Anda di halaman 1dari 6

SEMINAR NASIONAL

TEKNOLOGI TERAPAN INOVASI DAN REKAYASA (SNT2IR) 2019


PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI UNIVERSITAS HALU OLEO

PENGARUH POLA KONSUMSI IKAN TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI


WILAYAH KERJA PUSKESMAS WANGI-WANGI
I Putu Sudayasa1*, Dian Anggraini Hamid2, Yeni Haryani3
1,2,3
Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universtas Halu Oleo
Jl. HEA Mokodompit, Anduonohu, Kendari–Sulawesi Tenggara
Email: * dr.putusudayasa@uho.ac.id

ABSTRAK
Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara
lainnya. Masih rendahnya konsumsi ikan, perlu menjadi kajian, mengingat potensi sumber daya perikanan
di Indonesia sangat besar dan merupakan alternatif untuk penanggulangan masalah gizi balita Tujuan
penelitian untuk mengertahui pengaruh jumlah dan frekuensi konsumsi ikan terhadap status gizi balita di
wilayah kerja Puskesmas Wangi-Wangi. Desain penelitian berupa studi case-control. Jumlah sampel
ditetapkan 136 responden ibu balita berusia 36-59 bulan, dibagi menjadi 68 responden balita sebagai
kelompok kasus dengan status gizi kurang, dan 68 responden balita sebagai kelompok kontrol dengan
status gizi baik. Analisis statistik dengan uji Odd Ratio. Hasil penelitian menunjukkan, jumlah konsumsi
ikan yang kurang berpengaruh terhadap status gizi kurang (OR=2,789, CI:1,322-5,886), dan frekuensi
konsumsi ikan yang kurang juga berpengaruh terhadap status gizi kurang (OR=2,545, CI:1,147-5,651).
pada balita. Simpulannya, ada pengaruh jumlah dan frekuensi konsumsi ikan terhadap status gizi balita
di wilayah kerja Puskesmas Wangi-Wangi Kecamatan Wangi-Wangi..

Kata kunci: balita: jumlah, frekuensi, konsumsi ikan, status gizi

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Status gizi kurang pada balita merupakan masalah gizi yang dihadapi bangsa Indonesia yang dapat
berdampak besar pada rendahnya kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi merupakan salah satu
penyebab peningkatan angka kematian bayi dan anak balita, serta penurunan daya kerja dan perkembangan
mental anak (Almatsier, 2009).
Masalah kekurangan gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, sesuai data hasil riset
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007, 2010, 2013. Kecenderungan prevalensi kurus (wasting) anak balita
pada tahun 2007 dari 13,6% menjadi 13,3% pada tahun 2010 dan pada tahun 2013 menurun menjadi 12,1%.
Sedangkan kecenderungan prevalensi anak balita pendek (stunting) pada tahun 2007 sebesar 36,8%, tahun
2010 menurun sebesar 35,6%, dan pada tahun 2013 meningkat kembali sebesar 37,2%. Prevalensi gizi
kurang (underweight) pada tahun 2007 sebesar 18,4%, menurun menjadi 17,9% pada tahun 2010 dan
meningkat kembali pada tahun 2013 sebesar 19,6% (Kemenkes, 2014).
Menurut data Dinas Kesehatan provinsi Sulawesi Tenggara (Dinkes Sultra) menunjukkan bahwa jumlah
kasus gizi kurang anak balita mengalami peningkatan. Riskesdas di Sultra tahun 2013 menunjukkan bahwa
nilai tertinggi gizi baik balita di Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 72,2% dan gizi kurang sebesar 15,9%
(Dinkes Sultra, 2014). Gizi kurang banyak dialami oleh kelompok rentan yaitu bayi, balita, anak sekolah,
remaja, ibu hamil, dan ibu menyusui. Pada umumnya kelompok rentan gizi ialah kelompok masyarakat
yang paling mudah menderita kelainan gizi, bila suatu masyarakat terkena kekurangan bahan makanan. Hal
ini berhubungan dengan proses pertumbuhan yang relatif pesat, yang memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah
relatif besar (Achmad, 2000). Hasil penelitian tentang asupan ikan, oleh Pellokila dan Picauly (2004) di
Ambon menunjukkan bahwa ada hubungan antara asupan pangan ikan dan non ikan terhadap status gizi
balita.
Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-
negara seperti Jepang, USA, Korea dan Philipina. Konsumsi ikan di Indonesia Tahun 2003 mencapai 24,67
kg/kapita/tahun, sedang Jepang mencapai 110,00 kg/kapita/tahun (Departemen Kelautan dan Perikanan
2002). Konsumsi ikan menunjukkan salah satu contoh konsumsi pangan dianjurkan terpenuhi
kebutuhannya. Konsumsi ikan yang kurang akan menyebabkan ketidakseimbangan proses metabolisme
didalam tubuh. Pada bayi dan anak balita, kekurangan gizi dapat mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan fisik mental dan spiritual. Bahkan pada bayi dan anak balita gangguan
tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Masalah gizi pada anak yang umumnya
terjadi adalah kurang energi dan protein (Hamid, 2010). Masih rendahnya konsumsi ikan sangat

PROSIDING
474
ISBN: 978-602-51407-1-6
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN INOVASI DAN REKAYASA (SNT2IR) 2019
PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI UNIVERSITAS HALU OLEO

disayangkan, mengingat potensi sumber daya perikanan di Indonesia sangat besar dan merupakan alternatif
untuk penanggulangan masalah gizi balita. Penelitianini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pola
konsumsi ikan dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Wangi-Wangi, Wakatobi.

1.2. Tinjauan Pustaka


1.2.1. Pengertian Status Gizi
Gizi adalah suatu proses menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti,
absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi
(Supariasa dkk, 2003). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan
zat (Almatsier, 2009). Status gizi optimal adalah keseimbangan antara asupan zat gizi dan kebutuhan zat
gizi (Supariasa, 2003).

1.2.2. Penilaian Status Gizi


Penilaian status gizi (PSG) dapat diperoleh dari data yang telah diinterpretasi menggunakan berbagai
metode. Penilaian status gizi dapat memberikan gambaran umum mengenai metode yang digunakan dalam
menilai status gizi, memberikan penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan dari metode-metode yang
ada, dan memberikan gambaran singkat untuk menilai status gizi yang meliputi pengumpulan data,
perencanaan, dan implementasi.
Metode dalam PSG dibagi menjadi tiga, yaitu metode secara langsung, tidak langsung, dan penilaian
dengan melihat variabel ekologi. Metode secara langsung meliputi penilaian dengan melihat tanda klinis,
tes laboratorium, metode fisik, dan antropometri. Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan melihat
statistik kesehatan. Penilaian dengan melihat variabel ekologi diperlukan untuk mengetahui penyebab
kurang gizi seperti dengan melihat faktor sosial ekonomi, faktor yang berhubungan dengan makanan, aspek
kesehatan, faktor demografi, politik dan kebijakan, budaya, geografi dan iklim (Departemen Gizi dan
Kesehatan Masyarakat, 2010).
Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh
memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang
memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum
pada tingkat setinggi mungkin (Almatsir, 2009). Selain konsumsi makanan, tingkat pengetahuan ibu juga
mempengaruhi status gizi bayi, kebiasaan yang salah atau kurang tepat dalam pemberian makanan pada
bayi akan mempengaruhi status gizi bayi. Kesalahan pemberian makan pada bayi dapat diartikan sebagai
kekeliruan dalam menyajikan makanan, baik dari segi jenis jumlah dan waktu pemberian. Dalam keadaan
demikian diperlukan pengetahuan yang cukup agar anak dapat terjamin kebutuhan gizi akibat pengetahuan
tentang makanan bergizi bagi anak yang dimiliki ibunya (Burhanudin, 2006).

