Anda di halaman 1dari 8

Sumber Daya Pangan

1. Keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan


Menurut UU No 5 tahun 1994, Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman diantara makhluk
hidup dari semua sumber termasuk di antaranya daratan, lautan dan ekosistem aquatik lainnya,
serta komplek ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup
keanekaragaman dalam spesies, antara spesies dengan ekosistem.
Semua makhluk hidup membutuhkan makanan, terlebih dizaman yang sedemikian modern
teknologi pangan sudah sedemikian maju, ironis sekali apabila melihat keadaan bangsa ini yang
masih tertatih-tahih untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Perkembangan dewasa ini
pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh.Bahkan bila
dimungkinkan, pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari
penyakit tertentu. Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional. Oleh sebab itu pangan hendaknya
bukan sekedar sebagai sesuatu yang bisa dimakan.tetapi juga harus memiliki manfaat.

Sumber : Bahan Ajar Ekopagi Prof. Dr. Saifuddin Sirajuddin, MS


Indonesia merupakan negara mega-biodiversitas. Sebagai salah satu negara dengan
keanekaragaman hayati terbesar, Indonesia memiliki 17% dari total keanekaragaman hayati di
dunia. Keanekaragaman hayati ini berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi sumber pangan
fungsional bagi peningkatan kesehatan dan juga kesejahteraan masyarakat. “Keanekaragaraman
hayati yang kita miliki dapat kita eksplor untuk pengembangan pangan fungsional di Indonesia”,
ungkap Nina Artanti, peneliti Pusat Penelitian Kimia di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) yang menjadi salah satu pembicara utama dalam acara konferensi ilmiah “International
Symposium on Applied Chemistry” (ISAC) dengan tema “Natural Medicine and Nutraceutical”.
 “Pangan fungsional merupakan bahan pangan yang tidak hanya bernutrisi dan memiliki fungsi
gizi tetapi juga memiliki fungsi kesehatan, khususnya untuk pencegahan penyakit,” jelas Profesor
Riset LIPI pada acara yang berlangsung secara virtual tersebut. Dirinya menjelaskan sumber
pangan fungsional dapat berasal dari sumber daya tumbuhan dan sumber daya hewan di
Indonesia.
 Dari sumber daya tumbuhan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, kelompok
umbi-umbian kurang dimanfaatkan secara maksimal. Padahal umbi-umbian seperti singkong,
kentang, ubi, gadung, garut, ganyong, uwi, gembili, gembolo, porang, suweg, walur, iles-iles, dan
talas bisa dikembangkan menjadi sumber pangan fungsional. Umbi-umbian tersebut memiliki
nilai fungsional karena mengandung pati resisten, inulin, antosianin, glokomanan, dan indeks
glikemik yang rendah, sehingga cocok untuk penderita diabetes. “LIPI melalui Balai Penelitian
Teknologi Bahan Alam dan Pusat Penelitian Teknologi Tepat Guna melakukan riset pada
kelompok umbi-umbian untuk dikembangkan menjadi sumber pangan fungsional,” ungkap Nina.
 Selanjutnya, tanaman seperti kucai berguna sebagai anti hipertensi, daun kelor sebagai anti
diabetes, pegagan untuk meningkatkan daya ingat, serta labu siam yang bermanfaat untuk
penyakit batu ginjal, sistem pernafasan, sistem pencernaaan, dan juga sirkulasi darah karena kaya
akan polifenol, asam askorbat, dan karotenoid. Beras hitam, buah merah papua, berbagai jenis
pisang dan biji dari buah-buahan eksotis Indonesia lainnya juga bisa dikembangkan menjadi
sumber pangan fungsional karena kaya akan protein, serat, dan karbohidrat. 
Selain itu, sumber daya hewan juga bisa menjadi sumber pangan fungsional yang memiliki
kandungan bioaktif. Misalnya trenggiling yang berpotensi menjadi bahan baku obat dengan
kandungan omega-3 dalam EPA dan DHA yang mengurangi risiko kanker, menurunkan
peradangan, hipertensi, artritis, serta menjaga fungsi otak. Binatang amfibi lainnya, seperti katak
juga memiliki kandungan alkaloid yang dapat digunakan sebagai pengganti morfin untuk
menghilangkan nyeri dan juga sebagai obat antidiabetes. Hewan lainnya yang juga memiliki
kandungan bioaktif antara lain lebah, ular weling, dan teripang. Makanan hasil fermentasi seperti
tempe, kecap, tauco, oncom, tapai, dadih, brem, tuak dan nata juga dapat dijadikan pangan
fungsional karena memiliki kandungan asam yang baik untuk tubuh.
Beberapa riset pangan fungsional juga telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kimia seperti
formulasi pangan pintar dengan asam folat untuk bayi dan balita, minyak kelapa dengan teknik
fermentasi, ragi tempe, minuman fungsional berbasis sayuran terfermentasi, minuman fermentasi
jambu biji merah, dan selai jahe merah. Untuk ke depannya Nina berharap berbagai bahan yang
menjadi sumber pangan fungsional dapat berpotensi untuk dikembangkan menjadi berbagai
produk makanan dan biomedis. “Semoga kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia dapat
dimanfaatkan secara maksimal melalui hasil penelitian dan adanya kerja sama dari industri”
ujarnya.
Sebagai informasi, acara ISAC 2020 berlangsung pada tanggal 18-19 November 2020. Acara
virtual ini menghadirkan 6 pembicara utama yaitu Prof. Dr. Muhammad Iqbal Choudhary
dari International Center for Chemical and Biological Sciences, University of Karachi Pakistan,
Prof. Dr.rer.nat. Gunawan Indrayanto dari Fakultas Universitas Surabaya, Dr. Ambara Rachmat
Pradipta dari Department of Chemical Science and Engineering, Tokyo Institute of
Technology Japan, Prof. Dr. Nilesh Nirmal dari Institute of Nutrition, Mahidol
University Thailand dan Prof. Dr. Nina Artanti dari Pusat Penelitian Kimia LIPI.

