Anda di halaman 1dari 68

BAB I

PENDAHULUAN

Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

berkesinambungan dan menyeluruh meliputi masyarakat, bangsa dan negara guna

melaksanakan tugas - tugas pembangunan dalam rangka mewujudkan tujuan

nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alenia 4.Dari

berbagai sasaran pembangunan, pembangunan di bidang kesehatan senantiasa

mendapatkan perhatian yang serius sebagai aspek penting dalam upaya

peningkatan sumber daya manusia (SDM) selain sebagai cermin dari kualitas

hidup suatu masyarakat.Pemerintah RI telah menyusun kebijakan nasional

mengenai pembangunan berwawasan kesehatan nasional sebagai strategi nasional

menjadi Indonesia Sehat 2010.

Program kesehatan masyarakat merupakan bagian penting dari program

pembangunan nasional. Upaya kesehatan yang semula dititikberatkan pada upaya

penyembuhan penderita berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan

kesehatan yang menyeluruh yang meliputi upaya peningkatan kesehatan

(promotive), pencegahan (preventive), penyembuhan penyakit (curative) dan

pemulihan kesehatan (rehabilitative). Upaya kesehatan tersebut harus

dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan oleh semua

pihak baik pemerintah maupun masyarakat (Depkes RI, 1992).

Untuk mewujudkan pembangunan berwawasan kesehatan nasional

tersebut dibutuhkan berbagai sumber daya termasuk pelayanan kesehatan, salah

satunya adalah fisioterapi.Fisioterapi merupakan bentuk pelayanan kesehatan

1
2
profesional yang bertanggung jawab atas kapasitas fisik dan kemampuan

fungsional individu dan atau kelompok masyarakat.Pelayanan fisioterapi meliputi

upaya pengembangan, pemeliharaan dan pemulihan serta optimalisasi gerak dan

kemampuan fungsional.(WCPT, 1999).

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) memiliki berbagai

dampak dalam kehidupan masyarakat, salah satunya adalah meningkatnya

kemakmuran masyarakat yang diikuti dengan peningkatan usia harapan hidup.

Sejalan dengan ini terjadi pergeseran pola penyakit, dimana penyakit pembuluh

darah akan menggeser infeksi sebagai penyebab kematian terbesar penduduk

Indonesia. Gangguan pembuluh darah otak (GPDO) adalah salah satu gangguan

pembuluh darah, yang dalam istilah klinis dikenal dengan sebutan stroke.

Stroke merupakan penyakit gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan

saraf akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak.Secara sederhana

stroke didefinisikan sebagai penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke otak

karena sumbatan atau perdarahan, dengan gejala lemas / lumpuh sesaat atau gejala

berat sampai hilangnya kesadaran, dan kematian (Junaidi, 2007)).

Setiap tahun hampir setengah juta penderita mengalami stroke dan kurang

lebih dua juta penduduk saat ini mengalami cacat tubuh akibat penyakit tersebut

(Hadinoto, 1980). Di Amerika Serikat, stroke merupakan sebab kematian ke dua

yang paling lazim terdapat setelah penyakit kardiovaskuler dimana angka

kematiannya mencapai 147.470 per tahun dan biaya risetnya mencapai 46 juta

dollar setahun (Widjaja, 1994). Hampir sebagian besar pasien mengalami stroke

jenis non haemorragik. Menurut Widjaja (1998) Pada tahun 1993 di laboratorium
3
ilmu penyakit syaraf RS Dr. Soetomo Surabaya, stroke merupakan urutan pertama

(59,5%) dari pasien yang dirawat terdiri dari 62,3% stroke non haemoragik dan

37,7% stroke haemoragik.

Stroke non haemorragik adalah gangguan vaskuler akibat aliran darah ke

otak terhenti karena aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu

pembuluh darah ke otak.(Misbach dan Kalim, 2007).

Stroke dapat menimbulkan problematik yang komplek tergantung topis

lesi yang terkena, seperti gangguan motorik, gangguan sensorik, peningkatan

tonus bahkan spastisitas, pola sinergis dan reaksi assosiasi yang menimbulkan

gangguan koordinasi dan keseimbangan gerak voluntersehingga potensial terjadi

kontraktur, keterbatasan ROM, penurunan kemampuan aktivitas fungsional

keseharian yang meliputi perawatan diri serta transver dan ambulasi.

Mengingat jumlah penderita stroke dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan, bahkan serangan stroke yang kini tidak lagi menyerang usia lanjut

saja tapi juga menyerang usia produktif, sehingga mereka tidak lagi mampu

melakukan aktifitas secara baik karena kecacatan yang mereka alami (Harun,

2003), maka strategi - strategi untuk menanggulangi kecacatan tersebut dilakukan

penanganan secara komprehensif, di antaranya layanan fisioterapi untuk

mengoptimalkan kualitas hidup dimana fokus layanan Fisioterapi dalam

penanganan penderita pasca stroke adalah meningkatkan pemulihan gerakan

(fungsi motorik), dan kemampuan fungsional pasien.

Pasien pasca stroke dari tahun ke tahun selalu mengalami kemajuan, tetapi

kualitas itu sendiri masih dipertanyakan dalam menuju perbaikan fungsi terbaik

yang bisa dicapai (Carr dan Shepperd, 1998). Beberapa metode fisioterapi yang
4
sering dipakai antara lain metode brunnstrom, propioceptive neuromuscular

facilitation (PNF), bobath ataupun motor relearning program (MRP). Setiap

metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing- masing.

Dari beberapa penelitian menunjukkan hasil bahwa pasien yang diberikan

terapi dengan metode MRP mendapatkan pemulihan yang cukup signifikan,

dengan manfaat: (1) meningkatkan kapasitas pembelajaran dan adaptasi otak

sehingga pasien dapat belajar fungsi motorik yang normal sebelum terjadi gerakan

subtitusi atau gerakan kompensasi, (2) mencegah ketidakseimbangan gerak otot,

(3) mencegah tidak digunakannya lagi anggota gerak yang lesi, (4) mencegah

terjadinya disuse effect seperti atropi otot, rapuhnya tulang, penurunan fungsi

cardiopulmonary (Carr dan Shepperd, 1986). Hasil penelitian ini untuk sementara

memberikan kesimpulan bahwa metode MRP dianggap sebagai pendekatan

fisioterapi yang efektif untuk masalah gerak dan aktifitas fungsional pasien stroke.

MRP merupakan program yang melatih kembali kontrol motorik yang

berdasarkan pemahaman kinematik dan kinetik gerakan normal, proses kognitif,

ilmu perilaku dan psikologi, latihan dalam olahraga, pemahaman tentang anatomi

dan fisiologi saraf serta tidak berdasarkan pada teori perkembangan normal

(Setiawan, 2007).

Tujuan terapi ini adalah melatih kontrol motorik dengan gerakan

fungsional spesifik sehingga pasien dapat melakukan gerakan fungsional sehari-

hari (Carr and Shepperd, 1987).Namun demikian, di lapangan metode MRP

jarang digunakan.Hal inilah yang menarik bagi penulis untuk mengangkat metode

MRP sebagai pendekatan yang dipakai pada tulisan ini.


5
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahannya apakah metode MRP dapat meningkatkan kemampuan

fungsional pada pasien pasca stroke?

C. Tujuan Penulisan

Dari rumusan tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini

adalah untuk mengetahui apakah metode MRP dapat meningkatkan kemampuan

fungsional pada pasien pasca stroke.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Keilmuan

Sebagai bahan masukan untuk menambah ilmu pengetahuan di

bidangkesehatan

2. Profesi Fisioterapi

Sebagai bahan masukan bagi tenaga fisioterapi pada umumnya, dan

khususnya pada terapis pelaksana di lapangan dalam meningkakan mutu

pelayanan fisioterapi pada kasus Stroke dengan Hemiparese.

3. Bagi Institusi

a. Rumah Sakit

Diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam rangka

meningkatkan mutu pelayanan fisioterapi yang ada di rumah sakit.


6
b. Pendidikan

Diharapkan Karya Tulis Ilmiah ini dapat sebagai bahan masukan

dan bahan kepustakaan bagi mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Fort De Kock Bukittinggi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus

1. Definisi stroke

Stroke adalah gangguan saraf yang menetap, yang diakibatkan oleh

kerusakan pembuluh darah otak,yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih.

Serangannya berlangsung selama 15-20 menit. Orang kerap menyebutnya

sebagai serangan otak idntik dengan serangan jantung. Masalah utama

pada stroke adalah karena gangguan peredaran darah diotak, sehingga kita

perlu memahami tentang anatomi fungsional otak. (Dr. Alferd Sutrisno,

Sp.BS 2007)

Stroke non hemoragik adalah gangguan peredaran darah otak yang

disebabkan oleh adanya penyumbatan suatu arteri serebral yang terjadi

karena thrombus yang terlepas dari perlengketannya (emboli) atau karena

thrombus setempat yang belum total mengurangi jatah darah kawasannya

pada waktu tekanan sistemik menurun (Sidharta, 1995). Sedangkan stroke

hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah di otak sehingga terjadi

perdarahan ke dalam jaringan otak (disebut hemoregia intra serebrum atau

hematoma intraserebrum) atau ke dalam ruang subaraknoid, yaitu ruang

sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak

(disebut hemoragia subaraknoid) (Feigin 2006).

7
2. Anatomi fungsional otak

a. Anatomi Otak

Otak merupakan bagian depan dari sistem saraf pusat yang

mengalami perubahan dan pembesaran. Bagian ini dilindungi oleh tiga

selaput pelindung(meninges) dan berada di dalam rongga tengkorak

(Chusid, 1979).Selain itu otakjuga merupakan jaringan yang paling

banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama

berasal dari metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan

dan kebutuhan akan oksigen dan glukosa melalui aliran darah yang

bersifat konstan (Wilson, 2002). Bagian-bagian dari otak :

1) Hemisferium Serebri

Hemisferium serebri dibagi menjadi dua hemisferium yaitu

hemisferium kanan dan kiri yang dipisahkan oleh celah dalam yang

disebut dengan fisura longitudinalis serebri (Chusid, 1979). Bagian

luar dari hemisferiumser terdiri dari substantia grisea yang disebut

sebagai korteks serebri. Kedua hemisferium inidihubungkan oleh

suatu pita serabut lebar yang disebut dengan corpus calosum.Pusat

aktivitas sensorik dan motorik pada masing-masing hemisferium

dirangkapdua, dan biasanya berkaitan dengan bagian tubuh yang

berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur bagian tubuh

sebelah kiri dan hemisferium serebri kirimengatur bagian tubuh

sebelah kanan. Konsep fungsional ini disebut pengendalian

kontralateral (Wilson, 2002).


