Anda di halaman 1dari 6

INTERNASIONAL BISNIS PADA MASA COVID 19

hanya dalam tiga bulan, pandemi virus Covid-19 telah berdampak luas ke banyak negara. Tak
hanya menginfeksi hingga jutaan orang, pandemi menyebabkan manusia dan barang tak lagi
bebas lalu lalang mengelilingi dunia. Riuh globalisasi dan perdagangan bebas, yang selama ini
memompa ekonomi dunia, seketika senyap. Rantai pasok global pun kacau, yang dapat
mengganggu produksi dan konsumsi masyarakat

Mengacu data Passport Index yang diperbarui per 8 Januari 2020. ada 85 negara di dunia yang
membebaskan visa kunjungan bagi wisatawan Indonesia. Sekarang, jangankan berpikir soal
visa, banyak rute penerbangan internasional hilang akibat virus yang menjalar cepat ke seantero
negara tersebut

Pandemi Covid-19 memang merusak tatanan globalisasi. Arab Saudi menutup pintu bagi jamaah
umroh sejak 27 Februari lalu. Olimpiade Tokyo 2020 ditunda hingga tahun depan. Pertemuan
para Kepala Negara G20 untuk pertama kalinya harus berlangsung secara virtual. Tak terhitung
banyaknya ajang internasional yang diundur atau dibatalkan karena keganasan virus corona.
“Wabah virus corona tak hanya mengguncang Wuhan, tetapi juga dunia. Kita bisa merasakan
kepanikan melanda dunia saat ini,” kata mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, 20 Maret lalu.

Terbatasnya Pergerakan Manusia Virus corona telah menjangkiti lebih dari 1,2 juta jiwa dan
membunuh lebih 70.000 orang. Pertama kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok pada akhir 2019
lalu, virus corona kini telah menyebar ke 208 negara. Untuk mencegah penularan Covid-19,
berbagai negara kemudian memberlakukan karantina dalam berbagai wujud dan tingkatan. Di
Asia Pasifik, negara-negara seperti Tiongkok, India, Singapura, Taiwan, Vietnam, Selandia Baru
dan Australia melarang kedatangan warga asing.

Kebijakan untuk mengunci perbatasan bagi penumpang umumnya diambil hanya dengan
mempertimbangkan kepentingan dalam negeri, tanpa koordinasi dengan negara tetangga. "Tanpa
koordiansi antarnegara untuk memutuskan kapan pembatasan itu berakhir, dampak ekonomi dari
virus ini akan berlangsung cukup lama,” kata Julien Chaisse, Profesor Hubungan Internasional di
City University of Hong Kong, dikutip Nikkei. Pekerja migran pun menjadi korban dari sulitnya
melintasi perbatasan di masa pandemi. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan,
sekitar 33 juta pekerja migran di kawasan Asia dan Pasifik terkena dampaknya. Di pihak lain,
dana remitansi menjadi kontributor yang cukup signifikan bagi beberapa negara di kawasan ini.
Berdasarkan data remitansi tenaga kerja Indonesia (TKI) oleh Bank Indonesia, nilai yang tercatat
pada 2019 adalah sebesar US$11,435 miliar.

Dengan semakin berkurangnya penumpang lintas negara, maskapai-maskapai internasional pun


memangkas rute penerbangannya. Maskapai asal Hong Kong, Cathay Pacific menyunat 40%
jadwal penerbangannya. Sebanyak 33 ribu karyawan harus cuti tanpa dibayar hingga Juni 2020,
dengan kemungkinan diperpanjang. Maskapai nasional Jerman, Lufthansa pun melaporkan
pemangkasan 50% rute. Seperti Cathay Pacific, Lufthansa berupaya menghindari Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) dengan kebijakan cuti tanpa gaji.

Di Tanah Air, AirAsia Indonesia telah menutup semua rute domestik hingga Juni 2020. Di luar
itu, maskapai lain pun harus terbang dengan penumpang yang terbatas. Jalanan sepi dan
pertokoan yang tutup menjadi pemandangan lazim di kota-kota metropolitan dunia. Nikkei
mengestimasi, sepertiga populasi bumi terdampak karantina akibat virus corona. Dengan seruan
untuk tinggal di rumah, pariwisata global praktis lumpuh. World Travel and Tourism Council
(WTTC) memperkirakan, sektor pariwisata akan mengalami penyusutan hingga 25% akibat
pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Kondisi itu juga berarti sekitar 50 juta orang akan
kehilangan pekerjaan mereka di sektor jasa tourism tersebut. "Wabah ini menghadirkan ancaman
serius terhadap industri pariwisata,” kata Direktur WTTC Gloria Guevara, dikutip BBC. Di
Indonesia saja, sebanyak 1.174 hotel dan 286 restoran tutup per 1 April 2020. Akibatnya, ribuan
karyawan mereka terpaksa dirumahkan. “Sektor-sektor bisnis yang membutuhkan kehadiran
menjadi korban Covid-19,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Hariyadi
Sukamdani.

SELURUH dunia tengah 'berperang' melawan epidemi virus korona. Masing-masing


menyiapkan berbagai langkah antisipasi guna meminimalkan daya rusak covid-19 ini. Wabah
virus korona yang telah mengganggu berbagai aktivitas menciptakan peningkatan risiko pada
ekonomi global. Optimisme ekonomi dunia itu bisa tumbuh ke 3,3% pada 2020 hampir
dipastikan tidak akan tercapai.
Ada tekanan besar menyusul gangguan pada perekonomian Tiongkok sejak outbreaks
coronavirus dari Provinsi Wuhan. Saat ini, virus itu telah menyebar ke lebih 100 negara. Banyak
kegiatan ekonomi, industri, dan retail terhenti atau berkurang drastis.

Beberapa perusahaan besar mengurangi kegiatan bisnis secara signifikan. Pasokan pada beberapa
industri besar di negara-negara lain terhambat. Banyak UMKM dengan kontrak bisnis jangka
pendek mengalami tekanan.

Apa yang terjadi dengan Tiongkok akan menjadi perhatian global karena posisinya sebagai
perekonomian terbesar kedua di dunia. Ukuran ekonomi negara ini telah mencapai US$13,6
triliun. Dengan ukuran sebesar itu, Tiongkok berkontribusi pada 17% PDB dunia. China
merupakan eksportir intermediate goods terbesar di dunia.

Sejumlah pakar memperkirakan wabah virus korona akan berdampak ekonomi lebih besar
daripada wabah SARS. Penyebabnya ialah ekonomi Tiongkok saat ini sudah berada dalam tren
moderasi dan ekonomi Tiongkok sudah lebih terintegrasi dengan global. Apa yang terjadi di
Tiongkok akan dirasakan negara lain.

Di sektor pariwisata, Tiongkok merupakan yang terbesar di dunia. Kunjungan turis dari
Tiongkok secara global mencapai 173 juta orang dengan belanja turisme lebih dari US$250
miliar. Tak hanya itu, banyak sektor ekonomi yang berpotensi terdampak virus korona. Sektor
manufaktur dan perdagangan internasional, sektor jasa lainnya, retail, hiburan, pendidikan, dan
transportasi. Penurunan aliran FDI, peningkatan sentimen pasar keuangan global, dan penurunan
harga komoditas. Berharap mereda.

Bagi Indonesia, wabah covid-19 sudah langsung terasa efeknya di sektor pariwisata. Turis dari
Tiongkok dan negara lain turun drastis. Disrupsi juga terjadi pada sektor perdagangan dan rantai
pasokan karena berkurangnya pasokan dari Tiongkok. Saat ini, 27% impor nonmigas kita dari
Tiongkok dan 16,7% pangsa pasar ekspor Indonesia ke Tiongkok. Angka yang sangat besar.

Penurunan harga komoditas membayangi karena Tiongkok merupakan konsumen komoditas


besar dari Indonesia. Tiongkok merupakan importir kedua terbesar untuk komoditas CPO dan
ketiga terbesar untuk komoditas batu bara.
.

Limpasannya ke Indonesia ialah menurunnya kinerja ekspor, baik barang maupun jasa, kinerja
pertumbuhan ekonomi. Utamanya, sektor-sektor terdampak yakni akomodasi, transportasi, retail,
dan manufaktur defisit neraca transaksi berjalan (CAD),akibat penurunan kinerja perdagangan
barang dan penurunan wisman berpotensi mendorong peningkatan CAD. Dan, penurunan risiko
appetite investor mendorong peralihan investasi pada safe haven, potensi penurunan penerimaan
antara lain dari bea masuk dan PNBP SDA.

Pemerintah berharap tekanan ini bisa mereda di kuartal pertama 2020. Beberapa pengamat dan
analis bahkan khawatir jika epidemi korona melewati triwulan pertama 2020, dampaknya akan
lebih berat bagi perekonomian. Dari sisi pertumbuhan ekonomi sudah pasti tidak akan
menyentuh angka 5%.

Presiden Joko Widodo memerintahkan jajaran kabinet untuk fokus pada mitigasi dampak
pelemahan ekonomi global di tengah wabah virus korona terhadap pertumbuhan dan stabilitas
ekonomi nasional. Kementerian dan lembaga yang terkait diperintahkan menerbitkan sejumlah
kebijakan yang akan menjadi stimulus sekaligus untuk merespons perubahan situasi.

Pemerintah melakukan mitigasi risiko penurunan kinerja pertumbuhan perekonomian domestik


akibat perlambatan ekonomi dan perdagangan global. Penurunan harga komoditas, dan
penurunan volume penerbangan serta pariwisata melalui stimulus pada perekonomian guna
menjaga momentum pertumbuhan.

Pertama, kebijakan fiskal APBN melalui langkah stabilisasi fiskal. Kementerian Keuangan
memberikan respons countercyclical melalui kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran yaitu
percepatan belanja (dana desa, bansos).

Menjaga konsumsi rumah tangga miskin melalui berbagai program yang dapat dilakukan segera,
lebih tepat sasaran, coverage besar, dan berdampak langsung dapat menjadi solusi efektif.
Karena, marginal prospensity to consume (MPC) rumah tangga miskin tinggi, misal program
kartu sembako, kartu prakerja.
Selain itu, kebijakan fiskal dari sisi penerimaan yaitu stimulus untuk sektor terdampak. Menteri
Keuangan juga telah mengumumkan pajak hotel dan restoran dibayari pemerintah dengan DAK
(dana alokasi khusus). Total DAK mencapai Rp3,3 triliun. Itu sebagai kompensasi tutupnya
kunjungan wisman Tiongkok. Ini diharapkan menjadi angin segar meskipun kompensasi
pemerintah ke daerah belum tentu seimbang karena PAD bisa saja lebih besar yang diterima
daerah.

Saat ini, pergerakan penyebaran virus korona begitu cepat bahkan sudah menyebar luas. Untuk
itu, kebijakan fiskal baik dari sisi pengeluaran maupun dari sisi penerimaan akan senantiasa
bergerak untuk menyesuaikan dengan perkembangan dari wabah korona ini.

Kedua, keberpihakan sektor riil dengan mempercepat reformasi struktural guna pengembangan
industri domestik. Pemerintah merespons kebijakan jangka pendek dengan tetap memperhatikan
kebijakan yang bersifat struktural dan berdimensi panjang. Di antaranya, dengan menginisiasi
omnibus law RUU Cipta kerja dan perpajakan.

Kementerian Perdagangan perlu melakukan relaksasi bagi kebijakan impor bahan baku untuk
kebutuhan industri. Penyebaran wabah virus korona telah membuat operasional banyak
perusahaan menjadi terganggu karena kekurangan bahan baku baik impor maupun dalam negeri.
Apabila tak segera direspons dengan baik, pada akhirnya akan membuat sektor produksi turut
terhambat. Hal itu berimplikasi pada meningkatnya harga yang nantinya bakal menaikkan tingkat
inflasi.

Ketiga, kebijakan moneter dan makro prudential melalui kebijakan akomodatif, operasi moneter
mendukung ketersediaan likuiditas, dan menjaga stabilitas nilai tukar dan suku bunga. Bank
Indonesia sudah bergerak cepat dengan mengeluarkan langkah lanjutan penguatan kebijakan
menurunkan suku bunga acuan. OJK juga melakukan pelonggaran bauran kebijakan untuk
membantu sektor-sektor keuangan yang terdampak.

Keempat, Kebijakan sektor keuangan melalui upaya tetap menjaga kepercayaan, menjaga
likuiditas, dan memperkuat ketahanan.
Kita sama-sama berharap dan tetap berfikir positif serta optimistis virus korona ini tidak terlalu
lama. Mitigasi risiko yang dilakukan pemerintah harus diimbangi dengan upaya optimal dalam
mengatasi musuh terbesar masyarakat Indonesia saat ini, yaitu rasa ketakutan dan kepanikan.

Komunikasi pemerintah yang cepat dan tepat perlu dilakukan. Terutama, terkait langkah-langkah
yang diambil untuk menurunkan risiko penyebaran dan percepatan penanganan penderita covid-
19. Serta, menjaga stabilitas harga dan ketersediaan kebutuhan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai