Anda di halaman 1dari 47

REFERAT

Initial Assessment pada Cidera Kepala

PERIODE
13 APRIL 2020 – 10 MEI 2020

Disusun oleh :

Faradistiani Rakhmawati Jastika 180070200011024


Erika Aini Putri S 180070200011107
Sandris Meiliana 180070200011091

Pembimbing SPV :

Dr. dr Farhad Bal’afif Sp.BS (K)

LABORATORIUM/SMF ILMU BEDAH

RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
HALAMAN PERSETUJUAN

Initial Assessment pada Cidera Kepala

PERIODE
13 APRIL 2020 – 10 MEI 2020

Disusun oleh:
Faradistiani Rakhmawati Jastika 180070200011024
Erika Aini Putri S 180070200011107
Sandris Meiliana 180070200011091

Disetujui untuk dibacakan pada :


Hari : Selasa
Tanggal : 5 Mei 2020

Menyetujui

Pembimbing

Dr. dr Farhad Bal’afif Sp.BS (K)


BAB I
PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang

Cedera otak traumatika masih merupakan penyebab kematian dan kecacatan


tertinggi pada kelompok umur dibawah 40 tahun, sehingga menjadi masalah utama
dalam bidang kesehatan masyarakat dan sosial-ekonomi. Cedera otak traumatika,
pada tahun 2020 akan menjadi penyebab kematian dan kecacatan terbanyak di dunia
melebihi penyakit-penyakit yang lain. Meskipun insidensi cedera otak traumatika di
negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia terus mengalami
penurunan, namun insidensinya mengalami kenaikan di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. Peningkatan ini erat hubungannya dengan meningkatnya
industrialisasi dan pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor.1-3 Di USA kejadian
cedera otak traumatika setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus, dan 10%
diantaranya meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Delapan puluh persen dari
penderita yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai cedera otak traumatika
ringan, 10% termasuk cedera otak traumatika sedang dan 10% sisanya adalah cedera
otak traumatika berat. Lebih dari 100.000 orang, menderita berbagai tingkat kecacatan
akibat cedera otak traumatika setiap tahunnya di USA. Di Amerika Serikat, hampir
10% kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian akibat
trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan
kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada
semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda
berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering
dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas
yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk
transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi
47,7 persen (RISKESDAS, 2013).
Salah satu penyebab kematian terbesar di dunia adalah karena trauma
kecelakaan yaitu cedera kepala. Selain itu, kasus trauma banyak terjadi di negara
berkembang dan atau negara dengan pendapatan rendah. Hampir 90% trauma
menyebabkan kematian yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas 81% dan akan terus
meningkat sampai tahun 2000-2020, jatuh, luka tembak dan luka tumpul. Cedera
kepala paling sering ditemukan pada tiga klasifikasi usia, yaitu balita (0-4 tahun),
remaja (15-19 tahun) dan lansia (lebih dari 60 tahun). Jatuh merupakan penyebab
utama seorang mengalami cedera kepala sebanyak 37,5%. Selain itu, kecelakaan
kendaraan bermotor. menjadi penyebab kedua setelah jatuh yang menyebabkan
kematian sebesar 35,5%. (Salim, 2015).
Tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk menjaga
keselamatan menjadi penyebab banyaknya trauma tersebut terjadi. Setiap tahun,
lebih dari 2.5 juta orang mengalami cedera kepala, 85.000 diantaranya meninggal dan
lebih dari 100.000 orang selamat dengan disabilitas atau kecacatan. Sedangkan
sisanya, cedera kepala disebabkan karena pukulan atau tabrakan karena suatu
peristiwa, misal karena bencana sebesar 18,5% (meningkat 2% dari tahun
sebelumnya) dan kekerasan interpersonal sebesar 15% (Hammond & Zimmermann,
2013; Saadat & Soori, 2010).
Jika morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh cedera kepala harus
dikurangi, maka sangat penting bagi semua dokter untuk memahami aspek-aspek
patofisiologi cedera kepala dan penatalaksanaan yang tepat untuk cedera kepala,
tulang tengkorak dan otak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Cedera Kepala


Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury
Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran dan dapat
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-
Brown, Thomas, 2006).

2.2. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama
pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena
trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak.
Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi
setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka
kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian
pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas
yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk
transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi
47,7 persen (RISKESDAS, 2013).

2.3. Anatomi

Tinjauan anatomi tengkorak meliputi kulit kepala, tengkorak, meninge, otak,


sistem ventrikel, dan kompartemen intracranial (ATLS, 2018).

a. Kulit kepala
Karena suplai darah kulit kepala yang melimpah, laserasi kulit kepala dapat
menyebabkan kehilangan darah besar, syok hemoragik, dan bahkan kematian.
Pasien yang mengalami lama waktu transportasi beresiko khusus untuk komplikasi
ini.
b. Tengkorak
Dasar tengkorak tidak teratur, dan permukaannya dapat menyebabkan cedera
ketika otak bergerak di dalam tengkorak selama percepatan dan perlambatan yang
terjadi selama peristiwa traumatis. Fossa anterior menampung lobus frontal, fossa
tengah menampung lobus temporal, dan fossa posterior berisi batang otak bagian
bawah dan otak kecil.

c. Meningen
Meningen menutupi otak dan terdiri dari tiga lapisan: dura mater, arachnoid
mater, dan pia mater. Dura mater adalah membran yang kuat dan berserat yang
melekat kuat pada permukaan internal tengkorak. Di tempat-tempat tertentu, dura
terbagi menjadi dua “daun” yang menutupi sinus vena besar, yang menyediakan
drainase vena utama dari otak. Sinus sagital superior garis tengah mengalir ke sinus
transversal dan sigmoid bilateral, yang biasanya lebih besar di sisi kanan. Laserasi
sinus vena ini dapat menyebabkan perdarahan masif. (ATLS, 2018).
Gambar2. 1. Anatomi kepala

Gambar
2.2
Lapisan

meningen, dura mater, arachnoid mater, pia mater

Arteri meningeal terletak di antara dura dan permukaan internal tengkorak di


ruang epidural. Fraktur tengkorak di atasnya dapat merusak arteri ini dan
menyebabkan hematoma epidural. Yang paling umum terluka adalah arteri meningeal
tengah, yang terletak di atas fossa temporal. Hematoma yang meningkat dari cedera
arteri di lokasi ini dapat menyebabkan kerusakan dan kematian yang cepat.
Hematoma epidural juga dapat terjadi akibat cedera pada sinus dural dan dari fraktur
tengkorak, yang cenderung meluas secara perlahan dan mengurangi tekanan pada
otak yang mendasarinya. Namun, sebagian besar hematoma epidural merupakan
keadaan darurat yang mengancam jiwa yang harus dievaluasi oleh ahli bedah saraf
sesegera mungkin. (ATLS, 2018).
Di bawah dura adalah lapisan meningeal kedua: mater arachnoid yang tipis
dan transparan. Karena dura tidak melekat pada membran arachnoid yang
mendasarinya, ada ruang potensial di antara lapisan-lapisan ini (ruang subdural), di
mana perdarahan dapat terjadi. Pada cedera otak, vena yang menjembatani yang
berjalan dari permukaan otak ke sinus vena dalam dura dapat robek, yang mengarah
pada pembentukan hematoma subdural. Lapisan ketiga, pia mater, melekat erat pada
permukaan otak. Cairan serebrospinal (CSF) mengisi ruang antara mater arachnoid
yang kedap air dan pia mater (ruang subarachnoid), melindungi otak dan sumsum
tulang belakang. Perdarahan ke dalam ruang berisi cairan ini (perdarahan
subaraknoid) sering menyertai kontusi otak dan cedera pada pembuluh darah utama
di dasar otak.

d. Otak
Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), batang otak, dan otak kecil. Serebrum
terdiri dari belahan kanan dan kiri, yang dipisahkan oleh falx cerebri. Belahan kiri berisi
pusat-pusat bahasa di hampir semua orang kidal dan di lebih dari 85% orang kidal.
Lobus frontal mengontrol fungsi eksekutif, emosi, fungsi motorik, dan, di sisi dominan,
ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal mengarahkan fungsi sensorik
dan orientasi spasial, lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu, dan lobus
oksipital bertanggung jawab untuk penglihatan. (ATLS, 2018).

Batang otak terdiri dari otak tengah, pons, dan medula. Otak tengah dan pons
atas mengandung sistem pengaktif retikuler, yang bertanggung jawab atas keadaan
kewaspadaan. Pusat kardiorespirasi vital berada di medula, yang memanjang ke
bawah untuk terhubung dengan sumsum tulang belakang. Bahkan lesi kecil di batang
otak dapat dikaitkan dengan defisit neurologis yang parah (ATLS, 2018).
Otak kecil (cerebellum), yang bertanggung jawab terutama untuk koordinasi
dan keseimbangan, memproyeksikan posterior di fossa posterior dan terhubung ke
sumsum tulang belakang, batang otak, dan belahan otak. (ATLS, 2018).

2.2 Fisiologi Cedera Kepala


a. Tekanan Intrakranial
Tekanan intrakranial atau disingkat TIK partama kali diuraikan pada tahun 1820
oleh Profesor Monro dan Kellie. TIK adalah tekanan yang dihasilkan dari kombinasi
volume 3 komponen, yaitu parenkim otak (termasuk cairan ekstraseluler) sekitar 1400
ml, volume darah serebral sekitar 150 ml, dan cairan serebrospinal sekitar 150 ml dan
angka tersebut cenderung konstan. Nilai normal dari TIK sangat bervariasi, tergantung
usia, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK normal adalah <10-15 mmHg pada dewasa
yang berbaring, 3-7 mmHg pada anak-anak, dan 1,5-6 mmHg pada bayi cukup umur
(Greenberg, 2016).
Berdasarkan hipotesis Monro-Kellie, peningkatan volume dari salah satu
komponen akan dikompensasi oleh penurunan komponen lain untuk menghindari
terjadinya peningkatan TIK, namun jika terjadi peningkatan terus menerus atau
kompensasi yang dilakukan tidak berhasil, maka akan menyebabkan terjadinya
peningkatan TIK. Pada dewasa, dapat dikatakan terjadi peningkatan TIK jika nilainya
>15 mmHg (Greenberg, 2016).

