Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING BLOK 6.

1
KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


2019
1. SKENARIO PEMICU
Pada hari Minggu tanggal 13 Januari 2019, sekitar pukul 08.00 WIB, seorang
wanita muda, mengaku berusia 25 tahun, datang di Puskesmas Beji, Pasuruan, Jawa
Timur. Wanita tersebut mengeluh nyeri perut bawah dan mengalami perdarahan dari
dalam alat kelaminnya, padahal dirinya sedang hamil anak pertama, dengan usia
kandungan sekitar empat bulan. Wanita tersebut menceritakan bahwa dirinya baru
jatuh kemudian mengalami perdarahan dari vagina. Selain keluhan di atas, pada wajah
dan bagian tubuh lainnya tampak keadaan atau luka-luka.

.1 KATA KUNCI
1.1.1 Wanita, 25 tahun
1.1.2 Nyeri perut bawah
1.1.3 Perdarahan dari dalam alat kelamin (vagina)
1.1.4 Hamil anak pertama dengan usia kandungan sekitar empat bulan
1.1.5 Jatuh
1.1.6 Luka-luka pada wajah dan bagian tubuh

1.2 MIND MAPPING


1.3 DAFTAR PEMBAHASAN
1.3.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
a. Apa definisi dari KDRT?
b. Apa dasar hukum yang mengatur tentang KDRT di Indonesia?
c. Apa saja klasifikasi dari KDRT?
d. Apa saja faktor yang memicu terjadinya KDRT?
e. Bagaimana peran dokter dalam kasus KDRT?
1.3.2 Luka
a. Apa definisi dari luka?
b. Bagaimana klasifikasi luka berdasarkan kasus?
c. Bagaimana patofisiologi terjadinya luka sesuai dengan kasus?
d. Bagaimana penanganan luka yang harus diberikan sesuai kasus?
1.3.3 Abortus
a. Apa definisi dari abortus?
b. Apa dasar hukum yang mengatur tentang abortus di Indonesia?
c. Apa saja klasifikasi dari abortus?
d. Bagaimana patofisiologi terjadinya abortus sesuai kasus?
e. Bagaimana penanganan yang diberikan untuk pasien sesuai kasus?
1.3.4 Visum et Repertum (VeR)
a. Apa definisi dari VeR?
b. Apa dasar hukum yang mengatur tentang VeR di Indonesia?
c. Bagaimana alur dan syarat pembuatan VeR?
d. Bagaimana kerangka pembuatan VeR?
e. Apa saja klasifikasi VeR?
2
f. Bagaimana VeR pasien dalam kasus ini?

3. PEMBAHASAN
3.1 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
3.1.1 Definisi [1]
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan setiap perbuatan terhadap
seseorang (terutama perempuan) yang berakibat timbulnya kesengsaraan/penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan/perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.

3.1.2 Dasar Hukum [1]


Dasar hukum tentang KDRT tercantum dalam pasal 1 UU no. 23 tahun 2004.

3.1.3 Klasifikasi [2]


Menurut pasal 5 UU RI no. 23 tahun 2004, klasifikasi KDRT dibagi menjadi:
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit/luka berat, misalnya menampar, menggigit, memutar tangan, menikam,
mencekik, membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda/senjata, dan
membunuh. Apabila korban meninggal, pelaku dikenakan pasal dalam KUHP.
b. Kekerasan Psikis

1
Hariadi A., Hoediyanto. (2012). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, ed. VIII, hlm. 446.
Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga
2
Hariadi A., Hoediyanto. (2012). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, ed. VIII, hlm. 447.
Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga

3
Kekerasan psikis merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang, misalnya makian,
ancaman cerai, atau tidak memberikan nafkah.
c. Kekerasan Seksual
Menurut pasal 8 UU RI no. 23 tahun 2004, kekerasan seksual meliputi:
- Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

- Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup


rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan
tertentu, misalnya melacurkan istri.
d. Penelantaran Rumah Tangga
Seseorang dapat dikatakan melakukan tindakan penelantaran rumah tangga
apabila ia menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya/karena persetujuan/perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan/pemeliharaan kepada orang tersebut,
misalnya menelantarkan anak dan istri tanpa memberikan nafkah.
Pada kasus ini, pasien mengalami tindak KDRT oleh suaminya dalam bentuk
kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisik terlihat dari luka di wajah dan beberapa area
tubuh lain, selain itu adanya perdarahan yang mengakibatkan abortus. Kekerasan psikis
yang dialami pasien yaitu rasa tidak diterima kehamilannya oleh suaminya.

3.1.4 Faktor Pemicu [3]


a. Ketergantungan ekonomi
Ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk
menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa tertekan. Bahkan perlakuan
keras yang dilakukan kepadanya oleh suami enggan untuk melaporkan demi
kelangsungan hidup dan rumah tangganya.
b. Kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa sudah tertanam dalam keluarga dan
masyarakat Indonesia, bahwa istri harus tunduk dan menuruti suami sehingga

3
Hariadi A., Hoediyanto. (2012). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, ed. VIII, hlm. 447-
448. Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga

4
harus menuruti semua keinginan suami. Hal ini menyebabkan suami merasa
berkuasa dan bertindak sewenang-wenang terhadap istrinya.
c. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik
Biasanya, kekerasan digunakan oleh suami sebagai bentuk pelampiasan dari
ketersinggungan atau kekecewaan karena tidak terpenuhinya keinginan. Dengan
kekerasan, diharapkan istri dapat lebih menuruti suami.
d. Persaingan
Keseimbangan antara suami dan istri misalnya dalam hal pendidikan, pergaulan,
pekerjaan, dan penghasilan sangat diperlukan. Bila suami merasa kalah, maka
akan memicu konflik dalam rumah tangga, sementara istri tidak mau dikekang.
e. Frustasi
Biasanya terjadi pada pasngan yang masih muda/tidak siap untuk menikah;
belum mempunyai penghasilan tetap; masih hidup menumpang pada orang tua.
Yang sering terjadi adalah mabuk-mabukan, narkoba, atau perbuatan negatif lain.

3.1.5 Peran Dokter [4]


Tugas dan wewenang dokter dalam menangani kasus KDRT diatur dalam pasal 21
UU RI 23 Tahun 2004 dan 40 UURI No 23 tahun 2004 yaitu:
a. Memberikan pelayanan kesehatan terhadap korban termasuk memeriksa,
mengobati, dan merawat korban, baik di rumah sakit/klinik milik swasta/pribadi.
b. Membuat Visum et Repertum atas dasar SPVR dari pihak kepolisian.
c. Berusaha memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.

3.2 LUKA
3.2.1 Definisi
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses patologis
yang berasal dari internal/eksternal dan mengenai organ tertentu. Suatu luka didefinisikan
sebagai rusaknya jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma.

3.2.2 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, luka diklasifikasikan menjadi:

4
Hariadi A., Hoediyanto. (2012). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, ed. VIII, hlm. 448.
Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga

5
a. Luka Akibat Benda Tajam [5]
Luka akibat benda tajam merupakan kelainan pada tubuh yang disebabkan
persentuhan dengan benda/alat yang bermata tajam dan atau berujung runcing
sehingga kontinuitas jaringan menjadi rusak/hilang. Contoh dari benda/alat tajam
antara lain pisau dapur, pecahan kaca, silet, pedang, keris dan lain-lain.
b. Luka Akibat Benda Tumpul [6]
Luka akibat benda tumpul merupakan luka akibat dibenturkan, membenturkan/
dibenturkannya bagian benda yang tumpul pada tubuh dan menimbulkan rasa
sakit, kelainan/kerusakan pada tubuh. Biasanya, luka ini didapat saat kecelakaan
lalu lintas, namun juga dapat timbul pada kasus pembunuhan, seperti kepala yang
dipukul besi, dada yang sengaja diinjak, dan lain sebagainya.

3.2.3 Patofisiologi
a. Luka Benda Tajam
b. Luka Benda Tumpul
Saat trauma, terjadi kerusakan pada pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi
darah ke jaringan sekitar. Kebocoran ini dapat terjadi di bawah kulit maupun
jaringan organ. Selanjutnya, proses koagulasi dan inflamasi terjadi pada area
pembuluh darah yang rusak. Tubuh melakukan vasokonstriksi untuk
menghentikan perdarahan. Trombosit keluar dari pembuluh darah, bersama jala
fibrin membentuk bekuan darah. Koagulasi yang terbentuk cenderung
menyebabkan perubahan warna pada kulit (terutama jika luka superfisial) dan
munculnya benjolan/bengkak. Setelah darah berhenti mengalir, warna yang
muncul lebih gelap. Darah yang terekstravasasi dipecah makrofag sehingga
muncul perubahan warna menjadi kuning dan coklat saat proses penyembuhan.

3.2.4 Penanganan
a. Luka Benda Tajam
b. Luka Benda Tumpul
Pada kasus cedera berat, pertolongan pertama yang dilakukan adalah
menghentikan perdarahan dan memasang bidai. Semua kasus trauma harus

5
Hariadi A., Hoediyanto. (2012). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, ed.VIII, hlm. 30.
Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga
6
Hariadi A., Hoediyanto. (2012). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, ed.VIII, hlm. 36.
Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga

6
memperhatikan trias resusitasi (airway, breathing, circulation). Setelah ketiga
hal tersebut dievaluasi, pemulihan kegagalan sirkulasi perlu diperhatikan,
terlebih jika pasien mengalami perdarahan. Mengatasi perdarahan dapat
dilakukan dengan menekan langsung luka, dilanjutkan dengan balut
tekan/menekan titik tekan nadi/meninggikan ekstrimitas yang terluka. Jika
banyak darah yang hilang, segera gantikan darah yang hilang. Penanganan
lainnya dilanjutkan sesuai lokasi trauma dan akibat yang ditimbulkan. Untuk
tindakan segera non-bedah, lakukan pemasangan kateter untuk memantau cairan
pasien dan lakukan pemasangan bidai jika ada bagian tulang yang retak/patah.

3.3 ABORTUS
3.3.1 Definisi
Ancaman atau pengeluaran/terminasi hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di
luar rahim dengan batasan berat janin < 500 gram atau umur kehamilan < 20 minggu.

3.3.2 Dasar Hukum


a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) [7]
Masalah aborsi diatur dalam pasal 299 dan pasal 346-349. Pasal tersebut secara
tegas melarang perbuatan aborsi secara mutlak tanpa pengecualian.
b. Pasal 15 Undang-Undang (UU) no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan [8]
- Ayat 1: Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa
ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
- Ayat 2: Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan indikasi medis yang
mengharuskan diambilnya tindakan tersebut; oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai
dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan ahli;
dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan/suami/keluarganya.
Dengan demikian, penjelasan pasal 15 UU no. 23 tahun 1992 mengandung arti
bahwa tindakan medis dalam bentuk penggunaan kandungan (aborsi) dengan
alasan apapun dilarang, namun diperbolehkan dalam keadaan darurat sebagai
upaya menyelamatkan nyawa ibu dan atau nyawa janin yang dikandungnya.

7
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
8
Undang-Undang Republik Indonesia no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

7
3.3.3 Klasifikasi
a. Abortus Spontan
Merupakan abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk
mengosongkan uterus. Istilah lain yang sering digunakan adalah keguguran
(miscarriage). Secara klinis, abortus spontan dapat dibedakan menjadi:
- Abortus Imminens (keguguran mengancam)
Abortus imminens adalah perdarahan bercak yang menunjukkan ancaman
terhadap kelangsungan suatu kehamilan. Diagnosis ditentukan dengan
adanya sedikit perdarahan berwarna merah cerah melalui ostium uteri
eksternum, disertai sedikit mules/tidak sama sekali, uterus membesar
sesuai usia kehamilan, serviks belum membuka, dan tes kehamilan +.
- Abortus Insipiens (keguguran berlangsung)
Abortus insipiens adalah perdarahan intrauterin sebelum kehamilan
lengkap 20 minggu dengan dilatasi serviks berlanjut tanpa pengeluaran
product of conception. Diagnosis ditentukan dengan adanya penipisan
serviks derajat sedang, dilatasi serviks > 3 cm, pecahnya selaput ketuban,
perdarahan > 7 hari, kram yang menetap meskipun sudah diberikan
analgetik narkotik, dan tanda-tanda penghentian kehamilan.
- Abortus Inkompletus (keguguran tidak lengkap)
Abortus inkompletus adalah perdarahan pada kehamilan muda saat
sebagian dari hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri melalui kanalis
servikalis. Apabila plasenta (seluruhnya atau sebagian) tertahan di uterus,
cepat atau lambat akan terjadi perdarahan yang merupakan tanda utama
abortus inkompletus.
- Abortus Kompletus (keguguran lengkap)
Abortus kompletus adalah proses abortus saat keseluruhan hasil konsepsi
telah keluar melalui jalan lahir. Tanda dan gejalanya yaitu ditemukan
perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus mengecil.
- Abortus Infeksiosa dan Abortus Septik
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia,
sedangkan abortus septik adalah abortus infeksiosa berat dengan
penyebaran kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau
peritoneum. Diagnosis abortus infeksiosa ditentukan dengan abortus yang

8
disertai gejala infeksi genitalia seperti panas, takikardi, perdarahan per
vaginam berbau, uterus yang membesar, lembek, nyeri tekan, dan
leukositosis. Apabila terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat,
kadang-kadang menggigil, demam tinggi dan tekanan darah menurun.
- Missed Abortion (retensi janin mati)
Missed abortion adalah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi
janin yang telah mati itu tidak dikeluarkkan selama 8 minggu atau lebih.
- Abortus Habitualis
Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi berturut-turut tiga
kali atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil,
namun kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu.
b. Abortus Provokatus (abortus buatan)
Abortus provokatus adalah tindakan abortus yang sengaja dilakukan untuk
menghilangkan kehamilan sebelum usia kehamilan 28 minggu atau berat janin
500 gram. Abortus provokatus dibagi menjadi:
- Abortus Therapeutic (abortus medisinalis)
Abortus therapeutic adalah abortus yang mengakhiri kehamilan sebelum
saatnya dengan maksud melindungi keselamatan ibu. Indikasi untuk
melakukan abortus therapeutic adalah apabila kehamilan dapat
membahayakan nyawa ibu, misalnya pada penyakit vaskular hipertensif
tahap lanjut dan invasive carcinoma pada serviks, kehamilan akibat
perkosaan atau akibat hubungan saudara (incest) dan mencegah kelahiran
fetus dengan deformitas fisik yang berat atau retardasi mental.
- Abortus Provokatus Kriminalis
Abortus provokatus kriminalis adalah pengguguran kehamilan tanpa
alasan medis yang sah atau oleh orang yang tidak berwenang dan dilarang
oleh hukum. Kemungkinan adanya abortus provokatus kriminalis harus
dipertimbangkan bila ditemukan abortus febrilis.
- Unsafe Abortion
Unsafe abortion adalah upaya untuk terminasi kehamilan muda di mana
pelaksana tindakan tersebut tidak mempunyai cukup keahlian dan
prosedur standar yang aman sehingga membahayakan keselamatan ibu.

9
3.3.4 Patofisiologi [9]
Patofisiologi abortus terjadi sesuai dengan pengelompokan dan penyebab yang
menginduksi abortus itu sendiri. Abortus provokatus kriminalis dengan kekerasan mekanik
pada abdomen atau karena jatuh dapat menginduksi terjadinya abortus. Proses abortus
terjadi ketika ada pendarahan dari desidua basalis. Hal ini menyebabkan nekrosis jaringan
sekitar dan menyebabkan kematian dari fetus. Fetus terlepas sebagian atau seluruhnya dan
dianggap ibu sebagai benda asing dan terjadi kontraksi pada uterus yang memicu abortus.

3.3.5 Penanganan [10]


a. Abortus Imminens
Dokter meminta pasien untuk tirah baring hingga pendarahan berhenti, lalu
memberikan spasmolitik untuk mengurangi kontraksi. Setelah itu, pasien boleh
dipulangkan dan dilarang melakukan hubungan seksual untuk sementara waktu.
b. Abortus Insipiens
Dokter harus memperhatikan keadaan umum dan hemodinamik pasien saat
datang, serta melakukan perawatan awal dahulu. Lalu, dokter melakukan
evakuasi dari hasil konsepsi diikuti kuretase bila banyak pendarahannya banyak.
Bila usia kandungan berumur >12 minggu, ibu harus diberi uterotonika lalu
janinnya dievakuasi. Setelah janin keluar, dokter melakukan kuretase dan
memberikan uterotonika serta antibiotik sesuai kebutuhan pasien.
c. Abortus Inkompletus
Dokter melakukan penstabilan keadaan umum dan evakuasi pada fetus.
Selanjutnya, melakukan kuretase dan memberikan uterotonika.
d. Abortus Kompletus
Dokter melakukan perawatan sesuai dengan kondisi pasien, misalnya
memberikan vitamin, suplemen, dan antibiotik apabila dibutuhkan.

3.4 VISUM ET REPERTUM


3.4.1 Definisi [11]
Dalam melakukan tugas sebagai penyidik, pihak berwenang biasanya akan
menyertakan Surat Permintaan Visum et Repertum untuk meminta kepada pihak
9
Cunningham, F. Gary, et al. (2014). Williams Obstetrics, 24th ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
10
Cunningham, F. Gary, et al. (2014). Williams Obstetrics, 24th ed. USA: The McGraw-Hill Companies Inc.
11
Hariadi A., Hoediyanto. (2012). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, ed. VIII, hlm. 246.
Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga

10
kedokteran agar dibuatkan Visum et Repertum sebagai salah satu barang bukti dalam
pemeriksaan korban tindak pidana. Dengan kata lain, Visum et Repertum merupakan data
keterangan mengenai kondisi pasien yang dimaksudkan sebagai ganti barang bukti, karena
barang bukti sebenarnya tidak bisa dihadapkan di sidang pengadilan dalam keadaan
sebagaimana adanya. Jadi, Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk justisi yang
dibuat oleh dokter berdasar sumpah, tentang segala sesuatu yang diamati (terutama yang
dilihat dan ditemukan) pada benda yang diperiksa.

3.4.2 Dasar Hukum [12]


a. Visum et Repertum terdapat dalam pasal 21 ayat (1) poin b UU no. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT dan merupakan alat bukti yang sah.
b. KUHAP Pasal 133 ayat (1), tentang orang yang berhak membuat Visum et
Repertum adalah ahli kedokteran kehakiman dan dokter atau ahli lainnya.
c. Visum et Repertum dibuat sejujur-jujurnya, bila sengaja menyimpang dapat
dituntut karena memberi keterangan palsu berdasarkan pasal 242 KUHP.
d. Adapun bantuan dokter terhadap penyidik dalam menangani suatu perkara
seperti pemeriksaan TKP, pemeriksaan korban mati/hidup, penggalian mayat,
menentukan umur korban/terdakwa, pemeriksaan jiwa seorang terdakwa, dan
pemeriksaan barang bukti lain yang diatur dalam KUHP, yaitu:
- Buku kesatu (aturan umum):
 Bab III pasal 44-45 tentang hal-hal yang menghapuskan,
mengurangi, atau memberatkan pidana.
- Buku kedua (kejahatan):
 Bab XIV pasal 284-290/292-295 tentang kejahatan kesusilaan.
 Bab XIX pasal 338-348, tentang kejahatan terhadap nyawa.
 Bab XX pasal 351-355 tentang penganiayaan.
 Bab XXI pasal 359-360 tentang menyebabkan mati atau luka
karena kealpaan.

3.4.3 Alur dan Syarat [13]


12
Hariadi A., Hoediyanto. (2012). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, ed. VIII, hlm.
246-247. Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga
13
Hariadi A., Hoediyanto. (2012). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, ed. VIII, hlm.
247-249. Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga

11
a. Visum et Repertum untuk korban hidup
- Permintaan harus secara tertulis, tidak dibenarkan secara lisan, telepon,
atau melalui pos.
- Korban adalah barang bukti, permintaan Visum et Repertum harus
diserahkan sendiri oleh polisi bersama-sama korban/tersangka ke dokter.
- Tidak dibenarkan permintaan Visum et Repertum tentang sesuatu
peristiwa yang telah lampau, mengingat rahasia kedokteran.
b. Visum et Repertum untuk korban meninggal (mayat)
- Permintaan harus diajukan secara tertulis, tidak melalui telepon, lisan,
atau melalui pos.
- Mayat diantar bersama-sama SPVR oleh polisi.
- Pada mayat harus diikatkan label yang memuat identitas mayat (pasal 133
(3) KUHAP). Pemasangan label harus dilakukan/disaksikan oleh polisi,
sebab bila ada kekeliruan mayat, maka polisilah yang bertanggung jawab.
Yang berhak meminta Visum et Repertum adalah:
a. Penyidik
b. Hakim Pidana
c. Hakim Perdata
d. Hakim Agama
Sementara itu, yang berhak membuat Visum et Repertum (KUHAP pasal 133 (1)) adalah:
a. Ahli Kedokteran Kehakiman
b. Dokter atau ahli lainnya
Untuk korban yang menyangkut:
a. Luka: diperiksa Dokter Spesialis Bedah
b. Kejahatan kesusilaan: diperiksa Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan.
c. Keracunan: diperiksa dokter Spesialis Penyakit Dalam.
d. Kekerasan pada mata: diperiksa Dokter Spesialis Mata
e. Korban meninggal: diperiksa Dokter Spesisalis Kedokteran Kehakiman.
Sebaiknya, permintaan Visum et Repertum ditujukan kepada:
a. Dokter Spesialis/Dokter Pemerintah
b. Dokter Spesialis/Dokter Swasta
c. Dokter Spesialis/Dokter TNI/POLRI

12
Pasal 133 (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan yang diberikan oleh ahli
kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang bukan
diberikan oleh dokter ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan. Pada pemeriksaan,
pengobatan, perawatan, dan pembuatan Visum et Repertum, dokter swasta berhak meminta
honorarium dan tidak dapat dibebankan kepada korban/keluarganya.

KORBAN

PENYIDIK (POLISI) IGD/POLIKLINIK

PUSAT PELAYANAN TERPADU

VISUM ET REPERTUM SURAT KETERANGAN DOKTER

13
Polisi
(penyidik) Rekam Medis
diajukan ke Petugas Rekam
datang ke RS Medis menerima
memberi surat dokter untuk
dilakukan konsep dari
pengantar dokter untuk
pemeriksaan
*Penyidik dengan selanjutnya
Diproses di diketik kemudian
menerima bagian blangko dan
surat tanda format Visum hasil
Rekam Medis dikembalikan ke
pengambilan et Repertum
untuk yang telah dokter untuk
diserahkan saat disediakan dikoreksi dan
menerima hasil oleh instalasi ditandatangani
Visum et rekam medis dokter.
Repertum.

Petugas Rekam
Medis mencatat Visum et
dibuku Repertum
pengambilan diambil oleh
dan pihak pihak Setelah tanda
penyidik kepolisian tangan dokter
(penyidik) selanjutnya
membubuhkan dengan surat
nama terang ditandatangani
tanda oleh direktur
dan tanda pengambilan Rumah Sakit
tangan. Nomor sesuai dengan
Visum et waktu
Repertum kesepakatan.
diberikan. (1-2minggu)

3.4.4 Kerangka [14]


a. Pro Justisia
Kata ini dicantumkan di sudut kiri atas, dan dengan demikian, Visum et
Repertum tidak perlu bermaterai.
b. Pendahuluan
Bagian pendahuluan memuat hal-hal sebagai berikut:
- Identitas pemohon Visum et Repertum
- Identitas dokter yang memeriksa/membuat Visum et Repertum
- Tempat dilakukannya pemeriksaan
- Tanggal dan jam dilakukannya pemeriksaan
- Identitas korban

14
Hariadi A., Hoediyanto. (2012). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, ed. VIII, hlm.250-
251. Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga

14
- Keterangan dari penyidik mengenai cara kematian, luka, di mana korban
dirawat, dan waktu korban meninggal dunia.
- Keterangan mengenai orang yang menyerahkan atau mengantar korban
pada dokter dan waktu saat korban diterima di Rumah Sakit.
c. Pemberitaan
Yang termasuk dalam bagian ini antara lain:
- Identitas korban menurut pemeriksaan dokter, berupa umur, jenis
kelamin, tinggi dan berat badan, serta keadaan umumnya.
- Hasil pemeriksaan berupa kelainan yang ditemukan pada korban.
- Tindakan-tindakan atau operasi yang telah dilakukan.
- Hasil pemeriksaan tambahan atau hasil konsultasi dengan dokter lain.
d. Kesimpulan
Bagian ini berupa pendapat pribadi dokter yang memeriksa mengenai hasil
pemeriksaan sesuai dengan pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Seseorang
melakukan pengamatan dengan kelima panca indra (penglihatan, pendengaran,
perasa, penciuman, dan perabaan).
e. Penutup
Memuat kata “Demikianlah Visum et Repertum ini dibuat dengan mengingat
sumpah pada waktu menerima jabatan”. Diakhiri dengan tanda tangan, nama
lengkap/NIP dokter.

3.4.5 Klasifikasi [15]


b. Visum et Repertum korban hidup
- Visum et Repertum
Diberikan apabila setelah diperiksa/diobati, korban tidak terhalang
menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencahariannya.
- Visum et Repertum Sementara
Diberikan apabila setelah korban diperiksa ternyata:
 Korban perlu dirawat/diobservasi
 Korban terhalang menjalankan pekerjaan jabatan/mata
pencahariannya
- Visum et Repertum Lanjutan
15
Hariadi A., Hoediyanto. (2012). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, ed. VIII, hlm. 252.
Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga

15
Diberikan apabila setelah korban dirawat/diobservasi, ternyata:
 Korban sembuh
 Korban belum sembuh, pindah rumah sakit atau dokter lain
 Korban belum sembuh, kemudian pulang paksa/melarikan diri
 Korban meninggal dunia
c. Visum et Repertum mayat
d. Visum et Repertum Pemeriksaan TKP
e. Visum et Repertum Penggalian Mayat
f. Visum et Repertum Mengenai Umur
g. Visum et Repertum Psikiatrik
Merupakan suatu kesaksian tertulis dalam perkara pidana tentang keadaan
kesehatan jiwa penderita/terdakwa yang berperkara.
h. Visum et Repertum mengenai Barang Bukti Lain

3.4.6 Visum et Repertum pada kasus ini

RINGKASAN
PETA KONSEP

16
DAFTAR PUSTAKA

 Hariadi A., Hoediyanto. (2012). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal, ed. VIII. Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
 Undang-Undang Republik Indonesia no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
 Cunningham, F. Gary, et al. (2014). Williams Obstetrics, 24th ed. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
 Sjamsuhidayat, R., et al. (2017). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai