Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

PERADILAN DALAM HUKUM PAJAK DAN REFORMASI PAJAK

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perajakan I

DOSEN PENGAMPU :
Kasyful Anwar S.E., M.Si.Ak
Fatimah S.E., M.Si.

Disusun Oleh :

Muhammad Faisal Madani (1900311310031)


Ghina Muthi Raita (1900311320062)
Siti Rahmawati (1900311320075)

PROGRAM STUDI DIII AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Makalah Peradilan Dalam Hukum Pajak dan
Reformasi Pajak yang penyusun buat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Perpajakan I.
Atas selesainya penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih yang tidak terhingga kepada Bapak Kasyful Anwar S.E., M.Si.Ak dan
juga Ibu Fatimah S.E., M.Si. sebagai Dosen pengajar mata kuliah Perpajakan I
yang telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik, serta semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan.
Penulis berharap makalah yang cukup sederhana ini dapat bermanfaat
dan dapat dijadikan sebagai sarana informasi yang berguna bagi para generasi
muda dalam pembelajaran Perpajakan I.
Mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kesalahan sehingga perlu ada saran yang sifatnya membangun. Semoga dengan
adanya makalah ini dapat memberikan dampak positif bagi berbagai kalangan,
baik itu terhadap mahasiswa maupun masyarakat.

Banjarmasin, 9 September 2019

Penulis

PERPAJAKAN I 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................................................5
A. Latar Belakang.....................................................................................................5
B. Rumusan Masalah................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................6
BAB II
PEMBAHASAN...............................................................................................................7
PERADILAN DALAM HUKUM PAJAK.................................................................7
A. HUKUM PAJAK......................................................................................................7
1. Hukum Administrasi........................................................................................7
2. Hukum Pidana..................................................................................................7
B. PENGADILAN DAN PERADILAN.......................................................................7
C. PENGADILAN PAJAK...........................................................................................8
D. PERADILAN ADMINISTASI PAJAK..................................................................9
1. Peradilan Administrasi Tidak Murni.............................................................9
2. Peradilan Adminstrasi Murni.......................................................................10
E. KEBERATAN DAN BANDING...........................................................................10
1. Keberatan.......................................................................................................10
2. Banding...........................................................................................................14
F. PANITERA.............................................................................................................16
1. Gugatan...........................................................................................................18
2. Persiapan Persidangan...................................................................................20
3. Pemeriksaan dengan Acara Biasa.................................................................21
4. Pemeriksaan dengan Acara Cepat................................................................22
5. Pembuktian.....................................................................................................23
6. Putusan............................................................................................................24
7. Pelaksanaan Putusan.....................................................................................27
8. Pemeriksaan Peninjauan Kembali................................................................28

PERPAJAKAN I 3
G. PENGAJUAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI SANKSI
ADMINISTRASI PERPAJAKAN................................................................................29
PEFORMASI PAJAK................................................................................................31
A. LATAR BELAKANG............................................................................................32
B. TUJUAN REFORMASI PAJAK..........................................................................33
C. 4 ALASAN DIPERLUKANNYA REFORMASI PERPAJAKAN......................33
D. PAJAK-PAJAK YANG BERLAKU SEBELUM REFORMASI........................34
E. REFORMASI PAJAK 1983..................................................................................35
F. REFORMASI PAJAK 1994..................................................................................36
G. REFORMASI PAJAK 2000..............................................................................37
H. REFORMASI PERPAJAKAN JILID I................................................................39
I. REFORMASI PERPAJAKAN JILID II..............................................................39
J. REFORMASI PERPAJAKAN JILID III.............................................................40
BAB III
KESIMPULAN..............................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................42

PERPAJAKAN I 4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soe mitro, S.H, Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pajak tentunya memiliki hukum
dan perubahan-perubahan sesuai dengan perubahan kondisi sosial ekonomi yang
ada.
Secara historis pajak telah lama menjadi sumber penerimaan potensial
Negara untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan. Pajak dapat
dipahami sebagai suatu pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
rakyatnya (wajib pajak) yang tidak memberikan kontraprestasi secara langsung
yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (budgeter) maupun untuk
mengatur segala sesuatu yang ada diluar bidang keuangan (regulator).
Perpajakan merupakan produk kebijakan pemerintah dibidang fiscal
mapun keuangan. Telah kita cermati kebijakan perpajakan (dengan adanya system
perpajakan) di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan-perubahan besar
dalam kurun waktu sejak Indonesia merdeka hingga era reformasi sekarang.
Terkait perubahan kebijakan dalam perpajakan, Indonesia telah melakukan
beberapa kali perubahan kebijakan perpajakan yang dapat disebut sebagai
reformasi perpajakan atau Tax Reform. Kapan saja reformasi perpajakan tersebut
dilakukan dan apa saja yang mendasarinya dan bagaimana bentuk perubahannya,
penyusun sajikan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa perbedaan pengadilan dan peradilan?


2. Apa saja bagian dari peradilan dalam hukum pajak?
3. Apa latar belakang terjadinya reformasi perpajakan?
4. Apakah tujuan dari reformasi pajak?

PERPAJAKAN I 5
5. Bagaimana bentuk reformasi pajak?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari dibuatnya makalah ini, selian untuk memenuhi tugas mata
kuliah Perpajakan I, juga untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis
dalam memahami lebih lanjut mengenai peradilan dalam hukum pajak serta
reformasi pajak.

PERPAJAKAN I 6
BAB II
PEMBAHASAN

PERADILAN DALAM HUKUM PAJAK

A. HUKUM PAJAK
Hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai
pembayar pajak. Hukum pajak sering juga disebut hukum fiskal.
Hukum pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hukum administrasi dan
hukum pidana.
1. Hukum Administrasi
Hukum administrasi umumnya berupa sanksi administrasi, baik berupa
buga, denda, tambahan pokok pajak, maupun kenaikan dan dijatuhkan
oleh fiskus. Sanksi administrasi umumnya berkaitan dengan masalah-
masalah ketidaktaatan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban seperti
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT
tapi tidak benar dan tidak lengkap karena alpa dan laim-lain.
2. Hukum Pidana
Hukum pidana berkaitan dengan denda pidana maupun hukum penjara dan
dijatuhkan oleh hakim. Hukum pidana umunya berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan yang dapat di kategorikan sebagai kejahatan seprrti
sengaja tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP,
memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah-olah benar dan lain-lain.

B. PENGADILAN DAN PERADILAN


Secara ringkas, pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang
melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara. Sedangkan, peradilan adalah suatu proses yang
dijalankan dipengadilan yang berhubungan dengan tugas yang memeriksa,
memutus dan mengadili perkara.

PERPAJAKAN I 7
C. PENGADILAN PAJAK
Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman di Indonesia bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari
keadilan terhadap sengketa pajak.
Dimana yang dimaksud sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dibidang
perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada
Pengadilan pajak. Itu termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan undang-undang penagihan dengan surat paksa.
Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak. Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu
kota negara. Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan di tempat
kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di tempat lain berdasarkan ketetapan
Ketua Pengadilan Pajak.
Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas: Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris,
dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak sendiri terdiri dari seorang Ketua
dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua.
Pembinaan serta pengawasan umum terhadap hakim Pengadilan Pajak
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi,
administrasi, dan keuangan ditanggulangi oleh Kementrian Keuangan.
Selain itu, ada juga penjelasan dalam pasal 9A ayat (1) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan dalam Pasal 27
ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2009 , secara tegas dinyatakan bahwa putusan
Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara.
Adapun dasar untuk menegaskan kedudukan Pengadilan Pajak dalam lingkup
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, adalah berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 004/PUU-11/2004

PERPAJAKAN I 8
dinyatakan, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan
kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
Kekuasaan Pengadilan Pajak
1. Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan
memutuskan sengketa pajak.
2. Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus
sengketa atas keputusan keberatan, kecuali di tentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.Pengadilan pajak dalam hal gugatan
memeriksa dan memutuskan sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak
atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya.
3. Gugatan Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap :
o Pelaksana Surat Paksa, surat perintah melaksakaan penyitaan, atau
pengumuman lelang.
o Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan.
o Keputusan pembetulan yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak.
4. Pengadilan pajak adalah pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam
memeriksa dan memutuskan sengketa pajak.

D. PERADILAN ADMINISTASI PAJAK


Peradilan adminstrasi pajak umumnya melibatkan minimal dua pihak, yaitu
pihak Wajib Pajak dengan aparat pajak (fiskus). Peradilan adminitrasi pajak
dapat dibagi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi tidak murni dan
peradilan administrasi murni.

1. Peradilan Administrasi Tidak Murni


Peradilan administrasi ini disebut peradilan administrasi tidak murni
karena dalam peradilan administrasi ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu
pihak Wajib Pajak dan pihal fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang
independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus mejadi
pihak yang mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang
bersangkutan.
Contoh peradilan administrasi tidak murni dapat dilihat dalam pengajuan
keberatan yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 Undang-Undang Nomor 6

PERPAJAKAN I 9
Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Kententuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
Wajib Pajak mengajukan keberatan (doleansi) karena adanya perselisihan
mengenai besarnya jumlah utang pajak. Oleh karena itu, ada dua hal yang
harus diperhatikan, yaitu :
a. Terhadap surat keberatan yang masuk harus diambil keputusan.
b. Pihak yang mengambil keputusan adalah aparatur pajak (Dirjen Pajak,
Kakanwil Pajak, dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan
kewenangan masing-masing) yang disebut sebagai hakim doleansi.

2. Peradilan Adminstrasi Murni


Perasilan adminstrasi murni adalah peradilan yang melibatkan tiga pihak,
yaitu pihak Wajib Pajak, fiskus, dan hakim yang mengadili. Wajib Pajak
dan fiskus adalah pihak yang bersengketa, sedangkan hakim atau majelis
hakim adalah pihak yang memutuskan sengeketa tersebut.
Contoh peradilan adminstrasi dapat dilihat yang diatur dalam pengajuan
banding yang diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 sebagimana yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

E. KEBERATAN DAN BANDING


1. Keberatan
Dasar hukum Pasal 25 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
a. Pengertian
Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undagan
perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa
kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan
kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga.
Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen
Pajak melaui Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak yang
bersangkutan terdaftar.

1
PERPAJAKAN I
0
b. Wajib Pajak Dapat Mengajukan Keberatan Atas Suatu :
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
5. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.
c. Pihak Yang Dapat Mengajukan Keberatan :
1. Bagi Wajin Pajak Badan oleh pengurus.
2. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi oleh Wajib Pajak yang
bersangkutan.
3. Pihak yang dipotong/dipungut oleh pihak ketiga.
4. Kuasa yang ditunjuk oleh mereka pada poin 1-3 diatas dengan
surat kuasa khusus untuk pengajuan keberatan.
d. Syarat-Syarat Mengajukan Keberatan :
1. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang
dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan
Wajin Pajak dengan disertai alas an yang menjadi dasar
perhitungan.
2. Jika Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketatapan
pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus
dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak
dalam pembahasan sebelum surat keberatan disampaikan.
3. Jika Wajib Pajak mengajukan keberatan maka jangka waktu
pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan tertangguhkan sampai dengan satu bulan
sejak tanggal penerbitan surat keputusan keberatan.
4. Jika Wajib Pajak mengajukan banding atas putusan keberatan
maka jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum
dibayarpada saat pengajuan keberatan tertangguhkan sampai
dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan surat keputusan
banding.

1
PERPAJAKAN I
1
5. Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu
tahun/masa pajak.
e. Jangka Waktu Pengajuan Keberatan Bagi Wajib Pajak :
1. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak
tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal
dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga, kecuali
Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut
tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
2. Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke Kantor
Pelayanan Pajak, maka jangka waktu tiga bulan dihitung sejak
tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan
pemotongan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh
Kantor Pelayanan Pajak.
3. Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus
dengan pos tercatat), maka jangka waktu tiga bulan dihitung sejak
tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan
tanggal tanda bukti pengiriman melalui Kantro Pos dan Giro.

Hal yang dapat dimintakan oleh Wajib Pajak dalam hal pengajuan
keberatan adalah untuk keperluan pengajuan keberatan Waiib Pajak dapat
meminta penjelasan/keterangan tambahan dan Kepala KPP wajib
memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan, atau pemungutan
pajak.

f. Keputusan atas surat keberatan :


1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Wilayah, atau
Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas surat
keberatan paling lambat 12 bulan sejak tanggal surat keberatan
diterima. Selanjutnya, surat keputusan keberatan harus diterbitkan
selambat-lambatnya 3 bulan sejak jangka waktu 12 bulan tersebut
berakhir. Apabila dalam jangka waktu 12 bulan, Kepala KPP atau

1
PERPAJAKAN I
2
Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan keputusan maka keberatan yang diajukan oleh Wajib
Pajak dianggap diterima.
2. Wajib Pajak yang mengajukan keberatan, tetapi tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan, maka Kepala KPP akan memberikan
jawaban tertulis dengan surat biasa (bukan surat keputusan
penolakan) selambat-lambatnya 1(satu) bulan sejak surat kebertan
tersebut diterima.
3. Sebelum surat keputusan diterbtikan, Wajib Pajak dapat
menyampaikan alasan tambahn atau penjelasan tertulis.
4. Keputusan keberatan dapat berupa dikabulkan seluruhnya,
dikabulkan sebagian, ditolak, dan menambah jumlah pajak.
Apabila Wajib pajak tidak atau belum puas dengan keputusan yang
diberikan atas keberatan maka Wajib Pajak dapat mengajukan
banding ke Pengadilan Pajak.
g. Sanksi administrasi :
1. Jika keberatan ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajk
dikenakan sanski administrasi berupa denda sebesar 50 persen
(lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan
keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
2. Jika Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi
administrasi yang dimaksud diatas tidak dikenakan.
3. Jika permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100
persen (seratus persen) dari jumlah pajak yang berdasarkan
keputusan banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.

Kewenangan dalam mengambil keputusan merupakan wewenang


Direktur Jenderal Pajak yang begitu luas dan di berikan oleh undang-
undag perpajakan, tentu saja tidak dapat dilaksanakan sendiri. Oleh karena
itu, Direktur Jenderal Pajak harus mengambi suatu keputusan yang
1
PERPAJAKAN I
3
disesuaikan dengan struktur organisasi dari Direktorat Jenderal Pajak. Dari
sekian banyak unit yang melayani masyarakat dibidang perpajakan, akan
diartikan secara khusus masalah kewenangan di dlaam memutuskan dan
segala aspek adminstrasi dalam hal Wajib Pajak yang melakukan
keberatan dan banding atas ketetapan pajak yang telah dikeluarkan.

2. Banding
a. Dasar Hukum
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak. Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau
penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
Tugas pengadilan adalah memutuskan sengeketa pajak.
b. Pengertian
Banding adalah upaya hukum dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan
banding berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
c. Pihak yang Dapat Mengajuan Banding

Sedangkan untuk proses banding, pihak-pihak terkait yang bisa


mekakukannya juga sudah diatur antara lain:
1. Dapat dilakukan oleh wajib pajak, ahli waris, pengurus, ataupun
kuasa hukum si wajib pajak.
2. Ketikan proses pengajuan banding sedang berjalan dan pemohon
meninggal dunia, proses ini akan dilanjutkan oleh ahli waris.
3. Selama proses berjalan, apabila pemohon banding
menggabungkan, memecah, atau melakukan pemekaran usaha,
proses banding dapat diteruskan oleh pihak yang diberi tanggung
jawab atas kasus tersebut.
d. Syarat-Syarat Mengajukan Banding
1. Banding diajukan dengan surat banding dalam Bahasa Indonesia
kepada pengadilan pajak.

