No Absen : 02 ( Dua )
Kelas : XI MIPA 6
Selepas meninggalnya Nabi Muhammad Saw, para sahabatlah yang kini bertugas untuk
meneruskan kehidupan Islam. Mereka adalah Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khatab,
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib secara berturut-turut untuk bertindak sebagai
Khulafaur Rasyidin, yaitu pemimpin yang diberi petunjuk oleh Allah Swt dalam mengatur
pemerintahan Islam sebagaimana masa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.
A. Masa Khulafaur Rasyidin
1. Masa Kepemimpinan Abu Bakar As-Siddiq
Abu Bakar As-Siddiq diangkat menjadi khalifah pada hari pertama setelah wafatnya
Rasulullah Saw yaitu pada tanggal 13 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah (632 M) di Masjid
Nabawi. Hal ini berdasarkan ijtihad para sahabat yang mengusulkan agar disegerakannya
pengangkatan seroang pemimpin untuk bertindak sebagai pelaksana risalah Islam serta
mengatur tata pemerintahan sesuai tuntunan Rasulullah Saw.
Pada masa ini, terjadi pembebasan-pembebasan wilayah demi terlaksananya risalah-
risalah Islam. Hal ini dimaksudkan untuk memerangi fitnah terhadap Islam yaitu bentuk
kemusyrikan dan segala gangguan yang menghalangi berjalannya pemerintahan Islam, hal
ini ditegaskan oleh Allah Swt dalam Q.S Al-Anfal : 39. Pada tahun 11 Hijriah, Khalifah
Abu Bakar ra meneruskan pengiriman tentara Usamah bin Zaid sebagaimana yang telah
disiapkan sebelum Rasulullah Saw wafat. Pasukan ini bertempur melawan pasukan
romawi dan akhinya berhasil mendapatkan kemenangan.
Pada awal pemerintahannya, ia diuji dengan adanya ancaman yang datang dari umat
Islam sendiri yang menentang kepemimpinannya. Di antara pertentangan tesebut ialah
munculnya kaum murtad (kaum Riddah), orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat
dan orang-orang yang mengaku menjadi nabi seperti Musailamah Al-Kadzab dari Bani
Hanifah di Yamamah. Bentuk tindakan yang dilakukan oleh Abu Bakar Siddiq yaitu:
Pada tahun 11 Hijirah, mengutus Khalid bin Walid untuk memerangi kaum yang
murtad dan tidak mau membayar zakat.
Pada akhir tahun 11 Hijriah, mengutus Khalid bin Walid ke Yamamah untuk
memerangi Musailamah Al-Kadzab.
Pada tahun 12 Hijriah, mengutus Ikrimah bin Abi Jahal ke Amman untuk
menumpas kemurtadan.
Pada masa ini juga, Abu Bakar As-Siddiq memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk
menghimpun Al-Qur’an dari pelepah kurma, kulit binatang, batu, dan dari hafalan kaum
muslimin. Zaid bin Tsabit melakukannya dengan sangat hati-hati dan penuh ketelitian , ia
hanya melakukan penghimpunan apabila memenuhi kriteria yaitu sesuai dengan hafalan
para sahabat dan ketika ditulis disaksikan langsung dihadapan Rasulullah Saw. Hal ini
dilakukan sebagai usaha untuk menjaga kelestarian Al-Qur’an setelah syahidnya beberapa
orang pengahafal Al-Qur’an pada perang Yamamah. Umar bin Khatab lah yang pertama
kali mengusulkan penghimpunan ini. Sejak saat itulah Al-Qur’an dikumpulkan menjadi
satu mushaf yang pada akhirnya di simpan oleh Hafsah binti Umar sesuai wasiat Umar bin
Khatab.
Umar ibn Al-Khaththab sebelumnya telah membentuk sebuah dewan formatur yang
bertugas memilih khalifah penggantinya dari 3 calon yang sudah ditentukan olehnya.
Dewan formatur itu berjumlah 6 orang, yaitu Ali, Utsman, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abd
Ar-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Selain itu ada
Abdullah bin Umar yang dijadikan sebagai anggota, tetapi tidak memiliki hak suara.
Mekanisme pemilihan Khalifah yang telah ditentukan oleh Umar ibn Al-Khaththab
berbeda dengan sebelumnya, yaitu mereka yang berhak menjadi khalifah adalah yang
mendapat suara terbanyak dari anggota formatur. Kemudian apabila ada calon yang
mendapatkan suara sama, maka Abdullah bin Umar yang berhak menentukan khalifah
selanjutnya. Apabila keputusan Abdullah bin Umar tidak diterima, maka calon yang
dipilih oleh Abd Ar-Rahman bin Auf yang berhak menjadi khalifah. Jika masih ada yang
menentang keputusan tersebut, maka hendaklah penentang tersebut dibunuh.
Setelah Khalifah Umar wafat, Abd Ar-Rahman bin Auf meminta pendapat kepada
anggota formatur secara terpisah untuk membicarakan calon yang akan diangkat sebagai
khalifah. Hasilnya terdapat dua kandidat khalifah, yaitu Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Kemudian ketika dilakukan sidang penentuan khalifah, terdapat dua calon yang
sama kuat, dan secara mengejutkan ternyata Utsman memilih Ali sebagai calon khalifah,
begitu pula Ali yang memilih Utsman sebagai calon khalifah pilihannya. Di samping itu,
Zubair dan Sa’ad bin Abi Waqqash yang memiliki hak suara memilih Utsman bin Affan
sebagai khalifah. Sementara Thalhah dan Zubair tidak dapat memilih calon khalifah
karena sedang tidak berada di Madinah.
Perluasan pemerintahan Islam ketika masa Khalifah Utsman telah mencapai Asia
dan Afrika, seperti wilayah Herat, Kabul, Ghazni, dan Asia Tengah. Selain itu juga daerah
Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan beberapa wilayah sisa kekuasaan bangsa Persia,
telah berada di bawah kekuasaan umat Islam. Khalifah Utsman pun berhasil membangun
sebuah bendungan besar untuk mencegah banjir dan mengatur pembagian air ke seluruh
bagian kota. Pemerintahannya pun dapat membangun infrastruktur, seperti jalan,
jembatan, masjid, dan lain sebagainya dengan sangat baik.
Khalifah Utsman adalah khalifah pertama yang melakukan perluasan terhadap
masjid Nabawi di Madinah dan Masjid al-Haram di Makah. Dan beliau juga yang pertama
kali menentukan adzan awal menjelang shalat jumat. Selain melakukan perluasan Masjid,
khalifah Utsman juga melakukan kodifikasi al-Quran. Kodifikasi al-Quran ini merupakan
lanjutan kerja yang telah dirintis oleh khalifah Abu Bakar, dengan inisiatif Umar ibn
Khatab. Pengkodifikasi al-Quran pada masa khalifah Utsman dilakukan karena terjadi
perbedaan pendapat tentang bacaan al-Quran (qiraat al-Quran), yang menimbulkan
percekcokan antara guru dan muridnya.
Sitem pemerintahan pada masa Utsman bin Affan dilakukan dengan memberikan
otonomi penuh kepada daerah. Hal ini berbeda dengan pada masa khalifah Abu Bakar dan
Urmar, wilayah hanya dibedakan menjadi dua, yakni wilayah yang pemimpinya memiliki
otonomi penuh, dan pemimpinnya disebut amir, dan wilayah yang tidak memiliki otonomi
penuh dan pemimpinnya disebut wali.
Usman menjabat sebagai Khalifah selama dua periode, pada periode pertama ia
populer, periode kedua ia menyedihkan. Disini keadaan politik berbalik mundur. Timbul
gejolak politik, huru-hara silih berganti, petisi dan intrik merajalela yang kemudian
membuahkan pembunuhan dirinya pada hari Jum’at, tanggal 8 Dzulhijjah tahun 35 H.
Pada saat itu Khalifah Usman sedang membaca Al-Qur’an, sehingga bajunya berlumuran
darah.
Kerusuhan yang berlanjut dengan pembunuhan Usman, nampaknya berawal dari
sistem kepemimpinan Khalifah Usman sendiri yang dinilai tidak adil dan tidak bijaksana.
Diketahui bahwa selama Usman berkuasa, ia banyak mengangkat kerabatnya, seperti
Marwan bin Hamka yang selanjutnya mengangkat pula orang-orang Bani Umaiyyah
lainnya sebagai pejabat tinggi dan penguasa negara. Marwan telah tampil sebagai
penyelenggara pemerintahan yang sebenarnya, sedangkan Usman tak lebih dari boneka
ditangan. Marwanlah yang bertanggung jawab atau menutupi tindakan-tindakan tak terpuji
para pejabatnya. Terutama Hisyam paman Usman atau ayahanda Marwan. Kejujuran
kedua orang ini diragukan. Hisyam misalnya, pernah membocorkan rahasia negara pada
zaman Rasulullah. Oleh karena itu ia diasingkan dan dipecat oleh Rasulullah. Tetapi pada
zaman Usman, ia bukan saja dipanggil pulang untuk berkumpul, tetapi diberi hadiah
seratus ribu mata uang perak dan sebidang tanah milik negara. Sementara Marwan
diangkat sebagai sekretaris negara.
4. Masa Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Ali bin Abi Tholib diangkat menjadi khalifah setelah khlifah Utsman bin Affan
wafat tepatnya pada 23 Juni 656 M. Banyak hal yang dilakukannya dalam usaha
pengembangan Islam, baik perkembangan dalam bidang sosial, politik, militer, dan ilmu
pengetahuan. Namun di masa kepemimpinannya juga terjadi pergolakan-pergolakan oleh
kelompok-kelompok yang menentang kebijakan yang ia terapkan. Kemajuan di masa
kepemimpinan Ali bin Abi Tholib seperti:
1. Mengganti para gubernur lama yang diangkat oleh khalifah Usman bin Affan yang
sudah melakukan penyelewengan dalam menjalankan tugasnya dengan mengangkat
para gubernur baru.
2. Menarik kembali tanah milik negara yang pada masa Utsman bin Affan diberikan
kepada kerabat dan keluarganya.
3. Terjadi peningkatan dalam bidang militer.
4. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Ali memerintahkan Abu Al-Aswadal-
Dualimengarang pokok-pokok ilmu Nahwu Qawaid Nabahab yang dijadikan sebagai
pedoman dasar dalam mempelajari bahasa al-Qur’an.
5. Dalam bidang pembangunan, Ali bin Abi Tholib menata pembangunan kota dengan
baik seperti pembangunan kota Kuffah.
Sedang pergolakan-pergolakan yang muncul di masa kepemimpinan khalifah Ali bin
Abi Tholib seperti:
1. Perang Jamal (36 H/656M), perang ini merupakan perang antara Ali bin Abi Tholib
dengan Aisyah yang disebabkan karena adanya perbedaan pendapat dalam
penyelesaian kasus pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan. Perang ini
dimenangkan oleh pihak Ali bin Abi Tholib.
2. Perang Shiffin (37 H/657M), antara Ali dengan kelompok Muawiyah. Perang ini
terjadi disebabkan komplain Muawwiyah atas ketidakberesan penyelesaian kasus
pembunuhan Utsman, dan di dukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa
kehilangan kedudukannya. Perang ini berakhir dengan persetujuan damai.
3. Perang Nahrawan, antara kelompok Ali dengan orang Khawarij di Nahrawan yang
awalnya merupakan pengikut Ali. Mereka melakukan pemberontakan setelah
terjadinya arbitrase. Pertempuran ini dimenangkan oleh kelompok Ali bin Abi Tholib.
Akhirnya, menjelang Shubuh pada tanggal 17 Ramadhan 40 Hijriyah ketika sedang
shalat di masjid Kufah, Ali bin Abi Tholib dipukul dengan pedang beracun oleh
Abdurrahman bin Muljam hingga beliau mengeram kesakitan. Orang-orang yang
mendengar teriakan khalifah Ali keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Mereka
kemudian membawa Ali ke rumahnya. Setelah malam harinya, Ali bin Abi Tholib
kemudian wafat dan dimakamkan di Kufah.
Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan
Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko(magrib)
dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama
Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol
menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat
dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira danToledo yang
dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat
yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan kePerancis melalui
pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia
mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours.
Namun, dalam peperangan yang terjadi diluar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan
tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-
pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman
Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat,
wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah
itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab,Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan,
Uzbekistan, danKirgistan di Asia Tengah.
C. Masa Bani Abbasiyah
1. Periode Pertama (750-847 M)
Periode pertama Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari masa kekuasaan Abu
Abbas menjadi Khalifah (132 H (750 M) sampai meninggalnya al-Watsiq yang
berlangsung selama satu abad. Pada periode ini, Dinasti Bani Abbasiyah mengalami
banyak kemajuan dan mencapai masa keemasan. Secara politis, para Khalifah betul-betul
merupakan tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus.
Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil
menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan perkembangan ilmu pengetahuan
dalam Islam.
Namun saat orang-orang Turki yang diberi kesempatan dalam pemerintahan dan
ketentaraan mulai mencoba mendominasi dan mempengaruhi kebijakan Khalifah. Untuk
menghindari hal itu, Khalifah al-Watsiq memindahkan pusat pemerintahan dari Baghdad
ke Samarra.
Dari gambaran di atas Dinasti Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.
Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula
ciri-ciri yang menonjol Dinasti Bani Abbasyiah yang tidak terdapat pada Dinasti Bani
Ummayah, yaitu :
Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Dinasti Bani Abbas
menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan Dinasti Bani Umayyah sangat
berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan
Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat dan pada periode kedua dan keempat
bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan Dinasti ini.
Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Daulat Bani Abbas ada jabatan wazir,
yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah.
Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas.
Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional. Sebagaimana diuraikan di atas,
puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan
Dinasti Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas
penguasa Dinasti Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal
kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga
pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua
tingkat :
Maktab / Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak
mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-
dasar ilmu agama, seperti : Tafsir, Fiqih, Hadits dan Bahasa.
Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar
daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-
masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya
berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak
penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan
memanggil ahli ulama ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Dinasti Bani
Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih
merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga
dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu
mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat
ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah
berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal yaitu :
Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih
dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa
pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi
berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah
disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak
berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam
bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk
melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
Berpartisipasinya unsur-unsur non-Arab (terutama bangsa Persia) dalam pembinaan
peradaban Islam yang mendatangkan kemajuan dalam banyak bidang.
Kebijaksanaan Dinasti Bani Abbasiyah yang lebih berorientasi kepada pembangunan
peradaban dari pada perluasan wilayah kekuasaan.
Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa
khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan
adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai
masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan
adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H,
terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan
semakin meluas.
2. Periode Kedua (847-945 M)
Periode ini diawali ketika al-Mutawakkil menjadi Khalifah Abbasiyah sampai al-
Mukhtaqi. Ia dan para Khalifah penggantinya sangat lemah sehingga orang-orang Turki
yang sebelumnya berada dalam unsur militer pada masa Khalifah al-Mu’tasim dapat
mengambil alih kekuasaan. Masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki. Orang-
orang Turki memegang jabatan penting dalam pemerintahan, mereka mengangkat sesuai
dengan kehendak mereka. Walaupun kemajuan intelektual dan kebudayaan terus berjalan,
secara politik kekuasaan Abbasiyah bertambah buruk.
Faktor-faktor penyebab kemunduran Daulat Bani Abbasiyah pada periode ini adalah
Para khalifah tidak memiliki kekuatan dan kewibawaan.
Luasnya daerah kekuasaan yang harus dikendalikan, sementara komukasinya lambat.
Ketergantungan terhadap militer sangat tinggi.
Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar.
Mulculnya beberapa pemberontakan.
3. Periode Ketiga (945-1055 M)
Pada periode ini Dinasti Bani Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Dinasti
Buwaihi. Keadaannya lebih buruk dibanding periode sebelumnya, terutama karena Dinasti
Buwaihi menganut aliran Syiah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan
diberi gaji. Pada periode ini pusat pemerintahan Islam tidak lagi di Baghdad, tetapi telah
dipindahkan ke Syiraz, tempat Ali bin Buwaihi berkuasa. Meskipun begitu, ilmu
pengetahuan terus mengalami kemajuan pesat, dengan munculnya para pemikir besar.
Selain itu bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan.