Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH HUKUM KEJAHATAN EKONOMI

UU NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG MONOPOLI DAN PERSAINGAN

USAHA TIDAK SEHAT

GIGIH SANJAYA PUTRA

1822011029

MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

2018
A. PENDAHULUAN
Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada
terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang dasar 1945. Akan tetapi, dalam realitanya ternyata masih banyak
persoalan dan tantangan dalam perekonomian yang belum dapat
terpecahkan, khususnya dengan adanya kecenderungan globalisasi
perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swastanisasi sejak
awal tahun 1990-an. Sebagian besar perkembangan usaha swasta pada
kenyataannya merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang
tidak sehat. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang memperhatikan
amanat Pasal 33 UUD 1945 dan cenderung menunjukan corak
monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan
mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan, sehingga
menimbulkan kesenjangan sosial dan persaingan yang tidak sehat dalam
dunia usaha.
Persaingan sangat dibutuhkan dalam peningkatan kualitas hidup
manusia. Dunia yang kita kenal sekarang ini merupakan hasil dari
persaingan manusia dalam berbagai aspek. Persaingan yang dilakukan
secara terus-menerus untuk saling mengungguli membawa manusia
berhasil menciptakan hal-hal baru dalam kehidupan yang berangsur-
angsur menuju arah yang semakin maju dari sebelumnya. Untuk
terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak, persaingan yang
harus dilakukan adalah persaingan yang sehat. Kegiatan ekonomi dan
bisnis pun tidak luput dari sebuah persaingan, mengingat kegiatan ini
dilakukan banyak pihak untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Oleh
karena itu, hukum yang mengatur persaingan usaha dalam kegiatan
ekonomi dan bisnis sangat diperlukan semua pihak agar tidak ada pihak-
pihak  yang merasa dirugikan.
Seiring dengan Era Reformasi, telah terjadi perubahan yang
mendasar dalam bidang hukum ekonomi dan bisnis, yang ditandai antara
lain dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang di
banyak negara disebut Undang-Undang Antimonopoli. Undang-undang
seperti ini sudah sejak lama dinantikan oleh pelaku usaha dalam rangka
menciptakan iklim usaha yang sehat dan bebas dari praktik kolusi, korupsi,
dan nepotisme. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah diatur
sejumlah larangan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak
sehat lainnya, dengan harapan dapat memberikan jaminan kepastian
hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha atau
sekelompok pelaku usaha dalam berusaha. Dengan adanya larangan ini,
pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dapat bersaing secara wajar
dan sehat, serta tidak merugikan masyarakat banyak dalam berusaha,
sehingga pada gilirannya penguasaan pasar yang terjadi timbul secara
kompetitif. Di samping itu dalam rangka menyosong era perdagangan
bebas, kita juga dituntut untuk menyiapkan dan mengharmonisasikan
rambu-rambu hukum yang mengatur hubungan ekonomi dan bisnis antar
bangsa. Dengan demikian dunia internasional juga mempunyai andil
dalam mewujudkan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Persaingan Usaha
Hukum persaingan usaha merupakan hukum yang mengatur segala
sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha. Menurut Arie
Siswanto, hukum persaingan usaha (competition law) adalah instrumen
hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus
dilakukan. Menurut Hermansyah hukum persaingan usaha adalah
seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala aspek yang
berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-hal yang boleh
dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha.
Sedangkan kebijakan persaingan (competition policy) merupakan
kebijakan yang berkaitan dengan masalah-masalah di bidang
persaingan usaha yang harus dipedomani oleh pelaku usaha dalam
menjalankan usahanya dan melindungi kepentingan konsumen. Tujuan
kebijakan persaingan adalah untuk menjamin terlaksananya pasar yang
optimal, khususnya biaya produksi terendah, harga dan tingkat
keuntungan yang wajar, kemajuan teknologi, dan pengembangan
produk.

