OCULAR DEXTRA
Oleh:
Fityan Aulia Rahman
1301 1211 80510
Pembimbing:
Muhamad Adli Boesoirie dr., SpAn, M.Kes
LAPORAN KASUS
Saat ini diperkirakan kejadian retinal detachment adalah sekitar 12,5 kasus per 100.000
dalam satu tahun.1 Beberapa teknik bedah telah digunakan dengan sukses setidaknya selama
lima dekade untuk memperbaiki retinal detachment. Modern Scleral Buckling dianggap teknik
pilihan untuk banyak kasus dan dijadikan sebagai terapi pilihan pada kebanyakan kasus.
Beberapa studi menyebutkan bahwa tingkat keberhasilan dilaporkan sekitar 80-90%.2
Bedah vitreoretinal dengan scleral buckling dan intraocular injeksi gas ekspansif sering
dikaitkan dengan refleks okulokardiak saat operasi, yang kemungkinan diakibatkan oleh traksi
pada otot mata dan sklera. Tingginya insisdensi nyeri pasca operasi dan pasca operasi mual dan
muntah (PONV) dikaitkan dengan peningkatan tekanan intra-okular akibat ekspansi gelembung
gas atau buckling yang terlalu ketat, terutama saat dilakukan anestesi umum. Kombinasi antara
anestesi umum dan peribulbar blok dapat mengurangi kelemahan ini.3
dilakukan dengan anestesi umum Retina adalah lapisan jaringan terdalam dari bagian posterior
mata. Ini terdiri dari beberapa lapisan seluler. Lapisan terluar berbatasan dengan rongga vitreal
dan lapisan paling dalam, koroid. Ablasi retina adalah ketika retina neurosensori kehilangan
kepatuhan pada epitel pigmen retina yang mendasari (RPE). Bagian terluaxr dari retina
neurosensori adalah tempat fotoreseptor berada. Koroid memasok oksigen dan nutrisi untuk
fotoreseptor. Di dalam fovea, tidak ada pembuluh darah retinal, dan jaringan retinal di area ini
bergantung sepenuhnya pada koroid untuk kebutuhan oksigennya. Detasemen makula dapat
menyebabkan kerusakan permanen pada fotoreseptor di lokasi ini. Penglihatan berpotensi
dipertahankan jika makula tetap terpasang, dan retina disambungkan kembali dengan tepat.
Namun, jika makula terlepas, penglihatan mungkin tetap buruk meskipun ada intervensi bedah.
Laporan kasus ini membahas mengenai seorang laki-laki berumur 29 tahun dengan
Retinal Detachment dan breaks pada mata kanan yang akan menjalani prosedur scleral
buckle dalam anestesi umum. Untuk meghindari nyeri, ponv dan okulokardiak reflex, maka
teknik anestesi yang dipilih pada kasus ini adalah anestesi umum yang digabungkan
dengan peribulbar anestesi. Peran dokter ahli anestesiologi dalam manajemen perioperatif
pasien bedah mata mulai dari penilaian awal, tatalaksana praanestesi, pemilihan teknik,
2
pemantauan selama pembedahan hingga manajemen nyeri pascabedah akan turut
menentukan hasil dari pembedahan mata.
LAPORAN KASUS
1. Deskripsi Kasus
Seorang laki-laki berusia 29 tahun, dengan retinal detachment dan breaks pada mata kanan
yang akan menjalani prosedur scleral buckle.
Anamnesis:
Pasien datang dengan keluhan mata kanan buram saat pasien terbangun dari tidurnya,
keluhan ini diraskan sejak 2 bulan terakhir, sampai akhirnya pasien memeriksakan matanya
ke optik dan diminta untuk langsung ke rs cicendo. Keluhan tidak disertai adanya sakit
kepala, penurunan kesadaran, mual dan muntah. Riwayat trauma disangkal. Pasien tidak
memiliki riwayat alergi dan penyakit penyerta lainnya. Pasien tidak pernah di operasi
sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan fisik saat pasien datang didapatkan keadaan umum pasien dalam
keadaan baik, kesadaran compos mentis, tekanan darah 120-130/80-90 mmHg, laju nadi 68
kali per menit reguler, laju nafas 19 kali per menit dan saturasi oksigen 98 % dengan udara
bebas. Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Pada pemeriksaan jalan nafas didapatkan buka mulut lebih dari 3 jari, kategori mallampati
2. Pemeriksaan leher didapatkan tekanan vena jugular tidak meningkat dan Range of
movement (ROM) baik. Pada Pemeriksaan toraks didapatkan bentuk dan gerak simetris,
bunyi jantung I dan II reguler, tidak di dapatkan murmur dan gallop, suara napas paru kanan
sama dengan kiri, ronki dan wheezing tidak ada. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
abdomen datar, lembut, hepar dan lien tidak teraba, bising usus normal. Sedangkan pada
pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat, capillary refill time <2”.
Pemeriksaan Penunjang:
3
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah rutin dan kimia darah dalam batas
normal. Pada pemeriksaan foto x-ray toraks tidak didapatkan kardiomegali dan paru-paru
dalam batas normal (Gambar 1.2). EKG didapatkan hasil sinus rhythm.
Hematokrit 51,6 40 – 52 %
4
Gambar 1.1 Foto x-ray toraks
5
Assesment:
Retinal Detachment and Breaks OD
Rencana operasi: Scleral Buckle
ASA 1
Rencana anestesi: General Anesthesia dengan peribular anesthesia
2. Penatalaksanaan Anestesi
Prabedah
Pasien sebelumnya pasien dipuasakan 6jam dan diberikan cairan maintenance dengan
cairan Ringer Laktat 120cc/jam. Dilakukan penjelasan mengenai kondisi/keadaan pasien
saat ini, prosedur anestesi serta komplikasi yang akan dihadapi dan bagaimana penangannya
dan dilakukan penandatanganan informed concent persetujuan tindakan anestesi. Di ruang
operasi, pasien di pasangkan alat monior mulai dari EKG, Tekanan Darah Non Invasif dan
Sp02. Rencana perawatan pascabedah di ruang perawatan biasa
Praanestesi
Pasien diposisikan supine dimeja operasi. Hasil pemantauan hemodinamik sebelum
induksi dalam batas normal : Tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 78 x per menit, laju nafas
19 kali per menit, saturasi oksigen 99 %. Persiapan tindakan anestesi general anesthesia
dan peribulbar anestesia.
Induksi
Pasien diberikan preoksigenasi dengan oksigen 100% dan dilakukan induksi dengan
pemberikan obat intravena Fentanyl 100 mcg dan Propofol 100 mg serta atracuirum 25
mg. Setelah itu pasien di lakukan pemasangan LMA dengan LMA no 4. LMA
dikembangkan kemudian dilakukan penilaian ventilasi. Rumatan anestesi dengan O2 : Air =
50% : 50% dan Sevofluran 2 – 3 vol %. Dilakukan kontrol ventilasi dengan mode volume
kontrol. Setelah induksi dengan anestesi umum selesai dilakukan teknik anestesi peribulbar
dengan menggunakan Ropivacaine 0,5% dan Lidocain 2% dengan total 5cc, dilakukan
injeksi dengan menggunakan jarum 23G dengan panjang 31mm, injeksi dilakukan di infero.
6
Intrabedah
Pemantauan hemodinamik dengan menggunakan pengukuran tekanan darah non-
invasif, pulse oximeter dan elektrokardiogram (EKG). Hemodinamik selama operasi stabil,
dengan nadi berkisar diantara 58-72x/menit. Saat operator hendak memasukan gas, N2O
dihentikan selama 15 menit.Pembedahan berlangsung selama 1 jam 30 menit.
Pascabedah
Pasien diberikan ondansetron 4 mg dan dexamethason 10mg untuk pencegahan
PONV. Pasien dilakukan extubasi dengan deep extubation. Penilaian hemodinamik
pascabedah dalam batas normal. Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1g ,
penilaian skor nyeri dengan VAS 1/10. Pasien dilakukan observasi selama 30 menit di
ruang pemulihan, kemudian dipindahkan ke ruang perawatan biasa dengan skor Aldrete 10.
Saat diruangan didapatkan VAS 1/10 namun pasien mengeluhkan mual namun tidak sampai
muntah.
BAB III
PEMBAHASAN
2. Refleks Okulorespiratori
Dapat menyebabkan nafas dangkal, menurunkan kecepatan napas dan bahkan henti
nafas komplit. Jalur aferen serupa pada reflex di atas dan diperkirakan terdapat sebuah
hubungan antara nucleus sensori trigeminal dan pusat pneumotaktik di pons dan pusat
respirasi medulari. Lagi, reflex ini sering terlihat pada operasi strabismus dan atropine tidak
memiliki efek. Jika ventilasi terkontrol tidak dilakukan secara rutin maka perhatian khusus
harus diberikan.
3. Refleks Okuloemetik
Sepertinya bertanggungjawab atas tingginya insidensi muntah setelah operasi squint
(60-90%). Lagi, reflex trigemino-vagal dengan traksi pada otot ekstraokuler mestimulasi
arkus aferen. Walaupun antiemetic dapat menurunkan insidensinya, teknik blockade regional
merupakan profilaksis terbaik.5
2. Scleral Buckling
Scleral buckling adalah teknik bedah mata yang telah berhasil digunakan sebagai
prosedur utama atau tambahan untuk memperbaiki ablasi retina rhegmatogenous selama
lebih dari 60 tahun. Keterampilan yang paling penting yang diperlukan dalam pembedahan
untuk ablasi retina adalah kemampuan untuk mendeteksi semua retinal break dan area
tambahan dari patologi vitreoretinal. Scleral buckling dilakukan untuk menghasilkan
penutupan fungsional retinal break yang menyebabkan pelepasan retinal dan untuk
mengurangi kemungkinan lepasnya retinal berulang. Berbagai jenis dan bentuk elemen karet
silikon digunakan, termasuk segmen spons silikon serta silikon padat yang dibentuk menjadi
pita untuk melingkari mata dan menjadi bentuk tambahan untuk menambah lebar dan tinggi
gesper di area tertentu. Konfigurasi spesifik dari scleral buckle bergantung pada sejumlah
faktor.6
Scleral buckling memiliki banyak komplikasi baik intraoperasi maupun postoperasi,
komplikasi intraoperasi yang terjadi dapat menyebabkan operasi lebih sulit dan tujuan
operasi akan sulit untuk dicapai. Beberapa komplikasi intraoperasi diantaranya
1. Komplikasi kornea yang berupa edema atau trauma pada epitelium yang akan
menyebabkan gangguan dari kejernihan kornea dan optimalisasi visual dari operasi
retina, beberapa faktor yang menyebabkan komplikasi kornea diantaranya
peningkatan tekanan intraocular yang lama saat operasi dan umur dari pasien.
2. Komplikasi pupil yang paling sering disebabkan oleh hipotonus, untuk mencegah hal
ini disarankan untuk diberikan siklopegik dan midiatrik atau epinephrin
3. Perforasi sklera dengan jarum jahit
Sedangkan untuk komplikasi post operasi sendiri yang paling sering terjadi adalah
peningkatan tekanan intraokular dimana bisa menyebabkan edem epitel kornea,
nyeri, pulsasi dari arteri retinal sentral. Kemudian bisa juga terjadi abses sklera dan
endoftalmitis, lepasnya choroid, edema makula sistoid
4. Tekanan Intraokular
Tekanan intraokular didefinisikan sebagai tegangan yang dihasilkan oleh isi bola mata
pada daerah sekeliling pembungkus cornea-sklera. Secara fungsional, TIO bergantung pada
keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran aqueous humor (sekitar 2,5 μL min −
1). Nilai normal tekanan intraokular antara 10-20 mmHg dan meningkat seiring pertambahan
usia. Nilai yang sama untuk semua jenis kelamin tercapai pada kisaran usia 20-40 tahun.
Terdapat korelasi positif antara tekanan intraokular dengan panjang aksial (axial length),
dimana tekanan yang rendah menyebabkan kerusakan barrier darah-aqueous, katarak, edema
makular, dan papilloedema, sedangkan tekanan yang tinggi menyebabkan kelumpuhan
sfingter iris, atrofi iris, kekeruhan lensa, dan atrofi saraf optik. Variasi diurnal normal 2-3
mmHg dengan tekanan yang lebih tinggi di pagi hari. Tekanan intraokular dapat berbeda
sampai dengan 5 mmHg antara kedua mata, dan berubah dari posisi duduk ke posisi berdiri
antara 0.3-6 mmHg. Peningkatan tekanan intraokular transien dapat terjadi pada keadaan
batuk, mengejan dan muntah, namun tidak menimbulkan konsekuensi pada mata yang
normal. Peningkatan tekanan intraokular yang berlangsung lama dapat menyebabkan
hilangnya penglihatan yang progresif. 1
Konsiderasi preoperatif
Pada pasien yang datang untuk operasi scleral buckling, pertimbangan pra operasi penting
untuk dilakukan pemeriksaan termasuk:
Usia pasien
Sindroma (misal keratoconus pada Down syndrome, Turner’s
syndrome, Apert’s syndrome dan osteogenesis imperfecta). Pasien dengan sindoma
tertentu terkadang terdapat masalah Airway
Kemampuan untuk berbaring datar
Adanya tremor
Penggunaan antikoagulan
Riwayat claustrophobia
Komorbid lain.1
Induksi
Induksi anestesi dengan propofol, thiopentone, opioid dan agen anestesi volatil
semuanya mengurangi TIO. Propofol menghasilkan penurunan TIO yang lebih besar
dibandingkan dengan thiopentone. Suxamethonium dan intubasi endotrakeal dapat
meningkatkan TIO tetapi dosis propofol tambahan yang lebih kecil yang diberikan segera
sebelum intubasi dapat menurunkan TIO di bawah tingkat dasar. Nitrous oxide, midazolam
dan relaksan otot non-depolarisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap TIO. Namun,
nitrous oksida dapat menyebabkan ekspansi yang cepat dari ruang gas intraokular yang
mengakibatkan peningkatan TIO dan kebutaan. Gas intraokular yang digunakan selama
prosedur pembedahan untuk ablasi retina dapat bertahan di mata hingga delapan minggu.
Meskipun suxamethonium meningkatkan TIO hingga sepuluh menit, suxamethonium telah
digunakan pada cedera bola mata terbuka tanpa peningkatan risiko yang jelas dari ekstrusi
konten mata. Suxamethonium aman digunakan jika diindikasikan asalkan itu efek pada TIO
telah mereda sebelum operasi dimulai. Ketamine sebaiknya dihindari karena dapat
meningkatkan TIO sebesar 2 hingga 3 mmHg. Namun, sebuah penelitian melaporkan bahwa
TIO, meskipun meningkat, tetap dalam kisaran normal pada anak-anak sehat yang menjalani
operasi non-mata.4
Untuk pemilihan Local Anestesi sendiri yang merupakan pilihan pada operasi skleral
buckle adalah peribulbar block dan subtenon yang menganastesi globe dan conjuctiva bulbar
yang diinervasi oleh nervus silia panjang dan pendek dari ganglion silia. Keuntungan utama
dari blok peribulbar adalah blok ini juga menganastesi beberapa dari nervus lakrimal,
supraorbita dan supratochlear. Untuk obat pilihan utama dari lokal anastesi sendiri, lidokain
cocok untuk operasi katarak, namun lidokain yang digabungkan dengan bupivakain atau
ropivakain akan memberikan blok yang lebih lama pada operasi vitroretina.7
Keuntungan dari LMA termasuk induksi dan bangun yang lebih halus, dan batuk pasca
operasi yang lebih sedikit, tetapi dikaitkan dengan insiden PONV yang lebih tinggi. Batas
waktu dua jam diterima secara luas untuk meminimalkan risiko aspirasi.
KESIMPULAN
Scleral Buckling dianggap teknik pilihan untuk banyak kasus dan dijadikan sebagai
terapi pilihan pada retinal detachment. Namun prosedur scleral buckling memiliki komplikasi
intraoperasi yang sangat serius. Pasien yang tidak kooperatif dan kesalahan pembedahan
dapat mengakibatkan konsekuensi serius. Konsiderasi anestesi dalam bedah mata turut
menentukan outcome baik secara fungsi visual maupun kualitas hidup pasien. Manajemen
anestesi yang baik diperlukan untuk mencegah komplikasi perioperative dari sclera buckle
DAFTAR PUSTAKA