Anda di halaman 1dari 33

DASAR TEORI

1. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang

mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret dan kesulitan dalam

memproses informasi, hubungngan interpersonal serta memecahkan masalah

(Stuart & Sundeen, 2007). Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang

mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan

berkomunikasi, menerima dan menginterprestasikan realitas, merasakan dan

menunjukan emosi dan berprilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial

(Keliat, 2006).

2. Etiologi Skizofrenia

Penyebab pasti dari skizofrenia masih belum jelas. Konsensus umum saat ini

adalah bahwa gangguan ini disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara

berbagai faktor. Faktor yang telah dipelajari dan diimplementasikan meliputi:

a. Predisposisi genetika

Meskipun genetika merupakan faktor resiko yang signifikan, belum ada

penanda genetika tunggal yang diidentifikasi, kemungkinan melibatkan

berbagai gen penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 13, 18 dan 22.

resiko terjangkit skizofrenia bila gangguan ini berada dalam keluarga adalah

sebagi berikut :

1. Satu orang tua terkena risiko 12% sampai 15%.

2. Kedua orang tua terkena penyakit ini risiko 35% sampai 39%.

3. Saudara sekandung yang terkena risiko 8% sampai 10%.

4. Kembar dizigotik yang terkena risiko 15%.


5. Kembar monozigotik yang terkena risiko 50%.

1. Abnormalitas Pembesaran ventrikel.

2. Penurunan aliran darah kortikal, terutama dikorteks prefrontal.

3. Penurunan aktifitas metabolik dibagian-bagian otak tertentu.

4. Atrofi serebri.

b. perkembangan saraf

Penelitian menunjukan bahwa malformasi janin minor yang terjadi

pada awal gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia. Faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan saraf dengan diidentifikasi

sebagai risiko yang terus bertambah meliputi:

1. Individu yang ibunya terserang influenza pada trimester kedua. 

2. Individu yang mengalami trauma atau cedera pada waktu dilahirkan.

3. Penganiayaan atau trauma dimasa bayi atau masa kanak-kanak awal.

c. Abnormalitas struktur otak

Pada beberapa sub kelompok penderita skizofrenia, teknik pencitraan

otak (CT, MRI dan PET) telah menunjukan adanya abnormalitas pada

struktur otak meliputi:

d. Ketidakseimbangan neurokimia (neurotransmiter)

e. Proses psikososial dan lingkungan

1. Teori perkembangan

Ahli teori seperti Freud, Sullifan dan Erikson mengemukakan

bahwa kurangnya perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di

tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya


identitas diri, salah interprestasi terhadap realitas dan menarik diri dari

hubungan pada penderita skizofrenia.

2. Teori keluarga

Teori yang berkaitan dengan peran keluarga dalam munculnya

skizofrenia di validasi dengan penelitian. Bagian fungsi keluarga yang

telah diimplikasikan dalam peningkatan angka kekambuhan individu yang

skizofrenia adalah sangat mengekspresikan  emosi (high expressed

emotion (HEE)). Keluarga dengan ciri ini dianggap terlalu ikut campur

secara emosional, kasar dan krisis.

3. Status sosial ekonomi

4.  Model kerentanan stress

Model interaksional yang menyatakan bahwa penderita

skizofrenia mempunyai kerentanga genetik dan biologik terhadap

skizofrenia. Kerentanan ini, bila disertai dengan pejanan stresor

kehidupan, dapat menimbulkan gejala-gejala pada individu tersebut.

(Nursalam, 2009).

3.  Tanda dan Gejala Skizofrenia

Adapun Gejala Positif Skizofrenia Adalah Sebagai Berikut :

a) Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak

masuk akal) meskipun telah dibuktikan secara obhjektif bahwa

keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini

kebenarannya.
b) Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan

(stimulus) mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinga padahal

tidak ada sumber dari bisikan itu.

c) Kekacauan alam fikir yang dapat dilihat dari isi pembicaraan, misalnya

bicara kacau sehingga tidak dapat diikuti alur fikirnya.

d) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar mandir, agresif, bicara dengan

semangat, dan gembira berlebihan.

e) Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu dan serba hebat.

f) Fikiran yang penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman

terhadap dirinya.

g) Menyimpan rasa permusuhan.

Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada skizofrenia adalah :

a) Alam perasaan (afek) tumpul dan datar ini dapat terlihat dari wajah yang

tidak menunjukkan ekspresi.

b) Menarik diri atau mengasingkan, tidak mau bergaul atau kontak dengan

orang lain, suka melamun.

c) Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam.

d) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.

e) Sulit dalam berfikit abstrak.

f) Pola fikir stereotif.

g) Tidak ada atau kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif,

tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton serta tidak

ingin apa-apa, dan serba malas atau kehilangan nafsu, (Hawari, 2007).


4. Patofisiologi Skizofrenia

Beberapa patofisiologi skizofrenia berdasarkan penyebabnya adalah:

a. Peningkatan ukuran ventrikel, penurunan ukuran otak dan asimetri otak.

Penurunan volume hipokampus berhubungan dengan kerusakan

neuropsikologis dan penurunan respons terhadap antipsikotik tipikal (Wells et

al., 2009).

b. Hipotesis dopaminergik.

Skizofrenia dapat disebabkan oleh hiperaktivitas atau hipoaktivitas

dopaminergik pada area tertentu di otak serta ketidaknormalan reseptor

dopamin (DA). Hiperaktivitas reseptor dopamin (DA) pada area mesocaudate

berkaitan dengan munculnya gejala-gejala positif. Sementara hipoaktivitas

reseptor dopamin (DA) pada area korteks prefrontal berkaitan dengan

munculnya gejala-gejala negatif (Guyton and Hall, 2011). Dopamin

disekresikan oleh neuron yang badan selnya terletak di bagian tegmentum

ventral mesensefalon, medial dan superior substansia nigra. Neuron-neuron

ini menyebabkan kondisi hiperaktivitas dopaminergik pada sistem

mesolimbik. Dopamin tersebut disekresikan ke bagian medial dan anterior

sistem limbik, terutama hipokampus, amygdala, anterior caudate, nukleus dan

bagian lobus prefronta yang merupakan pusat pengendali perilaku (Guyton

and Hall, 2011).


c. Disfungsi glutamatergik. Penurunan aktivitas glutamatergik berkaitan

dengan munculnya gejala skizofrenia (Wells et al., 2009).

d. Kelainan serotonin (5-HT). Pasien skizofrenia memiliki kadar serotonin 5-

HT yang lebih tinggi. Hal ini juga berkaitan dengan adanya peningkatan

ukuran ventrikel (Wells et al., 2009).