2) Korteks Serebri

Korteks serebri pada cerebrum mempunyai banyak lipatan

yang disebutdengan konvulsi atau girus. Celah-celah atau lekukan

yang disebut sulcus terbentuk dari lipatan-lipatan tersebut yang

membagi setiap hemispherium menjadi daerah-daerah tertentu,

antara lain :

a) Lobus Frontalis

Lobus frontalis mencakup bagian dari korteks serebri ke

depan dari sulkussentralis dan diatas sulkus lateralis. Bagian ini

mengandung daerah-daerah motorik.Daerah broca terletak di

lobus frontalis dan mengotrol expresi bicara.Lobus frontalis

bertanggung jawab untuk perilaku bertujuan, penentuan

keputusan moral, dan pemikiran yang kompleks. Lobus ini juga

memodifikasi dorongan-dorongan emosional yang dihasilkan oleh

sistem limbic. Badan sel di daerah motorik primer lobus frontalis

mengirim tonjolan-tonjolanakson ke korda spinalis, yang

sebagian besar berjalan dalam alur yang disebut sebagai sistem

piramidalis. Pada sistem ini neuron-neuron motorik menyeberang

ke sisi yang berlawanan. Informasi motorik sisi kiri korteks

serebrum berjalan ke bawah ke sisi kanan korda spinalis dan

mengontrol gerakan motorik sisikanan tubuh, demikian

sebaliknya. Sedangkan akson-akson lain dari daerah motorik

berjalan dalam jalur ekstrapiramidalis. Serat ini mengontrol


gerakan motorik halus dan berjalan di luar piramidal ke korda

spinalis.

b) Lobus Temporalis

Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang

berjalan kebawah dari fisura lateralis dan sebelah posterior dari

fisura parieto-oksipitalis.Lobus ini adalah daerah asosiasi untuk

informasi auditorik dan mencakup daerah wernicke tempat

interpretasi bahasa.Lobus ini juga terlibat dalam interpretasi

baudan penyimpanan ingatan.

c) Lobus Parietalis

Lobus parietalis adalah daerah korteks yang terletak

dibelakang sulkussentralis, diatas fisura lateralis dan meluas ke

belakang ke fisura parietooksipitalis.Lobus ini merupakan daerah

sensorik primer otak untuk rasa raba danpendengaran.

d) Lobus Oksipitalis

Lobus oksipitalis adalah lobus posterior korteks serebrum.

Lobus ini terletak disebelah posterior dari lobus parietalis dan

diatas fisura parietooksipitalis.Lobus ini menerima informasi

yang berasal dari retina mata.


Gambar 1.Hemisferium Serebri (Swaramuslim, 2009)

Gambar 2
Gyrus pada Hemisferium Serebri (Putz, 1997)

Gambar 3.
Gyrus pada Hemisferium Serebri dari medial (Putz, 1997)
Beberapa daerah tertentu korteks serebri telah diketahui

memiliki fungsispesifik. Pembagian dan klasifikasi korteks

serebri telah diusahakan oleh banyak peneliti berdasarkan

arsitektur sel (cytoarchitecture). Sistem yang paling digunakan

ialah sistem dari von Economo dan Brodmann (gambar.4).

VonEconomo membedakan 5 tipe isokorteks yang utama

berdasarkan ciri-cirilapisannya. Dengan memakai angka-angka,

Brodmann memberikan label pada masing-masing daerah yang

dianggap berbeda dengan yang lain. Daerah-daerah tersebut telah

dipergunakan sebagai penetapan lokalisasi proses-proses fisiologi

dan patologis (Chusid, 1979). Pada lobus frontalis terdiri dari area

4 yang merupakan daerah motorik yang utama, area 6 merupakan

bagian sirkuit traktus extrapiramidalis, area 8 berhubungan

dengan gerakan mata dan pupil, area 9, 10,11,12 adalah daerah

asosiasi frontalis. Lobus parietalis terdiri dari area 3, 2,

1merupakan daerah sensoris post-sentralis yang utama. Lobus

temporalis terdiridari area 41 yang merupakan daerah auditorius

primer, area 42 merupakan korteks audiotorius sekunder atau

asosiasi, area 38, 40, 20, 21 dan 22 adalahdaerah asosiasi. Lobus

oksipitalis terdiri dari area 17 yaitu korteks striata,korteksvisual

yang utama, area 18 dan 19 merupakan daerah asosiasi visual

(Chusid,1979).
Gambar 4.
Permukaan lateral serebrum. Daerah-daerah korteks terlihat menurut
Brodmann(angka-angka) dan von Economo (huruf-huruf) (Chusid, 1979)
Gambar 5.

A. Sensory Homunculus, dilihat dari potongan coronal lewat girus post-


sentralis,
B. Motor Homonculus, dilihat dari potongan coronal lewat girus pre-
sentralis(Binhasyim, 2007)

3) Ganglia Basalis

Ganglia basalis adalah massasubstantia grisea yang terletak

dibagiandalam hemisferium serebri. Massa yang berwarna kelabu

dalam ganglion basalis terbagi menjadi empat bagian, yaitu nukleus

kaudatus, nukleus lentiformis, korpusamygdala dan

claustrum.Nukleus kaudatus dan nukleus lentiformis bersama

fasiculus interna membentuk korpus striatum yang merupakan unsur

pentingdalam sistem extrapiramidal.Fungsi dari ganglia basalis

adalah pusat koordinasidan keseimbangan.


4) Traktus Extrapiramidalis

Traktus extrapiramidalis tersusun atas korpus striatum, globus

palidus,thalamus, substantia nigra, formation lentikularis,

cerebellum dan cortex motorik. Traktus extrapiramidalis merupakan

suatu mekanisme yang tersusun dari jalur-jalurdari korteks motorik

menuju Anterior Horn Cell (AHC). Fungsi utama daritraktus

extrapiramidalis berhubungan dengan gerakan yang berkaitan

pengaturan sikap tubuh dan integrasi otonom. Lesi pada setiap

tingkat dalam traktus extrapiramidalis dapat menghilangkan gerakan

dibawah sadar.

Gambar 6
Traktus Extrapiramidalis(google.com)
5) Traktus Piramidalis

Traktus piramidalis berasal dari sel-sel betz pada lapisan ke

lima korteksserebri pada girus presentralis lobus frontalis ke kapsula

interna masuk kediencephalon diteruskan ke mesencephalon, pons

varolli sampai medullaoblongata. Di perbatasan medulla oblongata

dan medulla spinalis sebagian besartraktus ini merupakan

penyilangan di dekusasio piramidalis. Fungsi dari system

pyramidalis berhubungan dengan gerakan terampil dan motorik halu

Gambar 7
Tractus piramidalis (google.com)
Keterangan gambar

1. 1.KaudaTalamus
nucleus 2. Traktus kortikopontis
3. Pedunkulus cerebral 4. Pons
5. Medulla oblongata 6. Traktus kortikospinalis
lateral

7. Lempeng akhir motorik 8. Traktus kortikospinalis


anterior

9. Dekusasio pyramidalis 10. Pyramida


11. Traktus pyramidalis 12. Traktus kortikonuklearis
13. Traktus kortikomesensefalitis 14. Kaput nukleus kaudatus
15. Kapsula interna 16. Nukleus lentikularis

b. Anatomi Peredaran Darah

Darah mengalir ke otak melalui 2 pasang pembuluh darah besar,

yaitu sepanjang arteri karotis interna (disebut sirkulasi anterior) dan

sepasang arteri vertebralis (disebut sirkulasi posterior). Kedua sirkulasi

darah tersebut membentuk anastomosis yang disebut sirkulasiwillis

(gambar 7). Sirkulasi willisi dibentuk oleh hubungan antara arteri

karotis interna, arteri cerebri anterior, arteri cerebri posterior, arteri

basilaris, arteri communicans anterior, arteri communicans posterior.

Sistem ini memungkinkan pembagian darah didalam kepala untuk

mengimbangi setiap gerakan leher kalau aliran darah dalam suatu

pembuluh nadi leher mengalami kegagalan.Sistem tersebut juga

membantu kalau ada penyakit yang menyumbat di salah satu pembuluh

nadi tersebut.

Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri cerebri anterior

dan arteri cerebri media.Arteria cerebri posterior dihubungkan dengan

arteria cerebri media melalui arteria komunikans posterior, sedangkan


arteria cerebri anterior dihubungkan dengan arteri cerebri media oleh

arteria communicans anterior. Arteri basilarisdibentuk dari

persambungan antara arteri - arteri vertebralis.

Suplai darah ke korteks cerebri terutama melalui cabang – cabang

kortikal dari arteri cerebri anterior, arteri cerebri media, dan arteri

cerebri poseriort yang mencapai korteks didalam piameter.Permukaan

lateral masing – masing hemisferium cerebri mendapat darah terutama

dari arteri cerebri media.Permukaan medial dan inferior hemisferium

cerebri diperdarahi oleh aretri cerebri anterior dan arteri cerebri

posterior.
Gambar 9.
Tempat arteriosclerosis; nomor menunukan urutan pada frekuensi
(Mahar dan Priguna, 1989)

Capsula interna memperoleh darah dari arteri lenticulostriata

yang berada dari bagian basal arteri cerebri media. Messencepalon

diperdarahi oleh arteri basillaris, arteri cerebri posterior, cerebelli


superior. Pons memperoleh darah dari arteri basilaris, arteri cerebelli

anterior, arteri cerebelli inferior, arteri cerebelli superior. Medulla

oblongata diperdarahi oleh arteri vertebralis , arteri spinalis anterior,

arteri spinalis posterior, arteri serebelli posterior inferior dan arteri

bassilaris. cerebellumdiperdarahiserebelli superior, arteri serebelli

anterior inferior,dan arteri serebelli posterior inferior (Chussid, 1993).

Aliran vena batang otak dan serebelum berjalan paralel sesuai

dengan distribusi pembuluh darah arterinya.Sebagian besar drainase

vena serebrum adalah vena – vena dalam yang mengalirkan darah ke

pleksus vena superfisialis dan ke sinus – sinus dura, yang kemudian

masuk ke vena jugularis interna di dasar tengkorak dan bersatu dengan

sirkulasi umum (Chusid, 1993).

