Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/337825111

Penyakit Mitokondria: Review

Article · December 2019

CITATIONS READS

0 4,587

1 author:

Rima Rima
Universitas Padjadjaran
3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Rima Rima on 08 December 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Rima 2019

Penyakit Mitokondria: Review


Rima

Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran

rima16001@mail.unpad.ac.id

Abstrak

Mitokondria merupakan organel sel yang bertanggungjawab atas


sebagian besar produksi energi seluler. Terdapat banyak protein
struktural dan fungsional yang membentuk mitokondria. Protein-protein
tersebut dikodekan oleh gen nDNA maupun mtDNA. Gangguan fungsi
mitokondria dapat terjadi dan diturunkan jika ada gen nDNA dan
mtDNA yang membawa mutasi. Penurunan fungsi mitokondria akibat
akumulasi radikal bebas di dalam organel mitokondria dapat
mempercepat kematian sel yang akhirnya menyebabkan peyakit
mitokondria. Penyakit mitokondria diklasifikasikan ke dalam beberapa
penyebab yaitu mutasi titik mtDNA, delesi tunggal mtDNA, perubahan
translasi myDNA, perubahan komosisi fosfolipid membrane
mitokondria, perubahan dinamika dan kurangnya pemeliharaan terhadap
mtDNA. Beberapa penyakit yang umum terjadi akibat mutasi mtDNA
yaitu MELAS, MIDD, LHON. Miopati, diabetes hingga katarak.

PENDAHULUAN
Mitokondria adalah organel kompleks yang bertanggungjawab atas
sebagian besar produksi energi seluler. Proses terakhir dalam metabolisme energi
melibatkan fosforilasi adenosin difosfat (adenosine diphosphate, ADP) menjadi
adenosin trifosfat (adenosine triphosphate, ATP). ATP dapat dianggap sebagai
mata uang energi bagi hampir semua fungsi seluler, di mana hidrolisis ATP
melepaskan energi bersama dengan ADP dan Pi, yang nanti dikembalikan lagi ke
mitokondria untuk difosforilasi kembali menjadi ATP (Saneto et al., 2016).

Mitokondria memiliki matriks serta dua membran seperti pada Gram


negatif yaitu membran luar dan membran dalam. Membran luar mitokondria

1
Rima 2019

permeabel terhadap molekul kecil (Mr, 5000) dan ion, yang mana dapat bergerak
bebas melalui saluran transmembran yang dibentuk oleh protein membran integral
yang disebut porins. Membran dalam mitokondria tidak permeabel terhadap
sebagian besar molekul-molekul kecil dan ion, termasuk proton (H+), satu-satunya
yang dapat melintasi membran ini yaitu spesi yang dapat diangkut oleh suatu
transporter khusus. Membran dalam mitokondria mengandung komponen-
komponen rantai respirasi dan ATP sintase. Matriks mitokondria ditutupi oleh
membran dalam, mengandung kompleks piruvat dehidrogenase dan enzim-enzim
dari siklus asam sitrat, jalur oksidasi asam lemak, dan jalur oksidasi asam amino-
semua jalur oksidasi bahan bakar kecuali glikolisis (Nelson & Cox, 2013).

Terdapat lebih dari 1500 protein struktural dan fungsional yang


membentuk mitokondria, dikodekan oleh gen di dalam asam deoksiribonukleat
inti utama (nuclear deoxyribonucleic acid, nDNA) juga di dalam DNA
mitokondria (mitochondrial DNA, mtDNA). DNA mitokondria merupakan
molekul DNA sirkular 16,5 kb yang mengadung 37 gen yang mengode 13 protein
mitokondria dan 24 asam ribonukelat (ribonucleic acid, RNA) (Davison et al.,
2019).

Gangguan fungsi mitokondria dapat terjadi dan diturunkan jika ada gen
nDNA dan mtDNA yang membawa mutasi. Cacat gen nDNA diwarisi secara
Mendel dengan pola dominan dan resesif, serta autosomal dan terkait X. Mutasi
mtDNA hanya diturunkan secara maternal (dari ibu) karena mitokondria hanya
diturunkan dari sel telur bukan dari sperma (Davison et al., 2019). Gangguan
mitokondria dikenal pada beberapa penyakit metabolik dan degenratif, penuaan
dan kanker. Penurunan fungsi mitokondria mungkin disebabkan oleh penurunan
fungsi enzim kompleks respirasi yang menghambat rantai fosforilasi oksidatif
(oxidative phosphorylation, OXPHOS) untuk sintesis ATP (Maksum et al., 2015).

SEJARAH PENYAKIT MITOKONDRIA


Pada era pramolekular, penyakit mitokondria pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1962, ketika sekelompok peneliti Universitas Karolinska di
Stockholm, termasuk ahli endokrinologi Rolf Luth, ahli biokimia Lars Ernster,
dan seorang morfolog Björn Afzelius, menjelaskan bahwa ditemukan seorang

2
Rima 2019

wanita muda asal Swedia dengan kondisi hipermetabolisme berat bukan karena
disfungsi tiroid. Hal tersebut diselidiki berdasarkan tiga set data: bukti morfologis
mitokondria abnormal pada otot, dokumentasi biokimia “loose coupling” dari
oksidasi dan fosforilasi dalam mitokondria otot yang diisolasi serta korelasi yang
sangat baik antara klainan biokimia “loose coupling” dengan fitur klinis
(metabolisme otot yang tidak terkendali (DiMauro, 2011).

Pada era molekuler awal (tahun 1988), perbedaan besar ditemukan dalam
sejarah penyakit mitokondria. Para ilmuwan klinis hanya memberikan perhatian
yang sedikit terhadap mutasi tersebut, hingga pada akhirnya Anita Harding dan
rekan kerjanya mengidentifikasi adanya delesi tunggal di mtDNA dalam skala
besar pada pasien dengan miopati mitokondria. Segera setelah itu, Doug Wallace
dan rekan kerjanya melaporkan adanya titik mutasi pada gen yang mengode
subunit 4 kompleks I (ND4) pada keluarga Leber dengan fenotip hereditary optic
neuropathy (LHON). Setelah itu, mutasi-mutasi lainnya ditemukan dan
menunjukkan fenotip-fenotip yang berbeda (DiMauro, 2011).

PENYEBAB PENYAKIT MITOKONDRIA


Penyakit mitokondria dapat disebebakan oleh kerusakan genetik maupun
zat-zat berbahaya dari lingkungan. Keduanya dapat meningkatkan jumlah radikal
bebas. Radikal bebas ini dapat menyebabkan kerusakan protein (disfungsi
proteosomal) yang berakibat pada penurunan fungsi mitokondria. Disfungsi
mitokondria dapat mempercepat kematian sel, yang akhirnya menyebabkan
penyakit mitokondria (Gambar 1) (Schapira, 2006).

3
Rima 2019

Disfungsi mitokondria

Pengaruh Kerusakan
Peningkatan radikal bebas
lingkungan genetik
Kerusakan
protein
Disfungsi proteosomal
agregat

Kerusakan/kematian sel

Penyakit mitokondria

Gambar 1 Hubungan potensial antara faktor lingkungan dengan faktor genetik


dalam penyakit mitokondria (Schapira, 2006)

KLASIFIKASI PENYAKIT MITOKONDRIA


Pada tahun 1988, mutasi primer genom mitokondria sangat berkaitan
dengan kerusakan rantai respirasi karena jalur metaboliknya diperngaruhi oleh
genetik ganda, yaitu dari genom nuklir dan genom mitokondria. Baru-baru ini,
istilah “penyakit mitokondria” semakin terbatas pada kerusakan satu jalur
metabolisme, rantai respirasi diikuti dengan pengelompokkan menjadi kerusakan
DNA nuklir dan kerusakan DNA mitokondria (De Vivo & DiMauro, 2017).

Kerusakan biokimia yang melibatkan rantai respirasi dapat diwariskan


baik melalui pola Mendel atau non-Mendel. Pewarisan maternal yang ketat juga
menentukan pola pewarisan vertikal mutasi mtDNA (De Vivo & DiMauro, 2017).

Pertama, mutasi titik mtDNA. Kondisi klinis yang berhubungan dengan


mutasi titik mtDNA diwariskan dari ibu ke semua keterunanannya baik laki-laki
ataupun perempuan. Hanya anak-anak perempuan yang akan lolos dari kondisi
tersebut untuk generasi berikutnya. Profil genetik ini mengingatkan pada
pewarisan Mendel, termasuk pola autosom dominan dan pola X-linked. Tetapi,
kedua jenis kelamin sama-sama terpengaruh dan tidak ada pewarisan dari ayah ke

4
Rima 2019

anak. Ekspresi cacat genetik yang diwariskan secara maternal ditentukan oleh
segregasi replikasi dan efek ambang batas (the threshold effect). Prinsip-prinsip
biologis ini ditunjukkan dalam beberapa penyakit neurologis yang terkait dengan
mutasi mtDNA, termasuk Leber Hereditary Optic Neuropathy (LHON),
Myoclonic Epilepsy with Ragged-Red Fibres (MERRF), Mitochondrial
Encephalopathy, Lactic Acidosis, and Stroke-like Episodes (MELAS), dan The
Syndrome of Neuropathy, Ataxia, Retinitis Pigmentosa/Maternally Inherited
Leigh syndrome (NARP/MILS) (De Vivo & DiMauro, 2017).

Kedua, delesi tunggal mtDNA yang umumnya terjadi secara sporadik,


seperti pada Kearns-Sayre Syndrome (KSS), Progressive External
Ophthalmoplegia (PEO) dan Pearson Syndrome (PS). Ketiga, perubahan translasi
mtDNA menyebabkan disfungsi rantai respirasi. Keempat, perubahan komposisi
fosofolipid dari membran mitokondria bagian dalam. Kelima, perubahan dinamika
seperti berubahnya motilitas, fusi dan fisi mitokondria. Keenam, kurangnya
pemeliharaan terhadap mtDNA atau terganggunya pensinyalan intergenomik (De
Vivo & DiMauro, 2017).

Sebagian besar subunit kompleks rantai respirasi dikodekan oleh gen


nDNA secara langsung (“direct hits”) atau disusun oleh protein nuklir (“indirect
hits”). Cacat gen nuklir dalam kasus-kasus ini tampaknya mengubah integritas
biologis dari genom mitokondria dan menyebabkan seseorang rentan terhadap
delesi mtDNA yang menjadi ciri sindrom klinis ini. Gangguan pensinyalan
intergenomik disebabkan karena cacat kuantitatif mtDNA (deplesi mtDNA).
Sindrom yang disebabkan oleh deplesi mtDNA dapat mempengaruhi sebagian
besar jaringan (miopati infantil atau hepatopati) atau beberapa jaringan (hepato-
cerebral syndrome) dan disebabkan oleh mutasi gen nuklir yang mengganggu
replikasi mtDNA (De Vivo & DiMauro, 2017).

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MITOKONDRIA


Prevalensi keseluruhan penyakit mitokondria sebanding dengan penyakit
neurogenetik lainnya seperti Charcot Marie Tooth (CMT), dystrophy myotonic
dan muscular dystrophy. Prevalensi penyakit mitokondria orang dewasa, baik
pasien yang terpapar atau beresiko dilaporkan sekitar 1 dari 4300 di Inggris Timur

5
Rima 2019

Laut. Mutasi primer pada mtDNA lebih umum pada pasien dewasa dibandingkan
dengan mutasi pada gen nuklir, dan sebaliknya pada populasi pediatrik di mana
terdapat insiden penyakit resesif autosomal yang jauh lebih tinggi terutama pada
keluarga yang berisiko (Ng & Turnbull, 2016).

Meskipun ratusan mutasi telah dilaporkan dalam mtDNA sejak tahun


1988, beberapa mutasi jauh lebih umum daripada yang lain, misalnya m.
1555A>G (terkait dengan aminoglikosida yang diinduksi ketulian), m. 3243A>G
(terkait dngan sindrom MELAS dan MIDD), m.3460G>A dan m.11778A>G
(terkait dengan LHON), memiliki perkiraan prevalensi masing-masing 0,19; 0,14;
0,11; dan 0,11%, dalam populasi. Namun, individu mutasi umum ini dapat teteap
tidak menunjukkan gejala klinis sepanjang hidup mereka tidak terpapar racun
yang relevan atau juka mereka memiliki beban mutasi yang rendah (Ng &
Turnbull, 2016).

MELAS
Sindrom MELAS adalah penyakit multi-sistem yang parah, ditandai
dengan stroke metabolik berulang dengan onset khas di bawa usia 40 tahun (Ng &
Turnbull, 2016). Sindrom ini umumnya disebabkan oleh m.3243A>G di gen MT-
TL1 pengode tRNA mitokondria (Leu(UUR). Konsekuensi langsung dari mutasi
m.3243A>G pada gen MT-TL1 adalah defisiensi kompleks I (CI) yang
menghasilkan akumulasih NADH, substrat utama CI, yang kemudian
mempercepat laju glikolisis untuk menutupi kekurangan produksi ATP. Pada
akhirnya laktat sebagai produk akhir glikolisis terakumulasi dan mengarah ke
asidosis laktat yang teridentifikasi pada pasien MELAS (Pek et al., 2019).

MIDD
Maternally inherited diabetes and deafness (MIDD) ditandai dengan
gangguan sensorineural dan perkembangan dibetes pada individu di masa dewasa.
MIDD termasuk diabetes melitus yang tergantung pada insulin (insulin dependent
diabetes mellitus, IDDM) dan dibetes yang tidak bergantung pada insulin ( non-
insulin dependent diabetes mellitus, NIDDM), yang berhubungan dengan dibetes
melitus tipe 1 dan tipe 2 secara masing-masing. Kadang-kadang MIDD disertai
dengan gejala lain sitopati mitokondria: kardiomiopati, miopati, retinitis

6
Rima 2019

pigemntosa, ptosis, kelainan tubulus ginjal, dan gejala psikoneurologis. Sitopati


mitokondria MIDD dapat disebabkan oleh mutasi titik pada mtDNA di
m.3243A>G atau m.3421A>G ataupun delesi dalam jumlah besar, misalnya delesi
nukleotida pada 4.308-14.874 atau 4.398-14.882 (Ryzhkova et al., 2018).

LHON
LHON merupakan kelainan yang menyebabkan penurunan pengelihatan
yang subakut. Klainan ini berkembang tanpa rasa sakit pada orang dewasa muda
yang didominasi oleh laki-laki (4:1). Sebagian besar dari kasus ini memiliki mata
kontralateral dalam setahun dan kehilangan pengelihatan yag tidak dapat
dipulihkan. Meskipun ada kepercayaan konvensional bahwa mutasi LHON hanya
mempengaruhi mata, fitur neurologis lainnya seperti dystonia, mioklonus, tuli
sensorineural dapat terjadi yang mana akan memperluas spectrum fenotip klinis
dalam mutasi ini (Ng & Turnbull, 2016).

MIOPATI
Banyak pasien dewasa mengalami kelelahan, intoleransi olahraga dan
kelemahan otot. Tingkat miopati proksimal seringkali ringan pada uji klinis dan
berkembang secara prlahan. Hilangnya ambulansi dini karena kelemahan otot
bukanlah ciri khas penyakit mitokondria dewasa, dengan beberapa pengecualian
seperti pasien dengan sindrom Kearns-Sayre yang disebabkan oleh delesi tunggak
pada mutasi mtDNA dan mutasi TK2 (Ng & Turnbull, 2016).

DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN KATARAK


Diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) dan katarak merupakan beberapa
tampak klinis terkait dengan penyakit mitokondria, mutasi yang paling umum
Leu(UUR)
adalah m.3243 A>G dalam gen tRNA pada mtDNA. Mutasi tersebut
ditemukan pada 20 dari 57 pasien, yaitu 11 dari 19 katarak, 5 dari 16 pasien DM
tipe 2 dan 4 dari 22 pasien katarak murni. Mutasi 3243A>G memiliki hubungan
terkait dengan DM tipe 2 dan katarak dengan nilai p<0,001 (Maksum et al.,
2013).

7
Rima 2019

KESIMPULAN
Cacat pada gen mtDNA dapat menyebabkan penurunan fungsi
mitokondria yang pada akhirnya mengakibatkan penyakit mitokondria. Tampak
dari penyakit mitokondria ini dapat menyebabkan berkurangnya pengelihatan
hingga ketulian.

DAFTAR PUSTAKA
Davison, J., Lemonde, H., & Rahman, S. (2019) Inherited mitochondrial disease.
Paediatrics and Child Health. 29(3), 116–122.
DiMauro, S. (2011) A history of mitochondrial diseases. Journal of Inherited
Metabolic Disease. 34(2), 261–276.
Maksum, I., Alchumaira, S.F., Kamara, D.S., Rachman, S.D., & Komalaningsih,
S. (2015) The Relation of mitochondrial DNA mutation with mitochondrial
diseaseas in coding region. Procedia Chemistry. 17, 84–92.
Maksum, I., Natradisastra, G., Nuswantara, S., & Ngili, Y. (2013) The effect of
A3243G mutation of mitochondrial DNA to the clinical features of type-2
diabetes mellitus and cataract. European Journal of Scientific Research. 96.
Nelson, D.L. & Cox, M.M. (2013) Principles of Biochemistry. 6th ed. New York:
W. H. Freeman and Company.
Ng, Y.S. & Turnbull, D.M. (2016) Mitochondrial disease: genetics and
management. Journal of Neurology. 263(1), 179–191.
Pek, N.M.Q., Phua, Q.H., Ho, B.X., Pang, J.K.S., Hor, J.H., An, O., Yang, H.H.,
Yu, Y., Fan, Y., Ng, S.Y., & Soh, B.S. (2019) Mitochondrial 3243A > G
mutation confers pro-atherogenic and pro-inflammatory properties in
MELAS iPS derived endothelial cells. Cell Death and Disease. 10(11).
Ryzhkova, A.I., Sazonova, M.A., Sinyov, V. V., Galitsyna, E. V., Chicheva,
M.M., Melnichenko, A.A., Grechko, A. V., Postnov, A.Y., Orekhov, A.N., &
Shkurat, T.P. (2018) Mitochondrial diseases caused by mtDNA mutations: A
mini-review. Therapeutics and Clinical Risk Management. 14, 1933–1942.
Saneto, R.P., Parikh, S., & Cohen, B.H. (2016) Mitochondrial Case Studies:
Underlying Mechanisms and Diagnosis. 1st ed. USA: Academic Press.
Schapira, A.H. V. (2006) Mitochondrial disease. The Lancet. 368(9529), 70–82.
De Vivo, D.C. & DiMauro, S. (2017) Mitochondrial Diseases. In K. F. Swaiman,
S. Ashwal, D. M. Ferriero, N. F. Schor, R. S. Finkel, A. L. Gropman, P. L.
Pearl, & M. I. B. T.-S. P. N. (Sixth E. Shevell, eds. Swaiman’s Pediatric
Neurology. Elsevier, pp. 334–346.

8
Rima 2019

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai