Twenty-First Century
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1
Yessica (131301101)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2016
WHAT IS A FAMILY?
Apakah yang membentuk keluarga? Apakah anggota keluarga harus
berhubungan darah? Harus melalui pernikahan? Apakah mereka harus tinggal satu
atap? Pada pembahasan ini kita akan membahas bebrapa definisi keluarga yang telah
diformulasikan dalam dekade ini, serta melihat beberapa variasi keluarga yang telah
teridentifikasi oleh psikolog, sosiog, dan antropolog.
Some Definitions
Beberapa definisi keluarga, menurut lembaga sensus di Amerika Serikat,
keluarga adalah kelompok antara dua atau lebih manusia dalam sebuah rumahtangga
yang terikat secara kelahiran, pernikahan, atau adopsi dan tinggal bersama. Akan
tetapi, anggota keluarga dan anggota rumah tangga dibedakan karena anggota rumah
tangga yang tidak memiliki hubungan darah juga masih dihitung sebagai anggota
rumah tangga. Dengan definisi ini, dapat dikatakan bahwa dalam keluarga terdapat
dua atau lebih manusia yang memiliki gender sama atau berbeda, dua bersaudara laki-
laki/perempuan, sepupu, ibu dan anak perempuan, suami istri, dan lain-lain.
Definisi lain yang dikemukakan oleh Winch (1971) mendefinisikan keluarga
sebagai sekumpulan orang yang berhubungan secara darah, pernikahan, adopsi, dan
mereka yang berbasis fungsi sosial yang digantikan. Definisi yang lebih komperhensif
adalah keluarga merupakan sekelompok manusia yang disatukan dengan ikatan
pernikahan, darah, dan adopsi, atau hubungan seksual ekspresif lainnya, yang mana
(1) orang dewasa yang berkooperasi secara finansial, (2) orang-orang yang
berkomitmen satu sama lain dalam hubungan interpersonalnya, (3) individual yang
melihat identitas mereka sangat penting untuk disatukan dalam kelompok, dan (4)
kelompok yang memiliki identitas sesuai keinginannya sendiri.
Family Forms
Bentuk-bentuk keluarga dapat dikategorikan berdasarkan strukturnya seperti sebagai
berikut :
1. Voluntarily childless family, yaitu keluarga yang memutuskan untuk tidak
memiliki anak.
2. Single parent family, yaitu keluarga yang hanya memiliki satu orangtua dan
satu atau lebih anak.
3. Nuclear family, keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anaknya.
4. Family of origin, keluarga tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan.
5. Family of procreation, keluarga yang dibentuk jika seseorang memiliki anak
sendiri.
6. Extended family, keluarga yang terdiri dari individual, rekan, seorang anak
dari individual, dan relasi lain yang tinggal dengan mereka.
7. Blended and reconstituted family, yaitu keluarga yang terbentuk ketika
seorang janda yang punya/tidak punya anak menikah dengan orang yang
sudah/belum menikah dan sudah/belum punya anak.
8. Stepfamily, keluarga yang terbentuk ketika pria dan wanita menikah ditambah
anak dari pernikahan sebelumnya.
9. Binuclear family, adalah keluarga yang dibagi menjadi dua oleh perceraian.
10. Polygamous family, unit keluarga tunggal berdasarkan pernikahan seseorang
yang memiliki pasangan lebih dari satu.
11. Patriarchial family, adalah keluarga dengan ayah sebagai kepala keluarga dan
memiliki otoritas diatas anggota keluarga lainnya.
12. Matriarchial family, adalah keluarga dengan ibu sebagai kepala keluarga dan
memiliki otoritas diatas anggota keluarga lainnya.
13. Cohabiting family, merupakan keluarga yang terbentuk melalui ekspresi
seksual dna memiliki komitmen untuk berhubungan tanpa pernikahan yang
legal.
Median Age
Salah satu tren yang paling dramatis dalam pola pernikahan selama puluhan
tahun lalu adalah menunda pernikahan untuk usia lanjut. Pada awal abad keduapuluh,
usia rata-rata pada awal menikah menurun yang berakhir pada pertengahan tahun
1950an, mencapai usia dibawah 22.5 tahun pada pria dan 20.1 tahun pada wanita.
