Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan
organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran
pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB
menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil
tuberkel dari seseorang yang terinfeksi1.
TB paru sebenarnya sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Dibuktikan dengan
penemuan kerusakan tulang vertebra thorax yang khas TB dari kerangka yang digali di
Heidelberg dari kuburan jaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi
dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000 – 4000 SM. Robert Koch
menemukan MTB pada tahun 1882, semacam bakteri berbentuk batang. Diagnosis secara
mikrobiologis dimulai sejak tahun 1882, terlebih lagi setelah Rontgen menemukan sinar X
sebagai alat bantu menegakkan diagnosis yang lebih tepat pada tahun 1896.2
Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru kadang-kadang sulit, sebab penyakit
tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak menimbulkan gejala yang
dapat dilihat/dikenal; antara gejala dengan luasnya penyakit maupun lamanya sakit, sering
tidak mempunyai korelasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh karena penyakit tuberkulosis
paru merupakan penyakit paru yang besar (great imitator), yang mempunyai diagnosis
banding hampir pada semua penyakit dada dan banyak penyakit lain yang mempunyai
gejala umum berupa kelelahan dan panas.3

Walaupun penyakit ini telah lama dikenal, obat-obat untuk menyembuhkannya


belum lama ditemukan, dan pengobatan tuberkulosis paru saat ini lebih dikenal dengan
sistem pengobatan jangka pendek dalam waktu 6–9 bulan. Prinsip pengobatan jangka
pendek adalah membunuh dan mensterilkan kuman yang berada di dalam tubuh manusia.
1
Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, bab 4,
Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 : 852-64.
2
Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I , Simadibrata KM, Setiati S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ,
2006: 998-1005, 1045-9.
3
Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis am
Semarang, Mei 1989 1-6.
1
Obat yang sering digunakan dalam pengobatan jangka pendek saat ini adalah isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, streptomisin dan etambutol. 4
Dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB di Indonesia (DepKes RI 2002)
disebutkan bahwa prosedur pengobatan penderita TB dengan HIV/AIDS adalah sama
5,6
dengan TB tanpa HIV/AIDS. Namun beberapa penelitian telah melaporkan beberapa
permasalahan yang timbul pada pengobatan TB dengan HIV/AIDS. Makalah ini mencoba
menguraikan permasalahan tersebut serta cara mengatasinya.

Pengggunaan antiretrovirus pada penderita HIV/AIDS yang sedang dalam


pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) dapat menimbulkan beberapa
permasalahan yaitu adanya tumpang tindih toksisitas dari obat antiretrovirus dan OAT,
malabsorbsi OAT, interaksi OAT dan obat antiretrovirus yang kompleks, serta adanya reaksi
paradoksal.7

BAB II

4
Suryatenggara, W. Peranan pyrazinamide dalam pengobatan tuberkulosis Yogyakarta 1984 : 43-55. paru
jangka pendek. Simposium Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis Paru Bandung, 57-63.
5
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2002; hal 37-57.
6
Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes, 2 nd ed, World Health Organization 1997; hal
45-8.
7
Burman WJ, Jones BE. Treatment of HIV-related Tuberculosis in The Era of Effectife Antiretroviral Therapy.
Am J Respir Crit Care Med 2001; 164: 7-12.
2
PEMBAHASAN

I. Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia


ini. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan TB sebagai global emergency. Laporan WHO
tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru TB pada tahun 2002, 3,9 juta
adalah kasus BTA positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB dan menurut
regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di asia tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus
TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk. Di afrika hampir 2 kali lebih besar dari asia tenggara yaitu 350 per 100.000
penduduk.

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 sampai 3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian
akibat TB terdapat di asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortality sebesar 39
orang per 100.000 penduduk. Angka mortalitas tinggi terdapat di afrika yaitu 83 per 100.000
penduduk, prevalens HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB
yang muncul.

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah


India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian
akibat TB. Di Indonesia TB adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.8

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa hingga tahun 1997


didapatkan + 31 juta orang penderita HIV dan hampir 12 juta orang diantaranya juga
terinfeksi tuberkulosis (TB). Penderita HIV paling banyak dijumpai di Sub Sahara Afrika
dengan jumlah 20,8 juta penderita dan 6-7 juta penderita diantaranya disertai dengan
infeksi TB. Walaupun jumlah populasi penduduknya hanya 10% dari penduduk dunia,
SubSahara Afrika bertanggung jawab terhadap 65% infeksi HIV di dunia. Setelah Afrika maka

8
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia,
Jakarta : Indah Offset Citra Grafika, 2006.
3
Asia merupakan daerah terbesar kedua untuk penderita HIV dimana diperkirakan ada 6 juta
penderita dan 2 juta penderita diantaranya disertai dengan infeksi TB. 9

