Anda di halaman 1dari 16

Perspektif Hati : Perspektif 1

Prolog : Rumah Yang Berdebu

Lagu = Amigdala – Kukira Kau Rumah

Rumah yang lama ditinggalkan berdebu dan usang, tapi cuaca disekitarnya yang
sejuk, membuatnya nyaman, membuat tak ada alasan untuk diisi, dibiarkan menjadi
pilihan yang baik walau bukan yang terbaik, satu tahun berlalu tak ada yang datang
untuk sekedar berkunjung atau sekedar menengok, yang menjaga selalu setia berada di
depannya, berada di sekelilingnya, tak juga mencoba menawarkan atau sekedar menarik
perhatian yang lewat di dekatnya. Yang menjaga tak pernah berharap ada yang datang,
terlalu nyaman katanya menjaga rumah itu sendirian. Tak ada yang mengusik, tak ada
yang mengganggunya dan tak ada yang mengaturnya. Sampai waktu yang paling ia
takuti tiba, datang seseorang yang berhenti sejenak di depan rumah itu, berkeliling di
sekitar rumah, awalnya itu tak membuat penjaganya tertarik sama sekali, selama
pengunjung itu hanya berkeliling dan tak mencoba menerobos masuk, semuanya baik-
baik saja baginya. Semuanya masih aman terkendali tapi makin lama pengunjung itu
makin bertingkah aneh, awalnya ia masih dapat membiarkan perlakuannya, lama
kelamaan satu persatu tangga menuju pintu masuk ia tapaki, cemas itula perasaan
penjaganya, ia mencoba menghalanginya untuk masuk, pintu dikunci sekuat mungkin,
gembok dieratkan seerat mungkin bahkan rantai disusun berlapis-lapis. Tapi ia
membawa semua peralatan yang bisa digunakan untuk menerobos masuk sedangkan
penjaga? Ia tak memiliki persenjataan apapun untuk menghalaunya, semua telah terjadi
pengunjung telah menerobos masuk tak dapat dihindari. Ia semakin semena-mena
setelah masuk ke dalam rumah, ia bersihkan debu yang ada, ia rapikan semua peralatan
di dalamnya. Tertata rapi tapi penjaga tak semudah itu percaya kepada pengunjung.
Kareana terkadang ia masuki rumah itu tanpa terlebih dahulu melepaskan sepatunya,
membuat noda-noda di lantai, lalu ia bersihkan sendiri bekasnya, hari berikutnya pun
begitu, ia tinggalkan kamar yang kotor begitu saja, kemudian ia bersihkan ketika
kembali di malam hari, terus saja begitu, membuat penjaga bingung, sebenarnya apa
mau pengungjung ini, apa ia akan tinggal selamanya? Atau sengaja hendak singgah, lalu
saat waktunya tiba akan pergi begitu saja membiarkan rumah kotor tanpa kembali lagi
untuk membersihkannya. Penjaga tak pernah tahu apa yang harus dilakukan terbiasa
menjaga semuanya sendiri, tiba-tiba pengunjung datang tanpa permisi membuatnya
semakin merasa tak berdaya sebagai penjaga, rumah sekarang tak seberdebu dulu, tak
seusang sebelumnya, terima kasih ia ucapkan kepada pengunjung tapi satu pesan
untuknya, jika ingin pergi terserah apa yang ingin dilakukannya, sekotor apapun rumah
itu kau tinggalkan, aku tak peduli, tapi jangan pernah meninggalkan rumah yang kotor,
dan berdiri di depan pintu untuk waktu yang lama, tak pergi membuatku tak bisa
membersihkannya, tak bisa memberi kesempatan bagi orang lain untuk membantu
membersihkan, pergilah secepat mungkin dan pastikan menguncinya dengan sebaik-
baiknya. Kembalikan kuncinya dan ucapkan selamat tinggal dan terima kasih dengan
benar, lalu namamu akan tercatat sebagai yg pernah berkunjung dan meninggalakannya
lagi dalam keadaan kotor, ku tuliskan pada bagian keterangan ku harap tak pernah
berkunjung lagi, jika akhirnya begini. Tapi jika memang kau pengunjung yang baik
yang tulus pada rumah ini, membantu membersihkan tanpa mengotorinya lagi lebih dari
cukup untuk membuat pemiliknya setuju jika pengunjung ingin tinggal selamanya.
Chapter 1 : Nahkoda Kapal
Lagu = Figura Renata -Relung

Dua nahkoda berlayar di kapal yang berbeda, saat pertemuan pertama perahu kecil
mengalir di muara sungai arusnya tak kencang anginnya tenang. Perahu kecil berlayar
dengan begitu bebasnya. Tak ada aturan tak ada yang menghalangi. Kedua perahu
sampai di ujung persimpangan, dua aliran yang berbeda mengarungi tantangan yang
lebih besar. Dari dermaga terdekat terlihat dua kapal besar nahkoda yang berbeda
mengarah ke tempat yang sama, yang satu kapal putih dengan sedikit corak hitam di
bagian depan sedangkan yang satunya kapal berwarna kecoklatan dengan desain yang
menarik dan unik. Ternyata itu perahu yang dulu pernah berlayar sekarang keduanya
sudah berbeda tapi dipertemukan kembali di tempat yang sama semuanya sudah
berbeda. Kedua nahkoda berpandangan sekilas tapi tak ada sapaan tak ada kata-kata
yang keluar. Hingga kapal putih menepi beristirahat sejenak di sebuah pantai, angin
yang bertiup pelan, gemerisik air yang beradu dengan desiran pasir. Sore menjelang,
nahkoda itu masih duduk di tempat yang sama, matahari yang akan tenggelam
pandangan paling menyenangkan yang sangat ia suka, memantulkan cahaya indah
matanya lekat menatap ke lautan, pantulan senja bertemu dengan pemandangan kapal
coklat dan nahkoda tadi, rasanya sore hari tak pernah seindah ini. Nahkoda kapal putih
kembali mengencangkan layarnya tak terasa perjalanannya kembali bersamaan dengan
kapal coklat. Keduanya berhenti sejenak di tengah lautan sekedar beristirahat dan
menikmati air yang sedang tenang. Kapal putih memberanikan diri mendekat, kedua
nahkoda bertemu dan kali ini beberapa kata mengalir, mengingat kembali masa dimana
keduanya masih mengarungi derasnya arus sungai sebagai dua perahu kecil yang hidup
bebas. Bagaimana waktu berlalu begitu cepat. Perjalanan terus berlanjut, mereka
menjadi sering bertukar cerita satu sama lain. Hingga nahkoda kapal putih memutuskan
untuk kembali menepi sejenak, ia mengatakan kepada kapal coklat untuk nanti ikut
menepi bersamanya. Hanya sebuah senyuman dan anggukan kepala yang dianggap
persetujuan. Nahkoda kapal putih menjelajahi pulau tak ia sangka ada banyak
pepohonan dengan bunga yang indah, ada pula buah buahan segar yang lezat untuk
dinikmati. Ia ambil semua keindahan itu lalu ia rangkai menjadi satu. Ia siapkan
semuanya hingga nantinya kapal coklat menepi. Tak ia sangka satu hari berselang dari
kejauhan nahkoda kapal melambaikan tangannya menuju tempat berdiri terpaku diam.
Keduanya melempar senyuman dan nahkoda kapal putih memberikan apa yang sudah ia
siapkan mereka pun berbagi cerita tawa hingga larut malam hanya bertemankan bintang,
suara ombak yang memecah karang dan kehangatan dari api unggun, secangkir
minuman hangat dan cerita. Kebahagiaan yang lengkap bagi nahkoda kapal putih,
hingga keesokan hari ia terbangun mendapati cahaya matahari yang menyilaukan
pandangan, ia dapati dirinya sendiri di tepi pantai. Kemana perginya kapal itu? Ia
mencari dan mengedarkan pandangannya tak ditemukan. Ia memutuskan kembali
berlayar terus menerus tapi tak ada tanda-tanda, sampai ia mendekat ke suatu dermaga
besar wajahnya merekah bahagia yang ia cari selama ini ternyata disana keberadaannya
tapi sepersekian detik kemudian ia dapati senyumnya yang mengembang perlahan turun
bunyi ombak yang menenangkan seakan memekakkan. Kapal coklat telah terlebih
dahulu menepi di dermaga bersama kapal lainnya. Ia bergerak cepat menuju kemudi,
memutar arah layar dan berlayar menjauh dari dermaga. Ada banyak tempat indah untuk
menepi tapi tidak disana.
Chapter 2 : Gadis kecil dan Pohon
Lagu = Mocca – Ketika semua telah berakhir

