Anda di halaman 1dari 56

PELATIHAN PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS BAGI PETUGAS

KESEHATAN DI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

MATERI INTI 1

PENEMUAN PASIEN TUBERKULOSIS

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

DIREKTORAT JENDERAL

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

JAKARTA

2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya pembuatan
Modul Pelatihan Penanggulangan TB di Fasyankes Tingkat Pertama (FKTP)
yang terintegrasi dengan keluarga sehat.
Materi Modul Pelatihan TB di Fasyankes Tingkat Pertama ini memberikan
petunjuk pelatihan yang harus diberikan kepada seluruh pelayanan kesehatan
tingkat pertama dalam upaya Penanggulangan TB di Indonesia.
Modul ini menguraikan tentang gambaran umum TB; situasi TB di dunia dan
Indonesia, menjelaskan program penanggulangan TB di Indonesia, strategi dan
kebijakan penanggulangan TB; dan pengorganisasian penanggulangan TB.
Selain itu diberikan petunjuk pelatihan mengenai strategi penemuan kasus,
diagnosis TB pada orang dewasa, diagnosis TB anak, diagnosis TB Resistan
OAT, diagnosis TB ekstraparu, diagnosis TB dengan komorbid, dan definisi
kasus TB serta klasifikasi pasien TB. Setelah ditegakkan diagnosis dan klasifikasi
kasus bagi setiap pasien TB sensitif maupun pasien TB Resistan Obat (RO)
dilanjutkan pengobatan yang bisa dilaksanakan di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP).
Di dalam modul ini selain berisi petunjuk pelatihan bagaimana kebijakan, strategi
penanggulangan, yang diikuti bagaimana menemukan dan mengobati
tuberkulosis, terdapat juga petunjuk pelatihan penguatan kepemimpinan program
TB; peningkatan akses pelayanan TB yang bermutu; pengendalian faktor risiko
TB; peningkatan kemitraan; peningkatan kemandirian masyarakat dalam
pengendalian TB; dan penguatan manajemen program TB.
Modul ini juga memberikan petunjuk penanggulangan TB yang berintegrasi
dengan pelaksanakan Program Indonesia Sehat yang diselenggarakan melalui
pendekatan keluarga, yang mengintegrasikan upaya kesehatan perorangan
(UKP) dan upaya kesehatan masyarakat (UKM) secara berkesinambungan,
dengan target keluarga, berdasarkan data dan informasi dari Profil Kesehatan
Keluarga.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa modul ini masih ada kekurangan, untuk itu
kami menerima masukan dari berbagai pihak demi kesempurnaan di masa yang
akan datang.

Penulis

2
TIM PENYUSUN

Pelindung:

dr. H.M. Subuh, MPPM (Direktur Jendral P2P)

Pengarah:

1. dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes (Direktur P2PML)


2. dr. Asik Surya, MPPM (Kepala Subdit TB)
Sekretaris:

1. Nurjannah, SKM, M.Kes


2. dr. Yullita Evarini Y., MARS

Editor

Dr. dr. Rina Handayani, M.Kes

Anggota:

1. Sulistyo, SKM, M.Epid


2. Suwandi SKM, M. Epid
3. dr. H D Djamal, M.Si
4. dr. Fatiyah Isbaniah, Sp.P
5. Saida N. Debataradja, SKM
6. dr. Wihardi Triman, MQIH
7. Dra. Katamanis Tarigan, SKM
8. dr. Hedy B Sampurno, MPH
9. dr. Zulrasdi Djairas, SKM
10. drg. Siti Nur Anisah, MPH
11. dr. Endang Lukitosari, MPH
12. dr. Retno Kusuma Dewi, MPH
13. dr. Sity Kunarisasi, MARS
14. dr Novayanti Tangirerung
15. dr. Setiawan Jati Laksono
16. dr. Firza Asnely Putri
17. Hanifah Rizki Purwandani, SKM
18. Rizka Nur Fadila, SKM
19. Sophia Talena Patty, SKM
20. Dra. Retno Budiati
21. Audia Jasmin Armanda, SKM

3
DAFTAR ISI

TIM PENYUSUN ……………………………………………………. 2


DAFTAR ISI ……………………………………………………………….... 3
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………. 4
I. DESKRIPSI SINGKAT …………………………………………………………. 5
II. TUJUAN PEMBELAJARAN …………………………………………………. 5
A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) ……………………………..….. 5
B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) ………………………..……… .5
III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN ………………………....6
IV. METODE ………………………………….………………………….……. 6
V. MEDIA DAN ALAT BANTU…………………………………...………………... 7
VI. LANGKAH–LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN …………………..… 7
A. Langkah 1 : Pengkondisian peserta …………………………….…… 7
B. Langkah 2 : Review Pokok Bahasan………………………….….….. 7
C. Langkah 3 : Pembahasan per materi …………..……….…………… 7
D. Langkah 4 : Pembahasan studi kasus ………………..…………..… 7
E. Langkah 5 : Rangkuman…..……………………..……….…………… 7
VII. URAIAN MATERI …………………………………………………………….… 9
A. Strategi penemuan terduga TB …………………………………….… 9
B. Definisi kasus ……………………………………………………….… 11
C. Penegakan diagnosis TB …………………………………………...… 12
D. Pengelolaan Contoh Uji untuk Pemeriksaan Laboratorium ……… 28
E. Klasifikasi pasien TB ……………………………………………….… 32
F. Komunikasi Motivasi ………………………………………………..… 35
G. Upaya Pengendalian Faktor Risiko ..………………………………… 47
H. Pencatatan dan Pelaporan Penemuan Pasien TB ………………..…49
VIII.REFERENSI ……………………….………….…………..…………………… 49
IX. LAMPIRAN…………………………………………….…………………………..49

4
DAFTAR SINGKATAN
APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
ARV = Anti Retro Viral
BB/ TB = Berat Badan/ Tinggi Badan
BBKPM = Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
BKPM = Balai Kesehatan Paru Masyarakat
BP4 = Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru
BTA = Basil Tahan Asam
CSF = Cerebro spinal fluid
CNR = Case Notification Rate
DM = Diabetes Mellitus
DOTS = Directly Observed Treatment, Shorcourse
chemotherapy
DPM = Dokter Praktek Mandiri
DTPK = Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan
Faskes = fasilitas kesehatan
FDC = Fixed Dose Combination
FKRTL = Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
FKTP = Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKTP-RM = Fasilitas kesehatan yang mampu melakukan
pemeriksaan mikroskopis disebut FKTP Rujukan
Mikroskopis.
FKTP-S = Fasilitas Kesehatan yang tidak mempunyai
fasilitas pemeriksaan mikroskopis yang disebut
sebagai FKTP Satelit.
FL = First Line
FNAB = Fine Neddle Aspirate Biopsy
HIV = Human Immuno-deficiency Virus
ISTC = International Standards For Tuberculosis Care
KDT = Kombinasi Dosis Tetap
KM = Komunikasi Motivasi
Ko-morbid = penyakit penyerta
KTIP = Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas
Lansia = lanjut usia
LCS = Liquor cerebro spinal
LJ = Lowenstein-Jensen
LPA = Line probe assay
MDR = Multi Drug Resistance
MGIT = Mycobacteria Growth Indicator Tube.
MTBS = Manajemen Terpadu Balita Sakit
MTDS = Manajemen Terpadu Dewasa Sakit.
M.tb = M.tuberculosis
OAT = Obat Anti Tuberkulosis
ODHA = Orang Dengan HIV AIDS
PAS = Para Amino Salisilic Acid
PAL = Practical Approach to Lung health
PNPK-TB = Pedoman Nasional Praktek Kedokteran Tuberkulosis
PPKP = Pendekatan Praktis Kesehatan Paru
PPM = Public-Private Mix
PWS = Pengawasan Wilayah Setempat

5
QA = Quality Assurance
RPJMN = Rencana Pembangunan Jangka Menengah
SDP = Standardized DST Package
SL = Second Line
SP = Sewaktu-Pagi dan
SPTN = Survei Prevalensi Tuberkulosis Nasional
SS = Sewaktu-Sewaktu
TB = Tuberkulosis
TCM = Tes Capat Molekuler
TPK = Tujuan Pembelajaran Khusu
TB MDR = Tuberkulosis Multi Drug Resistance
TB MR = Tuberkulosis Mono Resistan
TB RO = Tuberkulosis Ressitan Obat
TB PR = Tuberkulosis Poli Resistan
TB RR = Tuberkulosis Resistan Rifampisin
TB XDR = Tuberkulosis eXtensive Drug Resistance
Total DR = Totally Drug Resistance
TPK = Tujuanb pe,belajaran khusus
TPU = Tujuan pembeajaran Umum
UKBM = Upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM)
WHO = World Health Organization
XDR = eXtensive Drug Resistance
ZN = Xiehl Neelsen

6
I. DESKRIPSI SINGKAT
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
tuberkulosis (TB) yang dikenal dengan nama M. tuberculosis. Sebagian besar
kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Penularan terutama sekali secara aerogen. Pasien TB paru menyebarkan kuman
ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Sumber penularan adalah
pasien TB paru BTA postif yang saat batuk, bersin atau berbicara mengeluarkan
droplet (percikan dahak) yang mengandung kuman M. tuberculosis.
Pencegahan utama agar seseorang tidak terpapar dengan M. tuberculosis
adalah dengan menemukan Pasien TB secara dini serta mengobati dengan
tuntas, sehingga bahaya penularan tidak ada lagi.
Penemuan Pasien TB paru adalah dengan cara menemukan pasien yang
mempunyai gejala mengarah ke TB yaitu batuk lama, 2 minggu atau lebih,
berdahak, dapat disertai darah, panas badan, nyeri dada dan gejala penyakit
paru lainnya. Diagnosis Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis adalah dengan
pemeriksaan mikroskopis, biakan dan Test Cepat Molekuler (TCM). Cara
diagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis yaitu dengan menemukan kuman TB
terduga TB melalui pemeriksaan dahak secara konvensional dengan
pemeriksaan mikroskopik dengan pengecatan Ziehl Neelsen (ZN) apusan dahak
dan biakan, serta identifikasi M. tuberculosis dengan tes cepat. Tes cepat saat ini
yang digunakan adalah tes bio-molekuler menggunakan alat Xpert/ MTB Rif.
Jika konfirmasi bakteriologis tidak diperoleh, maka diagnosis TB ditegakkan
secara klinis mengacu pada hasil pemeriksaan penunjang yang sesuai.
Modul penemuan Pasien TB akan membahas tentang strategi penemuan,
diagnosis TB Paru pada orang dewasa, diagnosis TB anak, diagnosis TB
Resistan OAT, diagnosis TB Ekstraparu, diagnosis TB dengan Komorbid, dan
definisi kasus TB serta klasifikasi pasien TB.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Setelah mempelajari materi ini, peserta latih mampu melakukan penemuan
Pasien TB.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
Setelah mempelajari materi ini, peserta latih mampu:
1. Menjelaskan strategi penemuan terduga TB
2. Menjelaskan definisi kasus TB
3. Melakukan penegakan diagnosis TB

7
4. Melakukan pengelolaan contoh uji untuk pemeriksaan laboratorium
5. Melakukan klasifikasi Pasien TB
6. Melakukan Komunikasi Motivasi
7. Melakukan upaya pengendalian faktor risiko
8. Melakukan pencatatan pelaporan terkait penemuan pasien TB

III. POKOK BAHASAN DAN ATAU SUB POKOK BAHASAN


Dalam materi ini akan dibahas pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan
sebagai berikut:
A. Strategi penemuan terduga TB
1. Penemuan secara pasif intensif
2. Penemuan secara aktif
B. Definisi kasus
C. Penegakan Diagnosis TB
1. Identifikasi Terduga TB
2. Jenis Pemeriksaan Laboratorium
3. Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa.
4. Diagnosis TB pada Anak
5. Diagnosis TB Ekstra paru
6. Diagnosis TB Resistan OAT
7. Diagnosis TB HIV
8. Diagnosis TB pada Pasien dengan ko-morbid
D. Pengelolaan contoh uji untuk pemeriksaan laboratorium:
1. Dahak
2. Contoh uji non dahak
E. Klasifikasi pasien TB
F. Komunikasi Motivasi
G. Upaya pengendalian faktor risiko
H. Pencatatan pelaporan penemuan pasien TB

IV. METODE
A. Ceramah dan Tanya Jawab.
B. Curah Pendapat.
C. Studi kasus

8
V. MEDIA DAN ALAT BANTU
A. Bahan Tayang
B. Panduan Studi Kasus
C. Modul
D. Laptop,
E. LCD,
F. Bahan Tayang
G. Pointer
H. Papan flipchart
I. Kertas flipchart
J. Spidol

VI. LANGKAH–LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun
langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah 1 : Pengkondisian peserta
1. Pelatih/Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana
dikelompok.
2. Pelatih/Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat dan
memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat
bekerja, dan materi yang akan disampaikan.
3. Bila belum ada, menugaskan kelompok untuk memilih ketua, sekretaris dan
pencatat waktu.
4. Pelatih/Fasilitator menyampaikan tujuan pembelajaran, pokok bahasan dan
sub pokok bahasan Penemuan Pasien TB
Langkah 2: Review Pokok bahasan
Pelatih Fasilitator menggali pendapat peserta tentang apa yang dimaksud
dengan Penemuan Pasien TB dengan metode curah pendapat/ brainstorming.
Langkah 3: Pembahasan per materi
1. Pelatih/Fasilitator menyampaikan paparan materi sesuai urutan pokok
bahasan dengan menggunakan bahan tayang.
2. Selanjutnya Pelatih/Fasilitator melakukan tanya jawab dengan meminta
peserta untuk mengemukakan pendapatnya, klarifikasi dan mengajukan
pertanyaan tentang materi yang telah diberikan.
Langkah 4: Pembahasan studi kasus dikaitkan dengan pokok bahasan
serta situasi dan kondisi di tempat tugas.
1. Pelatih/Fasilitator membagi menjadi 5 kelompok diskusi

9
2. Pelatih/Fasilitator membagi lembar studi kasus sesuai dengan materi
pembelajaran yang telah disampaikan dan menyampaikan petunjuk studi
kasus.
3. Pelatih/Fasilitator menugaskan peserta untuk mengerjakan studi kasus.
4. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk presentasi hasil diskusi kelompok.
5. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk mengemukakan pendapat dan
mengajukan pertanyaan terhadap presentasi kelompok lain.
6. Pelatih/Fasilitator menyampaikan klarifikasinya.
Langkah 5: Rangkuman
1. Pelatih/Fasilitator melakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan
sesuai pokok bahasan
2. Kemudian Pelatih/Fasilitator membuat rangkuman bersama-sama peserta
tentang materi Penemuan Pasien TB, merangkum hasil pembahasan, dan
memberikan penekanan pada hal-hal yang penting.
3. Pelatih/Fasilitator membuat kesimpulan materi pembelajaran.

10
VII. URAIAN MATERI

– WHO tahun 2016, ditingkat global diperkirakan 10,4 juta kasus TB baru
dan 1,8 juta kematian/tahun.
– Hasil Survei Prevalensi Tuberkulosis Nasional (SPTN) 2013-2014
menunjukkan estimasi prevalensi TB 660/100.000. Estimasi/ perkiraan
ini 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka estimasi prevalensi
sebelumnya. Angka ini setara dengan 1,6 juta kasus TB, sekitar 1 juta
kasus baru setiap tahunnya. Berdasarkan angka temuan kasus TB
sebesar 327.103 pada tahun 2013, diperkirakan 670.000 kasus TB per
tahun tidak terlaporkan di Indonesia.
– Riskesdas, 2013 bahwa terdapat 25% dari kasus gangguan pernafasan
dari semua golongan umur yang berkunjung ke Faskes

I. Strategi penemuan terduga TB.


Strategi penemuan pasien TB dapat dilakukan secara pasif, intensif, aktif,
dan masif. Upaya penemuan pasien TB harus didukung dengan kegiatan
promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara
dini. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Kesehatan no. 67/ 2016 tentang Penanggulangan TB yang mengatur strategi
penemuan terduga dan pasien TB.
1. Penemuan pasien TB secara pasif-intensif
Kegiatan penemuan yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan dengan
memperkuat jejaring layanan TB melalui Public-Private Mix (PPM) dan
memperkuat kolaborasi layanan.
Jejaring layanan
Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan PPM. Penemuan pasien
TB di fasyankes dilakukan melalui penguatan jejaring layanan antar
fasyankes yang memberikan layanan diagnosis TB, untuk
menghindari terjadinya miss-opportunity yang disebabkan
keterbatasan sarana diagnosis yang dimiliki oleh fasyankes yang
kontak pertama dengan pasien TB. Dalam kegiatan ini fasyankes
yang tidak memiliki alat TCM (Tes Cepat Molekuler) akan merujuk
pemeriksaan ke fasyankes yang memiliki alat TCM.
Kolaborasi layanan
Berupa kegiatan integrasi dan kolaborasi penemuan pasien TB ke
dalam layanan kesehatan lain yang tersedia di fasyankes, misalnya di
poliklinik umum, unit layanan HIV, DM (Diabetes Mellitus), Gizi,
Lansia, klinik berhenti merokok, klinik KIA dan ANC. Secara
manajemen layanan, penemuan pasien TB juga harus diintegrasikan

11
kedalam strategi atau sistem manajemen kesehatan yang diterapkan
di fasyankes misalnya: Pendekatan Praktis Kesehatan Paru/ PPKP
(PAL = Practical Approach to Lung health), Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS).
Penjaringan terduga TB di faskes dapat juga dilakukan melalui
penapisan batuk oleh petugas yang meregistrasi pasien atau perawat
yang memberi layanan pada pasien. Upaya penemuan pasien TB
harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua
terduga TB dapat ditemukan secara dini.

2. Penemuan pasien TB secara aktif dan/atau masif berbasis keluarga


dan masyarakat,
Berupa kegiatan-kegiatan penemuan terduga/ pasien TB yang dilakukan
di luar fasyankes. Kegiatan ini bisa melibatkan secara aktif semua
potensi masyarakat yang ada antara lain: Kader kesehatan, kader
posyandu, pos TB desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Kegiatan
ini dapat berupa:
1) Investigasi kontak
Dilakukan pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak erat dengan
pasien TB. Kontak erat adalah orang yang tinggal serumah (kontak
serumah) maupun orang yang berada di ruangan yang ada pasien TB
dewasa aktif (index case) sekurang-kurangnya 8 jam sehari minimal
satu bulan berturutan. Prioritas investigasi kontak dilakukan pada
orang-orang dengan risiko TB seperti anak usia <5 tahun, orang
dengan gangguan sistem imunitas, malnutrisi, lansia, wanita hamil,
perokok dan mantan penderita TB. Investigasi kontak pada pasien TB
anak yang ditemukan bertujuan untuk mencari sumber penularan.
2) Penemuan di tempat khusus:
Merupakan kegiatan penemuan aktif yang dilakukan di lingkungan
yang mudah terjadi penularan TB yaitu Lapas/Rutan, RS Jiwa, tempat
kerja, asrama, pondok pesantren, sekolah, panti jompo, panti yatim
piatu.. Kegiatan penemuan aktif di tempat khusus dapat dilakukan
dengan skrining/ pentapisan masal tahunan, skrining/ pentapisan
kesehatan warga baru, skrining/ pentapisan kontak dan pemantauan
batuk secara rutin

12
3) Penemuan di populasi berisiko:
Kegiatan penemuan aktif yang dilakukan pada tempat yang memiliki
akses terbatas ke layanan kesehatan, misalnya: tempat
penampungan pengungsi, daerah kumuh dan DTPK (Daerah
Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan).
4) Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat:
Dilaksanakan secara rutin oleh anggota keluarga maupun kader
kesehatan yang melakukan pengawasan batuk terhadap orang yang
tinggal di lingkungannya dan menyarankan orang dengan batuk untuk
memeriksakan diri ke fasyankes terdekat. Kegiatan pemantuan batuk
ini dapat diintegrasikan pada kegiatan kader kesehatan yang sudah
rutin berjalan misalnya kegiatan ketuk pintu kader kesehatan,
kegiatan jumantik, kader posyandu dan kegiatan upaya kesehatan
berbasis masyarakat (UKBM) lain.
5) Penemuan aktif berkala:
Dilakukan oleh FKTP Puskesmas di wilayah yang teridentifikasi
sebagai daerah kantung TB, yaitu RT yang berdasarkan kegiatan
PWS (Pengawasan Wilayah Setempat) dan analisis data TB memiliki
jumlah pasien TB di >3 orang. Penemuan aktif berkala dilakukan
dengan kegiatan skrining aktif setiap 6 bulan sekali sampai tidak
ditemukan kasus TB pada kegiatan penemuan aktif berkala 2 kali
berturut-turut.
6) Skrining masal
Kegiatan penemuan aktif yang dilaksanakan sekali setahun untuk
meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah yang penemuan
kasusnya masih sangat rendah. Puskesmas bekerja sama dengan
aparat desa/kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat
melakukan skrining gejala TB secara masif di masyarakat dan
membawanya ke layanan kesehatan luar gedung.

A. Definisi kasus
Definisi kasus TB didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologis TB.
Kepada semua terduga TB dewasa wajib dilakukan pemeriksaan
bakteriologis TB terlebih dahulu. Sesuai dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis maka definisi pasien TB terdiri dari dua, yaitu:

13
1. Pasien TB terkonfirmasi/ dibuktikan secara Bakteriologis
Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya (sputum/ dahak dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung, TCM (Tes Cepat Mikroskopi) TB, atau biakan.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1) Pasien TB paru BTA positif
2) Pasien TB paru hasil biakan M.tuberculosis (M.tb) positif
3) Pasien TB paru hasil tes cepat M.tuberculosis (M.tb) positif
4) Pasien TB Ekstra paru dibuktikan/ terkonfirmasi secara bakteriologis,
baik dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan
yang terkena.
5) TB anak yang didiagnosis/ terdiagnosis dengan pemeriksaan
bakteriologis.
Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut di atas harus
dicatat dan dilaporkan tanpa memandang apakah pengobatan
TB sudah dimulai atau belum.

2. Pasien TB didiagnosis/ terdiagnosis secara Klinis


Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria didiagnosis/ terdiagnosis
secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh
dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1) Pasien TB paru BTA negatif/ tes cepat M.tb negatif dengan hasil
pemeriksaan foto toraks mendukung TB.
2) Pasien TB paru BTA negatif/ tes cepat M.tb negatif dengan tidak ada
perbaikan klinis setelah diberikan antibiotika non OAT, dan
mempunyai faktor risiko TB
3) Pasien TB Ekstra paru yang didiagnosis/ terdiagnosis secara klinis
maupun laboratoris dan histopatologis tanpa ada konfirmasi
bakteriologis.
4) TB anak yang didiagnosis/ terdiagnosis dengan sistim skoring.
Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian
dibuktikan secara/ terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum
maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai
pasien TB dikonfirmasi secara/ terkonfirmasi bakteriologis.

14
Pasien yang mendapatkan pengobatan pencegahan TB per definisi/
tidak termasuk definisi kasus TB sehingga tidak dilaporkan dalam
laporan penemuan kasus TB.

B. Penegakan diagnosis TB
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan
klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Identifikasi Terduga TB
Petugas kesehatan menjaring terduga TB dengan melakukan skrining
gejala maupun dengan melihat hasil foto toraks pasien yang
bersangkutan.
Skrining Gejala:
Identifikasi terduga TB dilakukan berdasarkan keluhan gejala dan tanda
TB yang disampaikan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan
tanda TB yang meliputi:
 Gejala utama: batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan
gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama
2 minggu atau lebih.
 Gejala tambahan: dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas
dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat pada
malam hari walaupun tanpa kegiatan, demam meriang yang berulang
lebih dari sebulan.
Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker paru, dan lain-lain.

Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi maka setiap


orang yang datang ke Faskes dengan gejala tersebut diatas dianggap
sebagai terduga pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung. Selain identifikasi pada orang dengan
gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pula pemeriksaan pada orang
dengan faktor risiko TB, seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal di
daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang
yang bekerja dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan
infeksi paru. Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium

15
TB untuk pasien yang memiliki faktor risiko dan memiliki gejala tambahan
meskipun tanpa batuk berdahak >2 minggu.

Skrining/ pentapisan secara Radiologis:


Identifikasi terduga TB juga bisa diperoleh dari hasil evaluasi
pemeriksaan foto toraks. Semua kelainan yang tidak diketahui
penyebabnya yang mendukung ke arah TB harus di evaluasi sebagai
penyakit TB. Skrining radiologis dapat dilakukan terhadap foto toraks
yang diperoleh dari/ saat proses penegakan diagnosis TB maupun pada
proses penegakan diagnosis penyakit yang lain, juga bisa dilakukan pada
hasil foto toraks pada pemeriksaan kesehatan rutin umum (general
check-up) dan pemeriksaan kesehatan khusus. Pasien yang
teridentifikasi/ didentifikasi sebagai terduga TB baik dari skrining/
pentapisan gejala maupun skrining/ pentapisan radiologis harus di
evaluasi untuk menegakkan diagnosis TB secara bakteriologis maupun
klinis.

a. Identifikasi Terduga TB Anak


Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau
sesuai organ terkait. Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai
adalah batuk persisten, berat badan turun atau gagal tumbuh, demam
lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala-gejala tersebut sering dianggap
tidak khas karena juga dijumpai pada penyakit lain. Namun demikian,
sebenarnya gejala TB bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari 2
minggu) walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat (misalnya
antibiotika atau anti malaria untuk demam, antibiotika atau obat asma
untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah
berat badan).
Gejala sistemik/umum TB pada anak sebagai berikut:

16
1) Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau
terjadi gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan
upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan.
2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang
jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-
lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan
merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai
dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
3) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang
adekuat.

17
b. Identifikasi Terduga TB Resistan OAT (TB-RO)
Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan
terhadap OAT, yaitu semua pasien yang mempunyai gejala TB yang/
dan memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini:
1) Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2.
2) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3
bulan pengobatan.
3) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak
standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua
paling sedikit selama 1 bulan.
4) Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
5) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2
bulan pengobatan.
6) Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT
kategori 1 dan kategori 2.
7) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/
default).
8) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien
TB- RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di
Lapas/Rutan, hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.
9) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis
maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan
diagnosis awal tidak menggunakan TCM TB).

Pasien dengan risiko rendah TB-RO


Selain 9 kriteria di atas, kasus TB-RO dapat juga dijumpai pada kasus TB
baru, sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan penegakan diagnosis
dengan TCM TB jika fasilitas memungkinkan. Pada kelompok ini, jika
hasil pemeriksaan tes cepat memberikan hasil TB RR, maka pemeriksaan
TCM TB perlu dilakukan sekali lagi untuk memastikan diagnosisnya.

c. Identifikasi Terduga TB Ekstraparu


Seseorang yang menderita TB ekstra paru mungkin mempunyai
keluhan/gejala terkait dengan organ yang terkena, misalnya:

18
 Pembesaran pada getah bening yang kadang juga mengeluarkan
nanah
 Nyeri dan pembengkakan sendi yang terkena TB

 Sakit kepala, demam, kaku kuduk dan gangguan kesadaran


apabila selaput otak atau otak terkena TB.
Pasien TB ekstra paru dapat juga menderita TB paru, sehingga tetap
perlu dilakukan evaluasi TB paru.
d. Identifikasi TB HIV
Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas (KTIP) untuk pasien TB
dilakukan pada daerah dengan tingkat epidemi HIV rendah atau
terkonsentrasi.

Dasar pertimbangan tes HIV adalah mutlak mengingat adanya infeksi


ganda TB HIV, utamanya pada orang yang mempunyai perilaku berisiko
dan pasien yang mempunyai tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, untuk
mengetahui status HIV mereka.
Untuk membantu pasien menghadapi berbagai hambatan dalam
menjalani tes HIV, maka perlu empati dan dukungan petugas.
Pada dasarnya petugas tahu tentang manfaat tes HIV, namun kadang
kadang tidak cukup peka terhadap risiko yang mungkin terjadi pada
seseorang bila hasil tes positif.
Dalam menerapkan KTIP sebagai tes diagnostik atau penawaran tes
secara rutin, informasi pra-tes diberikan tanpa sesi edukasi dan konseling
yang lengkap, namun cukup untuk menyakinkan pasien untuk
memberikan persetujuan. Pada pasien tertentu atau pasangan dari
pasien mungkin memerlukan konseling tambahan yang lebih lengkap dan
untuk itu pasien dapat dirujuk ke konselor. Persyaratan penting dalam
menerapkan KTIP adalah konseling pasca-tes dan rujukan ke layanan
perawatan, dukungan dan pengobatan bagi pasienTB yang hasil testnya
HIV positif.

Sesuai dengan kondisi setempat, informasi pra-tes dapat diberikan


secara individual atau kelompok. Persetujuan untuk menjalani tes HIV
(informed consent) harus selalu diberikan secara individual, disaksikan
oleh petugas.

Dengan pendekatan KTIP, setiap pertemuan pasien dengan petugas


dianggap sebagai:

19
 Kesempatan bagi seseorang yang belum mengetahui status HIV-nya.
 Kesempatan diagnosa dan pengobatan sedini mungkin dan
mengurangi penularan ke orang lain.
 Kesempatan tes ulang bagi seseorang dengan hasil tes negatif tetapi
masih mempunyai risiko tertular HIV.
 Kesempatan bagi seseorang yang sedang merencanakan hidup
berkeluarga atau mempunyai anak.

e. Identifikasi TB pada pasien Ko-morbid


Infeksi TB mudah berkembang menjadi penyakit pada pasien dengan
daya tahan tubuh yang terganggu. HIV dan Diabetes Mellitus (DM) adalah
penyakit yang sudah diketahui berhubungan erat dengan TB. Oleh karena
itu, setiap pasien dengan HIV positif (ODHA) dan penyandang Diabetes
Mellitus (DM) harus dievaluasi untuk TB meskipun belum ada gejala.

1) Penapisan TB pada penyandang DM

Pada penyandang DM, risiko berkembangnya penyakit TB meningkat


hingga 3 kali lipat. Risiko kegagalan pengobatan, kematian dan
kekambuhan TB juga meningkat pada penyandang DM. Kondisi DM juga
dihubungkan dengan peningkatan terjadinya resistansi OAT. Oleh karena
itu, penapisan TB pada penyandang DM dilakukan dengan anamnesis
gejala dan pemeriksaan foto toraks. Jika ditemukan gejala ATAU kelainan
pada foto toraks yang mengarah ke diagnosis TB, maka perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis. Penegakan
diagnosis bakteriologis TB dapat menggunakan TCM. Jika pada
penapisan awal tidak ditemukan penyakit TB, maka penapisan perlu
diulang secara berkala.

2) Penapisan TB pada ODHA

Pada ODHA, gejala klinis seringkali tidak spesifik. Gejala klinis yang
sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang
signifikan (sekitar 10% atau lebih) dan gejala ekstra paru sesuai organ
yang terkena misalnya TB Pleura, TB Perikarditis, TB Milier, TB
meningitis. Pada prinsipnya, untuk mempercepat penegakan diagnosis
TB pada pasien dengan HIV positif maka penegakan diagnosis dilakukan

20
dengan pemeriksaan TCM TB seperti pada Alur Diagnosis TB dan TB
Resistan Obat di Indonesia.

3) Penapisan HIV pada pasien TB

Tes HIV adalah mutlak mengingat adanya infeksi ganda TB HIV,


utamanya pada orang yang mempunyai perilaku berisiko dan
pasien yang mempunyai tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, untuk
mengetahui status HIV mereka. Untuk membantu pasien
menghadapi berbagai hambatan dalam menjalani tes HIV, maka
perlu empati dan dukungan petugas

Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas

untuk pasien TB dilakukan pada daerah dengan tingkat epidemi


HIV rendah atau terkonsentrasi.

2. Jenis Pemeriksaan Laboratorium


1) Pemeriksaan Bakteriologis
1) Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan
diagnosis, juga dapat menentukan potensi penularan dan menilai
keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa
dahak Sewaktu-Pagi (SP) dan Sewaktu-Sewaktu (SS):

2) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat
(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth
Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosis
(M.tb).
Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana laboratorium yang
terpantau mutunya.

21
3) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler dengan metode Xpert
MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis,
namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.

Untuk menjamin hasil pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji


dahak yang berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses
langsung terhadap pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan,
diperlukan sistem transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk
menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap pemeriksaan
tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian
langsung ke laboratorium.

2) Pemeriksaan Penunjang Lainnya


1) Pemeriksaan foto toraks
2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB Ekstra
paru.

3) Pemeriksaan uji kepekaan obat


Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya
resistensi M.tb terhadap OAT.
Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang telah
lulus uji pemantapan mutu/ Quality Assurance (QA), dan
mendapatkan sertifikat nasional maupun internasional.

4) Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.

22
3. Penegakan Diagnosis TB pada Orang Dewasa
a. Prinsip penegakan diagnosis TB:
1) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih
dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan
bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis,
Tes Cepat Molekuler TB dan biakan.
2) Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB,
sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan
dengan pemeriksaan mikroskopis.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat
menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
4) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan
serologis.

b. Alur diagnosis TB dibagi sesuai dengan fasilitas yang tersedia:


1) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan dengan alat Tes
Cepat Molekuler
2) Faskes yang hanya mempunyai pemeriksaan mikroskopis dan
tidak memiliki akses ke tes cepat molekuker.

23
Bagan 1. Alur Diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia
Bagan 1. Algorithme TB dan TB MDR di Indonesia
Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat
erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)

Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau TCM

Tidak memiliki akses untuk TCMTB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopis BTA Pemeriksaan TCM TB


(Sewaktu dan Pagi)

MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg


(- -) (+ +) Sensitive Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
TB Terkonfirmasi TB Terkonfirmasi TB RR Foto Toraks
Bakteriologis Bakteriologis
Foto Terapi
Toraks Antibiotika
Non OAT

Mulai Pemeriksaan Gambaran Tidak


Pengobatan Pengobatan Biakan dan Uji mendukung Mendukung
TB TB
Gambaran Tidak TB Lini 1 TB RO Kepekaan OAT
Mendukung Mendukung Lini 1 dan Lini 2
TB TB

Ada Tidak Ada Perbaikan TB RR TB MDR TB Pre XDR TB XDR


Perbaikan Klinis, ada factor
Klinis risiko TB, dan atas
pertimbangan
dokter Lanjutkan Pengobatan TB RO TB Klinis
Pengobatan TB RO dengan Paduan Baru
TB Klinis Bukan TB
TB Klinis
Pengobatan
TB Lini 1
Cari kemungkinan
Pengobatan
penyebab penyakit lain
TB Lini 1

Keterangan alur:
1) Faskes yang mempunyai Alat Tes Cepat Molekuler (TCM) TB:
a) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan
diagnosis TB pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM.
Pada kondisi dimana pemeriksaan TCM tidak memungkinkan
(misalnya alat TCM melampaui kapasitas pemeriksaan, alat TCM
mengalami kerusakan, dll), penegakan diagnosis TB dilakukan
dengan pemeriksaan mikroskopis.

24
b) Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB-RO dan terduga TB
dengan HIV positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan
penegakan diagnosis TB dengan TCM TB, dengan cara melakukan
rujukan ke layanan Tes Cepat Molekuler terdekat, baik dengan cara
rujukan pasien atau rujukan contoh uji.
c) Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM
sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk
diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan sementara dan akan
diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil indeterminate, pada
hasil Rif Resistan pada terduga TB yang bukan kriteria terduga TB-
RO, pada hasil Rif Resistan untuk selanjutnya dahak dikirim ke
Laboratorium LPA untuk pemeriksaan uji kepekaan Lini-2 dengan
metode cepat)
d) Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF terdiri
atas cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF), jaringan biopsi,
bilasan lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan lambung (gastric
aspirate).
e) Pasien dengan hasil MTb Resistan Rifampisin tetapi bukan berasal
dari kriteria terduga TB-RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang.
Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM yang
terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya.
f) Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika
hasil tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan
uji kepekaan.
g) Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua pasien
TB RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1
dan lini 2 keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan
pengobatan TB MDR. Bila ada tambahan resistensi terhadap OAT
lainnya, pengobatan harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan
OAT.
h) Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (Line Probe
Assay) Lini-2 atau dengan metode konvensional
i) Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar TB
pre XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.
j) Pasien dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan pemeriksaan foto
toraks. Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas
pertimbangan dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB

25
terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks tidak mendukung TB
kemungkinan bukan TB, dicari kemungkinan penyebab lain.
Faskes yang tidak mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM)
TB
a) Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses
TCM, penegakan diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop.
b) Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2 (dua)
dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak
Sewaktu-Sewaktu atau Sewaktu-Pagi.
c) BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak menunjukkan
hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+)
pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan
sebagai pasien dengan BTA (+).
d) BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA
negatif. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan
hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan
foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.
e) Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak
memilki akses rujukan (radiologi/ TCM/ biakan) maka dilakukan
pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon)
terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah
pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan
faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis.
Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain:
(1) Terbukti ada kontak dengan pasien TB
(2) Ada penyakit komorbid: HIV, DM
(3) Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat
penampungan pengungsi, daerah kumuh, dll

4. Diagnosis TB Anak
Pada anak yang teridentifikasi sebagai terduga TB, maka alur penegakan
diagnosis dapat dilihat pada bagan berikut:

26
Bagan 2. Alur diagnosis TB Anak

Anak dengan satu atau lebih gejala khas TB:


Batuk ≥ 2 minggu
Demam ≥ 2 minggu
BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya
Malaise ≥ 2 minggu
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat
 

Pemeriksaan mikroskopis/Tes Cepat


Molekuler (TCM) TB

Positif Negatif Contoh uji tidak diperoleh

Ada akses foto rontgen toraks Tidak ada akses foto rontgen
dan/atau uji tuberkulin*) toraks dan uji tuberkulin

Skoring
sistem

Skor Skor <


≥6 6

Uji tuberkulin Uji tuberkulin


(+) dan/atau (-) dan Tidak
ada kontak TB ada kontak TB
paru**) paru**)
TB anak
   
terkonfirm
asi Ada Tidak ada/tidak
TB anak
bakteriolo kontak jelas kontak
klinis
gis TB pasien TB
paru**) paru**)

Observasi gejala selama 2 minggu


Terapi OAT***)

Menetap Menghilan
g

Bukan TB

Keterangan:
*) Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum
**) Kontak TB Paru Dewasa dan Kontak TB Paru Anak terkonfirmasi bakteriologis
***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak merespon baik dengan pengobatan adekuat,
evaluasi ulang diagnosis TB dan adanya komorbiditas atau rujuk.

27
Tabel 1. Skoring sistem TB Anak
Parameter 0 1 2 3 Skor
KontakTB Tidak - Laporan BTA(+)
jelas keluarga, BTA
(-)/BTA tidak
Uji tuberculin Negatif - - Positif (≥10 mm
(Mantoux) atau ≥5 mm pada
imunokompromais)
Berat Badan/ - BB/TB<90% Klinis gizi buruk -
Keadaan Gizi atau atau
BB/U<80% BB/TB<70%
atau BB/U<60%
Demam yang - ≥2 minggu - -
tidak diketahui
Penyebabnya
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran - ≥1 cm, lebih - -
kelenjar dari 1
limfekolli, aksila, KGB,tidak
inguinal
Pembengkakan - nyeri
Ada - -
tulang/sendi pembengkaka
panggul, lutut, n
Foto toraks Normal/ Gambaran - -
kelainan sugestif
tidak (mendukung)
jelas TB
Skor Total
Penjelasan:
a. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau tes cepat TB) tetap merupakan
pemeriksaan utama untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya
dapat dilakukan untuk memperoleh spesimen dahak, di antaranya induksi
sputum. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan 2 kali, dan dinyatakan positif jika
satu spesimen diperiksa memberikan hasil positif.
b. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala
namun tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap,
maka anak dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi tertentu di
mana rujukan tidak memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis untuk
menentukan diagnosis TB anak.

28
c. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun
kontak erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dan sebagainya.
d. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain
misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resistan
obat maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas
tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan
klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada
saat diagnosis.
e. Selain pada anak yang datang ke faskes dengan gejala atau tanda TB, evaluasi
TB juga harus dilakukan pada setiap anak yang berkontak dengan pasien TB.
Investigasi kontak pada anak dilakukan sesuai alur berikut:

29
Bagan 3. Alur Investigasi Kontak (IK) pada Anak yang berkontak dengan
pasien TB sensitif obat

Anak berkontak
dengan pasien TB sensitif OAT

gejala TB

Tidak Ada

Umur > 5 thn Umur < 5 thn


dan HIV (-) atau HIV (+)

Tidak perlu PP INH


PP INH

Follow up rutin

Timbul gejala atau Lihat alur


tanda TB YA diagnosis TB
pada Anak

TIDAK

Observasi Lengkapi pemberian INH


selama 6 bulan

Pada anak yang berkontak dengan pasien TB-RO, evaluasi dilakukan oleh
spesialis anak. Jika kontak bergejala, maka pemeriksaan contoh uji dilakukan
dengan pemeriksaan TCM.
Semua kontak anak yang tidak menunjukkan gejala TB, baik yang mendapatkan
maupun yang tidak mendapatkan pengobatan pencegahan, tetap harus diobservasi
selama 2 tahun.

30
5. Diagnosis TB ekstra paru:
Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji
yang diambil dari organ tubuh yang terkena. Dilakukan pemeriksaan
bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala saluran nafas
yang sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.
Pemeriksaan tes cepat dengan Tes Cepat Molekuler TB pada beberapa
kasus curiga TB Ekstra paru dilakukan dengan contoh uji cairan
serebrospinal pada kecurigaan TB meningitis, dan contoh uji kelenjar
getah bening berupa biopsi jaringan langsung dan biopsi menggunakan
jarum halus (FNAB/Fine Neddle Aspirate Biopsy) dan jaringan (tissue)
pada pasien dengan kecurigaan TB kelenjar atau TB jaringan lainnya.

6. Diagnosis TB Resistan OAT


Diagnosis TB-RO ditegakkan berdasarkan uji kepekaan M. Tuberculosis
dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu pemeriksaan
molekuler dan konvensional. Pemeriksaan molekuler yang tersedia saat
ini adalah Tes Cepat Molekuler TB (TCM) dan Line Probe Assay (LPA).
Sedangkan metode konvensional yang digunakan adalah Lowenstein
Jensen (LJ) dan Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT).
Penegakan diagnosis untuk TB-RO di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) dilakukan oleh dokter terlatih pemeriksaan TCM TB. Jika
FKTP tidak memiliki fasilitas TCM TB, maka pemeriksaan dilakukan oleh
laboratorium fasyankes rujukan yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi dan Dinas Kesehatan Kab/Kota. Selain kriteria terduga TB-RO,
pasien TB-RO dapat terdiagnosis dari terduga TB biasa yang
terkonfirmasi TB-RO dari hasil pemeriksaan bakteriologis. Oleh sebab itu,
maka ketersediaan layanan TB-RO di wilayah yang sudah memiliki akses
ke pemeriksaan TCM sangatlah penting. Khusus pada anak yang
berkontak erat dengan pasien TB-RO, penegakan diagnosis TB-RO dapat
dilakukan secara empiris apabila konfirmasi bakteriologis resistansi OAT
sulit untuk dilaksanakan.

31
Pada setiap pasien yang terkonfirmasi sebagai pasien TB-RO perlu
pemeriksaan:
1) Second Line–LPA (SL-LPA) untuk mendeteksi resistansi terhadap
fluorokinolon dan obat injeksi lini kedua sebagai dasar menentukan
pengobatan TB-RO dengan paduan standar jangka pendek.
Biakan dan uji kepekaan menggunakan paket pemeriksaan uji
kepekaan (Standardized DST Package/SDP) yang mendeteksi
kepekaan terhadap OAT lini pertama dan kedua, yaitu: Isoniazid,
Kanamisin, Kapreomisin, Ofloksasin dan Moksifloksasin.
Catatan:
Petugas laboratorium FKTP yang memiliki alat TCM harus menyimpan salah satu
dari 2 contoh uji, sehingga apabila hasil pemeriksaan resistan rifampisin maka
contoh uji dapat dikirim ke fasyankes yang mampu melakukan pemeriksaan SL-
LPA tanpa harus mengumpulkan contoh uji baru.

7. Diagnosis pada pasien dengan Ko-Morbid


Penegakan diagnosis TB pada ODHA maupun DM sama dengan
diagnosis TB tanpa ko-morbid, mengikuti Alur Diagnosis TB dan TB RO di
Indonesia. Untuk mengetahui komorbiditas dan memberikan tatalaksana
yang sesuai, maka penapisan TB dan HIV juga harus dilakukan pada
setiap pasien yang terdiagnosis TB.

C. Pengelolaan Contoh Uji untuk Pemeriksaan Laboratorium


1. Contoh uji Dahak
2) Cara Pengumpulan Dahak.
Untuk menghindari risiko penularan, pengambilan dahak harus
dilakukan di tempat terbuka, terkena sinar matahari langsung dan jauh
dari risiko menulari pihak lain. Jika keadaan tidak memungkinkan,
gunakanlah ruang terpisah yang mempunyai ventilasi yang baik dan
sinar matahari langsung. Dianjurkan setelah pengumpulan/
pengambilan dahak, terduga dan petugas segera mencuci tangan
dengan sabun dan air.

32
Pengumpulan dahak dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
1) Beri label pada dinding pot yang memuat nomor identitas sediaan
dahak (sesuai TB.06);
2) Berikan pot dahak pada terduga;
3) Dampingi terduga/pasien sewaktu mengeluarkan dahak (dengan
memperhatikan arah angin);
4) Terduga membuka tutup pot dan mendekatkan pot ke bibirnya dan
membatukkan dahak kedalam pot, kemudian menutup pot dengan
erat;
5) Petugas menilai kualitas dan kuantitas dahak yang didapat;
6) Petugas dan terduga/pasien harus cuci tangan dengan sabun dan
air.

Dahak dikumpulkan/ditampung dalam pot dahak yang transparan,


bermulut lebar, berpenampang 5 - 6 cm, tutup berulir, tidak mudah
pecah dan bocor. Pot ini harus selalu tersedia di Fasilitas Kesehatan.
Diagnosis TB ditegakkan dengan pemeriksaan 2 spesimen dahak
Sewaktu Pagi (SP)/Sewaktu Sewaktu (SS). Idealnya spesimen dahak
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan, namun apabila
tidak memungkinkan maka dapat dikumpulkan 2 spesimen dahak pada
hari yang sama.
Catatan:
1) Faskes yang belum memiliki sarana pemeriksaan dahak SPS agar tidak
menunda penegakan diagnosis sesuai dengan ketentuan strategi DOTS.
Misalnya bagi terduga / pasien TB yang mendapatkan pelayanan di DPS /
RS / Klinik swasta.
2) Hasil pemeriksaan dahak sebaiknya sudah diperoleh dalam waktu kurang
dari 7 hari agar penegakan diagnosis TB tidak tertunda.
3) Kasus TB Ekstra paru atau seorang kontak erat pasien TB Paru BTA
positip yang mempunyai gejala batuk harus diperiksa dahaknya tanpa
menghiraukan lamanya waktu mempunyai gejala batuk tersebut.

Pelaksanaan Pengumpulan Contoh Uji Dahak SP:


– S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat terduga TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, terduga dibekali
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak hari kedua.

33
– P (Pagi): dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua,
setelah bangun tidur dan gosok gigi, Pot kemudian dibawa dan
diserahkan sendiri kepada petugas di Fasilitas Kesehatan.

Pelaksanaan Pengumpulan Contoh Uji Dahak SS:


 S (sewaktu) pertama: dahak dikumpulkan pada saat terduga TB
datang berkunjung pertama kali atau pada pagi hari.
 S (sewaktu) kedua: dahak dikumpulkan selang 1 (satu) jam
setelah pengumpulan dahak sewaktu pertama, lalu diserahkan
kepada petugas di Fasilitas Kesehatan

Menghindari risiko penularan, pengambilan dahak dilakukan di tempat


terbuka, terkena sinar matahari langsung dan jauh dari orang lain.
Jika keadaan tidak memungkinkan, gunakanlah ruang terpisah yang
mempunyai ventilasi yang baik dan sinar matahari langsung.
Dianjurkan setelah pengumpulan/pengambilan dahak, terduga dan
petugas segera mencuci tangan dengan sabun dan air.

Untuk mendapatkan kulitas dahak yang baik maka perlu diperhatikan


hal-hal dibawah ini:
1) Petugas kesehatan harus memberi penjelasan mengenai
pentingnya pemeriksaan dahak, baik pemeriksaan dahak untuk
diagnosis maupun pemeriksaan dahak ulang;
2) Petugas kesehatan memberi penjelasan tentang cara batuk yang
benar untuk mendapatkan dahak yang kental dan purulen;
3) Petugas memeriksa kualitas dan kuantitas dahak. Dahak yang
baik untuk pemeriksaan adalah kental berwarna kuning kehijau-
hijauan (mukopurulen) dengan volume 3-5 ml. Apabila mutu dahak
tidak memenuhi syarat (air liur), petugas harus meminta terduga
untuk mengulang mengeluarkan dahak;
4) Jika tidak ada dahak yang keluar, pot dahak dianggap sudah
terpakai dan harus dimusnahkan sesuai prosedur tetap keamanan
dan keselamatan kerja di laboratorium TB.

34
Apabila terduga/pasien sulit mengeluarkan dahak, dapat dilakukan
hal-hal sebagai berikut:
i. Di rumah: malam hari sebelum tidur menelan tablet gliseril
guayakolat 200 mg;
ii. Di Fasilitas Kesehatan: minum satu gelas teh manis sebelum
melakukan olah raga ringan (lari-lari kecil), kemudian menarik
nafas yang dalam beberapa kali, kemudian menahan nafas
beberapa saat, lalu batukkan dengan kuat untuk
mengeluarkan riak/dahak. Waspada terhadap kemungkinan
terjadinya Pneumothoraks.
b. Pemberian Nomor Identitas Sediaan.
1) Kaca sediaan (end-frosted) dipegang pada kedua sisinya
untuk menghindari sidik jari pada badan kaca sediaan.
2) Setiap kaca sediaan diberi nomor identitas sediaan
sesuai dengan identitas pada pot dahak dengan
menggunakan pinsil 2B.
3) Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk
mencegah kemungkinan tertukarnya sediaan, baik yang
berasal dari Fasilitas Kesehatan itu sendiri maupun dari
Fasilitas Kesehatan lain
4) Nomor identitas sediaan terdiri dari 3 kelompok angka
dan 1 huruf, sebagai berikut:
(1) Kelompok angka pertama terdiri dari 2 angka, misalnya
02, yang merupakan nomor urut kabupaten/kota.
(2) Kelompok angka kedua juga terdiri dari 5 angka,
misalnya 015 00, yang merupakan nomor urut Fasilitas
Kesehatan dan nomor urut poli/klinik swasta/Dokter
Praktik Mandiri. Tiga angka pertama merupakan nomor
kode Fasilitas Kesehatan, dua angka berikutnya
merupakan nomor kode klinik atau Dokter Praktik Mandiri
(DPM) asal pasien TB. Bila sumber pasien TB hanya
satu maka ditulis 00.
(3) Kelompok angka ketiga terdiri dari 4 angka, misalnya
0117, yang merupakan nomor urut sediaan. Nomor urut
sediaan dimulai dengan nomor 001 setiap awal tahun.
(4) Huruf A dan B, A menunjukkan dahak sewaktu, B untuk
dahak pagi.

35
Contoh nomor identitas sediaan dahak sewaktu:
02/01500/0117, 02/01500/0117A.
Kode huruf pada sediaan dahak adalah sebagai berikut:
a) Diagnosis : A, B
f) Follow up
g) Tahap awal : D, E
h) Bulan kelima: F, G
i) AP : H, I
j) Bulan ke 3 : J, K
2. Contoh uji non-dahak
Pemeriksaan bakteriologis TB dapat dilakukan dengan contoh uji non-
dahak, terutama untuk konfirmasi bakteriologis pada kasus TB ekstra
paru. Pemeriksaan bakteriologis TB yang direkomendasikan untuk kasus
TB ekstra paru adalah pemeriksaan TCM.
Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan TCM terdiri atas
cairan serebrospinal, contoh uji dari kelenjar getah bening melalui
pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/ BAJAH (Fine Needle
Aspiration Biopsy/FNAB), atau jaringan lain.
Pemeriksaan laboratorium untuk TB ekstra paru dilakukan di FKRTL yang
memiliki kemampuan, namun demikian petugas kesehatan di FKTP tetap
berkewajiban untuk melaksanakan rujukan pemeriksaan pasien TB ekstra
paru sehingga tidak terjadi miss-opportunity bagi kasus TB ekstra paru di
FKTP. Petugas FKTP juga berkewajiban untuk melakukan komunikasi
motivasi kepada terduga TB yang memerlukan rujukan.

D. Klasifikasi pasien TB
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi kasus TB tersebut di atas,
pasien TB juga diklasifikasikan menurut lokasi anatomis penyakit, riwayat
pengobatan sebelumnya, status resistensi OAT dan status HIV. Klasifikasi
pasien TB tersebut bertujuan untuk:
1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang akurat
2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk program penanggulangan
TB
4. Analisis kohort hasil pengobatan
5. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat
baik dalam maupun antar kabupaten/kota, provinsi, nasional dan global.

36
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :
a. Tuberkulosis paru :
Adalah TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB
ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
b. Tuberkulosis Ekstra paru:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak
dan tulang.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau
efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB
pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus
diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya
Mycobacterium tuberculosis.
Bila proses TB terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan
dengan organ yang terkena proses TB terberat.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


a. Pasien baru TB:
adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1
bulan (˂ dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB:
adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1
bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
1) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik
karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

37
3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow up. (Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan
pasien setelah putus berobat /default).
4) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. adalah
pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok a) atau b).