Jika massa intrakranial membesar, kompensasi awal adalah pemindahan


cairan serebrospinal ke kanal spinal. Kemampuan otak beradaptasi terhadap
meningkatnya tekanan tanpa peningkatan TIK dinamakan compliance. Perpindahan
cairan serebrospinal keluar dari kranial adalah mekanisme kompensasi pertama dan
utama, tapi lengkung kranial dapat mengakomodasi peningkatan volume intrakranial
hanya pada satu titik. Ketika compliance otak berlebihan, TIK meningkat, timbul gejala
klinis, dan usaha kompensasi lain untuk mengurangi tekanan pun dimulai (Black &
Hawks, 2005)
Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah dalam otak. Ketika
volume darah diturunkan sampai 40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika 60%
darah otak hilang, gambaran EEG mulai berubah. Kompensasi ini mengubah
metabolisme otak, sering mengarah pada hipoksia jaringan otak dan iskemia (Black
& Hawks, 2005). Kompensasi tahap akhir dan paling berbahaya adalah pemindahan
jaringan otak melintasi tentorium dibawah falx serebri, atau melalui foramen magnum
ke dalam kanal spinal. Proses ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan
kematian dari kompresi batang otak. Otak disokong dalam berbagai kompartemen
intrakranial.
Kompartemen supratentorial berisi semua jaringan otak mulai dari atas otak
tengah ke bawah. Bagian ini terbagi dua, kiri dan kanan yang dipisahkan oleh falx
serebri. Supratentorial dan infratentorial (berisi batang otak dan serebellum) oleh
tentorium serebri. Otak dapat bergerak dalam semua kompartemen itu. Tekanan yang
meningkat pada satu kompartemen akan mempengaruhi area sekeliling yang
tekanannya lebih rendah (Black & Hawks, 2005). Autoregulasi juga bentuk
kompensasi berupa perubahan diameter pembuluh darah intrakranial dalam
mepertahankan aliran darah selama perubahan tekana perfusi serebral. Autoregulasi
hilang dengan meningkatnya TIK. Peningkatan volume otak sedikit saja dapat
menyebabkan kenaikan TIK yang drastis dan memerlukan waktu yang lebih lama
untuk kembali ke batas normal (Black & Hawks, 2005).

Tekanan intrakranial akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral (CPP /


Cerebral perfusion pressure) yang merupakan tekanan minimal untuk mencegah
keadaan iskemia. CPP dapat dihitung sebagai selisih antara rerata tekanan arterial
(MAP) dan tekanan intrakranial (ICP/TIK).

CPP = MAP – ICP atau MAP

Rumus ini dipakai ketika kranium sedang terbuka (saat operasi) dan ICP-nya
nol. Jadi perubahan pada tekanan intrakranial akan mempengaruhi tekanan perfusi
cerebral, dimana ini akan berakibat terjadinya iskemia otak. Bila terjadi kenaikan yang
relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan
memindahkan cairan serebrospinalis dari rongga tengkorak ke kanalis spinalis dan
disamping itu volume darah intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya
peregangan durameter.

Gambar 2.3 Hubungan Tekanan Intrakranial dan Volume


(Mayer SA, 2002)
Terjadinya cedera kepala dapat menyebabkan gangguan autoregulasi tekanan
perfusi otak dan menyebabkan otak tidak terlindungi dari perubahan hemodinamika
tubuh. Terganggunya autoregulasi berpotensi meninggikan tekanan intrakranial.

b. Doctrine Monroe-Kelly
Konsumsi oksigen otak (Cerebral Metabolicrate for Oxygen / CMRO2) adalah
sekitar 3,5 mL / 100 g/ min. Otak bergantung pada glukosa yang dibawa oleh aliran
darah untuk 90% kebutuhan energinya. Aliran darah serebral yang normal adalah kira
– kira 55 mL / 100 g / min dan biasanya dipertahankan pada level konstan lewat
mekanisme autoregulasi serebral. Hal ini di 7 luar variasi Mean Arterial Pressure /
MAP yang berkisar antara 50 – 150 mmHg. Pada TBI, mekanisme auto regulasi
serebral terganggu. Aliran darah serebral kemudian berfluktuasi dengan MAP dan
otak menjadi lebih rentan terhadap hipotensi (William et al, 2008). Otak dilindungi oleh
wadah yang rigid / kaku yaitu tulang tengkorak. Penambahan lesi berefek massa akan
menyebabkan kompensasi dengan cara memindahkan cairan serebrospinal
(Cerebrospinal Fluid / CSF) dan darah vena keluar dari ruang intra kranial. Selama
periode ini, tekanan intra kranial (Intra Cranial Pressure / ICP) akan tetap berada pada
level normal. Pada saat terjadi ekspansi lebih jauh dari lesi berefek massa, sedikit
peningkatan volume akan berakibat peningkatan TIK yang relatif besar, herniasi otak
dan perburukan klinis (William et al, 2008). Alexander Monro dan George Kellie
menyebutkan bahwa otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSS) merupakan
komponen yang tidak dapat terkompresi, peningkatan salah satu komponen ataupun
ekspansi massa di dalam tengkorak dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial, teori ini lebih lanjut disebut doktrin Monro-Kellie. TIK (Tekanan
Intrakranial) dapat mengakibatkan kerusakan otak melalui beberapa mekanisme.
Yang utama adalah efek TIK terhadap aliran darah otak. Mekanisme kedua adalah
akibat pergeseran garis tengah otak yang menyebabkan distorsi dan herniasi jaringan
otak. Perubahan TIK dikaitkan dengan perubahan volume dalam satu atau lebih
konstituen di dalam tempurung kepala. Tengkorak dan kanal tulang belakang,
bersama dengan dura relatif inelastis, membentuk sebuah wadah yang kaku,
sehingga peningkatan apapun dari otak, darah, atau CSS akan cenderung
meningkatkan tekanan intrakranial (TIK). Selain itu, setiap peningkatan salah satu
komponen harus dengan mengorbankan dua lainnya (doktrin Monro – Kellie).
Peningkatan kecil volume otak tidak menyebabkan peningkatan TIK langsung, karena
CSS akan dipindahkan ke kanal tulang belakang, serta sedikit meregangkan falks
cerebri. Namun, setelah TIK sudah mencapai sekitar 25 mmHg, peningkatan kecil
volume otak sudah dapat menyebabkan peningkatan TIK. Sirkulasi serebro-vaskuler
merupakan jaringan kompleks yang terdiri dari arteri dan vena. Perbedaan tekanan
yang mendorong darah memasuki sistem ini disebut dengan tekanan perfusi serebri
(CPP=Cerebral Perfusion Pressure). CPP = tekanan masuk arteri – tekananm keluar
vena Nilai normal CPP adalah 80 mmHg. Cerebral Blood Flow (CBF) adalah aliran
suplai darah ke otak. Pada dewasa, normal CBF berkisar 15% dari curah jantung.Nilai
CBF dapat dihitung dengan CPP dibagi dengan Cerebrovascular Resistance
(CVR). CPP dapat disederhanakan sebagai tekanan masuk yang kira-kira sama
dengan tekanan rata-rata arteri/ Mean arterial pressure (MAP) dikurangi tekanan
keluar yang kira-kira sama dengan tekanan intrakranial/ intracranial pressure
(TIK), sehingga: CPP = MAP – ICP,berhubungan langsung dengan
tekanan perfusi otak dan berhubungan tidak angsung dengan resistensi
serebrovaskuler (CVR = Cerebrovascular Resistence).
CBF = MAP – ICP CVR

Gambar 2.4 The Monro–Kellie Doctrine Regarding Intracranial Compensation for


Expanding Mass. The total volume of the intracranial contents remains constant. If the
addition of a mass such as a hematoma compresses an equal volume of CSF and
venous blood, ICP remains normal. However, when this compensatory mechanism is
exhausted, ICP increases exponentially for even a small additional increase in
hematoma volume.

c. Aliran Darah Ke Otak


Sistem saraf pusat jika dihitung merupakan 2% dari total berat badan (rata-rata
berat otak 1300 sampai 1500 gram) memiliki kebutuhan energi yang tinggi.3 Konsumsi
oksigen serebral yaitu 3,5 mL per 100g/mnt yang mana merupakan 20% dari
konsumsi total oksigen tubuh. Pada kondisi yang normal, aliran darah serebral dijaga
pada kisaran aliran yang konstan yaitu 50 mL sampai 60 mL per 100g/mnt dengan 50
mL oksigen telah diekstraksi setiap menit dari 700 sampai 800 mL darah. Nilai
ekstraksi oksigen tinggi dan perbedaan rata-rata O2 arteriovenose untuk sistem saraf
pusat yaitu 6,3 mL per 100 mL darah. Aliran darah serebral bergantung pada
perbedaan tekanan antara arterial dan vena sirkulasi serebral dan secara terbalik
proporsional terhadap resistensi vaskular serebral. Tekanan vena pada kapiler darah
tidak bisa diukur dan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP) sangat dekat
dengan tekanan vena, diukur untuk memperkirakan tekanan perfusi serebral (cerebral
perfusion pressure/CPP). CPP dihitung sebagai perbedaan antara tekanan arteri rata-
rata (mean arterial pressure/MAP) dan ICP. Nilai ICP normal pada orang dewasa yaitu
< 10 mmHg dan peningkatan ambang batas 20 mmHg biasanya diterima untuk
memulai terapi aktif. Nilai CPP 60 mmHg umumnya diterima sebagai nilai minimal
yang diperlukan untuk perfusi serebral yang adekuat. Doktrin Monro-Kelle
menyatakan bahwa volume total isi intrakranial (jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal (CSF) tetap konstan selama ditampung oleh kompartmen yang rigid
(skull), sebagai berikut:
VC = Votak + Vdarah + VCSF

Dengan peningkatan volume dari salah satu bagian bisa memulai kompensasi
dengan penggantian salah satu dari komponen yang lain. Vena serebral bisa
dikonstriksikan, mengakibatkan penurunan volume darah otak, dan volume CSF bisa
menurun karena kombinasi dari peningkatan resorpsi dan pengaliran CSF ke bagian
spinal. Dengan adanya peningkatan volume, mekanisme kompensasi dimunculkan,
sehingga peningkatan lebih lanjut pada volume menghasilkan peningkatan tajam ICP,
memulai gambaran kurva volume-pressure.

