Anda di halaman 1dari 7

Tragedi Tanjung Priok 1984 Versi Pemerintah

Pemerintahan Soeharto banyak diwarnai peristiwa-peristiwa yang memakan korban jiwa,


terutama mengarah terhadap umat Islam. Ini tentu tidak lepas dari “pesan” dan intervensi asing
tentang apa yang disebut “politik menekan Islam”.
Kasus Tanjung Priok ini menjadi hal yang menarik. Karena tidak ada pernyataan tentang cita-cita
Negara Islam yang disampaikan dalam ceramah-ceramah di Tanjung Priok. Yang disampaikan
oleh para mubaligh di sana hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua kata menyentil
kebijakan penguasa.
Mereka mengecam kebijakan pemerintah yang dirasa menyudutkan umat Islam. Diantaranya
adalah larangan memakai jilbab dan penerapan asas tunggal Pancasila, serta masalah
kesenjangan sosial antara pribumi dengan non-pribumi.
Dalam bukunya Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Data dan Fakta
(PSPI, 1998 : 26) dijelaskan bahwa proses terjadinya tragedi Priok pada hari Senin, 10
September 1984 ketika seorang petugas yang sedang menjalankan tugasnya di daerah Koja,
dihadang dan kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang.

Petugas keamanan berhasil menyelamatkan diri, tetapi sepeda motornya dibakar oleh para
penghadang. Aparat keamanan pun menangkap empat orang pelakunya untuk keperluan
pengusutan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Untuk mengetahui nasib
keempat orang yang ditahan, masyarakat sepakat bergerak ke kantor Kodim. Tetapi permintaan
mereka ditolak.
Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 12 September 1984. Pada saat itu, di Masjid Rawabadak
berlangsung ceramah agama tanpa izin dan bersifat menghasut. Penceramahnya antara lain Amir
Biki, Syarifin Maloko, M. Nasir, tidak pernah diketahui keberadaannya setelah peristiwa malam
itu. Kemudian, aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang berisi ancaman
pembunuhan dan perusakan apabila keempat tahanan tidak dibebaskan.

Setelah itu, sekitar 1500 orang menuju Polres dan Kodim. Hal ini senada dengan apa yang
dijelaskan dalam buku Perjalanan Sang Jenderal Besar Soeharto 1921-2008 (Santosa, 2008:170)
yang menjelaskan bahwa Amir Biki yang memimpin massa menuju Kodim untuk menuntut
pembebasan mereka yang ditahan.
Ia juga berpesan agar selama perjalanan, massa jangan membuat anarkis. Tapi kegiatan ini tidak
diikuti oleh para mubaligh karena mereka sudah diingatkan agar tidak keluar dari pusat
pengajian.
Sampai di depan Polres Jakarta Utara massa dihadang aparat bersenjata. Jarak antara massa
dengan aparat sangat dekat, kira-kira lima meter. Tidak ada dialog antara Amir Biki dengan
aparat. Lima belas orang petugas keamanan menghambat kerumunan atau gerakan massa
tersebut.
Regu keamanan berusaha membubarkan massa dengan secara persuasif, namun dijawab dengan
teriakan-teriakan yang membangkitkan emosi dan keberingasan massa. Massa terus maju
mendesak satuan keamanan sambil mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan celurit.
Tak berapa lama ada komando untuk mundur. Pasukan terlihat mundur kira-kira 10 meter. Lalu
ada komando “tembak”. Dalam jarak yang sudah membahayakan, regu keamanan mulai
memberikan tembakan peringatan dan tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke tanah dan kaki
penyerang, korban pun tidak dapat dihindari.
Setelah datang pasukan keamanan lainnya, barulah massa mundur, tetapi mereka membakar
mobil, merusak beberapa rumah, dan apotek.

Sekitar tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali petugas keamanan, sehingga
petugas keamanan dalam kondisi kritis dan terpaksa melakukan penembakan-penembakan untuk
mencegah usaha perusuh merebut senjata dan serangan-serangan dengan celurit dan senjata
tajam lainnya. Terjadilah tragedi pembantaian itu.
Aparat yang bersenjata itu menghujani tembakan terhadap ribuan massa dengan leluasa.
Teriakan minta tolong tidak dihiraukan. Mereka yang berada di barisan depan bertumbangan
bersimbah darah. Yang masih selamat melarikan diri. Ada juga yang tiarap, menghindari
sasaran-sasaran peluru. Beberapa truk datang untuk mengangkut tubuh-tubuh korban dan
menguburkannya di suatu tempat.

Proses Hukum
Tri Sutrisno (kiri) dan LB Moerdani (kedua dari kiri).
Hingga hari ini tak ada keadilan yang diberikan bagi korban yang dulunya ditembaki, ditangkap
semena-mena, ditahan secara sewenang-wenang, disiksa, dihilangkan, distigma dan harta
bendanya dirampas serta hak atas pekerjaan dan pendidikannya dirampas.
Masih terang diingatan korban, bagaimana pada tahun 2006 Mahkamah Agung memperagakan
parade pembebasan hukum (Impunitas secara De Jure) terhadap sejumlah nama yang seharusnya
bertanggung jawab; Sriyanto, Pranowo, Sutrisno Mascung dan RA. Butar-Butar.
Kegagalan Peradilan HAM untuk menghukum sesungguhnya telah tergambar dari buruknya
kinerja Penuntut Umum.
Selain menghapus nama (Alm.) LB Moerdani dan Try Sutrisno dalam proses penyidikan,
Kejaksaan Agung justru membuktikan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) pada kasus
Tanjung Priok dengan sistem pidana umum (Ordinary Crime) yang berbasis pada
KUHAP.Kegagalan lain diakibatkan oleh persoalan politik bahwa tidak adanya jaminan dari
otoritas negara dalam mendukung administratif atas kerja Pengadilan HAM atas kasus Tanjung
Priok. Selain itu Pemerintah tidak menyiapkan sistem perlindungan saksi yang memadai.
Sementara, di pengadilan, Hakim membiarkan upaya sogok-menyogok terjadi antara pelaku
dengan sejumlah saksi untuk mencabut kesaksian.

Try Sutrisno (kiri) dan LB Moerdani (kanan)


Pengadilan HAM bukan hanya gagal memberikan kepastian hukum berupa penghukuman
terhadap para pelaku dalam kasus Tanjung Priok, Pengadilan Juga gagal memberikan kebenaran
yang sejati atas kasus Tanjung Priok serta gagal menjamin kepastian reparasi (Perbaikan) atas
penderitaan dan kerugian para korban Kasus Tanjung Priok 1984.

Banyak diantara para korban yang masih mempertanyakan keberadaan keluarganya yang masih
hilang. Banyak diantara para korban yang sampai hari ini harus menanggung biaya pengobatan
akibat atau efek dari kekerasan yang dialami pada 12 September 1984 atau kekerasan-kekerasan
berikutnya.
Banyak diantara para korban yang harus kehilangan tempat usaha atau pekerjaannya akibat
dirampas atau distigmatisasi sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan.Demikian pula para
korban yang masih anak-anak, tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Atau anak-anak korban yang
kehilangan ayah atau kakaknya yang diharapkan menjadi penopang ekonomi.

Usaha pun tetap dilakukan oleh para korban lewat Pengadilan Negeri pada 28 Februari 2007
menuntut Pemerintah mengeluarkan dana kompensasi bagi korban. Namun, lagi-lagi, Hakim
tunggal Martini Marjan menolak mentah-mentah permohonan Penetapan Kompensasi para
korban dengan alasan tidak ada pelanggaran berat HAM dalam kasus Tanjung Priok 1984.
Jelas bahwa Hakim tunggal Martini Marjan Menegasikan fakta, penderitaan dan kerugian yang
telah dihadirkan dalam persidangan Penetapan di PN Jakarta Pusat.

Sampai saat ini Mahkamah Agung belum memutuskan kasasi yang telah diajukan sejak 5 Maret
2007.
Dewi Wardah isteri Amir Biki, setia untuk tetap memperjuangkan keadilan terhadap kasus
terbunuhnya sang suami, Amir Biki.
Pada tahun 1984 itu, jelas korban telah dikorbankan oleh kebijakan anti kritik Soeharto dan
brutalitas aparat keamanan. Pada era transisi politik, setelah belas… bahkan puluhan tahun upaya
koreksi pun tetap didominasi oleh pelaku. Tidak ada yang dihukum, tidak ada perbaikan kondisi
korban bahkan tidak diakui adanya pelanggaran berat HAM.

Masyarakat terus dikorbankan dari perilaku kekerasan, menjadi korban sistem peradilan yang
tidak adil dan jujur. Transisi politik tidak digunakan untuk mengambil pelajaran dari kegagalan
dimasa lalu, sebagaimana yang terjadi pada kasus Tanjung Priok.
Akan tetapi keluarga korban tidak pernah lupa dan akan tetap menuntut pertanggung jawaban
pemerintah atas keadilan, kebenaran, maupun reparasi.

Penembakan Misterius 1982-1985 Dianggap


Kejahatan Luar Biasa
Liputan6.com, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan,
penembakan misterius di sejumlah wilayah di Indonesia pada 1982-1985 merupakan pelanggaran
HAM berat dan kejahatan luar biasa. Sebab, peristiwa itu memakan korban hingga ribuan orang.

Demikian disampaikan Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa
Penembakan Misterius 1982-1985, Yosep Adi Prasetyo dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta,
Selasa (24/7). Menurut Yosep, hal ini berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM sejak Juli
2008 hingga 31 Agustus 2011.

"Tindakan pembersihan ini dilakukan tanpa melalui proses hukum yang sah, sehingga tidak satu
pun eksekusi yang telah dilakukan (mengakibatkan hilangnya nyawa dan cacat) berdasarkan
keputusan pengadilan," ujar Yosep.

Pria yang akrab disapa Stanley ini mengatakan, adanya bukti dan fakta pelanggaran HAM berat
dalam peristiwa ini terlihat dari tindakan yang dilakukan sekelompok orang. Mereka diduga
mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang diberikan penguasa Orde Baru untuk melakukan
kejahatan manusia dengan alasan menjaga keamanan dan kesatuan NKRI.

Tim ini juga, imbuh Stanley, menemukan kejahatan manusia itu dilakukan oleh sekelompok
orang yang merupakan bagian dari aparat keamanan negara, baik TNI maupun Polri, dengan
melakukan penangkapan, penahanan, bahkan warga sipil ditemukan tewas, cacat, dan hilang.

Peristiwa ini, masih menurut Stanley, terjadi hampir di seluruh Jawa dan Sumatra, yakni
Yogyakarta, Bantul, Solo, Semarang, Magelang, Malang, Bogor, Mojokerto, Jakarta, Palembang
dan Medan. Yang menjadi korban penembakan misterius ialah orang yang ditengarai bermasalah
dengan hukum. Atau dianggap meresahkan masyarakat seperti preman, residivis, copet, dan
lainnya, yang bercirikan memiliki tato.

"Bahkan, ada orang yang tidak bersentuhan dengan hukum juga menjadi korban salah sasaran.
Seperti petani, penjaga masjid, dan pegawai negeri sipil (PNS) karena memiliki nama yang sama
dengan daftar target operasi. Yang memiliki daftar target adalah militer," ujarnya.

Dari hasil penyelidikan tim, lanjut Stanley, juga disimpulkan pelaku yang diduga terlibat antara
lain TNI (koramil, kodim, kodam/laksusda), polisi (polsek, polres dan polda), Garnisun
(gabungan TNI dan polisi), dan pejabat sipil (ketua RT, ketua RW dan lurah).

Stanley mengaskan, pelaku bertindak dalam konteks melaksanakan perintah jabatan di bawah
koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkobkamtib) di bawah
komando dan pengendalian Presiden Soeharto.

Untuk diketahui, Tim Ad Hoc Komnas HAM telah melakukan pemanggilan dan pemeriksaan
saksi sebanyak 115 orang. Di antaranya 95 saksi, 14 saksi korban, dua saksi aparat sipil, dau
saksi purnawirawan TNI dan dau saksi purnawirawan Polri.(ALI/ANS)
Menyingkap Rahasia Pembantaian Massal 1965-1966

Korban pembantaian massal 1965-1966


mencapai angka jutaan lebih.

Saat laporan tim berlangsung, Hanafi yang merangkap jabatan Menteri Petera sedang bersama
Soekarno. Dia menegaskan, laporan tim belum final. Sebab, tim baru tiga bulan bekerja, sejak
Oktober-Desember 1965.
Sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kuba yang diminta mengikuti Konfrensi Asia-Afrika-
Amerika Latin, pada 1 Januari 1966, dirinya tidak bisa menerima angka itu. Dia lalu
mengusulkan angka 78.000 jiwa.

"Kasihkan saja jumlah 78.000 orang akibat Gestapu," kata Hanafi, dalam bukunya, halaman 113.
Usul Hanafi itu langsung disetujui Presiden Soekarno, yang dilanjutkan dengan perintah segera
disebar ke media.
"Silakan Menteri Oei temui wartawan-wartawan itu dan berikan jumlah 78.000 itu saja. Bilang
juga, Presiden tidak bisa menjumpai wartawan, karena sibuk sekali," sambung Soekarno, masih
di halaman yang sama.
Berdasarkan kesepakatan politis itu lah, hingga kini total korban tewas dalam peristiwa
pembunuhan massal tercatat 78.000 jiwa. Padahal, jumlah korban yang sebenarnya mencapai
satu juta jiwa lebih.

Setelah tiga bulan penelitian itu, aksi pembunuhan massal terhadap anggota, dan simpatisan PKI
masih terus dilakukan di daerah. Bahkan tak terkendali lagi. Korban tewas pun semakin banyak
berjatuhan.
Dalam pidatonya, pada 18 Desember 1966, dengan getir Soekarno menggambarkan kekejaman
pembunuhan massal tersebut.
"Jenazah-jenazah Pemuda Rakyat, BTI, dan orang-orang PKI, atau para simpatisan PKI yang
disembelih, dibiarkan saja di pinggir jalan, di bawah pohon, dan dihancurkan. Tidak ada yang
mengurusnya," katanya.
Operasi pembunuhan massal, pertama dilakukan di Jawa Tengah, yang saat itu menjadi basis
massa PKI. Menyusul kemudian Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
dan daerah lainnya.

Pembunuhan oleh tentara di Jawa Tengah, tertulis dalam "Memorandum Intelijen CIA,
Indonesian Army Attitudes Toward Cummunism". Dalam dokumen itu disebut, tentara
menembaki anggota, dan simpatisan PKI.
"Anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan dan ditawan oleh tentara. Di Jawa Tengah, pengikut
PKI dilaporkan ditembak di tempat. Tentara sangat mempertaruhkan prestise dan masa depan
politiknya," tulisnya.
Selain melakukan pembunuhan-pembunuhan secara langsung, tentara juga menggerakan, dan
mengkoordinir kelompok sipil untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap anggota
dan simpatisan PKI.
Namun, keterlibatan tentara secara langsung dalam tragedi itu dibantah oleh Soeharto. Dalam
pidatonya tahun 1971, Soeharto mengatakan, aksi pembunuhan massal itu dilakukan massa
rakyat secara sporadis.

"Ribuan rakyat jatuh di daerah-daerah, karena rakyat bertindak sendiri-sendiri. Juga karena
prasangka buruk antar golongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktik politik
yang sempit," jelasnya.Sebaliknya, John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal,
Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto menyatakan, rakyat yang melakukan pembunuhan
massal tersebut sudah dilatih tentara.
"Orang-orang sipil yang terlibat dalam pembunuhan, apakah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
dan daerah lainnya, pada umumnya anggota milisi yang sudah dilatih oleh militer," ungkapnya,
pada halaman 37.
Para rakyat ini, mendapatkan senjata, kendaraan, dan jaminan kebal terhadap hukum. Dengan
demikian, orang-orang sipil itu bukan sekedar orang-orang biasa yang bertindak sendiri, seperti
kata Soeharto.

Dalam kasus Indonesia, pola demikian bukan hal baru. Jauh setelah itu, pola ini kembali
dilakukan terhadap Timor Leste tahun 1999. Milisi-milisi tentara bergerak, melakukan
pembunuhan terhadap ratusan orang.
Aksi jagal-jagal terhadap anggota, dan simpatisan PKI mulai mereda saat akan dilangsungkannya
Pemilihan Umum (Pemilu) 1971. Setelah pemilu usai, pemerintah Orde Baru melakukan kontrol
yang ketat.
Berbagai penulisan dan penelitian tentang Gestapu, mulai dilarang. Pengendalian wacana secara
kolektif pun mulai dilakukan. Baru setelah Reformasi 1998, wacana peristiwa nahas itu kembali
dibuka.

Peristiwa pembunuhan massal 1965-1966 pun menjadi lembaran kelam sejarah panjang
Indonesia yang telah dilupakan.

Anda mungkin juga menyukai