Anda di halaman 1dari 8

TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA

Purwa Lalita Nurjayanti


Universitas Sebelas Maret
Lalitadev99@gmail.com

ABSTRACT
This research was conducted to determine the Javanese language used by the community based on
the level of speakers. In Javanese there is uploading which is used by the community as a guide in
speaking words. Broadly speaking, Javanese has levels, namely ngoko, middle and manners. Each
level has a different function based on the situation and conditions that take place in society. The
method used is descriptive method. The conclusion of this research is the use of speech level is
determined by factors of age, social status, kinship, royal blood, education and conversation context.
Variety of Javanese language is divided into two namely Javanese Ngoko variety and Javanese
manners. The variety of ngoko is divided into two namely aloko ngoko and naive ngoko while the
various types of manners are divided into alus manners and innocent manners.

Keywords:

Javanese, really, level of speech, variety of ngoko, various manners.

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat berdasarkan
tingkat penuturnya. Dalam Bahasa Jawa terdapat unggah-ungguh yang digunakan oleh masyarakat
sebagai pedoman dalam bertutur kata. Secara garis besar, Bahasa Jawa memiliki tingkatan yakni
ngoko, madya dan krama. Setiap tingkatan memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan situasi dan
kondisi yang berlangsung dalam masyarakat. Metode yang digunakan ialah metode deskriptif.
Simpulan dari penelitian ini adalah Penggunaan tingkat tutur ditentukan oleh faktor usia, status sosial,
kekerabatan, darah kebangsawanan, pendidikan dan konteks percakapan. Ragam Bahasa Jawa terbagi
menjadi dua yakni Bahasa Jawa ragam ngoko dan Bahasa Jawa ragam krama. Ragam ngoko terbagi
lagi menjadi dua yakni ngoko alus dan ngoko lugu sedangkan ragam krama terbagi menjadi krama
alus dan krama lugu.

Kata kunci:

Bahasa Jawa, unggah-ungguh, tingkat tutur, ragam ngoko, ragam krama.


PENDAHULUAN

Indonesia memiliki karakteristik masyarakat yang majemuk karena memiliki berbagai suku
bangsa dengan berbagai macam ragam dialek dan bahasa yang berdampingan dengan bahasa
persatuan yakni baha indonesia. Bahasa merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia (Saddhono dkk., 2010). Setiap masyarakat memilih dan menggunakan kode atau
bahasa sebagai sarana berinteraksi. Masyarakat yang dapat menggunakan lebih dari satu kode disebut
sebagai masyarakat bilingual. Penggunaan dua bahasa atau lebih dalam alih kode ditandai oleh
masing-masing bahasa yang mendukung fungsi tersendiri sesuai dengan konteks (Anis, 2016).
Mengacu pada haltersebut masyarakat indonesia merupakan masyarakat diglosia yakni masyarakat
yang memiliki dua kode untuk menunjukkan perbedaan, satu kode diterapkan pada satu situasi
tertentu sedangkan kode yang lain digunakan pada kondisi yang berbeda. Pilihan bahasa yang
digunakan oleh masyarakat multilingual ditentukan oleh berbagai faktor dan memiliki makna sosial
tertentu (Saddhono, 2007). Ekspresi dalam wujud tindakan berbahasa/ berbicara (baik dalam bentuk
kalimat, klausa, frasa, atau kata) dianggap sebagai suatu tindakan. Tindakan itu dapat disebut tindakan
berbicara, tindakan berujar atau tindak bertutur. Istilah yang lazim dipakai untuk mengacu tindakan
itu ialah tindak tutur. Tindak tutur adalah tindakan yang diwujudkan dalam bentuk ujaran atau
hlturanyang ditujukan kepada mitra tutur (Kurniati, 2010). Di dalam penggunaan bahasa Jawa juga
ditemukan adanya pemanfaatan bentuk tindak.

Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu bagi orang jawa yang tinggal di daerah Jawa Tengah,
Yogyakarta dan Jawa Timur. Bahasa jawa juga digunakan di daerah-daerah transmigrasi karena
sebagian masyarakat jawa bermigrasi ke daerah lain dan Bahasa Jawa sebagai bahasa minoritas.
Dialek bahasa jawa didasarkan geografis seperti Yogya, Solo, Tegal, Banyumas dan Surabaya yang
masing-masing dialek memiliki ciri khas sendiri. Bahasa Jawa dituturkan oleh masyarakat Indonesia
terutama di pulau Jawa bagian tengah dan timur. Namun, di pulau-pulau yang lainnya juga terdapat
penutur bahasa Jawa (Partana, 2010). Selain dialek, dalam Bahasa Jawa juga terdapat ragam bahasa
formal dan informal dengan bentuk fonologi, mrfologi, sintaksis dan leksikon yang berbeda-beda.
Ragam bahasa jawa tersebut tercermin dalam tingkat tutur yang kompleks dalam penggunaannya.
Tingkat tutur ialah variasi bahasa yang memiliki perbedaan antara penutur satu dengan penutur lain
yang ditentukan oleh perbedaan kesopanan penutur terhadap lawan tutur (Soepomo, 1975). Orang
Jawa mengutamakan unggah-ungguh dalam perilaku mereka sehari-hari suatu bentuk etika dalam
kehidupan sosial Masyarakat Jawa (Laila, 2016).

Secara umum setiap bahasa, termasuk bahasa Jawa, memperlihatkan ciri keuniversalan sekaligus
keunikan (Mardikantoro, 2012). Bahasa Jawa, bagi masyarakat Jawa, digunakan sebagai alat
komunikasi sehari-hari, baik secara lisan maupun tulis. Selain sebagai alat komunikasi sehari-hari,
Bahasa Jawa, seperti bahasa-bahasa yang lain, juga dipergunakan untuk menyampaikan tindakan
bertutur. Dengan kata lain, di dalam penggunaan bahasa ]awa juga ditemukan adanya peristiwa tindak
tutur (Muhid, 2011).

METODE

Dalam melaksanakan penelitian ini digunakan metoder deskriptif yaitu metode penyajian hasil
analisis data yang menggunakan uraian kata-kata yang lengkap yang rinci dan terurai. Metode
deskriptif dipilih sebagai metode penelitian ini karena penyajian hasil analisis datanya dirumuskan
dengan kata-kata biasa atau dengan narasi, tidak dengan simbol.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia untuk mengutarakan maksud, keinginan dan
perasaan seseorang. Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa yang memiliki sistem tingkat tutur yang
penggunaannya disesuaikan dengan mitra tutur (Saddhono, 2013). Bahasa Jawa yang digunakan
masyarakat saat bertututr tercermin dalam bentuk kata kerja, kata benda dan kata sifat yang berbeda.
Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa yang memiliki tingkat tutur yaitu ngoko, krama dan krama
inggil (Saddhono, 2004). Penggunaan kata partikel dan kalimat tidak langsung juga ditentukan dalam
bertutur. Penggunaan Bahasa Jawa dalam budaya jawa saat bertutur dipengaruhi oleh keakraban, usia
dan kesopanan. Selain itu, status sosial seperti jabatan, keadaan ekonomi, faktor pendidikan dan darah
kebangsawanan juga diperhatikan. Dialog masyarakat juga mencerminkan tingkat tutur bahasa jawa
yang sesuai dengan unggah-ungguh basa jawa (Saddhono, 2018).

Dalam pengamalannya secara umum sehari-hari, tingkat tutur dalam Bahasa Jawa, dapat diambil
kategori; (1) Bahasa Jawa Ngoko, mencerminkan makna tidak berjarak atau berjarak antara penutur
dengan mitra tutur, (2) Bahasa Jawa Krama,mencerminkan makna penghormatan antara penutur
dengan mitra tutur. Bentuk Krama sebagai wujud bentuk kebahasaan yang mencerminkan rasa hormat
masih digunakan sebagai alat komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa, baik secara lisan maupun
tulisan (Pujiyatno, 2007). Ditambahkan oleh Sundari, Bahasa Jawa merupakan warisan nenek
monyang yang sangat adiluhung karena di dalamnya terdapat unggah-ungguh bahasa yang berfungsi
sebagai pembentukan perilaku kehidupan manusia (Sudaryanto, 1987:3). Masyarakat Jawa juga
mengenal idiom ajining dhiri ono ing lathi, yang melambangkan bahwa orang yang pandai bertutur
dan menggunakan unggah ungguh dalam bertutur maka dia akan lebih dihargai oleh lawan tuturnya
(Rokhman, 2003). Pembicara/orang yang mengajak bicara akan menggunakan tingkat tutur tertentu
dengan mempertimbangkan unggah-ungguh, sehingga terjadilah kesantunan berbahasa.