Gambar 2.5 Kurva Volume-pressure


Kebutuhan metabolik yang tinggi dari otak dengan kombinasi persediaan
substrat yang terbatas mengharuskan untuk menjaga level CBF dalam batas yang
normal. Dalam keadaan fisiologis, hal ini dipengaruhi lewat sebuah mekanisme yang
dinamakan autoregulasi. CBF meningkat dengan vasodilatasi dan menurun dengan
konstriksi arteriol serebral dinamakan cerebral resistance vessels. Pembuluh darah
berespon pada perubahan tekanan darah sistemik (autoregulasi tekanan), viskositas
darah (autoregulasi viskositas), dan kebutuhan metabolik yang menjaga level CBF
dalam batas yang tepat untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Autoregulasi tekanan
ditunjukkan pada gambar.

Gambar 2.6 Kurva autoregulasi CBF dan CPP normal

Reaktivitas CO2 merujuk pada respon pembuluh darah serebral dan akibat
CBF terhadap perubahan PCO2.3 Peningkatan tekanan CO2 merilekskan arteri
serebral in vitro. In vivo, perubahan perivaskuler PaCO2 atau pH yang sangat
terlokalisir bisa merubah diameter vaskuler, mengindikasikan bahwa elemen vaskuler
bertanggung jawab untuk mempengaruhi perubahan pada diameter pembuluh darah.
Kedua sel vaskuler (endotelium dan sel otot polos) dan sel ekstravaskuler (sel nervus
perivaskuler, neuron, dan glia) mungkin juga terlibat. Pada situasi klinis, perubahan
CBF kira-kira 3% untuk setiap milimeter perubahan raksa pada PaCO2 diatas kisaran
20 sampai 60 mmHg yang secara klinis penting pada pasien dangan trauma cedera
kepala. Hipoventilasi yang menghasilkan hiperkarbia menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan aliran darah serebral, sedangkan hiperventilasi menghasilkan
vasokonstriksi dan menurunkan aliran darah serebral.

d. Reaksi arteri terhadap tekanan (autoregulasi)


Sel otot polos dinding arteri berkontraksi terhadap respon peningkatan tekanan
intravaskuler pada segmen arterial lokal pada derajat lebih dari yang bisa kompensasi
peregangan pasif dinding pembuluh darah. Hasil keuntungannya adalah arteri
berkonstriksi pada tekanan yang lebih tinggi dan berdilatasi pada tekanan yang lebih
rendah pada proses yang dinamakan autoregulasi.
Tekanan memicu peningkatan membran potensial sel otot polos yang
kemungkinan terjadi karena modifikasi aktivitas channel sensitif ATP dan Ca2+
activated potassium pada membran plasma. Ambang kebocoran kalium dari sel ke
ruang ekstraseluler diatur oleh konduktansi kalium membran plasma dan merupakan
penentu utama membran potensial istirahat. Mekanisme pasti coupling mekanokimia
tidak diketahui pasti. Potensial membran mengatur konsentrasi intraseluler Ca2+
lewat efek channel voltage-gated Ca2+. Konsentrasi intraseluler Ca2+ merupakan
pengatur utama tonus sel otot polos dengan fosforilasi regulatory light chains of
myosin yang dimediasi oleh Ca2+/calmodulin myosin light chain kinase dengan
interaksi subsekuen dari aktin dan miosin. Kejadian ini tidak bergantung pada
endotelium dan konstriksi arterial dalam respon pada tekanan luminal merupakan
reflek myogenik intrinsik.
Arteri yang diisolasi bisa menunjukkan fluktuasi spontan pada potensial
membran sel otot polos dan tonus (vasomotion) yang mungkin bisa berhubungan
dengan konsentrasi sel ke sel. Karena sel endotelial berorientasi secara longitudinal
pada axis pembuluh darah dan sel otot polos tersusun secara sirkuler, salah satu
hipotesa yang menarik bahwa sel endotel bisa berkoordinasi dengan tonus banyak
sel otot polos dan sehingga derajat kontraksi melebihi sebuah segmen arterial.
Mekanisme seperti ini memiliki respon waktu mereka sendiri dan mungkin
menjelaskan fluktuasi spontan.

e. Perbedaan organ tertentu dalam respon arterial terhadap tekanan


Sinyal Ca2+ dimodulasi dengan banyak cara. Fosfolipase dan protein kinase C
dilibatkan dalam proses ini. Arterial otot skeletal berbeda dengan pembuluh darah
serebral pada beberapa respek penting. Pertama, pengaturan membran potensial
yang berhubungan dengan tekanan diatur lebih rendah. Kedua, terdapatnya sumber
alternatif kalsium intraseluler dan modulasi yang berbeda pada channel calcium
dependent potassium. Hal ini dan sumber aktivitas channel kalium memodifikasi
membran potensial sel otot polos dan mungkin menjelaskan perbedaan respon arterial
terhadap tekanan darah pada jaringan vaskuler yang berbeda, dengan demikinan
berperan pada distribusi aliran beberapa organ.
f. Interaksi autoregulasi dan vasodilatasi hipoksia
Tonus otot polos arterial dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu konduktansi
kalium, potensial membran, konsentrasi Ca2+ intraseluler, dan tonus otot polos
membantu penentuan level insiden resistensi vaskuler. Salah satu vasodilator yang
kuat yaitu hipoksia.
Reaktivitas O2 bergantung pada sejumlah mekanisme. Vasodilatasi hipoksia
mungkin bisa sangat penting untuk pertahanan, bahwa beberapa sistem paralel telah
berkembang untuk mengurangi resiko kegagalan. Reaktivitas O2 bergantung pada
bagian endotelium yang intak dan produksi nitrit oksida (NO). NO bekerja lewat sistem
sinyal intraseller cyclic guanidine monophosphate (cGAMP) dan efek vasodilator
setidaknya karena bisa membuka penuh channel calcium activated potassium dan
ATP-sensitive potassium.
Hipoksia juga mengakibatkan laktasidosis jaringan. penurunan pH merupakan
poin interaksi antara reaktivitas O2 dan reaktivitas CO2. Hipoksia juga memiliki efek
langsung dengan selektif membuka Ca2+-activated potassium channel dan channel
ATP-sensitive potassium pada membrtan sel.
Semua mekanisme ini menghubungkan hipoksia terhadap hiperpolarisasi sel
otot polos sehingga terjadi vasodilatasi. Efek ini sama tanpa memperhatikan tekanan
intravaskular. Pada batasan lebih rendah dari tekanan arterial, penurunan membran
potensial hanya mengawali untuk dilatasi arteria minimal lebih lanjut karena membran
potensial/hubungan tonus muskuler diluar steep part. Pada prakteknya, hal ini berarti
pada keadaan tekanan perfusi yang rendah, jalur dilator mungkin sudah hampir
secara maksimal diaktivasi. Sehingga, kadar oksigen yang rendah mungkin tidak bisa
dikompensasi secara tepat dengan meningkatkan aliran darah (mengurangi hiperemia
reaktif) ketika tekanan darah juga rendah. Hasilnya yaitu jaringan hipoksik iskemia.

g. Interaksi autoregulasi dan PCO2


Arteri dan arteriol berkonstriksi dengan hipokapnia dan berdilatasi dengan
hiperkapnia. Bagian prinsipal dari reaksi ini dimediasi melalui konsentrasi hidrogen
(pH). Perivaskuler pH memiliki efek langsung terhadap membran potensial sel otot
polos arteri karena konsentrasi ekstraseluler hidrogen merupakan penentu primer
konduktansi kalium membran plasma sel otot polos.
Gambar 2.7 Skema sederhana regulasi tonus otot polos vaskuler oleh konsentrasi
intraseluler Ca2+.

Lebih lanjut, peningkatan konsentrasi ion hidrogen ekstraseluler (sampai


derajat yang lebih rendah dari intraseluler) mengurangi konduktansi channel voltage-
dependent Ca2+. Sehingga, konsentrasi intraseluler Ca2+ dan konsentrasi sel otot
polos dikurangi.
Perubahan pada PCO2 memiliki efek yang lebih pada aliran darah serebral
(CBF) daripada aliran darah pada organ lain karena adanya brain blood barrier yang
terdapat endotelium. Endotel dari pembuluh darah intrakranial memiliki ikatan yang
kuat dan tidak mengijinkan HCO3+ untuk lewat dengan bebas. Difusi terbatas dari
HCO3+ memberikan arti bahwa hiperkapnia menurunkan pH pada ruang perivaskuler
di otak lebih daripada yang di darah dimana buffering lebih efektif karena adanya
hemoglobin. Perbedaan ini berlangsung sampai konsentrasi HCO3+ seimbang
selama beberapa jam kemudian.

h. Patofisiologi aliran darah cerebral pada trauma cedera kepala Cedera


kepala masih menunjukkan penyebab awal morbiditas dan mortalitas individu
dibawah umur 45 tahun di dunia. Mekanisme prinsipal cedera kepala diklasifikasikan
sebagai (a) kerusakan otak fokal karena tipe cedera kontak yang menyebabkan
terjadinya kontusio, laserasi, dan perdarahan intrakranial atau (b) kerusakan otak difus
karena tipe cedera akselerasi/deselerasi yang menghasilkan cedera axonal difus atau
pembengkakan otak. Hasil dari cedera kepala ditentukan oleh dua mekanisme/stage
substansial yang berbeda: (a) primary insult (kerusakan primer, kerusakan mekanikal)
yang terjadi saat waktu terbentur, (b) secondary insult (kerusakan sekunder, delayed
non-mechanical damage) menunjukkan proses patologi berturutan yang dimulai saat
waktu cedera dengan presentasi klinis yang ditunda. Iskemia serebral dan hipertensi
intrakranial merujuk pada secondary insult.

Aliran darah otak dijaga dalam level yang konstan pada otak normal saat
fluktuasi biasa pada tekanan darah dengan proses autoregulasi. Normalnya
autoregulasi menjaga aliran darah konstan antara tekanan arteri rata-rata (MAP)
50mmHg dan 150 mmHg. Namun, pada otak yang iskemik atau mengalami trauma,
atau sedang mendapat agen vasodilator (agen votil dan sodium nitropruside) aliran
darah otak CBF bisa bergantung pada tekanan darah. Defek autoregulasi aliran darah
serebral bisa muncul segera setelah trauma atau mungkin bisa berkembang selama
waktu, dan hal ini menjadi transien atau persisten dalam keadaan yang irrespective
adanya kerusakan ringan, sedang, atau parah. Sehingga tekanan arteri meningkat
lalu CBF akan meningkat menyebabkan peningkatan volume otak. Sama seperti jika
tekanan turun, CBF juga akan turun mengurangi tekanan intrakranial, tapi juga
memicu pengurangan tak terkontrol CBF.
Autoregulasi serebrovaskular dan reaktivitas CO2 merupakan mekanisme
penting untuk menyediakan aliran darah serebral yang cukup setiap saat. Demikian
juga, kedua pola tersebut merupakan dasar manajemen tekanan perfusi serebral dan
tekanan intrakranial dan gangguan mekanisme regulator mencerminkan peningkatan
resiko kerusakan otak sekunder. Setelah terjadi trauma cedera kepala, autoregulasi
aliran darah serebri mengalami gangguan atau tidak ada pada kebanyakan pasien.
Keadaan sementara pada patologi ini tidak sejalan dengan keparahan cedera untuk
menghasilkan kegagalan autoregulasi. Defek autoregulasi bisa muncul segera setelah
trauma atau bisa berkembang seiring perjalanan waktu, dan menjadinyata atau
persisten pada bentuknya tidak selaras dengan kerusakan ringan, sedang, atauberat.
autoregulasi vasokonstriksi juga sepertinya lebih resisten dibandingkan dengan
autoregulasi vasodilatasi yang mengindikasikan pasien lebih sensitif pada kerusakan
rendah daripada tekanan perfusi serebral tinggi.
Dibandingkan dengan autoregulasi aliran darah serebral, reaktivitas CO2
serebrovaskular terlihat memiliki fenomena lebih kuat. Pada pasien yang mengalami
cedera otak parah dan prognosis buruk, terjadi gangguan reaktivitas CO2 pada fase
awal setelah trauma. sebaliknya reaktivitas CO2 lebih utuh atau mungkin meningkat
pada kebanyakan pasien yang menerima prinsip fisiologis sebagai target manajemen
intrakranial pada status hiperemik.
Banyak studi terbaru telah menunjukkan bahwa setelah terjadi trauma
autoregulasi masih bisa berfungsi. Pada situasi jika CPP turun dibawah nilai kritis 70
mmHg, pasien akan mengalami perfusi serebral yang tidak adekuat. Autoregulasi
akan menyebabkan vasodilatasi serebral mengawali peningkatan volume otak. Hal ini
sebaliknya akan meningkatkan tekanan intrakranial dan memicu lingkaran visius yang
dijelaskan dengan kaskade vasodilatasi yang menghasilkan iskemia serebral.

Gambar 2.7 Kaskade Vasodilatasi

Proses ini hanya bisa dirusak dengan meningkatkan tekanan darah untuk
menaikkan tekanan perfusi serebral, yang memicu kaskade vasokonstriksi. Hal ini
menjelaskan mengapa pemeliharaan tekanan darah arteri pada level yang adekuat
dengan monitoring cermat dan koreksi yang cepat jika terjadi penurunan sangatlah
penting.

Gambar 2.8 Kaskade vasokonstrik

Karbon dioksida menyebabkan vasodilatasi serebral. Dibandingkan dengan


autoregulasi serebral, reaktivitas CO2 (konstriksi serebrovaskuler atau dilatasi pada
respon terhadap hipo- atau hiperkapnia) kelihatannya merupakan kejadian yang lebih
kuat. Dengan terjadi peningkatan tekanan arterial CO2, CBF meningkat dan ketika
terjadi pengurangan maka akan memicu vasokonstriksi. Sehingga hiperventilasi bisa
mengawali terjadinya pengurangan rata-rata tekanan intrakranial sekitar 50% dalam
2-30 menit. Ketika PaCO2 kurang dari 25 mmHg (3,3kPa) tidak terdapat pengurangan
lebih lanjut pada CBF. Akibatnya, tidak terdapat keuntungan untuk memicu hipokapnia
lebih lanjut sebagaimana hanya akan menggeser kurva disosiasi lebih ke kiri,
membuat oksigen kurang tersedia untuk jaringan.

Gambar 2.9 Kurva hubungan PCO2 arterial dengan CBF

Vasokonstriksi hipokapnia akut hanya akan berlangsung untuk waktu yang


relatif singkat. Sementara hipokapnia dipelihara, terjadi peningkatan gradual CBF
pada nilai kontrol yang memicu terjadinya hiperemia serebral (over-perfusion) jika
PaCO2 dikembalikan secara cepat menjadi normal level. Ketika ventilasi jangka
panjang diperlukan, hanya hipokapnia ringan (34-38 mmHg: 4,5-5,1 kPa) harus dipicu.
Hasil yang lebih buruk pernah dilaporkan pada pasien setelah cedera kepala pada
bulan ketiga dan keenam yang telah dilakukan hiperventilasi pada level PaCO2
rendah untuk periode yang lama (Greisen, 2007).

2.4. Klasifikasi Cedera Kepala


Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera kepala
diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi,
yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.

2.4.1. Mekanisme Cedera Kepala


Percobaan biomekanika cedera kepala telah banyak dipelajari pada hewan
coba, kadaver manusia, dan model eksperimental tulang kepala dan otak. Pada tahun
1943, Holbourn menunjukkan efek kekuatan rotasional dengan gel pada tengkorak
manusia, dan 3 tahun kemudian, (Pudenz and Shelden, 1947) merekam fenomena ini
pada tengkorak monyet yang digantikan dengan plastik transparan. Perkembangan
teknologi memungkinkan dengan Computed Tomography (CT Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) mempelajari efek linier dan angular akselerasi pada otak
pasien percobaan (Bayly dkk, 2005).
Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat memperkirakan
dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama diantaranya kekuatan cedera
(kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional, translational, atau angular), dan besar
serta lamanya dampak tersebut berlangsung. Kekuatan kontak terjadi ketika kepala
bergerak setelah suatu gaya, sedangkan gaya inersia terjadi pada percepatan atau
perlambatan kepala, sehingga gerak diferensial otak relatif terhadap tengkorak.
Meskipun satu proses mungkin mendominasi, sebagian besar pasien dengan cedera
kepala mengalami kombinasi dari mekanisme ini.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala (Goldsmith, 1966);
benturan kepala dengan benda padat pada kecepatan yang cukup, beban impulsif
memproduksi gerak tiba-tiba kepala tanpa kontak fisik yang signifikan, dan statis
beban kompresi statis atau kuasi kepala dengan kekuatan bertahap.
Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera fokal seperti memar dan
patah tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi mengakibatkan cedera
fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma (SDH), sedangkan cedera rotasi
akselerasi dan deselerasi lebih cenderung mengakibatkan cedera difus mulai dari
gegar otak hingga Diffuse Axonal Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus
menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam
(Youmans, 2011).
Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan rotasi,
merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia. Karena sifat biomekanis
kepala dan leher, cedera kepala sering mengakibatkan defleksi kepala dan leher
bagian tengah atau tulang belakang leher bagian bawah (sebagai pusat pergerakan).
Gambar 2.1. Diffuse Injury - Akselerasi dan Deselerasi (Bigler, 2000)

Cedera lainnya merupakan trauma penetrasi atau luka tembak yang


mengakibatkan perlukaan langsung organ intrakranial, yang pasti membutuhkan
intervensi pembedahan.

2.4.2. Beratnya Cedera Kepala

Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara klinis


sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis dan tingkat
kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma

Scale (GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera


kepala dan faktor patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran.

Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada
1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
otak (Teasdale, 1974). Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara
spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15,
sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak
membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama
dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera
otak berat.
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9- 13
dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14- 15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of
Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu:

2.4.3. Morfologi Cedera Kepala


Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area terjadinya
trauma (Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri
dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma
kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh
pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan
trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara
tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala
terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater.
(Anderson, Heitger, and Macleod, 2006).
Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: (Pascual et al, 2008)

2.4.3.1. Laserasi Kulit Kepala


Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda tajam lukanya akan
tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal
kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit kepala sering di dapatkan pada pasien
cedera kepala.
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim SCALP
yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, loose connective tissue dan
percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar
yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala sering
terjadi robekan pada lapisan ini.

2.4.3.2. Fraktur tulang kepala


Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:
1. Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata
pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.
2. Fraktur Diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang
tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur
ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat.
3. Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari
satu fragmen dalam satu area fraktur.
4. Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar
yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada tulang kepala
dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan jaringan
otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen
tulang yang impresi masuk hingga berada di bawah tabula interna segmen
tulang yang sehat.
5. Fraktur basis cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater yang
melekat erat pada dasar tengkorak. pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
adanya rhinorrhea dan racon eyes sign pada fraktur basis cranii fossa anterior, atau
ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis cranii fossa media.

2.4.3.3. Luka memar (kontusio)


Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya,
kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar
pada otak terjadi apabila otak menekan pembuluh darah kapiler pecah. Biasanya
terjadi pada tepi otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang
besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada
kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang disebut
edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat menimbulkan penekanan hingga
dapat mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).

2.4.3.4. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini
bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan
subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang
rusak.

2.4.3.5. Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit
pada kranial terlepas setelah cedera (Mansjoer, 2010).
2.5 Initial Assessment

Algoritma Asesmen awal Cidera Kepala Ringan (ATLS, 2018)


Algoritma Asesmen awal Cidera Kepala sedang (ATLS, 2018)

a. Airway and Cervical Spine


Henti pernapasan sementara dan hipoksia sering terjadi pada pasien dengan
cedera otak yang parah dan dapat menyebabkan otak sekunder cedera. Sehingga
ketika pasien tiba di gawat darurat (UGD) penilaian segera perlu dilakukan untuk
memastikan bahwa jalan nafas paten. Ini mungkin termasuk mengkonfirmasikan
posisi perangkat jalan napas yang ada, atau melakukan intervensi jalan napas de-
novo. Hingga lakukan intubasi endotrakeal dini di pasien koma apabila diperlukan
(ATLS, 2018).
Sementara intubasi mungkin darurat dalam konteks obstruksi jalan napas, dalam
situasi lain biasanya ada waktu untuk melakukan pemeriksaan terfokus untuk
menentukan skor Skala Koma Glasgow (GCS), ukuran pupil dan reaktivitas dan
adanya tanda-tanda cedera tulang belakang. Setelah induksi anestesi, penilaian klinis
lebih lanjut akan terbatas (Puntis, 2017).
Bolus cairan mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah sistemik
selama transisi ke ventilasi tekanan positif dan preoksigenasi dan insuflasi apnoeic
secara dramatis mengurangi kejadian hipoksia. (Wimalasena, 2015)
Kemudian cedera tulang belakang leher relatif jarang dan seringkali tidak terkait
dengan cedera tulang belakang. Namun, beberapa cedera mungkin tidak stabil dan
ada risiko cedera iatrogenik. (Sundheim, 2006) Ada beberapa kontroversi tentang
imobilisasi tulang belakang leher, tetapi penting untuk mempertimbangkan risiko
cedera tali pusat terutama selama intubasi. Stabilisasi inline manual (MILS) harus
digunakan selama laringoskopi dan penggunaan bougie karet elastis atau laringoskop
video dapat membantu membatasi kekuatan yang ditransmisikan ke tulang belakang
leher. Kerah cervical yang kaku berpotensi menyebabkan efek samping dan harus
segera dikeluarkan begitu cedera cervical dikeluarkan. (Puntis, 2017)

b. Breathing

Beri ventilasi pada pasien dengan oksigen 100% hingga pengukuran gas
diperoleh, dan kemudian lakukan penyesuaian yang tepat untuk fraksi yang oksigen
(FIO2) yang digunakan. Oksimetri nadi adalah tambahan yang berguna, dan
saturasi oksigen> 98% diinginkan. Atur parameter ventilasi untuk mempertahankan
PCO2 sekitar 35 mm Hg. Cadangan hiperventilasi akut pada pasien dengan cedera
otak parah untuk mereka yang kerusakan neurologis akut atau tanda-tanda
herniasi. Hiperventilasi berkepanjangan dengan PCO2 <25 mm Hg adalah tidak
diinginkan. Ventilasi mekanis akan diperlukan jika pasien telah dilakukan diintubasi
untuk mempertahankan paten dan jalan napas yang dilindungi. Namun, mungkin
ada indikasi lain untuk ventilasi (ATLS, 2018).

C. Circulation
Hipotensi biasanya bukan karena cedera otak itu sendiri, kecuali pada tahap
terminal ketika kegagalan medula terjadi atau ada yang bersamaan cedera saraf
tulang belakang. Pendarahan intrakranial tidak bisa menyebabkan syok hemoragik.
Jika pasien hipotensi, segera lakukan euvolemia menggunakan produk darah, atau
cairan isotonik sesuai kebutuhan. Ingat, pemeriksaan neurologis pasien dengan
hipotensi tidak dapat diandalkan. Pasien hipotensi yang tidak responsif terhadap
segala bentuk stimulasi dapat pulih dan secara substansial membaik segera
setelahnya tekanan darah normal pulih. Sangat penting untuk segera mencari dan
memperlakukan sumber utama hipotensi (ATLS, 2018).
Hipotensi harus dikelola dengan memberikan cairan untuk mengembalikan
normovolemia. Untuk cedera kepala terisolasi kristaloid mungkin tepat, tetapi
polytrauma akan membutuhkan kombinasi darah dan produk darah untuk
menghindari koagulopati dilusional. (Puntis, 2017).

d. Disability/ Neurological Assessment


1. Neurological Assessment

Segera setelah status kardiopulmoner pasien dikelola, lakukan pemeriksaan


neurologis yang cepat dan terfokus. Ini terutama terdiri dari menentukan skor GCS
pasien, respons cahaya pupil, dan defisit neurologis fokal (Puntis, 2017)
Penting untuk mengenali masalah-masalah yang membingungkan dalam
evaluasi TBI, termasuk keberadaan obat-obatan, alkohol / minuman keras lainnya,
dan cedera lainnya. Jangan mengabaikan cedera otak yang parah karena pasien juga
intoksikasi. Keadaan postictal setelah kejang traumatis biasanya akan memperburuk
respons pasien selama beberapa menit atau jam. Pada pasien koma, respons motorik
dapat ditimbulkan dengan mencubit otot trapezius atau dengan bedeng kuku atau
tekanan ridge supraorbital (Puntis, 2017).
Ketika seorang pasien menunjukkan respons variabel terhadap stimulasi,
respons motorik terbaik yang timbul adalah indikator prognostik yang lebih akurat
daripada respons terburuk. Pengujian untuk pergerakan mata boneka (oculocephalic),
tes kalori dengan air es (oculovestibular), dan pengujian respon kornea ditunda ke ahli
bedah saraf (Puntis, 2017).
Jangan pernah mencoba tes doll’s eye sampai cedera tulang belakang leher
telah disingkirkan. Penting untuk mendapatkan skor GCS dan melakukan
pemeriksaan pupillary sebelum menenangkan atau melumpuhkan pasien, karena
pengetahuan tentang kondisi klinis pasien penting untuk menentukan perawatan
selanjutnya. Jangan gunakan agen paralitik dan sedasi jangka panjang selama survei
primer. Hindari sedasi kecuali ketika keadaan gelisah pasien dapat menimbulkan
risiko. Gunakan agen kerja terpendek yang tersedia ketika kelumpuhan farmakologis
atau sedasi singkat diperlukan untuk intubasi endotrakeal yang aman atau
memperoleh studi diagnostik yang andal. (Puntis, 2017)
Ketika seorang pasien memerlukan intubasi karena gangguan jalan napas,
lakukan dan dokumentasikan pemeriksaan neurologis singkat sebelum memberikan
obat penenang atau paralitik (Puntis, 2017).

Tabel GCS (ATLS, 2018).

2. Neurological Management

Edema serebral dan pembentukan hematoma intrakranial dapat terjadi


menyebabkan peningkatan TIK yang dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. (Vik
A, Nag T, 2008) Bahkan singkat, 5 menit, episode peningkatan TIK adalah terkait
dengan hasil yang lebih buruk. (Stein DM, 2011)
Selama resusitasi, penting untuk menghindari peningkatan TIK yang tidak
perlu. Kerah serviks dan ikatan tabung endotrakeal seharusnya tidak menekan
vena jugularis, analgesia dan sedasi yang memadai harus diberikan, dan pasien
harus diposisikan dengan ketinggian 30 kepala tempat tidur (jika status
kardiovaskular dan cedera lainnya memungkinkan) (Puntis, 2017).
Pasien dengan skor GCS yang memburuk atau perubahan pupil
menyarankan peningkatan TIK atau mungkin herniasi segera manfaat dari
pemberian cairan hiperosmolar untuk mengurangi edema serebral. Penggunaan
mannitol (0,25 g - 1.0 g / kg) direkomendasikan untuk perawatan akut peningkatan
TIK tetapi tidak pernah menjadi sasaran perbandingan acak terhadap plasebo.
Saline hipertonik adalah agen alternatif yang mungkin memiliki keuntungan dalam
syok hemoragik. (Puntis, 2017)
Autoregulasi serebral sering terganggu pada TBI dan serebral aliran darah
bisa menjadi tergantung pada tekanan. Peningkatan TIK dengan penurunan
tekanan perfusi otak selanjutnya akan menyebabkan iskemia serebral dan
karenanya harus dihindari. Jika pemantauan TIK tersedia, tekanan perfusi otak
dapat dihitung dan tekanan darah sistemik dapat ditingkatkan untuk
mempertahankan perfusi otak yang memadai (Puntis, 2017).

e. Exposure
Selama Primary Survey, buka seluruh pakaian pasien, biasanya dengan
memotong pakaiannya dengan tujuan untuk memudahkan pemeriksaan dan
penilaian menyeluruh. Setelah menyelesaikan penilaian, lindungi pasien dengan
selimut hangat atau perangkat pemanasan eksternal untuk mencegah terjadinya
hipotermia di daerah penerima trauma. Hangatkan cairan intravena sebelumnya
digunakan, dan menjaga lingkungan yang hangat. Hipotermia dapat muncul saat
pasien datang, atau mungkin berkembang dengan cepat di UGD jika pasien tidak
tertutup. Hipotermia adalah komplikasi yang berpotensi menjadi penyebab
kematian pasien yang cedera, sehingga harus segera dilakukan tindakan agresif
untuk mencegah hilangnya panas tubuh dan mengembalikan suhu tubuh normal.
(Puntis, 2017)
Gambar 4. Manajemen Traumatic Brain Injury (ATLS,2018)

Adjunct to Primary Survey

Adjunct to Primary Survey meliputi elektrokardiografi secara berkelanjutan,

Pulse Oxymetry, pemantauan dan penilaian tingkat ventilasi karbon dioksida (CO2),

dan pengukuran gas darah arteri (ABG). Selain itu, kateter urin bisa ditempatkan untuk

memantau keluaran urin dan menilai hematuria. Kateter lambung / Nasogastric Tube

dapat digunakan untuk mendekompresi distensi dan menilai apakah ada darah dalam

saluran pencernaan. Tes bermanfaat lainnya termasuk laktat darah, pemeriksaan x-

ray (dada dan panggul), FAST ( Focused Assesment Sonography for Trauma), adalah
penilaian terfokus yang diperluas dengan sonografi untuk trauma (eFAST), dan DPL

(ATLS, 2018).

Pada pasien dengan cedera kepala penting untuk secara cepat

mengidentifikasi semua cedera yang signifikan dan pemindaian multislice dengan CT

Scan dalam resusitasi trauma. CT-Scan adalah modalitas utama untuk

mengidentifikasi cedera otak dan sinar-X tengkorak dan tulang belakang serta MRI

tidak memiliki peran selama fase resusitasi trauma mayor. Semua orang dewasa

dengan cedera kepala sedang atau parah harus melakukan CT scan kepala dan tulang

belakang leher dalam 60 menit. Indikasi lain untuk pemindaian segera termasuk

kejang pasca-trauma, defisit neurologis fokal atau lebih dari satu episode muntah.

Penderita cedera kepala ringan yang belum kembali ke skor GCS 15 seharusnya juga

memiliki pemindaian dalam waktu 2 jam untuk menyingkirkan kelainan intrakranial.

Pencitraan berulang dapat diindikasikan saat cedera otak berkembang, dan sangat

penting setelah setiap penurunan klinis atau peningkatan TIK yang signifikan (ATLS,

2018). Kriteria untuk melakukan CT-Scan Kepala :

• Skor C Glasgow Coma Scale (GCS) <13 pada penilaian awal

• GCS <15 at 2 jam setelah cedera pada penilaian di IGD

• Dugaan fraktur tengkorak terbuka atau tertekan

• Tanda-tanda fraktur tengkorak basal

• Kejang pasca-trauma

• Defisit neurologis fokal

• Lebih dari satu episode muntah sejak cedera kepala

f. Secondary Survey

Secondary Survey tidak dimulai sampai Primary Survey selesai, upaya


resusitasi sedang berlangsung, dan peningkatan fungsi vital pasien telah ditunjukkan.
Ketika personel tambahan tersedia, bagian dari survei sekunder dapat dilakukan
sementara personel lain menghadiri survei primer. Metode ini tidak boleh
mengganggu kinerja survei primer, yang merupakan prioritas tertinggi. Survei
sekunder adalah evaluasi head-to-toe dari pasien trauma — yaitu, riwayat lengkap
dan pemeriksaan fisik, termasuk penilaian ulang pasien. semua tanda vital. Setiap
daerah tubuh diperiksa sepenuhnya. Potensi untuk kehilangan suatu cedera atau
gagal menghargai signifikansi dari suatu cedera adalah besar, terutama pada pasien
yang tidak responsif atau tidak stabil (ATLS, 2018)
Setiap penilaian medis lengkap termasuk riwayat mekanisme cedera.
Seringkali, riwayat seperti itu tidak dapat diperoleh dari pasien yang mengalami
trauma yang berkelanjutan; Oleh karena itu, personel pra-rumah sakit dan keluarga
harus memberikan informasi ini. Riwayat AMPLE adalah mnemonik yang berguna
untuk tujuan ini: Allergies, Medications currently used, Past illnesses/Pregnancy,
Last meal Events/Environment related to the injury. (ATLS, 2018)
Kondisi pasien sangat dipengaruhi oleh mekanisme cedera. Pengetahuan
tentang mekanisme cedera dapat meningkatkan pemahaman tentang keadaan
fisiologis pasien dan memberikan petunjuk untuk cedera yang diantisipasi. Selama
survei sekunder, pemeriksaan fisik mengikuti urutan kepala, struktur maxillofacial,
tulang belakang leher dan leher, dada, perut dan panggul, perineum / rektum /
vagina, sistem muskuloskeletal, dan sistem neurologis (ATLS, 2018).
Lakukan pemeriksaan serial (perhatikan skor GCS, lateralisasi tanda-tanda,
dan reaksi pupil) untuk mendeteksi kerusakan neurologis sedini mungkin. Tanda
awal yang diketahui dari herniasi lobus temporal (uncal) adalah pelebaran pupil dan
hilangnya respons pupil terhadap cahaya. Trauma langsung pada mata juga dapat
menyebabkan respons pupil abnormal dan dapat terjadi evaluasi murid sulit.
Namun, dalam pengaturan trauma otak, cedera otak harus dipertimbangkan
terlebih dahulu. Pemeriksaan neurologis lengkap dilakukan selama survei
sekunder. (Puntis, 2017).

2.6 Manajemen

2.6.1 Manajemen Pre Hospital

Selain keuntungan dari intervensi awal, beberapa terapi pre-hospital sudah


membuktikan keefektifannya. Dalam sembilan ujia coba kontrol acak dan satu studi
kohort mengenai terapi cairan pre-hospital pada pasien dengan cedera trauma
kepala, kristaloid hipertonik dan solusi koloid tidak lebih efektif dibandingkan salin
isotonik (Rosenfeld et al., 2012)
Sesuai dengan semua fase pada terapi cedera kepala berat, strategi pre
hospital harus fokus kepada pencegahan cedera otak sekunder. Intubasi secara
cepat pada pre hospital dilakukan paramedis pada cedera kepala dengan GCS <9
berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Hasilnya berhubungan dengan
hipoksia trasnient selama prosedur pre hospital, ventilasi berlebihan yang
menyebabkan hipokarbi, vasokonstriksi dan gangguan CBF (Vella et al., 2018).

2.6.2 Pencegahan Timbulnya Cedera Sekunder


Cedera sekunder merupakan keterlibatan dari kaskade proses seluler yang
terjadi dalam waktu yang bersamaan dengan cedera primer. Selama beberapa jam
pertama setelah cedera berbagai proses mekanisme peradangan, eksitotoksik,
stress oksidatif, metabolik, vaskular dan mitokondrial teraktivasi dan setiap proses
telah berkembang dan menginisiasi trauma berikutnya (Stiver dan Manley ., 2008)

Peningkatan tekanan intrakranial, edema otak, disautoregulasi, dan


terganggunya metabolisme otak merupakam sekuel uanh berhubungan dengan
trauma otak. Pasien dengan trauma multipel biasanya juga mempengaruhi status
kardiopulmoner, dan karena itu mereka sangat rentan dengan cedera sekunder.
Proses sekunder sangat umum terjadi dan merupakan prediktor independen dari
hasil yang buruk pada pasien dengan trauma kepala. Kedalaman dan durasi
hipotensi, tetapi tidak hipoksia, telah terbukti menjadi tren dalam dosis-respons
dengan skor Glasgow Outcome Scale Score dalam 3 bulan (Stiver dan Manley.,
2008)
Saat ini, kita tidak dapat membalikkan peristiwa penyebab dari cedera kepala
selain diduga sebagai cedera primer. Hipotensi, sebelumnya didefinisikan sebagai
tekanan darah sistolik <90 mmHg dan hipoksia merupakan PaO2 ≤60 mmHg
diduga merupakan penyebab dari dua kali peningkatan resiko dari mortalitas pada
pasien dengan cedera kepala. Penelitian dari tahun 1970 menunjukkan hubungan
antara penurunan kondisi sitemik, utamanya hipotensi , hipoksia dan hiperkarbia
dan peningkatan mortalitas menunjukkan pentingnya peran dari pusat trauma untuk
memindahkan pasien dengan cedera kepala berat. Strategi terapi harus fokus pada
pencegahan cedera sekunder (hipoksia, hipotensi) dengan mempertahankan CBF
yang adekuat dan mencegah hipoksia (Vella et al., 2018)

2.6.3 Departemen Kegawatdaruratan


Penatalaksanaan awal pasien dengan trauma kepala berat idealnya sama
untuk semua pasien trauma yang berfokus pada ATLS dimulai dari airway,
breathing, circulation diikuti dengan pemeriksaan neurologis dan keterpaparan
pasien dengan pencegahan hipotermi (Vella et al., 2018)
Jalan nafas harus diamankan sesuai protokol. Induksi obat seperti propofol
harus digunakan secara hati-hati, karena kemungkinan diberikan bersamaan
dengan induksi inotropik, memberikan resiko hipotensi sistemik dengan gangguan
CBF. Pernafasan harus dioptimalkan untuk mempertahankan oksigenasi dan
mencegah gangguan ventilasi, seperti peningkatan CO2 yang ekstrem dapat
menyebabkan vasokonstriksi, vasodilatasi cerebral yang menunjukan sebagai
prediktor morbiditas dan mortalitas. Hiperventilasi digunakan untuk menurunkan
tekanan intrakranial melalui mekanisme vasokonstriksi hipokarbia, meskipun
penelitian menunjukkan hubungan antara hiperventilasi yang singkat dan
peningkatan mediator dari cedera otak sekunder di daerah yang berdekatan
dengan jaringan otak yang terluka serta pengurangan lokal dalam perfusi otak
(Vella et al., 2018)
Sirkulasi harus dipertahankan dengan baik untuk mencegah hipotensi dan
mempertahankan CBF. Terdapat koagulopati yang berhubungan dengan cedera
kepala yang kemungkinan terkait dengan pelepasan faktor jaringan ditambah
dengan hipoperfusi, yang dapat dieksaserbasi oleh resusitasi kristaloid murni. PRC
yang tidak di-crossmatched merupakan pilihan resusitasi cairan awal yang
digunakan pada pasien trauma, dengan target untuk mempertahankan SBP ≥90
mmHg pada pasien yang dicurigai cedera kepala (Vella et al., 2018)
Selama komponen “disability”, pemeriksaan neurologis cepat harus
dilakukan. Evaluasi fokus pada pemeriksaan pupil, tanda lateralisasi yang dicurigai
adanya lesi massa dengan peningkatan tekanan intrakranial, dan perhitungan skor
GCS untuk stratifikasi keparahan cedera otak. Pasien kemudian dievaluasi untuk
cedera dan ditutup cepat untuk mencegah hipotermia. Pemeriksaan detail
dilakukan saat secondary survey. Pemberian salin hipertonik dan.atau manitol
dapat diberikan saat resusitasi awal saam pemeriksaan fisik mengindikasikan
adanya penurunan fungsi neurologis, cedera kepala signifikan dan adanya
lateralisasi (Vella et al., 2018)

2.6.4 Terapi pembedahan


2.6.4.1 Epidural Hematoma

Epidural Hematoma terjadi pada lokasi yang terkena trauma atau “coup site”
dan hampir selalu berhubungan dengan fraktur tulang kepala. Cedera pada
arteri/vana meningeal, vena diploic atau sinus vena dural menghasilkan gumpalan
darah yang berbentuk lentiformis yang membuat durameter menjauh dari bagain
dalam tengkorak. EDH sangat umum terjadi di regio temporal atau temporoparietal,
sering dikarenakan adanya laserasi pada arteri meningeal atau percabangannya
(Kim dan Gean., 2011)
Keputusan dilakukannya pembedahan pada EDH akut dibuat berdasarkan
penemuan klinis, termasuk GCS pasien, pemeriksaan pupil, faktor komorbid, usia,
dan hasil pemeriksaan CT-scan. Pada pencitraan, temuan yang membuat
prognosis lebih buruk dan dibutuhkannya evakuasi pembedahan segera yaitu
ketebalan hematoma yang signifikan (>15 mm), volume hematoma yang besar (>30
cm3), midline shift yang signifikan (>5 mm), kompresi dari basilar cisterns dan
densitas dari hematoma yang sering mengindikasikan perdarahan aktif. Volume
hematoma dapat dihitung dengan metode ABC/2, di mana penampang CT-scan
memperlihatkan area terluas dari perdarahan dan A merupakan diameter dari
perdarahan, B adalah pengukuran yang diambil tegak lurus dari A dan C
merupakan perkiraan jumlah irisan 10 mm pada perdarahan (Kim dan Gean., 2011)
atau lebih singkatnya Bullock merekomendasikan :
a. Teknik pembedahan EDH dengan volume lebih dari 30
b. Pasien dengan volume EDH kurang dari 30 cc dapat dipertimbangkan
untuk dilakukan tindakan non bedah apabila memenuhi kriteria : lebar kurang dari
15 mm, deviasi midline kurang dari 5 mm dan GCS lebih dari 8 tanpa adanya defisit
neurologis fokal (Moscote-Salazar et al., 2016)
Seluruh pasien trauma harus dievaluasi secara konservatif dengan
pemeriksaan CT-scan pada 4-6 jam pertama. Adanya defisit neurologis fokal,
gangguan pada pemeriksaan neurologis atau peningkatan volume hematoma
harus segera dilakukan tindakan pembedahan. EDH berhbungan dengan adanya
penurunan fungsi neurologis dengan cepat (Moscote-Salazar et al., 2016)

2.5.4.2 Sub dural Hematoma


Sub dural hematoma dapat terjadi baik pada daerah coup atau countercop.
Cedera pada vena superfisial menghasilkan perdarahan di antera lapisan
meningeal antara dura dan arachnoid, dan darah dapat terkumpul pada daerah ini
sebagai jembatan vena lama-lama akan meregang dan cedera (Kim dan Gean.,
2011)
Tatalaksana bedah pada SDH sama halnya dengan EDH juga berdasarkan
beberapa faktor, termasuk skor GCS pasien, pemeriksaan pupil, faktor komorbid,
usia, hasil temuan CT-scan. Penurunan fungsi neurologis juga merupakan faktor
penting dalam mengambil keputusan pembedahan. Seperti pada EDH, temuan CT-
scan yang muncul untuk memprediksi prognosis yang buruk termasuk ketebalan
gumpalan darah, midline shift dan kompresi basilar cistern. Beberapa literatur
merekomendasikan tatalaksana pembedahan dilakukan pada SDH akut apabila
dengan ketebalan >10 mm dan yang menyebabkan midline shift >5 mm yang
terlihat pada CT-scan (Kim dan Gean., 2011) atau lebih singkatnya Bullock
merekomendasikan :
a. Drainase pembedahan dari keseluruhan SDH akut dengan diamter lebih
dari 5 mm
b. Seluruh pasien dengan SDH akut dan skor GCS kurang dari 9 harus
dilakukan pengawasan terhadap tekanan intrakranial
c. Pasien dengan GCS kurang dari 9 dengan SDH akut yang diameternya
kurang dari 10 mm dan deviasi midline kurang dari 5 mm dapat dipertimbangkan
untuk dilakukan terapi non pembedahan dan dilakukan pengawasan tekanan
intrakranial. Selain itu harus dipertahankan agar tekanan intrakranial <20 mmHg.
Drainase direkomendasikan saat skor GCS menurun lebih dari 2 poin pada periode
waktu di antara cedera dan masuk ke rumah sakit atau apabila terpdapat pupil
asimetris pada asien atau tekanan intrakranial lebih dari 20 mmHg (Moscote-
Salazar et al., 2016).

2.6.4.3 Trauma intraparenkim


Trauma intraparenkim terdiri dari cedera fokal yang macamnya yaitu
hematoma dan kontusio intraserebri yang juga termasuk cedera non-fokal seperti
edema hemisfer dan cedera yang difus. Cedera intraparenkim bisa mengenai
frontal, temporal, parietal, oksipital atau kombinasi lokalisasi yang ada pada 15-
30% pasien cedera kepala. Rekomendasi penatalaksanaan bedah oleh Bullock
adalah :
a) Pasien dengan cedera intraparenkim dan muncul tanda adanya penurunan
fungsi neurologis yang progresif, hipertensi intrakranial yang tidak dapat
disembuhkan atau tanda adanya massa pada pemeriksaan CT kepala.
b) Pasien dengan GCS 6-8 dengan volume kontusio frontal dan temporal lebih
dari 20 cc atau deviasi midline lebih dari 5 mm atau adanya kompresi basilar
cistern pada pemeriksaan CT kepala dan pasien dengan cedera lebih dari
500 cc harus dilakukan pembedahan
c) Pasien dengan cedera intraparenkim yang tidak menunjukkan adanya
gangguan neurologis yang memiliki tekanan intrakranial terkontrol dan tanpa
adanya efek dari massa yang signifikan pada CT kepala dapat diterapi
dengan pengawasan terhadap fungsi neurologis, pencitraan serial dan
secara konservatif
d) Prosedur dekompresif, termasuk dekompresi subtemporal, temporal
lobectomy dan hemispheric decompressive craniectomy merupakan pilihan
terapi bagi pasien dengan hipertensi intrakranial refrakter dan cedera
parenkim yang difus dengan penampakan klinis dan temuan radiologis yang
mirip dengan herniasi cerebri. (Moscote-Salazar et al., 2016)

2.6.4.4 Kontusio serebri

Kontusio serebri pada cedera otak tertutup yang terjadi ketika otak memar akibat
adanya permukaan bagian dalam tengkorak yang tidak teratur pada saat benturan.
Peristiwa ini dapat terjadi pada coup site saat terdapat fraktur tengkorak yang
tertekan atau deformitas calvarial transient yang dikarenakan adanya hantaman
yang mengenai kepala yang mendekati korteks di dekatnya (Moscote-Salazar et
al., 2016)
Indikasi spesifik untuk kraniotomi dan evakuasi pembedahan pada pasien
dengan kontusio atau ICH belum ditentukan. Secara umum kombinasi dari faktor
klinis dan radiologis sangat penting termasuk lokasi dan volume dari perdarahan,
efek dari masa pada CT (penipisan cisternal atau midline shift), skor GCS, tekanan
intrakranial dan gangguan neurologis. Pasien dengan kontusio atau perdarahan
intrakranial dan defisit neurologis yang progresif, peningkatan tekanan intrakranial
refrakter atau bukti dari radiografi adanya efek massa cenderung menghasilkan
prognosis buruk tanpa pembedahan, walaupun kriteria pembedahan yang spesifik
belum ditentukan (Kim dan Gean., 2011)

2.5.4.5 Fraktur tulang kepala


Strategi terapi untuk fraktur tulang kepala secara langsung untuk mengurangi
resiko infeksi, mengatasi deformtias tulang, mengurangi resiko epilepsi dan resiko
defisit neurologis. Fraktur kranium berhubungan dengan adanya cedera
intrakranial. Maka untuk mempermudah tatalaksana Bullock merekomendasikan :
a. Tindakan bedah dan debridasi fraktur terbuka dan tertekan yang lebih besar dari

ketebalan tempurung kepala lebih dari 1 cm atau adanya bukti dari gangguan dural

yang berhubungan dengan perdarahan, infeksi dan dan deformitas mayor pada

unsurk kosmetik
b. Fraktur simple lineal bisa diterapi secara kosnervatif. Waktu untuk teknik

pembedahan dan debidrasi yang optimal di antara 24-27 jam setelah cedera.

Antibiotik direkomendasikan untuk terapi sebua fraktur kranuak terbuka (Moscote-

Salazar et al., 2016)

2.6.4. ICU

Pasien dengan cedera kepala biasanya dibawa ke ICU. Prinsip terapi


termasuk dari kontrol suhu, tekanan arterial, sedasi, ventilasi dan nutrisi
1. Demam
Berhubungan dengan vasodilatasi serebral, peningkatan tekanan
intrakranial dan tingkat metabolik serebral. Hiperpireksia pasca cedera memiliki
hubungan yang kuat dengan perburukan klinis pada pasien. Peningkatan suhu
diterapi dengan antipiretik dan penyebab infeksi harus segera diidentifikasi dan
ditatalaksana

2. Tekanan arterial
Penatalaksanaan tekanan intrakranial pada cedera kepala dihasilkan dari
adanya keseimbangan cairan antara kontrol tekanan perfusi otak dan
mencegah kongesti vaskular, edema otak yang memburuk dan peningkatan
tekanan intrakranial. MAP harus dieprtahankan di antara 90-100 mmHg. Terapi
awal terdiri atas koloid, kristaloid dan transfusi darah. Jalur selang arteri harus
dipasang, CVC dan pada beberapa kasus kateter Swan-Ganz mungkin
dibutuhkan. Tekanan sistolik di atas 160 mmHg mungkin memiliki prognosis
buruk dan harus mendapat terapi yang adekuat

3. Sedasi dan analgesi


Penggunaan sedasi akan memberikan hasil terapi yang lebih baik pada
terapi tekanan intrakranial, dukungan ventilasi dan kontrol tekanan arterial, obat
yang bersifat hipotensif dengan half life yang panjang atau yang meningkatkan
metabobilsme serebral harus dihindari. Obat yang umum digunakan adalah
lorazepam, morfin, fentanyl, propofol dan dexmetomedine

4. Ventilasi mekanik
Semua pasien trauma harus diintubasi dan diberikan ventilasi mekanik.
Ventilasi mekanik membantuk untuk mengatur konsentrasi CO2. Aplikasi
trakeortomi di awal merupakan dasar bagi pasien yang bergantung pada
ventilator, akan menghasilkan resiko pneumonia dan penambahan waktu
menetap di ICU

5. Nutrisi
Target nutrisi pada pasien dengan trauma berat sekitar 3000-4000
kcal/hari. Intake enteral merupakan rute yang lebih banyak dipilih, tetapi nutrisi
parenteral juga dapat digunakan apabila dibutuhkan

6. Antitrombotik profilaksis.
DVT merupakan komplikasi uatama dari ICH dan trauma lainnya. Faktor
resiko berkembang menjadi kondisi ini pada : cedera tulang belakang, trauma
kranial, fraktur pelvis, fraktur tulang panjang dan usia. Terapi untuk mencegah
trombosis dapat digunakan heparin

7. Penanganan glikemia
Hipoglikemia atau hiperglikemia berhubungan dengan prognosis lanjut pada
pasien dengan trauma kepala. maka kontrol glikemik merupakan hal penitng yang
harus dilakukan di ICU

8. Kontrol sodium
Rendahnya level sodium dapat muncul dikarenakan : terdapat sindrom dari
terganggunya sekresi hormon antidiuretik (SIADHS) dan cerebral salt-wasting
syndrome. Kedua sindroma ini meningkatkan serum sodium dan tingginya
konsentrasi sodium pada urin. Terapinya adalah dengan restriksi cairan sampai
500-1000 cc/hari. Pemberian demeclociline sebagai inhibitor ADH pada tubulus
renal dapat dipertimbangkan

9. Krisis epileptik
Dapat digunakan antikonvulsan untuk mengurangi insidensi epilepsi post
trauma. Antikonvulsan yang digunakan seperti fenitoin

10. Profilaksis pada lambung.


Stress-induced gastric ulcers sangat umum pada seluruh pasien trauma.
Profilaksis dapat digunakan H2-blocker, PPI dan gastric protectors (Moscote-
Salazar et al., 2016)
2.7 Rujukan
Setelah dilakukan Primary Survey, apabila pasien todak dapat dikelola secara
lokal harus segera dirujuk Major Trauma Center (MTC). Sebelumnya, utnuk keadaan
darurat apapun penting untuk mengkonfirmasi apakah pasien perlu dirujuk ke UGD
atau langsung ke ruang operasi atau ruang angiografi. Cara merujuk akan bervariasi
sesuai untuk pola cedera dan kebijakan lokal, tetapi umumnya, trauma kepala berat
dengan hasil CT- Scan abnormal harus segera dirujuk ke MTC regional. Pasien
dengan EDH atau SDH dengan midline shift juga harus dirujuk segera. Untuk cedera
ringan-sedang membutuhkan diskusi tim bedah saraf regional untuk saran
kelanjutannya. Resusitasi awal dan stabilisasi pasien harus dilakukan di IGD sebelum
merujuk (Puntis dan Thomas., 2017)
Hindari pembuangan waktu yang tidak perlu dan intervensi yang memakan
banyak waktu. Insersi kateter vena, arteri dan sentral dapat ditunda terutama apabila
jarak rujukan tidak terlalu jauh. Lebih diprioritaskan segera pemasangan ETT, akses
vena yang memadai, mempertahankan tekanan sistemik dan pengelolaan tekanan
intrakranial. Tim yang merujuk harus menyertakan dokter yang terlatih dan tenaga
kesehatan yang kompeten dalam pengelolaan jalan nafas dan trauma. Sarana
komunikasi yang andal harus tersedia selama merujuk dan jika ada perubahan
signifikan kondisi pasien dalam perjalanan MTC atau ahli bedah saraf harus diberitahu
untuk tatalaksana lebih lanjut (Puntis dan Thomas., 2017).
BAB III
RINGKASAN

Cedera kepala merupakan salah satu jenis trauma yang paling umum dijumpai
di Unit Gawat Darurat (UGD). Banyak pasien yang meninggal sebelum mendapat
perawatan di rumah sakit. Korban TBI sering dibiarkan dengan gangguan
neuropsikologis yang mengakibatkan kecacatan yang memengaruhi pekerjaan dan
aktivitas sosial. Oleh karenya, diperlukan penanganan yang cepat dan tepat pada
pasien trauma ini. Tujuan utama dari perawatan untuk pasien dengan dugaan TBI
adalah untuk mencegah cedera otak sekunder. Salah satunya, sebagai klinisi
diperlukan pengetahuan terkait mengenali pasien dengan cedera kepala ini, yaitu
melalui initial assessment yang dilakukan saat pasien tiba. Dengan melakukan initial
assessment yang baik maka dapat memperkirakan kondisi dan pasien serta
mengetahui hal mendasar yang dibutuhkan pasien untuk menyelamatkan nyawa
pasien, sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat kepada pasien. Selain
itu, sebagai klinisi terutama dokter umum di fasilitas kesehatan primer diperlukan
pengetahuan dan sikap kapan pasien perlu dirujuk untuk dilakukan penatalaksanaan
lebih lanjut, seperti pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons, 2018. Advanced Trauma Life Support


Student Course Manual. Americal College of Surgeons. P102

Amri, I., 2017. Pengelolaan Peningkatan Tekanan Intrakranial. Medika


Tadulako: Jurnal Ilmiah Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, 4(3), pp.1-17.

Black, J. M.dan Hawks, J. H. 2005. Medical Surgical Nursing. Newyork:


Elsevier.

Greenberg, M.S., 2016. Handbook of Neurosurgery 8th edition, New


York:Thieme.

Greisen, G. Autoregulation of Cerebral Blood Flow. NeoReviews


2007;vol.8:e22- e31.

Khoshnood B, Loane M, Walle Hd, Arriola L, Addor MC, et al. Long term
trends in prevalence of neural tube defects in Europe: population based
study. BMJ. 2015 Nov 24. 351:h5949.

Kim, J. J., & Gean, A. D. (2011). Imaging for the diagnosis and management
of traumatic brain injury. Neurotherapeutics, 8(1), 39-53.

Mayer, S.A. and Chong, J.Y., 2002. Critical care management of increased
intracranial pressure. Journal of Intensive Care Medicine, 17(2), pp.55-
67.

Moscote-Salazar, L. R., Rubiano, A. M., Alvis-Miranda, H. R., Calderon-


Miranda, W., Alcala-Cerra, G., Rivera, M. A. B., & Agrawal, A. (2016).
Severe cranioencephalic trauma: prehospital care, surgical management
and multimodal monitoring. Bulletin of Emergency & Trauma, 4(1), 8.
Narayan RK: Head Injury. In: Grossman RG, Hamilton WJ eds., Principles of
Neurosurgery. New York, NY: Raven Press, 1991.

Puntis, M. and Thomas, T., 2017. Traumatic brain injury: initial resuscitation
and transfer. Anaesthesia & Intensive Care Medicine, 18(5), pp.230-
232

Rosenfeld, J. V., Maas, A. I., Bragge, P., Morganti-Kossmann, M. C.,


Manley, G. T., & Gruen, R. L. (2012). Early management of severe
traumatic brain injury. The Lancet, 380(9847), 1088–1098.
doi:10.1016/s0140-6736(12)60864-2

Sadoughi, A., Rybinnik, I. and Cohen, R., 2013. Measurement and


management of increased intracranial pressure. The Open Critical
Care Medicine Journal, 6(1).

Snow-Lisy DC, Yerkes EB, Cheng EY. Update on Urological


Management of Spina Bifida from Prenatal Diagnosis to
Adulthood. J Urol. 2015 Aug. 194 (2):288-96.

Stein DM, Hu PF, Brenner M, et al. Brief episodes of intracranial


hypertension and cerebral hypoperfusion are associated with poor
functional outcome after severe traumatic brain injury. J Trauma 2011;
71: 364e73.

Stiver, S. I., & Manley, G. T. (2008). Prehospital management of traumatic


brain injury. Neurosurgical focus, 25(4), E5.

Sundheim SM, Cruz M. The evidence for spinal immobilization: an estimate


of the magnitude of the treatment benefit. Ann Emerg Med 2006;
48: 8e9. 217-8- author reply.
Vella, M. A., Crandall, M. L., & Patel, M. B. (2017). Acute management
of traumatic brain injury. Surgical Clinics, 97(5), 1015-1030.

Wimalasena, Y., Burns, B., Reid, C., Ware, S. and Habig, K. (2015). Apneic
Oxygenation Was Associated With Decreased Desaturation Rates
During Rapid Sequence Intubation by an Australian Helicopter
Emergency Medicine Service. Annals of Emergency Medicine, 65(4),
pp.371-376.

Anda mungkin juga menyukai