Anda di halaman 1dari 26

( Word to PDF Convert - Unregistered )

http://www.word-to-pdf-convert.comBAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ginjal

a. Anatomi ginjal

Ginjal merupakan suatu fungsi untuk mempertahankan internal tubuh

yaitu hemostasis cairan tubuh dan pengaturan keseimbangan asam basa

terutama dilaksanakan oleh ginjal, dua buah organ berbentuk kacang

polong yang terlentak di belakang selaput rongga perut ( retro peritoneal )

pada kedua belah sisi tulang belakang agak di sebelah atas pinggang.

Kedua organ ini dipertahankan posisinya oleh jaringan yang mengikat pada

bangunan di sekitarnya. Masing-masing ginjal mempunyai panjang kurang

lebih 11 – 13 cm, lebar 5 – 7,5 cm, tebal 2,5 cm dan berat antara 115 – 170

gram (Hartono, 1995).

Tepi medial ginjal terdapat cekungan tempat masuknya pelvis renalis,

pelvis renalis adalah pelebaran ujung atas ureter, yang berlanjut

membentuk tabung yang gembung dan disebut sebagai kaliks, yang

berhubungan dengan papila renalis. Ginjal diliputi oleh selaput kapsul

fibrosa yang dalam keadaan normal halus dan mudah dilepas. Ginjal dapat

dibagi menjadi bagian kortek dan medula pada manusia, medula

membentuk 8 – 15 piramid ginjal yang dasarnya terletak pada pertemuan


kortiko-medular. Apeks dari piramid ginjal meluas sampai masing-masing

membentuk sebuah papilla berdasarkan pembagian dari nefron medula

dapat dibagi menjadi medula sisi luar dan medula sisi dalam yang

termasuk juga papila renalis.

Satuan unit fungsional dari ginjal adalah nefron yang terdiri dari suatu

korpus renalis atau glomerulus dan tubulus-tubulus lainnya yang

berhubungan. Setiap ginjal manusia sendiri terdiri dari sekitar 1,2 juta

nefron yang berasal dari glomerulus external dan midkortikal mempunyai

lengkung henley pendek yang melengkung pada medula lapisan external

dan internal (Madsen, 1997).

Gambar 1. Ginjal

b. Fungsi ginjal sebagai alat ekskresi

Ekskresi adalah pembuangan zat-zat yang sudah tidak berguna

dikeluarkan tubuh, contohnya : keringat, faeces, urine, CO2, ureum,

kreatinin. Didalam kehidupan sehari-hari tubuh manusia selalu


mengadakan proses metabolisme yang tiada hentinya. Dari hasil

metabolisme itu ada sampah sisa – sisa metabolisme yang harus di buang

keluar tubuh dan diantaranya melalui urine.

Zat-zat yang masih berguna didalam tubulus ginjal direabsorpsi

kembali masuk darah, oleh karena itu ginjal bisa memilih mana zat yang

harus dibuang bersama urine dan mana zat yang masih perlu di simpan

tubuh maka fungsi ginjal sebagai alat ekskresi bersifat selektif. (Kiyatno,

1991)

c. Peranan ginjal dalam mengatur cairan dan elektrolit

Perubahan cairan dan elektrolit pada saat kreatinin menurun, dimana

kemampuan untuk memekatkan atau mencairkan urine terganggu.

Pembatasan asupan air dapat mengakibatkan kontraksi volume dan cairan

hipernatremia, sebaliknya jika asupan garam dan air berlebihan, dapat

terjadi hiponatremia, oedema ataupun keduanya (Peterson, 1997).

Cairan tubuh beserta zat-zat atau elektrolit / ion-ion yang terlarut di

dalamnya selalu cenderung berubah-ubah oleh karena adanya proses

metabolisme.

Di lain pihak supaya tetap konstant maka ginjal ikut membantu

mempertahankan jumlah elektrolit atau ion-ion dalam batas-batas tertentu,

sehingga tidak timbul kegoncangan di dalam tubuh dan inilah merupakan

salah satu fungsi ginjal proses hemostasis yaitu dengan cara pemekatan

ataupun pengenceran urine, proses counter current di dalam ginjal.


(Kiyatno, 1991)

d. Hormon-hormon yang disekresi ginjal

Sebagai alat ekskresi, ginjal membuang urine melalui saluran khusus

mulai dari nefron sampai uretra. Selain pembuangan urine melalui saluran

khusus tadi, ginjal juga mengsekresi zat langsung masuk darah, tidak

melalui saluran khusus. Karena hasil ekskresi langsung masuk darah tanpa

harus melalui saluran khusus, maka zat itu termasuk hormon.

Ada dua macam hormon yang di sekresikan oleh ginjal yaitu :

a) Hormon renin yang sangat penting di dalam sistem

kardiovasa yang berhubungan dengan tekanan darah.

b) Hormon eritrogenin atau renal eritropoietin faktor

(REF) yang berperan didalam proses pembentukan

eritrosit atau eritropoesis. (Kiyatno, 1991)

1. Fungsi hormonal ginjal

a) Perubahan pra hormon menjadi metabolik aktifnya.

b) Sintesis enzim yang bekerja pada protein plasma

tertentu untuk menghasilkan zat mirip

hormon.

c) Degradasi hormon beredar yang berlebih.

Sintesis enzim yang bekerja pada protein plasma tertentu untuk

menghasilkan zat-zat mirip hormon. Enzim-enzim tertentu yang di

sintesis dalam ginjal merupakan enzim yang amat penting dalam


pengaturan tekanan darah karena reaksinya dengan protein plasma

spesifik menghasilkan zat mirip hormon. (Hartono, 1995)

2. Degradasi hormon

Degradasi hormon beredar yang berlebih dapat juga dijadikan

ciri penting lainnya pada ginjal yang sehubungan dengan fungsi

hormonal adalah kemampuannya bersama-sama hati untuk

mengadakan degradasi (penghancuran) hormon peptida tertentu,

misalnya insulin, ekskresi insulin yang beredar oleh ginjal kurang lebih

40 persen dari jumlah insulin yang memasuki pembuluh nadi ginjal

(arteri venalis). Sehingga setiap harinya 10 – 20 unit insulin

dihancurkan. Kadarnya sebagian oleh penurunan kemampuan sel-sel

ginjal untuk metabolisme hormon-hormon yang beredar (Hartono,

1995).

B. Gagal Ginjal Kronik

a. Definisi

Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan

fungsi ginjal menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan

sampah nitrogen lain dalam darah) (Harnawatraj, 2008). Pasien dengan

penyakit gagal ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju
filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju

filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Diagnosis penyakit gagal ginjal

kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60

ml/menit/1,73m2 (Hafidz, 2010).

b. Penyebab

Penyebab gagal ginjal kronik dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu:

1) Penyebab pre-renal

Berupa gangguan aliran darah kearah ginjal sehingga ginjal

kekurangan suplai darah sehinnga kurang oksigen dengan akibat lebih

lanjut jaringan ginjal mengalami kerusakan. misal: volume darah

berkurang karena dehidrasi berat atau kehilangan darah dalam jumlah

besar, berkurangnya daya pompa jantung, adanya sumbatan/ hambatan

aliran darah pada arteri besar yang kearah ginjal, dsb.

2) Penyebab renal

Berupa gangguan/kerusakan yang mengenai jaringan ginjal sendiri.

Misal : kerusakan akibat penyakit dibetes mellitus, hipertensi, penyakit

sistem kekebelan tubuh seperti sel lupus eritematosus (SLE), kista

dalam ginjal.

3) Penyebab post renal


Berupa gangguan/hambatan aliran keluar (output) urin sehinggga

terjadi aliran balik urin kearah ginjal yang dapat menyebabkan

kerusakan ginjal. Misal : akibat adanya sumbatan / penyempitan pada

saluran pengeluaran urin antara ginjal sampai ujung saluran kencing,

contoh : adanya batu pada ureter sampai urethra, penyempitan akibat

saluran tertekuk, penyempitan akibat pembesaran prostat dan tumor.

c. Tanda dan Gejala

Tanda – tanda yang bisa diperoleh jika penderita telah menderita.

GGK dibagi berdasarkan sistem adalah sebagai berikut :

1) Gangguan pada sistem pencernaan

a) Tidak ada nafsu makan, mual hingga muntah karena gangguan

metabolisme tubuh

b) Bau yang khas yang keluar dari mulut. Faktor uremik adalah bau

khas yang keluar dari mulut penderita yang disebabkan oleh

ureum yang berlebihan pada air liur

c) Sering mengalami cegukan, penyebabnya belum diketahui

d) Menderita sakit maag, dan peradangan pada usus

2) Gangguan pada kulit

a) Kulit gatal pucat dan kekuning – kuningan

Penderita GGK akan menjadi lebih putih ( pucat ) akibat anemia


dan berwarna kuning akibat penimbunan urokrom. Gatal

dikarenakan racun yang tidak bisa dikeluarkan pada air seni keluar

melalui kulit

b) Sering terjadi memar akibat terganggunya fungsi pembekuan

darah

3) Sistem hematologi / darah

a) Kurang darah atau anemia

Anemi pada GGK dapat terjadi karena kurangnya produksi

eritropoetin sehingga rangsangan pada sumsung tulang untuk

membentuk sel-sel darah berkurang, terjadi juga akibat hancurnya

sel-sel darah karena kadar racun seperti ureum yang tinggi pada

darah, kurangnya masukan makanan, perdarahan pada usus dan

kulit.

b) Gangguan fungsi sel darah putih ( leukosit )

Terjadi gangguan pada sel darah putih mengakibatkan mudah

terjadi infeksi dan sukar sembuh karena sistem pertahanan tubuh

menurun.

4) Gangguan pada sistem saraf dan otot

a) Sering merasa pegal pada kaki (restless leg syndrom)

b) Rasa seperti terbakar atau semutan pada telapak kaki (burning

feet syndrom)

c) Enselopati metabolik, mengakibatkan perasaan lemah, tidak bisa


tidur, gangguan konsentrasi, tremor hinggga menyebabkan

kejang.

d) Kelemahan otot, otot menjadi lemah dan mengecil pada tungkai.

5) Gangguan pada sistem jantung dan pembuluh darah

(kardiovaskuler)

a) Terjadinya peningkatan tekanan darah atau hipertensi. Terjadi

akibat penimbunan cairan dan tergangguanya produksi renin

b) Sering mengalami nyeri dada dan sesak nafas. Hal ini

disebabkan karena selaput pembungkus jantung ( perikard )

mengalami radang yang diistilahkan dengan perikarditis.

c) Penyakit jantung koroner bisa juga terjadi akibat aterosklerosis

yang timbul dini. Aterosklerosis terjadi karena gangguan

metabolisme lemak yang terjadi pada pasien GGK.

6) Gangguan pada sistem endokrin.

a) Terjadi penurunan libido, fertilitas, dan aktivitas seksual lainnya.

Pada wanita bisa terjadi gangguan menstruasi hingga tidak

memperoleh menstruasi lagi.

b) Terjadi gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin hingga

gangguan produksi insulin yang menyebabkan penyakit kencing

manis.

c) Terjadi gangguan metabolisme lemak yang ditandai

meningkatnya kadar kolesterol dan trigliserid dalam darah.


d) Gangguan metabolisme vitamin D. ( Tapan, 2004 )

Penyebab gagal ginjal tidak selalu sama diberbagai negara dan

juga polanya berubah sesuai kondisi tiap negara. Glomerulonefritis

merupakan etiologi yang utama diseluruh dunia, tetapi di Indonesia dan

beberapa negara berkembang tidak selalu glomerulonefritis menjadi

penyebab terbesar (Tambayong, 2000).

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis

dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit

dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder

apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes

melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau

amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).

Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan

ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan

ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi

pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).

C. Hemodialisa

Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan ginjal seseorang

mengalami disfungsi, antara lain akibat dari komplikasi dengan penyakit lain

seperti diabetes dan hipertensi, atau bisa juga disebabkan karena hal lain

seperti batu ginjal, kista ginjal, atau akibat penyalahgunaan obat- obatan
sehingga dalam hidup sehari-harinya, pasien dengan gangguan pada ginjal

dapat hidup normal dengan melakukan hemodialisa secara teratur, tidak

melakukan kerja berat dan melakukan diet ketat sesuai anjuran dokter ahli

ginjal. (www.rs-jih.com, 2009)

Hemodialisa berasal dari kata hemo (darah), dan dialisa (pemisahan

atau filtrasi). Pada prinsipnya hemodialisa menempatkan darah berdampingan

dengan cairan dialisat atau pencuci yang dipisahkan oleh suatu membran atau

selaput semi permeabel. Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu

atau zat sampah. Proses ini disebut dialysis yaitu proses berpindahnya air atau

zat, bahan melalui membran semi permeabel (Pardede, 1996)

Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter

khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang

digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita

dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan

masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan

vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan Dalam kegiatan proses

hemodialisa terjadi 3 proses utama seperti berikut :

a) Proses Difusi yaitu berpindahnya bahan terlarut

karena perbedaan kadar di dalam darah dan di dalam

dialisat. Semakian tinggi perbedaan kadar dalam

darah maka semakin banyak bahan yang dipindahkan

ke dalam dialisat.
b) Proses Ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan

bahan terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis

dalam darah dan dialisat.

c) Proses Osmosis yaitu proses berpindahnya air karena

tenaga kimia, yaitu perbedaan osmolaritas darah dan

dialisat. ( Lumenta, 1996 ).

1. Prosedur hemodialisa

Hemodilisa digunakan pada payah ginjal akut, dimana terdapat

peningkatan katabolisme protein, seperti pada infeksi, dan pada payah

ginjal kronik. Pada ginjal kronik, dialisis harus dilakukakan 2-3 kali per

minggu untuk jangka waktu total 8-30 jam. Darah dipompakan ke alat

dialisis oleh pompa pengaduk melului saluran dengan peralatan yang tepat

untuk mengatur aliran dan tekanan di dalam sistem tersebut, aliran darah

kira-kira harus 300 sampai 450 ml/menit. Tekanan hidrostatik negatif pada

sisi dialisat sistem dapat di manipulasi untuk mencapai pembersihan cairan

yang diinginkan,yang disebut ultrafiltrasi. Membran dialisis mempunyai

koefisien ultrafiltrasi yang berbeda (yaitu cairan yang disingkirkan per

millimeter tekanan air raksa per menit), pemilihan menentukan

pembuangan cairan, seiring dengan perubahan tekanan hidrostatik. Dialisat

yang dihantarkan kearah dialisis dari sebuah tangki penyimpanan atau

sistem pembagian yang membuat dialisat berada pada jalurnya. Pada


kebanyakan sistem, dialisat lewat satu kali melintasi membran berlawanan

aliran dengan aliran darah pada nilai sebesar 500 ml/menit (Carpenter dan

Lazarus, 1995).

D. Eritrosit

Eritrosit berasal dari sel induk pluripotensial yang kemudian melalui

sel induk mieloit multipotensial membentuk sel eritroit pelopor. Eritrosit

dibentuk melalui suatu proses pematangan yang terdiri atas beberapa tahap,

yaitu pembelahan dan perubahan-perubahan morfologi sel-sel berinti mulai

dari proeritroblas sampai ortokromatik eritroblas, disusul kemudian oleh

pembentukan eritrosit tidak berinti yang disebut retikulosit dan akhirnya

menjadi eritrosit (Boedina, SK, 2001).

Aktifitas eritropoietik diatur oleh hormon eritropoitin, yang dihasilkan

oleh gabungan faktor ginjal dengan protein plasma Ransangan untuk produksi

eritropoietin adalah tekanan O2 dalam jaringan ginjal . Kadar oksigen dalam

jaringan ditentukan oleh aliran darah, kadar hemoglobin, saturasi oksigen

hemoglobin dan afisitas oksigen terhadap hemoglobin (Hoffbrand, 2006).

Segala keadaan yang menurunkan oksigenasi ginjal, misalnya kadar

hemoglobin yang rendah, gangguan penglepasan oksigen oleh hemoglobin,

gangguan pertukaran oksigen pada pernapasan dan hambatan aliran darah

dapat meningkatkan kadar eritropoietin apabila fungsi ginjal adekuat

(Boedina, SK, 2001). Jumlah eritrosit baru yang diproduksi setiap hari sangat
banyak, maka sumsum tulang memerlukan banyak prekursor untuk

mensintesis dalam jumlah banyak. Golongan zat berikut dibutuhkan untuk

eritropoiesis (Hoffbrand, 2006).

a. Logam : besi, mangan, kobalt

b. Vitamin : B12, folat, C, E, B6, tiamin, riboflavin, asam

pantotenat

c. Asam amino

d. Hormon : eritropoietin, androgen, tiroksin

Fungsi utama eritrosit yaitu membawa oksigen dari paru-paru ke

jaringan tubuh dan transfer karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru.

Transfer oksigen berlangsung melalui hemoglobin yang terdapat dalam

eritrosit. Eritrosit yang mengandung hemoglobin merupakan komponen

hematologi utama dari transpor oksigen, transpor gas, mempertahankan

integritas dan fleksibilitas membran (Isbister, 1999).

Morfologi eritrosit dapat diamati pada sediaan apus yang dicat dengan

pulasan Wright, Giemsa atau menggunakan zat warna lain. Eritrosit normal

berbentuk bikonkav dengan diameter 7-9 µm. Gambaran sediaan apus yang

menunjukkan sebagian besar eritrosit berdiameter < 7 µm disebut dengan

istilah mikrositosis. Keadaan ini dijumpai pada anemia defisiensi besi,

thalasemia. Eritrosit berdiameter > 9 µm disebut makrositosis menunjukkan

eritrosit lebih besar daripada normal banyak dijumpai pada anemia

megaloblastik. Gambaran yang menunjukkan berbagai ukuran sel disebut


anisositosis. Eritrosit dengan zona tengah yang lebih pucat dan lebar disebut

hipokrom, merupakan petunjuk bahwa kadar hemoglobin eritrosit itu rendah

(Boedina, SK, 2001)

Menghitung jumlah eritrosit dengan cara manual menggunakan volume

darah yang sangat kecil dengan pengenceran yang tinggi. Cara ini memekan

waktu dan kuarang teliti, cara otomatik memungkinkan jumlah eritrosit

dihitung lebih teliti.( Villanova, 2000 ). Peningkatan jumlah eritrosit dijumpai

pada polisitemia vera, dehidarsi, hipoksia. Sedangkan penurunan jumlah

ertrosit dijumpai pada anemia, perdarahan, hemolisis, malnutrisi. (Uthman,

2002 ).

E. Anemia

1. Pengertian

Anemia Defisiensi Besi adalah anemia yang timbul akibat

kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan

besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan

hemoglobin (Hb) berkurang (Irwanashari, 2011).

2. Gejala

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan

besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun

adalah :

1) Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat


berasal dari :

a. Saluran Cerna : Akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker

kolon,divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing tambang.

b. Saluran genitalia wanita : menorrhagia atau metrorhagia.

c. Salura kemih : hematuria.

d. Saluran napas : hemoptoe.

e. Saluran ginjal : uremia, gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik

2) Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan,

atau kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan

banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).

3) Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam

masa pertumbuhan dan kehamilan.

4) Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis

kronik.

Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik

hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau

peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama (Irwanashari,

2011).

3. Pemeriksaan laboratorium

Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang

dapat dijumpai adalah :

1) Penurunan Kadar hemoglobin MCV, MCHC dan MCH menurun.


MCH < 70 fl. RDW (red cell distribution width) meningkat

2) Apus sumsum tulang : Hiperplasia eritropoesis, dengan

kelompok-kelompok normo-blast basofil.

3) Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity

(TIBC) meningkat >350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.

4) Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum,

konsentrasinya sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya

retikuloendotel. Pada anemia defisensi besi, kadar feritin serum sangat

rendah, sedangkan feritin serum yang meningkat menunjukkan adanya

kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari jaringan yang

rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi. Kadar

feritin serum normal atau meningkat pada anemia penyakit kronik.

5) Feses : Telur cacing Ankilostoma duodenale / Necator americanus.

6) Pemeriksaan lain : endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon

in loop, pemeriksaan ginekologi.(Irwanashari, 2011)

F. Fe/TIBC

1. Pengertian

Zat besi (Fe) adalah unsur mineral yang paling penting dibutuhkan

oleh tubuh karena perannya pada pembentukan hemoglobin. Senyawa ini

bertindak sebagai pembawa oksigen dalam darah, dan juga berperan dalam

transfer CO2 dan H positif pada rangkaian trasport elektron yang diatur
oleh fosfat organik (Soeida, 2008).

Menurut Bothwell, et,al.,1979 dan Commision of European

Communities (CEC), 1993 cit Gillespie, (1998), Besi (Fe) merupakan

mikronutrien yang esensial dalam memproduksi hemoglobin yang

berfungsi dalam mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh,

mengangkut electron dalam sel, dan dalam mensintesa enzim yang

mengandung besi yang dibutuhkan untuk menggunakan oksigen selama

memproduksi energi selluler.

Total kapasitas pengikatan zat besi ( TIBC ) adalah Zat besi yang

berhubungan dengan transferin plasma ( protein ) yang bertanggung jawab

terhadap transportasi zat besi ke sumsung tulang untuk sintesa hemoglobin.

(Joyce LeFever Kee, 1997)

2. Sumber zat besi ( fe )

Secara alamiah zat besi diperoleh dari makanan. Sumber baik zat

besi adalah makanan hewani, seperti daging, ayam, dan ikan. Ada dua

bagian zat besi dalam tubuh, yaitu bagian fungsional yang dipakai untuk

keperluan metabolik, dan bagian yang merupakan cadangan (reserfa).

Hemoglobin, myoglobin,cytocrome serta enzim hem dan nonhem adalah

bentuk zat besi yang fungsional dan berjumlah antara 5-25 mg/kg berat

badan. Feritin dan hemosiderin adalah bentuk zat besi reserva yang

biasanya terdapat dalam hati, limpa dan sumsum tulang (Wirakusumah,

1999).
Menurut Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1998 menetapkan

angka kecukupan besi untuk Indonesia sebagai berikut :

Bayi : 3 – 5 , Balita : 8 – 9, Anak sekolah : 10, Remaja laki-laki : 14 – 17,

Remaja Perempuan : 14 – 25, Dewasa laki-laki : 13, Dewasa Perempuan :

14 – 26, Ibu hamil : > 20, Ibu menyusui : > 2 mg

3. Metabolisme besi ( fe )

Zat besi merupakan unsur yang penting dalam tubuh dan hampir

selalu berikatan dengan protein tertentu seperti hemoglobin, mioglobin.

Kompartemen zat besi yang terbesar dalam tubuh adalah hemoglobin yang

dalam keadaan normal mengandung kira-kira 2 gram zat besi.Hemoglobin

mengandung 0,34% berat zat besi; 1 ml eritrosit setara dengan 1 mg zat

besi.

Feritin merupakan tempat penyimpanan zat besi terbesar dalam

tubuh. Fungsi feritin adalah sebagai penyimpanan zat besi terutama di

dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Zat besi yang berlebihan akan

disimpan dan bila diperlukan dapat dimobilisasi kembali.Hati merupakan

tempat penyimpanan feririn terbesar di dalam tubuh dan berperan dalam

mobilisasi feritin serum.Pada penyakit hati akut maupun kronik kadar

feritin serum meningkat,ini disebabkan pengambilan feritin dalam sel hati

terganggu dan terdapat pelepasan feritin dari sel hati yang rusak.Pada

penyakit keganasan sel darah kadar feritin serum meningkat disebabkan

meningkatnya sintesis feritin oleh sel leukemia.Pada keadaan infeksi dan


inflamasi terjadi gangguan pelepasan zat besi dari sel retikuloendotelial

yang mekanismenya belum jelas, akibatnya kadar feritin intrasel dan serum

meningkat. Feritin disintesis dalam sel retikuloendotelial dan disekresikan

ke dalam plasma. Sintesis feritin dipengaruhi oleh konsentrasi cadangan

besi intrasel dan berkaitan pula dengan cadangan zat besi intrasel (

hemosiderin ).

Zat besi dalam plasma sebagian berikatan dengan transferin,yang

berfungsi sebagai transpor zat besi. Transferin merupakan suatu

glikoprotein; setiap molekul transferin mengandung 2 atom Fe. Zat besi

yang berikatan dengan transferin akan terukur sebagai kadar besi serum

yang dalam keadaan normal hanya 20-45% transferin yang jenuh dengan

zat besi, sedangkan kapasitas daya ikat transferin seluruhnya disebut total

iron binding capacity (TIBC) = daya ikat besi total. (Ria Bandiara, 2003)

4. Proses Penyerapan dan Penyimpanan Zat Besi

Sebagian besar transferin darah membawa besi ke sum -

sum tulang dan bagian tubuh lain. Di dalam sum-sum tulang besi

digunakan untuk membuat haemoglobin yang bagian sel darah merah.

Sisanya di bawa ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Kelebihan besi

yang bisa mencapai 200 hingga 1500 mg. disimpan sebagai protein feritin

dan hemosiderin di dalam hati (30%). Sum - sum tulang belakang (30%)

dan selebihnya dalam limfa dan otot. Dari simpanan besi tersebut hingga

50 mg sehari dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti


pembentukan hemoglobin. Feritin yang bersirkulasi didalam darah

mencerminkan simpanan besi didalam tubuh. Pengukuran feritin di dalam

serum merupakan indikator penting dalam menilai status besi. penyerapan

zat besi ada tiga faktor utama yang mempengaruhi penyerapan zat besi

oleh tubuh, yaitu ketersediaan zat besi dalam tubuh, bioavailabilitas zat

besi, dan adanya faktor penghambat penyerapan zat besi. Apabila jumlah

zat besi yang berada dalam tubuh menurun maka penyerapan zat besi akan

meningkat. Pada laki-laki penyerapan zat besi akan meningkat setelah

pertumbuhan terhenti dan akan memasuki masa dewasa. Sebaliknya pada

wanita justru setelah masa manopouse cadangan zat besi dalam tubuh

meningkat dan penyerapan justru menurun karena tidak mengalami

mentruasi lagi (Wirakusumah,1999).

Tubuh yang kekurangan zat besi akan mengatur agar kebutuhan zat

besi untuk pembentukan sel-sel darah merah tetap dapat terpenuhi. Oleh

karena itu,sumsum tulang bekerja lebih aktif serta semua kegiatan

pencernaan dan absorbsi berlangsung lebih efisien. Jumlah zat besi dalam

tubuh terutama diatur oleh penyerapan yang bervariasi. Apabila

penyerapan zat besi dalam tubuh berkurang maka penyerapan akan

meningkat.

Defisiensi besi terjadi karena : (1) Konsumsi Sumber zat besi yang

berasal dari makanan yang tingkat absorbsinya rendah dan adanya

penghambat /inhibitor. (2) Asupan makanan sumber zat besi kurang. (3)
Meningkatnya kebutuhan zat besi misalnya pada keadaan hamil dan pada

saat pertumbuhan cepat terutama pada anak-anak. (4) Kehilangan darah

(Depkes RI, 1996)

5. Pemeriksaan Fe/TIBC dan eritrosit

Dilaboratorium kami pemeriksaan Fe/TIBC menggunakan alat

ABX PENTRA 400 dan eritrosit menggunakan ABX PENTRA 60. Prinsip

kerja alat ABX PENTRA 400 adalah cahaya putih dari lampu halogen

tungsten ditangkap oleh lensa kondensor pertama, kemudian mengalami

pemantuan dari cermin pantul dan dipertajam oleh lensa kondensor kedua,

selanjutnya cahaya akan melalui kuvet dan berinteraksi dengan campuran

reagensia dan bahan pemeriksaan yang telah selesai bereaksi. Cahaya yang

diteruskan dari kuvet tersebut diarahkan dan dipusatkan oleh lensa

kondensor ketiga kemudian ditangkap oleh sejenis cermin cekung

reflective grating spreads menjadi cahaya monokromatik dan

merefleksikannya pada detektor PDA ( Pixel Digital Analogical ). (Horiba

ABX, 2008)

Prinsip kerja alat ABX PENTRA 60 adalah Berdasarkan spesifikasi

ukuran sel yang melewati filter dengan memakai tegangan listrik, spesimen

yang didistribusikan kedalam chamber – chamber dilakukan secara

tangensial dengan bantuan dari diluent yang memberikan pengocokkan


yang sempurna dan menghilangkan permasalahan dari kerapatan spesimen,

untuk sekali pembacaan bisa diperiksan sekaligus beberapa parameter

seperti Hb, Ht, Leukosit, Trombosit, Eritrosit, MCV, MCH, MCHC dan

hitung Jenis. (ABX Diagnostik,1999)

G. Hubungan antara hemodialisa dengan Fe/TIBC dan eritrosit

Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai

sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan trauma atau penyakit

neoplastik yang telah berlangsung 1–2 bulan dan disertai penyakit hati, ginjal

dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi,

sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis

besar patogenesis anemia penyakit kronis dititik beratkan pada 3 abnormalitas

utama: (1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis

eritrosit lebih dini, (2) Adanya respon sum - sum tulang akibat respon

eritropoetin yang terganggu atau menurun, (3) Gangguan metabolisme berupa

gangguan reutilisasi besi. Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan

anemia defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi

serum. Oleh karena itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan untuk

membedakannya. Rendahnya besi di anemia penyakit kronis disebabkan

aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma menurun,

sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh degradasi transferin


yang meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga meningkat melalui

mekanisme yang sama. Berbeda dengan anemia defisiensi, gangguan

metabolisme besi disebabkan karena kurangnya asupan besi atau tidak

terpenuhinya kebutuhan besi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan besi atau

perdarahan. (Adang Muhammad, Osman Sianipar, 2005)

H. Kerangka Teori

Penyebab :

Gagal Ginjal Kronik

Sebelum hemodialisa Sesudah hemodialisa

Darah Darah

Pemeriksaan Fe/FIBC,eritrosit Pemeriksaan Fe/TIBC, eritrosit

Gambar 2. Kerangka teori


I. Kerangka Konsep

Penderita GGK yang


sebelum menjalani HD
Kadar
Fe,TIBC,eritrosit

Penderita GGK yang


sesudah menjalani HD

Gambar 3. Kerangka konsep

J. Hipotesis penelitian

1. Ha : Ada perbedaan kadar Fe/TIBC,eritrosit sebelum dan sesudah

hemodialisa.

2. Ho : Tidak ada perbedaan kadar Fe/TIBC,eritrosit sebelum dan

sesudah hemodialisa.

Anda mungkin juga menyukai