PENDAHULUAN
BAB II
4
Suryatenggara, W. Peranan pyrazinamide dalam pengobatan tuberkulosis Yogyakarta 1984 : 43-55. paru
jangka pendek. Simposium Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis Paru Bandung, 57-63.
5
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2002; hal 37-57.
6
Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes, 2 nd ed, World Health Organization 1997; hal
45-8.
7
Burman WJ, Jones BE. Treatment of HIV-related Tuberculosis in The Era of Effectife Antiretroviral Therapy.
Am J Respir Crit Care Med 2001; 164: 7-12.
2
PEMBAHASAN
I. Epidemiologi
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 sampai 3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian
akibat TB terdapat di asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortality sebesar 39
orang per 100.000 penduduk. Angka mortalitas tinggi terdapat di afrika yaitu 83 per 100.000
penduduk, prevalens HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB
yang muncul.
8
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia,
Jakarta : Indah Offset Citra Grafika, 2006.
3
Asia merupakan daerah terbesar kedua untuk penderita HIV dimana diperkirakan ada 6 juta
penderita dan 2 juta penderita diantaranya disertai dengan infeksi TB. 9
Walaupun dampak yang ditimbulkan akibat HIV paling nyata di Afrika namun angka
morbiditas dan mortalitas akibat koinfeksi ini mungkin paling banyak di Asia Tenggara.
Situasi di Asia berpotensi untuk menyebabkan peningkatan koinfeksi ini karena beberapa
alasan yaitu karena prevalensi TB laten di Asia lebih tinggi dibandingkan Afrika (40-45% ><
30%), persentase jumlah populasi penduduk yang tinggal di lingkungan kumuh lebih besar di
Asia sehingga mempermudah penularan serta prevalensi TB dengan resistensi obat yang
lebih besar pada daerah Asia Tenggara akibat program pengobatan TB yang tidak efektif.
WHO memperkirakan akan adanya peningkatan yang dramatis infeksi HIV di Asia pada
dekade berikut.2
II. PATOGENESIS
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni
di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika
fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
9
Iceman MD. A Clinical Guide to Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000; 199-243.
4
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas seluler.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
5
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan
TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit
pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB
akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang
akan membatasi pertumbuhannya.
6
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
III. KLASIFIKASI
A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
10
PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta. 2002.
7
Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis 11
11
Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam Pemberantasan
Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.
8
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA
positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan / pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik
paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
9
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologic.9
IV. DIAGNOSA
A. Gejala klinik
10
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check
up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada
gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
11
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior
(S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
C. Pemeriksaan Bakteriologik
1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik
ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau
untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum
dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam
kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas
pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,
spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan
pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas
saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal
di dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik
kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
13
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces
dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks,
kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif
14
2) Agar base media : Middle brook.
D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :
15
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas.
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Pada pasien dengan infeksi HIV dini, gambaran radiologinya tidak terlalu jauh
berbeda dengan yang tanpa infeksi HIV. Pada gambaran kontras, gambaran radiologi atipikal
predominan di pasien dengan stadium infeksi HIV akhir. Biasanya sering terlihat gambaran
paru bawah, difus, atau gambaran infiltrat yang milier, pleura efusi, dan pembesaran
kelenjar limfe di hilus, sebagian mediastinum.
E. Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman
tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan
melakukan uji kepekaan.
16
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar
internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang
menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis TB.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik
untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2
antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan
diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan
berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis
warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol
dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang
berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan
bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang
17
memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir
dan dapat dideteksi dengan mudah.
F. Pemeriksaan Lain
3. Pemeriksaan darah
18
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap
darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi
dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
Reaction
Size Group
≥ 5 mm 1. HIV-positive persons.
12
American Thoracic Society/Centers for Disease Control and Prevention/Infectious Diseases Society of
America: Treatment of tuberculosis. MMWR 2003;52(RR11):1.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5211a1.htm
19
the elderly; hospitals and other health care facilities; residential facilities
for AIDS patients; and homeless shelters.
5. Persons with the following medical conditions that increase the risk of
tuberculosis: gastrectomy, ≥ 10% below ideal body weight, jejunoileal
bypass, diabetes mellitus, silicosis, chronic renal failure, some hematologic
disorders, (eg leukemias, lymphomas), and other specific malignancies (eg,
carcinoma of the head or neck and lung).
20
Gambar 4. Alur Diagnosis TB Paru
V. TATALAKSANA
13
Iceman MD. A Clinical Guide to Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000; 199-243.
14
Burman WJ, Jones BE. Treatment of HIV-related Tuberculosis in The Era of Effectife Antiretroviral Therapy.
Am J Respir Crit Care Med 2001; 164: 7-12.
21
Untuk menghindari terjadinya interaksi antara obat anti TB dan antiretrovirus maka
pemberian obat-obat tersebut harus diatur sedemikian rupa dengan memperhatikan kondisi
penderita. (gambar 5) Bila penderita dengan TB aktif baru diketahui menderita HIV maka
harus ditentukan apakah pemberian antiretrovirus harus diberikan segera atau tidak.
Penderita HIV stadium dini (jumlah Sel CD4 > 300/mm 3 ) mempunyai risiko yang rendah
untuk terjadinya perburukan HIV, maka untuk pengobatan TB dapat diberikan regimen OAT
yang mengandung Rifampin sementara obat antiretrovirusnya ditunda sampai pengobatan
infeksi TB selesai ( bila memungkinkan ). 15 Sementara diberikan obat-obat OAT dilakukan
pemeriksaan CD4 serial. Bahkan pada penderita dengan jumlah CD4 yang rendah sekalipun
pemberian antiretrovirus sedapat mungkin/sebaiknya ditunda sampai fase inisial
pengobatan TB selesai. Penundaan ini bertujuan untuk mempermudah penatalaksanaan
efek samping OAT yang mungkin timbul serta untuk mengurangi kemungkinan timbulnya
immune restorationsyndromes.
15
Murray J, Sonnenberg P, Shearer SC. Human Immunodeficieney virus and the outcome of treatment for new
and recurrent pulmonary tuberculosis in African patients. Am J Respir Crit Care Med 1999; 159: 733-40.
22
Immune restoration syndromes sering kali ditemukan dan kadang-kadang
manifestasinya cukup berat, karena itu pasien dan dokter harus senantiasa waspada akan
kemungkinan timbulnya manisfestasi tersebut. Pasien harus segera dievaluasi setelah
pemberian antiretrovirus untuk mengidentifikasi dan mengatasi gejala tersebut. Koordinasi
yang baik antara tenaga kesehatan yang bergerak dalam program pemberantasan TB dan
program perduli HIV/AIDS diperlukan selama pengobatan TB dengan HIV/AIDS.(Tabel 3)
Obat anti retrovirus Obat anti retrovirus harus Obat antiretrovirus harus
mulai diberikan diberikan/ dilanjutkan
dapat ditunda
Gambar 5. Rekomendasi strategi penanganan penderit dengan infeksi tuberculosis dan HIV/AIDS 13
Tabel 2. Gambaran klinis efek samping obat yang tumpang tindih akibat OAT lini
23
Kemungkinan penyebab
Zidovudine
Rifabutin, Rifampin
Leukopenia, anemia
HIV/AIDS dengan TB
Efek samping yang tumpang tindih antara Tunda pemberian obat antiretrovirus
OAT dan obat antiretrovirus hingga 1-2 bulan untuk mempermudah
24
mengidentifikasi dan mengatasi efek
samping OAT.
25
Pencegahan TB pada HIV/AIDS
American Thoracic Society (ATS) dan Center for Disease Control and Prevention CDC) tahun
1999 menggunakan nomenklatur baru untuk kemoprofilaksis TB yang selama ini digunakan
yaitu pengobatan infeksi laten TB (Latent Tuberculosis Infection/LTBI). Infeksi laten TB
adalah individu dengan tes tuberkulin positif, sedangkan secara klinis, bakteriologis dan
radiologis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi TB yang aktif. 16 Tes tuberkulin dianggap
positif pada penderita AIDS bila diameter indurasi 5 mm.17
Pengobatan LTBI yang dianjurkan oleh ATS dan CDC (1999) terdiri dari 2 pilihan yang
memberikan efektifitas yang sama yaitu INH 5 mg/kg BB (maksimal 300 mg) yang diberikan
selama 9 bulan dan kombinasi Rifampin 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg) perhari +
Pyrazinamide 15-20 mg/kgBB (maksimal 2 gr) perhari selama 2 bulan. 17,18 Pemilihan jenis
obat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keinginan penderita, risiko efek samping
obat, kepatuhan berobat, kemampuan pengawasan, ada tidaknya pengobatan dengan PIs
16
Diagnostic standars and classification of tuberculosis in adults and children. Am J Respir Crit Care Med 2000;
161: 1376-95.
17
Targeted Tuberculin Testing and Treatment of latent tuberculosis infection. Am J Respir Crit Care Med 2000;
161: S 221-S 47.
18
Rose DN. Short-Course Prophylaxis against tuberculosis in HIV infected persons. Ann Intern Med 1998; 129:
779-86.
26
atau NNRTI serta jenis PIs/NNRTI yang digunakan. Penderita yang akan mendapatkan/dalam
pengobatan dengan PIs atau NNRTIs dianjurkan untuk pemberian INH, sedangkan
pemberian Rifampin merupakan kontran indikasi.
Walaupun masih dalam perdebatan, penderita HIV dengan tes tuberkulin negatif
(anergi) bila didapatkan adanya faktor risiko untuk terkena TB misalnya riwayat kontak
dengan penderita TB aktif, tinggal didaerah dengan prevalensi TB yang tinggi, perlu
dipertimbangkan /dianjurkan untuk mendapatkan kemoprofilasis INH. 17
19
Fitzgerald DW, Desvarieux M, Severe P. et al. Effect of post-treatment isoniazid on prevention of recurrent
tuberculosis in HIV-1 infected individuals: a randomised trial. Lancet 2000; 356: 1470-74.
27
Dalam pengobatan TB dengan HIV/AIDS ada 2 permasalahan mengenai
farmakokinetik obat yaitu adanya kemungkinan malabsorbsi OAT, dan adanya interaksi yang
kompleks antara obat antiretrovirus dengan Rifamycins yang merupakan obat utama untuk
pengobatan TB jangka pendek. Saat ini data yang mengenai kecenderungan malabsorbsi
OAT pada penderita HIV/AIDS masih kontroversi. Tailer S dkk (1997) dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa konsentrasi OAT dalam serum penderita HIV/AIDS lebih rendah. 20
Untuk mengatasi hal ini beberapa peneliti menganjurkan untuk melakukan monitoring
konsentrasi OAT dalam darah.
Saat ini regimen antiretrovirus biasanya terdiri dari 3 atau lebih obat dari dua atau
tiga kelas yang berbeda yaitu nucleoside analogues, non nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NNRTIs) dan protease inhibitors (PIs). Dua dari kelas ini yaitu NNRTI s dan PIs dapat
berinteraksi dengan Rifamycin. Interaksi antara obat-obat antiretrovirus dan Rifamycin
terjadi melalui sistem cytochrome P450-3A (CYP3A) yang terdapat pada dinding usus dan
hati. Rifamycin merupakan inducer CYP3A, sehingga dapat menurunkan kadar obat-obat
yang dimetabolisme oleh sistem enzim tersebut. Kekuatan induksi CYP3A obat-obat
golongan Rifamycin berbeda-beda. Rifampin merupakan inducer yang paling kuat kemudian
Rifapentine dengan kekuatan menengah serta Rifabutin yang paling lemah. Protease
20
Sahai J, Bachlin A, Cameron DW. Reduced plasma consentrations of antituberculous drugs in patientd with
HIV infection. Ann Intern Med 1997; 127: 289-93.
21
Chaisson RE, Clermont HC, Holt EA, et al. Six-month supervised intermittent tuberculosis therapy in Haitian
patients with and without HIV infection. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154: 1034-38.
28
inhibitor dan NNRTI dimetabolisme oleh CYP3A sehingga kadar kedua golongan obat
tersebut dalam darah akan dipengaruhi oleh Rifamycin.14
Beberapa interaksi obat dari kedua golongan obat tersebut dapat menimbulkan efek
yang dramatis sehingga tidak boleh digunakan secara bersama-sama. Rifampin dapat
menyebabkan penurunan kadar obat PIs (kecuali Ritoravir) hingga 75-95%, sehingga
menyebabkan penurunan aktifitas antivirus yang nyata dan akibatnya dapat mempercepat
timbulnya resistensi terhadap PIs tersebut. Selain itu kadar Delavirdine akan menurun
hingga > 90% bila diberikan bersama-sama Rifampin atau Rifabutin sehingga obat
antiretrovirus tersebut tidak boleh digunakan bersama-sama dengan semua golongan
Rifamycin.22 Sebaliknya Rifabutin bila diberikan dengan dosis standard (300 mg/hari)
bersama-sama dengan PIs dapat menyebabkan peningkatan kadarnya hingga 2-4 kali lipat
sehingga menyebabkan efek samping. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan
modifikasi dosis Rifabutin.
Tatalaksana penanganan interaksi antara obat golongan Rifamycin dan obat antiretrovirus
Bila Rifabutin digunakan bersama dengan 2 obat dari golongan PI atau diberikan
bersama dengan PI dan NNRTI akan terjadi interaksi obat yang lebih kompleks sehingga
menimbulkan dampak yang masih harus diteliti lebih lanjut. Untuk sementara ini dosis
Rifabutin yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel 5
Protease inhibitor (PI) Turun hingga 150 mg jika Nelfinavir 1250 mg tiap 12
Rifabutin diberi tiap hari; jam
Nelfinavir, Indinavir, atau
300 mg untuk terapi
Amprenavir (+ 2 Indinavir : tingkatkan
intermiten
nucleoside) sampai 1000 mg tiap 8 jam
(bila perlu)
Amprenavir : tetap
Ritonavir (+ 2 nucleoside,
30
PI lain,dgn/atau Turunkan sampai 150 mg _
nonnucleoside) dua kali seminggu
Lopinavir/Ritonavir(+2
nucleoside dgn/atau suatu
Turunkan sampai 150 mg
nonnucleoside reverse- _
dua kali seminggu
transcriptase inhibitor)
NNRTI
Efavirenz (+ 2 nucleoside)
Tingkatkan Rifabutin
sampai 450-600 mg, tiap _
hari atau dua kali seminggu
Nevirapine ( + 2 nucleoside)
Nucleoside
PI + NNRTI
31
Reaksi paradoksal adalah perburukan sesaat dari gejala dan tanda-tanda manifestasi
radiologis TB yang terjadi setelah dimulainya pengobatan TB dan bukan disebabkan oleh
kegagalan terapi atau adanya proses sekunder. Reaksi paradoksal ini sudah mulai
didapatkan sebelum era HIV/AIDS dan pada penderita yang imunokompeten reaksi ini
diduga merupakan gambaran reaktifitas sistem imun terhadap antigen yang dilepaskan oleh
kuman TB yang mati akibat OAT.14
Pada era pengobatan antiretrovirus yang efektif reaksi paradoksal ini sering di
dapatkan dan umumnya terjadi setelah dimulainya pemberian obat antiretrovirus. Berkaitan
dengan waktu timbulnya maka reaksi paradoksal pada penderita HIV ini terjadi akibat
perbaikan respon imun terhadap antigen Mycobacterium.23
Manifestasi reaksi paradoksal dapat ringan misalnya demam atau dapat juga berat
sampai menyebabkan gagal nafas akut. Gejala klinis reaksi paradoksal yang berkaitan
dengan pengobatan antiretrovirus adalah demam, pembesaran kelenjar getah bening,
timbul infiltrat baru atau perburukan dari infiltrat yang sudah ada sebelumnya, serositis
(pleuritis perikarditis, asites), lesi kulit dan lesi desak ruang pada susunan saraf pusat. 24
Reaksi paradoksal dapat juga terjadi pada penderita yang belum mendapatkan obat
antiretrovirus. Pada dua penelitian didapatkan bahwa persentase terjadinya reaksi
paradoksal masing- masing adalah 36 % ( 12 kasus dari 33 penderita) dan 32 % ( 6 kasus dan
19 penderita) pada penderita yang mulai diterapi dengan antiretrovirus. Reaksi paradoksal
tidak berkaitan dengan regimen antiretrovirus tertentu maupun gabungan obat tertentu
dan umumnya terjadi pada penggunaan kombinasi antiretrovirus.
Sebagian besar reaksi paradoksal terjadi pada penderita HIV yang lanjut dengan
jumlah CD4 rata-rata 35 /mm3 dengan rata rata jumlah RNA 581.694 copies/ml.23
23
Narita M, Ashkin D, Elena S, Arthur E, Pitchenik. Paradoxical worsening of tuberculosis following
antiretroviral therapy in patients with AIDS. Am J Respir Care Med 1998; 158: 157-61.
