Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KELOMPOK

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN


DENGAN EMBOLISME PARU
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis
Dosen Pengampu : Ns. M. Hanif Prasetya, M. Kep

Disusun Oleh :

Kelompok 7

1. 1811020088 Rama Nanda S


2. 1811020097 Dian Sawitri
3. 1811020098 Ajie Purwanto
4. 1811020117 Inayah Septiyani
5. 1811020119 Rahma Roihanna
6. 1811020129 Nailul Fadilah

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PUURWOKERTO

2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Emboli paru adalah penyumbatan pada pembuluh darah di paru-paru.
Penyumbatan biasanya disebabkan oleh gumpalan darah yang awalnya
terbentuk di bagian tubuh lain, terutama kaki. Pada umumnya, gumpalan
darah yang terbentuk dan menyebabkan emboli paru berjumlah lebih dari
satu. Gumpalan darah ini akan menyumbat pembuluh darah dan
menghambat aliran darah ke jaringan di paru-paru sehingga menyebabkan
kematian jaringan paru-paru. Emboli paru merupakan kondisi serius dan
membahayakan nyawa penderitanya. Oleh karena itu, diperlukan
penanganan yang cepat dan tepat untuk mengurangi risiko komplikasi dan
kematian. (https://www.alodokter.com/emboli-paru).
Emboli paru sering terjadi, namun jarang terdiagnosis sehingga
laporan mengenai penyakit ini sulit ditentukan. Penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa kurang dari 10% pasien emboli paru meninggal.
Insiden sebenarnya dari emboli paru tidak dapat ditentukan, karena sulit
membuat diagnosis klinis, tetapi emboli paru merupakan penyebab penting
morbiditas dan mortalitas pasien-pasien di rumah sakit dan telah dilaporkan
sebagai penyebab dari 200.000 kematian di Amerika Serikat setiap
tahunnya. Emboli paru massif adalah salah satu penyebab kematian
mendadak yang paling sering. Pada penanganan yang tidak tepat, kematian
dapat meningkat hingga 1 sampai 3 kali. Oleh karenanya dibutuhkan
penanganan yang tepat dan mengidentifikasi lebih cepat seperti penggunaan
angiografi, EKG, ekokardiografi, D dimer sebagai pemeriksaan penunjang
untuk emboli paru. Bahkan sekarang dengan pemeriksaan sistem skoring
seperti Geneva bisa memiliki nilai diagnostik yang bagus untuk
mendiagnostik emboli, sehingga kita dapat memberikan penanganan medis
pada pasien emboli paru. Untuk mempermudah mengidentifikasi terjadinya
emboli paru perlu ditelusuri faktor risiko seperti : berbaring lama,
keganasan, obesitas, melahirkan dan faktor yang lain. Skoring Geneva
dibuat untuk mempermudah diagnosis banding bagi pasien kritis dengan
melihat faktor risiko seseorang terkena emboli paru. (Lubis, Bastian, et al.
"Peran Angiografi Pada Emboli Paru." JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)
10.1: 16-21.)

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu menyusun Asuhan Keperawatan Kritis pada klien
dengan diagnosis embolisme paru.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian emboli paru.
b. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi emboli paru.
c. Mahasiswa dapat mengetahui epidemiologi emboli paru.
d. Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi emboli paru.
e. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis emboli paru.
f. Mahasiswa dapat mengetahui pathways emboli paru.
g. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan emboli paru.
h. Mahasiswa dapat mengetahui algoritm penanganan emboli paru.
i. Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan emboli paru.

C. Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan makalah ini
yaitu :
1. Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang penyakit emboli paru.
2. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang bahaya
penyakit emboli paru dan mengetahui cara pencegahan penyakit ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Emboli paru-paru merupakan oklusi atau penyumbatan bagian
pembuluh darah paru-paru oleh embolus. Embolus ialah suatu benda asing
yang tersangkut pada suatu tempat dalam sirkulasi darah. Benda tersebut
ikut terbawa oleh aliran darah yang berasal dari suatu tempat lain dalam
sirkulasi darah. Proses timbulnya embolus disebut embolisme. Hampir 99%
emboli berasal dari trombus. Bahan lainnya adalah tumor, gas, lemak,
sumsum tulang, cairan amnion, dan trombus septik (Somantri, 2007).
Emboli paru-paru dikenal sebagai obstruksi sebagian atau seluruh dari
satu atau kedua cabang pulmonal atau anak-anak cabangnya. Elemen
onstruktif dapat berupa bekuan darah, udara atau globulus lemak (Engram,
2000).

B. Etiologi
Penyebab emboli paru belum diketahui pasti, tetapi hasil penelitian
dari autopsi paru pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukkan
jelas bahwa penyebab penyakit ini adalah trombus pada pembuluh darah.
Umumnya tromboemboli berasal dari lepasnya trombus di pembuluh darah
vena di tungkai bawah atau dari jantung kanan. Sumber emboli paru yang
lain misalnya tumor yang telah menginvasi sirkulasi vena, amnion, udara,
lemak, sumsum tulang, fokus septik, dan lain-lain. Kemudian material
emboli beredar dalam peredaran darah sampai sirkulasi pulmonal dan
tersangkut pada cabang-cabang arteri pulmonal, memberikan akibat
timbulnya gejala klinis. Emboli paru dapat terjadi sebagai komplikasi dari
beberapa kondisi medik yang membuat predisposisi terjadinya trombosis
vena.
Faktor Predisposisi :
1. Imobilisasi
Imobilisasi sering terjadi terutama pada pasien dengan fraktur
tulang ekstremitas inferior, berbaring lama pasca bedah, paralisis kaki,
dan pada penyakit-penyakit kardiopulmoner. Imobilisasi yang lama
menyebabkan hilangnya peristaltik pembuluh darah vena sehingga
menjadi stasis. Umumnya stasis terjadi setelah berbaring selama tujuh
hari. Stasis dapat terjadi pada pasca bedah setelah 48 jam sampai
sepuluh hari kemudian.
2. Umur
Kebanyakan emboli paru-paru terjadi pada usia 50-65 tahun
karena elasitisitas dinding pembuluh darah sudah berkurang.
3. Penyakit jantung
Jika pada jantung hanya terjadi fibrilasi atrium atau disertai
dengan payah jantung, keadaaan tersebut sering menimbulkan emboli
paru-paru. Pada infark jantung akut, emboli paru-paru sering terjadi
pada hari ketiga dan sebagian besar 75% terjadi pada minggu pertama.
4. Trauma
Sebanyak 15% penderita trauma mengalami emboli paru-paru,
terutama pada penderita luka bakar dengan area terbakar yang luas,
sehingga kerusakannya sampai ke endotel pembuluh darah.
5. Obesitas
Penderita dengan berat badan 20% lebih dari berat badan ideal
dapat dikatakan beresiko untuk menderita emboli paru-paru, meskipun
mekanismenya belum diketahui dengan pasti.
6. Kehamilan dan nifas
Kejadian emboli paru-paru pada ibu hamil biasa terjadi pada
trimester ketiga dan prevalensinya meningkat saat nifas. Pada kasus
ibu hamil dan nifas disebabkan karena terjadi peningkatan faktor
koagulasi dan trombosit.
7. Neoplasma
Emboli paru-paru banyak terjadi pada beberapa neoplasma
organ paru-paru, pankreas, usus, dan traktus urogenital. Terdapat teori
yang menyatakan bahwa neoplasma memproduksi zat-zat seperti
histon, katepsin dan protease yang mengaktifkan koagulasi darah.
8. Obat-obatan
Emboli paru-paru sering dialami oleh pasien yang
mengkonsumsi obat-obat kontrasepsi oral. Pada kasus ini obat-obat
tersebut dapat mengakibatkan peningkatan faktor pembekuan dan
trombosit serta peningkatan lipoprotein, plasma trigliserida, dan
kolesterol.
9. Penyakit hematologi
Penyakit hematologi sering ditemukan pada keadaan polisitemia
dimana hematokrit darah menigkat yang mengakibatkan aliran darah
menjadi lambat. Dilaporkan juga banyak terjadi pada penyakit anemia
bulan sabit. Pada penyakit anemia tersebut, terbentuk trombus dalam
aliran darah mikrosirkulasi yang dapat menyebabkan infark pada
organ paru-paru, ginjal, limpa dan tulang.
10. Penyakit metabolisme
Penyakit metabolisme dilaporkan terjadi pada penyakit sistinuria
di mana terdapat kelainan trombosit yang menyebabkan trombosis. Di
samping itu juga terjadi kerusakan lapisan endotel pembuluh darah
yang mempercepat terjadinya trombosis (Somantri, 2007).

C. Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi emboli paru oleh Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), sekitar 60.000-100.000 kematian per tahun
disebabkan oleh emboli paru. Insidensi emboli paru di Amerika Serikat
dilaporkan sebesar 1 per 1000 penduduk. Pada tahun 2015 di Australia
dilaporkan sekitar 340 kematian yang dikarenakan emboli paru. Trombosis
vena dalam (DVT) merupakan faktor risiko dari PE, dimana 50-60% pasien
DVT berkembang menjadi PE. Insiden PE di Asia sendiri ditemukan hanya
sekitar 15-20% dari negara bagian barat. Data epidemiologi emboli paru di
Indonesia belum tersedia.

D. Patofisiologi
Bekuan darah merupakan kumpulan platelet untuk memperbaiki
kerusakan pembuluh darah, yang membentuk jaringan dengan sel darah
merah dan fibrin. Pada keadaan normal bekuan terbentuk untuk
menghentikan perdarahan akibat luka, namun kadang-kadang bekuan timbul
tanpa ada luka. Bekuan darah yang terbentuk dalam vena disebut trombus,
sedangkan bekuan darah yang lepas dan berpindah ke bagian tubuh yang
lain menimbulkan emboli. Kadang-kadang material lain seperti tumor,
lemak, udara dapat masuk ke dalam aliran darah yang menimbulkan emboli
yang menyumbat arteri. Kebanyakan bekuan darah berasal dari lutut hingga
tungkai ke atas, dan pelvis. Bekuan dari vena dalam dapat bermigrasi
melalui aliran darah menuju jantung kanan, kemudian masuk ke dalam arteri
paru (Lesmana, 2010).
Menurut Virchow,terdapat tiga factor penting yang memegang
peranan timbulnya trombus (Trias Virchow) yaitu statis vena, kerusakan
pembuluh darah, dan hiperkoaguabilitas.
Kebanyakan emboli paru terjadi akibat lepasnya trombus yang berasal
dari pembuluh vena di ekstremitas inferior. Trombus terbentuk dari
beberapa elemen sel dan fibrin-fibrin yang kadang-kadang berisi protein
plasma seperti plasminogen. Trombus dapat berasal dari pembuluh arteri
dan pembuluh vena. Trombus arteri terjadi karena rusaknya dinding
pembuluh arteri (lapisan bagian dalam), sedangkan trombus vena terjadi
karena perlambatan aliran darah dalam vena tanpa adanya kerusakan
dinding pembuluh darah (Muttaqin, 2008).
Trombus vena dapat berasal dari pecahan trombus besar yang
kemudian terbawa oleh aliran vena. Biasanya thrombus vena ini berisi
partikel-partikel sepeti fibrin (terbanyak), eritrosit, dan trombosit.
Ukurannya dari beberapa millimeter saja sampai sebesar lumen vena.
Biasanya trombus semakin bertambah oleh tumpukan trombus lain yang
kecil-kecil. Adanya perlambatan (statis) aliran darah vena semakin
mempercepat terbentuknya thrombus yang lebih besar, sedangkan adanya
kerusakan dinding pembuluh vena (misalnya pada operasi rekonstruksi vena
femoralis) jarang menimbulkan trombus vena (Muttaqin, 2008).
Hiperkoagubilitas juga amat berpengaruh dalam pembentukan
thrombus. Disini juga terjadi aktivasi terhadap faktor koagulan oleh
kolagen, endotoksin, dan prokoagulan dari jaringan malignasi sehingga
tromboplastin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah dan thrombus mudah
terbentuk. Keadaan ini sering ditemukan pada persalinan, operasi, dan
trauma pada organ-organ tubuh. Factor lain yang juga mempercepat
terjadinya thrombus adalah hiperagregasi trombosit (Muttaqin, 2008).
Pada embolisme paru terdapat dua keadaan sebagai akibat obstruksi
pembuluh darah, yakni terjadinya vasokonstriksi dan bronkhokonstriksi,
sehingga system perfusi dan ventilasi jaringan paru terganggu.
Bronkhokonstriksi setempat yang terjadi bukan saja akibat berkurangnya
aliran darah tetapi juga karena berkurangnya bagian aktif permukaan
jaringan paru dan terjadi pula pengeluaran histamine dan 5 hidroksi
isoptamin yang dapat membuat vasokonstriksi dan bronkhokonstriksi
berambah berat. Alveoli diventilasi tetapi tidak mengalami perfusi, sehingga
menghasilkan area ventilasi tak efektif, yang meningkatkan ruang mati
pernafasan Akibatnya terjadi kenaikan dead space dan reaksi kardiovaskuler
berupa penurunan aliran darah ke paru dan meningkatnya tekanan arteri
pulmonalis, dilatasi atrium, dan ventrikel kanan, serta menurunnya curah
jantung dan kemudian dapat terjadi infark paru (Muttaqin, 2008).
Konsekuensi hemodinamik adalah peningkatan tahanan vaskular paru
akibat penurunan ukuran jaring-jaring vaskular pulmonal, mengakibatkan
peningkatan tekanan arteri pulmonal, dan pada akhirnya meningkatkan kerja
ventrikel kanan untuk mempertahankan aliran darah pulmonal. Jika
kebutuhan kerja ventrikel kanan melebihi kapasitasnya akan terjadi gagal
ventrikel kanan yang mengarah pada penurunan tekanan darah sistemik dan
terjadinya syok (Muttaqin, 2008).
Kejadian hipoksemia menstimulasi saraf-saraf simpatik yang
mengakibatkan vasokonstriksi di pembuluh-pembuluh darah sistemik,
meningkatkan vena balik dan strok volume. Pada emboli yang masih masif,
kardiak output biasanya berkurang akan tetapi terus-menerus meningkat
tekanan pada atrium kanannya. Peningkatan resistensi pembuluh darah
pulmonal menghalangi aliran darah ventrikel kanan sehingga mengurangi
beban dari ventrikel kiri. Sekitar 25% hingga 30% oklusi dari vaskular oleh
emboli berhubungan dengan peningkatan tekanan di arteri pulmonalis.
Dengan keadaan lebih lanjut seperti obstruksi pembuluh darah, hipoksemia
yang memburuk, stimulasi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan arteri
pulmonalis. Lebih dari 50% obstruksi yang terdapat pada arteri pulmonalis
biasanya muncul sebelum terdapat peningkatan yang besar dari tekanan
arteri pulmonalis. Ketika obstruksi yang terdapat pada sirkulasi arteri
pulmonalis makin membesar, ventrikel kanan harus menghasilkan tekanan
sistolik lebih dari 50 mmHg dan rata-rata tekanan arteri pulmonalis lebih
dari 40 mmHg untuk mempertahankan perfusi pulmonal. Pasien dengan
penyakit kardiopulmonal sering terjadi kerusakan substansial pada kardiak
outputnya dibandingkan dengan orang dengan kondisi tubuh yang normal.
E. Manifestasi Klinis
1. Tanda-tanda yang muncul pada pasien dengan emboli paru adalah :
a. Dispnea
b. Nyeri dada pleuritik
c. Batuk
d. Hemoptisis
e. Kecemasan
2. Gejala yang muncul pada pasien dengan emboli paru adalah :
a. Takipnea
b. Crackles
c. Takikardia
d. Bunyi jantung S3. Bunyi S3 adalah suara ketiga saat jantung
berkontraksi. Pada orang dewasa merupakan sesuatu yang
abnormal dan sering kali mengindikasikan adanya kelainan
jantung. Terdengar pada apeks jantung, dan sering disebut
ventricular gallop. Jika tidak ada bunyi S3 bisa jadi ada bunyi S4
e. Keringat berlebih
f. Demam (Somantri, 2007).
F. Pathway

Statis vena
Kerusakan pembuluh
darah
Hiperkoaguabilitas

Pembentukan trombus

Terlepasnya trombus
(sebagian atau seluruh)

Sumbatan dari sebagian dari


sirkulasi pulmonal

Hipoksik vasokonstriksi
Penurunan surfaktan
Pelepasan substansi
neurohumoral
Edema pulmonal
Ateleksia

Takipnea
Dispnea
Nyeri dada
Peningkatan ruang rugi
Ketidakseimbangan V/Q
Penurunan PaCO
Penurunan PaO
G. Penatalaksanaan
1. Tirah baring
2. Terapi oksigen
Terapi oksigen sangat penting untung pasien dengan emboli
paru. Pada keadaan hipoksemia berat mungkin dilakukan pemberian
ventilator mekanis dengan pemeriksaan analisis gas darah secara
ketat. Pada beberapa kasus lain, oksigen dapat diberikan melalui nasal
kanula, kateter, atau masker. Pulse oximetry mungkin berguna dalam
memonitor saturasi oksigen arteri, yang mana dapat menunjukkan
tingkat dari hipoksemia.
3. Analgesik
4. Farmakoterapi:
a. Agen trombolitik seperti steptokinase (Kabikinase, Streptase),
alteplase (Activase t-PA), atau urokinase (Abbokinase)
b. Antikoagulan seperti heparin, dikumoral atau warfarin natrium.
5. Pembedahan
Embolektomi paru mungkin didindikasikan dalam kondisi jika
klien mengalami hipotensi persisten, syok, dan gawat napas, jika
tekanan arteri pulmonal sangat tinggi, dan jika angiogram
menunjukkan obstruksi bagian besar pembuluh darah paru.
Embolektomi pulmonal membutuhkan torakotomi dengan teknik
bypass jantung paru (Muttaqin, 2008).
H. Algoritm
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN EMBOLISME PARU

A. Pengkajian
1. Riwayat adanya faktor risiko seperti kondisi-kondisi yang mengarah
kepada :
a. Hiperkoagulabilitas darah, contoh, polisitemia, dehidrasi, kanker,
penggunaan kontrasepsi oral dan anemia sel sabit.
b. Cedera pada endotelium veba, contoh, fraktur tulang panjang,
penyalahgunaan obat IV, bedah ortopedik, pungsi vena kaki,
pemasangan CVP atau kateter intraatrial (kateter inu merupakan
sumber primer terjadinya emboli udara) dan operasi yang baru
dilaksanakan.
c. Aliran vena statis, contoh, imobilisasi, luka bakar luas, varises
vena, tromboplebitis vena dalam gagal jantung, fibrilasi atrium, dan
kegemukan.

2. Pemeriksaan fisik berfokus pada pengkajian sistem pernafasan (Apendiks


A) dan sistem kardiovaskuler (Apendiks G) dapat menujukkan :
a. Nyeri dada yang berat pada saat inspirasi, kulit yang lembab hangat
atau lembab dingin tergantung derajat dari hipoksemia.
b. Terjadi sesak nafas yang tiba-tiba disertai dengan takipnea.
c. Takikardi (frekuensi nadi lebih dari 100 kali / menit).
d. Demam ringan
e. Tekanan darah turun lebih dari normal
f. Rales, ronki pada kasus emboli paru yang luas
g. Batuk produktif disertai bercak darah, atau sputum kemerahan atau
batuk tidak produktif
h. Sianosis (jika terjadi penyumbatan total pada arteri pulmonal)
i. Distensi vena jugularis pada saat posisi duduk
j. Petekie di dada, aksila atau di konjungtuva (akibat emboli lemak)
k. Selain itu pasien sering tampak pucat, diaforesis, ketakutan,
gelisah, peka, atau kekacauan mental.

3. Pemeriksaan diagnostik
a. JDL menunjukkan lekositosis
b. Gas darah arteri (GDA) menunjukkan hipoksemia (PaO 2 kurang
dari 80 mmHg) dan alkalosis respiratori (PaO2 k,urang dari 35
mmHg dan pH lebih tinggi dari 7,45). Alkalosis respiratori dapat
disebabkan oleh hiperventilasi.
c. Waktu protrombin (PT) dan waktu tromboplastin parsial (PTT),
mungkin rendah jika terjadi pembekuan darah dan mungkin normal
jika disebabkan oleh emboli udara atau emboli lemak
d. Enzim-enzim jantung (CPK, LDH, AST) harus dilaksanakan untuk
mencegah terjadinya infark miokard
e. Skaning paru-paru (skaning ventilasi dan perfusi) untuk
mengetahui area yang mengalami hipoperfusi
f. Angiogram paru-paru memberikan gambaran yang paling tajam
dari kejadian emboli paru. Walaupun dilakukannya tidak rutin,
angiogram pulmonal dapat dilaksanakan jika pemeriksaan radiologi
lainnya tidak dapat membuktikan suatu kesimpukan dan bila
direncanakan suatu tindakan divena kava. Tindakan ini
dilaksanakan sama seperti melaksanakan kateter jantung kanan.
4. Kaji respons emosional terhadap kondisi tersebut.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi trakeo bronkhial
oleh bekuan darah, sekret banyak, perdarahan aktif.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah
ke alveoli atau sebagian besar paru-paru.
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penghentian aliran darah
arteri atau vena.
C. Intervensi

Diagnosa
No NOC Intervensi Rasional
Keperawatan
1 Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan  Kaji frekuensi, kedalaman  Kecepatan biasanya meningkat. Dipsneu yang
efektif b.d keperawatan selama ... x24 pernafasan dan ekspansi dada. terjadi peningkatan kerja nafas (pada awal atau
obstruksi trakeo jam, pola nafas tidak  Auskultasi suara nafas dan hanya tanda EP subakut). Kedalaman pernafasan
bronkhial oleh efektif dapat teratasi catat adanya bunyi nafas bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
bekuan darah, dengan kriteria hasil : adventisius seperti, krekels, Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan
sekret banyak, a. Mendemonstrasika mengi, gesekan pleural. atelektasis dan atau nyeri dada pleuritik.
perdarahan aktif. batuk efektif dan suara  Posisikan pasien untuk  Bunyi nafas menurun atau tidak ada bila jalan
nafas yang bersih, tidak memaksimalkan ventilasi nafas obstruksi sekunder terhadap perdarahan,
ada sianosis dan bekuan atau kolaps jalan nafas kecil (atelektasis).
dipsneu Ronki dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas
b. Menunjukkan jalan atau kegagalan pernafasan.
nafas yang paten  Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan
(frekuensi pernafasan memudahkan pernafasan.
dalam batass normal  Pengubahan posisi dan ambulasi meningkatkan
dan tidak ada suara pengisian udara segmen paru berbeda sehingga
nafas abnormal memperbaiki difusi gas.
c. TTV dalam batas
normal
2 Kerusakan Setelah dilakukan tindakan  Catat frekuensi dan kedalaman  Takipneu dan dispneu menyertai obsruksi paru.
pertukaran gas keperawatan selama...x24 pernapasan, penggunaan obat  Area yang tidak terventilasai dapat diidentifikasi
berhubungan jam, kerusakan pertukaran bantu, nafas bibir. dengan tidak adnaya bunyi nafas. Krekels terjadi
dengan gas dapat teratasi dengan  Auskultasi suara nafas, catat pada jaringan yang terisi cairan atau dapat
perubahan aliran kriteria hasil : adanya penurunan atau tidak menunjukkan dekompensasi jantung.
darah ke alveoli a. Menunjukkan adanya bunyi nafas, dan  Menunjukkan hipoksemia sistemik.
atau sebagian peningkatan ventilasi adanya bunyi tambahan  Jalan nafas yang kolap menurunkan jumlah
besar paru-paru dan oksigenasi yang  Observasi sianosis khususnya alveoli yang berfungsi, sehingga akan
adekuat pada membaran mukosa mempengaruhi pertukaran gas.
b. AGD dalam batas  Lakukan tindakan untuk
normal memperbaiki atau
c. Tanda-tanda vital mempertahankan jalan nafas,
dalam rentang normal. misalnya dengan batuk efektif
atau sucsion
3 Gangguan Setelah dilakukan tindakan  Auskultasi suara jantung dan  Takikardi sebagai akibat hipoksemia dan
perfusi jaringan keperawatan selama...x24 paru. kompensasi upaya peningkatan aliran darah dan
b.d penghentian jam, ketidakefektifan  Observasi warna dan suhu perfusi jaringan.
aliran darah perfusi jaringan kardio kulit atau suhu kulit atau  Kulit pucat atau sianosis, kuku, membran bibir
arteri atau vena pulmonal teratasi dengan membran mukosa. atau lidah, atau dingin, kulit burik menunjukkan
kriteria hasil :  Evaluasi ekstremitas untuk vasokonstriksi perifer (syok) dan atau gangguan
a. Nadi perifer kuat dan adanya/tidak ada atau kulitas aliran darah sistemik.
simetris nadi. Catat nyeri tekan betis  EP sering dicetuskan oleh trombus yang naik dari
b. Denyut jantung, atau pembengkakan. vena profunda (pelvis atau kaki).
AGDdalam batas
normal
c. Nyeri dada tidak ada
DAFTAR PUSTAKA

Alomedika.com
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.
https://www.alodokter.com/emboli-paru
Lesmana, Vivi Putri. 2010. Emboli Paru. Bagian Penyakit Dalam RS Mitra
Kemayoran Jakarta. CDK edisi 180 September-Oktober 2010.
Lubis, Bastian, et al. "Peran Angiografi Pada Emboli Paru." JAI (Jurnal
Anestesiologi Indonesia) 10.1: 16-21
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.
Somantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai