DISUSUN OLEH
Catherine Sugandi I4061191044
Qurratul Aini I4061172083
Syarif Syauqiannur I4061192033
PEMBIMBING :
dr. Leonardus Singgih Wibowo, SpAn
General Anesthesia Pada Operasi Bedah Saraf Pasien Dengan Tumor Cerebri
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Stase Anestesi
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir/Umur : 1 Juli 1965 / 55 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Dusun Sidorejo, Kec. Seponti, Kayong Utara
Tanggal Masuk RS : 6 November 2020
Tanggal Operasi : 10 November 2020
Diagnosa : Tumor Parietal Sinistra Suspect Glioma
Macam Operasi : Craniotomy Removal Tumor
Macam Anestesi : General Anesthesia
II. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Nyeri Kepala
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS Soedarso dengan keluhan nyeri kepala disertai adanya benjolan
di kepala bagian tengah sebelah kiri. Nyeri kepala dirasakan pasien secara terus
menerus. Pasien juga mengatakan mengalami kelemahan anggota gerak sebelah
kanan. Benjolan tersebut diketahui merupakan tumor pada bulan Juli 2020 dan sudah
pernah di kraniotomi, kemudian direncanakan operasi kedua pada bulan September
2020, namun diundur karena alasan hipertensi.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Disangkal
e. Riwayat Alergi :
Disangkal
III. Pemeriksaan Fisik
Tanda-Tanda Vital
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Kompos mentis
c. GCS : 15 (E4V5M6)
d. BB : 80 kg
e. Tekanan Darah : 160/70 mmHg
f. Nafas : 20x/menit
g. Nadi : 70x/menit
h. Suhu : 36,5oC
Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit coklat, Ikterik (-), sianosis (-)
b. Kepala : Terdapat benjolan pada parietal sinistra
c. Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),refleks cahaya langsung
(+/+), refleks cahaya konsensual (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
d. Hidung : Rinorhea (-), edema mukosa (-), sekret (-)
e. Mulut : Stomatitis (-), sianosis (-)
f. Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1), selaput (-)
g. Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
h. Dada : Datar, simetris saat statis dan dinamis
i. Jantung : S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
j. Paru : Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
k. Abdomen
Inspeksi : cembung, tampak benjolan/massa (-), distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
l. Ekstremitas : Akral hangat, edema (+), CRT > 2 detik
CT Scan Kepala
Kesan : Tampak SOL di parietal kiri dengan herniasi lobus parietal kiri dd/ residu tumor,
residif tumor, abses cerebri
V. Diagnosis Akhir
Tumor cerebri sinistra susp glioma
VI. Tatalaksana
Kraniotomi
Tumor removal
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
Inj. Dexamethasone 3 x 5 mg
Inj. Asam traneksamat 3 x 500 mg
Inf. Paracetamol 3 x 1 gr
Inj. Phenitoin 2 x 100 mg
B. Intraoperative management
i. Monitoring
Selain monitor standar, monitoring tekanan intraarterial direk dan kateterisasi
kandung kemih digunakan pada pasien dengan kraniotomi. Monitoring TD invasive
kontinyu sangat penting dalam mengelola perubahan cepat pada TD selama prosedur
anestesi, posisi, dan manipulasi bedah. AGD juga sangat penting dalam mengelola
regulasi PaCO2. Banyak ahli neuroanestesi memasang transduser tekanan arteri di
tingkat kepala (meatus auditorius eksternus) untuk memfasilitasi perhitungan tekanan
perfusi serebral (CPP). Pengukuran end-tidal CO2 saja tidak dapat diandalkan untuk
pengaturan ventilasi yang tepat; gradien arteri dan end-tidal CO2 harus ditentukan.
Akses vena sentral dan pemantauan tekanan harus dipertimbangkan untuk pasien
dengan penggunaan obat-obatan vasoaktif. Penggunaan vena jugularis interna sebagai
akses secara teoritis bermasalah karena dikhawatirkan kateter dapat mengganggu
drainase vena dari otak. Beberapa dokter menghindari masalah ini dengan
memasukkan kateter panjang ke dalam sirkulasi sentral dari vena basilika median.
Vena jugularis eksternal, subklavikula, dan femoralis mungkin menjadi alternatif
yang cocok untuk penggunaan intraoperatif.
