Anda di halaman 1dari 3

UTS HCM

Tugas Individu Fenomena Lingkungan


Ekonomi sektor transportasi

Dalam kondisi pandemi ini, situasi ekonomi tidak menentu. Bahkan negara sendiri telah
resmi mengalami resesi pada kuartal ketiga tahun ini. Hal ini terjadi karena daya beli masyarakat
yang menurun. Yang disebabkan oleh perilaku masyarakat untuk cenderung berhemat &
menyimpan uang, atau bahkan kemampuan finansial menurun. Penurunan daya beli terjadi tak
hanya pada perusahaan manufaktur saja, tetapi juga perusahaan jasa. Salah satunya jasa
transportasi.
Bisnis jasa transportasi, khususnya angkutan penumpang mengalami antiklimaks. Baik
maskapai penerbangan, perusahaan bus & kapal mengeluhkan keadaan yang ada. Banyak rute
yang telah ditutup karena penumpang semakin berkurang, bahkan hingga tidak ada sama sekali.
Kran pundi-pundi perusahaan transportasi semakin mengering, mengancam perusahaan gulung
tikar. Contoh mega perusahaan yang mengalami krisis saat ini ialah Garuda Indonesia & Lion
Air, yang bahkan sedang terancam pailit.
Data dari Badan Pusat Statistik mencatat volume penumpang pesawat Mei 2020 menurun
90 % dibandingkan April 2020. Situasi sama terjadi pada penumpang kapal laut, penumpang
kapal menurun 75 % semenjak berlakunya physical distancing di Sulawesi Utara. Trayek bus
pun sama, meski tidak ada data universal yang akurat. Dapat saya simpulkan demikian karena
saya menyaksikan bukti konkritnya, yang mana banyak pemberangkatan bus di daerah saya yang
batal & bahkan untuk sementara berhenti beroperasi.
Ada beberapa penyebab antiklimaks ini terjadi, diantaranya: banyak daerah dalam masa
PSBB, penerapan protokol kesehatan dinilai tidak efektif & sistem kerja WFH. Ketiga hal itu
ialah faktor primer yang saya simpulkan dari pengamatan saya.
Menerapkan PSBB berdampak langsung menyulitkan bisnis transportasi, karena
membatasi bahkan menghentikan arus masuk & keluar daerah. Banyak bandara & pelabuhan di
daerah yang masih tutup untuk sementara waktu, contohhnya di daerah saya, Banggai. Dengan
begitu pesawat & pelabuhan berhenti beroperasi di rute itu. Juga kini pelancong harus memiliki
hasil rapid test valid sebagai syarat berpergian. Menambah syarat berpergian menjadi semakin
berbelit-belit membuat wisatawan urung untuk berwisata.
Juga protokol yang ada, dalam realisasi konkritnya tidak sebaik yang diharapkan, karena
masih banyak orang yang acuh dengan hal tersebut. Bahkan masih banyak orang yang tidak
percaya adanya pandemi, yang dianggap merupakan permainan bisnis & politik, serupa dengan
yang dilakukan musisi Jerinx Sid. Memicu terbentuknya opini publik tentang hal tersebut, dan
semakin menimbulkan sikap “masa bodoh”. Yang akhirnya banyak orang masih tidak taat
protokol kesehatan, dengan tidak memakai masker. Yang buntutnya membuat orang-orang yang
berpikir jernih tidak lagi mau keluar rumah, karena banyak para penyebar virus berkeliaran.
Sedangkan sistem WFH dapat saya katakan memberi dampak juga, meski kecil. Karena
sebagian orang sudah mulai terbiasa melakukan pekerjaan dari rumah, yang membuat orang
enggan untuk melakukan perjalanan bisnis keluar kota. Contohnya salesman yang sekarang
sedikit jarang ditemui di toko orang tua saya.
Pemerintah sejatinya memiliki PR bukan untuk mengatasi penyebaran virus saja,
melainkan juga mengatur (manajemen) masyarakat agar disiplin protokol kesehatan baru.
Penumpang wajib pakai masker, wajib duduk berjarak dengan penumpang lain, penumpang
wajib dicek suhu tubuhnya, dll. Pendisiplinan ini bertujuan untuk menciptakan rasa aman &
nyaman saat berpergian dengan transportasi umum. Kemudian untuk mentertibkannya,
ditugaskanlah ASN membentuk check point. Ketika seseorang tidak memenuhi syarat, maka
check point bertugas untuk menangguhkan perjalanannya.
Namun kondisi industri ini tidak kunjung membaik, volume penumpang masih begitu-
begitu saja. Menilik keadaan di lapangan, para pelancong masih enggan berpergian atau memilih
menggunakan kendaraan pribadi. Yang menimbulkan masalah baru ketika liburan & weekend
tiba, yaitu kemacetan. Contohnya kemacetan di jalur Puncak semakin parah saat cuti libur & cuti
bersama Bulan Oktober kemarin.
Dalam pelaksanaan protokol kesehatan. Tak hanya kalangan sipil yang acuh, tapi juga
ada kasus oknum ASN yang memanfaatkan keadaan untuk kepentingan pribadi. Seperti kasus
manipulasi hasil rapid test dengan imbalan uang oleh oknum dokter berinisial EFY yang
bertugas di bandara Soetta. Sehingga menciptakan kognisi masyarakat bahwa berpergian
sekalipun dengan protokol kesehatan, benar-benar tidak aman. Yang bermuara pada kondisi tetap
sepinya penumpang.
Sudah banyak cara diupayakan pelaku bisnis untuk menjaga nafas hidup perusahaannya.
Karena perusahaan sejenis jasa transportasi biasanya memiliki banyak tenaga kerja. Yang berarti
akan banyak keluarga yang terdampak bila perusahaan bangkrut. Tak semata-mata untuk
memperkaya diri, banyak pemilik bisnis memutar otak untuk kebaikan anak buahnya.
Perusahaan biasanya menawarkan diskon harga besar-besaran.
Tetapi rentetan diskon pun tak bergeming. Sehingga beberapa perusahaan memutuskan
beralih bisnis. Dengan memanfaakan sumber daya yang ada, mengkonversi aktivitas perusahaan.
Seperti contohnya maskapai Thai Airways yang kini berjualan roti goreng, utnuk memperbaiki
neraca perusahaan. Hal ini bisa dibilang sebagai solusi terakhir untuk menyokong hidup
perusahaan.
Memang, kebijakan pemerintah untuk membantu masyarakat ada, lewat BLT. Namun
kebijakan itu hanya bersifat sementara, karena banyak diantara para penerima BLT tidak siap
menerima. Artinya hanya berfoya-foya dengan uang BLT yang diterima. Pemerintah belum
mampu memberi solusi bagi pelaku bisnis, yang adalah mengembalikan kondisi seperti sedia
kala.
Dari perspektif saya, program BLT adalah langkah mubazir. Lebih efektif & efisien
menurut saya dengan mencontoh negara tetangga Malaysia, yang melakukan lockdown total
sembari memberi bantuan pangan, sehingga rakyat tetap bisa makan. Memang akan ada
konsekuensi yang diterima yaitu aktivitas ekonomi berhenti total. Tetapi saya rasa Indonesia
masih mampu menghadapinya dengan mengandalkan kekayaan SDA yang dimiliki. Sehingga
rantai penyebaran virus dapat benar-benar terputus, dan akhirnya situasi normal dapat semakin
terwujud. Daripada membuat banyak program bantuan berupa uang, tetapi tak memutus rantai
penyebaran virus. Buktinya adalah dengan kasus Covid-19 di Malaysia jauh lebih kecil daripada
di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai