Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Abu Bakar As-Sidiq

Abu Bakar termasuk di antara mereka yang paling awal memeluk Islam.


Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Abu Bakar menjadi khalifahIslam yang pertama pada
tahun 632 hingga tahun 634 M. Lahir dengan nama Abdullah bin Abi Quhafah, ia adalah
satu di antara empat khalifah yang diberi gelar Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang diberi
petunjuk.

Nama lengkap Abu Bakar adalah ‘Abdullah bin ‘Utsman bin Amir bi Amru bin Ka’ab
bin Sa’ad bin Tayyim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Quraisy. Bertemu
nasabnya dengan nabi pada kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai, dan ibu dari abu Bakar
adalah Ummu al-Khair salma binti Shakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim yang berarti
ayah dan ibunya sama-sama dari kabilah Bani Taim.

Abu Bakar adalah ayah dari Aisyah, istri Nabi Muhammad. Nama yang sebenarnya
adalah Abdul Ka’bah (artinya ‘hamba Ka’bah’), yang kemudian diubah oleh Muhammad
menjadi Abdullah (artinya ‘hamba Allah’). Muhammad memberinya gelar Ash-
Shiddiq (artinya ‘yang berkata benar’) setelah Abu Bakar membenarkan peristiwa Isra
Mi’raj yang diceritakan oleh Muhammad kepada para pengikutnya, sehingga ia lebih dikenal
dengan nama “Abu Bakar ash-Shiddiq”.

Abu Bakar ash-Shiddiq dilahirkan di kota Mekah dari keturunan Bani Tamim , sub-


suku bangsa Quraisy. Beberapa sejarawan Islam mencatat ia adalah seorang pedagang,
hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar, serta dipercaya sebagai orang
yang bisa menafsirkan mimpi.

Masa bersama Nabi

Ketika Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, ia pindah dan hidup


bersama Abu Bakar. Saat itu Muhammad menjadi tetangga Abu Bakar. Sejak saat itu
mereka berkenalan satu sama lainnya. Mereka berdua berusia sama, pedagang dan ahli
berdagang.

Memeluk Islam

Dalam kitab Hayatussahabah, bab Dakwah Muhammad kepada perorangan,


dituliskan bahwa Abu bakar masuk Islam setelah diajak oleh nabi.[2]Abubakar
kemudian mendakwahkan ajaran Islam kepada Utsman bin Affan, Thalhah bin
Ubaidillah,Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas dan beberapa tokoh penting dalam
Islam lainnya.

Istrinya Qutaylah binti Abdul Uzza tidak menerimaIslam sebagai agama sehingga


Abu Bakar menceraikannya. Istrinya yang lain, Ummu Ruman, menjadi Muslimah. Juga
semua anaknya kecuali ‘Abd Rahman bin Abu Bakar, sehingga ia dan ‘Abd Rahman
berpisah.
Penyiksaan oleh Quraisy

a. Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia
juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang
mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun,
penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak.
Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para
keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal
ini mendorong Abu Bakar membebaskan para budak tersebut dengan
membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan.
b. Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad pindah ke Madinah (622 M),
Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar juga
terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak
perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat
setelah Hijrah.
c. Selama masa sakit Rasulullah saat menjelang wafat, dikatakan bahwa Abu
Bakar ditunjuk untuk menjadiimam salat menggantikannya, banyak yang
menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar akan menggantikan
posisinya. Bahkan ‘pun setelah Nabi SAW telah meninggal dunia, Abu Bakar
Ash-Shiddiq dianggap sebagai sahabat Nabi yang paling tabah menghadapi
meninggalnya Nabi SAW ini. Segera setelah kematiannya, dilakukan
musyawarah di kalangan para pemuka
kaum Anshar dan Muhajirindi Madinah, yang akhirnya menghasilkan
penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin baru umat Islam ataukhalifah Islam
pada tahun 632 M.
d. Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan.
Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah adalah subyek kontroversial dan
menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam
terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi’ah. Di satu sisi kaum Syi’ah percaya
bahwa seharusnyaAli bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad) yang
menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah sendiri,
sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah menolak untuk
menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Muhammad
mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin. Sementara
muslim syi’ah berpendapat bahwa nabi dalam hal-hal terkecil seperti sebelum
dan sesudah makan, minum, tidur, dan lain-lain, tidak pernah meninggal
umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat
terahir. Banyak hadits yang menjadi Referensi dari kaum Sunni maupun
Syi’ah tentang siapa khalifah sepeninggal rasulullah, serta jumlah pemimpin
Islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat
masing-masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal menyatakan
kesetiaannya (berbai’at) kepada Abu Bakar dan dua khalifah setelahnya
(Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan
pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali menjadi pendukung
setia Abu Bakar dan Umar. Sementara kaum syi’ah menggambarkan bahwa
Ali melakukan baiat tersebut secara pro forma, mengingat ia berbaiat setelah
sepeninggal Fatimah istrinya yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia
menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.
Perang Ridda

a. Segera setelah suksesi Abu Bakar, beberapa masalah yang mengancam


persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa
suku Arab yang berasal dari Hijaz danNejed membangkang kepada khalifah baru
dan sistem yang ada. Beberapa di antaranya menolak membayar zakat walaupun
tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk
agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut
mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad dan
dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu
Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang
Riddah. Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi “Ibnu
Habib al-Hanafi” yang lebih dikenal dengan nama Musailamah al-
Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru
menggantikan Nabi Muhammad. Pasukan Musailamah kemudian dikalahkan
pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid. Sedangkan Musailamah sendiri
terbunuh di tangan Al Wahsyi, seorang mantan budak yang dibebaskan
oleh Hindunistri Abu Sufyan karena telah berhasil membunuhHamzah Singa Allah
dalam Perang Uhud. Al Wahsyi kemudian bertaubat dan memeluk Islam serta
mengakui kesalahannya atas pembunuhan terhadap Hamzah. Al Wahsyi pernah
berkata, “Dahulu aku membunuh seorang yang sangat dicintai Rasulullah
(Hamzah) dan kini aku telah membunuh orang yang sangat dibenci rasulullah
(yaitu nabi palsu Musailamah al-Kazab).”
b. Setelah menstabilkan keadaan internal dan secara penuh menguasai Arab, Abu
Bakar memerintahkan para jenderal Islam melawan kekaisaran Bizantium dan
Kekaisaran Sassanid. Khalid bin Walid menaklukkan Irak dengan mudah
sementara ekspedisi ke Suriah juga meraih sukses.

Pelestatian Qur’an

Abu Bakar juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Qur’an. Dikatakan
bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah al-kadzab
dalam perang Riddah, banyak para penghafal Al Qur’an yang ikut tewas dalam
pertempuran. Umar lantas meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan koleksi dari Al
Qur’an. oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, mulailah
dikumpulkan lembaran-lembaran al-Qur’an dari para penghafal al-Qur’an dan tulisan-
tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain
sebagainya,setelah lengkap penulisan ini maka kemudian disimpan oleh Abu Bakar.
setelah Abu Bakar meninggal maka disimpan oleh Umar bin Khaththab dan kemudian
disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi Muhammad. Kemudian
pada masa pemerintahan Usman bin Affankoleksi ini menjadi dasar penulisan teks al-
Qur’an yang dikenal saat ini.

Wafatnya Abu Bakar As-Sidiq

a. Abu Bakar meninggal pada tanggal 23 Agustus 634 di Madinah karena sakit


yang dideritanya pada usia 61 tahun. Abu Bakar dimakamkan di rumah
putrinya Aisyah di dekat Masjid Nabawi, di samping makam Nabi Muhammad
SAW.
b. Karomah Abu Bakr As-Siddiq Fakhrur Razi, tatkala menafsirkan Surat
AI¬Kahfi banyak menceritakan tentang karomah para sahabat Nabi termasuk
di dalamnya karomah Abu Bakr As-Siddiq. Diceritakan bahwa saat mayat Abu
Bakr dibawa dan mendekati pintu makam Rasulullah, para pengusung
mengucapkan salam, “Assalammu’alaika ya Rasulullah, ini Abu Bakr sedang
di luar pintu”. Tanpa diduga pintu makam langsung terbuka dan terdengar
suara, “Masuklah orang yang dicintai kepada orang yang mencintainya”
Menurut Imam Taj Al-Subki, Abu Bakr memiliki 2 macam keramat. Pertama,
mengetahui penyakit yang dialaminya membawa kematian dan mengetahui
bayi yang ada didalam kandungan isterinya adalah bayi perempuan

KEUTAMAAN ABU BAKAR RADHIYALLAHU ANHU


SECARA KHUSUS

1. Penilaian bahwa beliau Radhiyalllahu anhu adalah orang terbaik


setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
Disebutkan dalam riwayat sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma ,
bahwa beliau Radhiyallahu anhu mengatakan :

ُ ‫ان َرضِ َي هَّللا‬ َ ‫ ُث َّم ع ُْث َم‬W،‫ب‬


َ ‫ان ب َْن َع َّف‬ َ ‫ ُث َّم ُع َم َر ب َْن‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف ُن َخ ِّي ُر أَ َبا َب ْك ٍر‬
ِ ‫الخ َّطا‬ ِ ‫ُك َّنا ُن َخ ِّي ُر َبي َْن ال َّن‬
َ ِّ‫اس فِي َز َم ِن ال َّن ِبي‬
ْ
‫َعن ُه ْم‬