Kateter kandung kemih diperlukan karena penggunaan diuretik, lamanya
prosedur bedah saraf, dan kegunaannya dalam memandu terapi cairan. Fungsi
neuromuskular harus dipantau pada sisi yang tidak terkena pada pasien dengan
hemiparesis karena respon kedutan seringkali resisten secara abnormal pada sisi yang
terkena. Pemantauan visual evoked potentials mungkin berguna dalam mencegah
kerusakan nervus optik selama reseksi tumor hipofisis besar. Penatalaksanaan pasien
dengan TTIK dapat dipandu dengan pemantauan TIK perioperatif. Berbagai
perangkat di ventrikel, intraparenkim, dan subdural dapat dipasang oleh ahli bedah
saraf untuk mengukur TIK. Kateter ventrikulostomi memberikan keuntungan
tambahan yang memungkinkan pembuangan cairan serebrospinal (CSS) untuk
menurunkan TIK.
ii. Induksi
Induksi anestesi dan intubasi trakea adalah periode kritis bagi pasien dengan
gangguan tekanan intrakranial. Elastan intrakranial dapat ditingkatkan dengan
diuresis osmotik, deksametason, atau pembuangan cairan serebrospinal dalam jumlah
kecil melalui drain ventrikulostomi. Tujuan dari setiap teknik harus untuk
menginduksi anestesi dan intubasi trakea tanpa meningkatkan TIK atau mengurangi
CSS. Hipertensi arteri selama induksi meningkatkan cerebral blood volume (CBV)
dan meningkatkan edema serebral. Hipertensi berkelanjutan dapat menyebabkan
peningkatan ICP yang nyata, penurunan cerebral perfusion pressure (CPP), dan risiko
herniasi. Penurunan tekanan darah arteri yang berlebihan dapat merugikan.
Teknik induksi yang paling umum menggunakan propofol bersama dengan
hiperventilasi sederhana untuk mengurangi TIK dan efek berbahaya dari laringoskopi
dan intubasi. Pasien yang kooperatif dapat diminta untuk hiperventilasi selama
preoksigenasi.
Semua pasien menerima ventilasi terkontrol setelah propofol disuntikkan.
Penghambat neuromuskuler (NMB) diberikan untuk memfasilitasi ventilasi dan
mencegah mengejan atau batuk, yang keduanya dapat meningkatkan TIK secara tiba-
tiba. Opioid intravena yang diberikan dengan propofol menumpulkan respons
simpatis, terutama pada pasien muda. Esmolol, 0,5–1,0 mcg/kg, efektif dalam
mencegah takikardia yang berhubungan dengan intubasi pada pasien dengan anestesi
ringan. Teknik induksi sebenarnya dapat bervariasi sesuai dengan respon pasien
individu dan kondisi kesehatan pasien. Suksinilkolin secara teoritis dapat
meningkatkan TIK, terutama jika intubasi dilakukan sebelum pemberian anestesi
dalam. Meskipun begitu, suksinilkolin tetap menjadi agen pilihan untuk induksi
sekuens cepat atau bila ada kekhawatiran tentang jalan nafas yang berpotensi sulit,
karena hipoksemia dan hiperkarbia jauh lebih merugikan daripada efek suksinilkolin
pada pasien dengan TTIK.
Hipertensi selama induksi dapat diobati dengan β1 -blocker atau dengan
memperdalam anestesi dengan propofol tambahan. Konsentrasi agen volatil yang
sedang (misalnya sevoflurane) juga dapat digunakan, selama hiperventilasi juga
digunakan. Sevoflurane paling baik mempertahankan autoregulasi cerebral blood
flow (CBF) dan menghasilkan vasodilatasi terbatas, karena itu mungkin agen volatil
yang lebih disukai pada pasien dengan TIK yang meningkat.
Karena efeknya yang berpotensi merusak CBV dan ICP, vasodilator (misalnya,
nicardipine, nitroprusside, nitroglycerin, dan hydralazine) dihindari sampai dura
dibuka. Hipotensi umumnya diobati dengan vasopresor dosis tambahan (misalnya
fenilefrin).
iii. Posisi
Kraniotomi frontal, temporal, dan parietooksipital dilakukan dalam posisi
terlentang. Kepala diangkat 15-30° untuk memfasilitasi drainase CSF. Kelenturan
atau rotasi leher yang berlebihan menghambat drainase vena jugularis dan dapat
meningkatkan TIK. Sebelum dan sesudah pemosisian, selang trakea harus diamankan,
dan semua sambungan sirkuit pernapasan diperiksa. Risiko pemutusan sambungan
yang tidak diketahui dapat meningkat karena jalan napas pasien tidak akan mudah
dinilai setelah surgical draping. Selain itu, meja operasi biasanya diputar 90° atau
180° dari ahli anestesi.
iv. Pemeliharaan
Anestesi dapat dipertahankan dengan anestesi inhalasi, teknik anestesi intravena
total (TIVA), atau kombinasi opioid dan hipnotik intravena (paling sering propofol)
dan agen inhalasi dosis rendah. Meskipun periode stimulasi hanya sedikit, blokade
neuromuskuler direkomendasikan—kecuali pemantauan neurofisiologis bertentangan
dengan penggunaannya untuk mencegah mengedan atau memberontak.
Peningkatan kebutuhan anestesi perlu dilakukan dalam beberapa periode yang
dapat merangsang pasien seperti intubasi dengan laringoskopi, sayatan kulit,
pembukaan dural, manipulasi periosteal, termasuk penempatan dan penutupan pin
Mayfield. TIVA dengan remifentanil dan propofol mengakibatkan emergence yang
cepat dan penilaian neurologis langsung. Demikian juga, α2-agonist
dexmedetomidine dapat digunakan selama kraniotomi tidur dan sadar untuk efek
serupa.
Hiperventilasi harus dilanjutkan selama operasi untuk mempertahankan PaCO2
pada sekitar 30-35 mmHg. Tekanan PaCO2 yang lebih rendah memberikan sedikit
manfaat tambahan dan mungkin terkait dengan iskemia serebral dan gangguan
disosiasi oksigen dari hemoglobin. Tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) dan pola
ventilasi yang mengakibatkan mean airways pressure (Paw) yang tinggi harus
dihindari karena berpotensi menimbulkan efek merugikan pada TIK dengan
meningkatkan tekanan vena sentral dan potensi cedera paru. Pasien hipoksia mungkin
memerlukan PEEP dan peningkatan Paw.
Penggantian cairan intravena harus dibatasi pada kristaloid isotonik bebas
glukosa atau larutan koloid. Hiperglikemia sering terjadi pada pasien bedah saraf (efek
kortikosteroid) dan terlibat dalam peningkatan cedera otak iskemik. Larutan koloid
dapat digunakan untuk mengembalikan defisit volume intravaskuler, sedangkan
larutan kristaloid isotonik digunakan untuk kebutuhan cairan pemeliharaan. Prosedur
bedah saraf sering kali dikaitkan dengan “occult” blood loss (di bawah draping atau
di lantai).
2.5. Transfusi darah pada kraniotomi pada pasien dengan tumor cerebri
Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau komponen darah yang bisa berasal
dari berbagai sumber ke dalam makhluk hidup. Transfusi darah umumnya berhubungan
dengan kehilangan darah dalam jumlah besar yang disebabkan oleh trauma, operasi, syok
dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah.8
Darah tersusun dari berbagai komponen yang dapat ditransfusikan secara terpisah sesuai
dengan kebutuhan. Berikut adalah beberapa jenis dari komponen darah yang dapat
ditransfusikan:
Whole blood
Whole blood mengandung komponen eritrosit, leukosit, trombosit, dan plasma. Satu unit
whole blood terdiri dari 250 mL darah dan 37 mL antikoagulan dengan kadar hematokrit
40%, dapat meningkatkan kadar hemoglobin sebanyak 1g/dL dan hematokrit sebanyak 3-
4%. Pada orang dewasa, diberikan bila kehilangan darah lebih dari 15-20% volume darah,
sedangkan pada bayi lebih dari 10% volume darah. Kontra indikasi whole blood yaitu pada
pasien anemia kronis normovolemik atau pada pasien yang hanya membutuhkan sel darah
merah saja.
Packed red cell
Packed red blood cell (PRC) mengandung kadar hemoglobin yang sama dengan whole
blood, dengan volume 250-300 mL dan kadar hematokrit 70%. Umumnya, unit PRC
difiltrasi untuk mengurangi kadar leukosit sehingga dapat mencegah terjadinya febrile
nonhemolytic transfusion reactions (FNHTRs). Dalam periode perioperatif dan paska
bedah, transfusi RBC diperlukan untuk menggantikan darah yang hilang selama
pembedahan berlangsung, mempertahankan kadar Hb, dan meningkatkan kapasitas angkut
oksigen ke jaringan. Untuk menentukan jumlah darah yang dibutuhkan agar Hb darah pasien
meningkat dapat digunakan rumus :
Kadar Hb yang dimiliki PRC adalah 24%. Selama ditransfusikan, PRC dihangatkan pada
suhu 37°C untuk mencegah hipotermia. Pemberian PRC dapat difasilitasi dengan larutan
kristaloid 50-100 mL normal saline.
Konsentrat Trombosit
Konsentrat trombosit dapat didapatkan dari konsentrasi penuh 4 kantong darah lengkap
maupun dari teknik apheresis trombosit dari satu pendonor saja. Satu unit trombosit yang
diperoleh mengandung 50 –70 mL plasma, disimpan dalam suhu 20-24°C selama 5 hari.
Transfusi trombosit diberikan pada pasien dengan trombositopenia atau trombosit
disfungsional bila terjadi perdarahan. Profilaksis transfuse trombosit juga ditunjukkan pada
pasien dengan jumlah trombosit di bawah 10.000 - 20.000 × 109/ L karena peningkatan
risiko perdarahan spontan. Jumlah trombosit kurang dari 50.000 × 10 9/ L dikaitkan dengan
peningkatan kehilangan darah selama operasi. Pemberian satu unit trombosit diharapkan
meningkatkan jumlah trombosit sebesar 5000 -10.000 × 109/ L, dan dengan pemberian unit
aperesis platelet, sebesar 30.000 - 60.000 × 109/ L. Trombosit transfusi biasanya bertahan
hanya 1-7 hari setelah transfuse.
Granulosit
Transfusi granulosit dapat ditunjukkan pada pasien neutropenik dengan infeksi bakteri
yang tidak merespons antibiotik. Transfusi granulosit memiliki masa hidup yang pendek
pada sirkulasi resipien. Ketersediaan faktor penggabungan koloni granulocyte (G-CSF) dan
faktor timulasi koloni granulosit-makrofag (GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan
transfusi granulosit.
Transfusi Plasma Segar Beku (Fresh Frozen Plasma)
Fresh frozen plasma (FFP) merupakan plasma yang langsung dibekukan pada suhu
kurang atau sama dengan -25°C untuk memelihara faktor pembekuan yang dikandungnya
setelah diperoleh dari donor dan dapat disimpan hingga 5 hari. FFP merupakan produk
plasma yang paling sering digunakan, mengandung protein plasma dan seluruh faktor
pembekuan.9-11
Beberapa indikasi khusus diperlukannya transfuse darah :
1. Transfusi Darah Gawat Darurat
Dalam situasi gawat darurat yang tidak memungkinkan untuk melakukan tes pada
sampel darah transfusi, PRC golongan O resus negatif dapat diberikan pada pasien,
dengan ketentuan tidak ada riwayat transfusi sebelumnya. Alasannya adalah pada
golongan darah O resus negative memiliki volume plasma yang lebih sedikit dan
hampir tidak mengandung antibodi anti-A dan anti-B. Dalam kondisi tersebut, seorang
dokter harus membuat lembar pertanggungjawaban mengenai indikasi pemberian
transfusi darah tanpa dilakukan pemeriksaan sampel darah sebagai tindakan live
saving.
2. Transfusi Darah Masif
Transfusi masif didefinisikan sebagai prosedur pemberian transfusi yang melebihi
volume darah pasien atau sebanyak 10 unit darah dalam 24 jam. Atau transfusi yang
melebihi 50% volume sirkulasi dalam waktu kurang dari 3 jam atau transfusi dengan
laju 150 mL/menit. Tindakan ini dilakukan bila terjadi perdarahan akut pada pasien
bedah akibat defisiensi faktor pembekuan multiple dan trombositopenia. Pada pasien
dengan kondisi tersebut dapat diberikan factor pembekuan V dan VIII untuk
memperbaiki kondisi klinis.12
Pasien bernama Tn.D datang ke RSUD Sudarso dengan keluhan nyeri kepala terus
menerus. Pasien juga mengeluhkan kelemahan pada anggota gerak sebelah kanan.
Terdapat benjolan di kepala bagian tengah sebelah kiri. Pasien direncanakan untuk
kraniotomi+removal tumor pada tanggal 10 Desember 2020. Pasien sudah pernah
dikraniotomi di bulan Juli 2020, kemudian direncanakan operasi kedua pada bulan
September 2020, namun diundur karena hipertensi pada saat itu. Riwayat penyakit
dahulu pasien adalah hipertensi, sementara riwayat penyakit keluarga dan alergi
disangkal. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan tanda-tanda vital yaitu tekanan darah
160/70, laju nafas 20x/menit, nadi 70x/menit, suhu 36.5oC. Ditemukan benjolan pada
parietal sinistra. Sementara untuk pemeriksaan lain dalam batas normal. Pemeriksaan
penunjang pada pasien ini ditemukan pada CT scan kepala dengan kesan tampak SOL di
parietal kiri dengan herniasi lobus parietal kiri dd/residu tumor, residif tumor, abses
cerebri. Kemudian pada pemeriksaan PA di bulan Juli 2020, tampak gambaran
histopatologi kesan suatu proses radang kronik non spesifik dengan sel-sel atypia.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien masuk
dalam kategori ASA III yang berarti pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik
berat yang diakibatkan karena berbagai penyebab dengan diagnosis tumor parietal
sinistra susp glioma.
Sebelumnya, pasien dipuasakan 6 jam pre operasi dengan tujuan untuk mencegah
aspirasi isi lambung karena regurgitasi dan muntah. Ketika sudah sampai pada waktu
operasi, dilakukan edukasi dan penjelasan kembali kepada pasien dan keluarga mengenai
lembar persetujuan tindakan anestesi yang akan dilakukan. Ketika sampai di ruang OK
8, pasien dibaringkan dan dipasang NIBP dan pulse oxymetri dengan hasil TD : 150/90
dan nadi 89x/menit. Pasien diberikan pre medikasi berupa Fentanyl 100 mcg untuk
analgesic, Midazolam 3 mg sebagai sedasi dan penenang pasien, dan Dexamethasone 5
mg untuk mengurangi edema pada otak.5,6
Tindakan anestesi yang digunakan adalah anestesi umum dengan teknik intubasi ETT.
Pasien diinduksi dengan Propofol 100 mg dan Sevoflurane, serta Atracurium besylate 30
mg. Kedua agen ini digunakan untuk menghindari terjadinya intracranial hipertensi dan
edema cerebri dengan cara memberikan analgetic, sedasi, dan relaksasi yang adekuat.
Propofol digunakan untuk mengurangi TIK dan efek dari intubasi itu sendiri. Sevoflurane
paling baik mempertahankan autoregulasi CBF (Cerebral Blood Flow) dan
mengakibatkan vasodilatasi terbatas sehingga agen ini lebih disukai dengan pasien yang
TIK-nya meningkat. Atracurium besylate sebagai neuromuscular blocker (NMB)
diberikan untuk memfasilitasi ventilasi dan mencegah mengejan atau batuk pada pasien.
Atracurium besylate dipilih karena merupakan agen NMB kerja menengah dengan onset
20-35 menit.6
Setelah itu, pasien dipasang CVC (Central Venous Catheter) untuk kebutuhan
transfusi darah. Setelah CVC dipasang, operasi pun dimulai. Manitol sebanyak 200cc
digunakan sebelum dura dibuka, tujuannya untuk mengurangi pembengkakan pada otak,
menurunkan TIK, serta memfasilitasi pendekatan operasi dalam menurunkan resiko lesi
kortikal.6
Operasi berlangsung selama 5,5 jam. Selama operasi, pemeliharaan anestesi
menggunakan propofol kontinyu sebesar 24 mg/jam, atracurium besylate 10mg per 30
menit, sevoflurane, N2O, dan O2. Propofol kontinyu dan sevoflurane digunakan untuk
tetap menjaga anestesi dalam pasien, sementara atracurium besylate diberikan per 30
menit dikarenakan onset kerja 20-25 menit untuk melumpuhkan otot.
Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 500 cc. Total cairan yang diberikan pada
pasien sejumlah 1120-2240 cc Ringer Laktat. Transfuse darah yang diberikan kepada
pasien sebanyak 3 kolf. Pada pukul 16.40, pembedahan selesai dilakukan dengan
pemantauan akhir TD 110/70 mmHg, Nadi 88x/menit , dan SpO2 99%. Pembedahan
dilakukan selama 330 menit. Pasien kemudian dibawa ke ruang ICU. Adapun instruksi
post op ICU adalah pasien dipasang ventilator mekanik dengan mode SIMV VT 400, RR
14, FiO2 60 i:e ratio 1-1.5, PEEP 2, pasien dipasang syringe pump morphine 1 mg/jam
dan midazolam 1 mg/jam, dan cek Hb post op dan AGD 6 jam post op.
DAFTAR PUSTAKA