PERIODE
13 APRIL 2020 – 10 MEI 2020
Disusun oleh :
Pembimbing SPV :
MALANG
2020
HALAMAN PERSETUJUAN
PERIODE
13 APRIL 2020 – 10 MEI 2020
Disusun oleh:
Faradistiani Rakhmawati Jastika 180070200011024
Erika Aini Putri S 180070200011107
Sandris Meiliana 180070200011091
Menyetujui
Pembimbing
2.2. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama
pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena
trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak.
Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi
setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka
kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian
pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas
yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk
transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi
47,7 persen (RISKESDAS, 2013).
2.3. Anatomi
a. Kulit kepala
Karena suplai darah kulit kepala yang melimpah, laserasi kulit kepala dapat
menyebabkan kehilangan darah besar, syok hemoragik, dan bahkan kematian.
Pasien yang mengalami lama waktu transportasi beresiko khusus untuk komplikasi
ini.
b. Tengkorak
Dasar tengkorak tidak teratur, dan permukaannya dapat menyebabkan cedera
ketika otak bergerak di dalam tengkorak selama percepatan dan perlambatan yang
terjadi selama peristiwa traumatis. Fossa anterior menampung lobus frontal, fossa
tengah menampung lobus temporal, dan fossa posterior berisi batang otak bagian
bawah dan otak kecil.
c. Meningen
Meningen menutupi otak dan terdiri dari tiga lapisan: dura mater, arachnoid
mater, dan pia mater. Dura mater adalah membran yang kuat dan berserat yang
melekat kuat pada permukaan internal tengkorak. Di tempat-tempat tertentu, dura
terbagi menjadi dua “daun” yang menutupi sinus vena besar, yang menyediakan
drainase vena utama dari otak. Sinus sagital superior garis tengah mengalir ke sinus
transversal dan sigmoid bilateral, yang biasanya lebih besar di sisi kanan. Laserasi
sinus vena ini dapat menyebabkan perdarahan masif. (ATLS, 2018).
Gambar2. 1. Anatomi kepala
Gambar
2.2
Lapisan
d. Otak
Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), batang otak, dan otak kecil. Serebrum
terdiri dari belahan kanan dan kiri, yang dipisahkan oleh falx cerebri. Belahan kiri berisi
pusat-pusat bahasa di hampir semua orang kidal dan di lebih dari 85% orang kidal.
Lobus frontal mengontrol fungsi eksekutif, emosi, fungsi motorik, dan, di sisi dominan,
ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal mengarahkan fungsi sensorik
dan orientasi spasial, lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu, dan lobus
oksipital bertanggung jawab untuk penglihatan. (ATLS, 2018).
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons, dan medula. Otak tengah dan pons
atas mengandung sistem pengaktif retikuler, yang bertanggung jawab atas keadaan
kewaspadaan. Pusat kardiorespirasi vital berada di medula, yang memanjang ke
bawah untuk terhubung dengan sumsum tulang belakang. Bahkan lesi kecil di batang
otak dapat dikaitkan dengan defisit neurologis yang parah (ATLS, 2018).
Otak kecil (cerebellum), yang bertanggung jawab terutama untuk koordinasi
dan keseimbangan, memproyeksikan posterior di fossa posterior dan terhubung ke
sumsum tulang belakang, batang otak, dan belahan otak. (ATLS, 2018).