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
a. Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosis resistan
terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.
b. Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap
lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosis resistan
terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan
atau tanpa diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus
juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin) secara bersamaan. Apabila hanya
resistan terhadap OAT golongan fluorokuinolon atau OAT lini kedua
jenis suntikan secara tidak bersamaan dikenal sebagai kasus TB pre-
XDR.
e. Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosis resistan
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain
yang terdeteksi menggunakan metode genotip (Tes Cepat Molekuler)
atau metode fenotip (konvensional).

38
4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah
pasien TB dengan:
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,
atau
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
b. Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV
menjadi positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya
sebagai pasien TB dengan HIV positif.
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa
ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil
tes HIV pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya
berdasarkan hasil tes HIV terakhir.

E. Komunikasi Motivasi
Pengobatan pasien TB memakan waktu yang lama, oleh sebab itu
diperlukan suatu upaya serta tekad yang kuat dari pasien dengan dukungan
lingkungan sekitarnya agar dapat menjalani pengobatan sampai sembuh.
Oleh sebab itu diperlukan dorongan bagi pasien agar dapat memotivasi
dirinya untuk membuat keputusan terkait tata laksana pengobatan yang
dijalaninya.
1. Definisi Komunikasi Motivasi (KM)
Metode komunikasi untuk motivasi (KM) adalah salah satu pendekatan
komunikasi untuk perubahan perilaku. Meskipun tidak semua perubahan
perilaku dalam masalah kesehatan dapat diselesaikan dengan
pendekatan KM.
Sebagai model komunikasi, KM bersifat membimbing dan berpusat pada
pasien untuk perubahan perilaku dengan cara membantu pasien
mengatasi sikap mendua dalam membuat keputusan. Perilaku pasien
cenderung berubah apabila memiliki motivasi kuat untuk berubah yang
berasal dari pemikiran mereka sendiri.

39
KM memuat 4 ketrampilan dasar yaitu (Refleksi, Afirmasi, Pertanyaan
Terbuka – Tertutup – Mengarahkan, dan Bertanya – Cerita – Bertanya).
Konsep dasar KM terdiri dari kolaborasi antara petugas kesehatan dan
pasien dalam upaya untuk memunculkan motivasi dalam diri pasien dan
menghargai otonomi pasien.

2. Prinsip umum KM :
a. Menunjukkan empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengenali,
mempersepsi dan merasakan perasaan orang lain. Didalam
menerapkan KM petugas kesehatan menaruh perhatian penuh untuk
memahami pasien dan melihat masalah dari sudut pandang pasien.
Contoh :
Pasien mengatakan : “Saya tidak tahu berbuat apa untuk pengobatan
TB karena saya harus minum obat banyak sekali”.
Empati petugas ditunjukkan dengan mengucapkan: “Kedengarannya
anda kuatir tentang pengobatan anda”
b. Hindari perdebatan
Di dalam praktik sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan,
pasien seringkali membuat keputusan yang menurut petugas kurang
tepat sehingga petugas cenderung mengarahkan ke arah yang
benar.
Dalam penerapan KM sebaiknya petugas menghindari perdebatan
untuk mengubah keputusan pasien karena membuat pasien tidak
nyaman. Petugas sebaiknya memahami dan mengetahui alasan
mengapa pasien mengambil keputusan tersebut, serta bekerja sama
untuk menggali pilihan-pilihan lain yang lebih baik bagi pasien.
Contoh :
Pasien memutuskan untuk berhenti minum obat karena efek samping
obat berupa mual dan pusing. Petugas menjelaskan bahwa efek
samping ini dapat diatasi dengan cara berkonsultasi ke puskesmas
dan mendapatkan obat untuk menanggulangi efek samping tersebut
tanpa harus berhenti meminum obat demi kesembuhan pasien.
c. Memberikan gambaran dua situasi berbeda
Dalam situasi tertentu terkadang pasien tidak dapat mengambil
keputusan terkait dengan masalah kesehatannya. Petugas

40
membimbing pasien untuk memberikan gambaran tentang kondisi
berbeda yang akan terjadi bila pasien mengambil keputusan untuk
berobat atau tidak. Hal ini akan membantu pasien melihat dampak
negatif dan positif dari masalah kesehatannya dan termotivasi untuk
membuat suatu keputusan yang tepat.
Contoh :
Bila pasien menolak memulai pengobatan TB, Petugas dapat
membimbing pasien untuk membayangkan dalam 6 bulan ke depan
apabila pasien meminum obat dan tidak menjalankan pengobatan TB.
Pasien diminta untuk membandingkan kedua hal tersebut.
d. Memampukan pasien dalam membuat keputusan
Melalui tahapan ini petugas kesehatan bukan hanya membantu
pasien dalam meneguhkan motivasi tetapi juga meningkatkan rasa
percaya diri dan kemampuan pasien untuk berubah menjadi lebih
baik.
Contoh :
Pasien memutuskan untuk memulai pengobatan penyakitnya.
Petugas kesehatan mendukung keputusan pasien dan menyampaikan
kepada pasien apa yang bisa dibantu untuk memudahkan pasien
menjalani pengobatan
3. Keterampilan dasar Komunikasi Motivasi
Terdapat 4 ketrampilan kunci komunikasi untuk Motivasi (KM), antara lain:
a. Refleksi – Mengulang pernyataan pasien
Refleksi adalah pernyataan (bukan pertanyaan) yang mengharuskan
petugas kesehatan mendengarkan, mengamati dan menginterpretasi
isyarat verbal dan visual pasien agar sesuai dengan yang dimaksud.
Untuk dapat mengulang pernyataan pasien, petugas harus
mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan pasien.
Keterampilan ini membutuhkan banyak praktik.
Mendengarkan yang baik bukan berarti diam dan hanya
mendengarkan apa yang pasien katakan. Kunci dari mendengarkan
secara aktif adalah bagaimana petugas menanggapi kata-kata pasien.
Oleh karena itu teknik ini kadang disebut juga “empati” atau
“mendengarkan secara aktif”.
Berikut ini hal-hal yang tidak disarankan dan harus dihindari:
− Memberi advis, saran atau solusi.

41
− Persuasi atau mengkuliahi.
− Menceramahi.
− Tidak menyetujui, menghakimi atau mempersalahkan.
− Menyepakati, menyetujui, ataumemberi ungkapan.
− Mempermalukan, mengolok-olok atau memberi julukan.
− Menganalisa.
− Meyakinkan atau memberi simpati.
− Mempertanyakan atau menggali informasi (probing).
Perilaku-perilaku di atas tidak disarankan karena bukan termasuk cara
mendengarkan yang aktif, namun mengalihkan perhatian petugas dari
mendengarkan pasien dan menghambat penggalian diri pasien.
Petugas mengarahkan pasien untuk mendengarkan petugas, seolah-
olah petugas mengerti yang terbaik bagi pasien.
Perilaku-perilaku di atas tidak membantu dalam menggali sikap
ambivalensi (mendua) pasien, namun hanya mencoba memaksa
pasien untuk menyetujui sebuah solusi secara dini. Petugas
kesehatan tidak sungguh-sungguh mendengarkan, dan tidak memberi
kesempatan kepada pasien untuk berbicara.
Inti refleksi adalah menduga maksud perkataan pasien. Petugas harus
mendengarkan kata-kata pasien, dan memahaminya karena bisa
terjadi salah pengertian. Refleksi memungkinkan petugas menduga
maksud perkataan pasien dan menyuarakan dugaan tersebut dalam
bentuk pernyataan.
Dalam refleksi digunakan pernyataan, dan bukan pertanyaan karena
pertanyaan menuntut jawaban dari pasien, yang dapat menimbulkan
sikap membela diri dari sisi pasien. Sedangkan pernyataan tetap
berfokus pada pasien sehingga pasien dapat memberi/tidak memberi
reaksi terhadap refleksi petugas, sesuai keinginan pasien.
Tingkat refleksi berbeda-beda, beberapa diantaranya cukup
sederhana. Terkadang hanya mengulangi satu atau dua kata dari
pernyataan pasien sudah cukup, dengan hanya mengulangi atau
mengulangi pernyataan awal pasien dengan kata-kata yang sedikit
berbeda.
Contoh:
Pasien: “Saya tidak merasa baik hari ini.”
Petugas Kesehatan: “Bapak kurang sehat hari ini”

42
Refleksi sederhana berguna untuk menggerakkan pembicaraan, tapi
cenderung lebih lambat. Anda juga bisa merasa seperti burung beo,
hanya mengulangi segala yang pasien katakan – ini melelahkan
petugas, dan menjengkelkan bagi pasien.
Refleksi kompleks sebaliknya menambah arti atau penekanan
terhadap apa yang dikatakan pasien, dengan membuat dugaan
tentang makna lebih dalam dari pernyataan pasien, atau menduga
apa yang akan mereka katakan selanjutnya.
Contoh:
Pasien : “Saya tahu perlu diperiksa dahak untuk mengetahui saya
sakit TB-RO, tapi saya takut.”
Petugas Kesehatan : “(menduga) Kalau Bapak ternyata hasilnya TB-
RO, Bapak tidak tahu harus berbuat apa.”
Pada percakapan di atas, pasien tidak mengatakan kuatir bila hasil
pemeriksaan dahak positif TB-RO, namun petugas mempunyai cukup
alasan untuk menduga kekuatiran pasien.
Percakapan juga dapat mengarah ke pembicaraan tentang apa yang
menjadi hambatan untuk tes laboratorium. Refleksi ini walaupun
awalnya terasa canggung, namun mempermudah proses komunikasi
dan kesamaan persepsi antara petugas dan pasien. Prinsipnya
adalah untuk tidak menduga yang berlebiihan.
Ada beberapa jenis refleksi kompleks yang dapat digunakan agar
percakapan dengan pasien terus mengalir.
 Parafrase: menyatakan ulang dan menyimpulkan arti dari
pernyataan pasien
 Refleksi perasaan: menekankan aspek emosi dari komunikasi
 Refleksi dua arah: menyampaikan dua sisi dari suatu isu: “Di satu
pihak …, di lain pihak …”
 Merangkum: merefleksikan berbagai pesan yang dibuat
pembicara, merangkumnya menjadi satu
Refleksi tidak lebih panjang dari pernyataan yang direfleksikan –
semakin ringkas semakin baik. Buat satu dugaan apa yang dimaksud
dalam pernyataan pasien, dan tidak berbelit-belit.

43
b. Peneguhan (afirmasi) – Melihat sisi positif
Afirmasi adalah menekankan hal yang positif. Seringkali petugas lebih
fokus mengkoreksi kesalahan pasien sehingga lupa perilaku positif
pasien.
Melakukan afirmasi berarti memberikan dukungan dan semangat
yang berguna sehingga pasien merasa dihargai dan dipercayai oleh
petugas.
Contoh afirmasi sederhana:
“Anda berusaha cukup keras minggu ini!”
“Meskipun anda tidak terlalu berhasil, anda menunjukkan niat untuk
sembuh”
“Terima kasih karena telah kembali sesuai janji – ini menunjukkan
anda memperhatikan kesehatan anda dengan serius!”
Afirmasi sebaiknya tidak dibuat-buat, tulus dan apa adanya.
Afirmasi juga bisa digunakan untuk “mengemas” sikap atau situasi
pasien dengan positif.
Contoh:
“Anda kesal dengan diri anda sendiri karena telah berjanji untuk
minum obat TB/ARV setiap hari. Anda terganggu dengan efek
samping obat yang menyebabkan mual dan muntah-muntah. Anda
tetap berusaha untuk datang minum obat setiap hari ke Puskesmas.
Anda mempunyai kemauan kuat untuk sehat.”
Penting untuk diingat bahwa afirmasi bukan memuji. Memuji bisa
menjadi hambatan berkomunikasi dengan pasien karena
menempatkan petugas dalam posisi menilai pasien dimana petugas
memutuskan perilaku mana yang dipuji dan mana yang dikritisi. Ada
beberapa cara untuk menghindari masalah ini:
• Hindari penggunaan kata “Saya”
• Fokus pada perilaku yang spesifik
• Fokus pada deskripsi, bukan evaluasi
Sebagai catatan, afirmasi biasanya diletakkan di akhir kalimat.
c. Pertanyaan – Terbuka, Tertutup dan Mengarahkan
Pertanyaan diajukan untuk membantu petugas memahami pasien
dengan lebih baik, termasuk pengetahuan, kebutuhan dan kekuatiran
mereka. Namun, petugas terkadang tidak melakukannya dengan baik.
Sering terjadi petugas langsung mengajukan banyak pertanyaan:

44
“Apakah anda selalu memakai masker??”
“Apakah anda teratur minum obat?”
“Apakah anda masih merokok?”
“Apakah anda sudah dites HIV?”
“Apakah keluarga mengetahui anda sakit TB-RO?
Apabila pasien tiba-tiba dihadapkan pada banyak pertanyaan, maka
pasien akan merasa diinterogasi. Pertanyaan yang diajukan dapat
memberikan informasi spesifik, namun menunjukkan posisi petugas
yang lebih superior dan dapat merusak hubungan yang dibangun.
Pertanyaan yang lebih baik: “Efek samping apa yang anda rasakan
setelah minum obat TB?”.
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memberikan kebebasan
pasien untuk menjawab.
Contoh:
“Apa yang membuat anda sulit memakai masker setiap hari?”
“Apa yang membuat anda sulit datang ke Puskesmas setiap hari?”
“Bagaimana supaya keluarga anda tidak tertular?”
Pertanyaan terbuka merupakan keterampilan penting yang
memungkinkan menggali banyak informasi dari pasien. Pertanyaan
terbuka memungkinkan pasien untuk berbagi informasi atau
pengalaman sesuai keinginan mereka. Hal ini menegaskan kembali
hubungan antara petugas dan pasien. Pasien bisa juga berbagi
informasi atau pengalaman yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Pertanyaan terbuka bukan satu-satunya pertanyaan yang tepat.
Kebalikan dari pertanyaan terbuka ialah pertanyaan tertutup – yang
membatasi pilihan pasien dalam merespon, dan/atau menggali
informasi spesifik.
Contoh:
“Apakah anda merokok?”
“Berapa usia anda?”
“Dimana alamat anda?”
Pertanyaan tertutup bisa digunakan untuk melakukan cek kesimpulan
(Contoh: “Apakah saya melupakan sesuatu?”) atau untuk mengajukan
permohonan ijin (Contoh: “Apakah anda ingin tahu lebih jauh tentang
ini?”) atau untuk meminta klarifikasi tentang poin spesifik dimana
pertanyaan terbuka telah gagal memberikan jawaban.

45
Pesan yang ingin disampaikan disini ialah bahwa pertanyaan tertutup
bukan berarti tidak boleh digunakan sama sekali, namun digunakan
sesuai dengan keperluannya.
Tipe pertanyaan yang sebaiknya dihindari ialah “pertanyaan yang
mengarahkan” atau pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban
(retorika):
“Anda menggunakan masker, bukan?”
“Anda tahu bahwa tuberkolosis itu menular, kan?
“Bukankan istri anda berarti bagi anda?”
Pertanyaan-pertanyaan ini selain membatasi kemungkinan jawaban,
namun juga mengarahkan pada jawaban tertentu. Hal ini bukan hanya
menempatkan petugas dalam posisi yang lebih tinggi (menilai hal
yang baik dan hal yang jelek), namun jawaban juga tidak bisa
dipercaya sepenuhnya. Apakah pasien benar mengunakan masker
atau ia menjawab karena petugas menginginkan jawaban demikian?
d. Bertanya-Beritahu-Bertanya (Ask-Tell-Ask) – Memberi Informasi
dan Saran
Ada dua hal penting dalam KM yang perlu diingat:
1) Petugas memberi informasi dan/atau saran berdasarkan ijin
2) Petugas tidak perlu memberikan semua informasi namun sesuai
dengan kebutuhan dan perspektif pasien sehingga pasien dapat
mengambil kesimpulan sendiri.

4. Bertanya (Ask)
Bertanya – Beritahu – Bertanya atau B3 merupakan strategi sederhana
untuk mengukur sejauh mana pemahaman pasien dan memberikan
informasi sesuai kebutuhan. Strategi ini dimulai dengan sebuah
pertanyaan untuk menelusuri pengetahuan dan pengalaman pasien,
minat pasien, dll. Beberapa contoh pertanyaan:
“Ceritakan pada saya apa yang Anda ketahui tentang efek samping dari
pengobatan TB.”
“Menurut Anda apa manfaat terbesar dari memakai masker?”
“Apa yang Anda pikirkan tentang HIV?”
Di sini tujuannya adalah untuk mendapat informasi tentang pengalaman
dan/atau pengetahuan pasien sebelumnya. Hal ini untuk menghindari
petugas memberikan informasi yang sudah diketahui pasien. Selain itu

46
juga bisa mengetahui sejauh mana pemahaman pasien, dan dengan
demikian petugas bisa memberi informasi relevan untuk pasien.
Strategi ini ditujukan untuk membantu petugas agar waktu yang terbatas
dapat difokuskan pada pemberian informasi yang bermanfaat bagi
pasien.
Mendapat persetujuan
Petugas menindaklanjuti pertanyaan di atas dengan pertanyaan berikut,
untuk mendapat persetujuan pasien atas informasi atau saran tambahan
yang akan diberikan, misalnya:
“Apakah Anda berminat untuk mendengar lebih lanjut mengenai TB
Resistan Obat”
“Apakah Anda keberatan kalau saya ceritakan bagaimana orang lain
berhasil melakukannya?”
Langkah ini penting untuk menunjukkan bahwa kita menghormati pasien
dan dapat membuat pasien lebih mendengarkan apa yang petugas
katakan. Apabila hubungan antara petugas dan pasien baik, maka pasien
hampir selalu menyetujui permintaan petugas.
Kadang-kadang pasien memiliki pemahaman yang salah dan petugas
perlu mengkoreksi pemahaman tersebut. Teknik yang dapat digunakan
tanpa menggurui dan tidak mengurangi rasa hormat ialah:
 Pertama, tunjukkan empati kepada pasien bahwa petugas
memahami perasaan mereka.
 Kedua, ceritakan tentang orang lain mengalami hal yang sama.

 Ketiga, ceritakan bahwa orang lain tersebut akhirnya menyadari


bahwa pemikiran tersebut tidak benar.
Contoh :
Petugas: “Ceritakan kepada saya apa yang Ibu tahu tentang melindungi
diri Ibu dari penularan TB ?.”
Pasien: “Saya tahu saya harus menggunakan masker. Tapi mustahil
bagi saya untuk menggunakan masker terus menerus. Mereka merasa
saya sebagai orang aneh dengan memakai masker terus!”
Petugas : “Jadi walaupun Ibu tahu cara untuk tetap aman, Ibu merasa
tidak berdaya untuk melakukan apa-apa. Saya kenal banyak wanita
yang merasakan hal yang sama waktu mereka pertama memakai
masker. Tetapi mereka berusaha dan mereka menemukan cara

47
meyakinkan bahwa masker akan mencegah penularan TB. Apa Ibu mau
mendengar beberapa cara yang sudah berhasil bagi wanita-wanita lain?”
Pasien: “Boleh, Dok!”

5. Memberi tahu (Tell)


Bila pasien anda setuju untuk melanjutkan pembicaraan, langkah
selanjutnya adalah memberi informasi dan/atau saran. Kuncinya adalah
fokus pada apa yang pasien butuhkan atau ingin ia ketahui. Itulah
sebabnya bertanya ialah hal pertama yang sangat penting bagi petugas
untuk dapat memberi informasi dengan jelas. Berikan sedikit informasi,
lalu konfirmasi apakah pasien mengerti atau memiliki pertanyaan.
Perlu diperhatikan bahwa memberi saran dengan 3B (Bertanya - Beritahu
– Bertanya) berfokus pada perubahan dimana ada potensi pasien akan
melawan. Oleh karena itu, memberi saran bukan hal utama dari strategi
KM. KM berfokus menumbuhkan solusi yang datang dari pasien dan
bukan dari petugas. Pada saat petugas perlu memberi saran, ingatlah
beberapa hal ini:
a. Minta persetujuan (seperti bila anda akan memberi informasi)
b. Tekankan pilihan pribadi. Contoh: “Pada akhirnya keputusan ada di
tangan anda. Namun demikian saya bisa menjelaskan beberapa
pilihan …”
c. Tawarkan beragam pilihan sekaligus, jangan satu persatu.
Ingat, petugas dapat memberi informasi (atau saran) tapi petugas
tidak dapat mengharapkan reaksi pasien sesuai keinginan petugas.
Lebih baik bila petugas bertanya untuk mendapatkan persetujuan.

6. Bertanya (Ask)
Langkah ketiga dalam 3B adalah menanyakan lagi kepada pasien untuk
menilai pengertian, interpretasi atau tanggapan mereka terhadap
informasi dan/atau saran yang baru disampaikan. Ini harus dilakukan
secara teratur, tiap kali setelah memberi informasi.
Caranya beragam:
“Jadi, apa artinya ini bagi Anda?”
“Bagaimana perasaan Anda mengenai hal itu?”
“Apa yang ingin anda tanyakan?”
“Ceritakan yang saya baru sampaikan dengan kata-kata Anda sendiri.”

48
Proses ini dapat berupa mendengarkan secara reflektif di mana anda
merefleksikan kembali reaksi pasien yang anda lihat dan dengar.
Tujuannya adalah memberi ruang pada pasien untuk memproses dan
menanggapi informasi yang baru anda sampaikan.

7. Menggabungkan semuanya
Masing-masing keterampilan tidak berfungsi secara terpisah, namun
merupakan bagian perangkat bagi petugas, untuk menggerakkan pasien
ke arah perubahan. Seperti dalam contoh di atas, anda dapat memulai
sebuah sesi dengan peneguhan (“Senang bertemu Anda kembali!”), lalu
bergerak ke pertanyaan terbuka (“Bagaimana dengan perubahan-
perubahan yang kita diskusikan waktu itu?”) setelah itu anda bisa
mendengarkan secara reflektif untuk memandu percakapan dengan
pasien (“Kedengarannya Anda sedikit kewalahan …”) dan 3B untuk
memberi informasi baru (“Maukah Anda mendengar pengalaman orang
lain yang berhasil mengatasi situasi seperti anda?”) lalu merefleksikan
dan merangkum perasaan, ide dan pengalaman pasien sementara terus
meneguhkan contoh-contoh perubahan yang positif. Keterampilan KM
bisa diulangi terus-menerus dalam berbagai kombinasi.

Tabel 2. Keterampilan berkomunikasi dalam KM


Keterampilan Tujuan yang ingin dicapai
1. Merefleksikan apa  Pasien merasa lebih dihormati dan
yang dikatakan diterima serta lebih dimengerti.
pasien (reflection)  Pasien didorong untuk memberikan
informasi tambahan
 Pasien lebih bisa mengutarakan pikiran
dan perasaannya.
 Pasien menjadi lebih sadar akan pikiran
dan perasaannya.
 Petugas bisa meluruskan apabila terjadi
kesalahpahaman pasien tentang perihal
medis.
 Petugas bersikap tidak menghakimi
kepada pasien.
2. Peneguhan  Membantu petugas melibatkan pasien.
(affirmation)  Mengurangi sikap pembelaan diri dari

49
pasien.
 Mendorong keterbukaan pasien
3. Pertanyaan terbuka  Memberikan kesempatan yang lebih
(open question) kepada pasien untuk bercerita tentang
dirinya.
4. Bertanya – Beritahu  Mendapatkan informasi dari pasien
– Bertanya (Ask – tell mengenai sejauh mana pasien
– ask) memahami tentang penyakitnya.
 Petugas dapat memberikan informasi
tambahan kepada pasien tanpa memiliki
kesan untuk “menggurui” pasien.

50
F. Upaya Pengendalian Faktor Risiko
Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis (M.tb). Seorang
pasien TB, khususnya TB paru pada saat dia bicara, batuk dan bersin dapat
mengeluarkan percikan dahak yang mengandung M.tb. Orang-orang di
sekeliling pasien TB tsb dapat terpapar dengan cara menghirup percikan
dahak. Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik
yang mengandung kuman TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan
atas, bronkhus hingga mencapai alveoli.
1. Faktor risiko terjadinya TB
a. Faktor kuman TB.
Pasien TB dengan BTA positif lebih besar risiko menimbulkan
penularan dibandingkan dengan BTA negatif.
Makin tinggi jumlah kuman dalam percikan dahak, makin besar risiko
terjadi penularan.
Makin lama dan makin sering terpapar dengan kuman, makin besar
risiko terjadi penularan.
b. Faktor individu.
Beberapa faktor individu yang dapat meningkatkan risiko menjadi
sakit TB adalah:
 Faktor usia dan jenis kelamin:
Kelompok paling rentan tertular TB adalah kelompok usia dewasa
muda yang juga merupakan kelompok usia produktif.
Menurut hasil survei prevalensi TB, laki-laki lebih banyak terkena
TB dari pada wanita.
 Daya tahan tubuh:
Apabila daya tahan tubuh seseorang menurun oleh karena sebab
apapun, misalnya usia lanjut, ibu hamil, ko-infeksi dengan HIV,
penyandang diabetes mellitus, gizi buruk, keadaan
immunosupresif, bilamana terinfeksi dengan M.tb, lebih mudah
jatuh sakit.
 Perilaku:
– Batuk dan cara membuang dahak pasien TB yang tidak sesuai
etika akan meningkatkan paparan kuman dan risiko penularan.
– Merokok meningkatkan risiko terkena TB paru sebanyak 2,2
kali.

51
– Sikap dan perilaku pasien TB tentang penularan, bahaya, dan
cara pengobatan.
 Status sosial ekonomi:
TB banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.
c. Faktor lingkungan:
Lingkungan perumahan padat dan kumuh akan memudahkan
penularan TB.
Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa cahaya
matahari akan meningkatkan risiko penularan.

2. Upaya Pengendalian Faktor Risiko TB


Pencegahan dan pengendalian risiko bertujuan mengurangi sampai
dengan mengeliminasi penularan dan kejadian sakit TB di masyarakat.
Upaya yang dilakukan adalah:
a. Pengendalian Kuman Penyebab TB
 Mempertahankan cakupan pengobatan dan keberhasilan
pengobatan tetap tinggi
 Melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta (komorbid TB)
yang mempermudah terjangkitnya TB, misalnya HIV, diabetes,
dll.
b. Pengendalian Faktor Risiko Individu
 Membudayakan PHBS atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat,
makan makanan bergizi, dan tidak merokok.
 Membudayakan perilaku etika berbatuk dan cara membuang
dahak bagi pasien TB.
 Meningkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan kualitas
nutrisi bagi populasi terdampak TB.
 Pencegahan bagi populasi rentan melalui vaksinasi dan
pengobatan pencegahan (Materi pencegahan bagi populasi
rentan dibahas lebih lanjut pada modul pengobatan).
c. Pengendalian Faktor Lingkungan
 Mengupayakan lingkungan sehat.
 Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan
dan lingkungannya sesuai persyaratan baku rumah sehat.
d. Pengendalian Intervensi daerah berisiko penularan
 Kelompok khusus maupun masyarakat umum yang berisiko

52
tinggi penularan TB (lapas/rutan, masyarakat pelabuhan, tempat
kerja, institusi pendidikan berasrama, dan tempat lain yang
teridentifikasi berisiko.
 Penemuan aktif dan masif di masyarakat (daerah terpencil,
belum ada program, padat penduduk).
e. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Mencegah penularan TB pada semua orang yang terlibat dalam
pemberian pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian
utama. Semua fasyankes yang memberi layanan TB harus
menerapkan PPI TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi
segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang
dicurigai atau dipastikan menderita TB. Materi PPI TB akan dibahas
lebih lanjut pada modul Manajemen.

G. Pencatatan dan Pelaporan Penemuan Pasien TB


Pencatatan dan pelaporan yang terkait dengan penemuan pasien TB adalah:
1. Daftar Terduga TB (TB.06)
2. Formulir Permohonan Pemeriksaan Bakteriologis TB (TB.05)
3. Register Laboratorium TB untuk Laboratorium Faskes Mikroskopis dan
Tes Cepat Molekuler (TB.04)
4. Register Kontak TB (TB.16)
5. Pelacakan Kontak Anak (TB.15)
Contoh dan cara pengisian formulir dibahas dalam lembar kerja tersendiri.

VIII. REFERENSI
A. Permenkes TB No.67, tahun 2016 tentang Penanggulangan TB
B. Strategi Nasional Pengendalian TB, 2015-2019
C. RAN 2015-2019

IX. LAMPIRAN

53
X. EVALUASI AKHIR MATERI
Kerjakanlah evaluasi dibawah ini. Tujuan evaluasi ini adalah untuk
mengetahui secara garis besar, apakah saudara telah memahami
materi ini. Jika ada soal yang belum dapat saudara kerjakan, lihat
kembali materi yang ada, atau diskusikanlah dengan Fasilitator.
Berilah tanda silang (X) pada jawaban yang paling tepat !
1. Yang tidak termasuk pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis
TB paru pada terduga dewasa adalah:
a. Pemeriksaan mikroskopik dahak
b. Pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM)
c. Pemeriksaan biakan kuman TB
d. Pemeriksaan laju endap darah
e. Pemeriksaan gejala klinis TB dan foto toraks

2. Tempat pengambilan dahak sewaktu yang baik adalah di:


a. Ruangan tersendiri dengan jendela tertutup
b. Ruangan yang biasa dipakai untuk pelayanan imunisasi
c. Ruangan terbuka di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
d. WC/Kamar Mandi
e. Ruang kerja laboratorium

3. Seorang laki-laki datang ke Puskesmas anda dengan keluhan


batuk-batuk yang lama. Anda menganjurkan untuk periksa dahak
SP. Hasil pemeriksaan dahak adalah Neg / Neg. Anda bekerja di
Puskesmas yang jauh dari Rumah Sakit.
Tindakan yang paling tepat anda lakukan :
a. Menegakkan diagnosis TB paru BTA positif
b. Memberi obat antibiotik spektrum luas
c. Memberikan INH
d. Periksa foto toraks
e. Ulangi periksa dahak SPS

4. Seorang Pasien dengan batuk dilakukan pemeriksaan dahak


SP. Hasilnya adalah 2+ / Neg.
Tindakan yang paling tepat anda lakukan:
a. Menegakkan diagnosis TB paru BTA positif
b. Rujuk pasien ke RS untuk pemeriksaan TCM
c. Memberi obat antibiotik spektrum luas selama 2 minggu
d. Periksa foto toraks
e. Ulang periksa dahak SPS

54
5. Yang tidak perlu Anda lakukan bagi pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis adalah:
a. Memberikan OAT yang sesuai
b. Melakukan pemeriksaan HIV dan DM
c. Merujuk pasien ke RS untuk pemeriksaan foto toraks
d. Melakukan komunikasi motivasi bagi pasien
e. Melakukan investigasi kontak

6. Anda bekerja di Puskesmas yang tidak mempunyai akses uji


tuberkulin dan foto toraks. Apa yang harus Anda lakukan untuk
menegakkan diagnosis TB pada seorang balita yang bergejala khas
TB namun tidak dapat diambil dahaknya, jika diketahui anak
tersebut berkontak dengan pasien TB terkonfirmasi bakteriologis?
a. Menegakkan diagnosis TB anak klinis
b. Observasi gejala selama 2 minggu
c. Rujuk ke spesialis anak
d. Lakukan pemeriksaan darah lengkap
e. Menyingkirkan diagnosis TB

7. Prinsip umum komunikasi motivasi adalah:


a. Menunjukkan empati – menghindari perdebatan
b. Melakukan refleksi – memberi gambaran situasi berbeda
c. Memberikan gambaran situasi berbeda – bertanya
d. Bertanya – beritahu - bertanya
e. Refleksi – mengulang pernyataan pasien

8. Di bawah ini yang bukan merupakan terduga TB RO berisiko


tinggi adalah:
a. Pasien gagal pengobatan kategori 2
b. Pasien gagal pengobatan kategori 1
c. Pasien putus berobat
d. Pasien HIV
e. Pasien diobati di faskes non-DOTS

9. Keterampilan kunci Komunikasi-Motivasi adalah:


a. Refleksi – empati – parafrase – memberi advis
b. Persuasi – refleksi – empati – memberi solusi
c. Refleksi – afirmasi – pertanyaan terbuka – bertanya beritahu
bertanya
d. Parafrase – refleksi perasaan – refleksi dua arah – merangkum
e. Refleksi – afirmasi – empati – solusi

55
10. Faktor individu yang meningkatkan risiko terjadinya TB:
a. Perilaku merokok
b. Ventilasi rumah yang tidak baik
c. Durasi paparan dengan sumber infeksi
d. Kepadatan penduduk
e. Penyakit kronis seperti hipertensi

56

Anda mungkin juga menyukai