar Seno Adji, S.H. pada
Undang-Undang ini, yaitu : "Di samping itu, pembahasan Rancangan Undang-Undang yang
undang-undang ini juga menerapkan pembuk- kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 3
tian terbalik yang bersifat terbatas atau Tahun 1971. Beliau menyatakan bahwa "per-
berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak geseran beban pembuktian" (shifting of burden
untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan proof) tidak akan mengalami apa yang
tindak pidana korupsi dan wajib memberikan dinamakan "pembalikan beban pembuktian"
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan (re-versal of burden proof) apabila tidak dibuat
harta benda istri dan suami, anak dan harta delik baru yang berkaitan antara delik "pem-
benda setiap orang atau korporasi yang diduga berian" dengan "suap".13
mempunyai hubungan dengan perkara yang ber-
sangkutan, dan penuntut umum tetap 13
Indriyanto Seno Adji, 2006, Korupsi dan Pembalikan
berkewajiban membuktikan dakwaannya”. Beban Pembuktian, Cetakan Pertama, Kantor Pengacara
dan Konsultan Hukum Prof.Oemar Seno Adji, S.H. & Rekan,
Jakarta, hlm. 90.

9
Sifat "terbatas" dari pembalikan beban
pembuktian adalah terletak pada delik baru Pertanggungjawaban Pidana Dalam
tersebut, berikut soal perampasan harta benda Perkara Korupsi
yang diduga sebagai atau berasal dari dugaan Dalam delik korupsi yang menjadi
tindak pidana korupsi. Penempatan soal subjek delik adalah orang dan korporasi. Orang
"perampasan" tersebut adalah sebagai konse- di sini adalah pegawai negeri, korporasi yang
kuensi adanya penempatan pasal baru berupa merupakan kumpulan orang dan/atau kekayaan
kewajiban terdakwa untuk menyebutkan asal- yang terorganisasi baik merupakan badan
usul harta bendanya, harta benda suami hukum maupun bukan badan hukum. Korporasi
dan/atau istri serta anaknya ataupun pihak lain sebagai subjek delik, artinya selain dari indi-
yang memiIiki kaitannya dengan tindak pidana vidu yang memimpin dilakukannya kejahatan
korupsi tersebut. atau memberi perintah, korporasinya sendiri
Selama belum ditetapkan adanya dapat dipertanggungjawabkan. Dalam delik ko-
adopsi delik baru berupa keterkaitan antara de- rupsi, terlihat banyak kesulitan untuk
lik "gratification" (pemberian) dengan "bri- menjadikan korporasi sebagai subjek delik
bery" (penyuapan) berikut soal "perampasan", karena sulit membuktikan adanya kesalahan
maka implementasi sistem pembalikan beban terutama dalam bentuk “sengaja” suatu
pembuktian/pembuktian terbalik hanyalah se- perbuatan korupsi.15
buah retorika politis saja. Sebagai perban- Baik orang perorangan atau korporasi
dingannya, dalam tingkat implementasi ter- apabila terbukti melakukan korupsi maka akan
hadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dikenai pidana, sebagaimana diatur dalam
tentunya akan mengalami kesulitan untuk me- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
nerapkan pembalikan beban pembuktian/ pem- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
buktian terbalik. Apalagi kedua Undang-Undang Pertanggungjawaban pidana dalam
ini tidak memberikan batasan terhadap delik perkara korupsi lebih luas dari Hukum Pidana
mana yang akan diterapkan pembalikan beban umum. Hal itu nyata dalam hal : 16
pembuktian/pembuktian terbalik. 1. Kemungkinan penjatuhan pidana secara
Beberapa pandangan menyatakan bah- in absentia (Pasal 23 ayat (1) sampai
wa pembalikan beban pembuktian/pembuktian ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
terbalik terhadap semua delik atau semua 1971; Pasal 38 ayat (1), (2), (3), dan (4)
rumusan tindak pidana korupsi sungguh tidak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999);
dapat diterima, karena sangat jelas sistem ini 2. Kemungkinan perampasan barang-
akan melakukan pelanggaran terhadap prinsip barang yang telah disita bagi terdakwa
perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Ma- yang telah meninggal dunia sebelum
nusia, khususnya perlindungan terhadap hak- ada putusan yang tidak dapat diubah
hak prinsipiI terdakwa. Bahwa sebagai suatu lagi (Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang
ketentuan khusus, sudah cukuplah terjadi mini- Nomor 3 Tahun 1971, Pasal 38 ayat (5)
malisasi hak-hak terdakwa, dan bukan serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
tidak diharapkan adanya eliminasi hak terse- bahkan kesempatan banding tidak ada;
but. Minimalisasi penghargaan hak-hak terdak- 3. Perumusan delik dalam Undang-Undang
wa atas diberlakukannya sistem pembuktian Nomor 3 Tahun 1971 yang sangat luas
terbalik adalah dengan diberlakukannya delik ruang lingkupnya, terutama unsur ke-
baru tentang "pemberian" yang berkaitan tiga pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan b
dengan perbuatan "suap", bukan terhadap se- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971,
mua delik-delik yang ada dalam rumusan
ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tin- 15
Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui
dak Pidana Korupsi tersebut.14 Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 92.
14 16
Ibid., hlm. 91. Ibid., hlm. 90 dan 91.
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang mengandung konsep pemisahan antara proses
Nomor 31 Tahun 1999); pidana dan perdata. Oleh karena itu, sekalipun
4. Penafsiran kata ”menggelapkan” pada terpidana telah meninggal dunia dan per-
delik penggelapan (Pasal 415 Kitab tanggungjawaban pidananya tidak dapat dilak-
Undang-Undang Hukum Pidana) oleh sanakan namun tuntutan perdatanya tetap bisa
yurisprudensi, baik di Belanda maupun dilaksanakan. Perampasan aset kejahatan
di Indonesia sangat luas. Pasal ini tersebut juga bertujuan untuk meniadakan atau
diadopsi menjadi Pasal 8 Undang- mencegah keuntungan ekonomis dari praktik
Undang Nomor 20 Tahun 2001. kejahatan19. Meniadakan keuntungan tersebut
Mengenai pertanggungjawaban perkara dimaksudkan agar mengecilkan niat untuk me-
korupsi diatur di dalam Pasal 2 sampai dengan lakukan tindakan kejahatan di tingkat pertama,
Pasal 24 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 memastikan pula bahwa aset-aset kejahatan
jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. tersebut tidak digunakan untuk praktek keja-
Pemidanaan orang yang tidak dikenal hatan selanjutnya atau pengembangan keja-
dalam arti sempit tidak dikenal dalam delik hatan lainnya20.
korupsi, tetapi juga dapat dilakukan pemerik- Kemudian dalam hal delik korupsi yang
saan sidang dan putusan dijatuhkan tanpa ke- berbentuk penggelapan oleh pegawai negeri
hadiran terdakwa (putusan in absentia) sesuai atau pejabat (Pasal 415 KUHP) yang ditarik
dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) sampai menjadi delik korupsi (Pasal 8 Undang-Undang
dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun Nomor 20 Tahun 2001), secara expressis verbis
1971, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), ayat (3),ayat tercantum unsur (bestanddeel) sengaja. Dalam
(4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Begitu pula bagi orang yang meninggal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menjadi-
sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah kan korporasi sebagai subjek delik.
lagi, yang diduga telah melakukan korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
hakim atas tuntutan penuntut umum dapat jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
memutuskan perampasan barang-barang yang memperluas pengertian orang (Pasal 1 sub 3
telah disita (Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang huruf c menyebut dengan kata ”setiap orang”,
Nomor 3 Tahun 1971). Kesempatan banding termasuk juga korporasi. Pasal 1 sub 1 Undang-
dalam putusan ini tidak ada. Orang yang telah Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
meninggal dunia tidak mungkin melakukan Undang Nomor 20 Tahun 2001 memberi arti
delik. Delik dilakukan sewaktu ia masih hidup, korporasi : “Kumpulan orang dan/atau keka-
tetapi pertanggungjawabannya setelah mening- yaan yang terorganisasi baik merupakan badan
gal dunia dibatasi sampai pada perampasan hukum maupun bukan badan hukum”.
barang-barang yang telah disita. Dalam hal Sementara itu, Pasal 1 sub 3 Undang-
penyitaan barang-barang milik terpidana yang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
telah ditetapkan sebagai barang hasil korupsi Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan :
merupakan bentuk asset recovery. Asset ”Setiap orang adalah orang perseorangan atau
recovery merupakan upaya yang dilakukan termasuk korporasi”. Di dalam setiap rumusan
masyarakat internasional untuk menyelamatkan delik korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun
keuangan negara yang dilakukan oleh pelaku 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tindak pidana korupsi, dituangkan dalam UNAC (Pasal 1 sampai dengan 2 Pasal 16, Pasal 21 dan
200318. Pengaturan mengenai asset recovery ini
17
Ibid., hlm. 94.
18 2010, hal.673-688.
Jeane Neltje Saly, ”Pengembalian Aset Negara di 19
Indonesia Dalam Perspektif United Convention Against Supriyadi Widodo Eddyono, “ Masa Depan Hukum
Corruption, 2003 (UNAC) Asset Recovery of Corruption Pengembalian Aset Kejahatan di Indonesia”, Jurnal
Proceed in Indonesia in United Convention Against Legislasi Indonesia, Volume 07, No.04, 2010, hal.676.
20
Corruption”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7, No. 04, Ibid, hal.674.

11
Pasal 22) menyebut pelaku delik dengan kata dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi
”setiap orang”.21 dalam delik korupsi ialah perbuatan menyuap
Pertanggungjawaban pidana pada delik pejabat publik. Sementara untuk dinas publik
korupsi, ditinjau dari ketentuan pada Pasal 15 atau korporasi publik tidak dapat dipertang-
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. gungjawabkan pidana, seperti negara, provinsi,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang kabupaten, kota, dan lain-lain. Pidana yang
mengatur tentang percobaan dan permufakatan dapat dijatuhkan kepada korporasi tentulah
melakukan korupsi. Dengan sendirinya keten- pidana denda dan perampasan.
tuan ini, terutama tentang permufakatan mela- Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
kukan perbuatan korupsi, memperluas pertang- 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
gungjawaban pidana. Artinya jika sebelumnya terjadi perubahan ancaman pidana. Undang-
perbuatan seperti itu bukan delik atau si pem- Undang Nomor 31 Tahun 1999 membedakan
buat tidak dipertanggungjawabkan atas per- ancaman pidana, baik penjara maupun denda
buatan seperti itu, sekarang menjadi delik. sesuai dengan bobot delik termasuk kuali-
Meskipun belum terjadi perbuatan fikasinya. Ada yang diancam dengan pidana
korupsi secara materiil, pidananya menjadi sa- penjara lebih ringan karena bervariasi dari
ma dengan delik selesai, seperti pada Pasal 2, pidana penjara maksimum seumur hidup, dan
Pasal 3, asal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang- denda maksimum satu miliar rupiah. Selain itu,
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Undang Nomor 20 Tahun 2001. memperkenalkan ancaman pidana minimum
Begitu pula tentang percobaan mela- khusus, baik pidana penjara maupun pidana
kukan korupsi, pidananya sama dengan delik denda.23
korupsi di atas. Dengan demikian, ketentuan Pengertian pegawai negeri pun lebih
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. diperluas lagi dalam Pasal 1 butir 2 Undang-
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Undang Nomor 31 Tahun 1999 meliputi :
percobaan ini menyimpang dari ketentuan Pasal Pegawai Negeri adalah meliputi :
53 KUHP. a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud
Dalam percobaan melakukan delik dalam Undang-undang tentang Kepe-
korupsi, syarat harus sama dengan ketentuan gawaian;
Pasal 53 KUHP, artinya harus ada niat, ada b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud
permulaan pelaksanaan, dan pelaksanaan tidak dalam Kitab Undang-undang Hukum
selesai bukan semata-mata karena kehendak Pidana;
sendiri. Hal yang menyimpang dan Pasal 53 c. orang yang menerima gaji atau upah
KUHP ialah pidananya tidak dipotong dengan dari keuang negara atau daerah;
sepertiganya. Memang menurut Pasal 103 KUHP d. orang yang menerima gaji atau upah
berlaku juga ketentuan seperti Pasal 53 KUHP dari suatu korporasi yang menerima
untuk perundang-undangan pidana khusus ke- bantuan dari keuangan negara atau
cuali kalau Undang-Undang itu menentukan lain daerah; atau
(lex specialis derogat legi generali).22 e. orang yang menerima gaji atau upah
Sebagaimana halnya dengan delik dari korporasi lain yang mempergu-
umum, tidak semua delik yang korporasi dapat nakan modal atau fasilitas dari negara
dipertanggungjawabkan pidana. Dalam delik atau masyarakat.
korupsi, ada delik misalnya melawan hukum Terdapat juga pasal yang mengatur
memperkaya diri sendiri, sulit diterapkan kepa- mengenai dapatnya suatu undang-undang yang
da korporasi. Akan tetapi, yang paling umum kemudian tercipta di masukkan pelanggaran
atasnya sebagai tindak pidana korupsi, yakni
21
. Andi Hamzah, op.cit., hlm. 97. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
22 23
Ibid., hlm. 108. Ibid., hlm. 109.
Kemudian terdapat penambahan pidana tam- Korupsi adalah kejahatan yang luar
bahan, yakni dalam Pasal 18 Undang-Undang biasa, maka perlu adanya upaya pembe-
Nomor 31 Tahun 1999, khususnya angka 1, 3, rantasan yang luar biasa pula. Peraturan
dan 4.24 perundang-undangan yang mengatur tentang
Dengan adanya perluasan terhadap korupsi di Indonesia adalah peraturan yang
pertanggungjawaban dalam perkara korupsi ini, dapat dikatakan paling lengkap dan berat sank-
diharapkan pelaku tindak pidana korupsi dapat si hukumannya, namun sampai saat ini belum
terjerat dalam salah satu pasal tersebut, dapat dikatakan menimbulkan efek jera pada
sehingga aparat penegak hukum dapat segera pelaku, karena sanksi yang akan diterima lebih
mengembalikan aset negara yang telah diambil kecil risikonya daripada hasil yang didapat
pelaku tindak pidana korupsi. karena korupsi. Undang-Undang Korupsi dan
Komisi Pemberantasan Korupsi sudah dibentuk,
PENUTUP hanya saja keberadaannya hanya dipandang
Kesimpulan sebelah mata. Perlu adanya pengadilan khusus
Dalam rangka mempercepat penyela- korupsi di tingkat propinsin juga penjara khusus
matan keuangan negara akibat korupsi, regulasi narapidana, koruptor, dan kalau diperlukan
yang mengatur tentang tindak pidana korupsi bagi para koruptor dan keluarganya diberikan
telah diubah beberapa kali. Hal tersebut dila- label hitam seperti yang pernah dilakukan pada
kukan untuk menjangkau berbagai modus ex. anggota PKI. Hal ini akan membuat calon
operandi tindak pidana korupsi dan memi- koruptor untuk berpikir seribu kali untuk
nimalisir celah-celah hukum yang dapat dija- melakukan korupsi.
dikan alasan bagi para pelaku tindak pidana
korupsi untuk dapat melepaskan dirinya dari
jeratan hukum. Perubahan tersebut adalah
perluasan perumusan arti melawan hukum,
perubahan ancaman pidana, korporasi menjadi
subjek delik korupsi, adanya ancaman pidana
minimum khusus, penambahan pidana tambah-
an, pengertian pegawai negeri diperluas.
Adanya kerugian negara sudah cukup
untuk menjerat pelaku korupsi. Pelaku korupsi
memiliki hak untuk membuktikan bahwa dirinya
tidak melakukan korupsi. Pembuktian ini
dikenal dengan sistim pembuktian terbalik
terbatas, karena jaksa penuntut umum tetap
harus membuktikan dakwaannya. Pertangung-
jawaban pidana korupsi pun lebih luas, yakni
adanya kemungkinan penjatuhan pidana secara
in absentia, kemungkinan perampasan barang-
barang yang telah disita bagi terdakwa yang
telah meninggal dunia sebelum ada putusan
yang tidak dapat diubah lagi, perumusan delik
yang luas ruang lingkupnya, perluasan penaf-
siran kata ”menggelapkan” pada delik peng-
gelapan.

Saran
24
Ibid., hlm. 119.

13

Anda mungkin juga menyukai