5. Jenis-Jenis Skizofrenia

1. Skizofrenia Residual

Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang tidak begitu

menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta tidak

serasi (inappropriate), penarikan diri dari pergaulan sosial, tingkah laku yang

eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak rasional atau pelonggaran asosiasi

pikiran (Hawari, 2007)

2. Skizofrenia Katatonik

Ciri utamanya ditandai dengan gangguan psikomotor yang melibatkan

imobilisasi atau justru aktivitas yang berlebihan gejala yang timbul

diantaranya adalah stupor katatonik, mematung atau diam membisu,

negativisme, perlawanan tanpa motif terhadap semua perintah, katatonik

excitement, melibatkan agitasi yang ekstrim (Damaiyanti, 2012).

3. Skizofrenia Hebefrenik

Skizofrenia hebefrenik adalah skizofrenia dengan ciri utamanya adalah

percakapan dan perilaku yang kacau, serta afek yang datar/tidak tepat,

gangguan asosiasi, mempunyai sikap yang aneh, menunjukkan perilaku

menarik diri secara sosial yang ekstrim, mengabaikan higiene dan

penampilan diri. Awitan biasanya terjadi sebelum usia 25 tahun dan dapat
bersifat kronis. Perilaku regresif dengan interaksi sosial dan kontak dengan

realitas yang buruk (Damaiyanti, 2012).

4. Skizofrenia Paranoid

Skizofrenia paranoid adalah skizofrenia yang ciri utamanya adalah

waham yang sistematis atau halusinasi pendengaran, Individu dapat

penuh curiga, argumentative, kasar dan negatif, Perilaku kurang

agresif, kerusakan sosial lebih sedikit dan prognosisnya lebih baik

dibanding jenis-jenis yang lain (Damaiyanti,2012).

Salah satu pembagian skizofrenia adalah skizofrenia hebefrenik.

Beberapa pendapat yang menyebutkan tentang pengertian Skizofrenia,

antara lain Skizofrenia hebefrenik adalah suatu bentuk Skizofrenia

yang ditandai dengan perilaku klien regresi dan primitif, afek yang

tidak sesuai, wajah dungu, tertawa-tawa aneh, meringis dan menarik

diri secara ekstrim”. (Townsend, alih bahasa Helena, 1998).


1.1 Definisi Skizofrenia hebefrenik

Skizofrenia hebefrenik adalah suatu bentuk skizofrenia dengan

perubahan afektif yang tampak jelas dan secara umum juga dijumpai

waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta terputus-putus

(fragmentary), perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat

diramalkan, serta umumnya maneurisme (Depkes RI, 1993).

Skizofrenia hebefrenik disebut juga disorganized type atau “kacau

balau” yang ditandai dengan inkoherensi, affect datar, perilaku dan

tertawa kekanak-kanakan, yang terpecah-pecah, dan perilaku aneh

seperti menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-gerakan aneh,

mengucap berulang-ulang dan kecenderungan untuk menarik diri

secara ekstrim dari hubungan sosial (Dadang Hawari, 2001).

Skizofrenia hebefrenik adalah suatu bentuk skizofrenia dengan

perubahan prilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat

diramalkan,ada kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan prilaku

menunjukkan hampa prilaku dan hampa perasaan, senang

menyendiri,dan ungkapan kata yang di ulang – ulang, proses pikir

mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta adanya

penurunan perawatan diri pada individu. ( Rusdi Maslim, Dr.PPDGJ-

III 2001).

1.2 Etiologi Skizofreni Hebefrenik

Etiologi Skizofreni Hebefrenik pada umumnya sama seperti

etiologi skizofrenia lainnya. Dibawah ini beberapa etiologi yang

sering ditemukan:
a. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya

respon neurobiologi seperti pada harga diri rendah antara lain :

b. Faktor Genetis Telah diketahui bahwa secara genetis

skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom tertentu.

Tetapi kromosom yang ke berapa menjadi faktor penentu gangguan

ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak

gen skizofrenia ada dikromosom no. 6 dengan kontribusi genetik

tambahan no. 4, 8, 15 dan 22. Anak kembar identik memiliki

kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah

satunya mengalami skizofrenia, sementara jika dizigot peluangnya

sebesar 15%. Seorang anak yang salah satu orang tuanya

mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya

skizofreia maka peluangnya menjadi 35%.

c. Faktor Neurologis Ditemukan bahwa korteks prefrotal dan korteks

limbik pada klien skizofrenia tidak pernah berkembang penuh.

Ditemukan juga pada klien skizofrenia terjadi penurunan volume

dan fungsi otak yang abnormal. Neurotransmiter yang ditemukan

tidak normal khususnya dopamine, serotonine, dan glutamat.

d. Studi Neurotransmiter Skizofrenia diduga juga disebkan oleh

adanya ketidakseimbangan neurotransmiter dopamine yang

berlebihan.

e. Teori Virus Paparan virus influenza pada trimester 3 kehamilan

dapat menjadi factor predispossisi skizofrenia.


f. Psikologis

Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia

antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu pencemas, terlalu

melindungi, dingin dan tidak berperasaan, sementara ayah yang

mengambil jarak dengan anaknya.

1.3 Tanda dan Gejala

Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu

fase prodromal, fase aktif dan fase residual.

1) fase prodromal biasanya timbul gejala gejala non spesifik yang

lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum

onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya

fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang

dan fungsi perawatan diri. Perubahan perubahan ini akan

mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman,

mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”.

Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.

2) fase aktif gejala positif / psikotik menjadi jelas seperti tingkah

laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan

afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila

tidak mendapat pengobatan gejala gejala tersebut dapat hilang

spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan.

3) fase residual dimana gejala gejalanya sama dengan fase

prodromal tetapi gejala positif / psikotiknya sudah berkurang.

Disamping gejala gejala yang terjadi pada ketiga fase diatas,


penderita skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa

gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan

dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial).

Pada Skizofrenia Hebefrenik kita dapat melihat tanda dan

gejala yang khas, antara lain;

1. Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat

dimengerti apa maksudnya.

2. Alam perasaan yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi atau

ketolol-tololan.

3. Perilaku dan tertawa kekenak-kanakan, senyum yang

menunjukkan rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati

sendiri.

4. Waham yang tidak jelas dan tidak sistematik tidak terorganisasi

sebagai suatu kesatuan.

5. Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak

terorganisasi sebagai satu kesatuan.

6. Gangguan proses berfikir

7. Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan

gerakan- gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang

diulang-ulang dan cenderung untuk menarik diri secara ekstrim

dari hubungan sosial (Dadang Hawari, 2001 :640).


1.4 Patofisiologi Schizofrenia Hebefrenik

Polimorfisme daerah Mutasi pada gen UGT1A1 (Gilbert’s


promoter syndrome)

Penurunan aktivitas enzim glukonil


skizofrenia transferase

Bilirubin meningkat
Kelainan transmisi neurotransmiter (terutama dopamin) di otak

Inhibitor pada proses reuptake


Peningkatan dopamin pada mesolimbik dopamin dan glutamat melalui
perubahan gradien proton dan
potensial membran

Neuron dopaminergik hadir menuju sistem limbik, berfungsi


mengatur perilaku dan emosi

Kelainan transmisi dopamin dianggap menyebabkan munculnya gejala positif pada


skizofrenia

Delusi/ waham, halusinasi, kacau dalam berbicara,


ketidakaturan perilaku yang bersifat motorik kasar

Olanzapine Klorpromazine
Antipsikosis atipikal (olanzapine,
risperidone)

Memperberat kerja ginjal Merupakan inhibitor protein enzim CYP2D6


Blokade reseptor M3 pankreas

Ginjal tidak berfungsi maksimal Dapat menganggu eliminasi antipsikotik


Resistensi insulin

Kreatinin meningkat
Menganggu klirens antipsikotik
Peningkatan aktivitas lipolisis hormonal

Gangguan ginjal
Sehingga konsentrasi dalam plasma meningkat
Peningkatan asam lemak yang
dibawa ke hati
Meningkatkan risiko jejas hati (SGOT dan
SGPT meningkat)
Peningkatan produksi dan jumlah
trigliserida dalam hati

Peningkatan trigliserida
FORMULIR PEMANTAUAN TERAPI OBAT

PTO – 1. SUBJEKTIF
A. IDENTITAS PASIEN
TGL LAHIR / UMUR : 12-03-1986/29
TANGGAL MRS : 26/02/17
th
NAMA : Tn. AS BB/TB/LPT : / /
NO. RM : xxxxxxxxxxx JENIS KELAMIN : (Laki-laki / Perempuan)
R. RAWAT : Adenium ALERGI OBAT :
NAMA DPJP : dr. HK, Sp.KJ TANGGAL KRS :
KONDISI KHUSUS :

a. Hamil/Menyusui b. Gangguan Ginjal c. Gangguan Hati

KELUHAN UTAMA :

Mengamuk
DIAGNOSIS DOKTER:
Aksis I : skizofrenia hebefrenik
Aksis II : belum ada diagnosis
Aksis III : Acute Kidney Injury stage I, Hipokalsemia et causa intake kurang, Dyslipidemia,
Post laparoskopi kolistektomi (POD #5)
Aksis IV : masalah primary support group, Masalah hubungan interpersonal, Masalah
pekerjaan Aksis V : Global assessment of functioning scale 60-51

II. RIWAYAT PASIEN


Riwayat Penyakit Sejak 4 tahun yang lalu, setelah berhenti bekerja di hotel, pasien mulai
menunjukkan perubahan perilaku. Pasien mengatakan bahwa ia berjualan
seperti standar hotel. Sering tampak ketakutan, mengatakan dikejar-kejar
polisi, mengatakan kakaknya adalah intel yang akan menangkap pasien,
selalu mengunci kamar karena takut digeledah polisi, selalu memakai
masker dan kacamata hitam supaya tidak dikenali.
Selain itu, pasien tampak bicara sendiri, bicara tidak nyambung dan
gelisah. Pasien lalu dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat dan
diberi obat. Selama 1 tahun pasien berobat rutin tapi tidak mengalami
perubahan. Setelah 1 tahun, pasien dirawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Jawa Barat selama 3 minggu. Setelah pulang perawatan, pasien berjalan
seperti robot, banyak mengeluarkan air liur dan gelisah. Pasien masih
meneruskan pengobatan dan rutin berobat ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Jawa Barat.
Satu hari yang lalu, setelah pulang perawatan di RS Santosa, pasien
gelisah tanpa sebab yang jelas, mengatakan ingin mati dan bila dia belum
mati maka orang lain yang harus mati. Pasien juga mencekik ibu dan
kakaknya. Pasien tampak mondar-mandir, tidak tidur, dan bicara sendiri.
Pasien lalu dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Karena
ruang perawatan penuh, pasien dibawa ke RSUP Dr. Hasan Sadikin.

Riwayat penyakit Riwayat dirawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat 3 tahun yang
terdahulu lalu.
Riwayat Haloperidol 5 mg; ½-0-1/2 PO
Pengobatan Chlorpromazine 100 mg; 0-01/2 PO
Triheksifenidil Tab 2 mg; 1-0-1 PO
Seroquel (Quetiapine) Tab 400 mg; 0-0-1/2 PO (menggantikan
antipsikotik sebelumnya)

Riwayat Keluarga -

PTO – 2. OBJEKTIF
A. DATA PEMERIKSAAN KLINIK (TTV)
Tanggal
Nilai
Pemeriksaan 07/03/1 08/03/ 09/03/ 10/03/1 11/03/ 12/03/ 13/03/1
Normal
7 17 7 17 17 7
Suhu 36.8±0.7 36.4 36.3 36.3 36.3 36 36 36
RR 16-24 18 16 16 16 12-20 12-20 20
HR 60-100 94 92 92 92 80 80 84
Tekanan Darah 120/80 100/70 100/70 100/70 100/70 120/80 120/80 120/80

INTERPRETASI DATA PEMERIKSAAN KLINIK :


Pada tanggal 7-10/03/2017 tekanan darah pasien mengalami kenaikan dari nilai normal yaitu
100/70. Hal tersebut menandakan pasien mengalami hipotensi.
B. DATA PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Nilai Tanggal
Pemeriksaan 26/02/17 28/2/17 1/03/17 10/3/17
normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.5-17.5 15.6 - -
(gr/dL)
Hematokrit (%) 40-52 47 - -
Leukosit (/mm3) 4400- 10700 - -
11300
Eritrosit (juta/uL) 4.5-6.5 5.55 - -
Trombosit 150000- 315000 - -
(/mm3) 450000
MCV (F1) 80-100 84.1 - -
MCH (pg) 26-34 28.1 - -
MCHC (%) 32-36 33.4 - -
Hitung Jenis Leukosit
Basofil (%) 0-1 0 - -
Eosinofil (%) 1-6 0* - -
Batang (%) 3-5 0* - -
Segmen (%) 40-70 71* - -
Limfosit (%) 30-45 23* - -
Monosit (%) 2-10 6 - -
KIMIA KLINIK
Kreatinin 0.7-1.2 1.28 - 1.28 -
(mg/dL)
SGOT (u/L) <36 32 - - -
SGPT (u/L) <41 71 - - -
Ureum (mg/dL) 15-50 55 - 45 -
Kolesterol Total <200 344 - - 164
(mg/dL)
HDL (mg/dL) >45 58 - - 21
LDL (mg/dL) <155 199 - - 46
Trigliserida <160 429 - - 275
(mg/dL)
Glukosa darah 70-100 128 - 85 -
puasa (mg/dL)
Glukosa darah 2 <140 - 127 - -
jam post prandial
(mg/dL)
HbA1C <7 5.3
Bilirubin total s/d 1.0 - - - 1.90
(mg/dL)
Bilirubin direk s/d 0.3 - - - - 1.5
(mg/dL)
Bilirubin indirek s/d 0.75 - - - - 0.4
(mg/dL)
Natrium (mEq/L) 135-145 141 - - -
Kalium (mEq/L) 3.6-5.5 4.0 - - -
Kalsium (mEq/L) 4.7-5.2 4.25 - - -

INTERPRETASI DATA PEMERIKSAAN LAB :

- Pada tanggal 26/02/2017 pasien mengalami peningkatan nilai kreatinin, ureum, SGOT,
SGPT mengalami kenaikan dari nilai normal yaitu kreatinin meningkat menjadi 1.28
mg/dL, SGPT meningkat menjadi 71 µ/L, ureum meningkat menjadi 55 mg/Dl, Bilirubin
total meningkat dari nilai normal yaitu 1.90 mg/dl, bilirubin direct juga meningkat dari
nilai normal yaitu 1.5 mg/dl. Hal tersebut menandakan pasien mengalami Acute Kidney
Injury (Mosby, 2015).
- Pada tanggal 26/02/2017 nilai kolesterol total mengalami kenaikan dari nilai normal yaitu
433 mg/Dl, nilai LDL juga meningkat dari nilai normal yaitu 199 mg/dL, dan trigliserida
meningkat dari nilai normal yaitu 429 mg/dL, nilai HDL mengalami penurunan dari nilai
normal yaitu 21 mg/dL. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasien mengalami
Dyslipidemia (Mosby, 2015).
- Pada tanggal 26/02/2017 nilai gula darah puasa mengalami kenaikan dari nilai normal
yaitu 128 mg / dl. Hal tersebut menandakan pasien mengalami diabetes (Mosby, 2015).
- Pada tanggal 26/02/2017 nilai kalsium mengalami penurunan dari nilai normal yaitu 4.24
mEq/L. hal tersebut menandakan pasien mengalami Hypoparathyroidism (Mosby, 2015).

C. DATA PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENDUKUNG SPESIFIK


(CT-SCAN, FOTO THORAX, DAN LAIN SEBAGAINYA)
PTO – 3. ASSESSMENT
A. PROFIL PENGGUNAAN OBAT

JENIS OBAT Tanggal Pemberian Obat (Mulai MRS)


No Nama Dagang/ Regimen Dosis Rute 26/2 27/2 07/3 08/3 09/3 10/3 11/3 12/3 13/3
Generik
B. 1. Olanzapine inj 10 0-0-1 IM √ - - - - - - - -
mg

2. Difenhidramin 10 20 mg IM √ - - - - - - - -
mg vial

3. Chlorpromazine 100 0-0-1 (tgl 1/3 PO - √ √ √ √ √ √ √ √


mg Tab berubah) : 1-0-
1

4. Trihexylphenidyl 2 1-0-1 PO - √ √ √ √ √ √ √ √
mg Tab

5. Calos 500 mg Tab 3x1 PO - √ √ √ √ √ √ √ Stop

6. Atorvastatin 40 mg 0-0-1 PO - √ √ √ √ √ √ √ √
Tab

7. Paracetamol 500 mg 3x1 prn PO - √ √ √ √ √ √ √ √


Tab

MASALAH KLINIK & DRUG RELATED PROBLEM


1. UNTREATED INDICATION, IMPROPER DRUG SELECTION & MEDICATION USE WITHOUT INDICATION
Indikasi pada Pasien dan Pemilihan Obat
Masalah klinik Drug-related Problems (DRPs) & Resep dokter Kesesuaian Rekomendasi dan Alasan Monitoring
pada Pasien Reference Study Obat (Literature Study)
(DRPs)
Dilihat dari keluhan utama pasien Olanzepin Tidak sesuai Kami merekomendasikan Perilaku
yaitu mengamuk dan pasien pernah Chlorpromazine risperidon untuk mengobati
dirawat dirumah sakit jiwa selama 3 skizofrenia hebefrenik karena
tahun sehingga pasien mengalami risperidon merupakan lini
skizofrenia heberenik. pertama dan merupakan anti
Skizofrenia Pasien mendapatkan terapi olanzepin, psikosis golongan II dimana
hebefrenik tidak sesuai karena efek samping memiliki efek untuk
olanzepin ekstrapiramidal yang mengurangi gejala negatif
tinggi dan penggunaan obat maupun positif (Eddy et al.,
olanzepin memiliki risiko acute 2017)
kidney injury yang signifikan. Triheksifenidil karena obat ini
Pasien juga mendapatkan terapi merupakan salah satu obat
chlorpromazine dan difenhidramin yang sering digunakan
tidak sesuai karena efek sampingnya sindroma ekstrapiramidal
hipotensi (Katzung, 2015). antipsikotik. Triheksifenidil
sebagai terapi efek samping
akibat penggunaan diinduksi
esktrapiramidal antipsikotik
dan obat-obatan sistem saraf
yang sentral (Eddy et al., 2017)
Dilihat dari data lab pasien kolesterol Atorvastatin Sesuai Kolesterol
total, LDL, trigliserida meningkat LDL
dari nilai normal dan nilai HDL HDL
Dyslipidemia pasien menurun dari nilai normal hal Trigliserida
tersebut menunjukkan pasien
mengalami dyslipidemia.
Menurut PERKENI (2016) statin
merupakan morbiditas utama yang
digunakan untuk penangana
dyslipidemia pada penderita PGK.
Beberapa penelitian menunjukkan
statin mampu menurunkan angka
kematian kardiovaskular pada pasien
PGK.
Atorvastatin merupakan salah satu
obat dari golongan statin yang dapat
menurunkan kadar kolesterol LDL
dengan cara menghambat sistesis
kolesterol yang merangsang
peningkatan LDL dari plasma
(Novita et al., 2018 ).
Dilihat dari data lab pasien nilai
kalsium menurun dari nilai normal
hal tersebut menunjukkan pasien
mengalami hipokalsemia.
Hipokalsemia Pasien mendapatkan terapi calos. Hal
tersebut sudah sesuai, karena
preparat oral diindikasikan sebagai
terapi awal pada hipokalsemia ringan
(7,5-8 mg/dL dengan gejala ringan)
(Harjanto et al., 2008).
Studi cross sectional menunjukkan
Calos Sesuai Kalsium
rendahnya asupan kalsium
berhubungan dengan kejadian
sindrom metabolik, di mana salah
satu tanda dari sindrom metabolik
adalah diabetes melitus. Pada data
lab pasien menunjukkan kadar gula
darah puasa menurun dari nilai
normal yaitu 70-100 hal tersebut
terjadi karena kurangnya asupan
kalsium pada pasien (Rochmah,
2017).
Nyeri pasca Pada tanggal 27/02 pasien Tidak Kami merekomendasikan
operasi batu mengeluhkan nyeri di perut pasca Paracetamol sesuai lidokain. Lidokain intravena
Nyeri
empedu operasi batu empedu. Pasien diketahui memberikan efek
mendapatkan terapi paracetamol. analgesia, antihiperalgesia, dan
Paracetamol memiliki aktivitas anti-inflamasi. Lidokain
analgesik dan antipiretik (Toms L et mempunyai efek
al., 2012). Tetapi efek samping dari antihiperalgesia yang dapat
paracemaol adalah hepatoprotektor. digunakan sebagai obat
Dimana pada pasien ini mengalami adjuvan untuk mengurangi
nilai SGPT yang meningkat yang nyeri pascaoperasi. Lidokain
menandakan pasien mengalami mampu mengurangi rasa nyeri
gangguan pada hati. Sehingga yang dibuktikan dengan
pemberian paracetamol pada pasien kemampuannya dalam
ini tidak sesuai karena dapat menurunkan numeric rating
memperburuk pada hati. scale (NRS). Menurut Lewi
(2016) menunjukkan bahwa
skor NRS grup lidokain lebih
rendah bermakna secara
statistika (p<0.05). Mekanisme
kerja lidokain sebagai
analgesia, antihiperalgesia, dan
anti-inflamasi adalah blokade
transmisi saraf dan regulasi
inflamasi neurogenik. Lidokain
dan metabolit aktifnya
berinteraksi memblokade
gerbang natrium pada susunan
saraf pusat dan perifer
sehingga terjadi supresi impuls
ektopik dari saraf aferen yang
rusak sehingga menginhibisi
refleks polisinaptik pada kornu
dorsalis medula spinalis yang
menghambat penghantaran
impuls nyeri tanpa
memblokade konduksi normal.
Lidokain intravena juga
mempunyai efek inhibisi
terhadap reseptor NMDA dan
reseptor G protein-coupled.
Efek analgesik dari lidokain
intravena juga bertahan setelah
pemberian kontinu dihentikan,
hal ini disebabkan oleh
kemampuannya mencegah
hipersensitivitas susunan saraf
pusat dan perifer. Mekanisme
efek anti-inflamasi lidokain
adalah melalui penghambatan
pergerakan dan adhesi leukosit
pada jaringan yang mengalami
inflamasi serta menurunkan
regulasi sitokin proinflamasi.

2. SUBTHERAPEUTIC DOSAGE & OVERDOSAGE


Analisis Kesesuaian Dosis
Nama Obat Dosis dari literature Dosis pemberian Rekomendasi/Saran
Atorvastatin 20 mg 1x1(Ratnasari et al., 2020) 0-0-1, 40 mg 20 mg 1x1
Triheksifenidi 2x3 mg/hari (Eddy et al., 2017) 1-0-1 ,2 mg 2x3 mg/hari
l
Risperidon 2x6 mg (Eddy et al., 2017) 2x6 mg 2x6 mg
Calos 1-2 g (DIH, ed 17) 3x1 500 mg 1g

Lidokain 1 mg/kgBB 1 mg/kgBB -


3. FAILURE TO RECEIVE MEDICATION
Obat Yang Gagal Diterima Pasien
Nama Obat Dosis Indikasi Rekomendasi/Saran
Chlorpromazine 30-800 mg/hari (DIH, ed 17) Skizofrenia Risperidone
Olanzapine 5-10 mg (DIH, ed 17) hebefrenik
Paracetamol 500 mg Nyeri pasca Lidokain
operasi

4. ADVERSE DRUG REACTIONS


Nama Obat Efek Samping Potensial Efek Samping Yang Timbul Rekomendasi/Saran
Chlorpromazine Hipotensi Penghentian chlorpromazin
Gangguan ginjal Penghentian olanzapin
Olanzapine
5. DRUG INTERACTIONS

OBAT A OBAT B EFEK MEKANISME INTERAKSI MANAJEMEN


INTERAKSI FARMAKOKINETIK FARMAKODINAMIK INTERAKSI
Trihexyphenidyl Risperidone Moderate Risperidone meningkatkan Pengurangan dosis
efek trihexyphenidyl dalam satu atau kedua
obat diperlukan jika
efek samping yang
berlebihan

Atorvastatin Risperidone Minor Atorvastatin akan


meningkatkan level atau
efek resperidone oleh p-
glycoprotein (MDR1)
efflux transporte
PTO – 4. PLAN
1. MONITORING HASIL TERAPI OBAT
Parameter Monitoring Evaluasi Hasil yang
Indikasi pada Pasien Nama Obat Dosis
(Data Lab, Data Klinik) diperoleh
Skizofrenia hebefrenik Risperidon 2x3 mg/hari Perilaku Perilaku kembali normal
Trihexyphenidyl 2x6 mg
20 mg 1x1 Kolesterol Kolesterol, LDL,
LDL trigliserida menurun dan
Dislipidemia \Atorvastatin HDL HDL menurun
Trigliserida
Hipokalsemia calos 1-2 g kalsium Kalsium normal

Nyeri pasca operasi batu Lidokain 1 mg/kgBB Nyeri Hilangnya nyeri


empedu

2. TERAPI NON FARMAKOLOGI


Terapi keperawatan yang terdiri dari terapi generalis (Strategi Pelaksanaan), terapi spesialis, terapi komplementer, terapi psikosial
seperti penyakit berorientasi dengan keluarga, terapi perilaku dan terapi ketrampilan sosial, psiko terapi individual
PEMBAHASAN

Case study kali ini membahas pada pasien Tn. AS berusia 29 th masuk ke rumah sakit
pada tanggal 26/02/17. Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan utama mengamuk. Setelah
dilakukan pemeriksaan, dokter mendiagnosa pada aksis I : skizofrenia hebefrenik, aksis II :
belum ada diagnosis, aksis III : Acute Kidney Injury stage I, Hipokalsemia et causa intake
kurang, Dyslipidemia, Post laparoskopi kolistektomi (POD #5), aksis IV : masalah primary
support group, mhubungan interpersonal, masalah pekerjaan, aksis V : Global assessment of
functioning scale 60-51. Setelah dievaluasi, sejak 4 tahun yang lalu, setelah pasien berhenti
bekerja di hotel, pasien mulai menunjukkan perubahan perilaku. Pasien mengatakan bahwa ia
berjualan seperti standar hotel. Sering tampak ketakutan, mengatakan dikejar-kejar polisi,
mengatakan kakaknya adalah intel yang akan menangkap pasien, selalu mengunci kamar
karena takut digeledah polisi, selalu memakai masker dan kacamata hitam supaya tidak
dikenali. Selain itu, pasien tampak bicara sendiri, bicara tidak nyambung dan gelisah. Pasien
lalu dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat dan diberi obat. Selama 1 tahun pasien
berobat rutin tapi tidak mengalami perubahan. Setelah 1 tahun, pasien dirawat di Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat selama 3 minggu. Setelah pulang perawatan, pasien berjalan
seperti robot, banyak mengeluarkan air liur dan gelisah. Pasien masih meneruskan
pengobatan dan rutin berobat ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Satu hari yang lalu,
setelah pulang perawatan di RS Santosa, pasien gelisah tanpa sebab yang jelas, mengatakan
ingin mati dan bila dia belum mati maka orang lain yang harus mati. Pasien juga mencekik
ibu dan kakaknya. Pasien tampak mondar-mandir, tidak tidur, dan bicara sendiri. Pasien lalu
dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Karena ruang perawatan penuh, pasien
dibawa ke RSUP Dr. Hasan Sadikin. Pasien juga pernah mendapatkan terapi haloperidol 5
mg; ½-0-1/2 PO, chlorpromazine 100 mg; 0-01/2 PO, triheksifenidil Tab 2 mg; 1-0-1 PO,
seroquel (Quetiapine) Tab 400 mg; 0-0-1/2 PO (menggantikan antipsikotik sebelumnya).

