Anda di halaman 1dari 3

Medical Populism Vs Influencer Era Pandemi COVID-19

Ari Baskoro
Divisi Alergi-Imunologi Klinik

Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam


FK Unair/RSUD Dr. Soetomo-Surabaya

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Makna peribahasa yang kita pelajari
sejak bangku sekolah dasar ini tak pernah lekang oleh waktu, bahkan masih relevan untuk
dicermati pada saat wabah COVID-19 melanda seluruh dunia yang terjadi pada saat ini.
Pandemi tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan, namun berimbas pada hampir
segala sendi kehidupan. Namun demikian, disisi lain wabah ini mampu menciptakan berita-
berita besar yang mungkin akan terkenang oleh anak-cucu kita nantinya. Setiap daerah atau
bahkan dalam skala yang lebih luas yaitu suatu negara, akan menyikapi masalah pandemi ini
mungkin dari sudut pandang yang berbeda-beda dan situasi ini tidak lepas dari kebijakan
politik yang diambil pemimpin atau pejabat negara tersebut.
Saat ini terminologi “medical populism” (MP) relatif banyak digunakan dalam majalah-
majalah kesehatan masyarakat yang mengacu pada unsur identifikasi dan analisis konstruksi
politik dalam hal merespons pandemi COVID-19, khususnya di Brasil, Filipina dan USA
(Lasco,2020). Kebijakan atau pernyataan dari seorang kepala/pejabat negara yang terkena
dampak wabah COVID-19, menjadi perhatian atau sorotan publik internasional, terutama
yang sifatnya kontroversi atau mungkin tidak seirama dengan pendapat mayoritas
masyarakat dunia. Pemimpin ketiga negara tersebut “terkenal” dengan pernyataan-
pernyataannya yang kontroversial dan berbau menyederhanakan pandemi, seperti misalnya
meremehkan dampak pandemi atau menggembar-gemborkan solusi atau cara-cara
penanganan yang mudah.
Dilain pihak, istilah influencer bisa dimaknai sebagai sosok individu yang bisa
memberikan pengaruh besar di masyarakat. Dengan kemampuan kepemimpinannya dan
pendekatannya pada suatu masalah, bisa memberi inspirasi dan panutan bagi para follower
(pengikutnya).
Wabah COVID-19 juga diramaikan oleh menjamurnya berbagai informasi, baik yang
sifatnya resmi dan layak dipercaya, terutama dari media-media mainstream, namun tidak
sedikit berita-berita bohong (hoax)/disinformasi yang mungkin berasal dari sumber-sumber
yang tidak berkompeten atau yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, namun publik tetap
menganggapnya sebagai suatu bahan rujukan yang bernilai “benar”. Tentu saja opini
seseorang sangat dipengaruhi oleh sumber berita yang berasal dari mana dia
mendapatkannya, apalagi kalau dianggapnya sumber informasi itu sesuai dengan alur
pemikirannya.
Pro dan kontra persoalan pandemi COVID-19 ini bukan hanya milik publik yang
berpendapat bahwa pandemi adalah suatu kenyataan yang harus dihadapi, namun tidak
sedikit yang menganggapnya sebagai suatu rekayasa atau konspirasi belaka. Perbedaan cara
pandang ini pada akhirnya melaju terus pada kepercayaan publik terhadap vaksinasi yang
merupakan salah satu cara yang terbukti ampuh meredam penyebaran penyakit menular
pada era-era wabah sebelumnya. Oleh karenanya diperlukan peranan yang besar dari para
pemimpin ataupun tokoh-tokoh dari berbagai negara yang bisa dijadikan contoh sekaligus
panutan dalam masalah mitigasi bencana non-alam ini , termasuk program vaksinasi COVID-
19. Tanpa adanya partisipasi publik yang nyata, niscaya target populasi untuk mencapai herd
immunity hanya akan menjadi angan-angan belaka.
Bentuk Medical Populism
- Menyederhanakan Pandemi.

Dampak wabah menimbulkan masalah yang kompleks pada semua lini kehidupan,
namun masalah “keganasan” virus atau akibat masif yang ditimbulkannya “hanya” dianggap
sebagai kasus flu biasa yang bisa sembuh dengan sendirinya, serta menjanjikan memberi
solusi mudah dan cepat dengan pengobatan yang efektif (misalnya hydroxychloroquine),
vaksin yang segera tersedia atau melontarkan suatu argumentasi bahwa situasi
perekonomian yang tertekan akan segera pulih (Lasco & Curato,2019)
- Dramatisasi Krisis.
Brubaker (2020), seorang guru besar sosiologi dari University of California Los Angeles
(UCLA), memperhatikan suatu fenomena yang tampak pada tokoh-tokoh tertentu yang
mendramatisasi persoalan yang sifatnya populis dan sering kali tampak berlebihan serta
melenceng dari masalah yang sebenarnya. Bahaya pandemi yang tampak nyata dan
memerlukan tindakan segera, namun awalnya ditanggapi sebagai bentuk konspirasi dengan
menganggap remeh. Menurut sosiolog tersebut, pada kesempatan lain, aktor-aktor politik
mendramatisasi pandemi sebagai ancaman yang luar biasa yang merupakan dalih untuk
mendapatkan “simpati publik”, namun secara bersamaan memainkan peran memberlakukan
tindakan-tindakan yang dramatis seperti “lockdown” atau mendeklarasikan keadaan
“darurat” sebagai respons yang sepadan dan sah dalam menjaga keamanan publik.
- Klaim “pengetahuan” yang tanpa bukti/ pseudosains

Pemimpin negara Paman Sam sering kali menuntut suatu penyelidikan intelijen yang
menuduh virus Corona sengaja dirancang oleh suatu laboratorium di Cina, walaupun tanpa
bukti-bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Klaim ini memberi kesan
penyederhanaan masalah terhadap suatu krisis yang bisa berakibat angin segar bagi pembuat
berita bohong. Pernyataan ini sangat mempengaruhi pola berpikir publik yang antara lain
menyokong adanya teori konspirasi. Namun bukti-bukti secara ilmiah menampik teori bahwa
virus COVID-19 bukanlah buatan manusia yang dimodifikasi secara genetik, melainkan berasal
dari hewan (zoonosis) dan bukan pula diproduksi oleh suatu laboratorium.
Vaksinasi
Saat ini dunia telah merasakan dampak buruk pandemi COVID-19 yang tidak mudah
diprediksi kapan berakhirnya. Harapan untuk membendung laju penularan penyakit ini
mengerucut pada program vaksinasi yang telah dimulai oleh beberapa negara, khususnya
negara-negara maju. Pemerintah Indonesia pun telah mempersiapkan langkah-langkah untuk
segera merealisasikan program prevensi tersebut yang telah ditegaskan bisa diakses secara
gratis. Namun demikian, tidak hanya di luar negeri, di negara kita pun berita-berita
negatif/disinformasi/hoax seputar vaksinasi melalui media sosial yang dapat menimbulkan
restriksi masyarakat, acap kali masih terekspos. Pernyataan presiden Jokowi yang siap sebagai
penerima vaksin pertama di Indonesia yang kemudian pernyataan tersebut diikuti oleh
gubernur Jawa Timur yang juga siap sebagai calon penerima vaksin pertama di Jatim, bisa
merupakan influencer yang mestinya merupakan “jaminan” untuk diikuti oleh followernya.
Pemimpin dunia yang sebelumnya dikenal sebagai golongan medical populism, yaitu Rodrigo
Duterte, presiden Filipina, saat ini siap sebagai influencer di negaranya. Langkah ini juga
diambil oleh Wapres USA, Mike Pence, Presiden terpilih Joe Biden, PM Uni Emirat Arab,
Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Benyamin Netanyahu dari Israel, Andres Manuel
Lopez dari Meksiko, Albert Fernandez dari Argentina dan Lee Hsien Long, PM Singapura.
Namun demikian, Jair Bolsonaro, presiden Brasil, masih kukuh menolak vaksin COVID-19.
Semoga program vaksinasi dapat menanggulangi krisis kemanusian akibat wabah
COVID-19 yang melanda dunia saat ini.

-----o-----

Surabaya, 1 Januari 2021

Anda mungkin juga menyukai