Sumber : Administrator, Humas LIPI. 20 November 2020. “Manfaat


Keanekaragaman Hayati sebagai Sumber Pangan Fungsional”. Artikel Pusat
Pendidikan Kimia. Diakses pada 28 Februari 2021, pukul 21.58 WITA. Dari
http://kimia.lipi.go.id/news/read/manfaat-keanekaragaman-hayati-indonesia-
sebagai-sumber-pangan-fungsional

2. Ekosistem daratan sebagai sumber pangan

3. Ekosistem pekarangan atau kebun gizi

4. Ekosistem akustik sebagai sumber pangan


Ekosistem air tawar (akuatik) merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering
digenangi air tawar (akuatik) yang kaya akan mineral dengan pH sekitar 6, dengan kondisi
permukaan air tidak selalu tetap. Ekosistem air tawar (akuatik) memiliki habitat dengan ciri-
cirinya adalah variasi temperatur atau suhu rendah, kadar garam rendah, penetrasi cahaya yang
kurang, dipengaruhi iklim dan cuaca di sekitar, dan memiliki tumbuhan tumbuhan tingkat tinggi
(dikotil dan monokotil), tumbuhan tingkat rendah (alga, jamur, gulma, ganggang hijau) yang
berfungsi sebagai produsen, serta memiliki ikan air tawar (akuatik) yang dapat dijadikan sebagai
sumber pangan protein hewani (Irwan 1997).

Akuatik pening merupakan salah satu akuatik yang terletak pada ketinggian kurang lebih 463
meter dpl. Pemanfaatan Akuatik pening selain untuk perikanan, juga untuk kegiatan irigasi,
wisata dan pembangkit tenaga listrik. Ekosistem akuatik ini termasuk ekosistem air tenang (letik)
berbeda dengan hutan akuatik gambut, yaitu tidak terdapatnya kandungan gambut yang tebal dan
sumber airnya berasal dari air hujan dan air sungai. Ekosistem yang ada di akuatik condong ke
arah ekosistem yang subur, fluktuasi ketinggian air dapat menjaga stabilitas dan fertilitas air.
Nutrisi yang terlarut dalam air meningkatkan produktivitas.

Akuatik lebak di Sumatera Selatan yang dibudidayakan untuk pengembangan pertanian,


termasuk perikanan. Luas akuatik lebak yang digunakan untuk perikanan yaitu 92171 ha, terdiri
dari lebak pematang, lebak tengahan, lebak dalam dan lebak lebung. Lebak pematang yaitu
berupa sawah di belakang perkampungan yang merupakan sebagian dari wilayah tanggul sungai
dan wilayah dataran akuatik belakang. Lama genangan umumnya kurang dari 1-3 bulan dalam
setahun. Tinggi genangan rata-rata kurang dari 50 cm. Lebak tengahan adalah sawah yang lebih
jauh lagi dari perkampungan yang memiliki genangannya lebih dalam antara 50-100 cm selama 3-
6 bulan (Muthmainnah 2009). Bagian akuatik lebak yang berpotensi di dunia perikanan adalah
lebak dalam, karena bentuknya mirip suatu cekungan dan kondisi airnya relatif masih tetap dalam
walaupun di musim kemarau. Hal ini sesuai untuk budidaya perikanan air tawar (akuatik).
Sedangkan lebak dangkal dan lebak tengahan hanya sesuai untuk pertanian tanaman pangan.
Akuatik lebak yang airnya sukar mengering kecuali pada musim kemarau panjang dan disebut
juga lebak lebung. Biasanya dijadikan tempat memelihara ikan yang tertangkap. Tinggi air
genangan umumnya lebih dari 100 cm selama 3-6 bulan atau lebih dari 6 bulan (Muthmainnah
2009)

Komponen Ekosistem Akuatik

Komponen pembentuk ekosistem akuatik ini terdiri dari abiotik dan biotik. Abiotik atau
komponen tak hidup adalah komponen fisik dan kimia yang berupa medium atau substrat tempat
berlangsungnya kehidupan atau lingkungan tempat hidup. Komponen abiotik dapat berupa suhu,
air, garam, cahaya matahari, tanah dan batu, serta iklim. Komponen biotik atau disebut dengan
komponen hidup adalah suatu komponen yang menyusun suatu ekosistem selain komponen
abiotik (tidak bernyawa). Misalnya pada perairan akuatik lebak lebung di Sumatera Selatan
terdapat ikan nila (Oreochromis niloticus), betok (Anabas testudineus), sepat siam (Trichogaster
pectoralis), gabus (Channa striata), ikan lele (Clarias spp), belut (Monopterus albus), dan berbagai
jenis vegetasi air dari familia Graminae dan berbagai jenis pepohonan besar yang merupakan
sumberdaya hayati yang sangat menentukan kehidupan hewan-hewan air (Irwan 1997).
Berdasarkan, peran dan
fungsinya, makhluk hidup dalam ekosistem air tawar (akuatik) ini dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu autotrof, heterotrof, dan decomposer. Autotrof merupakan komponen produsen yang terdiri
dari organisme yang dapat membuat makanannya sendiri dari bahan organik dengan bantuan
energi seperti sinar matahari dan bahan kimia. Autotrof berperan sebagai produsen. Pada ekositem
akuatik ini yang tergolong autotrof adalah tumbuhan berklorofil seperti gulma dan eceng gondok.
Heterotrof adalah komponen yang terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan–bahan
organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya. Komponen heterotrof disebut
juga konsumen makro karena makanan yang dimakan berukuran lebih kecil. Golongan heterotrof
adalah manusia, hewan, jamur dan mikroba. Dekomposer atau disebut juga pengurai adalah
organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati. Organisme
pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang
sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Golongan pengurai pada ekosistem ini
adalah bentos yang berupa cacing darah atau larva chironomid (Susanto 2000).

Penyebaran jenis dan populasi komunitas bentos tidak jauh berbeda dengan komponen biotik
lainnya yaitu ditentukan oleh sifat fisika, kimia dan biologi perairan. Sifat fisik perairan seperti
pasang surut, kedalaman, kecepatan arus, warna, kekeruhan atau kecerahan dan suhu air. Sifat
kimia perairan antara lain, kandungan gas terlarut, bahan organik, pH, kandungan hara dan faktor
biologi yang berpengaruh adalah komposisi biotik jenis hewan dalam perairan diantaranya adalah
produsen yang merupakan sumber makanan bagi hewan bentos dan hewan predator yang akan
mempengaruhi kelimpahan bentos penyebaran jenis dan populasi komunitas bentos ditentukan
oleh sifat fisika, kimia dan biologi perairan (Irwan 1997).

Berdasarkan, peran dan fungsinya, makhluk hidup dalam ekosistem air tawar (akuatik) ini
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu autotrof, heterotrof, dan decomposer. Autotrof merupakan
komponen produsen yang terdiri dari organisme yang dapat membuat makanannya sendiri dari
bahan organik dengan bantuan energi seperti sinar matahari dan bahan kimia. Autotrof berperan
sebagai produsen. Pada ekositem akuatik ini yang tergolong autotrof adalah tumbuhan berklorofil
seperti gulma dan eceng gondok. Heterotrof adalah komponen yang terdiri dari organisme yang
memanfaatkan bahan–bahan organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya.
Komponen heterotrof disebut juga konsumen makro karena makanan yang dimakan berukuran
lebih kecil. Golongan heterotrof adalah manusia, hewan, jamur dan mikroba. Dekomposer atau
disebut juga pengurai adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari
organisme mati. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan
melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Golongan
pengurai pada ekosistem ini adalah bentos yang berupa cacing darah atau larva chironomid
(Susanto 2000).