1.2.3. Konsumsi ikan


Menurut World Health Organization (WHO) jumlah minimal asupan ikan yang dianjurkan adalah
asupan ikan 30 kg perkapita per tahun atau minimal 80 gram perhari, sesuai dengan anjuran asupan ikan
yang di Indonesia yaitu 31,04 kg perkapita pertahun. Untuk pertumbuhan dan perkembangan serta
peningkatan sumber daya manusia diharapkan protein hewani menyumbang 25% dari total protein yang
dibutuhkan atau sama dengan 6,25 gram protein hewani/hari pada anak usia 1-3 tahun dan 9,75 gram protein
hewani/hari pada usia 4-5 tahun. Dari protein hewani tersebut, ikan diharapkan memberikan sumbangan
sebesar 60% yang setara dengan 3,75 gram protein ikan/hari pada usia 1-3 tahun dan 5,85 gram protein/hari
pada usia 4-5 tahun (Madanijah dkk, 2006).
Ikan sebagai bahan makanan telah diidentifikasikan sebagai pangan yang memiliki keunggulan tertentu.
Di samping menyediakan protein hewani yang relatif tinggi, ikan juga mengandung lemak (minyak ikan)
antara 0,2-24% yang juga kaya dengan sumber-sumber asam lemak esensial termasuk omega 3 (Danuri,
2004).
Menurut Khomsan (2004) “Ikan adalah bahan pangan kaya protein, setiap 100 gram ikan mengandung
protein 17 -24 gr, mutu protein ikan setingkat mutu protein daging”. Ikan merupakan bahan makanan
hewani utama di Indonesia. Peningkatan konsumsi ikan terutama pada golongan rawan gizi akan
mengurangi masalah gizi sehingga derajat kesehatan yang optimal dapat tercapai.
Upaya penganekaragaman pangan dilakukan melalui penyediaan pangan yang beragam,
mengembangkan perilaku dan sikap keluarga agar tetap menyukai makanan setempat, meningkatkan daya
beli masyarakat dan meningkatkan pengetahuan masyarakat (Khomsan, 2004).
Komposisi gizi ikan sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu spesies, jenis kelamin,
tingkat kematangan (umur), musim, siklus bertelur dan letak geografis. Kandungan protein ikan sangat
dipengaruhi oleh kadar air dan lemaknya. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa ikan bersirip

PROSIDING
475
ISBN: 978-602-51407-1-6
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN INOVASI DAN REKAYASA (SNT2IR) 2019
PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI UNIVERSITAS HALU OLEO

mengandung protein 16 – 24 %, sedangkan pada ikan yang telah diolah kandungan proteinnya dapat
mencapai 35 % (Khomsan, 2004).

1.3. Metodologi Penelitian


Penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan rancangan case-control study. Penelitian ini
telah dilaksanakan pada bulan Juli 2015–Agustus 2015, di wilayah kerja Puskesmas Wangi-Wangi,
Kecamatan Wangi- Wangi, Kabupaten Wakatobi.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia 36-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Wangi-
Wangi, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi. Sampel pada penelitian ini terdiri dari 2 golongan,
yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol yang diatur sebagai berikut:
a. Kasus adalah balita usia 36-59 bulan dengan status gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Wangi-
Wangi.
b. Kontrol adalah balita usia 36-59 bulan dengan status gizi baik di wilayah kerja Puskesmas Wangi-
Wangi

Besar sampel penelitian ini dengan perbandingan 1:1, kasus dan kontrol secara keseluruhan adalah 136
sampel. Status gizi balita diukur dengan menggunakan standar Z-score, perbandingan berat badan terhadap
tinggi badan. Sedangkan pola kunsumsi ikan, ditanyakan tentang jumlah konsumsi ikan dengan kuesioner
food recall dan frekuensi konsumsi ikan dengan kuesione food frequency.Data dianalisis dengan uji statistik
Odd Ratio

2. PEMBAHASAN
Distribusi responden yang meliputi jenis kelamin dan usia dan analisis distribusi variabel yang meliputi
jumlah konsumsi ikan dan frekuensi konsumsi ikan untuk kasus dan kontrol pada balita dengan gizi kurang
maupun anak dengan gizi baik di Puskesmas Wangi-Wangi, Kecamatan Wangi-Wangi, dapat terlihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Penelitian.


Kasus Kontrol
No. Karakteristik Responden
n % n %
1 Jenis Kelamin Laki-Laki 33 48,5 30 44,1
Perempuan 35 51,5 38 59,9

2 Usia 36 – 47 bulan 24 35,3 24 35,3


48 – 59 bulan 44 64,7 44 64,7

3 Jumlah Konsumsi Ikan Kurang 30 44,1 15 22,1


Cukup 38 55,9 53 77,9

4 Frekuensi Konsumsi Ikan Kurang 24 35,3 12 17,6


Cukup 44 64,7 56 82,4
Jumlah 68 100 68 100
Sumber : Data Primer, 2015

Tabel 1 menunjukkan karakteristik dari responden dan distribusi variabel penelitian yang terdiri dari
jenis kelamin, usia, konsumsi ikan dan frekuensi konsumsi ikan. Jumlah responden penelitian yang menjadi
sampel penelitian adalah 136 orang yang terdiri dari 68 orang kasus atau anak gizi kurang dan 68 orang
kontrol atau anak gizi baik. Berdasarkan tabel 1, bahwa jumlah responden yang terdata menurut jenis
kelamin pada kelompok kasus adalah laki-laki sebanyak 33 anak (48,5%) dan perempuan sebanyak 35 anak
(51,5%). Sedangkan pada kelompok kontrol jumlah responden jenis kelamin laki-laki adalah 30 anak
(44,1%) dan perempuan sebanyak 38 anak (55,9%).
Responden dalam kelompok usia dalam penelitian ini menggunakan matching sehingga jumlah
kelompok usia kasus dan kontrol adalah sama yaitu kelompok usia 36-47 bulan sebanyak 24 anak (35,3%)
dan jumlah kelompok usia 48-59 bulan sebanyak 44 anak (64,7%). Jumlah responden menurut konsumsi
ikan pada kelompok kasus yang cukup adalah sebanyak 38 anak (55,9%) dan yang kurang sebanyak 30
anak (44,1%). Sedangkan konsumsi ikan pada kelompok kontrol yang cukup sebanyak 53 anak (77,9%)
dan yang kurang sebanyak 15 anak (22,1%).
Hasil analisis data menunjukkan bahwa jumlah responden menurut frekuensi konsumsi ikan pada
kelompok kasus yang kurang sebanyak 24 anak (35,3%) dan yang cukup sebanyak 44 anak (64,7%).

PROSIDING
476
ISBN: 978-602-51407-1-6
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN INOVASI DAN REKAYASA (SNT2IR) 2019
PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI UNIVERSITAS HALU OLEO

Sedangkan pada kelompok kontrol frekuensi konsumsi ikan yang kurang sebanyak 12 anak (17,6%) dan
cukup sebanyak 56 anak (82,9%).

2.1. Pengaruh Jumlah Konsumsi Ikan terhadap Status Gizi Balita


Analisis data antara variabel konsumsi ikan dengan status gizi balita dilakukan dengan uji Odd Ratio
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Konsumsi Ikan terhadap Status Gizi Balita
Jumlah Status Gizi
Jumlah 95%CI
Konsumsi Kasus Kontrol OR
Ikan n % n % n % Lower Upper
Kurang 30 22,1 15 11,0 45 33,1
2,789 1,322 5,886
Cukup 38 27,9 53 39,0 91 66,9
Jumlah 68 50 68 50 136 100
Sumber : Data Primer, 2015

Hasil uji analisis data menunjukkan bahwa kelompok kasus dengan konsumsi ikan yang kurang
sebanyak 30 anak (22,1%) dan yang cukup sebanyak 38 anak (27,9%). Sedangkan pada kelompok kontrol
dengan konsumsi ikan yang kurang sebanyak 15 anak (11,0%) dan yang cukup sebanyak 53 anak (39,0%).
Hasil uji statistik didapatkan nilai Odd Ratio=2,789 dengan tingkat kepercayaan 95% (1,322 - 5,886)
menunjukkan ada pengaruh yang bermakna anatara variabel konsumsi ikan terhadap status gizi balita. Nilai
OR 2,789 menunjukkan bahwa responden yang kurang konsumsi ikan lebih berisiko 2,789 kali
pengaruhnya mengalami status gizi kurang dibandingkan dengan responden yang jumlah konsumsi ikan
cukup.
Disamping menyediakan protein hewani yang relatif tinggi, ikan juga mengandung lemak (minyak ikan)
antara 0,2 – 24 % terutama asam lemak esensial termasuk omega-3 (yang masuk dalam kelompok omega-
3 adalah asam linolenat, Eicosa Pentaenoic Acid (EPA), dan Docosa Heksaenoic Acid (DHA). Ketiganya
ini disebut asam lemak esensial karena sangat penting bagi pertumbuhan normal tubuh dan karena asam
lemak esensial tidak dapat dibentuk di dalam tubuh maka harus dipenuhi dari diet. Asam lemak esensial
sangat diperlukan dalam pembentukan sel-sel otak untuk meningkatkan tingkat intelegensia (Zulaihah
dan Widajanti, 2006).
Menurut Almatsier, dkk (2011) apabila balita mengalami kekurangan protein dalam jangka waktu lama
akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan balita, karena protein diperlukan untuk
perkembangan dan pertumbuhan. Dalam masa pertumbuhan protein merupakan bahan pembentuk dasar
stuktrul sel. Konsumsi protein (ikan) sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan balita,
kekurangan konsumsi protein (ikan) pada masa balita dapat menyebabkan terganggunya atau terlambatnya
pertumbuhan anak (Asydhad, 2006).
Jumlah konsumsi ikan juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu, dimana ada hubungan yang kuat
antara pendidikan ibu dengan kebiasaan makan keluarga (p=0,000) dan berpengaruh pada konsumsi ikan
keluarga sebesar 51,84 gram per orang. (Hartati, 2006)
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian tentang asupan ikan oleh Pellokila dan Picauly (2004) di
Ambon menunjukkan ada hubungan antara asupan pangan ikan dan non ikan terhadap status gizi balita.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2003), menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara konsumsi pangan hewani dengan status gizi siswa sekolah
dasar.

2.2. Pengaruh Fekuensi Konsumsi Ikan terhadap Status Gizi Balita


Analisis data antara variabel frekuensi konsumsi ikan dengan status gizi balita dilakukan dengan uji
Odd Ratio disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Frekuensi Konsumsi Ikan terhadap Status Gizi Balita.


FrekuensiK Status Gizi
Jumlah 95%CI
onsumsi Kasus Kontrol OR
Ikan n % n % n % Lower Upper
Kurang 24 17,6 12 8,8 36 26,5
2,545 1,147 5,651
Cukup 44 32,4 56 41,2 100 73,5
Jumlah 68 50 68 50 136 100
Sumber : Data Primer, 2015

PROSIDING
477
ISBN: 978-602-51407-1-6
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN INOVASI DAN REKAYASA (SNT2IR) 2019
PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI UNIVERSITAS HALU OLEO

Hasil uji analisis data menunjukkan bahwa kelompok kasus dengan frekuensi konsumsi ikan yang
kurang sebanyak 24 anak (17,6%) dan yang cukup sebanyak 44 anak (32,47%). Sedangkan pada kelompok
kontrol dengan frekuensi konsumsi ikan yang kurang sebanyak 12 anak (8,8%) dan yang cukup sebanyak
56 anak (41,2%). Hasil uji statistik didapatkan nilai Odd Ratio sebesar 2,545 dengan tingkat kepercayaan
95% (1,147-5,651) menunjukkan ada pengaruh yang bermakna antara frekuensi konsumsi ikan terhadap
status gizi balita. Nilai OR 2,545 menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi ikan yang kurang pada
responden lebih berisiko 2,545 kali lebih berpengaruh terhadap status gizi kurang, dibandingkan dengan
responden yang frekuensi konsumsi ikan cukup.
Konsumsi ikan dan makanan laut lainnya 3 kali dalam seminggu dapat mempertahankan kesehatan
tubuhnya dan secara tidak langsung akan meningkatkan daya ingat dan kemampuan belajarnya
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2004
merekomendasikan konsumsi protein hewani memberi sumbangan 20% dari angka kecukupan protein. Dari
angka tersebut ikan diharapkan memberikan sumbangan yang paling besar yaitu 60%. Kebiasaan makan
ikan yang baik umumnya dapat membentuk status gizi yang baik dan demikian pula sebaliknya, karena
ikan mempunyai nilai tambah yaitu EPA dan DHA yang bias mengatasi masalah gizi kurang (Zulaihah dan
Widajanti, 2006).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hartati (2006) di Palembang menyatakan bahwa
tingkat kecukupan protein (ikan) yang kurang sebagai faktor risiko terjadinya gizi kurus (kurang) pada anak
1-2 tahun. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan yang dilakukan Setyohadi, dkk (2005) di Malang
menyatakan bahwa tingkat konsumsi protein anak balita sebagian besar (71%) lebih besar dari AKG dengan
rata-rata konsumsi protein sebesar 140,75% dari AKG. Protein dibutuhkan oleh manusia sebagai penganti
sel-sel yang rusak, bahan tumbuh kembang terutama pada bayi dan balita. Bila tubuh kekurangan protein,
maka tubuh tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga akan mempengaruhi status gizi.
Keterbatasan penelitian ini antara lain : hanya melihat pengaruh jumlan dan frekuensi ikan terhadap
status gizi balita dan mengabaikan faktor-faktor lain yang mungkin berpengaruh seperti status ekonomi
keluarga, ketersediaan pangan dll. Penelitian ini menggunakan recall 2×24 jam yang menuntut ibu
responden untuk mengingat kembali semua makanan yang telah dikonsumsi selama 2 hari sehingga
kerjasama dan keseriusan serta kejujuran responden sangat menentukan hasil yang diperoleh.

3. KESIMPULAN
Ada pengaruh jumlah dan frekuensi konsumsi ikan terhadap status gizi balita di wilayah kerja
Puskesmas Wangi-Wangi, Meningkatkan promosi kesehatan melalui penyuluhan dan pelatihan perlu
dilakukan untuk ibu balita maupun kader posyandu untuk meningkatkan pengetahuan dalam hal penyediaan
makanan yang bersumber dari ikan.

PUSTAKA

Achmad, Djaeni sediaoetama. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Asydhad, L.A, dan Mardiah. 2006. Makanan Tepat Untuk Balita. Jakarta: PT. Kawan Pustaka.
Burhanudin. 2006. Perilaku Ibu dalam Pemberian Asi Ekslusif. Jakarta: Gramedia.
Danuri R. 2004. Sambutan Pengarahan Menteri Kelautan dan Perikanan: Peran Pengembangan Kelautan
dan Perikanan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan dan Gizi, dalam sumbangan pemikiran untuk
WNPG VII.
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. 2010. Gizi dan kesehatan masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers.
Departemen Kelautan dan Perikanan 2002. Direktorat Pemasaran Hasil Laut dan Ikan. Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2014. Data Status Gizi Balita di Provinsi SultraTahun 2014.
Kendari.
Hamid, Atiqah. 2010. Jenis-Jenis Ikan Untuk Kesehatan Dan Kecerdasan Anak. Jogjakarta: Buku Biru.
Hartati, Yuli. 2006. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Konsumsi Ikan dan Status Gizi Anak 1-2
Tahun di Kecamatan Gadus Kota Palembang Tahun 2005. (Tesis). Universitas Diponegoro,
Semarang
Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi. 2014. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Khomsan A. 2004. Manfaat Omega-3, Omega-6, dan Omega-9, dalam Peranan Pangan dan Gizi untuk
Kualitas Hidup. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.
Madanijah S, dkk. 2006. Sumbangan Konsumsi Ikan dan Makanan Jajanan terhadap Kecukupan Gizi Anak
Balita pada Keluarga Nelayan Buruh dan Nelayan Juragan. Jurnal Media Gizi dan Keluarga.

PROSIDING
478
ISBN: 978-602-51407-1-6
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN INOVASI DAN REKAYASA (SNT2IR) 2019
PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI UNIVERSITAS HALU OLEO

Pellokila M.R dan Picauly I. 2004. Pola Konsumsi Ikan pada Anak Balita di Desa Nelayan, Kecamatan
Nusaniwe Kota Ambon. Jurnal Media Gizi dan Keluarga, Desember Volume 28 No. 2:7-23, IPB,
Bogor.
Setyohadi, dkk. 2005. Pengaruh PMT Pemulihan dengan Formula WHO/Modifikasi terhadap Status Gizi
Anak Balita KEP di Kota Malang. Jurnal Media Gizi dan Keluarga Juli Volume 29 n0.1 : 1-8
Supariasa, dkk. 2003. Penilaian Status Gizi. Jakarta: FKUI
Zulaihah, S dan Widajanti, L. 2006. Hubungan kecukupan Asam Eikosapentanoat (EPA), Asam
Dokosaheksanoat (DHA) Ikan dan Status Gizi dengan Prestasi Belajar Siswa. Jurnal Gizi Indonesia
Volume 1 Nomor 2 Juni

PROSIDING
479
ISBN: 978-602-51407-1-6

Anda mungkin juga menyukai