Skizofrenia hebefrenik adalah skizofrenia dengan ciri utamanya adalah percakapan


dan perilaku yang kacau, serta afek yang datar/tidak tepat, gangguan asosiasi, mempunyai
sikap yang aneh, menunjukkan perilaku menarik diri secara sosial yang ekstrim,
mengabaikan higiene dan penampilan diri. Awitan biasanya terjadi sebelum usia 25 tahun
dan dapat bersifat kronis. Perilaku regresif dengan interaksi sosial dan kontak dengan realitas
yang buruk (Damaiyanti, 2012).
Hasil evaluasi dan diskusi kelompok kami mengenai kasus ini, terdapat beberapa
problem medic yang dapat kami temukan. Problem medic yang dimaksud akan dijabarkan
dengan jelas, sebagai beriku :

1. Skizofrenia hebefrenik
Dilihat dari keluhan utama pasien yaitu mengamuk dan pasien pernah dirawat
dirumah sakit jiwa selama 3 tahun sehingga pasien mengalami skizofrenia heberenik.
Pasien mendapatkan terapi olanzepin, tidak sesuai karena efek samping olanzepin
ekstrapiramidal yang tinggi dan penggunaan obat olanzepin memiliki risiko acute
kidney injury yang signifikan.
Pemberian olanzapine juga dapat memblok reseptor M3 pankreas yang akan
menyebabkan terjadinya resistensi insulin, sehingga akan menyebabkan peningkatan
aktivitas lipolysis hormonal dan peningkatan asam lemak yang dibawa ke hati.
Sehingga terjadi peningkatan produksi dan jumlah trigliserida dalam hati sehingga
terjadi dyslipidemia (Kolovou et al, 20065).
Pemeberian olanzapine akan memperberat kerja ginjal, sehingga ginjal tidak
berfungsi maksimal yang akan mengakibatkan kadar kreatinin meningkat. (Aprilianti,
2019). Pasien juga mendapatkan terapi chlorpromazine dan difenhidramin tidak sesuai
karena efek sampingnya hipotensi (Katzung, 2015). Chlorpromazine merupakan
inhibitor enzim CYP2D6 yang dapat mengganggu eliminasi antipsikotik sehingga
konsentrasi dalam plasma meningkat. Akibatnya akan meningkatkan resiko jejas hati
yang ditandai dengan SGOT dan SGPT meningkat (Cahyaningtyas, 2017).
Kami merekomendasikan risperidon dan triheksilperidil untuk mengobati
skizofrenia hebefrenik karena risperidon merupakan lini pertama dan merupakan anti
psikosis golongan II dimana memiliki efek untuk mengurangi gejala negatif maupun
positif (Eddy et al., 2017). Triheksifenidil karena obat ini merupakan salah satu obat
yang sering digunakan sindroma ekstrapiramidal antipsikotik. Triheksifenidil sebagai
terapi efek samping akibat penggunaan diinduksi esktrapiramidal antipsikotik dan
obat-obatan sistem saraf yang sentral (Eddy et al., 2017)
2. Dyslipidemia
Dilihat dari data lab pasien kolesterol total, LDL, trigliserida meningkat dari
nilai normal dan nilai HDL pasien menurun dari nilai normal hal tersebut
menunjukkan pasien mengalami dyslipidemia. Menurut PERKENI (2016) statin
merupakan morbiditas utama yang digunakan untuk penangana dyslipidemia pada
penderita PGK. Beberapa penelitian menunjukkan statin mampu menurunkan angka
kematian kardiovaskular pada pasien PGK. Atorvastatin merupakan salah satu obat
dari golongan statin yang dapat menurunkan kadar kolesterol LDL dengan cara
menghambat sistesis kolesterol yang merangsang peningkatan LDL dari plasma
(Novita et al., 2018 ).
3. Hipokalsemia
Dilihat dari data lab pasien nilai kalsium menurun dari nilai normal hal
tersebut menunjukkan pasien mengalami hipokalsemia. Pasien mendapatkan terapi
calos. Hal tersebut sudah sesuai, karena preparat oral diindikasikan sebagai terapi
awal pada hipokalsemia ringan (7,5-8 mg/dL dengan gejala ringan) (Harjanto et al.,
2008). Studi cross sectional menunjukkan rendahnya asupan kalsium berhubungan
dengan kejadian sindrom metabolik, di mana salah satu tanda dari sindrom
metabolik adalah diabetes melitus. Pada data lab pasien menunjukkan kadar gula
darah puasa menurun dari nilai normal yaitu 70-100 hal tersebut terjadi karena
kurangnya asupan kalsium pada pasien (Rochmah, 2017).
4. Nyeri paska operasi
Pada tanggal 27/02 pasien mengeluhkan nyeri di perut pasca operasi batu
empedu. Pasien mendapatkan terapi paracetamol. Paracetamol memiliki aktivitas
analgesik dan antipiretik (Toms L et al., 2012). Tetapi efek samping dari paracemaol
adalah hepatoprotektor. Dimana pada pasien ini mengalami nilai SGPT yang
meningkat yang menandakan pasien mengalami gangguan pada hati. Sehingga
pemberian paracetamol pada pasien ini tidak sesuai karena dapat memperburuk pada
hati. Kami merekomendasikan lidokain. Lidokain intravena diketahui memberikan
efek analgesia, antihiperalgesia, dan anti-inflamasi. Lidokain mempunyai efek
antihiperalgesia yang dapat digunakan sebagai obat adjuvan untuk mengurangi nyeri
pascaoperasi. Lidokain mampu mengurangi rasa nyeri yang dibuktikan dengan
kemampuannya dalam menurunkan numeric rating scale (NRS). Menurut Lewi
(2016) menunjukkan bahwa skor NRS grup lidokain lebih rendah bermakna secara
statistika (p<0.05). Mekanisme kerja lidokain sebagai analgesia, antihiperalgesia, dan
anti-inflamasi adalah blokade transmisi saraf dan regulasi inflamasi neurogenik.
Lidokain dan metabolit aktifnya berinteraksi memblokade gerbang natrium
pada susunan saraf pusat dan perifer sehingga terjadi supresi impuls ektopik dari saraf
aferen yang rusak sehingga menginhibisi refleks polisinaptik pada kornu dorsalis
medula spinalis yang menghambat penghantaran impuls nyeri tanpa memblokade
konduksi normal. Lidokain intravena juga mempunyai efek inhibisi terhadap reseptor
NMDA dan reseptor G protein-coupled. Efek analgesik dari lidokain intravena juga
bertahan setelah pemberian kontinu dihentikan, hal ini disebabkan oleh
kemampuannya mencegah hipersensitivitas susunan saraf pusat dan perifer.
Mekanisme efek anti-inflamasi lidokain adalah melalui penghambatan pergerakan dan
adhesi leukosit pada jaringan yang mengalami inflamasi serta menurunkan regulasi
sitokin proinflamasi.
KESIMPULAN

Berdasarkan analisis kasus dan evaluasi pada pasien 29 tahun menunjukkan bahwa
pasien mengalami skizofrenia. Setelah dievaluasi dengan melihat kondisi pasien dan data
klinik serta data laboratorium pasien, diketahui bahwa pasien juga mengalamidislipidemia,
hipokalsemia, gangguan hati, dan nyeri setelah operasi patu empedu. Menurut kelompok
kami, pasien mendapat terapi risperidon, trihexyphenidyl, atorvastatin, calos dan lidokain.
Berdasarkan yang telah dijelaskan terdapat beberapa obat yang tidak sesuai. Sehingga peran
apoteker atau farmasis adalah memberi evaluasi yang memonitoring efek samping dan
penggunaan obat. Evaluasi hasil pemeriksaan dan control secara kontinu kondisi pasien. Jadi
kami menyarankan untuk pasien dengan kasus skizofrenia hebefrenik sebaiknya pasien
melakukan terapi generalis (Strategi Pelaksanaan), terapi spesialis, terapi komplementer,
terapi psikosial seperti penyakit berorientasi dengan keluarga, terapi perilaku dan terapi
ketrampilan sosial, psiko terapi individual.
DAFTAR PUSTAKA

Kolovou GD, Anagnostopoulou KK, Cokkinos DV. 2005. Pathophysiology of Dyslipidemia


in the Metabolic Syndrome. Postgraduated Medical Journal.

Cahyaningtyas, Rahmatini, dan Kurniawan Sedjahtera. 2017. Hubungan Lama Terapi


Antipsikotik dengan Kadar SGOT dan SGPT pada Pasien Skizofrenia di RSJ Prof. H.B
Sa’anin Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol 6 (1) :128-133.

Aprilianti et al. 2019. Pemeriksaan kadar kreatinin pada pasien skizofrenia di rumah sakit
jiwa provinsi Sulawesi tenggara. Jurnal sains dan teknologi laboratorium medic. Vol 4
(1) : 15-19.
LAMPIRAN

1. Chlorptomazil diganti dengan risperidon karena chlorpromazil memiliki efek


ekstrapiramidal yang tinggi, apakah ada efek ekstrapiramidal yang timbul ? (Maya)
Jawab : pada pasien ini efek ekstrapiramidal memang belum timbul tetapi
dikhawatirkan jika penggunaan chlorptomazil terus menerus akan membahayakan
pasien, dengan timbulnya efek ekstrapiramidal. Maka dari itu kami mengganti dengan
risperidone karena risperidon memilikefek ekstrapiramidal lebih kecil dibandingkan
chlorpromazil.
2. Pengobatan nyeri untuk nyeri pasca operasi batu empedu hanya menggunakan
paracetamol saja apakah sudah cukup? (Nisa)
Jawab : setelah kami evaluasi lagi, penggunaan paracetamol tidak tepat pada pasien
ini karena paracetamo memiliki efek samping hepatoprotektor, sedangkan pada pasien
ini mengalami gangguan pada hati. Maka dari itu pemberian paracetamol tidak coock.
Kemudian kami merekomendasikan untuk pemberian lidokain. Lidokain intravena
diketahui memberikan efek analgesia, antihiperalgesia, dan anti-inflamasi. Lidokain
mempunyai efek antihiperalgesia yang dapat digunakan sebagai obat adjuvan untuk
mengurangi nyeri pascaoperasi. Lidokain mampu mengurangi rasa nyeri yang
dibuktikan dengan kemampuannya dalam menurunkan numeric rating scale (NRS).
3. Apakah efek ekstrapiramidal olanzapine sangat tinggi? (Rafi)
Jawab :
4. Interaksi antara triheksilperinil denga risperidone adalah risperidone meningkatkan
efek trihexyphenidyl, tetapi disitu dituliskan untuk menejemen interaksinya adalah
dengan pengurangan dosis dalam satu atau kedua obat diperlukan jika efek samping
yang berlebihan. Jadi yang dikurangi itu dosis apa? (Nata)
Jawab : menurut kami, jika efek samping yang timbul berlebihan, yaitu dengan efek
dari trihexyphenidyl berlebihan maka perlu dilakukan pengurangan dosis dari salah
satu obat tersebut. Tetapi jika saat salah satu obat tersebut diturunkan dosisnya tapi
masil menimbulkan efek yang berlebih maka kedua dosis penggunaan kedua obat
tersebut harus diturunkan, sehingga efek samping yang ditimbulkan tidak berlebihan.
5. Penggunaan statin pada pengobatan dyslipidemia apakah sudah tepat, sedangkan pada
pasien ini juga mengalami masalah pada ginjalnya. Apakah tidak sebaiknya diganti
dengan fibrat?
Jawab : menurut kami penggunaan statin pada pasien ini sudah tepat. Karena menurut
Menurut PERKENI (2016) statin merupakan morbiditas utama yang digunakan untuk
penangana dyslipidemia pada penderita PGK. Beberapa penelitian menunjukkan statin
mampu menurunkan angka kematian kardiovaskular pada pasien PGK. Atorvastatin
merupakan salah satu obat dari golongan statin yang dapat menurunkan kadar kolesterol
LDL dengan cara menghambat sistesis kolesterol yang merangsang peningkatan LDL dari
plasma (Novita et al., 2018 ). Sedangkan fibrat memiliki efek samping dyspepsia dan batu
empedu, pada pasien ini baru saja menjalani operasi batu empedu, jadi penggunaan fibrat
tidak sesuai karena dapat menyebabkan batu empedu. Kemudian golongan fibrat juga
kontraindikasi pada penyakit ginjal dan penyakit hati yang berat.

Anda mungkin juga menyukai