Anda di halaman 1dari 3

Imunitas Pada Penyintas COVID-19

Ari Baskoro
Divisi Alergi-Imunologi Klinik

Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam


FK Unair/RSUD Dr. Soetomo-Surabaya

Pertanyaan yang setiap kali terlontar pada saat acara webinar tentang COVID-19,
adalah : kebalkah seorang penyintas terhadap terjadinya infeksi COVID-19 berikutnya, setelah
dinyatakan sembuh dari COVID-19 ? Pertanyaan ini tentunya membawa implikasi pada
berapa lama efektivitas suatu vaksin COVID-19 dapat mencegah terjadinya infeksi virus
tersebut ? Seperti kita ketahui, bahwa vaksinasi merupakan suatu cara memberikan “infeksi
buatan” (artificial infection) atau dengan sengaja memberikan suatu komponen protein
antigen virus atau potongan material genetik virus yang dapat “memerintahkan” sel-sel tubuh
untuk membentuk protein yang menyerupai antigen virus. Tindakan ini tidak akan
menimbulkan penyakit, namun sebaliknya dapat menginduksi terbentuknya zat imun yang
tidak hanya berupa antibodi (merupakan produk Limfosit B), tapi yang lebih penting lagi
adalah terbentuknya imunitas yang dibawakan oleh sel imun lainnya, yaitu Limfosit T.
Pada beberapa penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus, misalnya Campak, Mumps
(Gondong) dan Polio, imunitas yang ditimbulkan saat seseorang telah sembuh dari infeksi
virus tersebut, dapat berlangsung dalam jangka panjang. Oleh karena itu, vaksinasi Campak,
Mumps dan Polio, akan menghasilkan respons imunitas yang juga berlangsung lama. Namun
hal yang sebaliknya terjadi adalah, imunitas pasca infeksi pada beberapa macam virus yang
relatif sering mengalami mutasi. Oleh karena itu, seseorang akan dapat terinfeksi oleh virus
yang sama tersebut hingga beberapa kali. Memori sistem imun seolah-olah “lupa” terhadap
agen infeksi yang pernah “dijumpai” sebelumnya. Contoh klasik infeksi virus semacam ini
adalah virus Influenza yang bersifat musiman. Dengan demikian, vaksin dalam upaya
pencegahan Influenza, harus diperbarui dan dilaksanakan setiap tahunnya.
COVID-19 merupakan penyakit baru yang dari waktu ke waktu memerlukan perhatian
dan kajian para ahli, khususnya pola respons imunitas tubuh dalam menghadapi virus
“cerdas” ini. Akankah imunitas pasca COVID-19 bersifat jangka panjang atau hanya bersifat
sementara saja, dalam hitungan beberapa bulan ? Sekali lagi, pengetahuan ini juga sangat
penting untuk memberikan pemahaman yang cukup soal efektivitas suatu vaksin, khususnya
berapa lama seseorang bisa dicegah terhadap penularan virus tersebut, setelah mendapatkan
vaksinasi.
Respons Imunitas Terhadap COVID-19

Infeksi/penularan alamiah virus, menimbulkan respons imun yang berjalan secara


bertahap, mulai fase awal hingga pemulihan, umumnya memerlukan waktu sekitar 1-3
minggu, bahkan pada beberapa kasus bisa lebih lama lagi, tergantung derajat imunitas
seseorang. Sebagai garda terdepan adalah sistem imun alamiah (innate) yang memberi
respons secara cepat yang sebenarnya bertujuan untuk menghambat aktivitas berkembang
biaknya virus tersebut dalam sel-sel tubuh inangnya. Apabila imunitas alamiah tersebut
berfungsi dengan baik, maka gejala klinis COVID-19 ini tidak akan muncul (orang tanpa
gejala/OTG) atau menampilkan gejala ringan saja. Namun individu dalam keadaan seperti ini
tetap “menyimpan” virus dalam jumlah besar dan sangat potensial sebagai sumber
penularan.

Respons imun alamiah ini segera “diambil alih” oleh respons imun adaptif humoral
(peranan limfosit B) yang ditandai dengan terbentuknya antibodi , serta imun adaptif seluler
yang diperankan oleh limfosit T, pada akhir minggu pertama setelah terinfeksi virus. Kedua
kompartemen sistem imun adaptif ini saling bahu membahu dalam melawan keberadaan
virus dalam tubuh inangnya, yaitu manusia. Pada prinsipnya, antibodi akan berfungsi
menetralisasi virus, sehingga virus tersebut tidak bisa memasuki sel tubuh inangnya untuk
beranak pinak, sedangkan limfosit T yang juga dibantu oleh antibodi, bertugas membunuh
atau mengenyahkan keberadaan virus yang sudah terlanjur berkembang biak dalam sel-sel
tubuh manusia. Apabila limfosit T dan limfosit B berfungsi dengan baik (immunocompetent),
maka akan segera berakhirlah infeksi COVID-19 yang bisa diartikan “sembuh” dengan ditandai
tidak ditemukannya virus melalui pemeriksaan usap (swab) tenggorok-PCR.
Setelah sembuh dari COVID-19, sistem imun manusia membentuk sel memori yang
berfungsi menyimpan ingatan terhadap agen penyebab infeksi, yaitu virus COVID-19. Apabila
seseorang penyintas terpapar lagi oleh virus penyebab yang sama, maka respons imunitas
adaptif humoral (limfosit B/antibodi) dan seluler (limfosit T) akan terpacu dengan cepat,
menghasilkan zat imun dengan kuantitas dan kualitas yang maksimal hanya dalam hitungan
beberapa jam saja, sehingga infeksi ulangan (reinfeksi) dapat terhindarkan. Pola respons
cepat seperti inilah yang disebut sebagai respons anamnestic yang sangat menyerupai
respons imun pasca ulangan vaksinasi (booster).

Saat ini para ahli sedang meneliti, apakah seorang penyintas bisa mengalami infeksi
ulangan dengan virus yang sama atau dengan virus yang berbeda strain ? Atau dengan kata
lain sampai waktu berapa lamakah seorang penyintas mampu membentuk proteksi agar tidak
terinfeksi ulang ? Pertanyaan ini relevan dengan persoalan, berapa lamakah imunitas pasca
vaksinasi mampu memberikan proteksi terhadap paparan virus Corona ? Apakah imunitas
pasca vaksinasi juga mampu memberikan proteksi terhadap virus yang juga mengalami
mutasi ? Bukti ilmiah yang saat ini dilaporkan dari beberapa negara, menunjukkan adanya
kemungkinan terjadinya infeksi ulang (reinfection) terhadap virus yang berbeda strain yang
semula keadaan ini diduga sebagai akibat terjadinya reaktivasi oleh virus yang sama.
Reaktivasi mempunyai pengertian, virus yang sebelumnya “tertidur” ( “dormant”) karena
tertekan oleh sistem imun inangnya yang lebih dominan, suatu saat “terbangun” kembali
karena sistem imun inangnya mengalami kelelahan/penekanan (immune exhaustion). Suatu
hal yang menarik untuk disimak adalah, prognosis untuk infeksi ulang yang terjadi sulit untuk
diprediksi. Dari laporan kasus di beberapa negara, infeksi ulang yang terjadi bisa menjadi lebih
berat/fatal, namun tidak sedikit yang melaporkan mempunyai gambaran klinis yang lebih
ringan bahkan tanpa gejala.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli di seluruh dunia, terhadap
fenomena menurunnya antibodi yang protektif secara bertahap pasca penyembuhan COVID-
19, didapatkan hasil yang sangat bervariasi, namun pada umumnya berkisar antara 3 bulan
hingga 1 tahun. Apakah ini berarti vaksinasi COVID-19 akan memerlukan booster setiap 1
tahun sekali ? Kita masih harus tetap bersabar menantikan hasil penelitian tentang jangka
waktu efektivitas vaksinasi COVID-19 selanjutnya. Sebagai perbandingan saja, infeksi virus
Corona yang pernah mewabah sebelumnya, yaitu SARS (severe acut respiratory syndrome) di
Cina pada tahun 2002 dan MERS ( Middle-East respiratory syndrome) di Timur Tengah pada
tahun 2012, keduanya memberikan gambaran klinis yang lebih berat dibandingkan COVID-19,
imunitas yang dibangkitkannya bisa bertahan hingga 3 tahun.
Semoga dengan penjelasan respons imunitas pasca penyembuhan pada penyintas
COVID-19, bisa memberikan gambaran pola mekanisme sistem imunitas pasca vaksinasi
COVID-19.

-----o-----

Surabaya, 2 Januari 2020

Anda mungkin juga menyukai