Pada ekosistem ini, maka terbentuklah suatu rantai makanan. Rantai makanan adalah
peristiwa makan dan dimakan antara makhluk hidup dengan urutan tertentu. Dalam rantai
makanan ada makhluk hidup yang berperan sebagai konsumen, dan produsen. Rantai makanan ini
dimulai dari gulma atau lumut sebagai peghasil atau produsen yang dapat dimakan oleh
komponen heterotrof berupa ikan nila. Pakan Alami dapat mempercepat pertumbuhan ikan nila,
seperti pitoplankton dan zooplankton. Selain itu ikan nila adalah jenis ikan pemakan tumbuh-
tumbuhan (herbivore). Komponen heterotrof yang mati diuraikan oleh dekomposer yang ada di
air tawar (akuatik) berupa cacing dengan bantuan sinar matahari membentuk komponen baru
autotrof berupa gulma. Keberadaan dekomposer sangat penting dalam ekosistem. Oleh
dekomposer, hewan atau tumbuhan yang mati akan diuraikan dan dikembalikan ke tanah menjadi
unsur hara (zat anorganik) yang penting bagi pertumbuhan tumbuhan. Aktivitas pengurai juga
menghasilkan gas karbondioksida yang penting bagi fotosintesis. Proses rantai makanan ini selalu
berjalan untuk mempertahankan kehidupan pada ekositem air akuatik. Akan tetapi, siklus dalam
rantai makanan dapat berjalan seimbang apabila semua komponen tersedia. Apabila salah satu
komponen didalamnya tidak ada maka akan terjadi ketimpangan dalam urutan makan dan
dimakan dalam rantai makanan tersebut (Susanto 2000).

Fungsi Ekologi Ekosistem Akuatik

Perairan Akuatik pening mempunyai fungsi hidrologis se- bagai kawasan penyangga untuk
menampung air dalam jumlah besar yang berasal dari curahan hujan lebat agar tidak langsung
membanjiri daratan rendah di hilir akuatik. Dalam hal ini akuatik berfungsi untuk mengurangi
besarnya fluktuasi aliran air yang mengalir di perairan.sama seperti fungsi hutan di daerah
pegunungan, akuatik adalah regulator aliran air tetapi daya tampung akuatik jauh lebih besar.
Fungsi regulator kontuinitas aliran air ini sangat penting bagi makhluk hidup termasuk manusia
yang berdiam di hilir akuatik (Afrika, 2005).

Akuatik lebak di Sumatera Selatan memiliki berbagai jenis vegetasi air Vegetasi air ini
melalui proses fotosintesis merupakan penghasil energi untuk metabolisme dalam kehidupan
seharihari serta merupakan sumber energi untuk produksi sekunder. Dalam proses fotosintesa
dihasilkan oksigen untuk pernafasan hewani yang hidup dalam ekosistem tersebut.
Sumberdaya hayati dalam ekosistem perairan lebak merupakan sumberdaya terbaru,
dimana dalam proses pembaruan diri materi mengalami daur ulang. Dengan pendauran itu
menjadikan proses pemurnian diri lingkungan karena bahan sisa dari suatu proses akan digunakan
sebagai bahan baku untuk proses yang lain yang menghasilkan zat yang berguna bagi organism
yang bersangkutan. Apabila dinamika ini terjaga dengan baik akan selalu menghasilkan energi
yang dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan dan kelestarian sumberdaya perikanan sepanjang
tahun (Gaffar 1998).

Perikanan sebagai Sumber Daya Pangan

Perikanan perairan akuatik lebak sebagai suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang
bersifat terbuka dapat dimanfaatkan oleh masyarakat baik sebagai produsen mapun sebagai
konsumen sebagai sumber pangan protein hewani. Pengelolaan perikanan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui pembinaan dan melindungi sumberdaya untuk kebutuhan
generasi mendatang. Perairan akuatik lebak dimanfaatkan selain untuk bidang pertanian, juga
budidaya perikanan karena dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan daya jual yang bernilai
tinggi. Jenis ikan yang dapat dibudidayakan pada ekosistem ini adalah ikan nila (Gaffar 1998).

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas perikanan air
tawar (akuatik). Ikan nila termasuk kedalam Eurihaline yaitu ikan yang mampu hidup dalam
kisaran salinitas yang luas antara 5-45 ppm dan mempunyai alat pernapasan tambahan
(abyrinthichi) berfungsi untuk mempertahankan diri untuk hidup didalam air yang kandungan
oksigennya rendah. Ikan nila juga mempunyai kelebihan antara lain mudah berkembang biak,
mempunyai tingkat toleransi terhadap lingkungan sangat tinggi sehingga tahan terhadap
perubahan lingkungan dan serangan penyakit, dan pemakan segala (Omnivora) sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai pengendali gulma air (Afliyah 1993). Ikan nila adalah salah satu
komoditas perikanan yang sangat popular di masyarakat, karena harganya murah rasanya
enak dan kandungan proteinnya cukup tinggi. Kandungan zat gizi ikan nila dalam 100 gram
menghasilkan energi 113 Kal, protein 17 gram, lemak 4,5 gram dan vitamin A 150 SI. Asam
lemak tidak jenuh ganda pada ikan nila menyebabkan ikan menjadi sangat mudah mengalami
proses oksidasi atau hidrolisis dan enzim yang dapat menguraikan protein menjadi putresin,
isobutilamin, kadaverin sehingga menyebabkan timbulnya bau tidak sedap atau tengik.
Akuatik lebak di Sumatera Selatan memiliki potensi pangan bagi masyarakat sekitar akuatik
lebak karena daya dukung ekosistemnya sebesar 193 persen.

5. Pangan lokal dan tradisional


A. Pengertian
Pangan lokal merupakan produk pangan yang telah diproduksi dan biasanya berkaitan
erat dengan budaya masyarakat setempat.
Pangan tradisional adalah makanan dan minuman termasuk makanan jajanan serta bahan
campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik
di daerah atau masyarakat indonesia. Produk biasanya memiliki citarasa spesifik yang
disukai oleh masyarakat setempat, dan dibuat dengan menggunakan resep warisan dari
generasi ke generasi, dengan menggunakan bahan-bahan dari sumber lokal. Bagi
masyarakat Indonesia umumnya amat diyakini khasiat, aneka pangan tradisional, Karena
disamping khasiat, makanan tradisional Indonesia juga mengandung segi positif yang lain
seperti: Bahan-bahan yang alami, bergizi tinggi, sehat dan aman, murah dan mudah
didapat, sesuai dengan selera masyarakat sehingga diyakini punya potensi yang baik
sebagai makanan. Indonesia memiliki jenis pangan tradisional yang sangat beragam,
hampir setiap daerah di Indonesia memiliki pangan tradisional yang menjadi ciri khas dari
daerah tersebut.
“Produk pangan tradisional yang terdapat di Indonesia dapat diklasifikasikan
berdasarkan karakteristiknya. Menurut Winarno, pangan tradisional dapat diklasifikasikan
menjadi makanan utama, kudapan atau jajanan dan minuman”. Produk pangan tradisional
ini menggunakan berbagai bahan baku yang hampir semuanya merupakan bahan baku
lokal seperti umbi-umbian ataupun karbohidrat lain, buah-buahan, rempah-rempah,
kacang-kacangan dan lain sebagainya.

B. Pangan Lokal dan Tradisional


Pangan lokal yang beraneka ragam dalam jumlah yang banyak dapat berpotensi pada
kemandirian nasional. Kurangnya inovasi teknologi menyebabkan belum berkembangnya
produk pangan lokal yang penggunaannya masih banyak dengan tepung terigu dan beras.
Padahal penggunaan tepung terigu di negara ini sudah terlalu banyak. Kemenperin
menyatakan bahwa konsumsi tepung terigu nasional pada tahun 2012 mencapai 1,22 juta
ton setahun.
Pemenuhan kebutuhan energi, protein, lemak, dan karbohidrat dalam upaya
peningkatan kebutuhan dikeluarga maka dengan menambahkan snack untuk selingan
makan setiap hari. Snack harus memenuhi kebutuhan zat gizi yang dapat meningkatkan
kesehatan pada konsumen. Snack harus aman, sehat dan mengandung zat gizi untuk
memenuhi kebutuhan gizi pada konsumen (Haryadi, 2010). Cukup energi dan zat gizi
bertujuan agar terbentuk kebiasaan makan yang baik untuk meningkatkan selera makan
sehingga mencapai perkembangan fisik, berat badan normal, dan menurunkan resiko
penyakit.
Snack memiliki beberapa jenis antara lain snack basah dan snack kering. Snack basah
memiliki kandungan air lebih tinggi dibandingkan snack kering. Snack basah tidak ada
proses pengeringan seperti pada proses pembuatan snack kering. Aneka olahan snack
basah antara lain bolu, roti tawar, kue lapis legit, dan lain-lain. Aneka olahan snack kering
antara lain keripik, biskuit, dan lain-lain. Snack dapat dikonsumsi setiap hari untuk
menambah asupan zat gizi pada konsumen. Tepung terigu biasa digunakan pada
pembuatan roti karena kandungan gluten yang dapat membentuk struktur pada adonan.
Gluten membuat adonan kenyal dan dapat mengembang, bila terkena bahan cair
maka gluten akan mengembang dan saling mengikat dengan kuat membentuk adonan
yang sifatnya liat (Anshari, 2010). Penggunaan tepung terigu yang berlebihan dapat
mengganggu kesehatan yaitu kerusakan usus halus. Kerusakan usus halus menyebabkan
gangguan penyerapan zat gizi yang masuk ke dalam tubuh.
Kandungan gluten pada tepung terigu juga tidak baik untuk penderita autis. Tepung
terigu juga memiliki kandungan glikemik yang tinggi sebesar 70. Konsumsi makanan
yang mengandung glikemik tinggi akan meningkatkan kadar gula darah sehingga tidak
baik untuk penderita Diabetes Mellitus (Muchtadi, 2010). Adanya dampak yang tidak
baik bagi kesehatan, maka penggunaan tepung terigu harus dikurangi. Singkong
merupakan salah satu tanaman tropis yang paling berguna dan dimanfaatkan sebagai
sumber kalori yang murah. Singkong merupakan tanaman yang memiliki kandungan gizi
yang cukup lengkap. Kandungan zat dalam singkong ialah karbohidrat, fosfor, kalsium,
vitamin C, protein, zat besi dan vitamin B1. Pemanfaatan tanaman singkong berkembang
sebagai bahan baku industri pangan.
Singkong memiliki keunggulan berdasarkan aspek ketersediaan dan nutrisi.
Keunggulan ini dapat menjadi faktor pendorong program diversifikasi pangan dengan
singkong sebagai sumber 3 kalori alternatif utama. Pemanfaatan tanaman singkong
berkembang sebagai bahan baku industri pangan (Adegunwa dkk, 2011).
Singkong merupakan bahan baku yang paling potensial untuk diolah menjadi tepung
(Sulusi dkk, 2011). Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas.
Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Semakin
besar kandungan amilopektin, maka pati akan semakin basah, lengket dan cenderung
sedikit menyerap air. Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering,
kurang lekat, dan mudah menyerap air (higroskopis).
Pada pembuatan bolu kukus, tepung yang digunakan adalah tepung dengan
mengandung amilopektin yang tinggi dan amilosa yang rendah agar tekstur bolu kukus
menjadi mengembang dan tidak bantat (Wirakartakusumah et al, 1992).
Aneka olahan tepung singkong diantara nya brownies singkong, keripik singkong,
kroket, pudding, dan lain-lain. Kandungan gizi tepung singkong hampir sama dengan
tepung terigu sehingga dapat digunakan sebagai pengganti tepung terigu. Kandungan
karbohidrat kompleks tepung singkong lebih tinggi (87,3%) dibandingkan dengan tepung
terigu.
Kandungan serat tepung singkong juga lebih tinggi (3,4%) dibandingkan dengan
tepung terigu. Konsumsi karbohidrat kompleks akan memberikan rasa kenyang yang
lebih lama dan juga tubuh akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk menguraikanya
menjadi gula sehingga baik untuk dikonsumsi untuk penderita penyakit degeneratif
seperti obesitas dan diabetes. Kandungan protein lebih rendah (1,2%) daripada tepung
terigu (Salim, 2007).
https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/a8be766989fa6507ec6ce24d2359e690.pdf
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/GIZ%20Ekologi%20Pangan%20dan%20Gizi%20-
%20BARU-Copy%20(1).pdf (Buku bahan ajar Prof. Saifuddin Sirajuddin)

Anda mungkin juga menyukai