Beberapa de javu terjadi akhir-akhir ini, 2 peristiwa dengan kondisi yang sama, pemeran
yang berbeda. Jangan bilang aku orang yang baik. Aku realistis. Kalo kamu pikir
semuanya mudah saja dilakukan. Tidak. Tidak semudah kelihatannya. Tapi percayalah
the next level of patient is sincere. Ikhlas kedengarannya sulit. Tidak. Itu tidak sesulit itu
juga. Ketika kamu sampai ke titik itu, kamu akan sangat berterima kasih kepada tuhan,
karena kamu tahu kamu telah melakukan hal yang tepat. Berkorban kedengarannya
seperti sesuatu yang sangat berat. Tidak. Itu tidak seberat itu kalau kamu melakukannya
dengan tujuan yang jelas. Ya kembali lagi aku bukan orang yang baik, aku realistis. Aku
bukan orang yang penuh perjuangan, aku bukan orang yang berkorban, aku juga bukan
orang yang pandai mengikhlaskan. Aku hanya menjadi realistis. Let me give you simple
explanation. Kalo kamu melihat sebuah pohon yang sangat tinggi, gagah tegak berdiri
seakan tak takut dengan apapun, kau tak sengaja lewat disana, kau perhatikan dengan
seksama, kau kagum dengan pohon itu, lalu kau lewat di hari lainnya pohon itu masih
terlihat begitu tangguh, tapi setiap kau lewat lamat-lamat melihat ada seorang gadis
kecil yang bermain di sekitar pohon itu, terlihat bahagia, menyenangkan, ia selalu
merawat pohon itu dengan baik, pohon itu pun seakan melakukan hal yang sama, ia
biarkan gadis kecil itu memakan buahnya, ia biarkan gadis kecil itu tidur dibawahnya
dan ia biarkan gadis kecil itu bermain dengan rantingnya. Terlihat nyaman satu dengan
yang lain. Kamu yang setiap hari hanya lewat, pasti senang melihat pemandangan itu,
pemandangan gadis kecil yang bahagia. Walau terkadang kau pasti juga ingin mencicipi
buahnya, kau juga ingin tidur dibawahnya, berlindung dengannya. Lalu hujan tiba-tiba
datang si gadis yang entah darimana hari itu tidak terlihat, kau yang kebetulan lewat
mencoba mendekat ke pohon untuk berteduh, tapi dari kejauhan kau dapati gadis kecil
berlari ke arah pohon yang sama. Apa yang akan kau lakukan? Mungkin kau pilih untuk
berteduh bersama, yang penting tidak kebasahan kan. Melindungi dirimu.
Kalau aku?
Aku memilih untuk pergi menjauh ku biarkan si gadis kecil berteduh sendirian di bawah
pohon, akan ku cari pohon lain untuk berteduh. Kenapa aku memilih pergi menerobos
hujan kebasahan. Gadis kecil setiap hari bermain disana, setiap hari bersenang-senang
dengan si pohon, dia pantas untuk mendapat perlindungan pohon itu sepenuhnya. Siapa
aku yang tiap hari hanya bisa memandangi dari kejauhan kebahagiannya, mendekat pun
tidak, apalagi menyentuh rantingnya, lalu tiba-tiba datang disaat aku butuh si pohon.
Tidak aku tidak seperti itu. Lalu kenapa tidak ikut meneduh saja toh si gadis kecil juga
tidak akan kebasahan. Takkan ku biarkan aku menganggu kebahagian gadis kecil itu.
Dia akan jauh lebih baik tanpa aku dibawah pohon.
Chapter 3: Sepatu Roda
Lagu = Moral of the story - Ashe

Satu satunya cita-cita anak kecil yang sedang bermain itu adalah punya sebuah
piano dia bercerita tentang dirinya yang tidak bisa bermain piano tapi dia sangat suka
melihat orang dengan lincahnya memainkan jari jemari di atas tuts piano. Aku
tersenyum simpul melihatnya yang bercerita penuh semangat, tetapi semangatnya itu
berubah menjadi wajah murung. Ia berkata tentang dirinya yang sudah tak terhitung
berapa kali coba mempelajari piano. Aku menatapnya lamat-lamat, memori kembali ke
masa itu. Aku kenal seorang perempuan kecil yang dulu dengan mata berbinar
memohon kepada kedua orang tuanya untuk minta dibelikan sepasang sepatu roda.
Padahal ia sudah ditawarkan untuk membeli buku karena kegemarannya membaca
buku. Ya sepatu roda. Karena warnanya yang menarik, cahaya di sekelilingnya. Terasa
menyenangkan membayangkan diri bisa dengan bebasnya kesana kemari dengan sepatu
roda. Membayangkan riuh angin membawa tubuh bergerak dengan penuh keriaan.
Sepatu roda yang ditunggu tunggu datang. Masalahnya, ini pertama kalinya ia bermain
sepatu roda. Jangankan bermain bahkan mencoba untuk berjalan dengan sepatu roda
saja belum pernah. Pertama, benar-benar pengalaman pertama. Tapi apa yang dipikirkan
perempuan kecil itu. Ini menantang katanya dengan nada berani penuh keyakinan. Ia
mantapkan tekadnya untuk bisa mahir melenggang dengan sepatu roda baru miliknya.
Hari pertama dimulai ia sengaja bangun di pagi hari agar punya lebih banyak waktu
untuk berlatih. Sepatu roda itu sudah menghiasi kedua kaki mungilnya, saat akan
beranjak dari posisi duduknya ternyata itu tak semudah yang ia bayangkan. Jangankan
dapat menari nari indah hanya untuk berdiri dan berjalan dengan normal saja sulit. Tapi
ia tak semudah itu menyerah, ia terus mencoba dan mencoba setiap hari ia berlatih.
Bahkan disaat hujan mengguyur dengan derasnya ia tetap berlatih walau hanya di dalam
rumah. Hari berganti, sepatu itu kini hanya jadi pajangan di rak paling bawah. Ibunya
menghampiri dan membelai rambut perempuan kecil itu, perlahan menatap mata gadis
itu. Ia tahu kekecewaan yang ia dapati. Kenapa tidak bermain sepatu roda lagi?
Tanyanya lembut. Lalu perempuan kecil itu menoleh ia mencoba menahan rasa sedih
yang memuncak di wajahnya. Tak papa katanya, salah memilih itu biasa kan bu?
Ujarnya pelan. Sang ibu terkejut tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Ia
mengernyitkan dahi tanda menanti dengan penuh rasa penasaran tentang apa yang
dimaksud si perempuan kecil. Iya aku salah. Aku salah waktu itu lebih memilih sepatu
roda ketimbang buku cerita. Hanya karena bentuknya menarik, semua orang
menyukainya dan terlihat menyenangkan untuk dipakai bukan berarti itu berlaku untuk
semua orang kan bu. Sang ibu hanya tersenyum sembari menyentuh lembut pipinya.
Berikan saja sepatu itu kepada anak yang diluar dia terlihat lebih mahir memainkannya
ujar perempuan kecil itu sambil menatap lamat-lamat seorang perempuan kecil lainnya
yang sedang memainkan sepatu roda. Jangan main main dengan rasa nyaman. Sejak
kapan yang terlihat bisa diartikan sama. Apa yang bagi orang lain nyaman belum tentu
nyaman yang sama kan bagi kita.
Chapter 4 : Buku yang Dibaca Ulang
Lagu = Sampai Nanti - Radhini