Kami (para sahabat) pernah menilai orang terbaik di zaman Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam , maka kami dapatkan yang terbaik adalah Abu Bakar Radhiyallahu
anhu , kemudian Umar bin Khattâb Radhiyallahu anhu , kemudian Utsmân bin Affân,
mudah-mudahan Allâh meridhai mereka semua”. [HR. al-Bukhâri, no. 3655]

Bahkan penilaian tersebut di sampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thâlib
Radhiyallahu anhu ketika di tanya oleh putranya Muhammad bin al-Hanafiyyah yang
mengatakan :

‫يت أَنْ َيقُو َل‬


ُ ِ‫و َخش‬،ُ ُ ‫قُ ْل‬،‫ أَبُو َب ْك ٍر‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ؟ َقا َل‬
َ ‫ ُث َّم ُع َمر‬: ‫ ُث َّم َمنْ ؟ َقا َل‬:‫ت‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫ت أِل َ ِبي أَيُّ ال َّن‬
ِ ‫اس َخ ْي ٌر َبعْ دَ َرس‬ ُ ‫قُ ْل‬
َ ‫ َما أَ َنا إِاَّل َر ُج ٌل م َِن المُسْ لِم‬:‫ ُث َّم أَ ْنتَ ؟ َقا َل‬:‫ت‬
‫ِين‬ ُ ‫ قُ ْل‬، ُ‫ع ُْث َمان‬.

“Aku bertanya kepada ayahku, siapa orang terbaik setelah Rasûlullâh


Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia menjawab: Abu Bakar, aku pun bertanya
lagi :Kemudian siapa setelah itu? Ia menjawab: Kemudian Umar, maka aku khawatir
ia akan menjawab Utsman setelah itu, aku pun segera memotongnya: kemudian
engkau? Ia menjawab: Aku hanyalah seseorang dari kaum muslimin”. [HR. al-
Bukhâri, no. 3671]

2. Abu Bakar selalu menjadi orang kedua setelah Rasûlullâh


Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada kesempatan-kesempatan khusus
Kisah yang tertera dalam hadits pertama bukan satu-satunya yang
menunjukkan kedekatan beliau Radhiyallahu anhu dengan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan kebersamaan khalifah pertama tersebut
bagaikan sudah menjadi rutinitas yang tidak terpisahkan dari kehidupan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu
mengatakan ketika hadir pada wafatnya Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu
:

َ ِ ‫ت أَسْ َم ُع َرسُو َل هَّللا‬


: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َيقُو ُل‬ ُ ‫ أِل َ ِّني َكثِيرً ا َما ُك ْن‬،‫ْك‬ َ َ‫ت أَل َرْ جُو أَنْ َيجْ َعل‬
َ ‫ك هَّللا ُ َم َع‬
َ ‫صا ِح َبي‬ ُ ‫إِنْ ُك ْن‬
‫ت َوأَبُو َب ْك ٍر َو ُع َم ُر‬ ُ ‫ َوا ْن َطلَ ْق‬،ُ‫ت َوأَبُو َب ْك ٍر َو ُع َمر‬
ُ ‫ َو َف َع ْل‬،ُ‫ت َوأَبُو َب ْك ٍر َو ُع َمر‬ُ ‫ُك ْن‬

Aku sangat berharap Allâh akan mengumpulkanmu bersama dua sahabatmu


(Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar), sungguh sangat
sering aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan,
‘Aku pernah bersama Abu Bakar dan Umar, Aku telah mengerjakan bersama
Abu Bakar dan Umar, Aku telah pergi bersama Abu Bakar dan Umar.” [HR.
al-Bukhâri, no. 3677]

Saat terpenting lagi tergenting adalah kebersamaan beliau Radhiyallahu anhu


ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, hingga
kesempatan ini terukir indah dalam al-Qur’ân dengan menyematkan
kepadanya gelar sahabat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

َ ِ‫َار إِ ْذ َيقُو ُل ل‬
‫صاح ِِب ِه اَل َتحْ َزنْ إِنَّ هَّللا َ َم َع َنا‬ ْ ِ ‫ِين َك َفرُوا َثان َِي ْاث َني‬
ِ ‫ْن إِذ ُه َما فِي ْالغ‬ َ ‫ص َرهُ هَّللا ُ إِ ْذ أَ ْخ َر َج ُه الَّذ‬ ُ ‫إِاَّل َت ْن‬
َ ‫صرُوهُ َف َق ْد َن‬

Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya


Allâh telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah)
mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang
ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya:
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allâh beserta kita. [at-
Taubah/9:40].

Kejadian ini juga diceritakan sendiri oleh Abu Bakar Radhiyallahu


anhu dalam hadits yang shahîh :

‫هللا َل ْو أَنَّ أَ َح َد ُه ْم َن َظ َر إِ َلى‬


ِ ‫ارسُو َل‬ َ ‫ َي‬: ‫ت‬ ُ ‫ َفقُ ْل‬،‫َار‬ َ ‫ت إِلَى أَ ْقدَ ِام ْال ُم ْش ِرك‬
ِ ‫ِين َعلَى رُ ءُوسِ َنا َو َنحْ نُ فِي ْالغ‬ ُ ْ‫َن َظر‬
‫ْن هللاُ َثال ُِث ُه َما‬
‫ي‬
ِ َِ
‫ن‬ ْ
‫اث‬ ‫ب‬ ‫ك‬َ ‫ن‬ُّ َ
‫ظ‬ ‫ا‬ ‫م‬َ ‫ر‬ ٍ ‫ك‬ْ ‫ب‬
َ ‫ا‬‫ب‬َ َ ‫أ‬ ‫ا‬‫ي‬َ : ‫ل‬
َ ‫ا‬‫ق‬َ َ
‫ف‬ ،ِ
‫ه‬ ْ
‫ي‬ ‫م‬
َ َ‫د‬ َ
‫ق‬ َ‫ت‬ ْ‫ح‬ ‫ت‬ َ ‫ا‬ َ
‫ن‬ ‫ر‬َ ‫ص‬
َ ْ
‫ب‬ َ ‫أ‬ ‫ه‬
ِ ْ
‫ي‬ ‫م‬
َ َ‫د‬ َ
‫ق‬

Aku melihat kaki-kaki kaum musyrikin berada di atas kepala kami


ketika kami di dalam gua, maka aku katakana, ‘Wahai Rasûlullâh, seandainya
seorang dari mereka melihat ke arah kakinya, niscaya dia akan melihat kita di
bawah kedua kakinya.’ Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Wahai
Abu Bakar, apalah yang kau perkirakan terhadap dua orang yang Allâh
menjadi pihak ketiganya. Bagaimana pendapatmu tentang dua orang yang
ditolong oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai pihak ketiga’ [HR. al-Bukhâri, no.
3653, Muslim, no. 2381]

3. Abu Bakar adalah orang yang paling dicintai oleh Rasûlullâh


Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Suatu ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskan
sahabat ‘Amru bin ‘Ash Radhiyallahu anhu untuk memimpin pasukan Dzatus
Salasil, maka ia pun menghampiri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan bertanya :

ُ ‫ قُ ْل‬،‫ أَبُو َها‬: ‫ال؟ َف َقا َل‬


َ ُ‫ ُث َّم ُع َم ُر بْن‬:‫ ُث َّم َمنْ ؟ َقا َل‬: ‫ت‬
‫ َف َع َّد ِر َجااًل‬,ِ‫الخ َّطاب‬ َ ‫اس أَ َحبُّ إِلَي‬
ُ ‫ َفقُ ْل‬،‫ َعا ِئ َش ُة‬: ‫ْك؟ َقا َل‬
ِ ‫ م َِن الرِّ َج‬: ‫ت‬ ِ ‫أَيُّ ال َّن‬

Siapakah orang yang paling engkau cintai? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa


sallam menjawab, ‘Aisyah.’ Aku bertanya, ‘(Maksudku) dari kaum laki-laki?’
Beliaupun menjawab, ‘Ayahnya (yaitu Abu Bakar)’ Aku bertanya lagi,
‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Umar bin Khattab.’ Kemudian
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa orang yang
dicintainya. [HR. al-Bukhâri, no. 3662, Muslim, no. 2384]

Lebih dari itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai


berangan-angan seandainya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diizinkan
oleh Allâh Azza wa Jalla untuk menjadikan seseorang sebagai Khalîl
(kekasih) nya, niscaya Abu Bakar lah yang pantas menyandang gelar
tersebut.

Khullah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Atsir dan lainnya, adalah


kasih sayang yang meresap dalam lubuk hati yang paling dalam. Oleh
karenanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat
memberikannya kepada selain Allâh Azza wa Jalla , tidak ada kesempatan
bagi seorang hamba manapun untuk meraihnya sekalipun dengan
kesungguhan luar biasa. Ia adalah kedudukan yang hanya Allâh berikan
kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki, diantaranya adalah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . [lihat kitab an-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts wal
Atsâr: 2/72, cetakan al-Maktabah al-Ilmiyyah].

Hal itu ditegaskan dalam hadits yang sangat populer dikalangan kaum
Muslimin:

‫ﻷصا ِح َب ُك ْم َخلِياًل‬
َ ُ‫ َو َق ِد ا َّت َخ َذهللا‬،‫صاح ِِبي‬ ُ ‫ت ُم َّتخ ًِذا َخلِياًل اَل َّت َخ ْذ‬
َ ‫ َولَ ِك َّن ُه أَخِي َو‬، ‫ت أَ َبا َب ْك ٍر َخلِياًل‬ ُ ‫لَ ْو ُك ْن‬

Sekiranya aku diizinkan oleh Allâh untuk menjadikan seseorang


sebagai khalîl, niscaya aku jadikan Abu Bakar sebagai khalîlku, akan tetapi ia
adalah saudara dan sahabatku, sedangkan Allâh Azza wa Jalla telah
menjadikan sahabat kalian ini (diriku) sebagai khalîlnya [HR. al-Bukhâri, no.
3656, Muslim, no. 2383]

4. Abu Bakar adalah orang yang paling bersemangat dalam


beramal
Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam hal sedekah :

‫ِي ۖ َوإِنْ ُت ْخفُو َها َو ُت ْؤ ُتو َها ْالفُ َق َرا َء َفه َُو َخ ْي ٌر َل ُك ْم‬ ِ ‫إِنْ ُت ْبدُوا الصَّدَ َقا‬
َ ‫ ه‬W‫ت َف ِن ِع َّما‬

Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali, jika
kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir,
maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. [al-Baqarah/2:271]
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dari jalan ‘Amir asy-Sya’bi
rahimahullah, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar
Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu ketika mereka berdua
berlomba-lomba untuk bersedekah. Umar Radhiyallahu anhu memberikan
setengah hartanya, tiba-tiba Abu Bakar Radhiyallahu anhu memberikan
seluruh kekayaannya dengan mengatakan,”Aku tinggalkan untuk mereka
Allâh dan RasulNya.” Maka Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu
mengatakan :

‫الَ أَسْ ِبقُ ُه إِلَى َشيْ ٍء أَ َب ًدا‬

Selamanya, aku tidak akan dapat mengalahkannya dalam hal apapun [HR
Tirmidzi, no. 3675, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah. Lihat
juga Tafsîr Ibnu Katsîr 1/702]

Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasûlullâh


Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫اس َعلَيَّ فِي َمالِ ِه َوصُحْ َب ِت ِه أَبُو َب ْكر‬


ِ ‫إِنَّ أَمَنَّ ال َّن‬

Sungguh orang yang paling banyak berkorban untukku dalam harta


maupun persahabatan adalah Abu Bakar [HR. al-Bukhâri, no. 3654 dan
Muslim, no. 2382]

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa suatu hari


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya :

‫ َف َمنْ أَ ْط َع َم ِم ْن ُك ُم ْال َي ْو َم مِسْ كِي ًنا‬: ‫ َقا َل‬،‫ أَ َنا‬: ‫از ًة؟ َقا َل أَبُو َب ْك ٍر‬
َ ‫ َف َمنْ َت ِب َع ِم ْن ُك ُم ْال َي ْو َم َج َن‬: ‫ َقا َل‬،‫ أَ َنا‬: ‫صا ِئمًا؟ َقا َل أَبُو َب ْك ٍر‬
َ ‫َمنْ أَصْ َب َح ِم ْن ُك ُم ْال َي ْو َم‬
ٍ ‫ َمااجْ َت َمعْ َن فِي ا ْم ِر‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫ئ‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫ َف َقا َل َرسُو ُل‬،‫ أَ َنا‬: ‫ َف َمنْ َعادَ ِم ْن ُك ُم ْال َي ْو َم َم ِريضًا َقا َل أَبُو َب ْك ٍر‬: ‫ َقا َل‬،‫ أَ َنا‬: ‫َقا َل أَبُو َب ْك ٍر‬
‫دَخ َل ْال َج َّن َة‬
َ ‫إِاَّل‬

‘Siapakah diantara kalian yang berpuasa hari ini?’ Abu Bakar menjawab,’Saya.’ Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapakah diantara kalian yang telah mengantar
jenazah hari ini?’ Abu Bakar pun menjawab, ‘Saya.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kembali bertanya, ‘Siapakah diantara kalian yang telah memberi makan orang miskin hari
ini?’ Abu Bakar menjawab lagi, ‘Saya.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih bertanya
lagi, ‘Siapakah diantara kalian yang telah menjenguk orang sakit hari ini?’ Abu Bakar pun
menjawab lagi, ‘Saya.’ Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah
amal-amal yang telah disebutkan tadi berkumpul pada satu orang, melainkan ia akan masuk
surga.’. [HR. Muslim, no. 1028]

Inilah ibadah seorang sahabat yang paling mulia, seorang calon penghuni
surga, ternyata beliau Radhiyallahu anhu bukanlah orang yang merasa bebas dalam
ibadah, bahkan keseharian beliau betul-betul mencerminkan seorang figur yang
sangat pantas diteladani dalam ketaatan.

Syaiikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah mengomentari sikap keteladanan


yang ditampilkan Abu Bakar Radhiyallahu anhu dengan mengatakan, “Demikianlah
semua sahabat yang telah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam janjikan masuk
surga, ataupun orang yang diberitahu bahwa ia telah diampuni, ia maupun sahabat
yang lain tidak kemudian memahami bebasnya mereka dalam berbuat dosa maupun
ma’siat, ataupun merasa terbebas untuk meninggalkan segala kewajiban, justru
mereka lebih bersungguh-sungguh dalam ibadah serta semakin takut kepada-Nya
daripada sebelum mereka mendapatkan kabar gembira itu, sebagaimana yang
dicerminkan oleh sepuluh orang sahabat yang dijanjikan masuk surga, Abu Bakar
Radhiyallahu anhu adalah sosok yang sangat berhati-hati dan takut kepada Allâh.”
[Kitab al-Fawâ’id, hlm. 17, cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah].

5. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjamin ketangguhan iman


beliau
Abu Hurairah z menceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :

َ ‫ َي ْو َم َلي‬،‫ َمنْ َل َها َي ْو َم ال َّسب ُِع‬: ‫الذ ْئبُ َف َقا َل‬ ِّ ‫ َف ْال َتفَتَ إِلَ ْي ِه‬،‫ َفأ َ َخ َذ ِم ْن َها َشا ًة َف َطلَ َب ُه الرَّ اعِ ي‬، ُ‫الذ ْئب‬ ِّ ‫َب ْي َن َما َراع فِي غَ َن ِم ِه َعدَ ا َعلَ ْي ِه‬
ٍ ‫ْس لَ َها َر‬
‫اع‬ ٍ
: ُ‫ َقا َل ال َّناس‬.ِ‫ت ل ِْل َحرْ ث‬ ُ ‫ إِ ِّني لَ ْم أُ ْخلَ ْق لِ َه َذا َولَ ِك ِّني ُخلِ ْق‬: ‫ت‬ ْ ‫ َف ْال َت َف َت‬،‫ُوق َب َق َر ًة َق ْد َح َم َل َعلَ ْي َها‬
ْ َ‫ َف َقال‬،ُ‫ت إِلَ ْي ِه َف َكلَّ َم ْته‬ ُ ‫َغي ِْري؟ َو َب ْي َن َما َر ُج ٌل َيس‬
ِ ‫الخ َّطا‬
‫ب‬ َ ُ‫ َو ُع َم ُر بْن‬،‫ َوأَبُو َب ْك ٍر‬،‫ َفإِ ِّني أُومِنُ ِب َذل َِك‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ُّ‫ َقا َل ال َّن ِبي‬،ِ ‫ان هَّللا‬
َ ‫ُسب َْح‬

Ketika suatu hari seorang penggembala (dari Bani Israil) sedang bersama kambing
gembalaannya, tiba-tiba seekor serigala datang memangsa seekor kambing,
kemudian si penggembala berhasil merebutnya kembali, maka serigala tersebut
menoleh sambil mengatakan, ‘Punya siapakah kambing-kambing itu nanti pada hari
Sabu’, hari ketika tidak ada yang menggembalakan selainku?’ (Kisah lain) ketika
seseorang sedang menuntun seekor sapi yang telah ia pikulkan beban berat diatas
punggungnya, maka sapi tersebut menoleh dan memprotesnya, ‘Aku tidak diciptakan
untuk pekerjaan ini, aku hanya diciptakan untuk membajak tanah. Maka orang-orang
(yang mendengar kisah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terheran-heran
sambil mengatakan), ‘Subhânallâh, beliaupun bersabda,’Adapun aku, Abu Bakar dan
Umar, maka kami percaya dengan kisah ini.’[HR. al-Bukhâri, no. 3663 dan Muslim,
no. 2388]

Sebagaimana diketahui pula bahwa beliau Radhiyallahu anhu tidak pernah


ragu sedikitpun dalam membela da’wah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
sejak awal perjalanan da’wah tersebut. Beliau Radhiyallahu anhu bahkan menjadi
orang yang pertama-tama menyatakan keislamannya. ‘Ammâr bin Yâsir
Radhiyallahu anhu mengatakan :

‫ان َوأَبُو َب ْك ٍر‬


ِ ‫وا ْم َرأَ َت‬،ٍ
َ ‫اخ ْم َس ُة أَعْ ُبد‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو َما َم َع ُه إِ َّل‬ ُ ‫َرأَي‬
َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬

Aku melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada awal da’wah


beliau) hanya bersama lima orang budak, dua orang wanita dan Abu Bakar
[HR. al-Bukhâri, no. 3660]

Hal ini tidak akan pernah terlupakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

َ َ ‫ َو َقا َل أَبُو َب ْك ٍر‬، َ‫إِنَّ هَّللا َ َب َع َثنِي إِلَ ْي ُك ْم َفقُ ْل ُت ْم َك َذبْت‬


‫صاح ِِبي‬ ِ ‫ َف َه ْل أ ْن ُت ْم َت‬،ِ‫اسانِي ِب َن ْفسِ ِه َو َمالِه‬
َ ‫ار ُكوا لِي‬ َ ‫ َو َو‬، َ‫صدَ ق‬
Sesungguhnya Allâh mengutusku kepada kalian, akan tetapi kalian justru
(dahulu) mengatakan, ‘Engkau telah berdusta.’ Sementara Abu Bakar Radhiyallahu
anhu mengatakan, ‘Dia (Muhammad n ) telah jujur. Abu Bakar pun banyak
membantuku dengan jiwa dan hartanya, apakah kalian akan meninggalkan
sahabatku itu?’ [HR. al-Bukhâri, no. 3661]

6. Abu Bakar Radhiyallahu anhu memiliki sifat lemah lembut dan pemaaf
Kisah terfitnahnya ibu kaum beriman ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma putri Abu
Bakar Radhiyallahu anhu adalah bukti hasadnya (kedengkian) orang-orang
munâfiq terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
pengikutnya. Namun merupakan kebesaran Allâh Azza wa Jalla , Dia akan
memuliakan orang-orang yang menjadi hamba-Nya, hingga turunlah ayat
pensucian ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari tuduhan tersebut (Surat an-
Nûr/24:11-20), sehingga jikalau terjadi penuduhan dari seseorang setelah
turun ayat tersebut, niscaya kekufurannya terhadap al-Qur’ân semakin jelas.
Ketika terjadi penuduhan, Mishthoh bin Utsatsah adalah seorang yang
terlibat dalam fitnah tersebut, padahal Abu Bakar Radhiyallahu anhu selama
ini yang memberinya nafkah, maka beliau z marah dan bersumpah untuk
tidak memberikan nafkah kembali, hingga turunlah firman Allâh Azza wa Jalla
:

ْ‫ُّون أَن‬
َ ‫يل هَّللا ِ ۖ َو ْل َيعْ فُوا َو ْل َيصْ َفحُوا ۗ أَاَل ُت ِحب‬ َ ‫َواَل َيأْ َت ِل أُولُو ْال َفضْ ِل ِم ْن ُك ْم َوال َّس َع ِة أَنْ ي ُْؤ ُتوا أُولِي ْالقُرْ َب ٰى َو ْال َم َساك‬
َ ‫ِين َو ْال ُم َها ِج ِر‬
ِ ‫ين فِي َس ِب‬
‫َي ْغف َِر هَّللا ُ لَ ُك ْم ۗ َوهَّللا ُ َغفُو ٌر َرحِي ٌم‬

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan


kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi
(bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-
orang yang berhijrah pada jalan Allâh, dan hendaklah mereka mema’afkan
dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allâh mengampunimu? Dan
Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang? [an-Nûr/24:22].

Maka Abu Bakar Radhiyallahu anhu segera mengatakan :

َ ‫ َف َر َج َع إِلَى مِسْ َط ٍح الَّذِي َك‬،‫َبلَى َوهَّللا ِ إِ ِّني أَل ُحِبُّ أَنْ َي ْغف َِر هَّللا ُ لِي‬
‫ان يُجْ ِري َعلَ ْي ِه‬

“Ya, demi Allâh, sungguh aku lebih suka Allâh mengampuni dosaku.”
Kemudian Beliau Radhiyallahu anhu kembali memberikan nafkah kepada
Mishthah. [HR. al-Bukhâri, no. 2661 dan Muslim, no. 2770. Lihat pula Tafsir
Ibnu Katsir, 6/20]

Ketika perang Badar telah usai, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa


sallam merundingkan para tawanan dengan para sahabatnya. Umar bin
Khattab Radhiyallahu anhu menganjurkan untuk membunuh semuanya,
sedangkan Abu Bakar Radhiyallahu anhu justru mengatakan :

‫ َف َع َسى هللاُ أَنْ َي ْه ِد َي ُه ْم لِإْل ِ سْ اَل ِم‬،‫ار‬ ْ َ َ َ ِ‫ ُه ْم َب ُنو ْال َع ِّم َو ْالعَش‬،ِ‫َيا َن ِبيَّ هللا‬
ِ ‫ أ َرى أنْ َتأ ُخ َذ ِم ْن ُه ْم ف ِْد َي ًة َف َت ُكونُ لَ َنا قُوَّ ًة َعلَى ْال ُك َّف‬،ِ‫يرة‬

Wahai Nabi Allâh, mereka adalah anak dari paman dan keluarga kita,
aku memandang jikalah engkau mengambil denda dari mereka sehingga
dapat memperkuat kita dalam menghadapi orang kafir, mudah-mudahan
Allâh memberi hidayah mereka agar masuk Islam. [HR. Muslim, no. 1763]

7. Terdapat banyak isyarat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk


memberikan kekhilafahan kepada beliau Radhiyallahu anhu
Diantara hadits-hadits tersebut adalah perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk memimpin shalat lima waktu ketika beliau sakit keras diakhir
hayatnya, bahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam enggan untuk
mewakilkan kepada selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma menceritakan saat-saat terakhir sebelum ajal
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjemput :

‫ك األَيَّا َم‬
َ ‫صلَّى أَبُو َب ْك ٍر ت ِْل‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِلَى أَ ِبي َب ْك ٍر ِبأَنْ ي‬
ِ ‫ُصلِّ َي ِبال َّن‬
َ ‫ َف‬: ‫ ِوفِ ْي ِه‬,‫اس‬ َ ُّ‫َفأَرْ َس َل ال َّن ِبي‬

Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang agar menyuruh


Abu Bakar Radhiyallahu anhu memimpin shalat, dalam riwayat tersebut dikatakan:
maka Abu Bakar menjadi imam pada hari-hari itu.[HR. al-Bukhâri, no. 687 dan
Muslim, no. 418]

al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa hadits tersebut


mengisyaratkan tentang kedudukan Abu Bakar Radhiyallahu anhu yang paling
berhak untuk menjadi khalifah.[Lihat kitab Fathul Bâri: 11/60, cetakan Daarul
ma’rifah]

Bahkan didalam hadits yang dihasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar


rahimahullah (Fathul baari: 12/153), ketika terjadi sedikit perbedaan pendapat dalam
menentukan khalifah setelah wafatnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu menjadikan alasan tersebut sebagai sebab
kuat bahwa Abu Bakar Radhiyallahu anhu yang paling berhak. Beliau Radhiyallahu
anhu mengatakan :

ِ ‫ُون أَنَّ َرسُو َل‬


‫هللا‬ َ ‫ أَلَسْ ُت ْم َتعْ لَم‬،‫ار‬ِ ‫ص‬َ ‫ َيا َمعْ َش َر اأْل َ ْن‬n ‫اس؟ َفأ َ ُّي ُك ْم َتطِ يبُ َن ْف ُس ُه أَنْ َي َت َق َّد َم‬
َ ‫َق ْد أَ َم َر أَ َبا َب ْك ٍر أَنْ َيؤُ َّم ال َّن‬
ْ َ َ
‫هلل أنْ َن َت َق َّد َم أ َبا َبك ٍر‬ ُ
ِ ‫ َنعُوذ ِبا‬: ‫صا ُر‬ ْ
َ ‫تا ن‬ َ ‫أْل‬ َ ْ
ِ ‫أ َبا َبك ٍر؟ َف َقال‬ َ

Wahai kaum Anshar, bukankah kalian tau bahwa Rasûlullâh Shallallahu


‘alaihi wa sallam telah memerintahkan Abu Bakar untuk memimpin sholat
kaum Muslimin, maka siapakah diantara kalian yang rela untuk melangkahi
Abu Bakar? Maka orang-orang Anshar pun menjawab: Kita berlindung
kepada Allâh dari melangkahi Abu Bakar”.[HR. Ahmad: 1/282, cetakan
Mu’assasah ar-risalah].

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan berangan-angan untuk


menuliskan wasiat sekalipun akhirnya tidak terlaksana, ketika beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :

ُ‫ َو َيأْ َبى هللا‬،‫ أَ َنا أَ ْولَى‬: ‫ َفإِنِّ ي أَ َخافُ أَنْ َي َت َم َّنى ُم َتمَنٍّ َو َيقُو ُل َقا ِئ ٌل‬،‫ب ِك َتابًا‬
َ ‫ َح َّتى أَ ْك ُت‬، ِ‫ َوأَ َخاك‬، ِ‫ أَبَاك‬،‫ْادعِ ي لِي أَ َبا َب ْك ٍر‬
ْ َ ُ ْ
َ ‫َوالم ُْؤ ِمن‬
‫ون إِ َّل اأ َبا َبك ٍر‬
Panggilkan Abu Bakar ayahmu, dan juga saudaramu agar aku tuliskan
sebuah wasiat, karena sungguh aku khawatir akan ada orang yang bercita-cita, atau
ada yang mengatkan, ‘Aku lebih berhak,’ sementara Allâh dan orang-orang yang
beriman merasa enggan kecuali hanya kepada Abu Bakar”. [HR. Muslim, no. 2387]

Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa hadits tersebut secara


jelas menjelaskan bahwa Abu Bakar lah yang paling berhak untuk mendapatkan
posisi khalifah. [Lihat kitab al-Minhâj Syarah Muslim Ibnul Hajjaj: 15/155 cetakan
daar ihya’ut turots].

Anda mungkin juga menyukai