24
Fishman JE, Narita M, Hollender ES. Pulmonary tuberculosis in AIDS patients; transient chest radiographic
worsening after initiation of antiretrovirus therapy. AJR 2000; 174: 43-9
32
mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya reaksi paradoksal pada SSP. Hal ini
terjadi karena adanya penyebaran kuman TB akibat jumlah sel CD4 yang rendah. Supresi HIV
RNA yang lebih berat berkaitan dengan peningkatan risiko reaksi paradoksal akibat
perbaikan respon imun yang lebih nyata. Demikian juga dengan pemberian obat
antiretrovirus yang dimulai dalam 2 bulan pertama pengobatan TB akan meningkatkan risiko
reaksi tersebut.14
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan tergantung dari gambaran klinis yang ada.
Pemeriksaan foto toraks, kultur M.TBC, aspirasi / biopsi kelenjar getah bening dapat
dilakukan sesuai indikasi.23
Penanganan reaksi paradoksal belum diteliti secara khusus. Reaksi ringan sampai
sedang dapat diatasi dengan pemberian obat antiinflamasi nonsteroid. Bila reaksi
paradoksal yang timbul cukup berat misalnya pembesaran kelenjar getah bening yang nyata
sehingga menimbulkan gangguan anatomis misalnya kesulitan bernafas, menelan, lesi desak
ruang pada SSP dapat diatasi dengan pemberian steroid atau dengan menghentikan
sementara obat antiretrovirus.
Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau
menderita AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.
Pemeriksaan tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes (Voluntary
Counseling and Testing/VCT)
33
Homoseksual
Waria
Pekerja seks
Pramuria panti pijat
34
menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan
dosis nevirapin yang direkomendasikan.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
36
5. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-7. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2002
6. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes, 2 nd ed, World Health
Organization 1997
7. Burman WJ, Jones BE. Treatment of HIV-related Tuberculosis in The Era of Effectife
Antiretroviral Therapy. Am J Respir Crit Care Med 2001
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia, Jakarta : Indah Offset Citra Grafika, 2006.
9. Iceman MD. A Clinical Guide to Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2000
10. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta. 2002.
11. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam
Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.
12. American Thoracic Society/Centers for Disease Control and Prevention/Infectious Diseases
Society of America: Treatment of tuberculosis. MMWR 2003;52(RR11):1.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5211a1.htm
13. Murray J, Sonnenberg P, Shearer SC. Human Immunodeficieney virus and the outcome of
treatment for new and recurrent pulmonary tuberculosis in African patients. Am J Respir
Crit Care Med 1999
14. Diagnostic standars and classification of tuberculosis in adults and children. Am J Respir
Crit Care Med 2000
15. Targeted Tuberculin Testing and Treatment of latent tuberculosis infection. Am J Respir
Crit Care Med 2000
16. Rose DN. Short-Course Prophylaxis against tuberculosis in HIV infected persons. Ann
Intern Med 1998
17. Fitzgerald DW, Desvarieux M, Severe P. et al. Effect of post-treatment isoniazid on
prevention of recurrent tuberculosis in HIV-1 infected individuals: a randomised trial.
Lancet 2000
18. Sahai J, Bachlin A, Cameron DW. Reduced plasma consentrations of antituberculous drugs
in patientd with HIV infection. Ann Intern Med 1997
37
19. Chaisson RE, Clermont HC, Holt EA, et al. Six-month supervised intermittent tuberculosis
therapy in Haitian patients with and without HIV infection. Am J Respir Crit Care Med 1996
20. Burman WJ, Gallicano K, Peloquin C. Therapeutic implication of drugs interactions in the
treatment of HIV-related tuberculosis. Clin Infect Dis 1999
21. Narita M, Ashkin D, Elena S, Arthur E, Pitchenik. Paradoxical worsening of tuberculosis
following antiretroviral therapy in patients with AIDS. Am J Respir Care Med 1998
22. Fishman JE, Narita M, Hollender ES. Pulmonary tuberculosis in AIDS patients; transient
chest radiographic worsening after initiation of antiretrovirus therapy. AJR 2000
38