1
PERPAJAKAN I
4
2. Banding diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal
diterimanya keputusan yang dibandingkan, kecuali diatur lain
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Jangka waltu tersebut tidak mengikat apabila dalam jangka waktu
dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan
pemohon banding.
4. Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding.
5. Banding diajukam disertai dengan alasan-alasan yang jelas dan
cantumkan tanggal diterimanya surat keputusan yang dibanding.
6. Pada surat banding dilampirkan salinan keputusan yang dibanding
7. Selain dari persyaratan tersebut, dalam hal disbanding diajukan
terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang dimaksud telah
dibayar sebesar 50 persen.
8. Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang
pengurus, atau kuasa hukumnya.
9. Apabila selama proses banding, pemohon banding meninggalkan
dunia, banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya n, kuasa
hukum dari ahli warisnya, pengampunya dalam hal pemohon
banding pailit.m
10. Apabila selama proses banding pemohon banding melakukan
penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau
likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang
menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi yang dimaksud.
11. Pemohon banding dapat melengkapi surat bandingnya untuk
memenuhi ketentuan yang berlaku sepangang masih dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud diatas.
12. Terhadap bandingan dapat diajukan surat pernyataan pencabutan
kepada pengadilan pajak.
13. Banding yang dicabut, dihapus dari daftar sengketa dengan :
a. Penetapan ketua dlaam surat pernyataan pencabutan diajukan
sebelum sidang dilaksanakan.

1
PERPAJAKAN I
5
b. Putusan majelis/hakim tunggal melalui pemeriksaan dalam hal
surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas
persetujuan terbanding.
14. Banding yang telah dicabut melalui penetapan putusan tidak dapat
diajukan kembali.

e. Hak yang Didapat Oleh Pemohon Banding Pajak

Jika syarat-syarat untuk pengajuan banding telah terpenuhi, maka


pemohon akan memperoleh hak-hak seperti berikut ini, antara lain:
1. Dalam jarak waktu tiga bulan setelah menerima surat keputusan
banding, pemohon memiliki hak untuk melengkapi surat banding
sebagai bentuk dari pemenuhan ketentuan yang berlaku.
2. Memasukkan surat bantahan dapat dilakukan dalam kurun waktu
30 hari sejak menerima surat uraian banding.
3. Pemohon dapat mengikuti sidang untuk menyampaikan keterangan
secara lisan dan menunjukkan bukti selama menyampaikan secara
tertulis kepada ketua pengadilan pajak.
4. Memiliki hak untuk datang dalam sidang pembacaan keputusan.
5. Memiliki hak didampingi ataupun diwakilkan oleh kuasa hukum
dengan syarat telah mendapat izin atau terdaftar sebagai kuasa
hukum dari pengadilan pajak.
6. Dapat meminta kepada majelis untuk menghadirkan saksi. Proses
banding terhitung lumayan lama karena putusan penetapan paling
lama bisa mencapai 12 bulan dari penerimaan surat banding pajak.

F. PANITERA
Panitera adalah pejabat pengadilan yang salah satu tugasnya adalah
membantu hakim dalam membuat berita acara pemeriksaan dalam proses
persidangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Panitera disebut
pejabat kantor sekretariat pengadilan yang bertugas pada bagian administrasi
pengadilan, membuat berita acara persidangan, dan tindakan administrasi
lainnya. Dalam menjalankan tugasnya Panitera biasa dibantu oleh beberapa
orang Panitera Muda dan Panitera Pengganti.

1
PERPAJAKAN I
6
Jabatan Panitera terdapat di pengadilan lingkungan Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. Secara normatif jabatan fungsional panitera
di pengadilan lingkungan Mahkamah Agung diatur dalam UU sesuai jenis
peradilan. Misalnya, dalam UU Peradilan Umum, UU PTUN, UU Pengadilan
Agama yang mengatur proses pengangkatan dan pemberhentian jabatan
panitera. Dalam UU itu diatur secara lebih rinci, mulai dari tugas dan fungsi
panitera, panitera muda, dan panitera pengganti di pengadilan tingkat
pertama, banding atau kasasi. Tugas dan fungsi jabatan panitera di Mahkamah
Konstitusi disinggung sekilas dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK.
 Pada pengadilan pajak di tetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin
oleh seorang panitera.
 Dalam melaksankan tugasnya, panitera pengadilan pajak dibantu oleh
seorang wakil panitera dan beberapa orang panitera pengganti.
 Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, panitera,
wakil panitera, dan panitera pengganti tidak boleh merangkap menjadi
pelaksna putusan pengadilan pajak, wali, pengampu, atau pejabat yang
berkaitan dengan suatu sengketa pajak yang akan atau sedang diperiksa
olehnya, penasihat hukum, konsultan pajak, akuntan public, dan
pengusaha
 Panitera, Wakil Panitera, dan panitera pengganti diangkat dan
diberhentikan dar jabatannya oleh menteri.
 Pembinaan teknis panitera dilakukan oleh Mahkamah Agung.
 Pada surat banding dilampirkan salinan keputusan yang dibanding
 Selain dari persyaratan tersebut, dalam hal disbanding diajukan terhadap
besarnya jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50
persen.
 Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang
pengurus, atau kuasa hukumnya.
 Apabila selama proses banding, pemohon banding meninggalkan dunia,
banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya n, kuasa hukum dari ahli
warisnya, pengampunya dalam hal pemohon banding pailit.m

1
PERPAJAKAN I
7
 Apabila selama proses banding pemohon banding melakukan
penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi,
permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima
pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi yang dimaksud.
 Pemohon banding dapat melengkapi surat bandingnya untuk memenuhi
ketentuan yang berlaku sepangang masih dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud diatas.
 Terhadap bandingan dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada
pengadilan pajak.
 Banding yang dicabut, dihapus dari daftar sengketa dengan Penetapan
ketua dlaam surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang
dilaksanakan.serta Putusan majelis/hakim tunggal melalui pemeriksaan
dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas
persetujuan terbanding.
 Banding yang telah dicabut melalui penetapan putusan tidak dapat
diajukan kembali.

1. Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
penanggung pajak terhadap pelaksana penangihan pajak atau terhadap
keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Syarat – syarat mengajukan gugatan :
1. Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada
pengadilan pajak.
2. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksana
penagihan pajak adalah 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
3. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan selain
gugatan adalah hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang digugat.
4. Jangka waktu sebagaimana yang dimaksud di atas tidak mengikat
apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaan penggugat
1
PERPAJAKAN I
8
5. Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas adalah 14
hari terhitung sejak berakhirnya keadaan diluar kekuasaan penggugat.
6. Terhadap satu pelaksanaan penagihan atau satu keputusan diajukan
satu surat penggugat.
7. Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang
pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan – alasan yang
jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau
keputusan yang digugat dan dilampirkan salinan dokumen yang
digugat.
8. Apabila selama proses gugatan, penggugat meninggal dunia, gugatan
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya,
pengampunya dalam hal pemohon banding pailit.
9. Apabila selama proses gugatan, pemohon banding melakukan
penggabungan, peleburan. Pemecahan / pemekaran usaha, atau
likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang
menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi yang dimaksud.
10. Terhadap bandingan dapat diajukan surat pernyataan pecabutan kepada
pengadilan pajak.
11. Gugatan yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan:
a. Ketetapan ketua dalam surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum
sidang dilaksanakan.
b. Putusan majelis/hakim tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat
pernyataan pecabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan tergugat.
12. Banding yang telah dicabut melalui penetapan putusan tidak dapat
diajukan kembali.
13. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan
pajak atau kewajiban perpajakan.
14. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut
pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa
pajak sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan pajak.

1
PERPAJAKAN I
9
15. Permohonan dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus
terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
16. Permohonan penundaan dapat dikabulkan hanya apabila terdapat
keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan
penggugat sangat diragukan jika dilaksanakan penagihan pajak yang
digugat itu dilaksanakan.