Walaupun dampak yang ditimbulkan akibat HIV paling nyata di Afrika namun angka
morbiditas dan mortalitas akibat koinfeksi ini mungkin paling banyak di Asia Tenggara.
Situasi di Asia berpotensi untuk menyebabkan peningkatan koinfeksi ini karena beberapa
alasan yaitu karena prevalensi TB laten di Asia lebih tinggi dibandingkan Afrika (40-45% ><
30%), persentase jumlah populasi penduduk yang tinggal di lingkungan kumuh lebih besar di
Asia sehingga mempermudah penularan serta prevalensi TB dengan resistensi obat yang
lebih besar pada daerah Asia Tenggara akibat program pengobatan TB yang tidak efektif.
WHO memperkirakan akan adanya peningkatan yang dramatis infeksi HIV di Asia pada
dekade berikut.2

II. PATOGENESIS

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni
di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika
fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

9
Iceman MD. A Clinical Guide to Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000; 199-243.
4
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik


kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah,
infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar
individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam
alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya


mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
5
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan
TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit
pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB
akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang
akan membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya


oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi.
Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila
daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta

6
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread


dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan
granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic


spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran
vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.10

III. KLASIFIKASI

A. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:


Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

10
PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta. 2002.

7
Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis 11

b. Tuberkulosis paru BTA (-)


1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
positif.

2. Berdasarkan tipe pasien


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan.

11
Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam Pemberantasan
Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.

8
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA
positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan / pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik
paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

9
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologic.9

B. Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus
yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat
dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

Gambar 2. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan


penyembuhannya¹⁰

IV. DIAGNOSA

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan


fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

A. Gejala klinik

10
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check
up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada
gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

3. Gejala tuberkulosis ekstra paru


Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior

11
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior
(S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya


cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering


di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”

Gambar 3. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior

C. Pemeriksaan Bakteriologik

1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik
ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
12
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan
apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau
untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum
dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam
kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas
pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,
spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan
pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas
saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal
di dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik
kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.

3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

13
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces
dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks,
kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi


WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst


Skala Bronkhorst (BR) :
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode


konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.

14
2) Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat


mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than
tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik
dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin
maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.

D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung ) :


1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :

15
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas.

2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Pada pasien dengan infeksi HIV dini, gambaran radiologinya tidak terlalu jauh
berbeda dengan yang tanpa infeksi HIV. Pada gambaran kontras, gambaran radiologi atipikal
predominan di pasien dengan stadium infeksi HIV akhir. Biasanya sering terlihat gambaran
paru bawah, difus, atau gambaran infiltrat yang milier, pleura efusi, dan pembesaran
kelenjar limfe di hilus, sebagian mediastinum.

E. Pemeriksaan Khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman
tuberkulosis secara lebih cepat.

1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan
melakukan uji kepekaan.

2. Polymerase chain reaction (PCR)


Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk
DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah
kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati
masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.

16
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar
internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang
menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis TB.

Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan


dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :


a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral
berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara
lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik
untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2
antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan
diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan
berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis
warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol
dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.

c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang
berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan
bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang

17
memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir
dan dapat dideteksi dengan mudah.

d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)


Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi
dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus
hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.

e. Uji serologi yang baru / IgG TB


Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis.

F. Pemeriksaan Lain

1. Analisis Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh
melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke


dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan
yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

3. Pemeriksaan darah

18
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap
darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi
dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.

Tabel 1. Classification of positive tuberculin skin test reactions.12

Reaction
Size Group
≥ 5 mm 1. HIV-positive persons.

2. Recent contacts of individuals with active tuberculosis.

3. Persons with fibrotic changes on chest x-rays suggestive of prior


tuberculosis.

4. Patients with organ transplants and other immunosuppressed patients


(receiving the equivalent of > 15 mg/d of prednisone for 1 month or more).
≥ 10 mm 1. Recent immigrants (< 5 years) from countries with a high prevalence of
tuberculosis (eg, Asia, Africa, Latin America).

2. HIV-negative injection drug users.

3. Mycobacteriology laboratory personnel.

4. Residents of and employees2 in the following high-risk congregate settings:


correctional institutions; nursing homes and other long-term facilities for

12
American Thoracic Society/Centers for Disease Control and Prevention/Infectious Diseases Society of
America: Treatment of tuberculosis. MMWR 2003;52(RR11):1.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5211a1.htm

19
the elderly; hospitals and other health care facilities; residential facilities
for AIDS patients; and homeless shelters.

5. Persons with the following medical conditions that increase the risk of
tuberculosis: gastrectomy, ≥ 10% below ideal body weight, jejunoileal
bypass, diabetes mellitus, silicosis, chronic renal failure, some hematologic
disorders, (eg leukemias, lymphomas), and other specific malignancies (eg,
carcinoma of the head or neck and lung).

6. Children < 4 years of age or infants, children, and adolescents exposed to


adults at high risk.
≥ 15 mm 1. Persons with no risk factors for tuberculosis.
Adapted from: Screening for tuberculosis and tuberculosis infection in high-risk populations:
recommendations of the Advisory Council for the Elimination of Tuberculosis. MMWR Morb
Mortal Wkly Rep 1995;44(RR-11):19.
1
A tuberculin skin test reaction is considered positive if the transverse diameter of the
indurated area reaches the size required for the specific group. All other reactions are
considered negative.
2
For persons who are otherwise at low risk and are tested at entry into employment, a
reaction of > 15 mm induration is considered positive.