Ada pepatah jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah yang seperti apa
dulu. Ada buku yang selalu disimpan rapi di lemari kalau-kalau nanti dibutuhkan lagi.
Ada buku yang habis masanya jika tidak dibutuhkan lagi seperti buku pelajaran yang
kalau sudah naik kelas ditinggalkan di kotak disusun kadang rapi kadang juga tidak
yang penting lemari kembali terlihat rapi. Tapi kadang ada beberapa buku dicari-cari
lagi karena keadaan yang mendesak, butuh informasi di dalamnya. Tidak apa-apa
karena itu demi kepentingan akan sesuatu. Novel. Salah satu buku yang ditamatkan
untuk tahu cerita di akhir. Sudah tahu cerita dari suatu novel tapi kadang masih ada
yang dibaca ulang. Kenapa ya?. Padahal sudah tahu isi novelnya. Sudah tahu juga
endingnya. Banyak orang memang begitu, sama seperti perempuan yang berdiri dibalik
jendela menatap ke langit luar saat hujan turun perlahan di ranting pohon. Jatuh
membasahi rumput. Ia berdiri disana karena suka dengan bau hujan, suka dengan
suaranya, suka dengan suasananya. Mendengarkan bunyi hujan memang paling pas
sambil membaca buku. Pasti ada satu novel favorit yang dibaca berulang-ulang. Ragu
langkahnya mendekat ke lemari yang tersusun banyak buku dengan rapi. Kenapa ragu?
Novel itu terletak di paling akhir. Ragu bukan karena tak suka ceritanya tapi rasanya
sudah lama tidak membaca novel itu. Setiap dibuka dan dibaca ulang ada perasaan yang
sama yang timbul tapi sangat suka membaca ceritanya. Kenapa masih ragu? Karena
kalau sekali membaca ulang novel tersebut jari-jemari yang menyentuh lembut lembar
demi lembar membalik halaman novel berubah menjadi jari jari nakal. Gerakannya
terlalu lincah sampai sampai menimbulkan aktivitas baru. Awalnya hanya membaca isi
novelnya karena suka dengan ceritanya lalu kenapa akhirnya malah menulis dan
mengirim surat untuk si penulis novel. Kalau ditanya alasannya karena novel ini terlalu
seru untuk dinikmati sendiri, sulit untuk hanya merasakan kenikmatan membacanya
sendiri. Sudah diperingatkan di awal, sudah tahu yang akan terjadi selanjutnya, semua
rangkaian cerita di kepala sudah terjalin sebelum mengambil novel di lemari. Rangkaian
peristiwa mulai dari membaca novel menikmatinya sampai mengirim surat untuk si
penulis dan yang terjadi selanjutnya. Sudah tahu. Tapi begitulah perempuan itu tak ada
yang bisa memperingatkannya, bahkan tidak dirinya sendiri. Memang ada apa dengan
surat untuk penulis? Penulis itu bukan hanya menulis satu atau dua novel ada banyak
karya-karya lainnya yang ia ciptakan. Banyak tulisan-tulisan lain yang ia rangkai.
Ketika surat telah ditulis sedemikian rupa, kata disusun dengan begitu hati-hati hingga
akhirnya dikirim. Siapa yang tau jika penulis sedang sibuk menulis cerita baru. Hingga
saat surat itu sampai. Bagaimana mau berharap dibalas dibaca saja sudah syukur.
Kalaupun dibalas sudah tahu kan akhir suratnya dimana. Perempuan terlalu bergembira
karena surat yang dikirim tidak sia-sia tapi ia juga tahu pada saatnya nanti akan menjadi
pengirim terakhir dan surat tak pernah datang kembali.
Chapter 5 : Ekspektasi
Lagu = Dia tak cinta kamu – gloria jessica