Dari dulu, usia rata-rata perkiraan telah meningkat, dengan peningkatan pesat sejak
tahun 1980. Tahun 2000, usia rata-rata adalah 27 tahun pada pria dan 25 tahun pada
wanita. Jarak antara pria dan wanita juga telah menyempit selama bertahun-tahun,
tapi rata-rata, pria selalu lebih tua 2 tahun daripada wanita pertama kalinya mereka
menikah.
Usia lebih tinggi pada pernikahan berkaitan dengan kesejahteraan ekonomi
dan pendaftaran sekolah. Saat ini, orang Amerika lebih berpendidikan daripada
sebelumnya. Tahun 2003, 85% dari orang dewasa Amerika memiliki ijazah SMA,
dibandingkan dengan 75.2% pada tahun 1990, dan 27% telah menerima gelar sarjana
atau lebih pada tahun 2000, dibandingkan dengan 21% pada tahun 1990.
Keterlambatan pernikahan juga berkaitan dengan penurunan sikap negatif terhadap
orang single atau lajang yang masih ada/ bersisa. harapan hidup lebih lama, keluarga
yang lebih kecil, dan lebih banyak pilihan karir bagi wanita.
Saat ini orang yang terlambat menikah mungkin mengalami periode hidup
bersama sebelum menikah. Alasan pada kecenderungan penundaan pernikahan
mungkin termasuk peningkatan peluang untuk melakukan hubungan seksual belum
menikah dan peningkatan penerimaan kohabitasi belum menikah.
Tren ini penting karena orang-orang yang menunggu sampai mereka berusia
pertengahan atau akhir dua puluhan tahun untuk menikah memiliki kesempatan yang
lebih besar untuk sukses pernikahannya dibandingkan mereka yang menikah
sebelumnya. Faktanya, salah satu yang terkuat dan sebagian besar prediktor yang
konsisten dari kecenderungan pada perceraian adalah usia dimana orang menikah.
Hampir setiap studi mengenai perpisahan pernikahan yang dilakukan sejak tahun
1960an telah menemukan usia kedua pasangan menikah secara statistik signifikan
terhadap probabilitas. Penundaan pernikahan juga telah menghasilkan peningkatan
yang ditandai pada orang dewasa muda yang belum menikah dalam
masyarakat/populasi. Tahun 2003, 31% pria dan 25% wanita 15 tahun dan dan yang
lebih tua tidak pernah menikah, naik dari 28% dan 22% pria dan wanita masing-
masing tahun 1970. Dalam tiga decade terakhir, proporsi wanita berusia 20 sampai 24
tahun yang tidak pernah menikah meningkat dua kali lipat , dari 36% sampai 73% dan
proporsi dari usia pria adalah 30 sampai 34 tahun yang tidak pernah menikah
meningkat lima kali lipat, dari 6% sampai 29.5%. Hal ini berhubungan dengan sikap
negatif terhadap orang single atau lajang yang masih ada/ bersisa. harapan hidup lebih
lama, keluarga yang lebih kecil, dan lebih banyak pilihan karir bagi wanita.
Working Mothers
Perubahan penting lainnya dalam kehidupan keluarga telah menjadi
gelombang besar dari wanita menikah ke dalam angkatan kerja. Sampai awal tahun
1980an, wanita menikah dengan tidak memiliki anak yang berusia dibawah 18 tahun
memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja yang lebih tinggi daripada mereka yang
memiliki dibawah 6 tahun. Pola yang berdiri telah lama ini mulai berubah selama
tahun 1980an dan kini telah terbalik. Tahun 2003, wanita menikah yang memiliki
anak bungsu yang berusia antara 6 sampai 17 tahun memiliki tingkat partisipasi
angkatan kerja tertinggi. 60% dari wanita menikah yang anak bungsunya berusia
antara 6 sampai 17 tahun juga dipekerjakan. Ini merupakan persentase lebih besar dari
perempuan yang menikah tanpa anak berusia dibawah 18 tahun.
Riset telah mengungkapkan beberapa sosial demografis, dan perbedaan sikap
antara wanita menikah yang bekerja diluar rumah dan yang tidak. Wanita yang tidak
bekerja lebih cenderung memiliki sikap tradisional tentang peran pernikahan,
pekerjaan ibu diluar rumah, dan seksualitas. Wanita menikah yang tidak bekerja
fulltime memiliki lebih banyak anak dan tinggal dirumah tangga dengan penghasilan
yang kurang. Wanita menikah yang bekerja fulltime lebih berpendidikan dan memiliki
lebih sedikit anak dan penghasilan yang lebih banyak daripada wanita menikah yang
tidak menikah. Juga telah terjadi peningkatan tajam dalam proporsi perempuan
berpendidikan tinggi yang mengkonversi pelatihan profesional mereka ke pekerjaan
yang dibayar.
Para ibu memasuki angkatan kerja untuk kedua alasan yaitu ekonomi dan
nonekonomi. Alasan utama adalah kebutuhan keuangan : beberapa keluarga hanya
tidak bisa membuat finansial tanpa kedua orangtua bekerja. Factor-faktor seperti
inflasi, biaya hidup yang tinggi, dan hasrat untuk standar yang lebih tinggi dari
tekanan kehidupan keluarga untuk memiliki 2 penghasilan. Kesempatan kerja bagi
wanita juga meningkat. Alasan nonekonomi pada karyawan juga penting. Jumlah
yang besar pada wanita yang ingin bekerja untuk alasan-alasan pemenuhan
pribadi/diri. Ini adalah motif utama.
Tren ini hanya menambah beban pada wanita. Sebagian besar istri yang
bekerja saat ini mencoba untuk memenuhi tuntutan biasa untuk pekerjaan rumah
tangga dan perawatan keluarga selain bekerja fulltime di luar rumah. Pada umumnya,
riset menunjukkan bahwa istri yang bekerja hanya memiliki efek minimal terhadap
tanggung jawab rumah tangga suami. Kepuasan perempuan sangat ditingkatkan ketika
suami bersedia untuk menerima bagian yang adil dari total tanggung jawab.
Peningkatan pekerja pada para ibu telah mengintensifkan permintaan untuk perawatan
anak.
One-Parent Families
Salah satu dari perubahan yang paling jauh sejak tahun 1970an telah
meningkat jumlah keluarga yang terdiri dari orangtua tua tunggal yang menjaga atau
mengurus rumah tangga dengan satu anak atau lebih. Tingginya tingkat perpisahan
dan perceraian, seperti peningkatan jumlah kelahiran untuk wanita lajang telah
memberikan kontribusi terhadap peningkatan besar dalam jenis keluarga ini. Tahun
2003, hampir satu dari setiap tiga keluarga dengan anak berusia dibawah 18 tahun
adalah keluarga dengan orangtua tunggal, naik dari 1 ke 10 pada tahun 1970. Jumlah
keluarga orangtua tunggal tiga kali lipat antara tahun 1970 dan 2003 (dari 4 juta ke 12
juta). Antara keluarga orangtua tunggal, 2.2 juta kepala rumah tangganya adalah sang
ayah, dan 10 juta kepala rumah tangganya adalah sang ibu. Orangtua yang lebih tua,
semakin besar kemungkinan ayah untuk mempertahankan sebuah keluarga orangtua
tunggal dengan anak-anaknya . Anak laki-laki lebih mungkin hidup dengan ayah
dibandingkan anak perempuan.
Keluarga orangtua tunggal meningkat dari seluruh etnis, tetapi keluarga
orangtua tunggal secara tidak proporsional terkonsentrasi antara keluarga kulit hitam
dibandingkan dengan etnis lainnya. Tahun 1970, sepertiga anak kulit hitam yang
berusia dibawah 18 tahun tinggal di keluarga orangtua tunggal; saat ini sekitar
setengah dari semua anak kulit hitam tinggal di keluarga orangtua tunggal. Ini
dibandingkan dengan 17% dari semua anak kulit putih dan 23% dari anak Hispanic
yang berusia dibawah 18 tahun tinggal di keluarga orangtua tunggal. Alasan utama
dari peningkatan ini adalah telah tingginya tingkat kelahiran untuk perempuan yang
belum menikah. Tahun 2002, kelahiran pada wanita kulit hitam yang belum menikah
dicatat 68.2% dari seluruh kelahiran pada perempuan kulit hitam.