2. Persiapan Persidangan
Persiapan – persiapan dalam persidangan sebagai berikut.

1. Peradilan pajak meminta surat uraian banding atau surat tanggapan


atas surat banding atau surat gugatan kepada terbanding atau tergugat
dalam jangka waktu 14 hari sejak diterima surat banding atau surat
gugatan.
2. Jika pemohon banding mengirimkan surat atau dokumen susulan
kepada pengadilan pajak, jangka waktu empat belas (14) hari
sebagaimana dimaksud seperti di atas dihitung sejak tanggal diterima
surat atau dokumen susulan dimaksud.
3. Terbanding atau tergugat menyerahkan surat uraian banding atau surat
tanggapan sebagaimana dimaksud di atas dalam jangka waktu:
a. Tiga (3) bulan sejak tanggal dikirim permintaan surat uraian
banding;
b. Satu (1) bulan sejak tanggal dikirim permintaan surat tanggapan;
c. Salinan surat uraian banding atau surat tanggapan sebagaimana
yang dimaksud di atas oleh pengadilan pajak dikirim kepada
pemohon banding atau penggugat dalam jangka waktu empat belas
(14) hari sejak tanggal diterima;
d. Pemohon banding atau penggugat dapat menyerahkan surat
bantahan kepada pengadilan pajak dalam jangka waktu tiga puluh
(30) hari sejak tanggal diterima salinan surat banding atau surat
tanggapan sebagaimana dimaksud di atas;
e. Salinan surat bantahan dikirim kepada terbanding atau tergugat
dalam jangka waktu empat belas (14) hari sejak tanggal
diterimanya surat bantahan;
2
PERPAJAKAN I
0
f. Apabila terbanding atau tergugat, atau pemohon banding atau
penggugat tidak memenuhi ketentuan, pengadilan pajak tetap
melanjutkan pemeriksaan banding atau gugatan;
g. Pemohon banding atau penggugat dapat memberitahukan kepada
ketua untuk hadir dalam persidangan guna memberikan keterangan
lisan;
h. Ketua menunjuk majalis yang terdiri atas 3 orang hakim atau
hakim tunggal untuk memeriksa dan memutuskan sengketa pajak;
i. Jika pemeriksaan dilakukan oleh majelis, ketua menunjuk salah
seorang hakim sebagaimana dimaksud di atas sebagai hakim ketua
yang memimpin pemeriksaan sengketa pajak;
j. Majelis atau hakim tunggal bersidang pada hari yang ditentukan
dan memberitahukan hari sidang dimaksud kepada pihak yang
bersengketa;
k. Majelis atau hakim tunggal sudah mulai bersidang dalam jangka
waktu 6 bulan sejak tanggal diterimanya surat bandig;
l. Dalam hal gugatan, majelis atau hakim tunggal sudah memulai
sidang dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya surat
gugatan.
3. Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Beberapa ketentuan dalam pemeriksaan dengan acara biasa adalah sebagai
berikut.

1. Pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan oleh majelis.


2. Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum.
3. Sebelum pemeriksaan umum pokok sengketa dimulai, majelis
melakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan dan/atau kejelasan
banding atau gugat.
4. Apabila banding atau gugat tidak lengkap dan/atau tidak jelas
sepanjang bukan merupakan persyaratan, kelengkapan dan/atau
kejelasan dimaksud dapat diberikan dalam persidangan.

2
PERPAJAKAN I
1
5. Hakim ketua menjelaskan masalah yang disengketakan kepada pihak –
pihak yang bersengketa.
6. Majelis menanyakan kepada terbanding atau tergugat mengenai hal –
hal yang dikemukakan pemohon banding atau penggugat dalam surat
banding atau surat gugat dan dalam surat bantahan.
7. Apabila majelis memandang perlu dan jika pemohon banding atau
penggugat hadir dalam persidangan, hakim ketua dapat meminta
pemohon banding atau penggugat untuk memberikan keterangan yang
diperlukan dalam penyelesaian sengketa pajak.
8. Atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa, atau karena
jabatan, hakim ketua dapat memerintahkan saksi untuk hadir dan
didengar keterangannya dalam persidangan.
9. Saksi yang diperintahkan oleh hakim ketua wajib datang dipersidangan
dan tidak diwakilkan.
10. Jika saksi tidak datang meskipun telah dipanggil dengan patut dan
majelis dapat mengambil putusan tanpa mendengar keterangan saksi,
hakim ketua melanjutkan persidangan.
11. Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut, dan
majelis mempunyai alasan yang cukup untuk menyangka bahwa saksi
sengaja tidak datan, serta majelis tidak dapat mengambil keputusan
tanpa keterangan dari saksi dimaksud, hakim ketua dapat meminta
bantuan polisi untuk membawa saksi ke persidangan.
12. Biaya untuk mendatangkan saksi ke persidangan yang diminta oleh
pihak yang bersangkutan menjadi beban oleh pihak yang meminta.
13. Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
14. Hakim ketua menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir,
umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat
tinggal, agama, pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan
kerja dengan pemohon banding atau penggugat atau dengan
terbanding/tergugat.

2
PERPAJAKAN I
2
15. Sebelum memberikan keterangan, saksi – saksi wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya.

4. Pemeriksaan dengan Acara Cepat


Beberapa ketentuan dalam pemriksaan dengan acara cepat adalah sebagai
berikut.
1. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh majelis atau hakim
tunggal.
2. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan terhadap Sengketa pajak
tertentu, Gugatan yang tidak diputuskan dengan jangka waktu 6 bulan
sejak gugatan diterima, Tidak dipenuhi salah satunya dalam putusan
pengadilan pajak atau kesalahan tertulis dan/atau kesalahan hitung,
Sengketa yang bedasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan
wewenang pengadilan pajak, dan Sengketa pajak tertentu adalah
sengketa pajak banding atau gugatannya tidak memenuhi ketentuan
yang berlaku.
3. Pemeriksaan dengan acara cepat terhadap sengketa pajak dilakukan
tanpa surat uraian banding atau surat tanggapan dan tanpa surat
bantahan.
4. Semua ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara biasa berlaku
juga untuk pemeriksaan dengan acara cepat.
5. Pembuktian
Pembuktian di pengadilan pajak dapat berupa sebagai berikut.
1. Alat bukti daat berupa tulisan, Keterangan ahli, Keterangan para saksi,
Pengakuan para pihak, dan Pengetahuan hakim.
2. Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
3. Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri atas:
a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapkan
seseorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-
undangan berwenang untuk membuat surat itu dengan maksud
untuk dipergunakan untuk sebagai peristiwa atau peristiwa hukum
yang tercantum didalamnya;

2
PERPAJAKAN I
3
b. Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat atau ditanda tangani
oleh pihak – pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk di
pergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa
hukum yang tercantum di dalamnya;
c. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat
yang berwenang;
d. Surat – surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, b, dan c
yang ada kaitannya dengan banding atau gugatan.
4. Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah
sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut
pengalamannya dan pengetahuannya.
5. Seorang yang tidak boleh didengar oleh saksi tidak boleh
memberikan keterangan ahli.
6. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau
karena jabatannya, hakim ketua atau hakim tunggal dapat
menunjuk seseorang atau beberapa ahli.
7. Seseorang ahli dalam persidangan harus memberikan keterangan,
baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau
janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan
pengetahuannya.
6. Putusan
Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis
dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil
dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Hal – hal yang perlu
diketahui berkaitan dengan putusan adalah sebagai berikut.
1. Putusan pengadilan pajak adalah putusan akhir dan memiliki kekuatan
hukum tetap.
2. Pengadilan pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas gugatan
berkenaan dengan permohonan penggugat agar tidak lanjut
pelaksanaan pajak ditunda selama pemeriksaan pajak berjalan, sampai
ada putusan pengadilan.

2
PERPAJAKAN I
4
3. Pihak – pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan
kembali atas putusan Pengadilan pajak kepada Makamah Agung.
4. Putusan pengadilan pajak diambil bedasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan bedasarkan peraturan perudang – undagan
perpajakan yang bersangkutan serta bedasarkan keyakinan hakim.
5. Dalam pemeriksaan dilakukan oleh majelis, putusan pengadilan pajak
di ambil bedasarkan musyawarah yang dipimpin oleh hakim ketua
dan apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan,
putusan diambil dengan suara terbanyak.
6. Apabila majelis di dalam mengambil keputusan dengan cara
musyawarah tidak dapat di capai kesepakatan sehingga putusan
diambil dengan suara terbanyak, pendapat hakim anggota yang tidak
sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan
pengadilan pajak.
7. Putusan pengadilan pajak dapat berupa, Menolak, Mengabulkan
sebagian atau seluruhnya, Menambah pajak yang harus di bayar,
Tidak dapat diterima, Membetulkan kesalahan tulisan dan/atau
kesalahan hitung dan/atau Membatalkan, Terhadap putusan tersebut
tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding atau kasasi, dan Putusan
pemeriksaan dengan acara biasa atas banding diambil dalam jangka
waktu 6 bulan sejak surat gugatan diterima.
8. Dalam hal – hal khusu jangka waktu tersebut dapat diperpanjang
paling lama 3 bulan.
9. Jika gugatan yang diajukan selain atas keputusan pelaksana penagihan
pajak, tidak diputus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
diatas, pengadilan pajak wajib mengambil putusan melalui
pemeriksaan dengan acara cepat dalam jangka waktu 1 bulan sejak
jangka waktu 6 bulan tersebut terlampaui.
10. Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap sengketa pajak
tertentu, dinyatakan tidak dapat dterima, diambil dalam jangka waktu:
a. 30 hari sejak batas waktu pengajuan gugatan banding atau gugatan
dilampaui;

2
PERPAJAKAN I
5
b. 30 hari sejak banding atau gugatan diterima dalam hal diajukan
setelah batas waktu pengajuan dilampaui.
11. Putusan atau penetapan dengan acara cepat terhadap kekeliruan
berupa pembetulan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, diambil
dalam jangka waktu 30 hari sejak kekeliruan dimaksud diketahui atau
sejak permohonan salah satu pihak diterima.
12. Putusan dengan acara cepat terhadap sengketa yang didasarkan
pertimbangan hukum bukan wewenang pengadilan pajak, berupa
tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu 30 hari sejak surat
banding atau gugat diterima.
13. Jika putusan pengadilan pajak diambil terhadap sengketa pajak,
pemohon banding, atau penggugat dapat mengajukan gugatan kepada
peradilan yang berwenang.
14. Putusan pengadilan pajak harus diucapkan dalam sidang terbuka
umum.
15. Tidak dipenuhinya ketentuan diatas, utusan pengadilan pajak tidak
sah dan tidak mempunyai ketentuan hukum sehingga putusan
dimaksud harus diucapkan kembali dalam sidang terbuka untuk
umum.
16. Putusan pengadilan pajak harus memuat:
a. Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. Nama, tempat tinggal atau tempat kediaman, dan/atau identitas
lainnya dari pemohon banding atau penggugat;
c. Nama jabatan dan alamat terbanding atau tergugat;
d. Hari, tanggal diterimanya banding atau gugatan;
e. Ringkasan banding atau gugatan, dan ringkasan surat uraian
banding, atau surat tanggapan, atau surat bantahan yang jelas;
f. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal
yang terjadi di dalam persidangan selama sengketa itu di periks;
g. Pokok sengketa;
h. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;

2
PERPAJAKAN I
6
i. Amar putusan tentang sengketa;
j. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera
dan keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
17. Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan di atas menyebabkan putusan
dimaksud tidak sah dan ketua memerintahkan sengketa dimaksud
segera disidangkan kembali dengan acara cepat, kecuali putusan
diambil telah melampaui jangka waktu 1 tahun.
18. Ringkasan sebagaimana dimaksud dalam huruf e tidak diperlukan
dalam hal putusan pengadilan pajak diambil terhadap sengketa pajak
berupa tidak dipenuhinya putusan pengadilan pajak, sengketa yang
bukan wewenang pengadilan pajak dan sengketa tertetu yang tidak
memenuhi syarat.
19. Putusan pengadilan pajak harus ditandatangani oleh hakim yang
memustuskan dan panitera.
20. Apabila hakim ketua atau hakim tunggal yang menyidangkan
berhalangan menandatangani, putusan ditandatangani oleh ketua
dengan menyatakan alasan berhalangannya hakim ketua dan hakim
tunggal.
21. Apabila hakim anggota berhalangan menandatangani, putusan
ditandatangani oleh hakim ketua dengan menyatakan alasan
berhalangannya hakim anggota dimaksud.
7. Pelaksanaan Putusan
Beberapa hal yang harus dilaksanakan dalam pelaksanaan putusan adalah
sebagai berikut.
1. Putusan pengadilan pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak
memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan
perundang – undang mengatur lain.
2. Apabila putusan pengadilan pajak mengabulkan sebagian atau seluruh
banding, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 bulan sesuai
ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan yang berlaku.

2
PERPAJAKAN I
7
3. Salinan putusan atau salinan penetapan pengadilan pajak dikirim
kepada para pihak dengan surat oleh sekretaris dalam jangka waktu 30
hari sejak tanggal putusn pengadilan pajak diucapkan, atau dalam
jangka waktu 7 hari sejak tanggal putusan diucapkan.
4. Putusan pengadilan pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang
berwenang dalam jangka waktu 30 hari terutang sejak tanggal
diterimanya putusan.
5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan pajak dalam
jangka waktu tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
kepegawaian yang berlaku.
8. Pemeriksaan Peninjauan Kembali
Hal – hal yang berkaitan dengan pemeriksaan peninjauan kembali sebagai
berikut.
1. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali
kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan pajak.
2. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan pajak.
3. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum putusan, dan
dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut
tidak dapat diajukan kembali.
4. Hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali
sebagaimana dimaksud dalam undang – undang nomor 14 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, kecuali yang di atur secara khusus dalam
undang – undang ini.
5. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan bedasarkan
alasan – alasan antara lain:
a. Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu
kebohongan atau tipu didasarkan pada bukti – bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat
menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan
dipengadilan pajak akan menghasilkan keputusan yang berbeda;

2
PERPAJAKAN I
8
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
dari pada yang dituntut, kecuali yag diputuskan berdasarkan Pasal
80 Ayat 1 huruf B dan C;
d. Apabila mengetahui suatu bagian dati tuntutan yang belum
diutuskan tanpa dibertimbangkan sebab – sebabnya;
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata – nyata tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
6. Pegajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud di atas huruf a dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat tiga bulan terhitung sejak diketahui kebohongan atau
tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan pidana memperoleh
kekuatan hukum tetap.
7. Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud di atas huruf b dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat tiga bulan terhitung sejak ditemukan surat – surat bukti
yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah
sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
8. Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
sebagaimana dimasud di atas huruf c, d, dan e dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat tiga bulan terhitung sejak putusan dikirim.
9. Mahkamah Agung memeriksan dan memutuskan permohonan
peninjauan kembali dengan ketentuan :
a. Dalam jangka waktu enam bulan sejak permohonan peninjauan
kembali diterima oleh mahkamah agung telah mengambil putusan
jika pengadilan pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan
acara biasa.
b. Dalam jangka waktu satu bulan permohonan peninjauan kembali
diterima oleh mahkamah agung telah mengambil putusan, jika
pengadilan pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara
cepat.
10. Putusan atas permohonan peninjauan kembali harus diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.

2
PERPAJAKAN I
9
G. PENGAJUAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI SANKSI
ADMINISTRASI PERPAJAKAN

Bedasarkan pasal 25 Undang-Undang KUP , tidak meyebutkan atas STP. hal


ini karena STP bukanlah ketetapan atas pokok pajak, melainkan hanya
engenakan sanksi administrasi. karena atas penerbitan STP tidak dapat
diajukan keberatan, maka upaya yang dapat dilakukan oleh Wajib pajak
adalah mengajukan peninjauan kembali jumlah ketetapan pajak dan sanksi
administrasi yang tercantum dalam STP.
Berdasarkan Pasal 36 ayat 1 huruf a Undang-undang KUP dan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 953/KMK.04/1983 disebutkan bahwa Menteri
Keuangan dapat menerbitkan Keputusan Peninjauan Kembali dengan
mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak sanksi administrasi yang
tid- ak benar. Terhadap keputusan peninjauan kembali tidak dapat diajukan
banding.

3
PERPAJAKAN I
0
PEFORMASI PAJAK

Reformasi pajak (tax reform) dilakukan karena pemerintah menganggap bahwa


peraturan perpajakan yang berlaku saat itu (1983 dan sebelumnya) adalah
peninggalan kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, tidak sesuai dengan struktur dan organisasi pemerintahan yang
berdasarkan Pancasila, dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan ekonomi yang
selama ini berlaku di Indonesia.
Tujuan utama pembaharuan perpajakan nasional ini adalah untuk lebih
menegakkan kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional dengan
jalan lebih mengarahkan lagi segenap kemampuan kita sendiri,. Pemerintah
menyadari bahwa membiayai pelaksanaan pembangunan (mulai Repelita IV) kita
tidak dapat dan tidak mungkin sekedar mengandalkan kepada peningkatan
penerimaan negara dari minyak bumi dan gas alam maupun utang luar negeri.
Oleh karena itu, peningkatan penerimaan negara melalui perpajakan dari sumber-
sumber di luar minyak bumi dan gas alam merupakan keharusan yang mutlak bagi
berhasilnya pelaksanaan sejak Repelita IV dan seharusnya. Dengan reformasi
pajak nasional sistem pajak yang berlaku saat itu akan disederhanakan.
Penyederhanaan tersebut mencakup jenis pajak, tarif pajak, dan cara Pembayaran
Pajak. Setelah reformasi ini sistem pembayaran pajak akan makin adil dan wajar
sedang jumlah wajib pajak akan makin luas, selanjutnya reformasi pajak juga
akan dilakukan terhadap aparat pajak (fiscus) baik yang menyangkut prosedur,
tata kerja disiplin maupun mental.
Dengan reformasi pajak diharapkan beban pajak akan makin adil dan wajar,
sehingga di satu pihak mendorong wajib pajak melaksanakan dengan kesadaran
kewajibannya membayar pajak dan di lain pihak menutup peluang-peluang
(loophole-loophole) yang selama ini ini masih terbuka bagi wajib pajak untuk
menghindari pajak. dengan reformasi pajak di harapkan sistem pajak yang
sederhana dan mudah dimengerti oleh Setiap wajib pajak. Untuk itu sistem pajak
yang didasarkan pada prinsip keadilan dan kewajaran, dalam sistem pajak yang
memberikan kepastian bagi Setiap wajib pajak.

3
PERPAJAKAN I
1
A. LATAR BELAKANG
Latar belakang reformasi pajak/ pembaruan perundang-undangan pajak
dilakukan karena undang-undang yang berlaku saat itu (tahun 1983 dan
sebelumnya) dibuat di zaman kolonial mempunyai landasan, pemikiran, jiwa.
Sasaran dan tujuan yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan harkat, hakikat,
dan jiwa kehidupan bangsa Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat.
Pada zaman kolonial pungutan pajak semata-mata dimaksud untuk memenuhi
kepentingan pemerintahan penjajahan, sedangkan dalam alam kemerdekaan
pungutan pajak jiwa oleh Pancasila dan undang-undang Dasar 1945 dan
merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan dan partisipasi anggota
masyarakat dalam pembiayaan negara dan perkembangan nasional untuk
mencapai keadilan sosial dan kemakmuran yang merata baik material maupun
spiritual. Sistem perpajakan yang ada saat itu bukan saja tidak sesuai dengan
perekonomian Indonesia yang makin modern tetapi juga sangat rumit dan sulit
dipahami oleh pemungutan pajak maupun oleh pembayaran pajak.
Disamping itu, pada APBN tampak benar bahwa penerimaan yang berasal
dari sumber minyak bumi dan gas alam 2 kali lipat jika dibandingkan dengan
hasil yang berasal dari sumber pajak-pajak.(APBN 1984/1985) hasil minyak
bumi dan gas alam Rp 10.365,6 miliar dan hasil pajak Rp Rp5,167,7 miliar
dibandingkan dengan tahun 1983/ 1984 Rp8.869,1 Miliar untuk Migas dan
Rp5.167,7 miliar untuk pajak Pajak. Sumber minyak bumi dan gas alam
merupakan sumber yang “unrenewable”, yang tidak dapat diperbaharui dan
pada suatu saat minyak dan gas alam akan habis. Bagaimana nanti
kelangsungan hidup negara Republik Indonesia? Maka sudah sedini mungkin
pemerintah mencari dan berusaha untuk menemukan sumber penggantinya
harapan bertumpu pada pajak-pajak. Tampaknya harapan pemerintah ini tidak
sia-sia terbukti dalam perkembangan penerimaan pajak semakin dominan
bahkan mengalahkan penerimaan Migas dalam APBN tahun 1994/ 1995
penerimaan dari Migas Rp13.537 miliar sedangkan untuk pajak Pajak
Rp46.448 miliar dan untukAPBN tahun 1995/ 1996 penerimaan dari Migas
Rp16055 miliar sedangkan untuk pajak Pajak Rp46.448 miliar dan untuk

3
PERPAJAKAN I
2
APBN tahun 1995/1996 penerimaan dari mogas Rp16.055 miliar sedangkan
untuk pajak Pajak Rp49,179 miliar.
Sistem perpajakan Setelah reformasi berintikan kesederhanaan menjelang
pemerataan dan memberikan kepastian.
Sistem baru tidak akan memungut pajak atas seluruh masyarakat melainkan
memperbolehkan hanya sumbangan yang besar dari hasil pemungutan pajak
atas perusahaan perusahaan besar dan individu-individu yang berpenghasilan.

B. TUJUAN REFORMASI PAJAK


Tujuan utama dari pembaruan perpajakan sebagai diuraikan oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia, Bapak radius Prawiro pada sidang Dewan
Perwakilan Rakyat tanggal 5 Oktober 1983 adalah untuk lebih menegakkan
kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih
mengarahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri, khususnya
dengan cara meningkatkan penerimaan negara melalui perpajakan dari
sumber-sumber diluar minyak bumi dan gas alam. Untuk membiayai dan
menjamin berhasilnya Repelita IV kita tidak akan sekedar mengandalkan
kepada peningkatan penerimaan negara yang yang berasal dari sektor minyak
dan gas alam saja, melainkan juga dari usaha peningkatan penerimaan
pajak/non-minyak. Maka, untuk meningkatkan penerimaan tersebut dianggap
perlu untuk mengadakan penyempurnaan sistem perpajakan.
Selanjutnya untuk melakukan penerimaan pajak sebagai dimaksud diatas
perlu juga dilakukan penyempurnaan aparatur perpajakan dengan melakukan
komputerisasi dan peningkatan mutu para pegawainya perbaikan sikap mental
para pejabatnya, serta mempersiapkan para wajib pajak yang telah diberi
kebebasan dan kepercayaan yang besar sekali dalam menghitung dan
membayar pajak sendiri, untuk menambah jumlah wajib pajak perlu dilakukan
intensifikasi pungutan.

C. 4 ALASAN DIPERLUKANNYA REFORMASI PERPAJAKAN


(Jit B.S. Gill, The Nuts and Bolts of Revenue Administration Reform, 2003)
1. Jumlah pajak yang sebenarnya diterima oleh negara tergantung pada
efektivitas dan efisiensi administrasi perpajakan.

3
PERPAJAKAN I
3
2. Kualitas administrasi perpajakan berpengaruh terhadap iklim investasi
sektor swasta
3. Instansi pajak dan bea cukai sering identik dengan korupsi. 
4. Reformasi perpajakan diperlukan karena dunia usaha dan penghindaran
pajak semakin berkembang

D. PAJAK-PAJAK YANG BERLAKU SEBELUM REFORMASI


Pajak – pajak yang berlaku sebelum reformasi perpajakan ada yang masih
tetap berlaku sampai sekarag dan ada yang sudah di hapuskan. Beberapa jenis
pajak di indonesia sebelum reformasi perpajakan di bedakan menjadi pajak
negara dan pajak daerah yang secara singkag di jelaskan di bagian berikut.
Sejak jaman penjajahan belanda ternyata telah di berlakukan cukup banyak
undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai
berikut.
1. Staatsblad Nomor 13 tahun 1908 tentang ordanansi Rumah Tangga
2. Staatsblad Nomor 498 tahun 1921tentang aturan Bea Materai
3. Saatsblad Nomor 291 tahun 1924 tentang Ordinasi Bea Balik Nama
4. Saatsblad Nomor 405 tahun 1932 tentang Ordinasi Pajak Kekayaan
5. Saatsblad Nomor 718 tahun 1934 tentang Ordinasi Pajak Kendaraan
Bermotor
6. Saatsblad Nomor 611 tahun 1934 tentang Ordinasi Pajak Upah
7. Staatsblad Nomor 671 tahun 1936 tentang Ordinasi Pajak Potong
8. Staatsblad Nomor 17 tahun 1944 tentang Ordinasi Pajak Pemdapatan
9. Undang-undamg nomor 12 tahun 1947 tentang Pajak Radio
10. Undang -undang nomor 14 tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan 1
11. Undang-undang nomor 12 tahun 1952 tentang Pajak Peredaran
12. Undang-undang tahun 1951 tentang Pajak penjualan yang di ubah dengan
undang undang Nomor 2 tahun 1968
13. Undang-undang Nomor 21 tahun 1959 tentang Pajak Divinden yang di
ubah dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1967 tentang Pajak atas
Bunga, Divinden, dan Royalti
14. Undang-Undang nomor 19 tahun 1959 tentang penagihan Pajak Negara
dengan surat Paksa
3
PERPAJAKAN I
4
15. Undang-Undang nomor 74 tahun 1958 tentang pajak Bangsa Asing
16. Undang-Undang nomor 8 tahun 1967 tentang tata Cara Pengutan , PPd,
PKK dan/ atau PPs atau tata Car MPS-MPO

E. REFORMASI PAJAK 1983


Reformasi pajak tahun 1983 merupakan upaua untuk mengubah berbagai
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku sebelumnya. Upaya
ini mencoba menjawab tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya
seperangkat peraturan perundang-undangan perpajakan secara fundamental.
Lebih spesifik, perundang-undangan yang dimaksud harus berlandaskan pada
falsafah pancasila dan UUD 1945, yang menjunjung tinggi hak warga Negara
dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan
merupakan sarana peran seta rakyat dibidang kenegaraan.
Peraturan perpajakan tahun 1983 merujuk pada amanat rakyat yang pada saat
itu tetuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yang Antara lain
berbunyi : “system perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak
diintensifkan dan aparat perpajakan harus makin mampu dan bersih.” Dengan
pertimbangan tersebut, undang-undang baru dibidang perpajakan administrasi
ulang mulai dari Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan prinsip-prinsip dasar pemajakan
serta sistem pemajakan yang mana ketentuan ini juga berlaku bagi undang-
undang pajak yang dibuat kemudian, kecuali diatur tersendiri dalam undang-
undang yang baru, termasuk dalam hal Pajak Penghasilan.
Reformasi pajak (tax reform) atau pembaharuan perpajakan, telah
dilakukan sejak tamggal 1 januari 1984. Bersama dengan dilakukannya
sekarang undang-undang, adalah sebagai berikut
1. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan tata
cara perpajakan
2. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Kedua Undang-Undang di atas berlaku sejak 1 januari 1984
3. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, direncanakan diberlakukan
tahun 1984 juga tetapi karena masih ada suatu yang harus dipersiapkan
3
PERPAJAKAN I
5
lebih matang maka undang-undang tersebut diperlakukan mulai 1 April
1985
4. Undang-Undang nomor 12 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
5. Undang-undang nomor 13 tentang Bea Meterai

Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 dan Undang -Undang nomor 13


Tahun 1945 mulai di berlakukan tahun 1995.
Pada tahun 1991 di keluarkan Undang-Undang nomor 7 tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan diubah dengan Undang-Undang nomor 17 tahun
1991.

F. REFORMASI PAJAK 1994


Reformasi perpajakan tidak berhenti begitu saja tetapi terus di lakukan
perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan tuntunan perubahan sistem
perikonomian. Pada tahun 1991 perubahan pertama di lakukan terhadap Pajak
Penghasilan. Kemudian, pada tahun 1994 setelah itu dasarwarsa peraturan
pajak dilaksanakan diadakan lagi serangkaian perubahan terhadap peraturan
perpajakan. Undang-Undang pajak yang di keliarkan adalah sebagai berikut
1. Undang-undang nomor 9 tahun 1994 tentang Undang-Indang nomor 6
tahun 1983 yentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
2. Undang-Undang nomor 10 tahun 1994 tentang perubahan atas Undang-
Undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
3. Undang-Undang nomor 11 tahun 1994 tentang Undang-Undang Nomor 8
tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah
4. Undang-Undang nomor 12 tahun 1994 tentang perubahan atas Undang-
Undang nomor 12 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
Selanjutnya pada tabun 1997 dikeliarkan lagi serangkaian undang-
undang baru untuk melengkapi undang-undang yang telah ada, adalah sebagai
berikut.
1. Undang-undang nomor 17 tajun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak

3
PERPAJAKAN I
6
2. Undang-Undang nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
3. Undang-Undang nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa
4. Undang-Undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak
5. Undang-Undang nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas Tanah
dan Bangunan.

Tujuan Penyempurnaan Perpajakan 1994


1. Meningkatkan kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan
pembiayaan pembangunan.
2. Menunjang usaha pemerataan pembangunan dan mendorong investasi
secara merata di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah terpencil
dan terbelakang.
3. Menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang
hasil olahan, dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa.
4. Menunjang upaya pengembangan usaha kecil dan program pengentasan
kemiskinan.
5. Menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu
pengetahuan, dan tekonologi.

G. REFORMASI PAJAK 2000


Pada tahun 2000 seiring dengan petkembangan sosial dan ekonomi
pemerimtah kembali mengeliarkan serangan undang-undang untuk mengubah
undang-undang yang telah ada, adalah sebai berikut
1. Undang-Undang nomor 16 tahun 2000 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan
tatacara perpajakan.
2. Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas
undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang perpajak penghasilan

3
PERPAJAKAN I
7
3. Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tentang perubahan kedua atas
undang-undang Nomor 8 Tahun 1984 tentang pajak pertambahan nilai
barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah.
4. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang penagihan pajak dengan
surat paksa.
5. undang-undang nomor 20 tahun 2000 tentang bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan
6. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas undang-
undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.

Pada tahun 2002 tentang lebih memberikan rasa keadilan dan kepastian
hukum, pemerintah akhirnya mengeluarkan undang-undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang pengadilan pajak dan penggantian undang-undang nomor 17
tahun 1997 tentang badan penyelesaian sengketa pajak yang selama ini
dirasakan kurang berpihak kepada wajib pajak
Setelah lama ditunggu pada tanggal 27 juli 2007 akhirnya pemerintah
mengesahkan undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan
ketiga atas undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan
tatacara perpajakan. Perubahan ini diharapkan lebih memberikan kepastian
hukum kepada wajib pajak. Kemudian berturut-turut pada tahun 2008 pajak
penghasilan diubah dengan undang-undang nomor 36 tahun 2008 dan pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah diubah dengan
undang-undang nomor 42 tahun 2009.
Tujuan dari penyempurnaan undang-undang pajak adalah dalam rangka
ekstensifikasi dan intensifikasi pengenaan dan pemungutan pajak yang
Sekaligus merupakan upaya peningkatan keadilan beban pajak, penghapusan
fasilitas pajak yang tidak memiliki landasan hukum yang akan merugikan
perekonomian nasional dan menutup peluang-peluang penghindaran pajak
(loopholes).
Secara normatif Sesuai dengan prinsip good tax policy, terhadap kegiatan
ekonomi sistem perpajakan harus netral dan tidak ada distorsi agar sumber

3
PERPAJAKAN I
8
daya optimal dan sesuai dengan dinamakan pasar dan pajak dapat mendorong
atau mengendalikan. Untuk itu sesuai dengan fungsi regulerend secara umum
dapat ditanyakan bahwa sistem pajak harus dapat mendorong kegiatan dan
pertumbuhan ekonomi nasional dengan mendorong investasi dari luar serta
mengamankan pemerintahan negara. Dalam tax reform 2000 fungsi regulernd
telah memperhitungkan kepentingan dunia bisnis antara lain peningkatan
pelayanan sederhanaan prosedur, kepastian hukum, keadilan, serta fasilitas
investasi untuk mendorong kegiatan investasi.
Sedangkan untuk menjalankan fungsi budgeter sebagai pilar utama
penerimaan negara dilakukan dengan memperluas cukupan subjek dan objek
pajak, dan meminimalkan kegiatan transfer pricing dan pembatasan
pengenaan pajak penghasilan final.
Semua kebijakan di dalam jangka panjang diharapkan dapat
meningkatkan tax compliance, meningkatkan investasi dan penerimaan
negara untuk menuju kendirian pembiayaan pembangunan.

H. REFORMASI PERPAJAKAN JILID I


Reformasi perpajakan ini dimulai pada tahun 2002 hingga tahun 2008.
Pelayanan satu atap (One stop services) menjadi produk yang diunggulkan dan
membawa dampak perubahan yang signifikan dalam modernisasi organisasi
perpajakan. Modernisasi Kantor Pelayanan Pajak dimulai dengan dibentuknya
2 KPP Wajib Pajak Besar, 10 KPP Khusus, 32 KPP Madya, dan 357 KPP
Pratama di seluruh Indonesia.

I. REFORMASI PERPAJAKAN JILID II


Berlangsung dari tahun 2009 hingga tahun 2014, Reformasi ini
menitikberatkan pada peningkatan internal kontrol DJP dan meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dilakukan dengan mereformasi proses
bisnis, dan teknologi informasi. Dibuatlah Standar Operating Procedure (SOP)
pelayanan perpajakan untuk memberikan panduan baku dalam pelayanan.
Produk yang terkenal saat itu adalah 16 layanan unggulan DJP yang salah
satunya mengusung janji pembuatan NPWP 1 hari kerja.

3
PERPAJAKAN I
9
J. REFORMASI PERPAJAKAN JILID III
Reformasi ini telah digulirkan sejak tahun 2017 dan memiliki target hingga
tahun 2024. Reformasi Perpajakan yang terjadi sekarang ini, adalah reformasi
terbesar dalam sejarah karena melibatkan perubahan dalam lima pilar utama,
yaitu organisasi, SDM, IT dan Basis Data, Proses Bisnis, dan Peraturan
Perpajakan. Pada akhir tahun 2020, diharapkan reformasi terkait organisasi,
SDM, dan peraturan telah rampung. Sedangkan untuk IT dan Basis Data serta
Proses Bisnis, terus melaju pada tahap pengembangan, support dan perbaikan
hingga tahun 2024.
Reformasi jilid III ini berada pada momentum terbaiknya yaitu tepat diusung
setelah berakhirnya program Tax Amnesty. Perhatian dan kepercayaan wajib
pajak sedang tertuju penuh pada keberhasilan program Tax Amnesty dan
publik menunggu proses besar lanjutannya. Dengan pertaruhan itu, Reformasi
perpajakan jilid III ini harus berhasil dijalankan untuk menjadi institusi
perpajakan yang lebih kuat, kredibel dan akuntabel.

4
PERPAJAKAN I
0
BAB III
KESIMPULAN

Hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur


hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai
pembayar pajak. Hukum pajak sering juga disebut hukum fiskal.
Hukum pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hukum administrasi dan hukum
pidana. Hukum administrasi umumnya berupa sanksi administrasi, baik berupa
buga, denda, tambahan pokok pajak, maupun kenaikan dan dijatuhkan oleh fiskus.
Hukum pidana berkaitan dengan denda pidana maupun hukum penjara dan
dijatuhkan oleh hakim.
Secara ringkas, pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang
melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara. Sedangkan, peradilan adalah suatu proses yang dijalankan dipengadilan
yang berhubungan dengan tugas yang memeriksa, memutus dan mengadili
perkara. Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman di Indonesia bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari
keadilan terhadap sengketa pajak. Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Peradilan adminstrasi pajak umumnya melibatkan minimal dua pihak, yaitu
pihak Wajib Pajak dengan aparat pajak (fiskus). Peradilan adminitrasi pajak dapat
dibagi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi tidak murni dan peradilan
administrasi murni. Peradilan administrasi ini disebut peradilan administrasi tidak
murni karena dalam peradilan administrasi ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu
pihak Wajib Pajak dan pihal fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang
independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus mejadi pihak yang
mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang bersangkutan. Perasilan
adminstrasi murni adalah peradilan yang melibatkan tiga pihak, yaitu pihak Wajib
Pajak, fiskus, dan hakim yang mengadili. Wajib Pajak dan fiskus adalah pihak
yang bersengketa, sedangkan hakim atau majelis hakim adalah pihak yang
memutuskan sengeketa tersebut.

4
PERPAJAKAN I
1
Keberatan Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undagan
perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak
puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat
mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak melaui Kantor Pelayanan Pajak
dimana Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar. Banding adalah upaya hukum
dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap suatu
keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Panitera adalah pejabat pengadilan yang
salah satu tugasnya adalah membantu hakim dalam membuat berita acara
pemeriksaan dalam proses persidangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Panitera disebut pejabat kantor sekretariat pengadilan yang bertugas pada
bagian administrasi pengadilan, membuat berita acara persidangan, dan tindakan
administrasi lainnya. Dalam menjalankan tugasnya Panitera biasa dibantu oleh
beberapa orang Panitera Muda dan Panitera Pengganti. Gugatan adalah upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap
pelaksana penangihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Putusan
adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan
perkara gugatan (kontentius). 

Reformasi pajak (tax reform) dilakukan karena pemerintah menganggap


bahwa peraturan perpajakan yang berlaku saat itu (1983 dan sebelumnya) adalah
peninggalan kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, tidak sesuai dengan struktur dan organisasi pemerintahan yang
berdasarkan Pancasila, dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan ekonomi yang
selama ini berlaku di Indonesia.
Tujuan utama pembaharuan perpajakan nasional ini adalah untuk lebih
menegakkan kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional dengan
jalan lebih mengarahkan lagi segenap kemampuan kita sendiri, Dengan reformasi
pajak diharapkan beban pajak akan makin adil dan wajar, sehingga di satu pihak

4
PERPAJAKAN I
2
mendorong wajib pajak melaksanakan dengan kesadaran kewajibannya membayar
pajak dan di lain pihak menutup peluang-peluang (loophole-loophole) yang
selama ini ini masih terbuka bagi wajib pajak untuk menghindari pajak. Reformasi
pajak tahun 1983 merupakan upaua untuk mengubah berbagai peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku sebelumnya. Upaya ini mencoba
menjawab tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan
perundang-undangan perpajakan secara fundamental. Lebih spesifik, perundang-
undangan yang dimaksud harus berlandaskan pada falsafah pancasila dan UUD
1945, yang menjunjung tinggi hak warga Negara dan menempatkan kewajiban
perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran seta rakyat
dibidang kenegaraan. Reformasi perpajakan tidak berhenti begitu saja tetapi terus
di lakukan perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan tuntunan perubahan
sistem perikonomian. Pada tahun 1991 perubahan pertama di lakukan terhadap
Pajak Penghasilan. Kemudian, pada tahun 1994 setelah itu dasarwarsa peraturan
pajak dilaksanakan diadakan lagi serangkaian perubahan terhadap peraturan
perpajakan. Pada tahun 2002 tentang lebih memberikan rasa keadilan dan
kepastian hukum, pemerintah akhirnya mengeluarkan undang-undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang pengadilan pajak dan penggantian undang-undang nomor 17
tahun 1997 tentang badan penyelesaian sengketa pajak yang selama ini dirasakan
kurang berpihak kepada wajib pajak
Setelah lama ditunggu pada tanggal 27 juli 2007 akhirnya pemerintah
mengesahkan undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga
atas undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tatacara
perpajakan. Reformasi perpajakan jilid I dimulai pada tahun 2002 hingga tahun
2008. Reformasi perpajakan jilid II berlangsung dari tahun 2009 hingga tahun
2014, Reformasi ini menitikberatkan pada peningkatan internal kontrol DJP dan
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Reformasi jilid III telah digulirkan
sejak tahun 2017 dan memiliki target hingga tahun 2024. Reformasi Perpajakan
yang terjadi sekarang ini, adalah reformasi terbesar dalam sejarah karena
melibatkan perubahan dalam lima pilar utama, yaitu organisasi, SDM, IT dan
Basis Data, Proses Bisnis, dan Peraturan Perpajakan. Pada akhir tahun 2020,
diharapkan reformasi terkait organisasi, SDM, dan peraturan telah rampung.

4
PERPAJAKAN I
3
Sedangkan untuk IT dan Basis Data serta Proses Bisnis, terus melaju pada tahap
pengembangan, support dan perbaikan hingga tahun 2024.
Reformasi jilid III ini berada pada momentum terbaiknya yaitu tepat diusung
setelah berakhirnya program Tax Amnesty

4
PERPAJAKAN I
4
DAFTAR PUSTAKA

Adriani . 2014. Teori Perpajakan, Jakarta: Salemba Empat.


Burton, B, Ilyas . 2013. Hukum Pajak, Edisi 6. Jakarta: Salemba Empat.
Pohan, Chairil Anwar. 2014. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana
Media.
Resmi, Siti 2009. Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.
Waluyo. 2007. Perpajakan Indonesia. Jakarta : Salemba Empat

4
PERPAJAKAN I
5

Anda mungkin juga menyukai