Anda di halaman 1dari 7

Organisasi Konferensi Islam (OKI) 1971-Present

Organisasi kerjasama antar pemerintah atau yang sering dikenal juga sebagai International
Governmental Organization (IGO)telah menjadi bagian penting dalam hubungan internasional
dewasa ini. Organisasi-organisasi ini pada umumnya memiliki jaringan luas yang berfungsi
sebagai saluran kerjasama. Perkembangan teknologi dan transportasi telah menjadikan IGO
berkembang dengan pesat. Di dunia Islam, salah satu organisasi antar bangsa yang paling aktif
adalah Organisasi Konferensi Islam (OKI). Pada awal pendiriannya OKI difokuskan untuk
menemukan solusi konflik Timur Tengah, yang melibatkan Dunia Arab dan Israel. Akan tetapi
dalam perkembangannya, OKI ikut mengurusi berbagai permasalahan di negara-negara
mayoritas muslim atau pun minoritas muslim.

Latar Belakang Berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI)


Kemunculan OKI tidak dapat dilepaskan dari adanya semangat Pan-Islamisme. Pan-Islamisme
sendiri merupakan teori politik yang dikembangkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan murid-
muridnya.Teori ini menekankan solidaritas antar umat Islam, dalam menghadapi dominasi
ekonomi dan politik Barat.
Pada tahun 1940-an sampai 1950-an, Arab Saudi dan wilayah muslim di Anak Benua India
memimpin upaya-upaya untuk mendirikan badan Islam internasional. Upaya ini digalakkan
untuk menghadapi oposisi dari rezim-rezim sekuler di Mesir, Turki, dan Iran.
Konferensi Ekonomi Islam Internasional pertama berlangsung di Karachi pada 1949, dan yang
kedua di Teheran pada 1950. Sementara Konferensi Ulama Muslim diselenggarakan pada 1952
di Karachi atas inisiatif mufti besar Palestina, Amin al-Husaini. Di dalam konferensi itu, ia
menyerukan kesatuan Islam.
Meskipun seruan-seruan kesatuan Islam atau Pan-Islamisme telah dikumandangkan di tahun-
tahun tersebut, tetapi kaum sekularis, sosialis, dan nasionalis regional belum siap mengatasi
perbedaan dan menempa kesatuan atas dasar iman yang sama.
Baru pada tahun 1960-an, muncul upaya-upaya baru dalam membangun ikatan antar negara-
negara muslim. Pangeran mahkota Saudi, yang nantinya menjadi Raja Faishal memimpin upaya
baru ini. Ia berambisi membendung nasionalisme Arab.
Situasi berubah drastis pasca-Perang Arab-Israel atau sering disebut Perang Enam Hari. Dalam
perang tersebut, Israel mengalahkan aliansi negara Arab yang terdiri dari Mesir, Yordania, dan
Suriah. Kekalahan aliansi Arab berbuntut pada pendudukan di beberapa wilayah Arab dan
tempat-tempat suci di Yerusalem, salah satunya adalah Masjid al-Aqsha.
Di tengah kondisi yang semakin mendesak, Amin al-Husaini dan Raja Faishal segera
menyerukan konferensi tingkat tinggi Islam. Seruan itu mendapat sambutan hangat dari
beberapa pemimpin muslim lain, salah satunya adalah Tunku Abdul Rahman dari malaysia.
Pada 21 Agustus 1969, Israel secara brutal membakar Masjid al-Aqsha. Tentu saja tindakan
tersebut memicu protes keras dari negara-negara muslim lain, desakan untuk segera
diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pun semakin menguat. Nasser dan
golongan nasionalis lain pun tidak dapat lagi mengabaikan seruan pan-Islamisme.
KTT Islam pertama akhirnya terselenggara pada tanggal 22-25 September 1969 di Rabat,
Maroko. Para pemimpin di Rabat yakin bahwa rakyat mereka dapat membentuk suatu umat
yang tidak dapat dipecah dan bertekad mengerahkan upaya bersama untuk membela
kepentingan antar negara muslim. Tekad ini melahirkan Organisasi Konferensi Islam (OKI) atau
Organization of the Islamic Conference (OIC), yang secara resmi diproklamasikan pada bulan
Mei 1971.
Pada awal pembentukannya, terdapat empat tujuan utama dari OKI:

 Untuk menggalang solidaritas Islam di kalangan para anggotanya.


 Konsolidasi dan kerjasama di kalangan para anggotanya di bidang-bidang ekonomi, sosial,
budaya, iptek, dan bidang-bidang lain yang dianggap penting.
 Melakukan konsultasi dan kerja sama di kalangan negara-negara anggota di berbagai
organisasi internasional.
 Mengeliminasi diskriminasi rasial dan kolonialisme dalam segala bentuknya.

Struktur Keanggotaan Organisasi Konferensi Islam


Berdasarkan Pasal VIII Piagam OKI, maka negara-negara yang secara otomatis menjadi anggota
adalah yang memenuhi tiga persyaratan berikut:

 Semua negara yang berpartisipasi dalam KTT Islam pertama di Rabat.


 Semua negara yang berpartisipasi dalam Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri negara-
negara Islam di Jeddah, Arab Saudi (23-25 Maret 1970) dan di Karachi Pakistan (26-28
Desember 1970).
 Semua negara yang ikut menandatangani dan mengesahkan Piagam OKI.

Sementara negara-negara Islam yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan di atas,
tetap dapat menjadi anggota OKI dengan mengajukan permohonan untuk bergabung dan
permohonan itu harus disetujui minimal dua pertiga negara anggota OKI lainnya pada saat
berlangsungnya Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri pertama setelah perhomohan diajukan.
Selain syarat untuk menjadi anggota, OKI juga memiliki prinsip-prinsip keanggotaan sebagai
berikut:

 Adanya persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban di antara negara-negara anggota.


 Menghormati hak menentukan sendiri dan tidak campur tangan dalam masalah-masalah
domestik yang terjadi di negara-negara anggota.
 Menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah setiap negara anggota.
 Menyelesaikan setiap konflik yang muncul dengan menggunakan cara-cara damai seperti
negosiasi, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrasi.
 Tidak mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah, persatuan
nasional atau kemerdekaan politik negara anggota.

Di dalam OKI terdapat tiga badan utama pengambil keputusan:


pertama, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT);
kedua, Konferensi Para Menteri Luar Negeri;
Ketiga, Sekretariat Jenderal.
Namun, pada KTT di Taif, Arab Saudi (Januari 1981) diputuskan untuk mendirikan Mahkamah
Hukum Islam Internasional sebagai organ keempat OKI. Mahkamah ini dirancang sebagai organ
hukum utama dalam organisasi, dan untuk menyelesaikan sengketa di antara anggota.
Fungsi pengambil keputusan tertinggi ada pada KTT. Di bawahnya adalah konferensi para
Menlu. Tingkat ketiga adalah Sekretariat Jenderal yang berkedudukan di Jeddah. Jabatan Sekjen
dipilih oleh konferensi tingkat Menlu untuk jabatan empat tahun dan maksimal dua periode
kepemimpinan.
Selain keempat badan tersebut, OKI juga membentuk komite khusus untuk menindaklanjuti
kebijakan yang telah dibuat. Keenam badan tersebut adalah:

 Komite al-Quds.
 Komite Tetap Bidang Keuangan.
 Komite Islam untuk Masalah-Masalah ekonomi, Kebudayaan dan Sosial.
 Komite Kerjasama Ilmu Pengetahuan dan Teknik.
 Komite Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan.
 Komite kerja untuk Masalah-Masalah Informasi dan Kebudayaan.

Selain enam komite khusus yang telah disebutkan, OKI juga membentuk organisasi-organisasi
dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang ekonomi dan pembangunan, yakni:

 Bank Pembangunan Islam (IDB)


 Kamar Dagang, Industri dan Pertukaran Komoditi Islam.
 Yayasan Islam bagi Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan.
 Pusat Latihan dan Riset Statistik, Ekonomi, dan Sosial Negara-Negara Islam.
 Pusat Islam bagi Riset dan Latihan Teknik dan Kejuruan.
 Pusat Islam bagi Pembangunan dan Perdagangan.
 Dewan Penerbangan Sipil Islami.
 Asosiasi Pemilik Kapal Islami.

Perkembangan Organisasi Konferensi Islam


Pada awal pembentukannya, pendanaan OKI berasal dari sumbangan negara-negara anggota.
Semula disepakati bahwa ukuran untuk menghitung sumbangan adalah pendapatan per kapita.
Akan tetapi dalam praktiknya, banyak negara yang tidak membayar sehingga OKI selalu
kekurangan dana.
Dilaporkan, pada tahun 1986 Sekretaris Jenderal OKI telah bersiap membeberkan dalam KTT
tahun 1987, jika para anggota OKI tidak bersedia membayar sumbangan maka ia dan stafnya
akan dengan senang hati menutup organisasi dan kembali kepada pekerjaan masing-masing.
Terkait kabar tersebut, Arab Saudi menolong OKI apabila sedang kekurangan dana, dan terus
berlanjut hingga sekarang. Saudi juga memberikan bekas istana kerajaan sebagai kantor
sekretariat. Saudi sendiri memandang OKI sebagai tempat yang tepat untuk memberikan
pengaruh lebih aktif dan luas dibandingkan di forum-forum lain.

anggota Organisasi Konferensi Islam


Hingga tahun 2016, OKI mempunyai 57 anggota, termasuk Palestina, Nigeria, Azerbaijan dan
Albania. Siprus Turki dan Front Pembebasan Bangsa Moro (MNLF) secara teratur hadir sebagai
peninjau. PBB, Organisasi Persatuan Afrika, dan Liga Arab juga secara teratur mengirimkan
utusan tingkat tingginya. Selain itu Liga Dunia Muslim, Masyarakat Dakwah Islami, dan Majelis
Pemuda Muslim se-Dunia, masuk sebagai anggota OKI dari unsur non-pemerintah.
Sampai tahun tahun 2016, OKI telah mengadakan 13 kali KTT, yaitu di Rabat (1969, Lahore
(1974), Ta’if/Mekkah (1981), Casablanca (1984), Kuwait (1987), Dakar (1991), Casablanca
(1994), Teheran (1997), Doha (2000), Putrajaya, Malaysia (2003), Dakar (2008), Kairo (2013),
dan Turki (2016). Selain KTT rutin, OKI tercatat telah 5 kali menyelenggarakan KTT luar biasa,
yakni di Islamabad (1997), Doha (2003), Mekkah (2005 dan 2012), dan Jakarta (2016). KTT luar
biasa diselenggarakan jika ada masalah-masalah mendesak yang perlu segera diselesaikan.
Dalam perkembangannya OKI seringkali dianggap hanya mewakili kepentingan negara-negara
Arab yang kaya (yang notabene lebih pro-Barat)), karena dari sisi finasnial, OKI memang sangat
bergantung pada mereka. Oleh karena itu, OKI lebih sering terlihat bersikap pasif terhadap
persoalan-persolan yang dihadapai negara-negara Islam, seperti kasus-kasus Bosnia, Kashmir,
Palestina, dan Chechnya. Sikap pasif ini lah yang menyebabkan OKI belum mampu
menunjukkan diri sebagai salah satu kekuatan yang diperhitungkan dalam peta politik
internasional.
Setidaknya terdapat dua hambatan, yang dihadapi OKI hingga saat ini. Keanggotaan OKI
meskipun sama-sama mendasarkan diri atas pan-Islamisme (yang belakangan mulai abu-abu
dengan diterimanya Suriname sebagai anggota ke-54 OKI), dalam kenyataannya sangat
heterogen, baik secara kultural, geografis, bahkan ideologis.
Kedua, dominasi pendanaan OKI dari negara-negara Arab kaya (pro-Barat), menyebabkannya
menjadi organisasi pasif apabila berbenturan dengan kepentingan Barat. Hal ini terlihat jelas
dari ketidakberdayaan OKI dalam menghadapi kasus-kasus konflik Iran-Libya-Irak-Sudan-Suriah
di satu sisi dan Barat di sisi lain.
OKI sebenarnya sudah menggariskan sembilan agenda kerja untuk menghadapi tantangan abad
ke-21, yang dituangkan dalam bentuk “Deklarasi Islamabad” (1997). Isi deklarasi tersebut
mencangkup:

 Memperkuat kerjasama ekonomi dan perdagangan dengan memberi peluang seluas-


luasnya kepada sektor swasta; memberi kemudahan tarif pajak; peningkatan investasi; alih
teknologi; kerjasama proyek-proyek industri; serta membuka lebih luas jaringan
transportasi dan telonomunikas darat, udara, atau pun laut di antara kota-kota di dunia
Islam.
 Kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknolgi dengan memanfaatkan potensi sumber
daya manusia dan kekayaan alam sebaik-baiknya, serta menjalin kerjasama dengan para
ahli dari negara-negara maju, guna mengambil manfaat keunggulan pihak lain.
 Meningkatkan kerjasama negara-negara anggota dengan lembaga-lembaga di bawah
naungan OKI.
 Memusatkan kebijakan dan usaha negara-negara OKI dalam mebangkitkan kembali tradisi
dan budaya Islam, serta menanamkan etika dan nilai-nilai luhur budaya Islam kepada
generasi muda muslim.
 Menyebarkan nilai-nilai universil Islam, khusunya yang berkaitan dengan pesan-pesan
kemanusiaan, seperti toleransi, keadilan, saling pengertian, sikap moderat, kerjasama antar
umat beragama dalam membangun kehidupan yang harmonis, dan bebas dari penindasan.
 Bekerjasama membendung gejala terorisme yang telah dimanfaatkan pihak luar untuk
mencemarkan keagungan nilai dan ajaran Islam.
 Memperjuangkan hak-hak minoritas muslim di negara-negara nonmuslim.
 Mendukung hak-hak rakyat yang sedang berada dalam praktik penjajah atau monopoli
asing.
 Bekerjasama dengan masyarakat internasional dalam mencari penyelesaian yang efektif
atas permasalah bersama, dan selanjutnya turut serta menciptakan perdamaian, keamanan,
dan ketentraman dunia.

Deklarasi Islamabad tampak cukup menjanjikan untuk menghadapi tantangan abad ke-21, yang
patut ditunggu adalah apakah Deklarasi tersebut dapat diimplementasikan atau hanya akan
menjadi wacana.
Sementara itu, Indonesia juga telah menyarankan empat langkah konkret untuk menghadapi
tantangan abad ke-21:

 Memanfaatkan database yang berada di Jaringan Informasi dan Perdagangan Negara-


Negara Islam (TINIC), dan di Sistem Jaringan Informasi OKI (OICIC-NET)
 Menciptakan program-program untuk memfasilitasi investasi dan perdagangan secara
efektif.
 Memobilisasi sektor swasta dalam upaya kerjasama ekonomi.
 Menerapkan lahkah evolusioner sehingga tidak perlu menunggu seluruh anggota siap
berpartisipasi dalam suatu proyek.

Kontribusi OKI
Jika menelaah resolusi yang telah dikeluarkan oleh OKI selama ini, terlihat bahwa organisasi
tersebut telah menjadi forum alami untuk mengangkat masalah-masalah yang mempengaruhi
dunia Islam. Namun, OKI sangat selektif dalam memilih masalah mana yang akan ditanganinya
jika permasalahan itu di luar isi resolusi.
Di bidang politik, Oki secara teratur menyerukan penarikan tentara Israel dari wilayah Palestina,
pengakuan hak orang Palestina, dan Palestine Liberation Operation (PLO) sebagai perwakilan
sahnya. Oki juga bekerja aktif meski tanpa banyak efektif praktis melalui Komite Perdamaian
Islam yang didirikan pada 1981, untuk mencoba mengakhiri konflik Israel dan Dunia Arab.
OKI berpengaruh pula dalam mengkordinasi gerakan oposisi internasional terhadap serbuan
Soviet ke Afghanistan. Di tempat lain, sekretaris jenderal menawarkan untuk menengahi perang
saudara di Somalia dan mengecam pemerintah India atas ketidakmampannya melindungi kaum
muslim setelah perusakan Masjid Babri di Ayodzya pada akhir 1992.

Di bidang budaya, OKI secara aktif mendukung pendidikan bagi komunitas muslim di seluruh
dunia. Melalui dana Soidaritas Islam, organisasi ini telah membantuk mendirikan universitas
Islam di Malaysia, Niger, Uganda, dan Bangladesh. Selain bidang politik dan budaya, OKI juga
mendukyng minoritas muslim di seluruh dunia, terutama mereka yang didiskriminasi. Oleh
karena itu, OKI aktif mendukung kaum minoritas di Bulgaria dan Filipina.

Anda mungkin juga menyukai