20
Gambar 4. Alur Diagnosis TB Paru
V. TATALAKSANA

Dianjurkan untuk menggunakan regimen yang mengandung Rifamycin karena waktu


pemberiannya lebih singkat dan lebih dapat ditoleransi oleh penderita sehingga diharapkan
kegagalan pengobatan dan kekambuhan akan lebih kecil. Strategi DOTS dapat digunakan
untuk meningkatkan kepatuhan berobat penderita. Lama pemberian OAT pada penderita TB
dengan HIV/AIDS masih kontroversi. Centers of Disease Control and Prevention
menganjurkan pengobatan selama 6 bulan tetapi bila gejala klinis masih ada atau bila kultur
setelah 2 bulan terapi masih positif dianjurkan ditambah hingga total 9 bulan. 1314

13
Iceman MD. A Clinical Guide to Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000; 199-243.
14
Burman WJ, Jones BE. Treatment of HIV-related Tuberculosis in The Era of Effectife Antiretroviral Therapy.
Am J Respir Crit Care Med 2001; 164: 7-12.
21
Untuk menghindari terjadinya interaksi antara obat anti TB dan antiretrovirus maka
pemberian obat-obat tersebut harus diatur sedemikian rupa dengan memperhatikan kondisi
penderita. (gambar 5) Bila penderita dengan TB aktif baru diketahui menderita HIV maka
harus ditentukan apakah pemberian antiretrovirus harus diberikan segera atau tidak.
Penderita HIV stadium dini (jumlah Sel CD4 > 300/mm 3 ) mempunyai risiko yang rendah
untuk terjadinya perburukan HIV, maka untuk pengobatan TB dapat diberikan regimen OAT
yang mengandung Rifampin sementara obat antiretrovirusnya ditunda sampai pengobatan
infeksi TB selesai ( bila memungkinkan ). 15 Sementara diberikan obat-obat OAT dilakukan
pemeriksaan CD4 serial. Bahkan pada penderita dengan jumlah CD4 yang rendah sekalipun
pemberian antiretrovirus sedapat mungkin/sebaiknya ditunda sampai fase inisial
pengobatan TB selesai. Penundaan ini bertujuan untuk mempermudah penatalaksanaan
efek samping OAT yang mungkin timbul serta untuk mengurangi kemungkinan timbulnya
immune restorationsyndromes.

Pengobatan TB pada penderita HIV/AIDS yang sedang dalam terapi antiretrovirus


sedikit lebih kompleks. Bila obat antiretrovirus yang diberikan ternyata efektif dalam
meningkatkan jumlah sel CD4 dan mengurangi viral load maka regimen anti TB yang
digunakan adalah yang mengandung Rifabutin dengan dosis yang disesuaikan ( tabel 2), dan
obat antiretrovirus diteruskan. Penderita yang tidak dapat menggunakan golongan
Rifamycin karena timbul efek samping maka sebagai penggantinya dapat digunakan
Streptomisin.13,14 Bila antiretrovirus yang digunakan ternyata tidak efektif maka obat-obat
tsb sebaiknya dihentikan dan diberikan OAT. Obat antiretrovirus diberikan lagi setelah 2
bulan pengobatan OAT. Regimen yang dipilih adalah yang mengandung Rifabutin. Bila pada
fase inisial digunakan regimen yang mengandung Rifampin maka 2 minggu sebelum
pemberian antiretrovirus Rifampin harus diganti dengan Rifabutin. Substitusi tersebut
bertujuan agar dapat menghilangkan efek Rifampin terhadap CYP3A. Dari berbagai macam
kombinasi obat antiretrovirus yang ada saat ini, pilihan yang dianjurkan adalah mengandung
Nelfinavir ditambah dengan 2 golongan nukleosida karena pemberiannya adalah 2x /minggu
sehingga bila terjadi interaksi obat mudah untuk diatasi. 14

15
Murray J, Sonnenberg P, Shearer SC. Human Immunodeficieney virus and the outcome of treatment for new
and recurrent pulmonary tuberculosis in African patients. Am J Respir Crit Care Med 1999; 159: 733-40.

22
Immune restoration syndromes sering kali ditemukan dan kadang-kadang
manifestasinya cukup berat, karena itu pasien dan dokter harus senantiasa waspada akan
kemungkinan timbulnya manisfestasi tersebut. Pasien harus segera dievaluasi setelah
pemberian antiretrovirus untuk mengidentifikasi dan mengatasi gejala tersebut. Koordinasi
yang baik antara tenaga kesehatan yang bergerak dalam program pemberantasan TB dan
program perduli HIV/AIDS diperlukan selama pengobatan TB dengan HIV/AIDS.(Tabel 3)

Penderita TB aktif yang baru Penderita TB aktif & Dx


terdiagnosis HIV HIV sudah tegak
sebelumnya

Obat anti retrovirus Obat anti retrovirus harus Obat antiretrovirus harus
mulai diberikan diberikan/ dilanjutkan

dapat ditunda

Gunakan rejimen yang Gunakan regimen yang Alternatif, gunakan


mengandung rifampisin, mengandung rifabutin dan regimen yang
evaluasi pemberian obat-obat antiretrovirus mengandung
antiretrovirus setelah 3 dapat langsung diberikan streptomisin, obat
bulan antiretrovirus dapat
diberikan/diteruskan

Gambar 5. Rekomendasi strategi penanganan penderit dengan infeksi tuberculosis dan HIV/AIDS 13

Tabel 2. Gambaran klinis efek samping obat yang tumpang tindih akibat OAT lini

pertama dan obat antiretrovirus

23
Kemungkinan penyebab

Obat anti TB Obat-obat antiretrovirus


Efek samping

Pyrazinamide, Rifampin, Nevirapine, Delavirdine,


Skin rash
Rifabutin, INH Efavirenz, Abacavir

Pyrazinamide, Rifampin, Zidovudine, Ritonavir,


Mual, muntah
Rifabutin, INH Amprenavir, Indinavir

Pyrazinamide, Rifampin, Nevirapine, PI, perbaikan

Hepatitis Rifabutin, INH respon setelah pemberian


antiretrovirus pada
penderita dengan hepatitis
virus kronik.

Zidovudine

Rifabutin, Rifampin

Leukopenia, anemia

Tabel 3. Rekomendasi tatalaksana pemberian obat-obat antiretrovirus pada penderita

HIV/AIDS dengan TB

Permasalahan Anjuran Penanganan

Efek samping yang tumpang tindih antara Tunda pemberian obat antiretrovirus
OAT dan obat antiretrovirus hingga 1-2 bulan untuk mempermudah

24
mengidentifikasi dan mengatasi efek
samping OAT.

Gunakan Rifabutin dengan dosis yang


Interaksi antara obat-obat golongan
disesuaikan.
Rifamycins dengan antiretrovirus (PIs dan
NNRTIs). Gunakan Rifampin dengan Efavirenz atau
Ritonavir (dengan dosis > 400 mg, 2 kali
sehari).

Komunikasi yang baik antara tenaga


kesehatan .

Tunda pemberian obat antiretrovirus bila


jumlah CD4 relatif tinggi ( > 300/mm3).

Penderita dengan jumlah sel CD4 yang


Reaksi paradoksal setelah pemberian obat
rendah pemberian antiretrovirus ditunda
antiretrovirus.
sampai infeksi TB membaik (tunda hingga
2 bulan pengobatan OAT).

Kewaspadaan penderita dan tenaga


kesehatan akan gejala reaksi paradoksal.

Membuat rencana evaluasi segera setelah


pemberian antiretrovirus untuk
mendeteksi reaksi paradoksal secara dini.

Tabel 4 Terapi TB berdasarkan jumlah CD4

25
Pencegahan TB pada HIV/AIDS

American Thoracic Society (ATS) dan Center for Disease Control and Prevention CDC) tahun
1999 menggunakan nomenklatur baru untuk kemoprofilaksis TB yang selama ini digunakan
yaitu pengobatan infeksi laten TB (Latent Tuberculosis Infection/LTBI). Infeksi laten TB
adalah individu dengan tes tuberkulin positif, sedangkan secara klinis, bakteriologis dan
radiologis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi TB yang aktif. 16 Tes tuberkulin dianggap
positif pada penderita AIDS bila diameter indurasi  5 mm.17

Pengobatan LTBI yang dianjurkan oleh ATS dan CDC (1999) terdiri dari 2 pilihan yang
memberikan efektifitas yang sama yaitu INH 5 mg/kg BB (maksimal 300 mg) yang diberikan
selama 9 bulan dan kombinasi Rifampin 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg) perhari +
Pyrazinamide 15-20 mg/kgBB (maksimal 2 gr) perhari selama 2 bulan. 17,18 Pemilihan jenis
obat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keinginan penderita, risiko efek samping
obat, kepatuhan berobat, kemampuan pengawasan, ada tidaknya pengobatan dengan PIs
16
Diagnostic standars and classification of tuberculosis in adults and children. Am J Respir Crit Care Med 2000;
161: 1376-95.
17
Targeted Tuberculin Testing and Treatment of latent tuberculosis infection. Am J Respir Crit Care Med 2000;
161: S 221-S 47.
18
Rose DN. Short-Course Prophylaxis against tuberculosis in HIV infected persons. Ann Intern Med 1998; 129:
779-86.
26
atau NNRTI serta jenis PIs/NNRTI yang digunakan. Penderita yang akan mendapatkan/dalam
pengobatan dengan PIs atau NNRTIs dianjurkan untuk pemberian INH, sedangkan
pemberian Rifampin merupakan kontran indikasi.

Beberapa ahli menganjurkan pemberian Rifabutin (sebagai pengganti Rifampin)


bersama dengan Pyrazinamide untuk pengobatan LTBI pada penderita yang mendapatkan
pengobatan PI atau NNRTI. Rifabutin setengah dosis (150 mg/hari) dapat diberikan besama
dengan Indinavir, Nelfinavir atau Amprenavir, sedangkan untuk Ritanovir dosis Rifabutin
yang diberikan adalah seperempatnya ( misalnya 150 mg selang sehari atau 3 kali
seminggu). Bila PI yang digunakan adalah Nevirapine maka Rifabutin dapat diberikan dengan
dosis normal, sedangkan bila bersama dengan Efavirenz dosis Rifabutin yang diberikan harus
lebih tinggi (450-600 mg/hari). Penderita yang mendapatkan terapi kombinasi dengan
beberapa macam PIs atau kombinasi PI dengan NNRTI maka pemberian Rifabutin tidak
dianjurkan karena adanya kemungkinan interaksi obat-obat yang lebih kompleks. 17

Untuk kemoprofilaksis yang diberikan setelah pengobatan TB dengan OAT selesai


masih perlu penelitian lebih lanjut. Salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 1998
terhadap 142 penderita TB dengan HIV pasca pengobatan OAT 6 bulan menunjukan bahwa
rata-rata kekambuhan pada penderita yang mendapatkan tambahan INH 300 mg/hari
selama 1 tahun ternyata lebih rendah dibandingkan dengan plasebo. Penelitian ini juga
menunjukan bahwa kemoprofilaksis dengan INH pasca pengobatan TB terutama bermanfaat
untuk mencegah rekurensi pada penderita dengan riwayat HIV yang simtomatik (katagori B
dan C menurut CDC).19 Beberapa ahli bahkan mempertimbangkan mengenai pemberian
kemoprofilaksis INH seumur hidup (bila memungkinkan ) pasca terapi OAT untuk mencegah
kemungkinan reaktifasi endogen maupun reinfeksi eksogen. 13

Walaupun masih dalam perdebatan, penderita HIV dengan tes tuberkulin negatif
(anergi) bila didapatkan adanya faktor risiko untuk terkena TB misalnya riwayat kontak
dengan penderita TB aktif, tinggal didaerah dengan prevalensi TB yang tinggi, perlu
dipertimbangkan /dianjurkan untuk mendapatkan kemoprofilasis INH. 17

Permasalahan farmakokinetik obat dalam pengobatan TB dengan HIV/AIDS

19
Fitzgerald DW, Desvarieux M, Severe P. et al. Effect of post-treatment isoniazid on prevention of recurrent
tuberculosis in HIV-1 infected individuals: a randomised trial. Lancet 2000; 356: 1470-74.
27
Dalam pengobatan TB dengan HIV/AIDS ada 2 permasalahan mengenai
farmakokinetik obat yaitu adanya kemungkinan malabsorbsi OAT, dan adanya interaksi yang
kompleks antara obat antiretrovirus dengan Rifamycins yang merupakan obat utama untuk
pengobatan TB jangka pendek. Saat ini data yang mengenai kecenderungan malabsorbsi
OAT pada penderita HIV/AIDS masih kontroversi. Tailer S dkk (1997) dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa konsentrasi OAT dalam serum penderita HIV/AIDS lebih rendah. 20
Untuk mengatasi hal ini beberapa peneliti menganjurkan untuk melakukan monitoring
konsentrasi OAT dalam darah.

Walaupun demikian dari beberapa penelitian mengenai efektifitas pengobatan TB


pada HIV/AIDS dengan obat-obat lini pertama (Rifampisin, INH, Ethambutol, Pirazinamid)
ternyata didapatkan angka cure rate 95% yang hampir menyamai respon pengobatan pada
penderita TB tanpa HIV/AIDS.21 Data ini menunjukkan bahwa standard yang ada mengenai
konsentrasi OAT dalam serum pada orang yang normal tidak dapat dipakai sebagai
therapeutic ranges. Monitoring obat dianjurkan untuk dilakukan hanya pada keadaan
dimana respon terapi terhadap OAT lini pertama tidak adekuat.

Interaksi antara obat golongan Rifamycin dengan obat antiretrovirus

Saat ini regimen antiretrovirus biasanya terdiri dari 3 atau lebih obat dari dua atau
tiga kelas yang berbeda yaitu nucleoside analogues, non nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NNRTIs) dan protease inhibitors (PIs). Dua dari kelas ini yaitu NNRTI s dan PIs dapat
berinteraksi dengan Rifamycin. Interaksi antara obat-obat antiretrovirus dan Rifamycin
terjadi melalui sistem cytochrome P450-3A (CYP3A) yang terdapat pada dinding usus dan
hati. Rifamycin merupakan inducer CYP3A, sehingga dapat menurunkan kadar obat-obat
yang dimetabolisme oleh sistem enzim tersebut. Kekuatan induksi CYP3A obat-obat
golongan Rifamycin berbeda-beda. Rifampin merupakan inducer yang paling kuat kemudian
Rifapentine dengan kekuatan menengah serta Rifabutin yang paling lemah. Protease

20
Sahai J, Bachlin A, Cameron DW. Reduced plasma consentrations of antituberculous drugs in patientd with
HIV infection. Ann Intern Med 1997; 127: 289-93.
21
Chaisson RE, Clermont HC, Holt EA, et al. Six-month supervised intermittent tuberculosis therapy in Haitian
patients with and without HIV infection. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154: 1034-38.

28
inhibitor dan NNRTI dimetabolisme oleh CYP3A sehingga kadar kedua golongan obat
tersebut dalam darah akan dipengaruhi oleh Rifamycin.14

Delavirdine dan PI merupakan inhibitor CYP3A sehingga dapat meningkatkan kadar


obat-obat yang dimetabolisme oleh sistem enzim ini. Rifabutine merupakan substrat dari
CYP3A sehingga hambatan pada CYP3A akan meningkatkan kadar Rifabutin hingga mencapai
kadar yang toksik. Sedangkan untuk Rifampin dan Rifapentin walaupun keduanya adalah
inducer CYP3A, tetapi bukan merupakan substrat enzim tersebut, sehingga hambatan pada
CYP3A tidak akan mempengaruhi kadar kedua obat tersebut.

Dampak klinis interaksi antara Rifamycin dengan obat antiretrovirus

Beberapa interaksi obat dari kedua golongan obat tersebut dapat menimbulkan efek
yang dramatis sehingga tidak boleh digunakan secara bersama-sama. Rifampin dapat
menyebabkan penurunan kadar obat PIs (kecuali Ritoravir) hingga 75-95%, sehingga
menyebabkan penurunan aktifitas antivirus yang nyata dan akibatnya dapat mempercepat
timbulnya resistensi terhadap PIs tersebut. Selain itu kadar Delavirdine akan menurun
hingga > 90% bila diberikan bersama-sama Rifampin atau Rifabutin sehingga obat
antiretrovirus tersebut tidak boleh digunakan bersama-sama dengan semua golongan
Rifamycin.22 Sebaliknya Rifabutin bila diberikan dengan dosis standard (300 mg/hari)
bersama-sama dengan PIs dapat menyebabkan peningkatan kadarnya hingga 2-4 kali lipat
sehingga menyebabkan efek samping. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan
modifikasi dosis Rifabutin.

Tatalaksana penanganan interaksi antara obat golongan Rifamycin dan obat antiretrovirus

Jika penderita HIV/AIDS dengan infeksi TB memerlukan obat antiretrovirus maka


untuk pengobatan tuberkulosisnya sebaiknya digunakan Rifabutin. Rifabutin dapat diberikan
bersama dengan obat golongan NNRTIs (kecuali Delavirdine). Rifabutin mempunyai
efektifitas yang sama dengan Rifampin untuk pengobatan tuberkulosis dengan atau tanpa
22
Burman WJ, Gallicano K, Peloquin C. Therapeutic implication of drugs interactions in the treatment of HIV-
related tuberculosis. Clin Infect Dis 1999; 28: 419-30.
29
HIV. Untuk menghindari toksisitas maka dosis harian Rifabutin harus dikurangi menjadi 150
mg/hari bila diberikan bersamaan dengan PI (kecuali Saquinavir).

Pengobatan dengan cara DOTS sangat dianjurkan dengan pemberian Rifabutin


secara intermiten. Pada pemberian Rifabutin secara intermiten yang perlu diperhatikan
adalah harus dihindarkan pemberian dosis yang tidak adekuat. Karena itu pedoman terapi
yang saat ini dianjurkan adalah Rifabutin 450 – 600 mg bila diberikan bersama Efavirenz,
dan bila diberikan 2 – 3 kali seminggu bersama dengan PI ( kecuali Ritonavir ) digunakan
dosis 300 mg/hari. Bila diberikan bersama dengan Ritonavir maka dosisnya dikurangi
menjadi 150 mg 2 kali seminggu ( tanpa Ritonavir dosis ini sebanding dengan Rifabutin 300
mg perhari ).

Bila Rifabutin digunakan bersama dengan 2 obat dari golongan PI atau diberikan
bersama dengan PI dan NNRTI akan terjadi interaksi obat yang lebih kompleks sehingga
menimbulkan dampak yang masih harus diteliti lebih lanjut. Untuk sementara ini dosis
Rifabutin yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel 5

Tabel 5 Rekomendasi dosis Rifabutin dan antiretrovirus selama terapi kombinasi

Regimen antiretrovirus Dosis Rifabutin Penyesuaian dosis


antiretrovirus

Protease inhibitor (PI) Turun hingga 150 mg jika Nelfinavir 1250 mg tiap 12
Rifabutin diberi tiap hari; jam
Nelfinavir, Indinavir, atau
300 mg untuk terapi
Amprenavir (+ 2 Indinavir : tingkatkan
intermiten
nucleoside) sampai 1000 mg tiap 8 jam
(bila perlu)

Amprenavir : tetap

300 mg /hari atau Tingkatkan sampai 1600 mg


Saquinavir (+ 2 nucleoside)
intermiten tiap 8 jam (bila perlu)

Ritonavir (+ 2 nucleoside,
30
PI lain,dgn/atau Turunkan sampai 150 mg _
nonnucleoside) dua kali seminggu

Lopinavir/Ritonavir(+2
nucleoside dgn/atau suatu
Turunkan sampai 150 mg
nonnucleoside reverse- _
dua kali seminggu
transcriptase inhibitor)

NNRTI

Efavirenz (+ 2 nucleoside)

Tingkatkan Rifabutin
sampai 450-600 mg, tiap _
hari atau dua kali seminggu

Nevirapine ( + 2 nucleoside)

300 mg tiap hari atau


_
intermiten

Nucleoside

Dua atau triple nucleoside


_
(mis. Zidovudine, 300 mg tiap hari atau
Lamivudine dan Abacavir) intermiten

PI + NNRTI

Efavirenz /Nevirapine + PI 300 mg tiap hari atau Tingkatkan dosis Indinavir

(kec.Ritonavir) intermiten seperti diatas (bila perlu)

Reaksi paradoksal (Immune Restoration Syndromes)

31
Reaksi paradoksal adalah perburukan sesaat dari gejala dan tanda-tanda manifestasi
radiologis TB yang terjadi setelah dimulainya pengobatan TB dan bukan disebabkan oleh
kegagalan terapi atau adanya proses sekunder. Reaksi paradoksal ini sudah mulai
didapatkan sebelum era HIV/AIDS dan pada penderita yang imunokompeten reaksi ini
diduga merupakan gambaran reaktifitas sistem imun terhadap antigen yang dilepaskan oleh
kuman TB yang mati akibat OAT.14

Pada era pengobatan antiretrovirus yang efektif reaksi paradoksal ini sering di
dapatkan dan umumnya terjadi setelah dimulainya pemberian obat antiretrovirus. Berkaitan
dengan waktu timbulnya maka reaksi paradoksal pada penderita HIV ini terjadi akibat
perbaikan respon imun terhadap antigen Mycobacterium.23

Manifestasi reaksi paradoksal dapat ringan misalnya demam atau dapat juga berat
sampai menyebabkan gagal nafas akut. Gejala klinis reaksi paradoksal yang berkaitan
dengan pengobatan antiretrovirus adalah demam, pembesaran kelenjar getah bening,
timbul infiltrat baru atau perburukan dari infiltrat yang sudah ada sebelumnya, serositis
(pleuritis perikarditis, asites), lesi kulit dan lesi desak ruang pada susunan saraf pusat. 24
Reaksi paradoksal dapat juga terjadi pada penderita yang belum mendapatkan obat
antiretrovirus. Pada dua penelitian didapatkan bahwa persentase terjadinya reaksi
paradoksal masing- masing adalah 36 % ( 12 kasus dari 33 penderita) dan 32 % ( 6 kasus dan
19 penderita) pada penderita yang mulai diterapi dengan antiretrovirus. Reaksi paradoksal
tidak berkaitan dengan regimen antiretrovirus tertentu maupun gabungan obat tertentu
dan umumnya terjadi pada penggunaan kombinasi antiretrovirus.

Sebagian besar reaksi paradoksal terjadi pada penderita HIV yang lanjut dengan
jumlah CD4 rata-rata 35 /mm3 dengan rata rata jumlah RNA 581.694 copies/ml.23

Faktor risiko untuk terjadinya reaksi paradoksal berkaitan dengan patogenesis


perbaikan respon imun. Penderita dengan jumlah sel CD4 basal yang lebih rendah

23
Narita M, Ashkin D, Elena S, Arthur E, Pitchenik. Paradoxical worsening of tuberculosis following
antiretroviral therapy in patients with AIDS. Am J Respir Care Med 1998; 158: 157-61.

24
Fishman JE, Narita M, Hollender ES. Pulmonary tuberculosis in AIDS patients; transient chest radiographic
worsening after initiation of antiretrovirus therapy. AJR 2000; 174: 43-9
32
mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya reaksi paradoksal pada SSP. Hal ini
terjadi karena adanya penyebaran kuman TB akibat jumlah sel CD4 yang rendah. Supresi HIV
RNA yang lebih berat berkaitan dengan peningkatan risiko reaksi paradoksal akibat
perbaikan respon imun yang lebih nyata. Demikian juga dengan pemberian obat
antiretrovirus yang dimulai dalam 2 bulan pertama pengobatan TB akan meningkatkan risiko
reaksi tersebut.14

Diagnosis reaksi paradoksal seringkali dibuat setelah menyingkirkan kemungkinan


adanya kegagalan pengobatan TB, hipersensitifitas terhadap obat, serta kemungkinan
adanya infeksi lain.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan tergantung dari gambaran klinis yang ada.
Pemeriksaan foto toraks, kultur M.TBC, aspirasi / biopsi kelenjar getah bening dapat
dilakukan sesuai indikasi.23

Penanganan reaksi paradoksal belum diteliti secara khusus. Reaksi ringan sampai
sedang dapat diatasi dengan pemberian obat antiinflamasi nonsteroid. Bila reaksi
paradoksal yang timbul cukup berat misalnya pembesaran kelenjar getah bening yang nyata
sehingga menimbulkan gangguan anatomis misalnya kesulitan bernafas, menelan, lesi desak
ruang pada SSP dapat diatasi dengan pemberian steroid atau dengan menghentikan
sementara obat antiretrovirus.

Tatalaksana pada pasien curiga HIV

Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau
menderita AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.
Pemeriksaan tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes (Voluntary
Counseling and Testing/VCT)

Tabel 5 Indikasi Tes Darah HIV


Kombinasi dari A dan B (1 kelompok A dan 1 dari B)
A. Berat badan turun drastic
TB paru
Sariawan / stomatitis berulang
Sarkoma Kaposi
B. Riwayat perilaku risiko tinggi
Pengguna NAZA suntikan

33
Homoseksual
Waria
Pekerja seks
Pramuria panti pijat

Waktu Memulai Terapi


1. Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4
dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 6)

Tabel 6 Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV


Kondisi Rekomendasi Kondisi Rekomendasi
TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB toleransi terhadap AOT telah tercapai
ekstrapulmonal Mulai terapi OAT, segera
mulai terapi ARV jika
TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau hitung total < 1200 sel/mm3
limfosit
Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai setelah TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung
2 bulan limfosit

simptomatik, AIDS (+Kaposi/ Ca cervix / limfoma / wasting syndrome / pneumonia P. Carinii/


toksoplasmosis otak / retinitis virus sitomegalo / kandidiasis esofagus, trakea, bronkus,
sel/mm3), asimptomatik + viral load > 55.000 kopi/ml) Interaksi obat TB dengan ARV (Anti
Retrovirus)

2. Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan


terjadinya efek toksik OAT
3. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai
buffer antasida
4. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida dan
inhibitor protease.Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena
rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat

34
menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan
dosis nevirapin yang direkomendasikan.

BAB III

KESIMPULAN

Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama


seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB
yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa
jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat. Strategi DOTS dapat
digunakan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan TB pada penderita HIV/AIDS.
Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.
Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan
standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip – prinsip
35
Universal Precaution ( Kewaspadaan Keamanan Universal ) Pengobatan pasien TB-HIV
sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan
pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk
ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Kónsul sukarela dengan test HIV)

DAFTAR PUSTAKA

1. Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004
2. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I , Simadibrata
KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006
3. Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan Pengobatan
Mutakhir Tuberkulosis am Semarang, Mei 1989
4. Suryatenggara, W. Peranan pyrazinamide dalam pengobatan tuberkulosis Yogyakarta 1984

36
5. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-7. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2002
6. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes, 2 nd ed, World Health
Organization 1997
7. Burman WJ, Jones BE. Treatment of HIV-related Tuberculosis in The Era of Effectife
Antiretroviral Therapy. Am J Respir Crit Care Med 2001
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia, Jakarta : Indah Offset Citra Grafika, 2006.
9. Iceman MD. A Clinical Guide to Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2000
10. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta. 2002.
11. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam
Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.
12. American Thoracic Society/Centers for Disease Control and Prevention/Infectious Diseases
Society of America: Treatment of tuberculosis. MMWR 2003;52(RR11):1.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5211a1.htm
13. Murray J, Sonnenberg P, Shearer SC. Human Immunodeficieney virus and the outcome of
treatment for new and recurrent pulmonary tuberculosis in African patients. Am J Respir
Crit Care Med 1999

14. Diagnostic standars and classification of tuberculosis in adults and children. Am J Respir
Crit Care Med 2000
15. Targeted Tuberculin Testing and Treatment of latent tuberculosis infection. Am J Respir
Crit Care Med 2000
16. Rose DN. Short-Course Prophylaxis against tuberculosis in HIV infected persons. Ann
Intern Med 1998
17. Fitzgerald DW, Desvarieux M, Severe P. et al. Effect of post-treatment isoniazid on
prevention of recurrent tuberculosis in HIV-1 infected individuals: a randomised trial.
Lancet 2000
18. Sahai J, Bachlin A, Cameron DW. Reduced plasma consentrations of antituberculous drugs
in patientd with HIV infection. Ann Intern Med 1997

37
19. Chaisson RE, Clermont HC, Holt EA, et al. Six-month supervised intermittent tuberculosis
therapy in Haitian patients with and without HIV infection. Am J Respir Crit Care Med 1996
20. Burman WJ, Gallicano K, Peloquin C. Therapeutic implication of drugs interactions in the
treatment of HIV-related tuberculosis. Clin Infect Dis 1999
21. Narita M, Ashkin D, Elena S, Arthur E, Pitchenik. Paradoxical worsening of tuberculosis
following antiretroviral therapy in patients with AIDS. Am J Respir Care Med 1998
22. Fishman JE, Narita M, Hollender ES. Pulmonary tuberculosis in AIDS patients; transient
chest radiographic worsening after initiation of antiretrovirus therapy. AJR 2000

38

Anda mungkin juga menyukai