Rumus ini dipakai ketika kranium sedang terbuka (saat operasi) dan ICP-nya
nol. Jadi perubahan pada tekanan intrakranial akan mempengaruhi tekanan perfusi
cerebral, dimana ini akan berakibat terjadinya iskemia otak. Bila terjadi kenaikan yang
relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan
memindahkan cairan serebrospinalis dari rongga tengkorak ke kanalis spinalis dan
disamping itu volume darah intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya
peregangan durameter.
b. Doctrine Monroe-Kelly
Konsumsi oksigen otak (Cerebral Metabolicrate for Oxygen / CMRO2) adalah
sekitar 3,5 mL / 100 g/ min. Otak bergantung pada glukosa yang dibawa oleh aliran
darah untuk 90% kebutuhan energinya. Aliran darah serebral yang normal adalah kira
– kira 55 mL / 100 g / min dan biasanya dipertahankan pada level konstan lewat
mekanisme autoregulasi serebral. Hal ini di 7 luar variasi Mean Arterial Pressure /
MAP yang berkisar antara 50 – 150 mmHg. Pada TBI, mekanisme auto regulasi
serebral terganggu. Aliran darah serebral kemudian berfluktuasi dengan MAP dan
otak menjadi lebih rentan terhadap hipotensi (William et al, 2008). Otak dilindungi oleh
wadah yang rigid / kaku yaitu tulang tengkorak. Penambahan lesi berefek massa akan
menyebabkan kompensasi dengan cara memindahkan cairan serebrospinal
(Cerebrospinal Fluid / CSF) dan darah vena keluar dari ruang intra kranial. Selama
periode ini, tekanan intra kranial (Intra Cranial Pressure / ICP) akan tetap berada pada
level normal. Pada saat terjadi ekspansi lebih jauh dari lesi berefek massa, sedikit
peningkatan volume akan berakibat peningkatan TIK yang relatif besar, herniasi otak
dan perburukan klinis (William et al, 2008). Alexander Monro dan George Kellie
menyebutkan bahwa otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSS) merupakan
komponen yang tidak dapat terkompresi, peningkatan salah satu komponen ataupun
ekspansi massa di dalam tengkorak dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial, teori ini lebih lanjut disebut doktrin Monro-Kellie. TIK (Tekanan
Intrakranial) dapat mengakibatkan kerusakan otak melalui beberapa mekanisme.
Yang utama adalah efek TIK terhadap aliran darah otak. Mekanisme kedua adalah
akibat pergeseran garis tengah otak yang menyebabkan distorsi dan herniasi jaringan
otak. Perubahan TIK dikaitkan dengan perubahan volume dalam satu atau lebih
konstituen di dalam tempurung kepala. Tengkorak dan kanal tulang belakang,
bersama dengan dura relatif inelastis, membentuk sebuah wadah yang kaku,
sehingga peningkatan apapun dari otak, darah, atau CSS akan cenderung
meningkatkan tekanan intrakranial (TIK). Selain itu, setiap peningkatan salah satu
komponen harus dengan mengorbankan dua lainnya (doktrin Monro – Kellie).
Peningkatan kecil volume otak tidak menyebabkan peningkatan TIK langsung, karena
CSS akan dipindahkan ke kanal tulang belakang, serta sedikit meregangkan falks
cerebri. Namun, setelah TIK sudah mencapai sekitar 25 mmHg, peningkatan kecil
volume otak sudah dapat menyebabkan peningkatan TIK. Sirkulasi serebro-vaskuler
merupakan jaringan kompleks yang terdiri dari arteri dan vena. Perbedaan tekanan
yang mendorong darah memasuki sistem ini disebut dengan tekanan perfusi serebri
(CPP=Cerebral Perfusion Pressure). CPP = tekanan masuk arteri – tekananm keluar
vena Nilai normal CPP adalah 80 mmHg. Cerebral Blood Flow (CBF) adalah aliran
suplai darah ke otak. Pada dewasa, normal CBF berkisar 15% dari curah jantung.Nilai
CBF dapat dihitung dengan CPP dibagi dengan Cerebrovascular Resistance
(CVR). CPP dapat disederhanakan sebagai tekanan masuk yang kira-kira sama
dengan tekanan rata-rata arteri/ Mean arterial pressure (MAP) dikurangi tekanan
keluar yang kira-kira sama dengan tekanan intrakranial/ intracranial pressure
(TIK), sehingga: CPP = MAP – ICP,berhubungan langsung dengan
tekanan perfusi otak dan berhubungan tidak angsung dengan resistensi
serebrovaskuler (CVR = Cerebrovascular Resistence).
CBF = MAP – ICP CVR
Dengan peningkatan volume dari salah satu bagian bisa memulai kompensasi
dengan penggantian salah satu dari komponen yang lain. Vena serebral bisa
dikonstriksikan, mengakibatkan penurunan volume darah otak, dan volume CSF bisa
menurun karena kombinasi dari peningkatan resorpsi dan pengaliran CSF ke bagian
spinal. Dengan adanya peningkatan volume, mekanisme kompensasi dimunculkan,
sehingga peningkatan lebih lanjut pada volume menghasilkan peningkatan tajam ICP,
memulai gambaran kurva volume-pressure.
Reaktivitas CO2 merujuk pada respon pembuluh darah serebral dan akibat
CBF terhadap perubahan PCO2.3 Peningkatan tekanan CO2 merilekskan arteri
serebral in vitro. In vivo, perubahan perivaskuler PaCO2 atau pH yang sangat
terlokalisir bisa merubah diameter vaskuler, mengindikasikan bahwa elemen vaskuler
bertanggung jawab untuk mempengaruhi perubahan pada diameter pembuluh darah.
Kedua sel vaskuler (endotelium dan sel otot polos) dan sel ekstravaskuler (sel nervus
perivaskuler, neuron, dan glia) mungkin juga terlibat. Pada situasi klinis, perubahan
CBF kira-kira 3% untuk setiap milimeter perubahan raksa pada PaCO2 diatas kisaran
20 sampai 60 mmHg yang secara klinis penting pada pasien dangan trauma cedera
kepala. Hipoventilasi yang menghasilkan hiperkarbia menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan aliran darah serebral, sedangkan hiperventilasi menghasilkan
vasokonstriksi dan menurunkan aliran darah serebral.
Aliran darah otak dijaga dalam level yang konstan pada otak normal saat
fluktuasi biasa pada tekanan darah dengan proses autoregulasi. Normalnya
autoregulasi menjaga aliran darah konstan antara tekanan arteri rata-rata (MAP)
50mmHg dan 150 mmHg. Namun, pada otak yang iskemik atau mengalami trauma,
atau sedang mendapat agen vasodilator (agen votil dan sodium nitropruside) aliran
darah otak CBF bisa bergantung pada tekanan darah. Defek autoregulasi aliran darah
serebral bisa muncul segera setelah trauma atau mungkin bisa berkembang selama
waktu, dan hal ini menjadi transien atau persisten dalam keadaan yang irrespective
adanya kerusakan ringan, sedang, atau parah. Sehingga tekanan arteri meningkat
lalu CBF akan meningkat menyebabkan peningkatan volume otak. Sama seperti jika
tekanan turun, CBF juga akan turun mengurangi tekanan intrakranial, tapi juga
memicu pengurangan tak terkontrol CBF.
Autoregulasi serebrovaskular dan reaktivitas CO2 merupakan mekanisme
penting untuk menyediakan aliran darah serebral yang cukup setiap saat. Demikian
juga, kedua pola tersebut merupakan dasar manajemen tekanan perfusi serebral dan
tekanan intrakranial dan gangguan mekanisme regulator mencerminkan peningkatan
resiko kerusakan otak sekunder. Setelah terjadi trauma cedera kepala, autoregulasi
aliran darah serebri mengalami gangguan atau tidak ada pada kebanyakan pasien.
Keadaan sementara pada patologi ini tidak sejalan dengan keparahan cedera untuk
menghasilkan kegagalan autoregulasi. Defek autoregulasi bisa muncul segera setelah
trauma atau bisa berkembang seiring perjalanan waktu, dan menjadinyata atau
persisten pada bentuknya tidak selaras dengan kerusakan ringan, sedang, atauberat.
autoregulasi vasokonstriksi juga sepertinya lebih resisten dibandingkan dengan
autoregulasi vasodilatasi yang mengindikasikan pasien lebih sensitif pada kerusakan
rendah daripada tekanan perfusi serebral tinggi.
Dibandingkan dengan autoregulasi aliran darah serebral, reaktivitas CO2
serebrovaskular terlihat memiliki fenomena lebih kuat. Pada pasien yang mengalami
cedera otak parah dan prognosis buruk, terjadi gangguan reaktivitas CO2 pada fase
awal setelah trauma. sebaliknya reaktivitas CO2 lebih utuh atau mungkin meningkat
pada kebanyakan pasien yang menerima prinsip fisiologis sebagai target manajemen
intrakranial pada status hiperemik.
Banyak studi terbaru telah menunjukkan bahwa setelah terjadi trauma
autoregulasi masih bisa berfungsi. Pada situasi jika CPP turun dibawah nilai kritis 70
mmHg, pasien akan mengalami perfusi serebral yang tidak adekuat. Autoregulasi
akan menyebabkan vasodilatasi serebral mengawali peningkatan volume otak. Hal ini
sebaliknya akan meningkatkan tekanan intrakranial dan memicu lingkaran visius yang
dijelaskan dengan kaskade vasodilatasi yang menghasilkan iskemia serebral.
Proses ini hanya bisa dirusak dengan meningkatkan tekanan darah untuk
menaikkan tekanan perfusi serebral, yang memicu kaskade vasokonstriksi. Hal ini
menjelaskan mengapa pemeliharaan tekanan darah arteri pada level yang adekuat
dengan monitoring cermat dan koreksi yang cepat jika terjadi penurunan sangatlah
penting.
Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada
1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
otak (Teasdale, 1974). Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara
spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15,
sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak
membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama
dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera
otak berat.
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9- 13
dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14- 15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of
Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu:
2.4.3.4. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini
bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan
subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang
rusak.
2.4.3.5. Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit
pada kranial terlepas setelah cedera (Mansjoer, 2010).
2.5 Initial Assessment
b. Breathing
Beri ventilasi pada pasien dengan oksigen 100% hingga pengukuran gas
diperoleh, dan kemudian lakukan penyesuaian yang tepat untuk fraksi yang oksigen
(FIO2) yang digunakan. Oksimetri nadi adalah tambahan yang berguna, dan
saturasi oksigen> 98% diinginkan. Atur parameter ventilasi untuk mempertahankan
PCO2 sekitar 35 mm Hg. Cadangan hiperventilasi akut pada pasien dengan cedera
otak parah untuk mereka yang kerusakan neurologis akut atau tanda-tanda
herniasi. Hiperventilasi berkepanjangan dengan PCO2 <25 mm Hg adalah tidak
diinginkan. Ventilasi mekanis akan diperlukan jika pasien telah dilakukan diintubasi
untuk mempertahankan paten dan jalan napas yang dilindungi. Namun, mungkin
ada indikasi lain untuk ventilasi (ATLS, 2018).
C. Circulation
Hipotensi biasanya bukan karena cedera otak itu sendiri, kecuali pada tahap
terminal ketika kegagalan medula terjadi atau ada yang bersamaan cedera saraf
tulang belakang. Pendarahan intrakranial tidak bisa menyebabkan syok hemoragik.
Jika pasien hipotensi, segera lakukan euvolemia menggunakan produk darah, atau
cairan isotonik sesuai kebutuhan. Ingat, pemeriksaan neurologis pasien dengan
hipotensi tidak dapat diandalkan. Pasien hipotensi yang tidak responsif terhadap
segala bentuk stimulasi dapat pulih dan secara substansial membaik segera
setelahnya tekanan darah normal pulih. Sangat penting untuk segera mencari dan
memperlakukan sumber utama hipotensi (ATLS, 2018).
Hipotensi harus dikelola dengan memberikan cairan untuk mengembalikan
normovolemia. Untuk cedera kepala terisolasi kristaloid mungkin tepat, tetapi
polytrauma akan membutuhkan kombinasi darah dan produk darah untuk
menghindari koagulopati dilusional. (Puntis, 2017).
2. Neurological Management
e. Exposure
Selama Primary Survey, buka seluruh pakaian pasien, biasanya dengan
memotong pakaiannya dengan tujuan untuk memudahkan pemeriksaan dan
penilaian menyeluruh. Setelah menyelesaikan penilaian, lindungi pasien dengan
selimut hangat atau perangkat pemanasan eksternal untuk mencegah terjadinya
hipotermia di daerah penerima trauma. Hangatkan cairan intravena sebelumnya
digunakan, dan menjaga lingkungan yang hangat. Hipotermia dapat muncul saat
pasien datang, atau mungkin berkembang dengan cepat di UGD jika pasien tidak
tertutup. Hipotermia adalah komplikasi yang berpotensi menjadi penyebab
kematian pasien yang cedera, sehingga harus segera dilakukan tindakan agresif
untuk mencegah hilangnya panas tubuh dan mengembalikan suhu tubuh normal.
(Puntis, 2017)
Gambar 4. Manajemen Traumatic Brain Injury (ATLS,2018)
Pulse Oxymetry, pemantauan dan penilaian tingkat ventilasi karbon dioksida (CO2),
dan pengukuran gas darah arteri (ABG). Selain itu, kateter urin bisa ditempatkan untuk
memantau keluaran urin dan menilai hematuria. Kateter lambung / Nasogastric Tube
dapat digunakan untuk mendekompresi distensi dan menilai apakah ada darah dalam
ray (dada dan panggul), FAST ( Focused Assesment Sonography for Trauma), adalah
penilaian terfokus yang diperluas dengan sonografi untuk trauma (eFAST), dan DPL
(ATLS, 2018).
mengidentifikasi cedera otak dan sinar-X tengkorak dan tulang belakang serta MRI
tidak memiliki peran selama fase resusitasi trauma mayor. Semua orang dewasa
dengan cedera kepala sedang atau parah harus melakukan CT scan kepala dan tulang
belakang leher dalam 60 menit. Indikasi lain untuk pemindaian segera termasuk
kejang pasca-trauma, defisit neurologis fokal atau lebih dari satu episode muntah.
Penderita cedera kepala ringan yang belum kembali ke skor GCS 15 seharusnya juga
Pencitraan berulang dapat diindikasikan saat cedera otak berkembang, dan sangat
penting setelah setiap penurunan klinis atau peningkatan TIK yang signifikan (ATLS,
• Kejang pasca-trauma
f. Secondary Survey
2.6 Manajemen
Epidural Hematoma terjadi pada lokasi yang terkena trauma atau “coup site”
dan hampir selalu berhubungan dengan fraktur tulang kepala. Cedera pada
arteri/vana meningeal, vena diploic atau sinus vena dural menghasilkan gumpalan
darah yang berbentuk lentiformis yang membuat durameter menjauh dari bagain
dalam tengkorak. EDH sangat umum terjadi di regio temporal atau temporoparietal,
sering dikarenakan adanya laserasi pada arteri meningeal atau percabangannya
(Kim dan Gean., 2011)
Keputusan dilakukannya pembedahan pada EDH akut dibuat berdasarkan
penemuan klinis, termasuk GCS pasien, pemeriksaan pupil, faktor komorbid, usia,
dan hasil pemeriksaan CT-scan. Pada pencitraan, temuan yang membuat
prognosis lebih buruk dan dibutuhkannya evakuasi pembedahan segera yaitu
ketebalan hematoma yang signifikan (>15 mm), volume hematoma yang besar (>30
cm3), midline shift yang signifikan (>5 mm), kompresi dari basilar cisterns dan
densitas dari hematoma yang sering mengindikasikan perdarahan aktif. Volume
hematoma dapat dihitung dengan metode ABC/2, di mana penampang CT-scan
memperlihatkan area terluas dari perdarahan dan A merupakan diameter dari
perdarahan, B adalah pengukuran yang diambil tegak lurus dari A dan C
merupakan perkiraan jumlah irisan 10 mm pada perdarahan (Kim dan Gean., 2011)
atau lebih singkatnya Bullock merekomendasikan :
a. Teknik pembedahan EDH dengan volume lebih dari 30
b. Pasien dengan volume EDH kurang dari 30 cc dapat dipertimbangkan
untuk dilakukan tindakan non bedah apabila memenuhi kriteria : lebar kurang dari
15 mm, deviasi midline kurang dari 5 mm dan GCS lebih dari 8 tanpa adanya defisit
neurologis fokal (Moscote-Salazar et al., 2016)
Seluruh pasien trauma harus dievaluasi secara konservatif dengan
pemeriksaan CT-scan pada 4-6 jam pertama. Adanya defisit neurologis fokal,
gangguan pada pemeriksaan neurologis atau peningkatan volume hematoma
harus segera dilakukan tindakan pembedahan. EDH berhbungan dengan adanya
penurunan fungsi neurologis dengan cepat (Moscote-Salazar et al., 2016)
Kontusio serebri pada cedera otak tertutup yang terjadi ketika otak memar akibat
adanya permukaan bagian dalam tengkorak yang tidak teratur pada saat benturan.
Peristiwa ini dapat terjadi pada coup site saat terdapat fraktur tengkorak yang
tertekan atau deformitas calvarial transient yang dikarenakan adanya hantaman
yang mengenai kepala yang mendekati korteks di dekatnya (Moscote-Salazar et
al., 2016)
Indikasi spesifik untuk kraniotomi dan evakuasi pembedahan pada pasien
dengan kontusio atau ICH belum ditentukan. Secara umum kombinasi dari faktor
klinis dan radiologis sangat penting termasuk lokasi dan volume dari perdarahan,
efek dari masa pada CT (penipisan cisternal atau midline shift), skor GCS, tekanan
intrakranial dan gangguan neurologis. Pasien dengan kontusio atau perdarahan
intrakranial dan defisit neurologis yang progresif, peningkatan tekanan intrakranial
refrakter atau bukti dari radiografi adanya efek massa cenderung menghasilkan
prognosis buruk tanpa pembedahan, walaupun kriteria pembedahan yang spesifik
belum ditentukan (Kim dan Gean., 2011)
ketebalan tempurung kepala lebih dari 1 cm atau adanya bukti dari gangguan dural
yang berhubungan dengan perdarahan, infeksi dan dan deformitas mayor pada
unsurk kosmetik
b. Fraktur simple lineal bisa diterapi secara kosnervatif. Waktu untuk teknik
pembedahan dan debidrasi yang optimal di antara 24-27 jam setelah cedera.
2.6.4. ICU
2. Tekanan arterial
Penatalaksanaan tekanan intrakranial pada cedera kepala dihasilkan dari
adanya keseimbangan cairan antara kontrol tekanan perfusi otak dan
mencegah kongesti vaskular, edema otak yang memburuk dan peningkatan
tekanan intrakranial. MAP harus dieprtahankan di antara 90-100 mmHg. Terapi
awal terdiri atas koloid, kristaloid dan transfusi darah. Jalur selang arteri harus
dipasang, CVC dan pada beberapa kasus kateter Swan-Ganz mungkin
dibutuhkan. Tekanan sistolik di atas 160 mmHg mungkin memiliki prognosis
buruk dan harus mendapat terapi yang adekuat
4. Ventilasi mekanik
Semua pasien trauma harus diintubasi dan diberikan ventilasi mekanik.
Ventilasi mekanik membantuk untuk mengatur konsentrasi CO2. Aplikasi
trakeortomi di awal merupakan dasar bagi pasien yang bergantung pada
ventilator, akan menghasilkan resiko pneumonia dan penambahan waktu
menetap di ICU
5. Nutrisi
Target nutrisi pada pasien dengan trauma berat sekitar 3000-4000
kcal/hari. Intake enteral merupakan rute yang lebih banyak dipilih, tetapi nutrisi
parenteral juga dapat digunakan apabila dibutuhkan
6. Antitrombotik profilaksis.
DVT merupakan komplikasi uatama dari ICH dan trauma lainnya. Faktor
resiko berkembang menjadi kondisi ini pada : cedera tulang belakang, trauma
kranial, fraktur pelvis, fraktur tulang panjang dan usia. Terapi untuk mencegah
trombosis dapat digunakan heparin
7. Penanganan glikemia
Hipoglikemia atau hiperglikemia berhubungan dengan prognosis lanjut pada
pasien dengan trauma kepala. maka kontrol glikemik merupakan hal penitng yang
harus dilakukan di ICU
8. Kontrol sodium
Rendahnya level sodium dapat muncul dikarenakan : terdapat sindrom dari
terganggunya sekresi hormon antidiuretik (SIADHS) dan cerebral salt-wasting
syndrome. Kedua sindroma ini meningkatkan serum sodium dan tingginya
konsentrasi sodium pada urin. Terapinya adalah dengan restriksi cairan sampai
500-1000 cc/hari. Pemberian demeclociline sebagai inhibitor ADH pada tubulus
renal dapat dipertimbangkan
9. Krisis epileptik
Dapat digunakan antikonvulsan untuk mengurangi insidensi epilepsi post
trauma. Antikonvulsan yang digunakan seperti fenitoin
Cedera kepala merupakan salah satu jenis trauma yang paling umum dijumpai
di Unit Gawat Darurat (UGD). Banyak pasien yang meninggal sebelum mendapat
perawatan di rumah sakit. Korban TBI sering dibiarkan dengan gangguan
neuropsikologis yang mengakibatkan kecacatan yang memengaruhi pekerjaan dan
aktivitas sosial. Oleh karenya, diperlukan penanganan yang cepat dan tepat pada
pasien trauma ini. Tujuan utama dari perawatan untuk pasien dengan dugaan TBI
adalah untuk mencegah cedera otak sekunder. Salah satunya, sebagai klinisi
diperlukan pengetahuan terkait mengenali pasien dengan cedera kepala ini, yaitu
melalui initial assessment yang dilakukan saat pasien tiba. Dengan melakukan initial
assessment yang baik maka dapat memperkirakan kondisi dan pasien serta
mengetahui hal mendasar yang dibutuhkan pasien untuk menyelamatkan nyawa
pasien, sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat kepada pasien. Selain
itu, sebagai klinisi terutama dokter umum di fasilitas kesehatan primer diperlukan
pengetahuan dan sikap kapan pasien perlu dirujuk untuk dilakukan penatalaksanaan
lebih lanjut, seperti pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
Khoshnood B, Loane M, Walle Hd, Arriola L, Addor MC, et al. Long term
trends in prevalence of neural tube defects in Europe: population based
study. BMJ. 2015 Nov 24. 351:h5949.
Kim, J. J., & Gean, A. D. (2011). Imaging for the diagnosis and management
of traumatic brain injury. Neurotherapeutics, 8(1), 39-53.
Mayer, S.A. and Chong, J.Y., 2002. Critical care management of increased
intracranial pressure. Journal of Intensive Care Medicine, 17(2), pp.55-
67.
Puntis, M. and Thomas, T., 2017. Traumatic brain injury: initial resuscitation
and transfer. Anaesthesia & Intensive Care Medicine, 18(5), pp.230-
232
Wimalasena, Y., Burns, B., Reid, C., Ware, S. and Habig, K. (2015). Apneic
Oxygenation Was Associated With Decreased Desaturation Rates
During Rapid Sequence Intubation by an Australian Helicopter
Emergency Medicine Service. Annals of Emergency Medicine, 65(4),
pp.371-376.