Perdarahan di otak dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu : (1) Tekanan darah dikepala, (2) Resisted Cerebrovaskuler yaitu

resitensi terhadap aliran darah arterial yang melewati otak yng

dipengauhi oleh tekanan intracranial, viskositas darah dan keadaan

pembuluh darah otak. (Chussid, 1993).

3. Etiologi

Banyak kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan stroke, tetapi

awalnya adalah dari pengerasan arteri atau yang disebut juga sebagai

arteriosklerosis.

“Jangan berpikir bahwa penyumbatan pembuluh darah itu terjadi

sebagai proses penuaan yang wajar, “kata Virgil Brown, M.D, pimpinan

American Heart Association dan profesor ilmu kedokteran pada Emory


University di Atlanta, karena arteriosklerosis merupakan akibat dari gaya

hidup modern yang penuh stres, pola makan tinggi lemak, dan kurang

berolahraga.Ketiganya sebenarnya tergolong dalam faktor risiko yang

dapat dikendalikan.Tentu saja ada pula faktor-faktor lain yang tidak dapat

dikendalikan. Keduanya akan diuraikan berikut ini.

a. Faktor Resiko yang Tidak Terkendali

Yang termasuk dalam kelompok faktor ini adalah

usia, jeniskelamin, garis keturunan, dan ras atau etnik tertentu

1) Usia

2) Jenis kelamin

3) Keturunan-sejarah stroke dalam keluarga

b. Faktor Resiko yang Terkendali

Adapula faktor-faktor   risiko yang  sebenarnya dapat disembuhkan

dengan bantuan obat-obatan atau perubahan hidup.

1) Hipertensi

2) Penyakit jantung

3) Diabetes

4) Kadar kolesterol darah

5) Merokok

6) Alkohol berlebihan

7) Obat-obatan terlarang

8) Cedera kepala dan leher

9) Infeksi
c. Stroke Pada Usia Muda

Para ahli klinis seringkali membagi kelompok muda dalam dua

kategori, yaitu di bawah usia 15 tahun, dan berusia antara 15 hingga 44

tahun. Orang yang masih muda nampaknya lebihberpeluang menderita

stroke hemoragik dibandingkan strokeiskemik.Seorang anak yang

mengalami stroke mungkin kehilangan suara, kehilangan bahasa yang

ekspresif (termasuk bahasa tubuh dan gerak isyarat), kehilangan tenaga

pada salah satu sisi tubuh (hemiparesis), kelumpuhan pada salah satu sisi

tubuh (hemiplegia), kerusakan pembicaraan (disartria).

4. Patologi
Patologi merupakan ilmu yang mempelajari sebab-sebab dan hakikat

penyakit, dan juga mempelajari perubahan-perubahan anatomi maupun

perubahan fungsional berkenaan adanya penyakit tersebut (Hudaya,1997).

Gangguan peredaran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteri-

arteri yang membentuk circulus willisi yang terdiri dari arteri karotis

interna dan arteri vertebra basilaris atau semua cabang-cabangnya. Secara

umum, apabila aliran darah yang ke jaringan otak terputus 15 sampai 20

menit, akan terjadi kematian jaringan atau infark (Wilson, 2002).

a. Trombotik Serebri

Pembuluh darah yang menuju otak mengeras dan terjadi

perubahan degenerasi dari dinding pembuluh darah.Dinding pembuluh

darah menjadi lemah, berwarna kuning dan menebal oleh karena

penumpukan zat lemak.Selain itu pengendalian zat kapur menyebabkan

pembuluh darah mengeras dari permukaan pembuluh darah bagian

dalam yang permukaannya licin menjadi tidak rata.Penebalan dinding


pembuluh darah menyebabkan penyempitan dan aliran darah menjadi

berkurang.Sehingga jaringan otak kekurangan kebutuhan oksigen (O2)

dan zat-zat lainnya, yang akhirnya jaringan otak menjadi mati atau

rusak.

Plak aterotrombotik yang terjadi pada pembuluh darah

ekstrakranial dapat lisis akibat mekanisme fibrinotik pada dinding arteri

dan darah, yang menyebabkan terbentuknya emboli, yang akan

menyumbat arteri yang lebih kecil, distal dari pembuluh darah tersebut.

Trombus dalam pembuluh darah juga dapat akibat kerusakan atau

ulserasi endotel, sehingga plak menjadi tidak stabil dan mudah lepas

membentuk emboli. Emboli dapat menyebabkan penyumbatan pada

satu atau lebih pembuluh darah. Emboli tersebut akan mengandung

endapan kolesterol, agregasi trombosit dan fibrin. Emboli akan lisis,

pecah atau tetap utuh dan menyumbat pembuluh darah sebelah distal,

tergantung pada ukuran, komposisi, konsistensi dan umur plak tersebut,

dan juga tergantung pada pola dan kecepatan aliran darah. Sumbatan

pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh darah di otak) akan

meyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan ini tergantung

pada adanya pembuluh darah yang adekuat.

Otak yang hanya merupakan 2% dari berat badan total, menerima

perdarahan 15% dari cardiac output dan memerlukan 20% oksigen yang

diperlukan tubuh manusia, sebagai energi yang diperlukan untuk

menjalankan kegiatanneuronal. Energi yang diperlukan berasal dari

metabolisme glukosa, yang disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau


glikogen untuk persediaan pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan

oksigen untuk metabolisme tersebut, lebih dari 30 detik gambaran EEG

akan mendatar, dalam 2 menit aktifitas jaringan otak berhenti, dalam 5

menit maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan lebih dari 9 menit,

manusia akan meninggal. Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka

oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk pembentukan ATP akan

menurun, akan terjadi penurunan Na-K ATP ase, sehingga membran

potensial akan menurun. K+ berpindah ke ruang CES sementara ion Na

dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel

menjadi lebih negatif sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal

depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi

perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak.

Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang

batas kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga

dibawah 0,10 ml/100 gr.menit.

Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan

gangguan fungsi enzim-enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya

asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai pembengkakan sel,

terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh

karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan ekmudian

penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah

iskemik.

Peranan ion Ca pada sejumlah proses intra dan ekstra seluler pada

keadaan ini sudah makin jelas, dan hal ini menjadi dasar teori untuk
mengurangi perluasan daerah iskemi dengan mengatur masuknya ion

Ca.

Komplikasi lebih lanjut dari iskemia serebral adalah edema

serbral. Kejadian ini terjadi akibat peningkatan jumlah cairan dalam

jaringan otak sebagai akibat pengaruh dari kerusakan lokal atau

sistemis. Segera setelah terjadi iskemia timbul edema serbral sitotoksik.

Akibat dari osmosis sel cairan berpindah dari ruang ekstraseluler

bersama dengan kandungan makromolekulnya. Mekanisme ini diikuti

dengan pompa Na/K dalam membran sel dimana transpor Na dan air

kembali keluar ke dalam ruang ekstra seluler. Pada keadaan iskemia,

mekanisme ini terganggu danneuron menjadi bengkak. Edema

sitotoksik adalah suatu intraseluler edema. Apabila iskemia menetap

untuk waktu yang lama, edema vasogenic dapat memperbesar edema

sitotoksik. Hal ini terjadi akibat kerusakan dari sawar darah otak,

dimana cairan plasma akan mengalir ke jaringan otak dan ke dalam

ruang ekstraseluler sepanjang serabut saraf dalam substansia alba

sehingga terjadi pengumpalancairan. Sehingga vasogenik edema serbral

merupakan suatu edema ekstraseluler. Pada stadium lanjut vasigenic

edema serebral tampak sebagai gambaran fingerlike pada substansia

alba. Pada stadium awal edema sitotoksik serbral ditemukan

pembengkakan pada daerah disekitar arteri yang terkena.

Hal ini menarik bahwa gangguan sawar darah otak berhungan

dengan meningkatnya resiko perdarahan sekunder setelah rekanalisasi

(disebut juga trauma reperfusy).


Edema serbral yang luas setelah terjadinya iskemia dapat berupa

space occupying lesion. Peningkatan tekanan tinggi intrakranial yang

menyebabkan hilngnya kemampuan untuk menjaga keseimbangan

cairan didalam otak akan menyebabkan penekanan sistem ventrikel,

sehingga cairan serebrospinalis akan berkurang. Bila hal ini

berlanjut,maka akan terjadi herniasi kesegala arah, dan menyebabkan

hidrosephalus obstruktif. Akhirnya dapat menyebabkan iskemia global

dan kematian otak.

b. Emboli Serebri

Emboli Serebri ialah penyumbatan pembuluh darah oleh sepotong

kecil bekuan darah, tumor, lemak, udara atau substansi lainnya (Chusid,

1979).Emboli biasanya berhubungan dengan penyakit jantung dan

penyakit pembuluh darah.Emboli dapat menyumbat pembuluh darah

otak secara total atau partial. Daerah jaringan otak yang disuplai oleh

pembuluh darah ini akan mengalami infark atau thrombosis (Chusid,

1979). Suatu thrombosis yang melekat di permukaan dalam pembuluh

darah atau jantung terlepas dan kemudian masuk ke dalam perdaran

darah otak yang menimbulkan gejala-gejala stroke yang timbul secara

mendadak.

Pembentukan emboli yang menoklusi arteri di otak bisa

bersumber dari jantung sendiri atau berasal dari luar jantung, tetapi

pada perjalanannya melalui jatung, misalnya sel tumor, udara dan

lemak pada trauma, parasit dan telurnya. Yang sering terjadi adalah

emboli dari bekuan daran (clots) karena penyakit jantungnya sendiri.


Trombus intracardiak di atrium ventrikel kiri paling sering

menyebabkan emboli, walaupun trombus di atrium, ventrikel kanan dan

ekstremitas dapat menyebabkan emboli otak melalui septal defek di

jantung. Trombus di ventrikel kiri dapat pula terjadi karena proses

koagulopati trombosik tanpa disertai kelainan jantung. Caplan LR

(1991) membagi berbagai tipe dari bahan emboli yang berasal dari

jantung, yaitu:

1) Trombus merah, trombus terutama mengandung fibrin (aneurisma

ventrikel)

2) Trombus putih, aggregasi pletelet – fibrin (Infark miokard)

3) Vegetasi endocarditis marantik

4) Bakteri dan debris dari vegetasi endocarditis

5) Kalsium (kalsifikasi dari katup dan anulus mitral)

6) Myxoma dan framen fibroelastoma

a) Pembentukan emboli dari jantung

Pembentukan trombus atau emboli dari jantung belum

sepenuhnya diketahui, tetapi ada beberapa faktor prediktif pada

kelainan jantung yang berperan dalam proses pembentukan

emboli, yaitu:

(1) Faktor mekanik

Perubahan fungsi mekanik pada atrium setelah

gangguan irama (atrial fibrilasi), mungkin mempunyai

korelasi erat dengan timbulnya emboli. Terjadinya emboli

di serebri setelah terjadi kardioversi elektrik pada pasien


atrial fibrilasi. Endokardium mengontrol jantung dengan

mengatur kontraksi dan relaksasi miokardium, walaupun

rangsangan tersebut berkurang pada endokardium yang

intak. Trombus yang menempel pada endokardium yang

rusak (oleh sebab apapun), akan menyebabkan reaksi

inotropik lokal pada miokardium yang mendasarinya,

yang selanjutnya akan menyebabkan kontraksi dinding

jantung yang tidak merata, sehingga akan melepaskan

material emboli. Luasnya perlekatan trombus berpengaruh

terahadap terjadinya emboli. Perlekatan trombus yang luas

seperti pada aneurisma ventrikel mempunyai resiko

(kemungkinan) yang lebih rendah untuk terjadi emboli

dibandingkan dengan trombus yang melekat pada

permukaan sempit seperti pada kardiomiopati dilatasi,

karena trombus yang melekat pada oermukaan sempit

mudah lepas. Trombus yang mobil, berdekatan dengan

daerah yang hiperkinesis, menonjol dan mengalami

pencairan di tengahnya serta rapuh seperti pada

endokarditis trombotik non bakterial cenderung

menyebabkan emboli.

(2) Faktor aliran darah

Pada aliran laminer dengan shear rate yang tinggi

akan terbentuk trombus yang terutama mengandung

trombosit, karena pada shear rate yang tinggi adesi


trombosit dan pembentukan trombus di subendotelial tidak

tergantung pada fibrinogen, pada shear rate yang tinggi

terjadi penurunan deposit fibrin, sedangkan aggregasi

trombosit meningkat. Sebaliknya pada shear rate yang

rendah seperti pada stasis aliran darah atau resirkulasi

akan terbentuk trombus yang terutama mengandung fibrin,

karena pada shear rate yang rendah pembentukan trombus

tergantung atau membutuhkan fibrinogen. Stasis aliran

darah di atrium, merupakan faktor prediktif terjadinya

emboli pada penderita fibrilasi atrium, fraksi ejeksi yang

rendah, gagal jantung, Infark miokardium, kardiomiopati

dilatasi.

(3) Proses trombolisis di endokardium

Pemecahan trombus oleh enzim trombolitik

endokardium berperan untuk terjadinya emboli, walupun

pemecahan trombus ini tidak selalu menimbulkan emboli

secara klinik. Hal ini telah dibuktikan bahwa bekuan (clot)

setelah Infark miocard, menghilang dari ventrikel kiri

tanpa gejala emboli dengan pemeriksaan ekhokardiografi.

Keadaan kondisi aliran lokal yang menentukan kecepatan

pembentukan deposit platelet disertai dengan kerusakan

endotelium yang merusak proses litik, kedua hal ini akan

menyebabkan trombus menajdi lebih stabil


b) Perjalanan emboli dari jantung

Emboli yang keluar dari ventrikel kiri, akan mengikuti

aliran darah dan masuk kearkus aorta, 90% akan menuju ke

otak, melalui. A.karotis komunis (90%) dan A. Veterbalis

(10%). Emboli melalui a.karotis jauh lebih banyak

dibandingkan dengan A. Veterbalis karena penampang

a.karotis lebih besar dan perjalanannya lebih lurus, tidak

berkelok-kelok, sehingga jumlah darah yang melalui a.karotis

jauh lebih banyak (300 ml/menit), dibandingkan dengan

a.veterbalis (100 ml/menit). Emboli mempunyai predileksi

pada bifurkatio arteri, karena diameter arteri dibagian distal

bifurkasio lebih kecil dibandingkan bagian proksitelnya,

terutama pada cabang a.serebrimedia bagian distal a.basilaris

dan a.serebri posterior Emboli kebanyakan terdapat di a.serebri

media, bahkan emboli ulang pun memilih arteri ini juga, hal ini

disebabkan a.serebri media merupakan percabangan langsung

dari a. karotis interna, dan akan menerima darah 80% darah

yang masuk a.karotis interna. Emboli tidak menyumbat cabang

terminal korteks ditempat watershead pembuluh darah

intrakranial, karena ukurannya lebih besar dari diameter

pembuluh darah ditempat itu. Berdasarkan ukuran emboli,

penyumbatan bisa terjadi di a.karotis interna, terutama di

karotis sipon. Emboli mungkin meyumbat satu atau lebih

cabang arteri. Emboli yang terperangkap di arteri serebri akan


menyebabkan reaksi: endotel pembuluh darah, permeabilitas

pembuluh darah meningkat, vaskulitis atau aneurisma

pembuluh darah, iritasi lokal, sehingga terjadi vasospasme

lokal.

Selain keadaan diatas, emboli juga menyebabkan

obstrupsi aliran darah, yang dapat menimbulkan hipoksia

jaringan dibagian distalnya dan statis aliran darah, sehingga

dapat membentuk formasi rouleaux, yang akan membentuk

klot pada daerah stagnasi baik distal maupun proksimal.

Gangguan fungsi neuron akan terjadi dalam beberapa menit

kemudian, jika kolateral tidak segera berfungsi dan sumbatan

menetap. Bagian distal dari obstrupsi akan terjadi hipoksia atau

anoksia, sedangkan metabolisme jaringan tetap berlangsung,

hal ini akan menyebabkan akumulasi dari karbondiaksida

(CO2) yang akan mengakibatkan dilatasi maksimal dari arteri,

kapiler dan vena regional. Akibat proses diatas dan tekanan

aliran darah dibagian proksimal obstrupsi, emboli akan

mengalami migrasi ke bagian distal. Emboli dapat mengalami

proses lisis, tergantung dari: faktor vaskuler, yaitu proses

fibrinolisis endotel lokal, yang memegang peran dalam proses

lisis emboli, komposisi emboli, emboli yang mengandung

banyak trombosit dan sudah lama terbentuk lebih sukar lisis,

sedangkan yang terbentuk dari bekuan darah (Klot) mudah

lisis.
c) Oedem serebri

Oedem serebri didefinisikan sebagai akumulasi cairan

yang abnormal diserebri, yang menyebabkan penambahan

volume serebri. Emboli yang menyumbat arteri serebri secara

permanen akan menyebabkan iskemia jaringan otak, yang

menyebabkan kematian sel otak, karena kegagalan energi.

Teori ini menerangkan kehidupan sel tergantung dari

homeostasis yang utuh, termasuk homeostasis seluler yang

mempunyai aktifitas seperti pompa ion, transport aktif, yang

prosesnya tergantung dari energi. Bila ada gangguan dari

respirasi seluler, seperti iskemia,akan menyebabkan gangguan

homeostasis dan terjadi kematian sel. Tipe kematian sel ini

disebut kematian karena kegagalan energi yang mempunyai

sifat kematian pannekrosis, yaitu kematian seluruh neuron, sel

glia, dan dinding pembuluh darah. Keadan ini akan

menyebabkan gangguan dari tekanan intaseluler atau membran

sel, sehingga terjadi gangguan transport natrium –kalium,

disertai masuknya cairan kedalam intra sel. Oedem serebri

yang terjadi disebut sebagai oedem serebri sitotoksik. Evolusi

temporal dari Infark iskemik mulai dari beberapa menit sampai

beberapa jam dan kerusakan fokal hampir selalu berhubungan

dengan oedem serebri. Selama periode iskemia dan reperfusi

dipembuluh darah perifer akan terjadi deplesi dari neutrofil,

mikroglia yang reaktif, makrofag akan mengeluarkan mediator


kimia seperti bradikinin, serotonin, histamin, dan asam

arakhinoid yang menyebabkan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah. Selain hal diatas peningkatan permeabilitas

pembuluh darah juga disebabkan adanya peningkatan tekanan

hidrostatik lokal. Iskemia juga meyebabkan akumulasi dari

substansi osmolal, seperti natrium, laktat dan asam organik

lainnya, yang mempermudah terjadinta oedem setelah

resirkulasi. Oedem yang terjadi karena adanya akumulasi

cairan secara pasif di ruang interstitial sel serebri. Oedem ini

disebut sebagai oedem serebri vasogenik. Secara teoritis

oedem serebri vasogenik tidak akan terjadi selama iskemia

serebri yang komplit, tidak ada aliran, tidak ada oedem. Oedem

serebri merupakan karakteristik dari Infark karena emboli,

walaupun setiap Infark selalu ada menyebabkan oedem serebri

(kadang tidak bermanifestasi). Oedem serebri yang masif

biasanya timbul setelah Infark luas yang terjadi setelah oklusi

a. serebri media atau a. karotis interna yang permanen. Hasil

otopsi menunjukkan 2/3 dari Infark serebri yang luas dengan

oedem serebri berasal dari kardioemboli. Oedem serebri

iskemia mencapai volume maksimal setelah hari ke 3-4

akumulasi cairan diresorbsi setelah hari ke 4.

d) Infark berdarah

Disebut Infark berdarah bila ditemukan sejumlah sel

darah merah diantara jaringan nekrotik. Pada otopsi ditemukan


fokus berupa perdarahan petkhial yang menyebar sampai

perdarahan petkhial yang berkumpul sehingga hampir

meyerupai hematoma yang masif. Seperti yang telah diuraikan

diatas bahwa nasib emboli yang mengoklusi arteri serebri bisa

permanen, migrasi atau lisis, bila terjadi resirkulasi karena

migrasi atau lisis setelah jaringan serebri mengalami nekrosis,

tekanan darah arterial yang normal akan memasuki kapiler

yang hipoksia akan menyebabkan diapedesis dari sel darah

merah melalui dinding kapiler yang hipoksia. Makin hebat

resirkulasi dan makin berat kerusakan dinding kapiler akan

menyebabkan makin masifnya Infark berdarah. Infark berdarah

ini biasanya terletak diproksimal Infark.

Gambar 10
Stroke akibat thrombosis dan stroke akibat emboli (Binhasyim, 2007)
5. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala merupakan bentuk keluhan dari timbulnya

penyakittersebut (Hudaya,1997). Tanda dan gejala yang ditimbulkan

sangat bervariasi tergantung dari topis dan derajat beratnya lesi. Akan

tetapi tanda dan gejala yang dijumpai pada penderita post stroke secara

umum yaitu :

a. Gangguan Motorik

Gangguan motorik yang terjadi yaitu :

1) Tonus abnormal, baik hipotonus maupun hipertonus.

2) Penurunan kekuatan otot.

3) Gangguan gerak volunteer.

4) Gangguan keseimbangan.

5) Gangguan koordinasi.

b. Gangguan Sensorik

Gangguan sensorik yang ditimbulkan adalah :

1) Gangguan propioceptif.

2) Gangguan kinestetik.

3) Gangguan diskriminatif.

6. Komplikasi

Komplikasi merupakan suatu proses patologis atau tidak langsung

akibat disuse (karena imobilisasi) atau misuse (karena salah

menggerakkannya) (Hudaya,1997). Pasien yang telah menderita stroke

beresiko mengalami komplikasi lanjut yang terjadi akibat immobilisasi,


serta masalah-masalah yang berhubungan dengan kondisi medis

umumnya. Komplikasi yang ditimbulkan :

a. Pneumonia

b. Subluksasi sendi bahu

c. Thrombosis vena profunda

d. Sindroma bahu

e. Spastisitas

f. Dekubitus

7. Prognosis

Prognosis pasca stroke tergantung pada topis dan derajat berat lesi,

penanganan yang cepat dan tepat, serta kerjasama tim medis dengan pasien

dan keluarganya. Menurut Chusid (1993) prognosis thrombosis cerebri

ditentukan oleh lokasi dan luasnya infark, juga keadaan umum pasien.

Umumnya makin lambat penyembuhannya, maka semakin buruk

prognosisnya. Pada penelitian terakhir menunjukkan bahwa kelumpuhan

dan gejala lainnya bisa dicegah atau dipulihkan jika recombinant tissue

plasminogen activator (RTPA) atau streptokinase yang berfungsi

menghancurkan bekuan darah diberikan dalam waktu 3 jam setelah

timbulnya stroke (Misbach dan Kalim, 2007). Pada emboli cerebri,

prognosis ditentukan juga dengan adanya emboli dalam organ-organ yang

lain. Bila pasien bisa mengatasi serangan yang akut, prognosis

kehidupannya baik. Dengan rehabilitasi yang aktif, banyak penderita dapat

berjalan lagi dan mengurus dirinya.


8. Diagnosis banding

Junaidi (2006) menyatakan beberapa penyakit yang perlu

dipertimbangkan karena memiliki gejala yang mirip dengan stroke yaitu:

(1) trauma kepala dan leher, (2) ensepalitis dan meningitis, (3) ensefalopati

hipertensif (gangguan otak akibat hipertensi), (4) massa intrakranial

(tumor dan hematom), (5) kejang dengan gangguan saraf sementara, (6)

migrain dengan gangguan saraf sementara, (7) gangguan metabolik seperti

hiperglikemia, ischemia, keracunan, uremia, dan mixedema, (8) gangguan

kejiwaan, (9) stroke disertai gangguan hippoperfusi CNS. Untuk

menegakkan diagnosis tersebut diperlukan pemeriksaan yang lebih

spesifik misalnya : Computerized tomography scanning (CT Scan),

Magnetic resonance imaging (MRI), Possitron emesion tomograph

scanning (PET Scan), dan pemeriksaan penunjang laboratorium (Chussid,

1993).

B. Problematik Fisioterapi

Problem Fisioterapi dibedakan menjadi 2 yaitu : (1) akibat infark otak dan

(2) akibat imobilisasi. Pada infark akan terjadi problem misalnya terjadi

hemiplegia atau monoplegia, gangguan koordinasi, serta gangguan aktivitas

fungsional. Sementara akibat adanya imobilisasi akan terjadi gangguan : atropi

otot, penurunan kapasitas kerja, reflek vasomotor postural akan berkurang,

penurunan kekuatan kontraksi otot, dan masih banyak lagi. Problem fisioterapi

pada stroke iskemik stadium recovery diantaranya adalah munculnya reflek

menuju ke arah hipertonus yang ditandai dengan munculnya klonus terutama


pada sendi-sendi lutut dan pergelangan kaki di sisi yang lumpuh, muncul

gangguan keseimbangan dan koordinasi, serta muncul spastisitas.

Problem utama fisioterapi pada stadium recovery pada awalnya adalah

ketidakmampuan pasien untuk bergerak /menggerakkan pada sisi yang lumpuh

baik kanan ataupun kiri yang berupa flaccid atau hipotonus. Selanjutnya akan

muncul pola sinergis pada kelompok otot tertentu dan spastisitas, potensial terjadi

gangguan akibat imobilisasi pada sisi yang lumpuh, kondisi ini akan diperparah

apabila pasien tidak mempunyai kemampuan atau tidak mau menggerakkan

anggota tubuhnya yang lumpuh sehingga berakibat pula pada sendi. Karena sendi

yang jarang digunakan untuk beraktivitas (imobilisasi) akan berpotensi untuk

terjadi kekakuan, serta otot-otot di sekitar sendi tersebut dapat mengalami atropi

atau kontraktur, karena selalu dalam keadaan menetap dan tidak terjadi kontraksi

yang mengakibatkan elastisitas dari otot tersebut terganggu. Untuk menghindari

semua ini, maka perlu diberikan latihan sedini mungkin pada penderita stroke.

1. Impairment

Impairment merupakan gangguan pada jaringan pada penderita

strokesebagai gangguan kapasitas fisik maupun psikologi yang cukup

berat. Pasienmengalami keadaan yaitu adanya:

a. Abnormalitas tonus otot, karena adanya kerusakan sistem saraf

sehinggamenimbulkan kekakuan yang bersifat spastik.

b. Pola sinergis biasanya selalu terdapat dengan spastisitas dan

salingmempengaruhi.
c. Potensial terjadinya komplikasi tirah baring pada sistem

pernapasan,karena tirah baring yang lama akan menyebabkan

penumpukan cairandalam paru.

d. Functional Limitation

Functional limitation merupakan ketidakmampuan pasien

dalamberaktifitas fungsional.Dalam hal ini karena tidak mampu

menggerakkan anggotatubuh yang lumpuh misalnya lengan dan

tungkai, untuk perawatan diri danketidakmampuan berjalan. Aktivitas

lengan misalnya makan, minum, menyisirrambut, gosok gigi dan

mengambil sesuatu akan menjadi terganggu, sedangkanaktifitas

tungkai misalnya jongkok, berdiri dan berjalan.

e. Participation Restriction (Disability)

Participation restriction atau disability merupakan

ketidakmampuan melakukan aktivitas sosial dan berinteraksi dengan

lingkungan. Sehingga kondisitadi akan membatasi atau menghalangi

penderita untuk berperan normal baiksebagai anggota keluarga atau

masyarakat. Keadaan yang terakhir ini disebutdisability. Dengan

adanya permasalahan di atas, maka akan membatasi pasienuntuk

berperan serta secara normal dalam keluarga dan lingkungan

masyarakat.

Modalitas yang digunakan dalam penatalaksanaan fisioterapi

pada kasus storke dengan hemiparese yang telah diuraikan adalah

dengan terapi latihan metode MRP.


C. Teknologi Intervensi Fisioterapi

Dari berbagai jenis metode latihan gerak fungsional bagi penderita pasca stroke

yang bisa digunakan, penulis mengangkat metode Motor relearning programme (MRP)

sebagai pendekatannya. MRP merupakan program yang melatih kembali kontrol motorik

yang berdasarkan pemahaman kinematik dan kinetik gerakan normal, kontrol dan latihan

motorik. Motor Relearning Progamme ( MRP) yang dikembangkan oleh Janet H. Carr

dan Roberta Shepherd, dua orang fisioterapis Australia pada sekitar tahun 1980-an. MRP

menjadi teknik pendekatan stroke yang terpopuler di Australia. Tujuan terapi ini adalah

melatih kontrol motorik dengan gerakan fungsional spesifik sehingga pasien dapat

melakukan gerakan fungsional sehari-hari (Carr and Shepperd, 1987). Pemberian terapi

disesuaikan dengan problematik fisioterapi yang ada dan dilakukan bertahap sesuai

dengan kondisi pasien. Dasar teori dari metode ini adalah penelitian tentang pemahaman

terhadap gerak manusia (kinematika dan kinetik), anatomi dan fisiologi saraf,

biomekanika, psikologi dan kognitif, ilmu perilaku, latihan dalam olahraga (Setiawan,

2007).

Adapun kelebihan dari metode ini adalah latihannya sangat efektif atau

individual, melibatkan partisipasi aktif dari pasien, didukung oleh bukti-bukti empiris di

klinik, berdasarkan pada prinsip-prinsip neurofisiologi dan pendekatan kognitif untuk

latihan atau belajar yang baru, prinsip-prinsip umumnya dapat diterapkan pada pasien

dengan variasi yang banyak (Setiawan, 2007).

Langkah-langkah dalam Motor relearning programme ada 4 yaitu:

1. Analisa aktifitas

Pada tahap ini terapis melakukan observasi terhadap aktifitas pasien

yang saat itu mampu dilakukan. Pada hasil observasi ini akan didapatkan

gambaran mengenai ketidaknormalan dari gerakan yang dilakukan pasien

oleh karena adanya komponen gerakan yang hilang. Kemudian terapis


membandingkan gerakan yang tidak normal tersebut dengan gerakan yang

seharusnya terjadi. Lalu terapis mencatat gerakan komponen apa saja yang

tidak ada.

2. Latihan komponen yang hilang

Setelah memperoleh hasil data mengenai komponen – komponen apa

saja yang hilang dalam suatu gerakan, terapis kemudian melatih pasien

untuk melakukan gerakan dari komponen yang hilang tadi. Langkah ini

dimulai dengan memberikan penjelasan kepada pasien tentang tujuan dari

latihan yang akan diberikan. Dalam memberikan latihan, instruksi dan aba

– aba disampaikan dengan jelas sesuai dengan tingkat kepahaman pasien.

Latihan diberikan dengan cara mengarahkan gerakan pegangan terapis

sambil pasien memberikan feed back secara verbal dan visual.

Komponenyang hilang tersebut

a. Telentang ke tidur miring pada sisi sehat.

b. Telentang keduduk disamping bed

c. Keseimbangan duduk

d. Duduk ke berdiri

e. Berjalan

f. Fungsi anggota gerak atas

g. Pergerakan Tangan

h. Pergerakan tangan yang lebih Trampil

3. Latihan keseluruhan aktifitas

Setelah masing – masing komponen gerak yang dilatihkan mampu

dilakukan pasien, selanjutnya dilatih untuk melakukan keseluruhan gerak.


Langkah ini juga dimulai dengan memberikan penjelasan, instruksi yang

jelas, mengarahkan gerak sambil pasien memberikan feed back, ditambah

dengan langkah evaluasi dan diakhiri dengan pemberian rangsangan untuk

fleksibilitas.

4. Mentransfer latihan ke aktifitas nyata

Setelah pasien mampu melakukan keseluruhan gerak fungsional

yang diberikan sebelumnya, kemudian pasien diberikan kesempatan untuk

melakukan gerak fungsional terhadap ke dalam lingkungan aktifitas yang

nyata. Latihan ini harus dilakukan secara konsisten agar pasien mampu

mengorganisasikan latihannya untuk memonitor dirinya sendiri.

Keterlibatan keluarga serta teman dari pasien sangat diperlukan untuk

memperoleh hasil yang diharapkan.


SKEMA STROKE

Faktor Resiko yang Faktor Resiko yang Terkendali: Hipertensi,


Tidak Terkendali: Usia, Penyakit jantung, Diabetes, Kadar kolesterol
Jenis kelamin, Keturunan darah, Merokok, Alkohol berlebihan, Obat-
obatan terlarang, Cedera kepala dan leher,
Infeksi.

Stroke non
haemoragik

Penurunan tonus otot Gangguan koordinasi Penurunan aktivitas fungsional

MOTOR RELEARNING
PROGAMME

 kembali kontrol motorik spesifik Meningkatkan


kekuatan otot
 Memperbaiki koordinasi dan keterampilan untuk
aktivitas fungsional
BAB III
PELAKSANAAN STUDI KASUS

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakkan pada kasus ini adalah quasi experimental

dengan cara observational dan intervensi atau tindakan.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilkukan di Rumah Sakit bagian instalasi fisioterapi.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Sampel yang diambil adalah pasien dengan kondisi Hemiparese sinistra

post stroke non haemoragic. Dengan criteria pasien bersedia menjadi responden

dan mengikuti terapi.

D. Assesment

1. Anamnesis

Anamnesis merupakan pengumpulan data dengan melakukan tanya

jawabdengan sumber data. Dengan anamnesis dapat diperoleh data-data

yangdibutuhkan dalam menentukan diagnosa dan terapi latihan yang akan

diberikan.Macam anamnesis ada 2 yaitu autoanamnesis dan

heteroanamnesis. Autoanamnesis adalah tanya jawab secara langsung

dengan pasien itu sendiri. Sedangkan heteroanamnesis adalah tanya jawab

pada orang-orang terdekat yangmengetahui keadaan pasien. Pada kasus ini

anamnesis yang dilakukan secaraautoanamnesis (Hudaya,1996).


a. Anamnesis umum

Anamnesis umum berisi tentang


44 identitas pasien secara lengkap.
b. Ananmnesis khusus

Anamnesis khusus merupakan data informasi tentang keluhan

utama pasien,keluhan utama merupakan satu atau lebih dari gejala

dominan yang mendorongpasien untuk pergi mencari pertolongan.

c. Riwayat penyakit sekarang

Menggambarkan riwayat penyakit secara kronologis dengan jelas

danlengkap. Tentangbagaimana masing-masing gejala tersebut timbul

dan kejadianapa yang berhubungan dengannya.

d. Riwayat penyakit dahulu

Menanyakan kepada pasien tentang penyakit apa saja yang

pernah dideritaoleh pasien. Misalkan apakah pasien mempunyai

penyakit diabetes mellitus,hipertensi, jantung koroner.

e. Riwayat pribadi

Menanyakan kepada pasien mengenai status, hobi, olahraga dan

aktivitasyang kemungkinan ada hubungannya dengan penyakit

penderita.

f. Riwayat keluarga

Bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya penyakit-penyakit yang

bersifatmenurun dari keluarga.

g. Anamnesis sistem
Berdasarkan anamnesis sistem dapat diketahui tentang keluhan

yang terjadi, seperti :

1) Kepala dan leher.

2) Kardiovaskuler

3) Respirasi

4) Gastrointestinal

5) Urogenitalis

6) Musculoskeletal

7) Nervorum

2. Pemeriksaan Fisik

a. Tanda- tanda vital

Tanda-tanda vital terdiri dari:

1) Tekanan darah

2) Denyut nadi

3) Pernapasan

4) Temperatur

Data lain:

1) Tinggi badan

2) Berat badan

b. Inspeksi

Terdapat 2 macam pemeriksaan dengan inspeksi yaitu:

1) Inspeksi statis

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara melihat dan mengamati

pasiendalam keadaan diam


2) Inspeksi dinamis

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara melihat dan mengamati

pasiendalam keadaan bergerak.

c. Palpasi

Palpasi adalah suatu pemeriksaan yang secara langsung kontak

denganpasien, dengan meraba, menekan, dan memegang bagian tubuh

pasien untukmengetahui adanya spasme, nyeri tekan dan suhu.

d. Perkusi

Perkusi yaitu pemeriksaan yang dilakukan dengan cara mengetuk

suatu bagian organ tubuh.

e. Auskultasi

Auskultasi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan

caramendengarkan.

3. Pemeriksaan Gerak Dasar

a. Gerak pasif

Pemeriksaan gerakan yang dilakukan oleh terapis kepada pasien

dimanapasien dalam keadaan rileks.Tujuan dari pemeriksaan gerak

pasif untukmendapatkan data informasi tentang lingkup gerak sendi

secara pasif padamasing-masing sendi dan spastik pada anggota gerak

sisi kanan.

b. Gerak aktif
Pasien diminta menggerakkan anggota gerak yang diperiksa

secara aktif,terapis melihat dan memberikan aba-aba.Tujuan tes ini

adalah untukmendapatkan data informasi tentang bagaimana

kemampuan otot pasien untukmenggerakkan setiap sendi anggota gerak

kanan dan rasa nyeri gerak.

c. Gerak aktif melawan tahanan

Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui adanya penurunan

kekuatan otot pada anggota gerak atas dan bawah sisi kanan. Dilakukan

dengan cara pasien diperintahkan untuk melakukan gerakan tapi diberi

tahanan oleh terapis.

4. Pemeriksaan Kognitif, Intrapersonal, dan Interpersonal

Pemeriksaan kognitif meliputi komponen atensi, konsentrasi,

memori,pemecahan masalah, integritas belajar dan pengambilan sikap.Dari

pemeriksanini diperoleh keterangan bahwa pasien mampu menceritakan

kapan keluhan itumuncul dengan baik dan urut.Pemeriksaan intrapersonal

merupakan kemampuan pasien dalammemahami dirinya, menerima

keadaan dirinya, motivasi, kemampuan berinteraksidengan lingkungan dan

bekerja sama dengan fisioterapis.

Pemeriksaan interpersonal meliputi kemampuan seseorang

dalamberhubungan dengan orang lain baik sebagai individu, keluarga dan

masyarakatdan berhubungan dengan lingkungan sekitarnya.

5. Pemeriksaan Kemampuan Fungsional

a. Fungsional dasar
Merupakan kemampuan transfer dan ambulasi, misalnya bangun

tidur, tidur miring kekanan dan kekiri, duduk, duduk ke berdiri dan

jalan.

b. Fungsional aktivitas

Merupakan aktivitas perawatan diri misalnya mandi, berpakaian,

dantoileting serta aktivitas yang dilakukan pasien sehari-hari.

c. Lingkungan aktivitas

Adanya keterbatasan fungsional pada penderita berdampak

terhadapkemampuan beradaptasi dengan lingkungan aktivitasnya baik

di dalam rumahmaupun di luar rumah.

6. Pemeriksaan spesifik

a. Pemeriksaan kemampuan fungsional

Pemeriksaan kemampuan fungsional dilakukan dengan

menggunakan Indeks Barthel. Penilaian didasarkan pada tingkat

bantuan orang lain dalam melakukan suatu aktivitas fungsional.

Pengukurannya meliputi sepuluh kemampuan sebagai berikut:

TABEL 12
INDEKS BARTHEL

Nilai
No Aktivitas
Bantuan Mandiri
1 Makan 5 10
2 Berpindah di tempat tidur , duduk 5 – 10 15
ke berdiri
3 Kebersihan diri 0 5
4 Aktivitas toilet 5 10
5 Mandi 0 5
6 Berjalan di tempat datar 10 15
7 Naik turun tangga 5 10
8 Berpakaian , besepatu 5 10
9 Mengontrol BAB 5 10
10 Mengontrol BAK 5 10
Jumlah 100
(Sullivan, 1986)

Penilaian :
0 – 20 : Ketergantungan penuh
21 – 61 : Ketergantungan berat
62 - 90 : Ketergantungan moderat
91 – 99 : Ketergantungan ringan
100 : Mandiri

b. Diagnosa Fisioterapi

Diagnosa fisioterapi merupakan upaya menegakkan masalah

aktivitas gerak dan fungsi berdasarkan pernyataan yang logis dan

dapat dilayani fisioterapi.Adapun tujuan dan diagnosis fisioterapi

adalah untuk mengetahui permasalahan fisioterapi yang dihadapi oleh

penderita serta untuk menentukan layanan fisioterapi yang tepat.

Problematika fisioterapi Dari pemeriksaan diatas maka

diperoleh beberapa masalah yang timbul pada kondisi hemiparese

sinistra ini, adapun masalah yang ditemukan dalam pemeriksaan

tersebut adalah :

1. Impairment

a) Adanya penurunan tonus otot

b) Adanya gangguan koordinasi pada anggota gerak kiri

c) Adanya penurunan kemampuan fungsional dasar

2. Functional Limitation

a) Miring mandiri

b) Duduk bantuan
3. Disability

Adanya gangguan dalam bersosial di masyarakat seperti gotong

royong.

c. Planning atau Rencana Intervensi

Perencanaan dimulai dengan pertimbangan kebutuhan intervensi

dan biasanya menuntun kepada pengembangan rencana intervensi,

termasuk hasil sesuai dengan program yang terukur yang disetujui

pasien, famili atau pelayan kesehatan lainnya. Dapat menjadi

pemikiran perencanaan alternatif untuk dirujuk kepada pihak lain bila

dipandang kasusnya tidak tepat untuk fisioterapi.

Tujuan fisioterapi pada kasus ini dapat berupa :

1. Jangka pendek

a) Memberikan stimulasi pada lengan dan tungkai kiri

b) Meningkatkan koordinasi

c) Meningkatkan kemampuan aktifitas fungsional dasar

2. Jangka panjang

Tujuan jangka panjang yang dapat diketahui pada kasus ini

adalah meneruskan tujuan jangka pendek, dan mengembalikan

aktivitas fungsional pasien seoptimal mungkin.

d. Intervensi Fisioterapi

1. Motor Relearning Programme(MRP)

Pelaksanaan fisioterapi dilakukan berdasarkan hasil

pemeriksaan fungsi motorik pada MMAS, pemeriksaan


keseimbangan berdiri dan hasil pemeriksaan kemampuan fungsional

pada indeks barthel dengan menggunakan terapi latihan melalui

metode Motor Relearning Programme. Tujuannya adalah untuk

memperbaiki fungsi motorik, keseimbangan berdiri dan untuk

meningkatkan kemampuan aktifitas fungsional pasien, dimana

pelaksanaan terapinya meliputi:

a) Latihan ekstremitas atas

1) Langkah 1. Analisa kemampuan ekstremitas

Terapis mengamati kemampuan pasien untuk

menyesuaikan diri saat ekstremitas atas melakukan berbagai

aktifitas, seperti pasien disuruh menunjuk, menggapai atau

memegang suatu objek.. Kemudian terapis mencatat

komponen gerak yang hilang maupun gerakan kompensasi

yang muncul. Hasil yang diperoleh berupa ketidak

mampuan pasien menggerakkan shoulder, elbow dan

wristnya.

2) Langkah 2 dan 3. Latihan ekstremitas atas

(a) Melatih gerak fungsi lengan atas

Pasien duduk di kursi dengan kaki menyentuh lantai

serta kedua tangan di paha. Posisi terapis berada di

samping kiri pasien. Lalu pasien disuruh mengangkat

tangannya ke depan dan samping, dengan dibantu oleh

tangan terapis. Instruksi yang di berikan  : ‘’ Angkat

tangan ke depan…turunkan, kemudian angkat ke


samping...turunkan cukup. Usahakan gerakan dilakukan

tanpa merubah posisi tubuh.... Satu sesi latihan

dilakukan dengan pengulangan 8 kali.

(b) Melatih gerak fungsi lengan bawah

Pasien duduk di kursi dengan kaki menyentuh lantai

serta kedua tangan di paha. Posisi terapis berada di

samping kiri pasien. Lalu pasien disuruh menekuk

sikunya kemudian meluruskannya kembali, dengan

dibantu oleh tangan terapis. Instruksi yang di berikan  :

‘’ Tekuk sikunya…luruskan. Usahakan gerakan

dilakukan tanpa merubah posisi tubuh.... Satu sesi

latihan dilakukan dengan pengulangan 8 kali.

3) Langkah ke 4. Mentransfer latihan ke aktifitas sehari -

hari

Setelah melakukan latihan tersebut diatas, maka latihan

ditingkatkan ke aktifitas sehari – hari, seperti melakukan

latihan yang sama dengan langkah ke 2 dan 3, posisi dan

instruksi sama dengan yang di atas, hanya saja dengan

menggunakan objek tertentu dengan arah gapai ke depan,

samping, diagonal depan, diagonal belakang, diagonal

depan bawah atau ke meja. Keluarga diberi edukasi untuk

selalu memberi koreksi saat melakukan aktifitas tersebut


seperti yang telah diajarkan terapis dalam melakukan latihan

diatas.

Gambar 3.1. Melatih ekstremitas atas

b) Latihan duduk ke berdiri dan berdiri ke duduk

1) Langkah 1. Analisa kemampuan duduk ke berdiri dan

berdiri ke duduk

Terapis mengamati kemampuan pasien untuk

menyesuaikan diri saat ekstremitas, tubuh dan kepala

bergerak dari posisi duduk ke berdiri dan kembali lagi ke

posisi duduk. Kemudian terapis mencatat komponen gerak

yang hilang maupun gerakan kompensasi yang muncul. Hasil

observasi yang didapat adalah tidak adanya komponen

membungkukkan trunk, kedua lutut tidak digerakkan ke

depan terlebih dahulu saat berdiri dan duduk lagi.

2) Langkah 2. Latihan komponen yang hilang


(a)Melatih gerak membungkukkan badan saat akan mulai

berdiri

Posisi pasien duduk dengan ke dua kaki menyentuh lantai.

Terapis berada di depan pasien dengan ke dua tangan

mensupport ke dua lengan pasien lalu tangan terapis

menarik lengan pasien. Instruksi yang di berikan : “

Majukan bahu ke depan…bungkukkan badan…

kembali… pandangan tetap kedepan lurus “. Satu sesi

latihan dilakukan dengan pengulangan 8 kali.

(b)Melatih gerak mengangkat pantat

Posisi pasien duduk dengan ke dua tangan di atas lutut dan

ke dua kaki menyentuh lantai. Terapis berada di depan

pasien dengan kedua tangan memegang kedua lengan atas

pasien lalu tangan terapis menarik lengan pasien. Instruksi

yang di berikan : “ Bungkukkan badan… dorong lutut ke

depan... angkat pantat... kembali… pandangan tetap ke

depan lurus “. Satu sesi latihan dilakukan dengan

pengulangan 8 kali

(c)Melatih gerak membungkukkan badan saat akan mulai

duduk

Posisi pasien berdiri tegak dengan terapis berada di depan

pasien dengan ke dua tangan mensupport ke dua lengan

pasien. Instruksi yang di berikan : “ Bungkukkan badan ke


depan… kembali… pandangan tetap kedepan lurus “. Satu

sesi latihan dilakukan dengan pengulangan 8 kali

(d)Melatih gerak menekuk lutut ke depan saat akan mulai

duduk

Posisi pasien berdiri tegak dengan terapis berada di depan

pasien dengan ke dua tangan mensupport ke dua lengan

pasien. Instruksi yang di berikan : “ tekuk lutut ke depan…

kembali… pandangan tetap kedepan lurus “. Satu sesi

latihan dilakukan dengan pengulangan 8 kali

3) Langkah 3. Melatih keseluruhan gerakan

Untuk posisi akan berdiri pegangan terapis sama

dengan langkah 2.1. Instruksi yang di berikan : ‘’ Majukan

badan ke depan…majukan lutut ke depan…kaki tetap diam…

berdiri, luruskan lutut…pandangan lurus ke depan” . Satu sesi

latihan dilakukan dengan pengulangan 8 kali.

Untuk posisi akan duduk, pegangan sama dengan

langkah 2.3. Instruksi : “ Bungkukan badan…tekuk

lutut….lalu duduk…pandangan tetap lurus ke depan”. Satu

sesi latihan dilakukan dengan pengulangan 8 kali.

4) Langkah ke 4. Mentransfer latihan ke aktifitas sehari -

hari

Setelah mampu melakukan latihan tersebut diatas, maka

latihan dapat ditingkatkan ke aktifitas sehari – hari, seperti

menerapkan latihan dikursi yang lebih rendah lagi dari bed.


Keluarga diberi edukasi untuk selalu memberi koreksi saat

melakukan tansfer ke kursi yang lebih rendah seperti yang

telah diajarkan terapis dalam melakukan latihan diatas.

Gambar 3.2. Melatih duduk ke berdiri

c) Latihan pada posisi berdiri

1) Langkah 1. Analisa kemampuan berdiri

Terapis mengamati kemampuan pasien untuk

menyesuaikan diri saat ekstremitas, tubuh dan kepala

bergerak melakukan berbagai aktifitas, seperti pasien disuruh

melihat ke atas, ke belakang, meraih suatu objek.. Kemudian

terapis mencatat gerakan kompensasi yang muncul.Hasil yang

diperoleh adalah adanya ketidak lurusan alighment hip saat

berdiri tegak dan pemindahan centre of grafity (COG) yang

belum baik saat melakukan gerakan dalam posisi berdiri.

2) Langkah 2 dan 3. Latihan pada posisi berdiri


(a) Melatih Alighment hip

Latihan dilakukan dibed dengan posisi pasien terlentang

dipinggir bed, tungkai kanan pasien terjungkai diluar bed

sampai pertengahan paha, knee fleksi 90°dengan telapak

kaki menapak penuh di lantai. Terapis memberi fiksasi di

sisi luar hip yang kanan dan pada kaki agar tidak

bergeser saat melakukan gerakan, kemudian pasien

diminta berlatih aktif mengangkat pantatnya sedikit ke

atas dari bed. Terapis memberikan instruksi sebagai

berikut : ‘’buk tekan tumitnya...lalu angkat

pantatnya....lalu tunrunkan ‘’ Satu sesi latihan dilakukan

dengan pengulangan 8 kali.

Gambar 3.3. Melatih Alighment hip


(b) Melatih keseimbangan 1

Latihan kedua pasien berdiri tegak dengan kedua tangan

berpegangan dengan bahu terapis. Terapis berada di

depan pasien dengan memberi sanggahan pada kedua hip

pasien, kemudian pasien diminta untuk menggerakan

pinggulnya ke arah depan dan samping. Instruksi yang di


berikan terapis : ‘’ buk, pinggulnya digerakan ke

depan…kembali lagi ke posisi semula….lalu kesamping

kanan … dan kesamping kiri…..’’. Satu sesi latihan

dilakukan dengan pengulangan 8 kali.

Gambar 3.4. Melatih keseimbangan berdiri

(c) Melatih keseimbangan 2 (Penyesuaian postur dengan

COG)

Posisi pasien berdiri dengan dasar kedua tumpuan kaki

sejajar bahu. Terapis berada di samping pasien untuk

memberikan perlindungan kepada pasien bila pasien

mengalami gangguan keseimbangan. Pasien di minta

untuk menjangkau ke depan. Tangan kanan pasien

menggapai tangan kanan terapis dengan memberi

support tangan kiri terapis pada siku tangan kanan

pasien. Instruksi yang di berikan : ‘’ Lihat tangan kanan


saya…sentuh tangan kanan saya dengan tangan

kananmu….usahakan badan jangan sampai jatuh….kaki

jangan bergerak maju ”. Setelah itu ganti dengan

mengggapai menggunakan tangan kiri. Satu sesi latihan

dilakukan dengan pengulangan 8 kali.

3) Langkah ke 4. Mentransfer latihan ke aktifitas sehari -

hari

Setelah mampu melakukan latihan tersebut diatas, maka

latihan dapat ditingkatkan ke aktifitas sehari – hari, seperti

melakukan latihan yang sama dengan langkah ke 2 dan 3

dengan menggunakan benda tertentu dan di taruh diletakkan

di meja. Keluarga diberi edukasi untuk selalu mengawasi

seperti yang telah diajarkan terapis dalam melakukan latihan

diatas.

d) Latihan berjalan

1) Langkah 1. Analisa kemampuan berjalan

Terapis mengobservasi pasien saat berjalan. Kemudian

terapis mencatat komponen yang hilang maupun kompensasi

dalam gerakan tersebut. Dari analisa didapatkan hasil : kurang

adanya rotasi trunk pasien saat berjalan, kurangnya ekstensi

dari hip sinistra pada fase menapak (stance phase), gerakan

lateral horizontal pelvis yang berlebihan, kurangnya fleksi hip

sinistra pada fase mengayun (swing phase), kurangnya


kontrol lutut dan ankle saat stance phase dan heel strike serta

kurangnya kontrol fleksi knee untuk memulai swing phase.

2) Langkah 2. Latihan komponen yang hilang

(a)Melatih rotasi trunk

Pasien duduk di kursi dengan kaki menyentuh lantai.

Pasien menggapai ke depan menyentuh tangan kanan

terapis. Terapis memberi support dengan tangan yang

kanan. Ketika pasien meraih untuk menyentuh tangan

terapis Terapis memegang lengan yang kanan, Instruksi

yang di berikan : “ Lihat tangan kanan saya…sentuh

tangan kanan saya…sekarang kembali lagi ke posisi

semula ‘’. Satu sesi latihan dilakukan dengan pengulangan

8 kali

Gambar 3.5. Melatih rotasi trunk

(b)Melatih ekstensi hip kiri pada stance phase

Pasien dalam posisi berdiri tegak, terapis berada di

samping kiri pasien dengan menyangga tangan sisi lesi

pasien. Kemudian pasien diminta untuk melangkahkan


kaki kanannya kedepan dan kebelakang. Terapis

memastikan hip kirinya tetap ekstensi. Instruksi yang di

berikan : ‘’ Pindahkan berat badan pada kaki kiri....lalu

langkahkan kaki kanan maju ke depan... lalu langkahkan

kaki kanan ke kebelakang...usahakan lutut tetap lurus ‘’.

Satu sesi latihan dilakukan dengan pengulangan 8 kali.

Gambar 3.6. Melatih ekstensi hip kiri pada stance phase

(c) Melatih kontrol lutut dan ankle untuk stance phase dan heel

strike

Posisi pasien berdiri tegak dengan terapis di depan pasien.

Kedua tangan pasien di bahu terapis, kedua tangan terapis

mensupport lengan pasien. Pasien diminta melangkahkan

kaki kirinya kemudian badan condong ke depan, kaki

kanan pasien toe off, seolah-olah mau melangkah sehingga

berat badan tertumpu pada tungkai kiri. Kemudian badan

kembali ke posisi tegak tetapi kaki kiri masih tetap di

depan dengan tumpuan pada tumit sehingga knee ekstensi


dan ankle dorsi fleksi. Gerakan ke depan dan ke belakang

ini bergantian kanan dan kiri, dengan instruksi: ‘’ Bu,

langkahkan kaki kenan ke depan, pindahkan berat badan

ke kaki kanan, angkat kaki kiri seolah-olah akan

melangkah kemudian turunkan lagi ke belakang, biarkan

kaki kanan tetap di depan dengan tumpuan di tumit.’’ Satu

sesi latihan dilakukan dengan pengulangan 8 kali.

Gambar 3.7. Melatih kontrol lutut dan ankle untuk


stance phase dan heel strike

(d)Melatih gerak horisontal lateral pelvis

Pasien dalam posisi berdiri tegak dengan kedua kaki pada

posisi sejajar bahu. Terapis berada di samping kiri pasien

dengan kedua tangan mensupport lengan kiri pasien. Pada

posisi tersebut pasien diminta untuk menggeserkan berat

badan ke kanan dan ke kiri bergantian disertai gerakan

pelvisnya. Intruksi yang di berikan : ‘’ Pak pindahkan

berat badan ke kaki kanan...lalu pindahkan berat badan ke

kaki kiri secara bergantian ‘’. Satu sesi latihan dilakukan

dengan pengulangan 8 kali.


Gambar 3.8. Melatih gerak horisontal lateral pelvis

(e)Mengontrol fleksi knee untuk memulai swing phase

Posisi pasien berdiri tegak dengan pandangan lurus ke

depan. Terapis berada di samping kiri pasien dengan

tangan kiri memegang kaki kiri pasien, tangan kanan

memegang pinggang pasien. Terapis menyuruh pasien

untuk mefleksikan lutut kiri diikuti fleksi panggul dan

terapis menyangga lututnya tetap fleksi. Instruksi : tekuk

kaki kirimu…panggul juga…luruskan lagi lutut kirimu

hingga jari kaki menyentuh lantai”. Satu sesi latihan

dilakukan dengan pengulangan 8 kali.


Gambar 3.9. Mengontrol fleksi knee untuk
memulai swing phase

3) Langkah 3. Melatih keseluruhan gerakan

Posis pasien berdiri tegak dengan posisi terapis berada

didepan memegang kedua siku pasien. Instruksi yang

diberikan  : ‘’ Sekarang langkahkan kaki yang kiri maju ke

depan…berat badan digeser di kaki kiri…kemudian

langkahkan kaki kanan maju kedepan…berat badan di geser

ke kaki kanan‘’. Latihan berjalan ini dilakukan dalam jarak

yang sesuai dengan toleransi pasien. Satu sesi latihan

dilakukan dengan pengulangan 8 kali.

4) Langkah ke 4. Mentransfer latihan ke aktifitas sehari -

hari

Setelah mampu melakukan latihan tersebut diatas,

maka latihan dapat ditingkatkan ke aktifitas sehari – hari,

seperti pasien jalan sendiri tanpa bantuan menuju ke toilet.

Keluarga diberi edukasi untuk selalu memberi koreksi saat

berjalan seperti yang telah diajarkan terapis dalam

melakukan latihan diatas.

C. Evaluasi Hasil Terapi


Evaluasi dari hasil terapi pada kasus ini menggunakan 3 parameter

sesuai dengan permasalahan yang diangkat. Di dalam kasus ini untuk

mengevaluasi kemampuan fungsi motorik pasien, alat ukur yang

digunakan adalah modified motor assessment scale (MMAS), untuk

mengevaluasi keseimbangan berdiri dengan tes keseimbangan berdiri,

sedangkan untuk mengevaluasi kemampuan fungsional dengan

menggunakan indeks barthel


DAFTAR PUSTAKA

Carr, J. H. and Shepherd, R. B; 1987;A Motor Relearning Programme for Stroke;


edisi dua, Butterworth Heinemann, Oxford.

Carr, J. H. dan Shepherd, R. B.,1998;Neurological Rehabilitation Optimizing


Motor Performance; Butterworth Heinemann, Oxford.

Chusid, J. G.,1993;Neuro Anatomi Korelatif dan neurology Fungsional; Edisi


Empat, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Duus, P.,1996; Diagnostik Topik Neurologi; edisi 11, alih bahasa dr. Devy H.R.
EGC. Jakarta.

Feigin, V.,2006; Stroke; Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Garrison,1995; Dasar – Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik; Hipokrates, Jakarta.

Harun, 2003; Gerakan Nasional Orang Tua Asuh;Diakses tanggal 14/11/2007,


dari http://www.yastroki.or.id/

Kuntono, H.,2002;Penatalaksanaan Stimulasi Elektris Pada Stroke; Makalah pada


seminar sehari tentang stroke, Fakultas Kedokteran Airlangga, Surabaya.

Junaidi, I., 2007; Stroke; Diakses tanggal 6/11/ 2007, dari http://www.wikimu.
com/News/displaynews.aspx?id=4030

Junaidi, I., 2006; A-Z Stroke. PT; Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Mardjono, M. dan Sidharta, P., 1989;Neurologi Klinis Dasar; Edisi Lima; Dian
Rakyat, Jakarta.

Mardjono, M. dan Sidharta, P., 1979; Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi;
Dian Rakyat, Jakarta.

Misbach, Y. dan Kalim, H., 2007; Stroke Mengancam Usia Produktif; Diakses tanggal
7/11/ 2007, dari http://www.medicastore.com/stroke/
Sullivan, 1986; Phisycal Rehabilitation: Evaluation and Treatment Procedures,
Davis Company, Philadelphia.

Pudjiastuti, S., dan Utomo, B.,2003; Fisioterapi pada Lansia; EGC, Jakarta.

Setiawan, 2007; Motor Relearning Programme (MRP) pada Stroke; dikutip


Pelatihan Nasional Dimensi Baru, 2007, Surakarta.

Singgih, S., 2003; Sistem Saraf Sebagai Sistem Pengendali Tubuh; Diakses
tanggal 8/11/2007, dari http://ikdu.fk.ui.ac.id/SISTEM_PENGENDALI
TUBUHsas.pdf

Snell, R.,1996;Neuro Anatomi Klinik; Edisi Dua, Alih Bahasa dari dr R. F.


Maulany, MSc, EGC, Jakarta.

Sujono, A., 1992; Gangguan Senso-Motorik pada Penderita Stroke, disampaikan


Workshop Fisioterapi pada Stroke, IKAFI, Jakarta.

Widjaja, D., 1994; Hipertensi dan Stroke; Diakses tanggal 7/11/2007, dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10HipertensiStroke95.pdf/10HipertensiStroke9
5.html

Anda mungkin juga menyukai