Ekspektasi yang membuat amarah dibenarkan. Eskpektasi membuat sesuatu yang benar
jadi terasa salah. Ekspektasi yang membuat hati bekerja sendiri tak lagi bekerja sama
dengan logika, tak mau. Tak mau melihat realita yang ada, tak mau melihat sudut
pandang yang lain. Tidak ada istilah kalau kamu jadi dia, yang ada hanya kalau dia jadi
kamu. Rasa sakit menjalar-jalar seakan dunia runtuh seketika seperti terasa dihunus
pedang tajam seperti baju yang dikoyak tak bersisa seperti merasa paling menderita.
Menderita bukan pertandingan tidak ada penghargaan untuk yang merasa menjadi si
nomor 1. Ekspektasi yang memutarbalikkan akal sehat sehingga hanya dirasa-rasa tanpa
dipikir. Keputusan bodoh datangnya juga dari ekspektasi, merasa paling tahu apa yang
akan terjadi. Merasa paling pintar dalam mengambil langkah. Ketika jatuh hal pertama
yang disalahkan raga yang lain. Raga yang dititpi ekspektasi. Tidak. Dititipi mungkin
tidak terdengar tepat. Penitipan dibutuhkan persetujuan diantara keduanya, yang menitip
meminta izin yang dititpi mengizinkan dan mau membantu. Mungkin dibayangi
ekspektasi. Ada jarak antara ekspektasi dan raga yang disana, meski mungkin hanya
sejengkal tapi tidak menempel. Kalau diliat seakan-akan ekspektasi dan dirinya menjadi
satu padahal ekspektasi yang kau berikan layaknya tirai yang menjadi penutup
panggung. Tak bisa kau lihat ekspresi pemain pentas, tersenyum? Bersedih? Tertawa?
Melangkah maju? atau Memalingkan wajah ke belakang? Semuanya tertutup hingga
yang terlihat hanya warna dari tirai. Ya seperti itulah ekspektasi. Ketika kau tiupkan
setitik pengharapan kepada raga yang bernyawa semuanya tertutup tak bisa lihat apa
yang dirasakan tak bisa dengar apa yang ingin diucapkan. Hingga pada saatnya tirai
terbuka dan pemain pentas sudah tidak ada disana atau berpaling yang tersisa tinggal
amarah. Kenapa pentasnya berakhir? Aku belum sempat melihat. Padahal siapa yang
lebih dahulu menutup tirai, siapa yang tidak mencoba memeriksa apa yang terjadi
dibalik tirai, siapa yang tidak pernah menanyakan pada sang pemain kapan akan mulai
memainkan pentas. Siapa yang marah ketika jawaban tak seperti apa yang ada di kepala.
Iya memang itu permasalahannya. Ekspektasi mengaburkan kebenaran. Seperti sebuah
wawancara, narasumber berhak memberikan jawaban apapun dan pewawancara
seharusnya mendengarkan, mencatat dan menerima jawaban narasumber. Mau jawaban
itu terdengar baik ataupun terdengar salah. Tidak ada istilah menjawab dengan jawaban
A maka kamu orang paling baik sedunia dan menjawab dengan jawaban B maka kamu
orang paling jahat sedunia. Setiap orang berhak menentukan jawabannya sendiri.
Eskpektasi yang membuat realita seolah patah hati paling sakit yang pernah ada di
bumi.
Chapter 6 : Nilai 100
Lagu = Nadin - Sorai

Langkah demi langkah terdengar suara sepatu beriringan. Jam tangan yang tersemat
menunjukkan pukul 22.00. Suara pintu yang dibuka memecah keheningan di lorong
gelap Tas hitam dan setelan blazer senada menambah keanggunan. Satu pesan singkat
masuk di ponsel yang baru menyala. Baru pulang? tanya seseorang dibalik pesan iya
hanya jawaban singkat yang dibalaskan. Sebenarnya apa yang dikejar? Pesan
selanjutnya tampil dilayar. Tak dihiraukan. Duduk ia di tempat favoritnya. Jendela besar
menampakkan hiruk pikuk jalan diluar bertemankan indahnya lampu jalanan. Malam itu
berbeda, ada bintang bintang indah yang tak pernah terlihat sebelumnya. Ia tatap lekat
menikmati sinarnya yang seakan tak mau sombong tentang menjadi yang paling indah.
Apa yang membahagaikan menurutmu? Pertanyaan itu pernah mampir di benak yang
penat. Hal yang paling membahagaikan adalah ketika berhasil mendapatkan yang paling
diinginkan. Seperti berhasil membeli tas baru yang sudah lama diidam idamkan, warna
yang sangat disuka, coraknya yang sepadan membuat mata dimanjakan, bentuk yang
terstruktur memberikan kesan mahal dan mewah. Tapi sesuatu yang paling diinginkan
tak datang begitu saja. Kerja keras sama seperti yang terjadi sekarang. Harus bekerja
keras hingga pulang lewat dari waktu yang ditentukan. Memang apa yang salah dengan
kerja keras pikirnya. Apa yang paling dicari dan dikejar waktu dulu masih sekolah?
Pasti nilai 100. Nilai yang terbaik. Semuanya dilakukan apapun itu, yang terpenting
hasil akhirnya baik. Ada yang mencoba cara 1 dan berhasil. Di lain kesempatan ada
yang ikut mencoba cara 1 dan tidak berhasil. Ketika cara 1 tak lagi jadi jaminan
keberhasilan. Muncul cara 2, 3, dan seterusnya. Tak jarang dihadapkan dengan soal soal
sulit yang jangankan mencoba dikerjakan dipahami saja sudah menguras tenaga. Lalu
apa bedanya sekarang dengan dulu pikirnya. Kalau dia berpikir begitu berarti dia baru
saja menyimpulkan satu hal berusaha mendapatkan yang paling diinginkan sama halnya
dengan mengejar kesempurnaan bukan? Karena segala sesuatu yang paling diinginkan
haruslah sesuatu yang sempurna. Yang pas. Yang dipandang indah. Yang diamati
menyenangkan. Yang diyakini terbaik karena kesesuaiannya. Yang digapai? Sulit.
Mengejar kesempurnaan tak selalu berakhir baik. Jika ada pilihan mengejar
kesempurnaan dengan segala daya upaya hingga lelah sendiri dan berusaha
“sewajarnya” tetapi hasilnya meninggalkan sunggingan senyuman. Mana yang akan
dipilih? Dibawah bintang bintang yang menyapa hangat jawablah dengan hati yang
terdalam. Apakah kesempurnaan definisi bahagia?

