Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTHESIA PADA OPERASI BEDAH SARAF


PASIEN DENGAN TUMOR CEREBRI

DISUSUN OLEH
Catherine Sugandi I4061191044
Qurratul Aini I4061172083
Syarif Syauqiannur I4061192033

PEMBIMBING :
dr. Leonardus Singgih Wibowo, SpAn

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI


RSUD DR SOEDARSO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Laporan Kasus dengan judul :

General Anesthesia Pada Operasi Bedah Saraf Pasien Dengan Tumor Cerebri

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Stase Anestesi

Pontianak, Desember 2020

dr. Leonardus Singgih Wibowo, SpAn


BAB I
PENYAJIAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir/Umur : 1 Juli 1965 / 55 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Dusun Sidorejo, Kec. Seponti, Kayong Utara
Tanggal Masuk RS : 6 November 2020
Tanggal Operasi : 10 November 2020
Diagnosa : Tumor Parietal Sinistra Suspect Glioma
Macam Operasi : Craniotomy Removal Tumor
Macam Anestesi : General Anesthesia

II. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Nyeri Kepala
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS Soedarso dengan keluhan nyeri kepala disertai adanya benjolan
di kepala bagian tengah sebelah kiri. Nyeri kepala dirasakan pasien secara terus
menerus. Pasien juga mengatakan mengalami kelemahan anggota gerak sebelah
kanan. Benjolan tersebut diketahui merupakan tumor pada bulan Juli 2020 dan sudah
pernah di kraniotomi, kemudian direncanakan operasi kedua pada bulan September
2020, namun diundur karena alasan hipertensi.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Disangkal
e. Riwayat Alergi :
Disangkal
III. Pemeriksaan Fisik
Tanda-Tanda Vital
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Kompos mentis
c. GCS : 15 (E4V5M6)
d. BB : 80 kg
e. Tekanan Darah : 160/70 mmHg
f. Nafas : 20x/menit
g. Nadi : 70x/menit
h. Suhu : 36,5oC
Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit coklat, Ikterik (-), sianosis (-)
b. Kepala : Terdapat benjolan pada parietal sinistra
c. Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),refleks cahaya langsung
(+/+), refleks cahaya konsensual (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
d. Hidung : Rinorhea (-), edema mukosa (-), sekret (-)
e. Mulut : Stomatitis (-), sianosis (-)
f. Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1), selaput (-)
g. Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
h. Dada : Datar, simetris saat statis dan dinamis
i. Jantung : S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
j. Paru : Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
k. Abdomen
Inspeksi : cembung, tampak benjolan/massa (-), distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
l. Ekstremitas : Akral hangat, edema (+), CRT > 2 detik

IV. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan 07/12/2020 Nilai Rujukan
WBC 10.17 (10^3/uL) 4.5-11.0
RBC 4.33 (10^6/uL) 4.2-5.4
HGB 12.2 (g/dL) 11.7-15.5
HCT 38.1 (%) 38-47
MCV 88.0 fL 80-90
MCH 28.2 pg 27-32
MCHC 32.0 g/dL 32-36
PLT 305 (10^3/uL) 150-440
Seg.Neutrophil 6.64 (10^3/uL) 1.8-8.0
Limfosit 2.30 (10^3/uL) 0.90-5.20
Monosit 0.96 (10^3/uL) 0.16-1.00
Eosinophil 0.21 (10^3/uL) 0.045-0.44
Basophil 0.06 (10^3/uL) 0.00-0.20

Pemeriksaan elektrolit (07/12/2020)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Na+ 137.1 135-147 mmol/L
K+ 4.17 3.50-5.0 mmol/L
Cl- 100.4 95-105 mmol/L
Ca 1.02 1.00-1.50 mmol/L

CT Scan Kepala
Kesan : Tampak SOL di parietal kiri dengan herniasi lobus parietal kiri dd/ residu tumor,
residif tumor, abses cerebri

Pemeriksaan patologi anatomi


Kesan : Gambaran histopatologi kesan suatu proses radang kronik non spesifik dengan
sel-sel atypia

V. Diagnosis Akhir
Tumor cerebri sinistra susp glioma

VI. Tatalaksana
Kraniotomi
Tumor removal
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
Inj. Dexamethasone 3 x 5 mg
Inj. Asam traneksamat 3 x 500 mg
Inf. Paracetamol 3 x 1 gr
Inj. Phenitoin 2 x 100 mg

VII. Kunjungan Pra Anestesi


▪ Penentuan status ASA : 1 / 2 / 3 / 4 / 5
▪ Persiapan Pra Anestesi:
- Pro Kraniotomi Removal Tumor
- Pasien telah diberikan Informed Consent
- Persiapan operasi :
a. Puasa 6 jam
b. Lab darah rutin, masa pembekuan, masa perdarahan
c. Surat persetujuan tindakan operasi
VIII. Laporan Anestesi Pasien
a. Diagnosis pra-bedah : Tumor Parietal Sinistra Susp Glioma
b. Diagnosis post-bedah : Tumor Parietal Sinistra Susp Glioma
c. Jenis pembedahan : Kraniotomi + Tumor Removal
d. Jenis anestesi : Anestesi Umum
e. Teknik anestesi : Anestesi Imbang/Campuran
f. Premedikasi anestesi : Fentanyl 100 mcg, Midazolam 3 mg
g. Medikasi
Anestesi umum : Propofol 100 mg, Atracurium besylate 30 mg,
Sevoflurane
Medikasi pemeliharaan : Propofol kontinyu 240 mg/jam, Atracurium besylate 10
mg, Sevoflurane, N2O, O2 3 lpm
h. Jumlah cairan
Input : RL 2000 mL + NaCl 500 mL + Mannitol 200 mL +
darah 750 mL
Output :-
Perdarahan : 500 cc
i. Respirasi : Spontan
j. Posisi : Terlentang
k. Anestesi dimulai : 11:00 WIB
l. Operasi mulai : 11:10 WIB
m. Operasi selesai : 16:40 WIB
n. Durasi operasi : 330 menit
o. Terapi cairan
• Puasa = 2 mL/kgBB/jam
= 2 x 80 x 6 jam = 960 mL
• Perdarahan
EBV = BB X 70
= 80 X 70
= 5600 mL
Estimated blood loss = 10% x EBV
= 10 % x 5600
= 560 mL
Kristaloid = 1 : 2-4
= 1120-2240 mL
• Stress operasi → operasi besar = 8 mL/kgBB/jam
8 mL x 80 kg x 5,5 jam
= 3520 mL selama 5,5 jam
• Kebutuhan basal = 2 mL/kgBB/jam
= 2 x 80 kg x 5,5 jam
= 880 mL
p. Monitoring
Jam TTV Keterangan
10.45 TD 150/90 mmHg • Pasien masuk kamar operasi
Nadi 89 x/menit • Pasien dipasang EKG, dan Oxymetri
RR 24 x/menit
• Kepala pasien head up 150
SpO2 99 % free air
• Perbaikan infus
• Loading cairan RL 500 mL
11.00 TD 130/99 mmHg • Dilakukan induksi
Nadi 90 x/menit • Pemasangan CVC
RR 22 x/menit
SpO2 100 % dengan O2 3 lpm
11:05 TD 110/80 mmHg • Persiapan operasi
Nadi 84x/menit
RR 16 x/menit
SpO2 100 % dengan O2 3 lpm
11.10 TD 97/68 mmHg • Operasi dimulai
Nadi 100x/menit • Propofol kontinyu
RR 16 x/menit
SpO2 100 % dengan O2 3 lpm
11.15 TD 90/50 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 100x/menit • Propofol kontinyu
11.20 TD 97/70 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 93x/menit • Propofol kontinyu
11.25 TD 101/72 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 90x/menit • Propofol kontinyu
11.30 TD 100/60 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 92x/menit • Propofol kontinyu
• Atracurium besylate 10 mg
11.35 TD 90/70 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 99x/menit • Propofol kontinyu
11.40 TD 100/70 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 90x/menit • Propofol kontinyu
11.45 TD 92/60 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 100x/menit • Propofol kontinyu
11.50 TD 110/98 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 99x/menit • Propofol kontinyu
11.55 TD 111/97 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 92x/menit • Propofol kontinyu
12.00 TD 104/92 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 80x/menit • Propofol kontinyu
• Atracurium besylate 10 mg
12.05 TD 111/94 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 84x/menit • Propofol kontinyu
• Transfuse PRC ke 1
12.10 TD 122/92 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 90x/menit • Propofol kontinyu
12.15 TD 129/80 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 93x/menit • Propofol kontinyu
12.20 TD 131/90 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 89x/menit • Propofol kontinyu
12.25 TD 133/99 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 90x/menit • Propofol kontinyu
12.30 TD 121/70 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 87x/menit • Propofol kontinyu
• Atracurium besylate 10 mg
12.35 TD 120/89 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 85x/menit • Transfuse selesai
12.40 TD 122/88 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 82x/menit • Propofol kontinyu
12.45 TD 115/75 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 73x/menit • Propofol kontinyu
12.50 TD 124/84 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 80x/menit • Propofol kontinyu
12.55 TD 133/60 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 90x/menit • Propofol kontinyu
13.00 TD 122/70 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 80x/menit • Transfuse PRC ke 2
• Propofol kontinyu
• Atracurium besylate 10 mg
13.05 TD 122/76 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 80x/menit • Propofol kontinyu
13.10 TD 121/80 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 78x/menit • Propofol kontinyu
13.15 TD 133/60 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 80x/menit • Propofol kontinyu
13.20 TD 136/82 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 86x/menit • Propofol kontinyu
13.25 TD 140/60 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 84x/menit • Propofol kontinyu
13.30 TD 138/89 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 82x/menit • Propofol kontinyu
• Atracurium besylate 10 mg
13.35 TD 135/93 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 83x/menit • Propofol kontinyu
13.40 TD 133/99 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 81x/menit • Propofol kontinyu
13.45 TD 126/77 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 79x/menit • Propofol kontinyu
• Transfuse selesai
13.50 TD 102/90 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 80x/menit • Propofol kontinyu
13.55 TD 110/99 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 88x/menit • Propofol kontinyu
14.00 TD 100/88 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 89x/menit • Propofol kontinyu
• Atracurium besylate 10 mg
14.05 TD 99/70 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 77x/menit • Propofol kontinyu
14.10 TD 101/63 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 76x/menit • Propofol kontinyu
14.15 TD 105/65 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 78x/menit • Propofol kontinyu
14.20 TD 106/67 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 79x/menit • Propofol kontinyu
14.25 TD 108/66 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 78x/menit • Propofol kontinyu
14.30 TD 110/70 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 80x/menit • Propofol kontinyu
• Atracurium besylate 10 mg
14.35 TD 111/72 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 82x/menit • Propofol kontinyu
14.40 TD 115/80 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 80x/menit • Propofol kontinyu
14.45 TD 100/90 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 82x/menit • Propofol kontinyu
• Transfuse PRC ke 2
14.50 TD 110/91 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 85x/menit • Propofol kontinyu
14.55 TD 123/84 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 90x/menit • Propofol kontinyu
15.00 TD 125/88 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 99x/menit • Propofol kontinyu
• Atracurium besylate 10 mg
15.05 TD 128/92 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 100x/menit • Propofol kontinyu
15.10 TD 127/88 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 96x/menit • Propofol kontinyu
15.15 TD 125/60 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 91x/menit • Propofol kontinyu
15.20 TD 121/61 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 87x/menit • Propofol kontinyu
15.25 TD 122/56 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 81x/menit • Propofol kontinyu
15.30 TD 127/60 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 88x/menit • Propofol kontinyu
• Atracurium besylate 10 mg
• Transfusi selesai
15.35 TD 120/79 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 78x/menit • Propofol kontinyu
15.40 TD 118/75 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 72x/menit • Propofol kontinyu
15.45 TD 108/67 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 70x/menit • Propofol kontinyu
15.50 TD 124/60 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 90x/menit • Propofol kontinyu
• Transfuse PRC ke 3
15.55 TD 127/68 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 92x/menit • Propofol kontinyu
16.00 TD 129/89 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 95x/menit • Atracurium besylate 10 mg
• Propofol stop
16.05 TD 130/99 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 97x/menit
16.10 TD 134/101 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 98x/menit
16.15 TD 130/96 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 100x/menit • Transfuse selesai
16.20 TD 125/87 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 93x/menit
16.25 TD 121/85 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 90x/menit
16.30 TD 116/72 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 85x/menit • Atracurium besylate 10 mg
16.35 TD 111/71 mmHg • Operasi berlangsung
Nadi 84x/menit
16.40 TD 110/70 mmHg • Operasi selesai
Nadi 88x/menit
17.00 TD 100/67 mmHg • Pasien diantar ke ICU
Nadi 80x/menit
f) Ruang ICU
1. Masuk Jam : 17.00 WIB
2. Keadaan Umum: GCS : ExVxMx (pasien masih terbius)
3. Tanda vital : TD : 100/67 mmHg
Nadi : 80 x/menit
T : 36,6OC
4. Pernafasan : dengan ventilator
Instruksi Post Operasi ICU:
• On vent SIMV VT 400, RR 14, FiO2 60 i:e ratio 1-1.5, PEEP 2
• On syringe pump morphine 1 mg/jam
• On syringe pump midazolam 1mg/jam
• Cek Hb post op dan AGD 6 jam post op

IX. Pasca Pembedahan


Perawatan di ruang ICU

Tanggal Perjalanan Penyakit Pengobatan / Tindakan


11/11/2020 S : Nyeri post - Teruskan instruksi post
(07.25) operasi (+) op ICU
O:
- GCS = E4M6Vx
- KU = sedang
- TD = 140/83 mmHg
- N = 134 x/mnt
- SpO2 = 98%
A: Post-op Removal Tumor
Parietal Sinistra
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tumor cerebri1


Istilah “tumor otak” merujuk pada berbagai grup neoplasma yang berasal dari jaringan
intrakranial, termasuk meningen (contoh : meningioma) dengan berbagai derajat keganasan,
dimulai dari yang jinak hingga ganas atau agresif. Setiap jenis tumor memiliki gambaran
biologi, tatalaksana, serta prognosis tersendiri yang biasanya disebabkan oleh berbagai
faktor risiko. Prognosis pada tumor otak sangat bergantung pada lokasi, sifat infiltratif dan
biologis tumor.
Berdasarkan asal jaringannya, tumor otak dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu
tumor otak primer dan tumor otak sekunder atau metastasis. Tumor otak primer berasal dari
berbagai jaringan intrakranial termasuk neuron, sel glia, astrosit dan termasuk meningen.
Tumor otak sekunder merupakan metastasis dari tumor primer di tempat lain, biasanya
berasal dari tumor primer ganas solid, seperti kanker paru, payudara, melanoma dan ginjal,
maupun keganasan hematologi, seperti limfoma dan leukemia.
Klasifikasi WHO pada tahun 2016 untuk tumor otak relevan untuk glioma. Glioma dan
meningioma merupakan kasus tumor otak yang paling sering ditemukan. Satu dari tiga
tumor otak primer yang terdiagnosis setiap tahunnya adalah glioma. Gejala yang timbul
pada pasien tumor susunan saraf pusat bergantung dari lokasi dan pertumbuhan tumor.
Pasien dengan tumor otak dapat datang dengan keluhan akibat peningkatan tekanan
intrakranial (nyeri kepala, mual, muntah proyektil), baik karena efek massa maupun karena
hidrosefalus yang dalam kondisi berat dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
Pada glioma derajat rendah gejala yang biasa ditemui adalah kejang, sementara glioma
derajat tinggi lebih sering menimbulkan gejala defisit neurologis progresif dan tekanan
intrakranial meningkat. Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah defisit neurologis
(gangguan penciuman, gangguan penglihatan, pandangan ganda, baal-baal atau nyeri di
wajah, kelemahan otot wajah, gangguan pendengaran, menelan, dan lain-lain) yang bersifat
progresif dan bergantung lokasi tumor, kejang, penurunan kognitif, gangguan
keseimbangan dan gangguan kepribadian. Tanda dan gejala ini dapat digunakan untuk
menentukan lokasi tumor sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang radiologis, sesuai
dengan struktur anatomis yang terganggu.
Pembedahan merupakan salah satu modalitas terapi yang sangat penting dalam terapi
tumor otak baik untuk perbaikan kondisi klinis dan penegakan diagnosis patologi anatomi.
Perencanaan sebelum operasi, posisi pasien pada saat operasi, dan ukuran prosedur
kraniotomi bertujuan agar dokter dapat melakukan yang terbaik untuk mengangkat tumor
secara aman. Pilihan meliputi total reseksi ketika layak, biopsi stereotaktik, biopsi terbuka/
debulking.
Waktu untuk dilakukan pembedahan pada umumya bersifat elektif dengan perencanaan,
tetapi pada kondisi tertentu bisa menjadi tindakan emergensi/cito jika didapatkan tanda-
tanda tekanan intrakranial yang meningkat baik akibat langsung dari ukuran tumor yang
besar dan adanya perdarahan disekitar tumor (intratumoral bleeding) ataupun akibat
sekunder dari tumor karena edema otak yang tidak membaik dengan manajemen pengobatan
dan obstruktif hidrosefalus.

2.2. Anestesi Umum (General Anesthesia)


General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran (reversible) akibat pemberian obat anestesi.
Rees dan Gray membagi anestesi menjadi 3 (tiga) komponen yaitu :
1. Hipnotika : pasien kehilangan kesadaran
2. Anestesia : pasien bebas nyeri
3. Relaksasi : pasien mengalami kelumpuhan otot rangka
Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general
anestesi dengan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan
face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube
atau anestesi imbang (balanced) yaitu antara gabungan keduanya.
A. Teknik General Anestesi
General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2017), dapat dilakukan dengan 3
teknik, yaitu:2
1. General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi
parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
Beberapa variasi anestesia intravena:
1) Anestesia intravena klasik
Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedatif contoh: diazepam,
midazolam atau dehidro benzperidol. Komponen trias anestesi yang dipenuhi dengan
teknik ini adalah : hipnotik dan anestesia.
Indikasi :
Pada operasi kecil dan sedang yang tidak memerlukan relaksasi lapangan operasi
yang optimal dan berlangsung singkat, dengan perkecualian operasi didaerah jalan
nafas dan intraokuler.
Kontraindikasi:
a) Pasien yang rentan terhadap obat-obat simpatomimetik, misalnya: penderita diabetes
melitus, hipertensi, tirotoksikosis dan paeokromo sitoma
b) Pasien yang menderita hipertensi intrakranial
c) Pasien penderita glaukoma
d) Operasi intra okuler
2) Anestesi intravena total
Pemakaian kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat hipnotik, analgetik
dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias anestesia yang dipenuhi adalah
hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
Indikasi :
Operasi-operasi yang memerlukan relaksasi lapangan operasi optimal
Kontraindikasi :
Tidak ada kontra indikasi absolut. Pemilihan obat disesuaikan dengan penyakit
yang diderita pasien.
3) Anestesia-analgesia neurolept
Pemakaian kombinasi obat beuroleptik dengan analgetik opiat secara intravena.
Komponen trias anastesia yang dipenuhinya adalah sedasi atau hipnotik ringan dan
analgesia ringan. Kombinasi lazim adalah dehidrobenzperidol dengan fentanil. Jika
tidak terdapat fentanil dapat digantikan dengan petidin atau morfin.
Indikasi :
a) Tindakan diagnostik endoskopi seperti laringoskopi, bronkoskopi, esofaguskopi,
rektos-kopi
b) Sebagai suplemen tindakan anestesi lokal
Kontraindikasi :
a) Penderita parkinson, karena pada pemberian dehidrobenzperidol akan menyebabkan
peningkatan gejala parkinson
b) Penderita penyakit paru obstruktif
c) Bayi dan anak-anak sebagai kontraindikasi relatif.
2. General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat
anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat
atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
3. Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat
anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik general
anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan
berimbang.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke
jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh
darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan
sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi
untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan
dosis.
B. Obat-obat General Anestesi2,3
Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah
general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi,
berikut obat-obat yang dapat digunakan pada kedua teknik tersebut.. Dalam memberikan
obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka perlu diperhatikan
tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance. Indikasi Anestesi Intravena
adalah sebagai berikut ;
1. Obat induksi anesthesia umum
2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anestesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)
No. Intravena Inhalasi
1. Atropin Sulfat Nitrous Oxide
2. Pethidine Halotan
3. Atrakurium Enfluren
4. Ketamin HCL Isofluran
5. Midazolam Sevofluran
6. Fentanyl
7. Rokuronium bromide

C. Persiapan Pra Anestesi


Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan
baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut.
Adapun tujuan pra anestesi adalah :2,4
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yangsesuai dengan fisik dan
kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology) :
ASA I : Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
ASA II : Pasien penyakit bedah dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang
ASA III : Pasien penyakit bedah dengan gangguan sistemik berat yang disebabkan
karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam jiwa
ASA IV : Pasien penyakit bedah dengan gangguan sistemik berat yang secara langsung
mengancam jiwa
ASA V : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang sudah
tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan
meninggal.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat.
D. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain:2,5
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. Memberikan analgesia, misal : pethidin
5. Mencegah muntah, misal : droperidol
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropine dan hiosin
Obat-obatan Premedikasi, yaitu :
a. Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna untuk mengurangi
sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Efek lainnya
yaitu melemaskan otot polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme
gastrointestinal, dan mengurangi rasamual serta muntah. Obat ini juga
menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan kabur, maka lebih baik tidak
diberikan pra anestesi local maupun regional. Dalam dosis toksik dapat
menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan pada pasien. Tetapi
hal ini dapat diatasi dengan pemberian prostigmin 1–2 mg intravena. Sediaan :
dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg.
Dosis : 0,01 mg/ kgBB
Pemberian : SC, IM, IV
b. Pethidin
Pethidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk premedikasi.
Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi, mengurangi
kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah,
memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan , dan dapat diantagonis
dengan naloxon.
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan
pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat menyebabkan depresi pusat
pernapasan di medula yang dapat ditunjukkan dengan respon turunnya CO2, mual
dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di medula.
Posisi tidur dapat mengurangi efek tersebut6.
Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc
Dosis : 1 mg/ kgBB
Pemberian : IV, IM
c. Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan sifat
yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Merupakan benzodiapin kerja
cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor
benzodiazepin yang terdapat diberbagai area di otak seperti di medulla spinalis,
batang otak, serebelum system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi
sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan
premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika
sebelumnya.
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi, basal
sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan yang dilakukan di bawah
anestesi local serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat ini
dikontraindikasikan pada keadaan sensitive terhadap golongan benzodiazepine,
pasien dengan insufisiensi pernafasan, acut narrow-angle glaucoma.
Dosis premedikasi sebelum operasi : Pemberian intramuskular pada
penderita yang mengalami nyeri sebelum tindakan bedah, pemberian tunggal atau
kombinasi dengan antikolinergik atau analgesik. Dewasa : 0,07- 0,1 mg/ kg BB
secara IM sesuai dengan keadaan umum pasien, lazimnya diberikan 5mg. Dosis
usia lanjut dan pasien lemah 0,025 – 0,05 mg/ kg BB (IM). Untuk basal sedation
pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10 menit sebelum permulaan operasi, pada
orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5 mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5
mg IV.
Midazolam mempunyai efek samping :
- Efek yang berpotensi mengancam jiwa : midazolam dapat mengakibatkan
depresi pernafasan dan kardiovaskular, iritabilitas pada ventrikel dan perubahan
pada kontrol baroreflek dari denyut jantung.
- Efek yang berat dan ireversibel : selain depresi SSP yang berhubungandengan
dosis, tidak pernah dilaporkan efek samping yang ireversibel
- Efek samping simtomatik : agitasi, involuntary movement, bingung,pandangan
kabur, nyeri pada tempat suntikan, tromboflebitis dantrombosis.
Midazolam dapat berinteraksi dengan obat alkohol, opioid, simetidin, ketamin.
E. Induksi2,3,5
Pada kasus ini digunakan Propofol. Propofol adalah campuran 1% obat dalam air
dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi. Pemberian
intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi secara cepat. Rasa nyeri kadang-
kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi
dapat dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O
dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini
disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan
sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak merusak fungsi hati dan
ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pascaoperasi
yang minimal.
Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresi pernapasan, apnea,
brokospasme dan laringospasme. Pada system kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia,
takikardia, bradikardia, hipertensi. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia, kebingungan, kejang, mual dan muntah.
F. Pemeliharaan2,5
1. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa,
lebih berat dari udara, tidak mudahterbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda
lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat
melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini
tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan
ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan
analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida
mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah
dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
2. Ethrane (Enflurane)
Merupakan anestesi yang poten. Dapat mendepresi SSP menimbulkan efek
hipnotik. Pada kontrasepsi inspirasi 3 – 3,5 % dapat menimbulkan perubahan EEG
yaitu epileptiform, karena itu sebaiknya tidak digunakan pada pasien epilepsi. Dan
dapat meningkatkan aliran darah ke otak. Pada anestesi yang dalam dapat menurunkan
tekanan darah disebabkan depresi pada myokardium. Aritmia jarang terjadi dan
penggunaan adrenalin untuk infiltrasi relatif aman. Pada system pernafasan,
mendepresi ventilasi pulmoner dengan menurunkan volumetidal dan mungkin pula
meningkatkan laju nafas. Tidak menyebabkan hipersekresi dari bronkus. Pada otot,
Ethrane menimbulkan efek relaksasi yang moderat. Menyebabkan peningkatan
aktivitas obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Penggunaan Ethrane pada operasi sectio cesaria cukup aman pada konsentrasi
rendah (0,5 - 0,8 vol %) tanpa menimbulkan depresi pada fetus. Berhati-hati pada
penggunaan konsentrasi tinggi karena dapat menimbulkan relaksasi otot uterus. Untuk
induksi, Ethrane 2 – 4 vol % dikombinasikan O2 atau campuran N2O-O2, sedangkan
untuk mempertahankan anestesi diperlukan 0,5 – 3 %. Keuntungan dari Ethrane adalah
harum, induksi dan pemulihan yang cepat, tidak ada iritasi, sebagai bronkodilator,
relaksasi otot baik, dapat mempertahankan stabilitas dari sistem kardiovaskuler serta
bersifat non emetik. Sedangkan kerugiannya bersifat myocardial depresan, iritasi pada
CNS, ada kemungkinan kerusakan hati. Sebaiknya dihindari pemberiannya pada
pasien dengan keparahan ginjal.
3. Halothane (Fluothane)
Berbentuk cairan jernih, sangat mudah menguap dan berbau manis, tidak tajam
dan mempunyai titik didih 50 C. Konsentrasi yang digunakan untuk anestesi beragam
dari 0,2–3%. Merupakan zat yang poten sehingga membutuhkan vaporizer yang
dikalibrasi untuk mencegah dosis yang berlebihan. Karena kurang larut dalam darah
dibandingkan dengan eter, maka saturasi dalam darah lebih cepat, sehingga induksi
inhalasi relatif lebih cepat dan menyenangkan untuk pasien. Jika persediaan terbatas
maka sebaiknya Halothane digunakan untuk menstabilkan setelah induksi intravena.
Pada kondisi klinis halothane tidak mudah terbakar dan meledak.
Halothane memberikan induksi anestesi yang mulus, tetapi mempunyai sifat
analgesi yang buruk. Penggunaan zat ini untuk anestesi secara tunggal akan
menyebabkan depresi kardiopulmoner yang ditandai dengan sianosis, kecuali bila gas
inspirasi mengandung oksigen dengan konsentrasi tinggi. Halothane mempunyai efek
relaksasi otot yang lebih kecil daripada eter, merupakan suatu bronkodilator. Depresi
pusat pernafasan oleh halothane ditandai dengan pernafasan yang cepat dan dangkal,
peningkatan frekuensi pernafasan ini lebih kecil bila diberikan premedikasi dengan
opium. Efek pada kardiovaskuler adalah depresi langsung pada miokardium dengan
penurunan curah jantung dan tekanan darah, tetapi terjadi vasodilatasi kulit sehingga
mungkin perfusi jaringan lebih baik. Kerugian dari halothane dapat diatasi dengan
dikombinasikan dengan N2O (50– 70%) atau trikloroetilen (0,5-1%).
G. Obat Pelumpuh Otot4
1. Suksametonium (Succynil choline)
Terutama digunakan untuk mempermudah/fasilitas intubasi trakea karena mula
kerja cepat (1-2 menit) dan lama kerja yang singkat (3–5menit). Juga dapat dipakai
untuk memelihara relaksasi otot dengan cara pemberian kontinyu per infus atau
suntikan intermitten. Dosis untuk intubasi 1-2 mg/kgBB/I.V. Komplikasi dan efek
samping dari obat ini adalah :
a. Bradikardi, bradiaritma dan asistole pada pemberian berulang atau terlalu cepat
serta pada anak-anak
b. Takikardi dan takiaritmia
c. Lama kerja memanjang terutama bila kadar kolinesterase plasma berkurang
d. Peningkatan tekanan intra okuler
e. Hiperkalemi
f. Nyeri otot fasikulasi
Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 500 mg. Pengenceran
dengan garam fisiologis/aquabidest steril 5 atau 25 ml sehingga membentuk larutan 2
%. Cara pemberian I.V/I.M/ intralingual/intra bukal.
2. Atrakurium besylate (tracrium)2
Sebagai pelumpuh otot dengan struktur benzilisoquinolin yang memiliki
beberapa keuntungan antara lain bahwa metabolisme di dalam darah (plasma) melalui
suatu reaksi yang disebut eliminasi hoffman yang tidak tergantung fungsi hati dan
fungsi ginjal, tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang, tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Obat ini menurunkan MAP tetapi tidak menyebabkan perubahan ICP. Dosis
atracurium untuk intubasi adalah 0,5 mg/kg dandosis pemeliharaan adalah 5-10
ug/kg/menit. Kemasan : 2,5 ml dan 5ml yang berisi 25 mg dan 50 mg atrakurium
besylate. Mula kerja pada dosis intubasi 2-3 menit sedangkan lama kerjanya pada dosis
relaksasi 15-35 menit.
H. Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea,sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dikendalikan.Intubasi trakea bertujuan untuk : 2
1. Mempermudah pemberian anestesi
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial
5. Pemakaian ventilasi yang lama
6. Mengatasi obstruksi laring akut
I. Terapi Cairan2
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan
komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk:
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi
2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga sepertipada ileus obstriktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhancairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml/kgBB/ jam. Setiap kenaikan suhu 1C kebutuhan cairan bertambah 10-15
%.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa
untuk operasi :
- Ringan : 4 ml/kgBB/jam
- Sedang : 6 ml / kgBB/jam
- Berat : 8 ml / kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV
maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang
hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan deficit cairan selama operasi
ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
J. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi
pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan kebangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar darikomplikasi yang
disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
2.3. General Anestesi pada kraniotomi pada pasien dengan tumor cerebri
A. Preoperative management
Evaluasi preoperative pada kraniotomi perlu dilakukan untuk mengetahui ada atau
tidaknya peningkatan TIK. CT scan dan MRI diperlukan untuk mencari bukti adanya
edema otak, midline shift lebih dari 0,5 cm dan penekanan atau perubahan posisi
ventrikel. Pemeriksaan neurologis diperlukan untuk mendokumentasikan status mental
dan deficit sensorik atau motoric. Kortikosteroid, diuretic, dan anti konvulsan perlu
ditinjau kembali dengan evaluasi lab untuk menyingkirkan corticosteroid induced
hyperglicemia, gangguan keseimbangan elektrolit karena diuretic, atau sekresi abnormal
dari ADH. Konsentrasi antikonvulsan perlu diukur kembali, terutama ketika kejang tidak
terkontrol dengan baik.
Premedikasi pada pasien dengan TTIK (Tekanan Tinggi Intrakranial) perlu
diperhatikan, terutama sedasi dan opioid perlu dihindari. Kortikosteroid dan terapi
antikonvulsan harus dilanjutkan sampai waktu operasi.

B. Intraoperative management
i. Monitoring
Selain monitor standar, monitoring tekanan intraarterial direk dan kateterisasi
kandung kemih digunakan pada pasien dengan kraniotomi. Monitoring TD invasive
kontinyu sangat penting dalam mengelola perubahan cepat pada TD selama prosedur
anestesi, posisi, dan manipulasi bedah. AGD juga sangat penting dalam mengelola
regulasi PaCO2. Banyak ahli neuroanestesi memasang transduser tekanan arteri di
tingkat kepala (meatus auditorius eksternus) untuk memfasilitasi perhitungan tekanan
perfusi serebral (CPP). Pengukuran end-tidal CO2 saja tidak dapat diandalkan untuk
pengaturan ventilasi yang tepat; gradien arteri dan end-tidal CO2 harus ditentukan.
Akses vena sentral dan pemantauan tekanan harus dipertimbangkan untuk pasien
dengan penggunaan obat-obatan vasoaktif. Penggunaan vena jugularis interna sebagai
akses secara teoritis bermasalah karena dikhawatirkan kateter dapat mengganggu
drainase vena dari otak. Beberapa dokter menghindari masalah ini dengan
memasukkan kateter panjang ke dalam sirkulasi sentral dari vena basilika median.
Vena jugularis eksternal, subklavikula, dan femoralis mungkin menjadi alternatif
yang cocok untuk penggunaan intraoperatif.
Kateter kandung kemih diperlukan karena penggunaan diuretik, lamanya
prosedur bedah saraf, dan kegunaannya dalam memandu terapi cairan. Fungsi
neuromuskular harus dipantau pada sisi yang tidak terkena pada pasien dengan
hemiparesis karena respon kedutan seringkali resisten secara abnormal pada sisi yang
terkena. Pemantauan visual evoked potentials mungkin berguna dalam mencegah
kerusakan nervus optik selama reseksi tumor hipofisis besar. Penatalaksanaan pasien
dengan TTIK dapat dipandu dengan pemantauan TIK perioperatif. Berbagai
perangkat di ventrikel, intraparenkim, dan subdural dapat dipasang oleh ahli bedah
saraf untuk mengukur TIK. Kateter ventrikulostomi memberikan keuntungan
tambahan yang memungkinkan pembuangan cairan serebrospinal (CSS) untuk
menurunkan TIK.

ii. Induksi
Induksi anestesi dan intubasi trakea adalah periode kritis bagi pasien dengan
gangguan tekanan intrakranial. Elastan intrakranial dapat ditingkatkan dengan
diuresis osmotik, deksametason, atau pembuangan cairan serebrospinal dalam jumlah
kecil melalui drain ventrikulostomi. Tujuan dari setiap teknik harus untuk
menginduksi anestesi dan intubasi trakea tanpa meningkatkan TIK atau mengurangi
CSS. Hipertensi arteri selama induksi meningkatkan cerebral blood volume (CBV)
dan meningkatkan edema serebral. Hipertensi berkelanjutan dapat menyebabkan
peningkatan ICP yang nyata, penurunan cerebral perfusion pressure (CPP), dan risiko
herniasi. Penurunan tekanan darah arteri yang berlebihan dapat merugikan.
Teknik induksi yang paling umum menggunakan propofol bersama dengan
hiperventilasi sederhana untuk mengurangi TIK dan efek berbahaya dari laringoskopi
dan intubasi. Pasien yang kooperatif dapat diminta untuk hiperventilasi selama
preoksigenasi.
Semua pasien menerima ventilasi terkontrol setelah propofol disuntikkan.
Penghambat neuromuskuler (NMB) diberikan untuk memfasilitasi ventilasi dan
mencegah mengejan atau batuk, yang keduanya dapat meningkatkan TIK secara tiba-
tiba. Opioid intravena yang diberikan dengan propofol menumpulkan respons
simpatis, terutama pada pasien muda. Esmolol, 0,5–1,0 mcg/kg, efektif dalam
mencegah takikardia yang berhubungan dengan intubasi pada pasien dengan anestesi
ringan. Teknik induksi sebenarnya dapat bervariasi sesuai dengan respon pasien
individu dan kondisi kesehatan pasien. Suksinilkolin secara teoritis dapat
meningkatkan TIK, terutama jika intubasi dilakukan sebelum pemberian anestesi
dalam. Meskipun begitu, suksinilkolin tetap menjadi agen pilihan untuk induksi
sekuens cepat atau bila ada kekhawatiran tentang jalan nafas yang berpotensi sulit,
karena hipoksemia dan hiperkarbia jauh lebih merugikan daripada efek suksinilkolin
pada pasien dengan TTIK.
Hipertensi selama induksi dapat diobati dengan β1 -blocker atau dengan
memperdalam anestesi dengan propofol tambahan. Konsentrasi agen volatil yang
sedang (misalnya sevoflurane) juga dapat digunakan, selama hiperventilasi juga
digunakan. Sevoflurane paling baik mempertahankan autoregulasi cerebral blood
flow (CBF) dan menghasilkan vasodilatasi terbatas, karena itu mungkin agen volatil
yang lebih disukai pada pasien dengan TIK yang meningkat.
Karena efeknya yang berpotensi merusak CBV dan ICP, vasodilator (misalnya,
nicardipine, nitroprusside, nitroglycerin, dan hydralazine) dihindari sampai dura
dibuka. Hipotensi umumnya diobati dengan vasopresor dosis tambahan (misalnya
fenilefrin).

iii. Posisi
Kraniotomi frontal, temporal, dan parietooksipital dilakukan dalam posisi
terlentang. Kepala diangkat 15-30° untuk memfasilitasi drainase CSF. Kelenturan
atau rotasi leher yang berlebihan menghambat drainase vena jugularis dan dapat
meningkatkan TIK. Sebelum dan sesudah pemosisian, selang trakea harus diamankan,
dan semua sambungan sirkuit pernapasan diperiksa. Risiko pemutusan sambungan
yang tidak diketahui dapat meningkat karena jalan napas pasien tidak akan mudah
dinilai setelah surgical draping. Selain itu, meja operasi biasanya diputar 90° atau
180° dari ahli anestesi.

iv. Pemeliharaan
Anestesi dapat dipertahankan dengan anestesi inhalasi, teknik anestesi intravena
total (TIVA), atau kombinasi opioid dan hipnotik intravena (paling sering propofol)
dan agen inhalasi dosis rendah. Meskipun periode stimulasi hanya sedikit, blokade
neuromuskuler direkomendasikan—kecuali pemantauan neurofisiologis bertentangan
dengan penggunaannya untuk mencegah mengedan atau memberontak.
Peningkatan kebutuhan anestesi perlu dilakukan dalam beberapa periode yang
dapat merangsang pasien seperti intubasi dengan laringoskopi, sayatan kulit,
pembukaan dural, manipulasi periosteal, termasuk penempatan dan penutupan pin
Mayfield. TIVA dengan remifentanil dan propofol mengakibatkan emergence yang
cepat dan penilaian neurologis langsung. Demikian juga, α2-agonist
dexmedetomidine dapat digunakan selama kraniotomi tidur dan sadar untuk efek
serupa.
Hiperventilasi harus dilanjutkan selama operasi untuk mempertahankan PaCO2
pada sekitar 30-35 mmHg. Tekanan PaCO2 yang lebih rendah memberikan sedikit
manfaat tambahan dan mungkin terkait dengan iskemia serebral dan gangguan
disosiasi oksigen dari hemoglobin. Tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) dan pola
ventilasi yang mengakibatkan mean airways pressure (Paw) yang tinggi harus
dihindari karena berpotensi menimbulkan efek merugikan pada TIK dengan
meningkatkan tekanan vena sentral dan potensi cedera paru. Pasien hipoksia mungkin
memerlukan PEEP dan peningkatan Paw.
Penggantian cairan intravena harus dibatasi pada kristaloid isotonik bebas
glukosa atau larutan koloid. Hiperglikemia sering terjadi pada pasien bedah saraf (efek
kortikosteroid) dan terlibat dalam peningkatan cedera otak iskemik. Larutan koloid
dapat digunakan untuk mengembalikan defisit volume intravaskuler, sedangkan
larutan kristaloid isotonik digunakan untuk kebutuhan cairan pemeliharaan. Prosedur
bedah saraf sering kali dikaitkan dengan “occult” blood loss (di bawah draping atau
di lantai).

v. Emergence (Pulih Sadar)


Kebanyakan pasien yang menjalani kraniotomi elektif dapat diekstubasi di akhir
prosedur selama fungsi neurologis intak. Pasien yang tetap diintubasi harus disedasi
untuk mencegah agitasi. Ekstubasi di ruang operasi memerlukan penanganan khusus
selama emergence. Mengejan atau menekuk selang trakea dapat memicu perdarahan
intrakranial atau memperburuk edema serebral. Saat kulit tertutup, pasien harus bisa
melakukan pernapasan secara spontan. Jika perlu, kepala pasien diamankan dengan
alat pin Mayfield. Setelah kepala ditutup dan posisi pasien dikembalikan seperti saat
induksi, semua gas anestesi dihentikan dan blokade neuromuskuler dibalik.
Pulih sadar cepat diharapkan jika anestesi yang diberikan sesuai. Pulih sadar yang
tertunda dapat terlihat setelah overdosis opioid atau obat penenang, ketika konsentrasi
end-tidal dari agen volatil tetap> .2 konsentrasi alveolar minimum (MAC), karena
berbagai gangguan metabolik, atau bila ada cedera neurologis perioperatif.
Pasien mungkin perlu dipindai dengan CT-scan langsung dari ruang operasi untuk
evaluasi ketika mereka tidak merespon seperti yang diperkirakan. Eksplorasi
ulang segera mungkin diperlukan. Sebagian besar pasien dibawa ke ICU pasca
operasi untuk memantau fungsi neurologis dengan cermat.6

2.4. Terapi intraoperative kraniotomi pada pasien dengan tumor cerebri


Kontroversi pemilihan kristaloid atau koloid untuk resusitasi cairan telah berlangsung
selama lima dekade. Panduan ATLS saat ini menganjurkan resusitasi cairan yang agresif
yang dimulai dengan bolus dua liter kristaloid pada orang dewasa, dan sebaiknya dengan
larutan Ringer Laktat (RL). Kristaloid terutama mengisi cairan interstisiel, akibatnya edema
merupakan luaran yang sudah terduga setelah resusitasi menurut ATLS.
Untuk memperbaiki volume plasma, aksioma klasik menyatakan bahwa diperlukan tiga
kali atau lebih volume kritaloid dari volume darah yang hilang. Saat ini, rasio tersebut
dipertanyakan, dan diduga rasio yang lebih baik adalah 5:1 karena terjadi penurunan tekanan
osmotik koloid akibat penurunan konsentrasi protein serum karena perdarahan, kebocoran
kapiler, dan pergantian dengan kristaloid.
Pada model vaskuler yang ideal, larutan isoonkotik koloid tetap di dalam ruang
intravaskuler karena sawar endotel tidak permeabel terhadap senyawa koloid. Dalam klinik,
volume koloid tergantung pada status volume dan ada tidaknya inflamasi sistemik. Yang
jelas, infus koloid memberikan efek instrinsik terhadap otak dari segi dampaknya terhadap
sirkulasi serebral.
Rekomendasi terkini menganjurkan penggunaan larutan isotonik pada pasien dengan
cedera otak berat, dengan menggunakan natrium klorida/NaCl (larutan salin 0,9%) sebagai
terapi pilihan utama. Namun demikian, larutan NaCl dapat menyebabkan asidosis
hiperkloremik dan memiliki efek samping seperti gangguan hemostatik, disfungsi kognitif,
dan ileus. Hiperkloremia sangat sering ditemukan di pasien sakit kritis dan saat ini diyakini
bahwa cairan yang kaya akan klorida merupakan penyebab utama asidosis hiperkloremik
pada pasien sakit kritis. Suatu penelitian before-after menunjukkan bahwa strategi restriksi
klorida berhubungan dengan berkurangnya angka gagal ginjal yang signifikan pada pasien
sakit kritis dan signifikan mempengaruhi status elektrolit dan asam basa. Pada analisis post
hoc penelitian retrospektif pasien dengan cedera otak yang menerima larutan NaCl isotonik
untuk rumatan melaporkan 65% pasien mengalami hiperkloremia. Saluran klorida (Cl)
mengatur edema sel dan dapat dianggap bahwa diskloremia berperan pada edema otak.
Pengaruh Terapi Cairan terhadap Otak
Regulasi yang kompleks pada volume serebral sebagai respon terhadap perubahan
osmolalitas merupakan pusat perhatian utama dalam hal konteks terapi cairan pada pasien
dengan BBB yang intak atau terganggu. Penentu utama termasuk osmolalitas dan tekanan
osmotik koloid sediaan cairan. Suatu cairan kristaloid iso-osmotik (yang ekuivalen dengan
osmolalitas plasma fisiologis 288±5 mosml/kg) didistribusikan secara merata ke ruang
intravaskuler dan interstisiel, karena sel-sel endotel perifer menjadi tempat pertukaran
cairan dan elektrolit tanpa batasan. Karena itu, kristaloid dalam volume besar berhubungan
langsung dengan pembentukan edema ekstraseluler yang tergantung dosis. Pada
kenyataannya, unit neurovaskuler mencegah elektrolit melintas dari ruang intravaskuler ke
ruang interstisiel secara pasif. Karena itu, volume intrakranial tidak akan meningkat bahkan
pada pemberian larutan kristaloid iso-osmotik. Di lain pihak, larutan hipo-osmotik
didistribusikan ke seluruh cairan tubuh, termasuk ruang intraseluler sehingga terjadi
peningkatan volume intraseluler yang akan memaksa otak berespon menurunkan senyawa
intraseluler secara aktif (berarti memerlukan ATP). Untuk mencegah potensi sekuele edema
otak yang fatal, pemberian larutan hipo-osmotik secara cepat atau resusitasi dalam dosis
tinggi atau pemberian pada pasien dengan patologi otak sebaiknya secara umum dihindari. 7

2.5. Transfusi darah pada kraniotomi pada pasien dengan tumor cerebri
Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau komponen darah yang bisa berasal
dari berbagai sumber ke dalam makhluk hidup. Transfusi darah umumnya berhubungan
dengan kehilangan darah dalam jumlah besar yang disebabkan oleh trauma, operasi, syok
dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah.8
Darah tersusun dari berbagai komponen yang dapat ditransfusikan secara terpisah sesuai
dengan kebutuhan. Berikut adalah beberapa jenis dari komponen darah yang dapat
ditransfusikan:
Whole blood
Whole blood mengandung komponen eritrosit, leukosit, trombosit, dan plasma. Satu unit
whole blood terdiri dari 250 mL darah dan 37 mL antikoagulan dengan kadar hematokrit
40%, dapat meningkatkan kadar hemoglobin sebanyak 1g/dL dan hematokrit sebanyak 3-
4%. Pada orang dewasa, diberikan bila kehilangan darah lebih dari 15-20% volume darah,
sedangkan pada bayi lebih dari 10% volume darah. Kontra indikasi whole blood yaitu pada
pasien anemia kronis normovolemik atau pada pasien yang hanya membutuhkan sel darah
merah saja.
Packed red cell
Packed red blood cell (PRC) mengandung kadar hemoglobin yang sama dengan whole
blood, dengan volume 250-300 mL dan kadar hematokrit 70%. Umumnya, unit PRC
difiltrasi untuk mengurangi kadar leukosit sehingga dapat mencegah terjadinya febrile
nonhemolytic transfusion reactions (FNHTRs). Dalam periode perioperatif dan paska
bedah, transfusi RBC diperlukan untuk menggantikan darah yang hilang selama
pembedahan berlangsung, mempertahankan kadar Hb, dan meningkatkan kapasitas angkut
oksigen ke jaringan. Untuk menentukan jumlah darah yang dibutuhkan agar Hb darah pasien
meningkat dapat digunakan rumus :

Kadar Hb yang dimiliki PRC adalah 24%. Selama ditransfusikan, PRC dihangatkan pada
suhu 37°C untuk mencegah hipotermia. Pemberian PRC dapat difasilitasi dengan larutan
kristaloid 50-100 mL normal saline.

Konsentrat Trombosit
Konsentrat trombosit dapat didapatkan dari konsentrasi penuh 4 kantong darah lengkap
maupun dari teknik apheresis trombosit dari satu pendonor saja. Satu unit trombosit yang
diperoleh mengandung 50 –70 mL plasma, disimpan dalam suhu 20-24°C selama 5 hari.
Transfusi trombosit diberikan pada pasien dengan trombositopenia atau trombosit
disfungsional bila terjadi perdarahan. Profilaksis transfuse trombosit juga ditunjukkan pada
pasien dengan jumlah trombosit di bawah 10.000 - 20.000 × 109/ L karena peningkatan
risiko perdarahan spontan. Jumlah trombosit kurang dari 50.000 × 10 9/ L dikaitkan dengan
peningkatan kehilangan darah selama operasi. Pemberian satu unit trombosit diharapkan
meningkatkan jumlah trombosit sebesar 5000 -10.000 × 109/ L, dan dengan pemberian unit
aperesis platelet, sebesar 30.000 - 60.000 × 109/ L. Trombosit transfusi biasanya bertahan
hanya 1-7 hari setelah transfuse.

Granulosit
Transfusi granulosit dapat ditunjukkan pada pasien neutropenik dengan infeksi bakteri
yang tidak merespons antibiotik. Transfusi granulosit memiliki masa hidup yang pendek
pada sirkulasi resipien. Ketersediaan faktor penggabungan koloni granulocyte (G-CSF) dan
faktor timulasi koloni granulosit-makrofag (GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan
transfusi granulosit.
Transfusi Plasma Segar Beku (Fresh Frozen Plasma)
Fresh frozen plasma (FFP) merupakan plasma yang langsung dibekukan pada suhu
kurang atau sama dengan -25°C untuk memelihara faktor pembekuan yang dikandungnya
setelah diperoleh dari donor dan dapat disimpan hingga 5 hari. FFP merupakan produk
plasma yang paling sering digunakan, mengandung protein plasma dan seluruh faktor
pembekuan.9-11
Beberapa indikasi khusus diperlukannya transfuse darah :
1. Transfusi Darah Gawat Darurat
Dalam situasi gawat darurat yang tidak memungkinkan untuk melakukan tes pada
sampel darah transfusi, PRC golongan O resus negatif dapat diberikan pada pasien,
dengan ketentuan tidak ada riwayat transfusi sebelumnya. Alasannya adalah pada
golongan darah O resus negative memiliki volume plasma yang lebih sedikit dan
hampir tidak mengandung antibodi anti-A dan anti-B. Dalam kondisi tersebut, seorang
dokter harus membuat lembar pertanggungjawaban mengenai indikasi pemberian
transfusi darah tanpa dilakukan pemeriksaan sampel darah sebagai tindakan live
saving.
2. Transfusi Darah Masif
Transfusi masif didefinisikan sebagai prosedur pemberian transfusi yang melebihi
volume darah pasien atau sebanyak 10 unit darah dalam 24 jam. Atau transfusi yang
melebihi 50% volume sirkulasi dalam waktu kurang dari 3 jam atau transfusi dengan
laju 150 mL/menit. Tindakan ini dilakukan bila terjadi perdarahan akut pada pasien
bedah akibat defisiensi faktor pembekuan multiple dan trombositopenia. Pada pasien
dengan kondisi tersebut dapat diberikan factor pembekuan V dan VIII untuk
memperbaiki kondisi klinis.12

Pemberian Transfusi Darah Pasca Bedah


Kehilangan darah dan hipovolemia dapat terjadi pada periode pasca operasi.
Pencegahan, deteksi dini dan perawatannya sangat penting untuk kesehatan pasien dan
mungkin mengurangi kebutuhan akan transfusi. Perhatian khusus harus diberikan pada
pasien dengan hipoksia pasca operasi, pemantauan tanda vital, keseimbangan cairan dan
analgesia. Plasma intraoperatif yang lebih tinggi terhadap rasio transfusi sel darah merah
dikaitkan dengan kebutuhan plasma dan sel darah merah yang lebih sedikit dalam 24 jam
pertama setelah operasi.
Anemia umum terjadi setelah operasi. Strategi untuk membatasi perkembangan anemia
salah satunya dengan pemberian transfusi darah. Pemberian transfusi pasca bedah
dianjurkan diberikan setelah pasien sadar, untuk mengetahui sedini mungkin reaksi transfusi
yang mungkin timbul. Pada periode paska bedah, terutama pasien yang sudah atau sedang
memperoleh transfusi darah, segera lakukan evaluasi status hematologi dan pemeriksaan
faal hemostasis untuk mengetahui sedini mungkin setiap kelainan yang terjadi. Tujuan
pemberian transfusi darah pasca bedah yaitu untuk mengoreksi komponen darah yang belum
terpenuhi selama operasi, dan mengisi volume sirkulasi.
Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb masih >10 gr/dL. Transfusi PRC dengan
strategi restriktif diindikasikan bila kadar Hb <7 gr/dL atau hematokrit <21% dan
dipertahankan pada rentang 7-9 gr/dL. Keluaran klinis pada strategi restriktif tidak
bermakna secara signifikan dengan strategi liberal yang mengindikasikan transfusi bila
kadar Hb <10 gr/dL dan dipertahankan pada rentang 10-12 gr/dL
Pada pasien trauma bila kadar Hb >7 gr/dL, perlu dilakukan evaluasi keadaan
hipovolemia pada pasien. Bila terjadi hypovolemia berikan cairan intravena untuk
mengembalikan volume darah. Bila normovolemia lakukan evaluasi lebih lanjut terkait
gangguan hantaran oksigen dengan menilai SpO2. Saat hantaran oksigen terganggu,
pertimbangkan pemasangan kateter arteri pulmonal serta ukur curah jantung pasien. Jika
hantaran oksigen masih baik, lakukan pemantauan kadar Hb.13
Klasifikasi perdarahan menurut American College of Surgeon
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien bernama Tn.D datang ke RSUD Sudarso dengan keluhan nyeri kepala terus
menerus. Pasien juga mengeluhkan kelemahan pada anggota gerak sebelah kanan.
Terdapat benjolan di kepala bagian tengah sebelah kiri. Pasien direncanakan untuk
kraniotomi+removal tumor pada tanggal 10 Desember 2020. Pasien sudah pernah
dikraniotomi di bulan Juli 2020, kemudian direncanakan operasi kedua pada bulan
September 2020, namun diundur karena hipertensi pada saat itu. Riwayat penyakit
dahulu pasien adalah hipertensi, sementara riwayat penyakit keluarga dan alergi
disangkal. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan tanda-tanda vital yaitu tekanan darah
160/70, laju nafas 20x/menit, nadi 70x/menit, suhu 36.5oC. Ditemukan benjolan pada
parietal sinistra. Sementara untuk pemeriksaan lain dalam batas normal. Pemeriksaan
penunjang pada pasien ini ditemukan pada CT scan kepala dengan kesan tampak SOL di
parietal kiri dengan herniasi lobus parietal kiri dd/residu tumor, residif tumor, abses
cerebri. Kemudian pada pemeriksaan PA di bulan Juli 2020, tampak gambaran
histopatologi kesan suatu proses radang kronik non spesifik dengan sel-sel atypia.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien masuk
dalam kategori ASA III yang berarti pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik
berat yang diakibatkan karena berbagai penyebab dengan diagnosis tumor parietal
sinistra susp glioma.
Sebelumnya, pasien dipuasakan 6 jam pre operasi dengan tujuan untuk mencegah
aspirasi isi lambung karena regurgitasi dan muntah. Ketika sudah sampai pada waktu
operasi, dilakukan edukasi dan penjelasan kembali kepada pasien dan keluarga mengenai
lembar persetujuan tindakan anestesi yang akan dilakukan. Ketika sampai di ruang OK
8, pasien dibaringkan dan dipasang NIBP dan pulse oxymetri dengan hasil TD : 150/90
dan nadi 89x/menit. Pasien diberikan pre medikasi berupa Fentanyl 100 mcg untuk
analgesic, Midazolam 3 mg sebagai sedasi dan penenang pasien, dan Dexamethasone 5
mg untuk mengurangi edema pada otak.5,6
Tindakan anestesi yang digunakan adalah anestesi umum dengan teknik intubasi ETT.
Pasien diinduksi dengan Propofol 100 mg dan Sevoflurane, serta Atracurium besylate 30
mg. Kedua agen ini digunakan untuk menghindari terjadinya intracranial hipertensi dan
edema cerebri dengan cara memberikan analgetic, sedasi, dan relaksasi yang adekuat.
Propofol digunakan untuk mengurangi TIK dan efek dari intubasi itu sendiri. Sevoflurane
paling baik mempertahankan autoregulasi CBF (Cerebral Blood Flow) dan
mengakibatkan vasodilatasi terbatas sehingga agen ini lebih disukai dengan pasien yang
TIK-nya meningkat. Atracurium besylate sebagai neuromuscular blocker (NMB)
diberikan untuk memfasilitasi ventilasi dan mencegah mengejan atau batuk pada pasien.
Atracurium besylate dipilih karena merupakan agen NMB kerja menengah dengan onset
20-35 menit.6
Setelah itu, pasien dipasang CVC (Central Venous Catheter) untuk kebutuhan
transfusi darah. Setelah CVC dipasang, operasi pun dimulai. Manitol sebanyak 200cc
digunakan sebelum dura dibuka, tujuannya untuk mengurangi pembengkakan pada otak,
menurunkan TIK, serta memfasilitasi pendekatan operasi dalam menurunkan resiko lesi
kortikal.6
Operasi berlangsung selama 5,5 jam. Selama operasi, pemeliharaan anestesi
menggunakan propofol kontinyu sebesar 24 mg/jam, atracurium besylate 10mg per 30
menit, sevoflurane, N2O, dan O2. Propofol kontinyu dan sevoflurane digunakan untuk
tetap menjaga anestesi dalam pasien, sementara atracurium besylate diberikan per 30
menit dikarenakan onset kerja 20-25 menit untuk melumpuhkan otot.
Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 500 cc. Total cairan yang diberikan pada
pasien sejumlah 1120-2240 cc Ringer Laktat. Transfuse darah yang diberikan kepada
pasien sebanyak 3 kolf. Pada pukul 16.40, pembedahan selesai dilakukan dengan
pemantauan akhir TD 110/70 mmHg, Nadi 88x/menit , dan SpO2 99%. Pembedahan
dilakukan selama 330 menit. Pasien kemudian dibawa ke ruang ICU. Adapun instruksi
post op ICU adalah pasien dipasang ventilator mekanik dengan mode SIMV VT 400, RR
14, FiO2 60 i:e ratio 1-1.5, PEEP 2, pasien dipasang syringe pump morphine 1 mg/jam
dan midazolam 1 mg/jam, dan cek Hb post op dan AGD 6 jam post op.
DAFTAR PUSTAKA

1. PERSPEBSI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Penanganan Tumor


Otak. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2019
2. Mangku G, Senaphati TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta : Indeks.
2017
3. Gunawan SG, Setiabudy R. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5 : Jakarta : Badan Penerbit
FKUI. 2011
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2. Jakarta.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2009
5. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI. 2012
6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. Edisi V. New York : McGrawHill. 2013.
7. Rusa R, Zornow M. Fluid management during craniotomy. Dalam: Cottrell JE, Young
WL, eds. Cottrell and Young's Neuroanesthesia, Philadelphia: Elsevier Inc; 2010, 147–
58.
8. Liumbruno, GM, Bennardello F, Lattanzio A, dkk. Recommendations for the
transfusion management of patients in the peri-operative period. III. The post-operative
period. Blood Transfus 2011;9:320-35.
9. Kaur P, Basu S, Kaur G, dkk. Transfusion issues in surgery. Internet Journal of Medical
Update. 2013 January;8(1):46-50.
10. Sharma S, Sharma P, Tyler LN. Transfusion of Blood and Blood Products: Indications
and Complications. Am Fam Physician. 2011;83(6):719-724
11. Miller RD. Miller’s Anesthesia. 8th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.
12. McCullough J. Transfusion Medicine. 4th Edition. Oxford: John Wiley & Sons; 2017.
13. Sihler KC, Napolitano LM. Complications of massive transfusion. Chest.
2010;137:209-20.

Anda mungkin juga menyukai