Oleh:
Nama: Midila Aulia Wati, S.Kep
NPM: 2014901110044
I. Proses Menua
A. Definisi Lansia / Proses Menua
Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah seseorang yang
telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada
manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya.
Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang
disebut Aging Process atau proses penuaan.
Seseorang dikatakan lansia ialah apabila berusia 60 tahun atau lebih, karena
faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara
jasmani, rohani maupun sosial (Nugroho, 2012).
E. Klasifikasi Lansia
Menurut Depkes RI (2013) klasifikasi lansia terdiri dari:
1. Pra lansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
2. Lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
3. Lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 60 tahun lebih dengan
masalah kesehatan
4. Lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
kegiatan yang dapat mengahasilkan barang atau jasa
5. Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain
B. Klasifikasi
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang
ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak
maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
2. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi
juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.
C. Etiologi
Hingga kini penyebab Remotoid Artritis (RA) tidak diketahui, tetapi
beberapa hipotesa menunjukan bahwa RA dipengaruhi oleh faktor-faktor :
1. Mekanisme IMUN ( Antigen-Antibody) seperti interaksi antara IGC dan
faktor Reumatoid
2. Gangguan Metabolisme
3. Genetik
4. Faktor lain : nutrisi dan faktor lingkungan (pekerjaan dan psikososial)
Penyebab penyakit Reumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun
faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor
metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008).
D. Patofisiologi
Pada Reumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya)
terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan
enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen
sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya
pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan
sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena
serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya
elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare, 2002).
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, kongesti
vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang
berkelanjutan, sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi artikular
kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk pannus, atau
penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke tulang sub chondria.
Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada
nutrisi kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis.
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi.
Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan
sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan
kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa
menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang
sub chondrial bisa menyebkan osteoporosis setempat.
Lamanya Reumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan
adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang
sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun
pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan
kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long,
1996.
G. Komplikasi
1. Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya
prosesgranulasi di bawah kulit yang disebut subcutan nodule.
2. Pada otot dapat terjadi myosis, yaitu proses granulasi jaringan otot.
3. Pada pembuluh darah terjadi tromboemboli.
4. Tromboemboli adalah adanya sumbatan pada pembuluh darah yang
disebabkan oleh adanya darah yang membeku.
5. Terjadi splenomegali.
6. Slenomegali merupakan pembesaran limfa,jika limfa membesar
kemampuannya untuk menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah
putih dan trombosit dalam sirkulasi menangkap dan menyimpan sel-sel
darah akan meningkat.
7. Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan
ulkus peptik yang merupakan komlikasi utama penggunaan obat anti
inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit
( disease modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang menjadi
faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis
reumatoid.
8. Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga
sukar dibedakan antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik.
Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan
vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes serologi : Sedimentasi eritrosit meningkat, Darah bisa terjadi
anemia dan leukositosis, Reumatoid faktor, terjadi 50-90% penderita
2. Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada
jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan
( perubahan awal ) berkembang menjadi formasi kista tulang,
memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan osteoartristik yang
terjadi secara bersamaan.
3. Scan radionuklida :mengidentifikasi peradangan sinovium
4. Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan
irregularitas/ degenerasi tulang pada sendi
5. Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih
besar dari normal: buram, berkabut, munculnya warna kuning ( respon
inflamasi, produk-produk pembuangan degeneratif ); elevasi SDP dan
lekosit, penurunan viskositas dan komplemen ( C3 dan C4 ).
6. Biopsi membran sinovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan
perkembangan panas.
7. Pemeriksaan cairan sendi melalui biopsi, FNA (Fine Needle Aspiration)
atau atroskopi; cairan sendi terlihat keruh karena mengandung banyak
leukosit dan kurang kental dibanding cairan sendi yang normal.
I. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi adalah:
1. Meringankan rasa nyeri dan peradangan
2. Memperatahankan fungsi sendi dan kapasitas fungsional maksimal
penderita.
3. Mencegah atau memperbaiki deformitas
Program terapi dasar terdiri dari lima komponen dibawah ini yang
merupakan sarana pembantu untuk mecapai tujuan-tujuan tersebut yaitu:
1. Istirahat
2. Latihan fisik
3. Panas
Pengobatan
1. Aspirin (anti nyeri)dosis antara 8 s.d 25 tablet perhari, kadar salisilat
serum yang diharapakan adalah 20-25 mg per 100 ml
2. Natrium kolin dan asetamenofen meningkatkan toleransi saluran
cerna terhadap terapi obat
3. Obat anti malaria (hidroksiklorokuin, klorokuin) dosis 200 – 600
mg/hari. mengatasi keluhan sendi, memiliki efek steroid sparing
sehingga menurunkan kebutuhan steroid yang diperlukan.
4. Garam emas
5. Kortikosteroid
Nutrisi : diet untuk penurunan berat badan yang berlebih.
Bila Reumatoid artritis progresif dan, menyebabkan kerusakan sendi,
pembedahan dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dan memperbaiki
fungsi. Pembedahan dan indikasinya sebagai berikut:
1. Sinovektomi, untuk mencegah artritis pada sendi tertentu, untuk
mempertahankan fungsi sendi dan untuk mencegah timbulnya kembali
inflamasi.
2. Arthrotomi, yaitu dengan membuka persendian.
3. Arthrodesis, sering dilaksanakan pada lutut, tumit dan pergelangan
tangan.
4. Arthroplasty, pembedahan dengan cara membuat kembali dataran pada
persendian.
K. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera (distensi jaringan oleh akumulasi
cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi).
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal, nyeri,
penurunan, kekuatan otot.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal,
penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/
mengingat, kesalahan interpretasi informasi.
L. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera (distensi jaringan oleh akumulasi
cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi).
a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
berkurang atau hilang
b. Kriteria hasil
1) Menunjukkan nyeri hilang/ terkontrol
2) Terlihat rileks, dapat tidur/beristirahat dan berpartisipasi dalam
aktivitas sesuai kemampuan.
3) Menggabungkan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan ke
dalam program kontrol nyeri.
c. Intervensi
1) Kaji keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala 0-10). Catat
faktor-faktor yang mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit non
verbal
R/ Membantu dalam menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan
keefektifan program
2) Dorong untuk sering mengubah posisi,. Bantu untuk bergerak di
tempat tidur, sokong sendi yang sakit di atas dan bawah, hindari
gerakan yang menyentak.
R/ Mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan sendi.
Menstabilkan sendi, mengurangi gerakan/ rasa sakit pada sendi
3) Anjurkan pasien untuk mandi air hangat atau mandi pancuran pada
waktu bangun dan/atau pada waktu tidur. Sediakan waslap hangat
untuk mengompres sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari.
Pantau suhu air kompres, air mandi, dan sebagainya.
R/ Panas meningkatkan relaksasi otot, dan mobilitas, menurunkan
rasa sakit dan melepaskan kekakuan di pagi hari. Sensitivitas pada
panas dapat dihilangkan dan luka dermal dapat disembuhkan
4) Berikan masase yang lembut
R/ Meningkatkan relaksasi/ mengurangi nyeri
5) Ajarkan teknik non farmakologi (relaksasi, distraksi, relaksasi
progresif)
R/ Meningkatkan realaksasi, mengurangi tegangan otot/ spasme,
memudahkan untuk ikut serta dalam terapi
6) Berikan kompres dingin jika dibutuhkan
R/ Rasa dingin dapat menghilangkan nyeri dan bengkak selama
periode akut
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal, nyeri,
penurunan, kekuatan otot.
a. Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan mobilitas fisik
baik
b. Kriteria hasil
1) Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak hadirnya/ pembatasan
kontraktur.
2) Mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan dan fungsi dari
dan/ atau kompensasi bagian tubuh
3) Mendemonstrasikan tehnik/ perilaku yang memungkinkan
melakukan aktivitas
c. Intervensi
1) Evaluasi/ lanjutkan pemantauan tingkat inflamasi/ rasa sakit pada
sendi
R/ Tingkat aktivitas/ latihan tergantung dari perkembangan/ resolusi
dari peoses inflamasi
2) Pertahankan istirahat tirah baring/ duduk jika diperlukan jadwal
aktivitas untuk memberikan periode istirahat yang terus menerus
dan tidur malam hari yang tidak terganmggu.
R/ Istirahat sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan seluruh
fase penyakit yang penting untuk mencegah kelelahan
mempertahankan kekuatan
3) Bantu dengan rentang gerak aktif/pasif, demikiqan juga latihan
resistif dan isometris jika memungkinkan
R/ Mempertahankan/ meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan
stamina umum. Catatan : latihan tidak adekuat menimbulkan
kekakuan sendi, karenanya aktivitas yang berlebihan dapat merusak
sendi
4) Ubah posisi dengan sering dengan jumlah personel cukup.
Demonstrasikan/ bantu tehnik pemindahan dan penggunaan bantuan
mobilitas
R/ Menghilangkan tekanan pada jaringan dan meningkatkan
sirkulasi.
5) Dorong pasien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi,
berdiri, dan berjalan
R/ Meningkatkan stabilitas ( mengurangi resiko cidera ) dan
memerptahankan posisi sendi yang diperlukan dan kesejajaran
tubuh, mengurangi kontraktor
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal,
penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi.
a. Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
mengatur kegiatan sehari-hari.
b. Kriteria hasil
1) Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten
dengan kemampuan individual
2) Mendemonstrasikan perubahan teknik/ gaya hidup untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
3) Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi/ komunitas yang dapat
memenuhi kebutuhan perawatan diri.
c. Intervensi
1) Diskusikan tingkat fungsi umum (0-4) sebelum timbul awitan/
eksaserbasi penyakit dan potensial perubahan yang sekarang
diantisipasi.
R/ Mungkin dapat melanjutkan aktivitas umum dengan melakukan
adaptasi yang diperlukan pada keterbatasan saat ini
2) Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program latihan.
R/ Mendukung kemandirian fisik/emosional
3) Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri.
Identifikasi /rencana untuk modifikasi lingkungan
R/ Menyiapkan untuk meningkatkan kemandirian, yang akan
meningkatkan harga diri
·
DAFTAR PUSTAKA
EGC, Jakarta.
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan, W., 2010. Kapita
S (Editor) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Balai penerbit FKUI
(Muhammad Rauf, Ns.,M.Kep) (Rosa Sosiawati, S.Kep., Ns) (Midila Aulia Wati, S.Kep)