Perbedaan tingkat tutur dapat dilihat dari bentuk bahasa (Poedjasoedarma, 1979 : 67).
Penyebutan kata kerja, kata benda, kata sifat dan pronomina yang berbeda menunjukkan adanya
perbedaan rasa hormat dari penutur bahasa. Penggunaan kata diri seperti kula, aku dan dalem
menunjukkan adanya perbedaan terhadap rasa hormat dari penutur bahasa yang disesuaikan dengan
lawan tuturnya. Penggunaan kata kerja, kata benda dan kata yang menunjukkan keadaan juga
mencerminkan adanya perbedaan sistem tingkat tutur. Sebagai contoh benda ialah griya, dalem dan
omah; penggunaan kata yang menunjukkan keadaan seperti kata lara, gerah dan sakit. Dalam kata
sifat seperti turu, sare dan tilem.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesopanan suatu ujaran menurut Scollon and
Scollon (1995: 42 – 43) yakni 1) kekuasaan, penutur cenderung menikkan tingkat kesopana terhadap
lawan tutur yang menurutnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada penutur; 2) hubungan
sosial, apabila seseorang memiliki hubungan yang dekat maka seseorang jarang memprhatikan tingkat
kesopanan namun sebaliknya apabila hubungan seseorang tidak dengan maka mereka akan
menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan lawan tutur; 3) adanya kepentingan yang mendesak,
apabila seseorang memiliki kepentingan yang tinggi maka pemilihan tuturan juga yang tinggi.

Kesantunan yang menunjukkan rasa hormat saat berkomunikasi terhadap mitra tutur pasti ada
dalam setiap masyarakat penutur bahasa (Suryadi, 2010). Bentuk tingkat tutur secara garis besar
dalam bahasa dapat dibagai menjadi dua yaitu bentuk hormat dan bentuk biasa yang penggunaannya
disesuaikan dengan relasi penutur dan mitra tutur (Wibawa, 2006). Ragam Bahasa Jawa yang sesuai
yang sesuai tingkat tutur Bahasa Jawa atau disebut dengan istilah undha-usuk basa jawa (Saddhono,
2016). Perbedaan penggunaan tuturan yang memiliki maksud sama menunjukkan adanya perbedaan
tingkat tutur dalam bahasa Jawa yaitu tingkat tutur halus yang membawakan rasa kesopanan tinggi
(tingkat tutur krama), tingkat tutur menengah sebagai cerminan rasa kesopanan sedang (tingkat tutur
madya), serta tingkat tutur biasa yang menunjukkan kesopanan yang rendah (tingkat tutur ngoko)
(Poedjasoedarma, 1979 : 7-8). Tingkat tutur halus disebut tingkat tutur krama, tingkat tutur sedang
disebut tingkat tutr madya dan tingkat tutur biasa disebut tingkat tutur ngoko. Setiap bentuk tingkat
tutur terbagi lagi menjadi tiga yakni 1) krama, terdiri atas muda krama, kramantara dan wreda karma;
2) madya, terdiri atas madya karma madyantara dan ngoko; 3) ngoko, terdiri atas basa antya, antya
basa dan ngoko lugu (Wilian, 2006).

Tingkat tutur Bahasa Jawa menurut Soepomo terbagai menjadi dua yakni tingkat ngoko dan
tingkat basa. Akan tetapi, tingkat ngoko memiliki beberapa varian seperti ngoko alus dan ngoko biasa.
Apabila semakin banyak unsur kata krama seperti krama inggil ataupun krama andhap dalam ujaran
ngoko maka semakin haluslah ngoko tersebut. 1) ngoko bentuk renda, ngoko bentuk rendah memiliki
lemen yang bersifat netral yakni dengan dua kata yang dianggap rendah (low). Tingkat tutur tersebut
digunakan apabila bentuk tersebut digunakan saat berbicara dengan lawan tutur yang secara sosial
dianggap lebih rendah, anggota keluarga yang dianggap lebih muda, atau seseorang yang sangat
dikenal dan akrab, misalnya bu sastro (netral) wis (rendah) mangan (mangan); 2) ngoko bentuk
menengah, ragam ngoko ini lebih sering digunakan apabila hubungan penutur dan mitra tutur tidak
terlalu dekat dan memiliki status sosial yang sama, misalnya Bu Sastro (netral) mpun (menengah)
dhahar (hormat) atau Bu Sastro (netral) mpun (menengah) nedho (tinggi); 3) ngoko bentuk tinggi,
ragam bentuk tinggi ini digunakan untuk menunjukkan jarak dan rasa hormat kepada mitra tutur yang
yang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi, misalnya Bu Sastro (netral) sampun (tinggi)
nedho (tinggi).

Prinsip unggah-ungguh Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu unggah-unggung ngko dan
unggah-ungguh krama (Sasangka, 2004). Perbedaan unggah-ungguh tersebut terletak pada leksikon
yang terangkai pada kalimat yang secara kontras terlihat perbedaannya. Dalam bahasa jawa terdapat
dua unggah-ungguh yakni ngoko dan krama apabila terdapat bentuk lain maka itu hanya variasi dari
ragam ngoko maupun krama (Indrayanto, 2015).

Ragam Ngoko

Ragam ngoko ialah unggah-ungguh Bahasa Jawa yang memiliki inti leksikon ngoko dalam ragam
ngoko bukan leksikon yang lain. Dalam ragam ngoko afiks yang muncul hanya berbentuk ngoko
seperti di-, -e, dan-ake. Ragam ngoko dapat digunakan apabila seseorang memiliki hubungan yang
akrab dengan mitra tutur atau seseorang yang merasa status sosialnya lebih tinggi daripada mitra
tuturnya. Ragam ngoko terdapat dua varian yakni ngoko lagu dan ngoko alus. 1) Ngoko lugu ialah
unggah-ungguh dalam bahasa jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral (leksikon
ngoko dan netral) tanpa terselip leksikon krama, krama inggil, atau krama andhap, baik untuk O1, O2,
maupun (O3). Contoh: Yen mung kaya ngunu wae, aku mesthi ya iso (Jika cuma seperti itu saja, saya
pasti juga bisa); 2) ngoko alus, ngoko alus ialah unggah-ungguh yang didalamnya tidak hanya
leksikon ngoko dan netral saja tetapi juga ada leksokon krama inggil dan andhap. Leksikon krama
inggil dan andhap yang muncul digunkan untuk menghormati mitra tutur. Leksikon krama inggil yang
muncul biasanya terbatas pada kata kerja, benda dan pronomina. Sedangkan leksikon krama andhap
yang muncul biasanya berbentuk kata kerja, misalnya Mentri pendhidhikan sing anyar iki asmane
sapa? (Menteri pendidikan yang baru ini siapa namanya?).

Ragam Krama

Ragam krama ialah unggah-ungguh bahasa jawa yang memiliki inti leksikon krama dan leksikon lain.
Dalam ragam krama afiks yang muncul dipun-, -ipun, dan -aken. Ragam krama digunakan bila
seseorang merasa status sosialnya lebih rendah daripada mitra tuturnya. Ragam krama terbagi menjadi
dua variasi yaknikrama lugu dan krama alus. 1) krama lugu, leksikon yang terdapat dalam ragam ini
berupa ngoko. Kata lugu dalam ragam ini menunjukkan bahwa ragam ini memiliki leksikon krama,
madya dan lugu serta tambahan krama inggil dan andhap. Akan tetapi yang menjadi leksikon inti
ialah krama, madya dan netral. Leksikon krama inggil dan krama andhap hanya digunakan untuk
menghormati mitra tutur. Secara semantik ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk
ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun demikian, ragam ini tetap menunjukkan
kehalusan dibandingkan ngoko alus. Contoh: Sing dipilih Sigit niku jurusan jurnalistik utawi
perhotelan. (Yang dipilih Sigit itu jurusan jurnalistik atau perhotelan); 2) krama alus, krama alus ialah
unggah-ungguh bahasa jawa yang memiliki leksikon into krama yang dapat berapa krama inggil
ataupun krama andhap. Dalam tingkat tutur ini leksikon ngoko Dan madhya tidak pernah muncul.
Dalam ragam ini secara konsisten krama inggil dan andhap sekali digunakan untuk menghormati
mitra tutur. Dari segi semantik ragam krama alus ini merupakan ragam krama yang memiliki tingkat
kehalusan paling tinggi. Contoh: para miyarso, wonton ing giyaran punika Lula badhe ngaturaken
eembag bab kasusastran jawi (para pendengar, Salam kesempatan saran ini saya akanberbicara
tentang kesusastraaan jawa).

SIMPULAN

Tingkat tutur digunakan untuk menunjukkan rasa sopan atau rasa hormat terhadap lawan tutur.
Penggunaan tingkat tutur ditentukan oleh faktor usia, status sosial, kekerabatan, Sarah
kebangsawanan, pendidikan dan konteks percakapan. Ragam bahasa jawa terbagi menjadi dua yakni
bahasa jawa ragam ngoko dan bahasa jawa ragam krama. Ragam ngoko terbagi lagi menjadi dua
yakni ngoko alus dan ngoko lugu sedangkan ragam krama terbagi menjadi krama alus dan krama
lugu. Dalam bertutur perlu memperhatikan tingakt kesopanan berbahasa karena dalam berbahasa
terdapat nilai-nilai sosial budaya.

REFERENSI

Anis, M. Y., & Saddhono, K. (2016). Strategi Penerjemahan Arab–Jawa sebagai Sebuah Upaya dalam
Menjaga Kearifan Bahasa Lokal (Indigenous Language). Akademika: Jurnal Pemikiran
Islam, 21(1), 35-48.

Indrayanto, B., & Yuliastuti, K. (2015). Fenomena Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat Tingkat
Sosial Masyarakat. Magistra, 27(91).

Kurniati, E., & Mardikantoro, H. B. (2010). Pola Variasi Bahasa Jawa (Kajian Sosiodialektologi pada
Masyarakat Tutur di Jawa Tengah. Jurnal Humaniora, 22(3), 273-284.

Laila, W. N. (2016). Konsep Diri Remaja Muslim Pengguna Bahasa Jawa Krama. Profetik: Jurnal
Komunikasi, 9(2), 61-69.

Mardikantoro, H. (2012). Bentuk Pergeseran Bahasa Jawa Masyarakat Samin dalam Ranah Keluarga.
Litera, 11(2).
Muhid, A., & AKI, S. U. (2011). Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur
Kabupaten Blora. Majalah Ilmiah Informatika, 2(1).

Partana, P. (2010). Pola Tindak Tutur Komisif Berjanji Bahasa Jawa. Widyaparwa, 38(1), 81-89.

Poedjasoedarma, Soepomo, Th. Kundjana, Gloria Soepomo, dan Alip Soeharso. 1979. Tingkat Tutur
Bahasa Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Poedjosoedarmo, S. (1979). Tingkat tutur bahasa Jawa (Vol. 8). Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pujiyatno, A. (2007). Variasi dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen:: Kajian Sosiodialektologi
(Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Rokhman, F., & Poedjosoedarmo, P. P. D. H. S. (2003). Pemilihan bahasa dalam masyarakat


dwibahasa:: Kajian sosiolinguistik di Banyumas (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah
Mada).

Saddhono, K. (2004). Aspektualitas bahasa Jawa: kajian morfologi dan sintaksis. Pustaka Cakra
Surakarta.

Saddhono, K. (2007). Bahasa Etnik Pendatang di Ranah Pendidikan Kajian Sosiolinguistik


Masyarakat Madura di Kota Surakarta. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 13(66), 469-
487.

Saddhono, K. (2013). Fenomena pemakaian bahasa Jawa sebagai bahasa ibu pada sekolah dasar kelas
rendah di kota Surakarta: Sebuah kajian sosiolingustik. Surakarta: Sebelas Maret
University.

Saddhono, K. (2016). Dialektika Islam dalam mantra sebagai bentuk kearifan lokal Budaya Jawa.
AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam, 21(1), 83-98.

Saddhono, K. (2018). Bercerita Dengan Media Wayang Kulit Untuk Meningkatkan Pemahaman
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Siswa Smp Di Kabupaten Magelang.

Saddhono, K., Wijana, I., & Poedjosoedarmo, S. (2010). Wacana Bahasa Jawa dalam Khotbah Jumat
di Kota Surakarta: Perspektif Kajian Linguistik Kultural.

Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2009. UnggahUngguh Bahasa Jawa (Editor: Yeyen Maryani).
Jakarta: Yayasan Paramalingua.

Suryadi, M. (2010). Konstruksi Leksikal Tuturan Jawa Pesisir yang Bertautan dengan Nilai
Kesantunan. In Jurnal Seminar Nasional Bahasa dan Budaya.
Wibawa, S. (2006). Pendekatan Pembelajaran Bahasa Jawa di SMA/SMK/MA. Semarang: Makalah
Kongres Bahasa Jawa.

Wilian, S. (2006). Tingkat tutur dalam bahasa Sasak dan bahasa Jawa. Wacana, 8(1), 32-53.

Anda mungkin juga menyukai