Chapter 7: Pengemudi Mobil


Lagu = Feby Putri – Halu

Tentang yang tak pernah datang. Tentang harap yang tak perlu ada. Nyaman selalu
dipakai jadi alasan atas tak berjalannya logika. Tentang perjalanan yang seharusnya tak
usah diikuti. Berdiri ia dipinggir jalan, mobilnya rusak tak tahu juga apa penyebabnya.
Mobil itu sudah tua, butuh waktu 1 jam untuk menjelaskan semua kemungkinan
rusaknya. Bahkan ia sudah hafal pada menit keberapa mobil ini akan mati. Panasnya
terik matahari seakan siap membakar tubuhnya, mengipakkan kedua tangannya
mencoba mendorong angin mendekat ke wajahnya. Kenapa tak ada mobil yang lewat
pikirnya. Ia sudah kelelahan menunggu disini. Tak lama ia tertawa getir. Bodoh
jawabnya sendiri. Sudah tahu jalanan ini jauh dari keramaian. Tempat antah berantah
yang tentu saja jarang disinggahi kendaraan. Mencari pertolongan rasanya tak ada guna
untuk sekedar menelpon saja sinyal entah dimana. Menunggu. Satu-satunya pilihan
yang bisa dilakukan. Tak disangka sebuah mobil lewat, mobil sedan hitam mewah
melintas lalu perlahan menghentikan lajunya. Mau kemana? Tanyanya seraya membuka
kaca gelap membuat siapapun yang melihat tak bisa mengintip ke dalam mobil. Ia
sebutkan tujuan yang hendak dicapai. Pengemudi mobil itu tersenyum seraya
menawarkan untuk pergi bersama. Tujuannya sama kebetulan katanya. Entah ia orang
yang baik atau mungkin pembunuh berdarah dingin seperti yang ada di film film thriller
yang suka ia tonton. Tetapi siapa yang peduli jika ia pembunuh berdarah dingin, mati
terpanggang dan dehidrasi karena tak kunjung mendapatkan bantuan tidak jauh lebih
baik. Ia naik dan mengedarkan pandangan ke setiap sudut mobil. Semuanya tampak
bersih, aman dan nyaman. Hanya ada satu yang aneh menurutnya. Kenapa ada pita
rambut milik wanita dibawah jok belakang padahal ia pria. Ah sudahlah siapa yang
peduli. Menyelamatkan diri lebih penting ketimbang memikirkan pita rambut yang
tergeletak entah punya siapa. Menit demi menit dilalui, sudah berapa jam ia di
perjalanan ini. Curiga mulai berkecamuk, bertengkar hebat dengan logika yang coba
membenarkan. Kenapa malah ke tempat ini? Ini bukan tujuan yang dimaksud. Ya sudah
percaya sajalah daripada diturunkan di tengah jalan dan berakhir di tempat antah
berantah lagi. Bermain di pantai tak seburuk yang dibayangkan. Gerakan ombak yang
terpecah ketika menyentuh kedua kaki. Bermain pasir sampai mengotori pakaian yang
dikenakan. Hingga terduduk diam saja menikmati matahari yang siap terbenam di
peraduan. Tunggu? Apakah ini berarti sebentar lagi hari sudah malam. Astaga kenapa
aku tak protes dari tadi. Bagaimana mau protes kalau dinginnya air laut diredakan
dengan hangatnya senyuman. Kalau teriknya matahari yang membuat bukan hanya
tubuh kepanasan tapi juga kepala terasa terbakar, bisa dilupakan dengan tawa yang
terdengar bergantian. Lelucon lelucon konyol tak penting tapi membuat lupa akan
kesalnya dengan situasi beberapa jam yang lalu. Ayo pergi ujar pengemudi lalu
perjalanan di dalam mobil berlanjut. Tapi perjalanan di mobil yang panjang dan
membosankan pun tak pernah terasa secepat ini. Karena musik yang ia putar, lagu yang
dilantunkan bersama. Bahkan disaat wajahnya terlihat lelahpun senyumnya masih
menjadi adiksi terbaik. Dering suara ponsel membangunkanku dan seseorang bicara dari
kejauhan. Kami sudah mendekati kota sebentar lagi sampai pikirku. Dengan wajah ragu
ia berkata kalau kita mampir dulu boleh? Kemana tanyaku. Mengembalikan pita ini,
milik seseorang yang seharusnya tak pernah ku lewatkan. Turun di depan saja itu ada
penginapan. Tak usah mencegah memang ini yang ku ingingkan. Tak sopan rasanya tak
mengucapkan terima kasih. Terima kasih sudah membantu. Terima kasih ku ucapkan
untuk 10 jam waktu yang dihabiskan tanpa sedetikpun tak menyenangkan. Walau di
menit ke satu setelah 10 jam itu ada perasaan paling luar biasa yang pernah ku rasakan.
Terima kasih terakhir ku ucapkan untuk kamu yang sudah membuang waktuku.
Epilog : Sendiri
Lagu = Sendiri by Chrisye

Berada di tempat yang sama berulang kali. Melewati jalan yang sama entah berapa kali.
Banyak yang suka bertanya kenapa diulangi lagi. Peristiwa yang sama dengan akhir
yang sama. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu time series untuk meramalkan apa yang
akan terjadi. Tidak perlu menghitung peluang untuk menentukan kemungkinan terbaik
dan terburuk. Berapa kejadian lagi yang harus dilalui untuk tahu apa arti dari semua ini.
Berapa percobaan lagi untuk tahu bahawa sakit itu tidak enak dan minum obat itu pahit.
Dan banyak komentar lainnya. Sekarang biarkan aku yang bertanya. Jika kamu ada di
stasiun kereta api dan menunggu sebuah kereta datang tapi kamu tak tahu jadwal kereta
itu. Kamu terus menunggu, menunggu, dan menunggu. Mau bertanya pada penjaga
loket tetapi satu contoh nyata baru saja disaksikan. Seorang penumpang disemprot
habis-habisan karena menanyakan soal jadwal kereta sedang si penjaga loket sedang
sibuk dengan urusan yang lain. Tapi lalu harus apa? Masih menunngu? Atau pilih
meninggalkan stasiun saat itu juga. Tetap menunggu dan pergi ke tempat tujuan atau
urungkan niat dan putar jalan? Kalau ditanya tentang kenapa masih bertahan. Hanya ada
dua. Takut dan tidak takut. Takut akan kebingungan harus melanjutkan atau berhenti,
tapi tidak takut yang membuat memilih melanjutkan. Takut akan kesedihan, tapi tidak
takut karena rasa yang mungkin telah mati. Lalu itu semua membenarkan kesalahan?
Tidak. Memang salah. Tapi hanya ingin menyampaikan alasan tak diterima pun tak apa.
Kesepian yang membentuk rasa takut dan terjatuh yang bergantian membentuk diri tak
takut akan apapun kecuali kesendirian.

Anda mungkin juga menyukai