Satu dari masalah-masalah terkait dengan peningkatan keluarga orangtua
tunggal salah satunya adalah ekonomi, karena banyak rumah tangga orangtua tunggal
tidak memiliki pendapatan yang memadai untuk mendukung anak-anaknya. Tekanan
keuangan adalah satu dari keluhan yang paling umum pada orangtua tunggal, dan
keluarga orangtua tunggal jauh lebih mungkin hidup dalam kemiskinan dibandingkan
dengan keluarga dengan dua orangtua. Contohnya, tahun 2003 , 32% dari keluarga
janda dan 16% dari keluarga duda hidup dalam kemiskinan, dibandingkan dengan 5%
keluarga pasangan menikah dengan anak. Keluarga janda Africa Amerika khususnya
yang tidak proporsional miskin. Tahun 2003, 38% perempuan sebagai kepala rumah
tangga orang Afrika Amerika dengan anak berusia dibawah 18 tahun hidup dalam
kemiskinan disbanding dengan 14% janda pada kulit putih. Riset menunjukkan bahwa
bahkan ketika mengendalikan efek dari pendidikan, ayah tunggal atau duda lebih baik
secara ekonomi dibandingkan ibu tunggal atau janda., dan orangtua tunggal kulit
putih lebih baik secara ekonomi dibandingkan orangtua tunggal Afrika Amerika.
Cohabitation
Orang – orang memilih untuk tinggal bersama daripada menikah secara legal
adalah salah satu perubahan yang paling dramatis yang terjadi pada keluarga
sekarang. Saat ini lebih dari 60 % pasangan beda jenis yang merencanakan menikah
hidup bersama terlebih dahulu, berawal dari 10 % pada tahun 1965. Hal ini
menjelaskan mengenai 8 % rumah tangga di Amerika Serikat.
Kelahiran anak menjadi terus meningkat di dalam serikat nonmarital (tidak
menikah ). Pada tahun 2003, hampir 2 juta pasangan tidak menikah termasuk di
dalamnya anak berusia dibawah 18 tahun (U.S Bureau of Census, 2005). Hal ini
memperkirakan bahwa diantara seperempat atau setengah jumlah anak – anak saat ini
menghabiskan waktu di rumah tangga kohabitasi sebelum berusia 16 tahun. Efek yang
terjadi pada anak tergantung pada bagaimana kesepakatan kualitas dan harmoni
pasangan kohabitasi itu dan pada kualitas dari hubungan bukan orangtua seperti
halnya orangtua kohabitor yang dibangun dengan anak – anak mereka. Anak – anak
membutuhkan cinta, kasih sayang, keamanan, dan bimbingan dalam hidup mereka.
Jika hubungan kohabitasi dapat memberikan hal ini, anak – anak akan kemungkinan
bermanfaat ; tetapi jika tidak, mereka akan berefek negatif. Anak – anak pada rumah
tangga kohabitasi akan menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk bercerai
daripada anak – anak yang rumah tangganya menikah. Setelah 5 sampai 7 tahun, 39 %
dari pasangan kohabitasi mengakhiri hubungan mereka (Casper and Bianchi, 2002).
Secara keseluruhan, mengontrol untuk karakteristik durasi hubungan dan
demografis, kohabitor secara umum memiliki kualitas hubungan yang rendah
daripada pasangan yang menikah. Popenoe dan Whitehead (2002) mengatakan bahwa
review secara mendalam pada penelitian mengenai kohabitasi dan menemukan bahwa
walaupun banyak pemuda percaya bahwa hidup bersama sebelum menikah adalah hal
bagus, tinggal bersama bukanlah cara yang tepat untuk menyiapkan pernikahan atau
menghindari perceraian. Mereka secara spesifik menemukan bahwa hidup bersama
sebelum menikah meningkatkan resiko bercerai setelah menikah, yang meningkatkan
resiko kekerasan dalam rumah tangga pada wanita dan resiko kekerasan fisik dan
seksual pada anak – anak, dan pasangan yang tidak menikah memiliki level yang
rendah untuk kebahagiaan dan kesejahteraan daripada pasangan yang tidak menikah.
Sulit untuk mengetahui secara pasti mengapa kohabitasi meningkatkan resiko
berpisah, tetapi beberapa peneliti berspekulasi bahwa secara keseluruhan komitmen
pada hubungan kohabitasi lebih rendah daripada yang menikah dan kohabitasi
menawarkan kurang kepastian dari hubungan seumur hidup. Ini mungkin bukan
pengalaman dari kohabitasi yang meningkatkan kesempatan untuk bercerai, tetapi
lebih kepada kepribadian orang – orang yang memilih untuk kohabitasi. Orang –
orang yang tinggal bersama sebelum menikah lebih cenderung mempertimbangkan
untuk bercerai daripada yang menikah tetapi tidak melakukan kohabitasi.
Bagaimanapun, kohabitor yang melaporkan rencana mereka menikahi pasangan
mereka pada serikat pernikahan tidak berbeda secara signifikan dari mereka yang
menikah ( S. L Brown and Booth, 1996).
Perbedaan finansial yang penting antara anak – anak dari orang tua yang
menikah dan dari yang orangtua kohabitasi adalah hak mereka untuk mendapatkan
dukungan ketika hubungan itu telah selesai. Dimana pasangan yang menikah dapat
memiliki catatan untuk dukungan anak – anak dibawah persatuan Divorce Act,
pasangan kohabitas harus mencari dukungan dibawah Family Relations Act.
Memberikan hak terakhir pada anak untuk segala dukungan sampai usia mereka 19,
dimana dibawah Divorce Act dukungan anak dapat dibayar selama anak – anak
dinyatakan “anak dari pernikahan” (Storey, 2000). Hal ini berarti bahwa dukungan
anak anak terus berlanjut jika si anak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi atau jika si anak memiliki kemampuan yang menjaga mereka untuk tetap bebas.
Baik pendidikan yang tinggi atau kemampuan untuk bisa mendapatkan finansial yang
besar dari banyak keluarga.
Grandparents as Parents
Satu tren yang patut diperhatikan dari keluarga beberapa dekade ini adalah
meningkatnya anak – anak yang tinggal di rumahtangga kakek – neneknya. Pada
tahun 1970, 2.2 juta anak berusia dibawah 18 tahun itnggal dirumah kakek –
neneknya, dengan atau tanpa orangtua mereka ; 2001, angka tersebut meningkat
mencapai 6.2 juta (Kreider and Fields, 2005). Ketika rumah tangga ini
dikategorisasikan oleh adanya orangtua, hal ini menjadi bukti bahwa peningkatan
yang besar juga terjadi pada rumah tangga dimama paling sedikit satu orang tua
bertempat tinggal di rumah. Peneliti mengindikasikan kemungkinan alasan tren ini
terjadi adalah karena meningkatnya penggunaan narkoba pada orangtua, tingginya
rating dari kehamilan remaja dan perceraian, rumah tangga singleparents, AIDS,
kekerasan dan melalaikan anak, orangtua yang dipenjara.
Divorce Rates
Pengujian dari tren pada proporsi orang – orang yang pernah bercerai sangat
sulit, sebagai indikator yang merupakan fungsi dari proporsi dari orang orang baik
yang menikah atau yang bercerai (Kreider, 2005). Sensus U.S menemukan rating
perceraian adalah 1000 per satu populasi. Dan saat ini, rating perceraian 3.8 per 1000
individu. Perceraian meningkat dari tahun 1958 sampai 1979, tetapi sejak itu perlahan
mengalami penurunan. Banyak mahasiswa percaya bagwa perceraian relatif stabil,
dengan 40 % - 50 % dari pernikagan baru cenderung berakhir di perceraian.