2. Pentingnya Hukum Persaingan Usaha


Sebuah persaingan membutuhkan adanya aturan main, karena
terkadang tidak selamanya mekanisme pasar dapat berkerja dengan
baik (adanya informasi yang asimetris dan monopoli). Dalam pasar,
biasanya ada usaha-usaha dari pelaku usaha untuk menghindari atau
menghilangkan terjadinya persaingan di antara mereka. Berkurangnya
atau hilangnya persaingan memungkinkan pelaku usaha memperoleh
laba yang jauh lebih besar.
Di Indonesia, pengaturan persaingan usaha baru terwujud pada
tahun 1999 saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
disahkan. Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut
ditunjang pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi total dalam
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan
kegiatan monopoli di segala sektor. Adapun falsafah yang
melatarbelakangi kelahiran undang-undang tersebut ada tiga hal, yaitu:
a. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada
terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945,
b. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya
kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk
berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang
dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien,
sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya
ekonomi pasar yang wajar,
c. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada
dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak
menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku
usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah
dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-
perjanjian internasional.
Oleh karena itu, perlu disusun undang-undang tentang larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk
menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama
bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk meneiptakan persaingan
usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian
hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai
implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan
perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha,
dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat
menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap pelaku usaha
dapat bersaing secara wajar dan sehat. Adapun beberapa tujuan
diadakannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain:
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan
persaingan usaha yang sehat.
c. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
d. Berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan
usaha.
Dampak positif lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah
terciptanya pasar yang tidak terdistorsi, sehingga menciptakan peluang
usaha yang semakin besar bagi para pelaku usaha. Keadaan ini akan
memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciptakan
dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika hal ini tidak
dilakukan, para konsumen akan beralih kepada produk yang lebih baik
dan kompetitif. Ini berarti bahwa, secara tidak langsung Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan memberikan keuntungan bagi
konsumen dalam bentuk produk yang lebih berkualitas, harga yang
bersaing, dan pelayanan yang lebih baik. Namun perlu diingat bahwa
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bukan merupakan ancaman
bagi perusahaan-perusahaan besar yang telah berdiri sebelum undang-
undang ini diundangkan, selama perusahaan-perusahaan tersebut tidak
melakukan praktik-praktik yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999.

3. Sistematika dan Isi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999


Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dapat dikelompokkan ke dalam 11 Bab dan dituangkan ke dalam 53
Pasal dan 26 Bagian, yang cakupan materi dan sistematikanya sebagai
berikut.
NO. BAB PERIHAL/ISI/TENTANG/ PASAL JUMLAH
MATERI
1 I Ketentuan dan Umum 1 1 pasal
2 II Asas dan Tujuan 2 s.d. 3 2 pasal
3 III Perjanjian yang Dilarang 4 s.d. 16 13 pasal
4 IV Kegiatan yang Dilarang 17 s.d. 24 8 pasal
5 V Posisi Dominan 25 s.d. 29 5 pasal
6 VI Komisi Pengawas Persaingan 30 s.d. 37 8 pasal
Usaha
7 VII Tata Cara Penanganan 38 s.d. 46 9 pasal
Perkara
8 VIII Sanksi 47 s.d. 49 3 pasal
9 1X Ketentuan Lain 50 s.d. 51 2 pasal
10 X Ketentuan Peralihan 52 1 pasal
11 XI Ketentuan Penutup 53 1 pasal
Jumlah 53 53 pasal
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
diperlengkapi pula dengan:
a. Penjelasan Umum,
b. Penjelasan Pasal Demi Pasal.
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dinyatakan bahwa secara umum, materi Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 mengandung 6 bagian pengaturan yang terdiri atas:
a. Perjanjian yang Dilarang,
b. Kegiatan yang Dilarang,
c. Posisi Dominan,
d. Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
e. Penegakan Hukum,
f. Ketentuan Lain-lain

4. Perjanjian, Kegiatan dan Posisi Dominan yang Dilarang Dalam


Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia
a. Jenis-Jenis Perjanjian yang Dilarang
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
mengartikan "perjanjian" adalah suatu perbuatan satu atau lebih
pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih
pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun
tidak tertulis.
 Adapun jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh Undang-
Undang Antimonopoli diatur dalam pasal 4 sampai dengan pasal
16 sebagai berikut:
1) Oligopoli (pasal 4),
2) Penetapan harga (pasal 5),
3) Diskriminasi harga dan diskon (pasal 6 sampai dengan
pasal 8),
4) Pembagian wilayah (pasal 9),
5) Pemboikotan (pasal 10),
6) Kartel (pasal 11),
7) Trust (pasal 12),
8) Oligopsoni (pasal 13),
9) Integrasi vertikal (pasal14),
10) Perjanjian tertutup (pasal 15),
11) Perjanjian dengan luar negeri (pasal 16).
b. Jenis-Jenis Kegiatan yang Dilarang
Kegiatan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh satu
atau lebih pelaku usaha yang berkaitan dengan proses dalam
menjalankan kegiatan usahanya. Adapun jenis-jenis kegiatan yang
dilarang menurut Undang-Undang Antimonopoli adalah sebagai
berikut:
1) Monopoli (Pasal 17),
2) Monopsoni (Pasal 18),
3) Penguasaan Pasar (Pasal 19),
4) Dumping (Pasal 20),
5) Manipulasi Biaya Produksi (Pasal 21),
6) Persekongkolan (Pasal 22).
c. Posisi Dominan
Pengertian posisi dominan dikemukakan Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak
mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam
kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitandengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan
untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu.
Lebih lanjut, dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa suatu pelaku usaha atau
sekelompok pelaku usaha dianggap memiliki "posisi dominan"
apabila:
1) Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa
pasar atau jenis barang atau jasa tertentu; atau
2) Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
dapat diketahui bahwa posisi dominan yang dilarang dalam dunia
usaha karena dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat dapat dibedakan menjadi 4 macam yakni:
1) Kegiatan posisi dominan yang bersifat umum (Pasal
25),
2) Jabatan rangkap atau kepengurusan terafiliasi (Pasal
26),
3) Kepemilikan saham mayoritas atau terafiliasi (Pasal
27),
4) Penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan
perusahaan (Pasal 28 dan Pasal 29).

5. Penegakan Hukum Persaingan Usaha Oleh Komisi Pengawas


Persaingan Usaha (KPPU)
Di Indonesia, esensi keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 pasti memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya.
Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai landasan
kebijakan persaingan (competitive policy) diikuti dengan berdirinya
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) guna memastikan dan
melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya ketentuan dalam
Undang-Undang Antimonopoli tersebut.
KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, dimana
dalam menangani, memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu
perkara tidak dapat dipengaruhi oleh pihak manapun, baik pemerintah
maupun pihak lain yang memilikiconflict of interest, walaupun dalam
pelaksanaan wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada
presiden. KPPU juga merupakan lembaga quasi judicial yang
mempunyai wewenang eksekutorial terkait kasus-kasus persaingan
usaha.
a. Tugas KPPU
Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah diatur
secara rinci dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
yang kemudian diulangi dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor
75 Tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha ditugaskan
melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat, seperti perjanjian-perjanjian oligopoli, penerapan
harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust,oligopsoni,
integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak
luar negeri; melakukan penilaian terhadap kegiataan usaha dan/atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, dan
melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yang disebabkan
penguasaan pasar yang berlebihan, jabatan rangkap, pemilikan
saham dan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan
usaha atau saham.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, di mana pelaku usaha atau sekelompok
pelaku usaha telah membuat perjanjian yang dilarang atau
melakukan kegiatan yang terlarang atau menyalahgunakan posisi
dominan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha berwenang
menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif dengan
memerintahkan pembatalan atau penghentian perjanjian-perjanjian
dan kegiatan-kegiatan usaha yang dilarang, serta penyalahgunaan
posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok
pelaku usaha tersebut. Tugas lain dari Komisi Pengawas
Persaingan Usaha yang tidak kalah penting adalah memberikan
saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat dan menyusun pedoman dan/atau publikasi atau sosialisasi
yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat.
b. Wewenang KPPU
Sesuai dengan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, secara lengkap kewenangan yang dimiliki Komisi Pengawas
Persaingan Usaha meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1) Menerima laporan dari masyarakat dan/atau pelaku
usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat,
2) Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan
usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat,
3) Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan
terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh
masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari
penelitiannya,
4) Menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau
pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat,
5) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini,
6) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang ini,
7) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku
usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana
dimaksud huruf e dan f pasal ini, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan Komisi,
8) Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam
kaitannya dengan penyelidikan dan/atau pemeriksaan
terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan
undang-undang ini,
9) Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat,
dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan
dan/atau pemeriksaan,
10) Memutuskan dan menerapkan ada atau tidak adanya
kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat,
11) Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha
yang diduga melakukan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat,
12) Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif
kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
undang-undang ini.
c. Fungsi KPPU
Selain tugas dan wewenang yang telah diuraikan di atas,
KPPU juga memiliki fungsi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 75 Tahun 1999
tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Fungsi tersebut
antara lain sebagai berikut:
1) Penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha, dan
penyalahgunaan posisi dominan,
2) Pengambilan tindakan sebagai pelaksanaan
kewenangan,
3) Pelaksanaan administratif.

6. Mekanisme Penanganan Perkara Pidana Pelanggaran Terhadap


Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pelaporan tentang telah terjadinya pelanggaran terhadap Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat dilakukan oleh setiap orang yang
mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran,
secara tertulis kepada KPPU dengan keterangan yang jelas dan
menyertakan identitas pelapor. Demikian pula pihak yang dirugikan
sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi
dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya
pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan
identitas pelapor. Identitas pelapor wajib dirahasiakan oleh Komisi.
Akan tetapi berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, komisi dapat juga melakukan pemeriksaan terhadap pelaku
usaha apabila ada dugaan terjadi  pelanggaran Undang-Undang
tersebut walaupun tanpa adanya laporan.
Berdasarkan laporan tersebut di atas, komisi wajib melakukan
pemeriksaan pendahuluan. Dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah menerima laporan, Komisi wajib menetapkan perlu
atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan (Pasal 39 ayat 1
Undang-Undang Nomor Tahun 1999). Dalam pemeriksaan lanjutan,
komisi wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang
dilaporkan. Komisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang
diperoleh dari pelaku usaha yang dikategorikan sebagai rahasia
perusahaan. Apabila dipandang perlu Komisi dapat mendengar
keterangan saksi, saksi ahli, dan atau pihak lain. Dalam melakukan
kegiatannya/tindakan-tindakannya, anggota Komisi dilengkapi dengan
surat tugas.
Pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa wajib
menyerahkan alat bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau
pemeriksaan. Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 tahun
1999, alat-alat bukti pemeriksaan Komisi berupa:
a. Keterangan saksi,
b. Keterangan ahli,
c. Surat dan atau dokumen,
d. Petunjuk,
e. Keterangan pelaku usaha.
Pelaku usaha dilarang menolak diperiksa, menolak memberikan
informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan,
atau menghambat proses penyelidikan dan atau  pemeriksaan. Jika
pelaku usaha atau pihak lain menolak diperiksa atau memberikan
informasi yang diperlukan guna penyelidikan atau pemeriksaan,
komisi menyerahkan perkara tersebut kepada penyidik untuk
dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam hal komisi melaksanakan pemeriksaan lanjutan, Komisi
wajib menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60
(enam puluh) hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1). Jika diperlukan, jangka waktu
pemeriksaan lanjutan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh)
hari.
Komisi wajib memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi
pelanggaran terhadap undang-undang ini selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan. Putusan
Komisi harus dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka
untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha. Dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima
pemberitahuan putusan, maka komisi tersebut, pelaku usaha wajib
melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan
pelaksanaannya kepada Komisi. Apabila pelaku usaha tidak menerima
putusan komisi, maka pelaku usaha yang bersangkutan dapat
mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan
tersebut. Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan
tersebut dan harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.
Jika atas putusan Pengadilan Negeri, pihak yang mengajukan
keberatan tetap merasa keberatan, maka terhadap putusan Pengadilan
Negeri tersebut, yang bersangkutan dalam waktu 14 (empat belas) hari
dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu
30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima. Pelaku usaha
yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan dianggap
menerima putusan komisi. Apabila tidak terdapat keberatan, maka
putusan Komisi telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Terhadap putusan komisi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dapat dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
Dalam hal pelaku usaha menerima putusan komisi, tetapi tidak
mengindahkan atau tidak menjalankan putusan, maka komisi
menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan
penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Putusan komisi tersebut merupakan bukti permulaan
yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Dalam hal
perkara pelanggaran terhadap larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat sudah diserahkan kepada penyidik
berdasarkan putusan KPPU yang merupakan bukti permulaan yang
cukup untuk dilakukannya penyidikan, maka penyidik akan
memproses perkara tersebut sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana. Ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP
menyebutkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.
Dalam konteksnya dengan penyidikan tindak pidana larangan
praktik monopoli dan persaingan usaha, maka setelah menerima
keputusan KPPU, penyidik akan melakukan penyidikan dengan
seksama berdasarkan keputusan tersebut dan guna kepentingan
penyidikan tersebut, penyidik melaksanakan wewenangnya
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP.
Jika penyidikan sudah selesai, penyidik menyerahkan berkas
perkara tersebut kepada penuntut umum dengan ketentuan penuntut
umum dapat melakukan prapenuntutan. Penyidikan dianggap telah
selesai apabila dalam jangka waktu empat belas hari penuntut umum
tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas
waktu berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut
umum kepada penyidik (Pasal 110 ayat (1) sampai ayat (3)) KUHAP.
Dalam pelaksanaannya di masa mendatang, perlu ada koordinasi
yang efektif dengan pihak terkait lainnya, terutama dengan
Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang berhubungan dengan
perizinan di bidang usaha yang dikenakan sanksi tambahan tersebut.
Selain itu, hal ini masih perlu mendapat perhatian dari Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang akan memberi pengesahan
suatu badan hukum yang akan berdiri atau mengalami perubahan.
Diharapkan pihak terkait ini menelaah dengan cermat sebelum
akhirnya memberi izin dan/atau mengesahkan suatu badan hukum
yang akan berdiri atau yang mengalami perubahan susunan pengurus.
Tanpa koordinasi yang efektif, upaya penegakan hukum yang
dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan usaha akan sia-sia saja.

C. CONTOH KASUS
1. Contoh Kasus Menimpa PT Forisa Nusa Persada
Produk dari PT Forisa Nusa Persada (atau FNP) yang terkenal
adalah Pop Ice. Produk ini menjadi yang teratas di kalangan anak dan
remaja. Tidak banyak yang mengira jika dibalik kesuksesan itu,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga adanya
ketidaksesuaian. Kecurigaan KPPU adalah terjadinya praktik
monopoli.
Dalam keputusannya, KPPU menyatakan jika FNP melanggar
Pasal 19 huruf a dan huruf b serta Pasal 25 ayat (1) huruf a dan huruf c
atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Monopoli).
Akibatnya FNP dikenakan denda sebesar Rp 11.467.500.000 rupiah.
Apa yang sebenarnya dipermasalahkan?
Pasal 19 UU Monopoli pada huruf a dan huruf b pada prinsipnya
melarang kegiatan individu ataupun kelompok untuk menghalangi atau
menolak pelaku usaha lain melakukan usaha yang sejenis di pasar yang
sama, menghalangi konsumen dari pengusaha pesaing untuk tidak
berhubungan bisnis.
Kemudian Pasal 25 ayat (1) huruf a dan huruf c pada prinsipnya
menegaskan larangan pelaku usaha untuk memakai posisi dominannya
baik langsung atau tidak untuk memberikan syarat perdagangan untuk
mencegah atau menghalangi konsumen mendapatkan produk pesaing.
Untuk huruf c menyatakan larangan untuk menghalangi pelaku usaha
yang lain yang punya potensi sebagai pesaing memasuki pasar yang
sama.
Bukti pelanggaran itu diungkap berupa program FNP dengan tema
Pop Ice the Real Ice Blender yang dimulai dari Juli 2014 sampai Juli
2015. Itu merupakan sebuah strategi pemasaran dari FNP. Namun
demikian dalam kenyataannya ada pemberian insentif kepada
distributor termasuk pedagang eceran, sampai kios minuman berbentuk
1 box pop ice untuk bulan pertamanya. Dua kaos pop ice untuk bulan
kedua dan 1 unit blender untuk bulan ketiga. Insentif itu diberikan
dengan syarat yang ditentukan FNP yang salah satunya tidak menjual
atau memajang produk selain Pop Ice. KPPU juga menemukan bukti
jika FNP mengganti satu renceng produk minuman lain dengan dua
renceng Pop Ice di sebuah kios minuman.
Majelis Komisi menilai aktivitas itu menghambat produk pesaing
yang serupa seperti Milkjuss (PT Kurnia Alam Segar) dan S’café (PT
Karniel Pacific Indonesia. Program itu juga dinilai menghambat akses
pesaing usaha untuk memasarkan produk mereka. Terlebih posisi FNP
merupakan dominan di bidang ini yaitu sebesar 90,09% sampai 94,3%.
Hukuman yang diberikan adalah pembayaran denda dan
penghentian program.

2. Contoh Kasus Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Menimpa


PT IBU
Contoh kasus selanjutnya dialami oleh PT Indo Beras Unggul yang
merupakan anak perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera Food. Kasus ini
menyita perhatian publik yang termasuk Ketua Tim Ahli Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantono.
Ketua Tim Ahli Apindo mengutarakan beberapa pendapat atas
tuduhan yang diberikan kepada PT Tiga Pilar meliputi:
a. Tuduhan Ketugian Masyarakat atas Praktek Oligopoli
Iwan menuturkan jika oligopoli merupakan suatu kondisi
pasar yang memang terjadi dalam industri tertentu. Ini
bukanlah sebuah pelanggaran atau kejahatan.
b. Tuduhan Kartel Membeli Harga Beras di atas HPP (Harga
Pembelian Pemerintah)
Kartel dapat didefinisikan sebagai persekongkolan dari
beberapa pelaku usaha dalam mengatur harga atau sebuah
produksi dengan orientasi mendapatkan keuntungan.
PT IBU membeli beras di atas HPP sehingga disebut kartel
yang melakukan kejahatan. Seharusnya jika ada pihak yang
mampu membeli di atas HPP seharusnya pemerintah
menikmati keuntungan.
c. Tuduhan Monopoli di Sektor Beras
Dalam kondisi pasar bisnis, sebuah keadaan mayoritas tidak
dapat dikatakan pelanggaran. Dapat dikatakan melanggar jika
ada penyalahgunaan posisi sebagai pemegang posisi mayoritas.
PT IBU disebut melakukan monopoli karena ditemukan
1.161 ton beras sehingga ada kerugian negara. Nilainya
dihitung dari harga jual Rp 20 ribu dikurangi Rp 7300
dikalikan 40 juta ton. Ini hasilnya menjadi triliunan rupiah.
Perhitungan ini sangat tidak jelas.

d. Tuduhan Monopoli Karena Marjin Tinggi


Marjin tinggi itu adalah selisih dari pembelian dari petani
dengan harga Rp 7300 lalu dijual Rp 20ribu. Iwan menuturkan
jika saat pembelian dari petani kondisi beras apa adanya.
Setelah melalui proses tertentu maka kadar air, kadar kotoran
dan derajat sosoh sudah disesuaikan untuk konsumsi. Belum
termasuk ongkos logistik, dan keuntungan distributor dan
lainnya. Hitung-hitungan bisnis tidak mungkin dijual dengan
harga Rp 9000/kg.
e. Tuduhan Oplos Beras Menjadi Premium
Iwan kembali menjelaskan jika istilah beras oplosan perlu
disesuaikan karena punya konotasi negatif. Lebih tepat adalah
beras racikan agar sesuai selera konsumen. Racikan ini
misalkan beras IR yang menjadi campuran beras pandan wangi
agar rasa tetap enak namun harga dapat lebih murah.
Oplosan ini berbeda dengan oplosan pada minuman keras.
Itu sebabnya akan lebih tepat untuk beras adalah beras racikan
dan ini telah menjadi praktik sejak dulu.
f. Pemahaman Beras Subsidi
Dalam konteks subsidi, seperti pada pupuk dan lainnya
dinamakan subsidi saprotan (atau sarana produksi pertanian).
Berbeda dengan subsidi pada beras subsidi. Subsidi saprotan
merupakan rumusan dalam sebuah rencana definitif kelompok.
Penerima dari subsidi saprotan adalah tidak terbatas pada
petani beras tapi juga perikanan, perkebunan sampai sayuran.

3. Contoh Kasus Monopoli PT Gas Negara


Contoh kasus monopoli dan persaingan tidak sehat selanjutnya
dialami PT Perusahaan gas Negara (PGN) atas penjualan gas bumi di
daerah Medan, Sumatera Utara.
KPPU memberikan dakwaan kepada PGN berupa tindakan
monopoli harga yang berakibat harga gas industri di Medan sempat
naik tajam sampai US$ 13,38. Seharusnya, BUMN sektor hilir hanya
beraktivitas dalam penyaluran gas ke industri. Pembentukan harga
sudah dilakukan oleh pemasok PGN di sektor hulu yaitu PT Pertamina
EP dan PT LNG Arun.
Dakwaan Komisi menyebutkan jika PGN melakukan monopoli
karena menguasai mayoritas pasar bisnis gas bumi di Sumatera Utara.
Penetapan harga dilakukan sepihak tanpa ada pertimbangan daya beli
masyarakat, penerapan harga terlalu tinggi, sampai pemberlakuan
PJBG (Perjanjian Jual Beli Gas) yang tidak seimbang dengan
pelanggan.

4. Contoh Kasus Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Yang


Dialami Aqua
Contoh kasus monopoli dan persaingan tidak sehat selanjutnya
menimpa Aqua. Nama brand minuman ini tentu sudah tidak asing lagi.
Merek produk dari PT Tirta Investama terkena putusan bersalah dari
KPPU.
Putusan KPPU tidak jauh berbeda dengan apa yang menjadi
tuduhan dari penyelidik. Bahkan pihak Aqua menilai jika majelis
kurang mempertimbangkan data, argumentasi dan fakta yang diajukan
Aqua.
Persaingan tidak sehat ini bermula dari somasi yang dikeluarkan
PT Tirta Fresindo Jaya (produsen air minum dalam kemasan (AMDK)
bermerek Le Minerale) kepada Aqua pada bulan Oktober 2016.
Le Minerale menemukan bukti lapangan jika Aqua dan
Distributornya bekerjasama melarang beberapa toko menjual produk
Le Minerale. Ancaman Aqua diberikan dalam bentuk penuruan statis
dan fasilitas yang semula star outlet mejjadi wholeseller eceran bagi
para penjual Le Minerale.
KPPU mengaku telah mendapatkan dua alat bukti serupa dan
menilai jika degradasi itu dialami penjual maka penjual mendapatkan
harga 3 persen lebih mahal untuk produk Aqua. Perbandingan harga
ini adalah Rp 37000 per karton ukuran 600 ml untuk star outlet dan
Rp 39350 untuk produk serupa untuk wholeseller.
Pangsa pasar Le Minerale di tahun 2015 terus naik meyakinkan.
Namun sejak ditemukannya dugaan bulan September 2016 ini
penjualan Le Minerale menurun cenderung stagnan. Data dari
Goldman Sachs tahun 2015 menunjukan jika Aqua memiliki
penguasaan pangsa pasar sampai 46,7% atas AMDK. Kemudian Club
4% (Indofood), 2 Tang  2,8% (PT tang Mas), Oasis 1,8% (PT Santa
Rosa Indonesia), Super O2 1,7% (Garuda Food) dan Prima 1,4%
(Sosro).
Persidangan pun dapat membuktikan adanya komunikasi Aqua
dengan pihak tertentu memakai email pribadi perusahaan. Ini
dinyatakan Majelis sebagai tindakan resmi perusahaan.

D. KESIMPULAN
1. Dengan adanya aturan-aturan di bidang perekonomian, seperti
larangan praktik monopoli, dan larangan persaingan usaha yang
tidak sehat, maka sebagai hukum, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 akan berperan mengatur berfungsinya mekanisme pasar
secara wajar, dan diharapkan juga dapat berperan menciptakan
suatu kondisi persaingan antara pelaku usaha dapat berjalan secara
sehat, tertib, teratur dan efisien serta menjamin adanya kepastian
hukum.
2. Eksistensi Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dalam
penegakan hokum telah mendapat tempat tersendiri dalam
pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. KPPU dibentuk
untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1995. Putusan KPPU atas pelanggaran pelaku usaha merupakan
bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan
penyidikan.
3. Mekanisme penanganan perkara pidana pelanggaran terhadap
larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat
dimulai dengan adanya keputusan dari KPPU sebagai bukti
permulaan bagi penyidik untuk melaksanakan penyidikan. Jika
penyidik berpendapat bahwa bukti permulaan itu sudah cukup
untuk melanjutkan penyidikan, maka penyidikan dilakukan sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Pidana (KUHAP).

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa dan


Perbandingan Undang-Undang Antimonopoli (Undang-Undang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di
Indonesia), (Jakarta : PT. Elok Komputindo, 1999).
2. Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia.
3. http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/hukum-persainganusaha-di-
susun-guna.html.
4. https://notordinaryblogger.com/contoh-kasus-monopoli-dan-persaingan-
tidak-sehat/
5. http://samsonpasaribu.blogspot.com/p/blog-page_2.html.
6. Insan Budi Maulana, Catatan Singkat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000).
7. Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara,1987).
8. Muladi. Menyosong Keberadaan UU Persaingan Sehat di
Indonesia, (Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, 1998).
9. Nusantara, Abdul Hakim G. Politik Hukum Indonesia, (Jakarta : Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum, 1988).
10. Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai