Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial yang berarti tanpa bantuan orang lain
manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia tidak dapat hidup dan berkembang dengan baik.
Dengan arti bahwa, manusia memerlukan hubungan dengan sesama untuk memenuhi
kebutuhan hidup dengan baik.
Agama dalam beberapa pikiran yang berkembang di Barat sering dilihat dari segi
fenomena yang ditampilkan oleh para pelaku atau penganut agama. Hal ini sesuai dengan
metode yang mereka kembangkan yang lebih cenderung memandang realitas sebagai sesuatu
yang tampak, jadi agama pun dilihat sebagai apa yang tampak dalam tingkah laku penganut
agama (Fadloli, 2018: 1).
Pendekatan terhadap agama yang dilakukan oleh para ahli psikologi melihat hubungan
atau dorongan-dorongan antara apa yang ada didalam diri individu dengan lingkungan di luar
dirinya. Para ahli tersebut seperti Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Emile Durkheim,
Charles Darwin, dan Auguste Comte (Fadloli, 2018: 1).
Karena pencarian makna agama yang mencakup pengertian yang dapat diterima oleh
semua agama adalah suatu hal yang mustahil, maka pengertian agama dalam bagian ini
dirujukkan kedalam pengertian agama dalam pandangan agama Islam. Yaitu ketentuan
ketuhanan yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan
akhirat dengan berpegang teguh kepada-Nya (Fadloli, 2018:4).
Agama bagi manusia sebagaimana aspek kebutuhan lainnya memiliki peran dan fungsi
tertentu dalam memenuhi hajat hidup. Ada dua macam fungsi agama, yakni fungsi maknawi
dan fungsi identitas. Max Weber memandang fungsi maknawi sebagai dasar bagi semua
agama. Agama menyajikan wawasan dunia atau cosmos; karenanya segala ketidakadilan,
penderitaan dan kematian dapat dipandang sebagai sesuatu yang penuh makna. Termasuk
kedalam makna ini antara lain konsep, ide, tuntutan dan kewajiban. Filsafat juga menyajikan
wawasan kosmik, tetapi tidak tertuju pada emosi manusia secara mendalam, karena itu kurang
mendorong manusia untuk menyadari bahwa mereka dikuasai sistem kepercayaan, tetapi
agama melalui konsep ritual menjalin dimensi afektif dan kognitif (Fadloli, 2018: 4).
Agama dilihat dari asal tumbuhnya menurut pandangan masyarakat umum yang
banyak dipengaruhi oleh pemikiran barat mencakup berbagai kepercayaan yang lahir melalui
ide, pikiran atau gagasan manusia dalam bentuk budaya dan agama yang lahir dari wahyu.
Para pemikir barat seringkali menyamakan begitu saja agama yang lahir dari budaya dan
agama wahyu. Padahal kedua hal tersebut mengandung perbedaan yang sangat esensial dan
sekaligus pula mengandung implikasi yang sangat berbeda (Fadloli, 2018: 5).
Dalam Al-Qur’an, agama disebut millah, misalnya millatu ibrahim yang artinya
agama (yang dibawa) Ibrahim (an-Nahl:123). Selain itu dalam Al-Qur’an agama disebut juga
din atau ad-din. Misalnya lakum dinukum waliyadin yang artinya bagimu din (agama)mu, dan
bagiku din (agama)ku (al-Kafirun:6). Selain berarti agama, kata din juga berarti pembalasan
di hari kiamat, adat kebiasaan, undang-undang, peraturan, dan ketaatan. Agama adalah suatu
sistem nilai yang diakui dan diyakini kebenarannya dan merupakan jalan ke arah keselamatan
hidup (Fadloli, 2018:5).

1.2 Tujuan

1. Memberi wawasan kepada pembaca dalam memahami makna agama.

2. Menambah pengetahuan umat muslim mengenai makna tentang agama.

3. Mengetahui asal-usul agama.

4. Mengetahui pentingnya agama bagi manusia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Agama

Agama bagi manusia merupakan kebutuhan alamiah (fitrah) manusia. Berbagai


pendapat mengenai kefitrian agama ini dapat dikaji pada beberapa pemikiran. Misalnya
Einstein menyatakan bahwa sifat sosial manusia merupakan salah satu faktor pendorong
terwujudnya agama. Manusia menyaksikan maut merenggut ayahnya, ibunya, kerabatnya
serta para pemimpin besar. Direnggutnya mereka satu persatu, sehingga manusia merasa
kesepian di kala dunia telah kosong. Jadi harapan akan adanya sesuatu yang dapat memberi
petunjuk dan pengarahan, harapan menjadi pecinta dan dicintai, keinginan bersandar pada
orang lain dan terlepas dari perasaan putus asa; semua itu membentuk dalam diri sendiri dasar
kejiwaan untuk menerima keimanan pada tuhan. William James seorang filosof Jerman
menyatakan bahwa, kendati pun benar pernyataan bahwa hal-hal fisik dan material
merupakan sumber tumbuhnya berbagai keiginan batin, namun banyak pula keinginan yang
tumbuh dari alam dibalik alam material ini. Buktinya, banyak perbuatan manusia tidak
bersesuaian dengan perhitungan-perhitungan material. Pada setiap keadaan dan perbuatan
keagamaan, kita selalu dapat melihat berbagai bentuk sifat seperti ketulusan, keikhlasan, dan
kerinduan, keramahan, kecintaan, dan pengorbanan. Gejala-gejala kejiwaan yang bersifat
keagamaan memiliki berbagai kepribadian dan karakteristik yang tidak selaras dengan semua
gejala umum kejiwaan manusia (Fadloli, 2018: 8).

Dari beberapa pendapat itu dapat dipahami bahwa manusia terutama orang dewasa
memiliki perasaan dan keinginan untuk melepaskan diri dari wujud terbatas mereka dan
mencapai inti wujud. Manusia tidak mungkin dapat melepaskan keterbatasan dan ikatan
tersebut kecuali berhubungan sumber wujud. Melepaskan diri untuk mencapai sumber wujud
ini adalah ketenangan dan ketentraman, seperti diungkapkan dalam firman Allah SWT:

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Al-Ra’d: 28).

3
Bahkan bentuk kebahagian abadi yang merupakan arah yang hendak dicapai manusia
dalam kehidupannya adalah perwujudan ketentraman dalam dirinya seperti difirmankan Allah
SWT:

“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhan mu dengan ridla dan ridlai. Masuklah
ke dalam jamaah hamba-hamba ku,dan masuklah kedalam surgaku.” (Al-Fajr: 27-30).

Agama sebagai fitrah manusia melahirkan keyakinan bahwa agama adalah satu-
satunya cara pemenuhan semua kebutuhan manusia. Posisi ini semakin tampak dan tidak
mungkin dapat digantikan dengan yang lain. Semula orang mengira bahwa dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kebutuhan terhadap agama akan semakin mengecil, bahkan hilang
sama sekali, tetapi kenyataan sekarang ini menampakan dengan jelas bahwa semakin maju
ilmu pengetahuan dan teknologi dicapai manusia, kebutuhan akan agama semakin mendesak
berkenaan dengan kebahagian sebagai sesuatu yang abstrak yang ingin digapai manusia. Ilmu
dan teknologi serta kemajuan peradaban manusia melahirkan jiwa yang kering dan haus akan
sesuatu yang bersifat rohaniah. Kekecewaan dan kegelisahan batin senantiasa menyertai
perkembangan kesejahteraan manusia. Satu-satunya cara untuk memenuhi perasaan-perasaan
dan keinginan-keinginan itu dalam bentuknya yang sempurna dan memuaskan adalah
perasaan dan keyakinan agama. Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Tidak
saja di masa primitif, tetapi juga di zaman modern (Fadloli, 2018: 9).

4
Agama sangat penting dalam kehidupan manusia antara lain karena agama merupakan:

1. Agama Sumber Moral

Manusia sangat memerlukan akhlak atau moral, karena moral begitu penting dalam
kehidupan. Tanpa moral, kehidupan akan kacau, tidak saja kehidupan perseorangan tetapi
juga kehidupan masyarakat dan negara. Hal tersebut karena orang sudah tidak peduli lagi
tentang baik buruk atau halal haram. Apabila halal haram tidak lagi dihiraukan atau
disebut dengan Machiavellisme. Machiavellisme adalah doktrin Machiavelli “Tujuan
Menghalalkan Cara”. Apabila ini terjadi, bangsa dan negara akan hancur, seperti
diungkapkan Ahmad Syauqi Bek, penyair Mesir (w. 1868) dalam sebuah syairnya:
“Keberadaan suatu bangsa ditentukan oleh akhlak. Jika akhlak mereka telah lenyap, akan
lenyap pula lah bangsa itu.” (Fadloli, 2018: 10).

Kebenaran ucapan Ahmad Syauqi ini telah berulang kali terbukti dalam sejarah.
Karena hancurnya moral lah, maka menjadi hancur berbagai umat di masa nabi-nabi
dahulu, seperti kaum Ad (umat nabi Hud), kaum Tsamud ( umat Nabi Shaleh), penduduk
Sodom (umat Nabi Luth), penduduk Madyan (umat Nabi Syuaib) dan lain sebagainya
(Fadloli, 2018: 10).

Dalam kehidupan seringkali moral melebihi peranan ilmu, sebab ilmu adakalanya
merugikan. “Kemajuan ilmu dan teknologi mendorong manusia kepada kebiadaban”,
demikian dikatakan oleh Prof. Dr. Alexis Carrel, seorang sarjana Amerika penerima
hadiah Nobel 1948 (Fadloli, 2018: 11).

Moral dapat digali dan diperoleh dalam agama, karena agama adalah sumber moral,
bahkan moral paling tangguh. Nabi Muhammad SAW diutus tidak lain juga untuk
membawa misi moral, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (Fadloli, 2018:
11).

W.M. Dixon dalam The Human Situation menulis: “Sekurang kurangnya kita boleh
percaya bahwa agama yang benar ataupun salah, dengan ajarannya percaya kepada tuhan
dan kehidupan akhirat yang akan datang, secara keseluruhannya kalau tidak satu satunya,
merupakan dasar yang paling kuat bagi moral.” (Fadloli, 2018: 11).

Dari tulisan Dixon diatas ini dapat diketahui bahwa agama merupakan sumber dan
dasar (paling kuat) bagi moral, karena agama mengajarkan kepercayaan kepada tuhan dan
kehidupan akhirat. Pendapat Dixon ini memang betul. Kalau seseorang percaya bahwa

5
tuhan itu ada, dan Tuhan yang ada itu Maha Mengetahui segala tingkah laku manusia
yang kemudian memberikan balasan kepada tiap orang sesuai dengan amal yang
dikerjakan, maka keimanan seperti ini merupakan sumber yang tidak kering-keringnya
bagi moral (Fadloli, 2018: 11).

Rasullullah SAW menegaskan:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya”
(H.R.Tirmidzi).

Agama sebagai sumber moral tidak hanya karena agama mengajarkan iman kepada
tuhan dan kehidupan akhirat, melainkan juga karena adanya perintah dan adanya larangan
dalam agama. Agama sesungguhnya adalah himpunan perintah dan larangan tuhan.
Adalah kewajiban manusia untuk taat terhadap semua perintah dan larangan tuhan ini.
Dari sinilah kemudian juga lahir moral. Sebab apa yang diperintahkan oleh tuhan selalu
yang baik-baik dan apa yang dilarang-Nya selalu yang buruk-buruk (Fadloli, 2018: 12).

2. Agama petunjuk kebenaran

Manusia adalah makhluk berakal, bahkan juga makhluk tukang bertanya. Apa saja
dipertanyakan oleh manusia dengan akalnya, untuk diketahui. Dari akal lahirlah ilmu dan
filsafat. Dengan ilmu dan filsafat ini makin besarlah keinginan manusia untuk mengetahui
segala sesuatu dan makin besar kemampuannya untuk itu (Fadloli, 2018: 12).

Salah satu hal yang ingin diketahui oleh manusia adalah apa yang bernama kebenaran.
Ini adalah masalah besar dan menjadi tanda tanya besar bagi manusia sejak zaman dahulu.
Manusia dengan akal, dengan ilmu dan filsafatnya ingin megetahui dan mencapainya. Dan
yang menjadi tujuan ilmu dan filsafat tidak lain adalah untuk mencari jawab atas tanda
tanya besar ini, yaitu masalah kebenaran (Fadloli, 2018: 12).

Tetapi sayang, sebegitu jauh usaha ilmu dan filsafat untuk mencapai kebenaran tidak
membawa hasil seperti yang diharapkan. Kemampuan ilmu dan filsafat hanyalah sampai
kepada kebenaran relatif (nisbi), padahal kebenaran relatif (nisbi) bukanlah kebenaran
yang sesungguhnya. Kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran mutlak dan
universal, yaitu kebenaran yang sungguh-sungguh benar, absolut, dan berlaku untuk
semua orang (Fadloli, 2018: 12).

6
Tampaknya sampai kapan pun masalah kebenaran akan tetap menjadi misteri bagi
manusia, kalau saja manusia hanya mengandalkan alat yang bernama akal,atau ilmu atau
juga filsafat. Sebab, seperti yang yang dikatakan oleh Demokritos (460-360), ”Kebenaran
itu dalam sekali letaknya,tidak terjangkau semuanya oleh manusia” (Fadloli, 2018: 13).

Penganut Sofisme, yaitu aliran baru dalam filsafat Yunani yang timbul pada
pertengahan abad ke lima menegaskan pula, ”Kebenaran yang sebenar-benarnya tidak
tercapai oleh manusia “(Hatta, 1957). Bertrand Russel, seorang filsuf Inggris termasyhur
juga berkata: “Apa yang tidak sanggup dikerjakan oleh ahli ilmu pengetahuan ialah
menentukan kebijakan (haq dan batil). Segala sesuatu yang berkenaan dengan nilai-nilai
adalah diluar bidang ilmu pengetahuan.” (Fadloli, 2018: 12).

Allah SWT telah mengutus para nabi dan rasul di berbagai masa dan tempat, sejak
Nabi pertama yaitu Adam sampai dengan Nabi terakhir yaitu Nabi Muhammad SAW.
Para Nabi dan Rasul ini diberi wahyu atau agama untuk disampailkan kepada manusia.
Wahyu atau agama inilah agama islam, dan ini pula sesungguhnya kebenaran yang di cari-
cari oleh manusia sejak dulu kala, yaitu kebenaran yang mutlak dan universal. Tinggal lah
kewajiban manusia untuk beriman dan patuh terhadap agama kebenaran ini. Allah SWT
berfirman:

“Sesungguhnya telah kami turunkan Al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,


agar kamu memberi kepastian hukum di antara manusia dengan apa yang telah
ditunjukkan oleh Allah kepadamu” (An-Nisa: 105).

Dan firman-Nya pula :

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka janganlah sekali – kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu” (Al-Baqarah: 147).

7
3. Agama Sumber Informasi Metafisika

Dalam buku “An Historian’s Approach to Religion” karangan Arnold Toynbee, “tidak
ada satu jiwa pun akan melalui hidup ini tanpa mendapat tantangan-rangsangan untuk
memikirkan rahasia alam semesta”. Bahkan rahasia metafisika termasuk hal yang ingin
disingkat oleh manusia. Padahal masalah metafisika ialah masalah gaib seperti hidup
sesudah mati (akhirat), Tuhan, surga, neraka, atau hal-hal lain yang dibalik alam nyata ini.
Tetapi kenyataan menunjukkan, bahwa manusia hanya mengandalkan akal (bahkan
dengan ditambah ilmu dan filsafat). Namun, persoalan metafisika tidak akan dapat
diketahui (Fadloli, 2018: 14).

Firman Allah SWT:

“Katakan: tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal yang gaib,
kecuali Allah” (An-Naml:65).

Ibnu Khaldun, dalam kitab Muqaddimahnya menulis, “Akal adalah sebuah timbangan
yang tepat, yang catatan-catatannya pasti dan bisa dipercaya. Tetapi mempergunakan akal
untuk menimbang hakikat dari hal-hal yang berkaitan dengan keesaan Tuhan, atau hidup
sesudah mati, atau sifat-sifat Tuhan, atau hal-hal lain yang di luar lingkungan akal, adalah
laksana mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini
tidak berarti bahwa timbangannya itu sendiri yang kurang tepat. Soalnya ialah, karena
akal mempunyai batas-batas yang membatasinya.“ (Fadloli, 2018: 15).

Herbert Spencer, seorang filosuf (W. 1903), berkata: “Ilmu alam memberi tahu kepada
kita, bahwa untuk kita ada batas yang ditentukan, yang tidak boleh kita lampaui dalam
soal-soal ini. Kita tidak boleh melangkah melewati batas itu untuk mengenal sebab-sebab
yang pertama (yang dimaksud ialah Tuhan) dan bagaimana hakikatnya.” (Fadloli, 2018:
15).

Seseungguhnya persoalan metafisika sudah masuk wilayah agama atau iman, dan
hanya Allah saja yang mengetahuinya. Dan Allah Yang Maha Mengetahui perkara yang
gaib ini dalam batas-batas yang dipandang perlu telah menerangkan perkara yang gaib
8
tersebut melalui wahyu atau agama-Nya. Dengan demikian agama adalah sumber
informasi tentang metafisika, dan karena itu pula hanya dengan agama manusia dapat
mengetahui persoalan metafisika. Dengan agama lah dapat diketahui hal-hal yang
berkaitan dengan alam arwah, alam barzah, alam akhirat, surga dan neraka, Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, dan hal-hal gaib lainnya (Fadloli, 2018: 15).

4. Agama Pembimbing Rohani bagi Manusia

Firman Allah SWT:

“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, dan kami coba kalian dengan keburukan
dan kebaikan sebagai suatu ujian...” (Al-Anbiyaa’: 35).

Terjadinya suka atau duka yang mewarnai kehidupan dunia ini, sebabnya banyak dan
bermacam-macam. Tetapi dalam garis besarnya, menurut ayat di atas, karena manusia
diberi cobaan Tuhan “Dengan keburukan dan kebaikan”. Dan hal itu dimaksudkan sebagai
ujian bagi manusia dalam menghadapi cobaan tersebut, yakni cobaan dunia karena
ditimpa sesuatu yang buruk atau cobaan suka karena memperoleh sesuatu yang baik
(Fadloli, 2018: 16).

Dalam masyarakat dapat dilihat seringkali orang salah mengambil sikap menghadapi
cobaan suka dan duka. Misalnya, saat pada situasi suka atau bahagia, orang bisa lupa akan
segala sesuatu. Bermacam karunia Tuhan yang ada padanya tidak mengantarkan dunia
kepada kebaikan tetapi malah membuat keburukan. Seperti Qarun yang hidup di masa
Nabi Musa. Sewaktu miskin, dia patuh beragama, tetapi sewaktu kaya raya ia jahat dan
memusuhi Nabi Musa. Selain itu seperti Sa’labah yang hidup di jaman Nabi Muhammad
SAW juga bertingkah demikian. Sewaktu miskin ia rajin beribadah, tetapi setelah menjadi
peternak besar ia tinggalkan ibadahnya, bahkan ia juga menolak membayar zakat
ternaknya (Fadloli, 2018: 17).

9
Sikap yang salah juga sering dilakukan orang pada situasi duka. Menurut Kompas
yang diterbitkan tanggal 1 November 1988, bahwa data WHO (World Health
Organization), diperkirakan seratus juta penduduk dunia saat ini mengalami depresi. Dan
dari jumlah ini sekitar 800.000 penderita adalah orang-orang Indonesia. Depresi adalah
penyebab utama tindakan bunuh diri, dan tindakan ini menempati urutan keenam dan
penyebab utama kematian di Amerika Serikat (Fadloli, 2018: 17).

Sabda Rasulullah SAW mengenai sikap yang benar menghadapi suka dan duka
adalah:

“Betapa menakjubkan keadaan orang yang beriman. Sesungguhnya keadaan orang


beriman itu semuanya serba baik, dan yang demikian itu tidak terjadi kecuali hanya pada
orang beriman. Yakni, jika ia memperoleh sesuatu yang menggembirakan dia bersyukur
dan syukur adalah baik baginya. Dan jika ia ditimpa sesuatu yang menyedihkan dia
bersabar dan sabar juga baik baginya.” (H.R.Muslim).

Dengan sabda tersebut Nabi mengajarkan, hendaknya orang beriman bersyukur


kepada Allah pada waktu memperoleh sesuatu yang mengembirakan, dan bertabah atau
sabar pada waktu ditimpa sesuatu yang menyedihkan. Bersyukur dikala suka dan sabar di
kala duka inilah sikap mental yang hendaknya selalu dimiliki oleh orang beriman. Dengan
begitu hidup orang beriman selalu stabil, tidak ada goncangan-goncangan, bahkan tentram
dan bahagia, inilah yang menakjubkan dari orang beriman seperti yang dikatakan oleh
Nabi (Fadloli, 2018: 18).

Bagaimana tidak serba baik, kalau dikala suka orang beriman itu bersyukur, padahal
“Jika engkau bersyukur akan aku tambahi.” Seperti yang dijelaskan pada QS Ibrahim: 7.
Sebalikya, orang beriman tabah atau sabar pada saat situasi duka. Padahal dengan tabah
saat duka ia memperoleh berbagai keutamaan, seperti pengampunan dari dosa-dosanya
(H.R.Bukhari dan Muslim), atau bahkan mendapat surga (H.R.Bukhari).. Bahkan ada pula
keuntungan lain sebagai akibat dari kepatuhan menjalankan agama, seperti yang dikatakan
oleh seorang psikiater, Dr. AA. Brill, “setiap orang yang betul-betul menjalankan agama,
tidak bisa dikenakan penyakit syaraf. Yaitu penyakit karena gelisah risau yang terus-
menerus.” (Fadloli, 2018: 18).

10
2.2 Asal-Usul Agama

Pada awalnya, asal-usul, perkembangan dan pertumbuhan agama pada diri seseorang
itu di latar belakangi antara lain oleh beberapa sebab sebagai berikut:

a. Agama adalah produk dari rasa takut

Rasa takut manusia pada alam, dari guruh yang menggetarkan, dari luasnya lautan dan
ombak yang menggulung serta gejala-gejala alamiah lainnya. Sebagai akibat rasa takut ini,
terlintas lah agama dalam benak manusia. Lucretius, seorang filsuf Yunani menyebutkan
bahwa nenek moyang pertama para dewa ialah Dewa Ketakutan. Konsep-konsep
Koentjaraningrat mengenai dasar-dasar tentang agama sebagai produk dari rasa takut ini
terdapat pada empat komponen yang merupakan sistem tiap-tiap religiusitas, yaitu:
1) Emosi keagamaan menyebabkan manusia menjadi religius
2) Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan
manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam ghaib
(supernatural)
3) Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan,
dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam ghaib
4) Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem
kepercayaan
5) Sedangkan menurut Harun Nasution terkait dengan asal usul agama ini ada empat
unsur yang terdapat dalam komponen tersebut, yaitu :
6) Kekuatan ghaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat kepada kekuatan
ghaib sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu manusia harus mengadakan
hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Hubungan baik ini dapat
diwujudkan dengan cara mematuhi perintah dan menjauhi larangan kekuatan ghaib
tersebut.
7) Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini serta kesejahteraan
hidupnya di akhirat tergantung kepada adanya hubungan baik dengan kekuatan
ghaib dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik itu kesejahteraan dan
kebahagiaan tersebut juga akan hilang.
8) Responden yang bersifat emosional dari manusia. Respon itu bisa mengambil
bentuk perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau
perasaan cinta yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Selanjutnya respon
mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitif

11
monoteisme. Lebih lanjut lagi respon itu mengambil bentuk cara hidup tertentu
bagi masyarakat yang bersangkutan.
9) Paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan ghaib, dalam
bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama bersangkutan dan dalam
bentuk tempat-tempat tertentu (Khotimah, 2010:8)
Sedangkan menurut L. B. Brown ada lima variabel untuk menjelaskan tentang agama
yang berkaitan dengan asal usul agama, yaitu :
1) Tingkah laku
2) Renungan suci dan iman (belief)
3) Perasaan keagamaan atau pengalaman (experience)
4) Keterikatan (infolvement)
5) Consequential effects (Khotimah, 2010: 9).
Asal usul agama sebagai produk rasa takut biasanya diarahkan pada pemahaman
tentang kekuatan-kekuatan ghaib yang terdapat pada masyarakat primitif. Orang-orang
primitif mempunyai kepercayaan bahwa di dunia terdapat banyak dewa. Dewa-dewa itu
merupakan lambang dari kekuatan-kekuatan alam yang dahsyat. Kalau roh-roh dalam
animisme belum diketahui tugas-tugasnya, maka dalam masyarakat primitif yang
berketuhanan politeisme telah mempunyai tugas, misalnya ada dewa api, dewa angin, dewa
topan, dewa guntur, dewa perang, dewi kesuburan, dewi kecantikan dan lain-lain. Misalnya
pada masyarakat Mesir Kuno orang mempercayai dewa matahari yang disebut dengan
Dewa Ra, sedangkan di India disebut Dewa Surya, dan Persia disebut Mythra. Orang-
orang primitif tidak hanya memberi sesaji dan persembahan kepada dewa-dewa itu akan
tetapi juga menyembah dan berdoa agar mereka selalu berada dalam keselamatan,
kemakmuran serta terhindar dari malapetaka. (Khotimah, 2010: 10).

Dalam pertumbuhannya ajaran yang mempercayai banyak dewa berkeyakinan bahwa


tidak ada yang lebih tinggi kekuasaannya antara masingmasing dewa. Bahkan bisa jadi
mereka berkeyakinan bahwa antara dewa yang satu dengan yang lain saling bersaing dan
bertentangan, misalnya antara dewa api dan dewa hujan, dewa musim panas dengan dewa
musim dingin, dewa musim kemarau dengan dewa musim kesuburan dan lain sebagainya.
(Khotimah, 2010: 10).

Tetapi lama kelamaan di antara dewa-dewa itu ada yang dianggap lebih tinggi
kesaktiannya, sehingga lebih dihormati dan dipuja akhirnya timbul pemujaan terhadap
dewa-dewa tersebut. Misalnya dalam agama Hindu pada masa permulaan Weda, ada tiga
dewa yang menonjol yaitu Dewa Indra, Mitra dan Waruna. Dalam perkembangan
12
selanjutnya timbullah pemujaan atas Trimurti yang terdiri dari Brahma, Wisnu dan Siwa.
Selanjutnya dalam agama Mesir Kuno juga dikenal dengan Dewa Osiris, Isis (istrinya)
dan Horus (anaknya). Dalam bahasa Arab misalnya sebelum pra Islam dikenal juga
dengan Dewa Lata, Uzza dan Manata. Adakalanya satu dari dewa-dewa itu ada yang
meningkat di atas dewa-dewa lainnya seperti Zeus dalam agama Yunani Kuno, Yupiter
dalam agama Romawi dan Ammon dalam agama Mesir Kuno. Hal ini belum berarti
pengakuan pada satu Tuhan, tetapi baru pada pengakuan pada dewa terbesar di antara
dewa yang banyak. (Khotimah, 2010: 10).

b. Agama adalah produk dari kebodohan

Sebagian orang percaya bahwa faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan
manusia, sebab manusia sesuai dengan wataknya selalu cenderung untuk mengetahui
sebab-sebab dan hukum-hukum yang berlaku atas alam ini serta yang terjadi di dalamnya.
Mungkin karena tidak berhasil mengenalnya, maka ia menisbahkan hal itu kepada sesuatu
yang bersifat metapisis (tidak terlihat). (Khotimah, 2010:11)

Hal ini terkait erat dengan adanya persepsi manusia bahwa ada kekuatan yang berada
di luar dirinya telah mendorong seseorang untuk merasa takut mencari perlindungan, demi
keselamatan dan kebahagiaan hidupnya. Ketika manusia merasa takut akibat adanya
bencana alam, gempa bumi dan tsunami maka mereka bersama-sama secara individu
melakukan persembahan terhadap dewa laut, dewa alam, dewa bumi dan sebagainya.
(Khotimah, 2010:11)

Ketika masyarakat merasa takut terhadap angin topan yang melanda perkampungan,
takut pada api yang membakar seluruh hutan dan sawah ladangnya, maka dengan
kebodohannya mereka melakukan pemujaan terhadap dewa angin dan api. Jadi sangat
mungkin karena didorong oleh kebodohan itulah manusia menumbuhkan keyakinan
terhadap ”zat yang dianggap sakral”. Keyakinan terhadap zat yang dianggap tuhan itu,
melahirkan konsekuensi peribadatan berbentuk ritual yang berdasarkan pada aturan-aturan
yang ditentukan secara normatif. (Khotimah, 2010:11)

c. Pendambaan akan keadilan dan keteraturan

Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa sebagian orang memperkirakan bahwa


motivasi keterikatan manusia kepada agama ialah pendambaannya akan keadilan dan
keteraturan. Keadilan dalam masyarakat dan alam, karena itu ia menciptakan agama dan

13
berpegang erat kepadanya demi meredakan penderitaan-penderitaan kejiwaannya.
(Khotimah, 2010:11)
Kemudian Karljung dalam Yusuf Sou’yb mengartikan bahwa agama merupakan
penjelmaan tata cara hidup manusia yang dikembangkan oleh manusia untuk mengatur
kehidupannya, disebabkan karena ketakutan dan kekecewaan yangtelah tertanam di alam
bawah sadar manusia. (Khotimah, 2010:11)
Terkait erat dengan sifat manusia itu sendiri sebagai fitrahnya maka tidak heran jika
konsep ajaran-ajarannya selalu berubah-rubah sesuai dengan kemauan pemeluknya serta
kekuatan metapisis (tidak terlihat) di luarnya hingga sampai pada keuniversalannya.
(Khotimah, 2010:12)

2.3 Cara Pandang dan Perilaku Manusia Terhadap Agama

Perilaku manusia sangat ditentukan oleh cara pandangnya tentang realitas di


sekitarnya. Cara pandang dibangun oleh nilai-nilai, keutamaan, prinsip hidup yang diyakini
seseorang. Cara pandang terbentuk lewat proses pembelajaran yang dilalui oleh seseorang
sepanjang hidupnya. Berbagai institusi sosial termasuk agama sangat membantu mengarahkan
proses pembelajaran dan pembentukan cara pandang ini. Menurut Peoples dan Bailey
(2006:32), “Cara pandang seseorang adalah cara ia mengartikan kenyataan dan peristiwa,
termasuk gambaran mengenai diri sendiri dan bagaimana ia berhubungan dengan dunia
sekitar.” Ishii, Cooke, dan Klopf (1999: 301-317) mengembangkan suatu definisi yang lebih
luas dengan menyatakan “Cara pandang merupakan orientasi budaya terhadap Tuhan, sesama,
alam, pertanyaan tentang keberadaan sesuatu, alam dan kosmos, kehidupan, moral dan alasan
etis, penderitaan, kematian, dan isu filosofis lainnya yang memengaruhi bagaimana
anggotanya memandang dunia.” Walsh dan Middleton (1984:32) meringkaskannya dengan
menyatakan, “Cara pandang menyediakan petunjuk yang menuntun pengikutnya di dunia.”
Singkatnya, cara pandang berisi prinsip-prinsip dasar yang dijunjung tinggi seseorang dalam
hidupnya. Cara pandang merupakan inti dari perilaku, inti dari karakter seseorang dan
menyediakan dasar persepsi yang diyakini seseorang atas realitas yang dihadapi dan
dihidupinya. Karakter cara pandang yang demikian menjadi salah satu faktor paling signifikan
dalam menentukan perilaku hidup seseorang. (Lakonawa, Lakonawa. Petrus, 2013: 791)

Cara pandang tersebut kemudian mengatur hidup dan menunjukkan arah bagi hal-hal
praktis dalam kehidupan. Hoebel (1958:159) mengamati “Dalam memilih kebiasaan hidup
sehari-hari, bahkan dalam hal terkecil sekalipun, masyarakat memilih cara yang sesuai dengan
pemikiran dan kesukaannya, cara yang sesuai dengan aturan dasar sesuatu serta yang

14
diinginkan dan yang tidak diinginkan.” Demikian besarnya pengaruh dari cara pandang, maka
dapat dikatakan bahwa pandangan hidup seseorang menentukan kehidupan sosial, ekonomi,
dan politik suatu negara (Lakonawa. Petrus, 2013: 792).

Salah satu tujuan mendasar dari keberadaan agama adalah untuk mengajari para
pemeluknya tentang cara hidup yang sesungguhnya. Agama berusaha mengajarkan para
pemeluknya tentang cara mencapai kesempurnaan hidup. Hal ini dilakukan lewat berbagai
ajaran-ajaran etis tentang kehidupan yang ideal. Robinson dan Rodrigus (2006: 14) mencatat,
“Agama berperan penting dalam mengatur tindakan manusia. Hampir setiap tradisi agama
membedakan antara tindakan yang dapat diterima dengan tindakan yang tidak dapat
diterima.” Ajaran mengenai etika yang berfokus pada hal yang benar dan salah menyatakan
inti nilai suatu budaya. Dalam banyak hal, ikatan antara agama dan etika dapat dilihat dalam
hukum agama yang spesifik. Dalam agama Yahudi, misalnya, tidak hanya ada Sepuluh
Perintah Tuhan, melainkan terdapat pula lebih dari 600 peraturan yang diberikan Tuhan
kepada komunitas bangsa Israel. Dalam etika Islam, hubungan antara agama, hukum, dan
tindakan juga jelas. Smart (1998: 19) menjelaskan hal tersebut, “Kehidupan Islam secara
tradisional telah dikendalikan oleh Hukum atau syariah yang membentuk kehidupan moral
suatu individu menentukan bahwa ia harus salat setiap hari, memberikan zakat pada kaum
miskin, dan lain sebagainya dan bahwa masyarakat harus memiliki berbagai institusi, seperti
pernikahan, bentuk perbankan, dan lain-lainnya.” (Lakonawa. Petrus, 2013: 797).

Umat Hindu juga memiliki ajaran etika yang kuat yang berhubungan langsung dengan
agamanya. Seperti yang diungkapkan oleh Matthews (2007: 91): “Ajaran Hindu kaya akan
kode moral…. Dalam kitab Weda, Rita merupakan dasar dari tatanan yang benar dalam alam
semesta; semua hal sesuai dengan kontrolnya. Bagi seorang individu, dasar dari tindakan
benar adalah darma. Darma adalah kesatuan Rita dalam kehidupan seseorang.” (Lakonawa.
Petrus, 2013: 797).

Bagi penganut Buddha, nilai etis dapat ditemukan dalam uraian Buddha tentang empat
kebajikan besar yang harus dimiliki oleh semua orang, yaitu “kebajikan, rasa kasihan, bahagia
atas kebahagiaan orang lain, dan ketenangan hati (Smart, 2000: 9).” Walaupun dalam kata
yang berbeda, namun inti pesannya tetap sama dengan yang ditemukan dalam tradisi lain.
Matthews (2007: 191) merangkum ajaran etika aliran Confusius sebagai berikut: “Manusia
harus menghindari hal-hal yang mereka tidak ingin orang lain lakukan atas diri mereka.
Mereka harus mengerjakan suatu hal yang sama seperti mereka melakukannya untuk diri
mereka sendiri.” (Lakonawa. Petrus, 2013: 797).

15
Semua agama mengajarkan untuk menghindari pembunuhan, pencurian, perkataan
dusta, dan perzinahan. Semua agama mengajarkan pemeluknya untuk berlaku rendah hati,
murah hati, jujur serta baik. Semua ini dilakukan demi memampukan diri mereka mencapai
tujuan tertinggi dari kehidupan yaitu keselamatan, penebusan, pencerahan, pembebasan jiwa,
kebahagiaan kekal (Lakonawa. Petrus, 2013: 797).

2.4 Agama Islam

Agama islam adalah agama monoteis dan salah satu dari agama Abrahamik. Kata
islam berasal dari kata Arab, yaitu aslama-yuslimu-islaman, yang secara kebahasaan diartikan
“menyelamatkan”. Islam atau islaman merupakan mashdar atau kata benda dari kata kerja
aslama yang bermakna “telah menyelamatkan”. Jadi, islam bisa diartikan penerimaan dari dan
penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan penganutnya harus menunjukkan diri dengan
menyembah-Nya, menuruti perintah-Nya, dan menghindari kemusyrikan (Imron. M Ali,
2015: 427).
Dengan jumlah penganut lebih dari satu seperempat milyar orang di seluruh Dunia,
islam merupakan agama terbesar kedua di dunia setelah Kristen. Pengikut ajaran islam
dikenal dengan sebutan muslim, yang berarti “orang yang tunduk kepada Tuhan”. Agama ini
mengajarkan bahwa Allah SWT. Menurunkan firman-Nya kepada seorang manusia terpilih
yang menjadi nabi dan rasul utusan-Nya yang terakhir, yakni Muhammad SAW (Imron. M
Ali, 2015: 427).

Islam berasal dari kata aslama-yuslimu yang berarti menyerah, tunduk dan damai.
Secara bahasa, islam mengandung makna umum, bukan hanya nama dari suatu agama.
Ketundukan, ketaatan dan kepatuhan merupakan makna islam. Ini berarti segala sesuatu yang
tunduk dan patuh terhadap kehendak Allah adalah “islam”. Menurut Al-Qur’an, islam adalah
agama yang ajaran-ajarannya diberikan Allah kepada masyarakat manusia melalui para Rasul-
Nya. Jadi, islam adalah agama Allah yang dibawa oleh para nabi pada setiap zamannya yang
berakhir dengan kenabian Muhammad SAW (Fadloli, 2018: 18).

Penamaan agama islam bagi para nabi didasarkan kepada firman Allah, yaitu:

16
“Katakanlah (hai orang-orang mu’min): kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, ismail, ishak, yakub serta
anak cucunya dan para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun
diantara mereka dan kami hanya berserah diri kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 136).

Dan pada ayat lain disebutkan mengenai Nabi Ibrahim, Allah SWT berfirman :

“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab: ‘Aku


tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (Al-Baqarah : 131).

Berkenaan dengan Nabi Musa Allah berfirman:

“Dan Musa berkarta: ‘Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah
kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.” (Yunus: 84).

Allah mengutus Rasul penutup pembawa agama islam, yaitu Nabi Muhammad SAW,
sebagaimana firman-Nya:

17
“Sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah
memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan kami telah memberikan
wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, Isa, Ayub, yunus,
Harun dan Sulaiman. Dan kami berikan Zabur kepada Daud. Dan (Kami telah mengutus)
rasul-rasul yang telah Kami kisahkan kepadamu dahulu, dan rasu- rasul yang tidak Kami
kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan
langsung. (Mereka Kami utus)selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-
rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Nisa’: 163-165).

Dalam rangkaian ayat tersebut bahwa agama Islam adalah agama yang diturunkan
Allah kepada manusia melalui para Rasul dan kepada Nabi Muhammad SAW. Jadi islam
dalam pengertian yang paling baru dan sempurna merupakan ajaran dan wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (Fadloli, 2018:18).

2.5 Sejarah Lahirnya Agama Islam


Lahirnya agama islam tidak dapat dilepaskan dari masa sebelum islam, khususnya
kawasan Jazirah Arab, karena agama ini diturunkan di kawasan tersebut. Sebelum kedatangan
islam, penduduk Jazirah Arab dikenal dengan kaum ‘jahiliah’ yang menurut bahasa, secara
istilah berasal dari kata jahala yang artinya bodoh, tidak mengetahui, atau tidak memiliki ilmu

18
pengetahuan. Akan tetapi predikat yang disandang oleh kaum tersebut, ini bukan berarti tidak
mengenal peradaban dan tidak memiliki pengetahuan. Dalam realitas yang sesungguhnya,
justru saat itu, sastra dan syair berkembang sanggat pesat di kalangan mereka. Setiap tahun
diadakan festival-festival pembacaan puisi dan syair, ini membuktikan bahwa mereka sudah
pandai baca dan tulis. Selain itu mereka mampu membuat tata kota dan niaga yang sangat
baik , seperti jalur dagang khalifah ke negeri Syam, Thaif, dan lain sebagainya. Hal ini
membuktikan bahwa mereka bukan orang-orang bodoh dan tidak berpengetahuan dalam soal
sainsdan teknologi. Saat itu Makkah merupakan kota dagang bertaraf internasional (Imron. M
Ali, 2015: 427).
Sementara itu, kepercayaan dan agama yang dianut oleh masyarakat Arab sebelum
kedatangan islam ialah Paganisme, Yhudi, dan Kristen. Namun, sebagian besar adalah
menyembah berhala.
Berikut adalah nama-nama berhala disembah oleh orang Arab jahiliah pada zaman
tersebut adalah:
a. Hubal
Berhala yang dianggap sebagai Dewa Bulan ini dibawa oleh Amr bin Luhay dari
Ma’arib (Moab), suatu daerah di Balqa’.
b. Letta
Berhala ini adalah sesembahan kaum Tsaqif di Thaif dan pelayannya adalah dari Bani
Muattab.
c. Uzaa
Berhala ini adalah pohon dari Sallam di Lembah Nakhlah yang terletak di antara
Makkah dan Thaif. Uzza ini adalah berhala milik suku Quraisy, Sulaiman, Gathafan,
dan Jusyam serta suku-suku yang ada di sekitarnya.
d. Manat
Berhala ini merupakan batu besar yang terletak tak jauh di gunung Qudayd di antara
Makkah dan Madinah. Berhala ini adalah milik suku Khuza’ah, Aus, daN Khazraj.
Jika sedang berhaji mereka berihram di sisinya sekaligus menyembahnya (Imron. M
Ali, 2015: 429).
Selain ketiga kepercayaan yang dianut bangsa Arab terdebut, terdapat kepercayaan
lain yang disebut Hanifiyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang
murni dan tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, serta tidak
menganut agamaYahudi maupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka
berpandangan bahwa agama yang benar disisi Allah adalah hanifiyah sebagai aktualisasi dari

19
millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke berbagai penjuru Jazirah Arab, khususnya di
tiga wilayah Hijaz, yaitu Yatsrib, Thaif, dan Makkah (Imron. M Ali, 2015: 430).
Di tengah dekadensi moral yang dialami masyarakat Arab pada waktu itu, Allah Swt.
menurunkan wahyu kepada seorang pria bernama Muhammad agar menyeru dan mengajak
mereka ke jalan kebenaran. Tepat tanggal 17 Ramadhan 11 SH/6 Agustus 611 M (Imron. M
Ali, 2015: 430). Adapun wahyu pertama sebagai berikut:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhamu yang meciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuahanmulah Yang Yang Maha Pemurah, yang
mengajar (manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5).
Malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu pertama dari Allah Swt. kepada
Muhammad. Dengan turunnya wahyu pertama ini, Muhammad dipilih Allah Swt. sebagai
rasul dengan mengajak seluruh umat manusia berada di jalan Allah. Dengan turunnya wahyu
tersebut, dimulailah ajaran agama Islam (Imron. M Ali, 2015: 430).
2.6 Tempat Suci dan Ibadah Agama Islam
Tempat ibadah umat muslim adalah masjid. Akar dari kata masjid adalah sajada, yang
berarti sujud atau tunduk. Kata masjid berasal dari bahasa Aram. Kata masgid (m-s-g-d)
ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke-5 SM, yang memiliki arti “tiang suci” atau
“tempat sembahan” (Imron, M Ali, 2015: 467).
Tentang masjid, terdapat beberapa masjid yang sangat disucikan oleh umat Islam. Di
antaranya adalah sebagai berikut:
20
1. Masjid Quba
Masjid ini merupakan masjid yang pertama kali dibangun. Masjid ini dibangun
langsung oleh Nabi Muhammad SAW., dan para sahabat ketika hijrah menuju
Madinah. Masjid tersebut dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga Kalsum bin
Hadam dari Kabilah Amir bin Auf, yang diwakafkannya kepada Nabi Muhammad
SAW., setibanya di Quba. Ketika itu, Quba merupakan kawasan pinggiran Yatsrib dan
terletak sekitar 3 km di selatan.
Dalam beberapa riwayat telah disebutkan bahwa masjid Quba didesain sendiri
oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan, beliau ikut bekerja, tidak segan-segan
mengangkat bahan material bangunan, sehingga tampak letih yang teramat pada
wajahnya yang mulia. Beliau memberikan teladan yang begitu mulai, yang tak hanya
pandai menyuruh. Beliau juga orang pertama yang meletakkan batu di mihrab masjid
tersebut menghadap Baitul Maqdis di Palestina, kiblat Ash Shiddiq, Ummar bin
Khatab, dan Utsman bin Affan. Ternyata proses peletakan batu kiblat ini kemudian
paralel dengan sejarah dengan pengangkatan Khulafaur Rasyidin. Setelah selesai
dibangun, di Masjid Quba inilah untuk pertama kali shalat berjamaah dilaksanakan.
Masjid Quba dibangun pada hari Senin, 8 Rabi’ul Awal H atau 23 September
622 M. Meskipun sangat sederhana, Masjid Quba boleh dianggap sebagai contoh
bentuk dari masjid-masjid yang di dirikan umat Muslim di kemudian hari (Imron, M
Ali, 2015: 467).
2. Masjidil Haram
Masjidil Haram terletak di Kota Makkah, Arab Saudi. Masjid ini merupakan
salah satu tempat tersuci bagi umat Islam. Selain itu, masjid tersebut juga merupakan
masjid terbesar di dunia. Masjid ini dibangun mengelilingi Ka’bah, yang menjadi arah
Kiblat bagi umat Islam dalam mengerjakan ibadah shalat.
Menurut keyakinan umat Islam, Ka’bah pertama kali dibangun oleh nenek
moyang umat manusia yaitu Nabi adam. Kemudian, bangunan ini dilanjutkan oleh
Nabi Ibrahim beserta putranya, Isa, dengan meninggikan dasar-dasar Ka’bah,
sekaligus membangun masjid di sekitar Ka’bah tersebut.
Sejak kedatangan Islam di tanah Arab, Masjidi Haram diperluas oleh Khalifah
Umar bin Khathab pada tahun 638 M dengan membeli rumah-rumah di sekeliling
Ka’bah. Ketika pemerintahan Islam dipimpin oleh Utsman bin Affan, masjidil haram
kembai diperluas sekitar tahun 647 M. Hingga saat itu pun, masjid ini terus mengalami
21
perluasan. Dalam rencana perluasan yang diperkirakan baru akan selesai pada tahun
2020, Masjidil Haram akan mampu menampung jamaah hingga 10 juta orang (Imron,
M Ali, 2015: 468).
3. Masjid Nabawi
Masjid Nabawi merupakan salah satu masjid tertua dan terbesar yang berada di
tanah suci, tepatnya di Kota Madinah. Masjid Nabawi juga dibangun langsung oleh
Nabi Muhammad Saw. Masjid ini dibangun pada bulan Rabiul Awal tahun pertama H
atau bertepatan pada bulan September 662 M. Saat itu, Nabi Muhammad Saw,
meletakkan batu pertama, lalu batu kedua, ketiga, keempat, dan kelima, masingg-
masing diletakkan oleh sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Selanjutnya,
pembanguna dikerjakan secara gotong royong oleh umat Muslim.
Ketika itu, panjang masjid adalah 70 hasta dan lebanya 60 hasta (35x30m,
sebagian riwayat mengatakan berukuran 50x50m2). Saat itu, lantai masjid adalah
tanah berbatu, atapnya pelepah kurma, dan terdapat tiga pintu. Namun, kini masjid
Nabawi sangan besar dan megah, serta mampu menampung hingga 1 juta jamaah. Saat
ibadah haji atau umrah, masjid ini pun bakal dipadati oleh para jamaah.
Masjid Nabawi adal h tempat peristirahatan terakhir Nabi Muhammad Saw.
Beliau dimakamkan di tengah-tengah bagian masjid ini. Makam beliau tidaklah sama
dengan makam lainnya yang ada di dunia. Makamnya ditutup dan dibatasi oleh pagar
yang tinggi serta berhiaskan kaligrafi-kaligrafi. Makam ini pun dijaga oleh beberapa
orang yang disebut askar. Mereka menjaga di depan makam untuk mencegah
perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam (Imron, M Ali,
2015: 468).
4. Masjid Al-Aqhsa
Masjid ini selain disucikan oleh umat Islam, juga disucikan oleh umat Yahudi
dan Kristen. Masjid tersebut menjadi bagian dari kompleks bangunan suci di kota
lama Yerusalem (Yerusalem Timur). Kompleks tempat masjid ini (di dalamnya juga
termasuk Kubah Batu ) dikenal oleh umat Islam dengan sebutan Al-Haram asy-Syarif
atau “Tanah Suci yang Mulia.” Oleh umat Yahudi dan Kristen tempat ini disebut Baits
Suci.
Masjid Al-Aqsha menjadi saksi persinggahan Nabi Muhammad Saw. Ketika
diangkat ke Sidrathul Muntaha dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Hingga 17 bulan setelah
hijrah ke Madinah, masjid Al-Aqsha adalah kiblat kaum muslimin. Setelah itu kiblat
shalat berganti Ka’bah yang terletak di dalam Masjidil Haram, Makkah, hingga
sekarang (Imron, M Ali, 2015: 469).
22
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

islam berasal dari kata aslama-yuslimu yang berarti menyerah, tunduk dan damai.
Secara bahasa, islam mengandung makna umum, bukan hanya nama dari suatu agama.
Ketundukan, ketaatan dan kepatuhan merupakan makna islam. Ini berarti segala sesuatu yang
tunduk dan patuh terhadap kehendak Allah adalah “islam”. Menurut Al-Qur’an, islam adalah
agama yang ajaran-ajarannya diberikan Allah kepada masyarakat manusia melalui para Rasul-
Nya. Jadi, islam adalah agama Allah yang dibawa oleh para nabi pada setiap zamannya yang
berakhir dengan kenabian Muhammad SAW. Penamaan agama islam bagi para nabi
didasarkan kepada firman Allah, yaitu:

“katakanlah (hai orang-orang mu’min): kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, ismail, ishak, yakub serta
anak cucunya dan para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun
diantara mereka dan kami hanya berserah diri kepada-Nya” . (Al-Baqarah : 136)

Dalam rangkaian ayat tersebut, bahwa agama islam adalah agama yang diturunkan
Allah kepada manusia melalui para Rasul dan pada saat terakhir agama ini diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Jadi islam dalam pengertian yang paling baru dan sempurna
merupakan ajaran dan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

23
DAFTAR PUSTAKA

Fadloli, dkk. 2018. Buku Daras Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya.

Malang: Pusat Pembinaan Agama (PPA) Universitas Brawijaya.

Imron, M Ali. 2015. Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IRCiSoD

Khotimah. 2010.   Makna “Agama” Hingga Munculnya “Agama Baru”

https://www.scribd.com/document/38044528/073-Khotimah-JURNAL-Makna-
Agama. Diakses pada 17 September 2018.

Lakonawa. Petrus. 2013. Agama dan Pembentukan Cara Pandang Serta Perilaku Hidup
Masyarakat. Jakarta Barat: BINUS University.

http://journal.binus.ac.id/index.php/Humaniora/article/viewFile/3507/2890. Diakses
pada 16 September 2018.

24
LAMPIRAN

1. Khotimah. 2010.   Makna “Agama” Hingga Munculnya “Agama Baru”

25
26
27
28
2. Lakonawa. Petrus. 2013. Agama dan Pembentukan Cara Pandang Serta Perilaku
Hidup Masyarakat. Jakarta Barat: BINUS University.

29
30

Anda mungkin juga menyukai