Karakteristik latarbelakang lain dari orang –orang yang masuk ke pernikahan juga
memiliki dampak utama untuk resiko mereka mengalami perceraian. Jika seseorang
memiliki edukasi yang baik dengan pendapatan yang baik, datang dari keluarga utuh,
dan religius, dan pernikahan setelah umur 25 tanpa memiliki bayi lebih dahulu,
kesempatan untuk bercerai lebih sedikit (Whitehead & Popenoe, 2005).
Remarriage Trends
Kebanyakan individu yang telah bercerai memutuskan untuk menikah
kembali. Data sensus Amerika Serikat menunjukkan bahwa untuk pria berusia 25
tahun atau lebih dan telah bercerai 55% memilih untuk menikah kembali, sedangkan
untuk wanita, hanya 44% yang memilih menikah lagi. Begitu juga dengan pria berusia
40 tahun keatas, kebanyakan yang memilih untuk menikah lagi adalah pria
dibandingkan dengan wanita. Pernikahan kembali berlangsung lumayan cepat. Rata-
rata jarak antara perceraian dengan pernikahan kembali adalah 3 sampai 4 tahun. Di
Amerika Serikat pria kulit putih menikah lagi lebih cepat dibandingkan pria kulit
hitam, latin, dll dan pria yang bercerai mempunyai kecendrungan untuk menikah lagi
lebih besar dibandingkan wanita yang bercerai.
Tingkat perceraian pada pasangan yang telah menikah kembali menunjukkan
sedikit perubahan dari tahun ke tahun sehingga tingkat perceraian ke depannya bisa
jadi mirip dengan perceraian pertama mereka. Perceraian ini biasanya disebabkan
oleh masalah perekonomian. Para pria yang bercerai cenderung menolak untuk
bertanggung jawab secara finansial pada keluarga lain karena dia masih menanggung
biaya untuk anak-anaknya.
Blended Families
Pernikahan pada orang Amerika biasanya adalah pernikahan kembali baik
untuk suami, istri, maupun keduanya. Ketika orang tua kembali menikah, mereka
membawa anak dari pernikahan mereka sebelumnya dan membentuk satu keluarga
baru dan terbentuklah blended family. Hubungan keluarga dalam blended family bisa
menjadi rumit karena setiap orang tua menghadapi tantangan untuk membentuk
hubungan baru dengan anak tirinya dan kemungkinan juga akan menghadapi mantan
pasangan dari suami atau istrinya. Anak-anak juga akan menghadapi tantangan untuk
menyesuaikan diri dengan orang tua tirinya, saudara tirinya, dan juga menjaga
hubungan dengan orang tua kandungnya.
Structural-functional theory.
Structural-functional theory melihat keluarga seperti institusi sosial dna
bertanya, bagaimana terciptanya dan apa fungsinya dalam kehidupan sosial. Saat
berbicara tentang keluarga, biasanya structural-functional lebih suka ke nuclear
family. Yang dimaksud disini adalah keluarga berushaa untuk memenuhi keinginan
atau kebutuhan sosial. Fungsi keluarga telah di jelaskan dalam beberapa cara.
Murdock (1949) mengidentifikasikan 4 fungsi dasar dari nuclear family: common
residence, economic cooperation, reproduction dan sexual function.
Common residence didalam beberapa dekade perubahan dalam tatanan sosial telah
menciptakan banyak varoasi dari common residence. Di dalam pernikahan jaman
sekarang contohnya dulu berkunjung sering dilakukan dalam akhir minggu atau bulan
akan tetapi pada masa sekarang anggota keluarga hanya berkunjung sekali sekali saja
tetapu mereka masih dalam bentuk keluarga.
Economic Cooperation adalah sebuah konsep yang mencakup jaringan yang luas
seperti aktivitas, memasak, mencari pendapatan termasuk juga seperti produksi,
alokasi, distribusi, servis, skill, perhatian, waktu, dan ruang. Pada jaman dahulu
keluarga lebih sering melakukan produksi untuk dikonsumsi mereka sendiri, akan
tetapi semakin berkembangnya jaman, banyak keluarga menjadi konsumtif seiring
dengan berkembangnya industri.
Reproduction meskipun fungsi reproduksi dalam keluarga memiliki fungsi yang
penting, akan tetapi seiring berkembangnya zaman, reproduksi tanpa pernikahan pun
menjadi sesuatu yang mungkin, dengan teknologi sekarang reproduksi bisa terjadi
tanpa ada hubungan sexual antara pria dan wanita.
Sexual function Murdock’s (1949) konsep sexual sama dengan hubungan
heterosexual di dalam keluarga. Meskipun begitu diantara heterosexual dan
homosexual, dapat terlibat orang dari luar pernihakan, beberapa pasangan gay dan
lesbian mempunyai anak dari hubungan pernikahan sebelumnya atau mengadopsi
anak secara ilegal.
Nurture and Sociazation of children sosiolog telah menjelaskan ada lagi fungsi
keluarga menurut I.L Reiss (1980) yang universal yaitu sebagai pengasuh dan
sosialisasi dari anak. Anak yang di asuh tidak mesti memiliki hubungan darah, akan
tetapi sosialisasi anak merupakan tanggung jawab keluarga dimana anak itu tinggal.
Tidak mesti keluarga lingkungan sekitar seperti sekolah berpartisipasi dalam
perkembangan sosial anak.
Systems Theory
Systems theory menekankan ketergantungan dari setiap anggota keluarga
(Broderick and Smith, 1979). Tidak ada pengasingan di dalam anggota keluarga; dan
dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Jika seseorang dalam kecemasan,
ketakutan, dan ketidak stabilan dalam emosi, pada contohnya akan membuat anggota
keluarga yang lain bingung dan sedih. Ketergantungan bukan hanya sekedar uang,
makanan, ataupun tempat berlindung, tetapi cinta, persahabatan, kasih sayang,
sosialisasi dan kebutuhan lainnya.
Terdapat beragam subsistem di dalam anggota keluarga. 3 anak akan mungkin
merupakan dari susistem, dan kedua orang tua mereka. suami dan ibunya merupaka
subsistem, ibu dan anak, ayah dan anak laki-laki ataupun yang lain. Mengetahui
bahwa satu subsistem terkait dengan yang lain akan sangat penting untuk mengerti
bagaimana suatu hubungan dalam keluarga tertentu. Sebagai contoh ketika terjadi
konflik antar suami-istri maka akan memberikan dampak negatif terhadap anak-anak
di dalam satu keluarga. Untuk membantu anak, terapis akan membantu menangani
konflik mereka.
Konsep ketergantungan anggota keluarga ini telah berguna dalam perawatan
dari keluarga yang disfungsi (bermasalah). Penggunaan alkohol yang berlebihan
meruapak suatu contoh penyakit di dalam keluarga. Interaksi di dalam keluarga
merupakan hal yang menjadi kebiasaan dan oleh karena itu sulit untuk diubah, bahkan
ketika kita berada pada gangguan. Dengan menganalisis respon dan perilaku, terapis
berusaha untuk memotivasi untuk berfikir kembali dan menstuktur ulang cara mereka
dalam berhubungan dengan sesama anggota keluarga (Papp, 1983).
Exchange Theory
Exchange theory yaitu berdasarkan prinsip yang masuk ke dalam hubungan
dimana kita dapat memaksimalkan keuntungan dan meminimalisir biaya (Nye, 1978).
Kita membentuk asosiasi yang diharapkan menjadi bermanfaat, dan kita cenderung
menjauh dari hubungan yang daapt membuat kita sakit.
Orang melihat adanya perbedaan dari setiap hubungan. Seperti contohnya,
setiap orang menikah dengan alasan yang berbeda beda: cinta dan persahabatan, sex,
status, kedudukan, keturunan, kekuatan dan keamanan ekonomi. Biasanya orang puas
ketika hubungan mereka sesuai dengan ekspektasi dan tidak melewati harga yang
harus mereka byar dalam ekpektasi tersebut.
Beberapa hubungan satu sisi; yaitu ketika satu orang memberi dan satu orang
lagi menerima. Setelah sekian lama, pemberi akan cenderung merasa marah dan kesal
dan berharap bisa mendapatkan hal yang sama.
Equity Theory adalah variasi dari exchange theory yang berdasarkan bahwa
pertukaran diantara seseorang harus adil dan seimbang jadi mereka akan saling
memberikan dan menerima yang dibutuhkan. Mereka akan belajar bahwa mereka
dapat bergantung satu dengan yang lainnya khusunya pada kebutuhan mereka, dan
komitmen mereka melibatkan motivasi yang kuat kepada sesama.
Conflict Theory
Conflict theory tidak pernah mencapai mencapai status yang sama di dalam
literatur keluarga seperti pada interaction theory, system theory dan exchange theory.
namun, conflict theory dapat membantu dalam memberikan pengertian dan
mendeskripsikan konflik keluarga pada anggota keluarga yang berjuang untuk
kekuasaan (Sprey, 1998).
Conflict theory berawal dari menegaskan bahwa konflik dalam keluarga adalah
keadaan normal urusan dan dinamika keluarga dapat dipahami dengan
mengidentifikasi sumber-sumber konflik dan sumber-sumber kekuasaan. Apa
penyebabnya anggota keluarga bertengkar? Apa yang harus dilakukan untuk
menghadapi konflik? Masalah itu bukan untuk dihindari, tetapi bagaimana cara
mengaturnya, menyetujuinya, dan memecahkannya. Ketika konflik menjadi negatif,
dibutuhkan adanya perubahan; memecahkan konflik menjadi motivasi untuk
membangun hubungan yang lebih bermanfaat dan bermakna. Solusi datang memalui
komunikasi yang baik, membangun emati dan pengetian, dan menjadi motivasi untuk
berubah. Solusi datang juga memalui perundingan, negosiasi dan kompromi.
Feminist Theory
Feminist theory sering disebut sebagai perspektif yang lebih dari teori karena
mencerminkan pemikiran seluruh gerakan feminis dan termasuk beberapa titik
penting yang berfokus pada keketidaksamaan kekuasaan antara pria dan wanita dalam
masyarakat, dan terutama dalam kehidupan keluarga (MacDermid, Jurich, Myers-
Walls, and Pelo, 1992). Sementara ada banyak perspektif pada kaum feminis, dan
semua itu adalah berasal dari masalah peran gender. Gender didefenisikan sebagai
perilaku yang bisa dipelajari dan karakteristik yang terkait dengan menjadi pria atau
wanita, dan teori feminis meneliti bagaimana perbedaan gender terkait dengan
perbedaan kekuasaan pada pengalaman perempuan yang berharga dan sama penting
seperti penglaman pada pria, tetapi dalam kehidupan perempuan sering terkena
eksplotaitasi, dihancurkan dan ditekan (Osmond and Thorne, 1993; Walker and
Thompson, 1984). Teori feminis berpendapat bahwa peran keluarga dan jenis kelamin
telah dibangun oleh masyarakat dan tidak berasal dari kondisi biologis, dan bahwa
peran ini diciptakan agar pria untuk mempertahankan kekuasaan atas perempuan.
teori feminis mirip dengan teori konflik, dalam perspektif konflik berfokus pada
kekuasaan yang tidak setara dalam kelompok atau masyarakat yang lebih besar,
sedangkan teori feminis berfokus pada sistem sex-gender dan bagaimana pria
berdominasi dalam keluarga, dan masyarakat yang pada dasarnya menekan wanita.
Perspektif feminis berkaitan dengan penindasan keseluruhan dari semua kelompok
yang didefinisikan pada dasar usia, kelas, ras, cacat atau orientasi seksual (Baber and
Allen, 1992). Wanita berhak membuat pilihannya sendiri tentang bagaimana mereka
hidup, dan mereka membutuhkan peluang yang sama seperti pria. Dan pilihan
tersebut membutuhkan dukungan dan penghargaan yang sama seperti pria
menentukan hidup mereka.