Anda di halaman 1dari 9

Sketsa merupakan gambaran atau lukisan pendahuluan yang kasar ringan, semata-mata garis

besar atau belum selesai.kadang kala hanya digunakan sebagai pengingat-ingat saja. Dalam
penerapannya biasanya dipakai sebagai catatan singkat tanpa bagian-bagian kecil yang
mengemukakan gagasan tertentu. Jika ditarik sebuah kesimpulan secara umum merupakan
rencana kasar seperti permainan ringan, mirip dengan musik ataupun artikel.

sketsa sendiri akan dipakai sebagai dasar untuk membuat sebuah rancangan dari film animasi,
maka dari itu seorang animator memang harus memiliki pengetahuan yang lebih dalam hal
sketsa sehingga bisa membantu untuk mencipatakan hasil karyanya.

Sketsa atau sket (sketch) secara umum dikenal sebagai bagan atau rencana bagi sebuah lukisan.
Dalam pengertian itu, sketsa lebih merupakan gambar kasar, bersifat sementara, baik diatas
kertas maupun diatas kanvas, dengan tujuan untuk dikerjakan lebih lanjut sebagai lukisan.
Mengingat sederhana penampilannya, sketsa lebih merupakan “persiapan” dari lukisan yang
akan datang, demikian tulis Putu Wijaya.

Menurut Meyers (1969) sketsa merupakan gambar catatan. Ia membedakannya dengan gambar
karya lengkap dan gambar karya studi. Dalam karya studi, gambar merupakan eksplorasi teknis
atau bentuk untuk penyelesaian lukisan, patung, dan lain-lain. Biasanya penggambarannya
menyoroti rincian dari bagian-bagian tertentu, misalnya anatomi kepala, tangan atau bahu,
draperi, dan sebagainya dalam mempelajari bentuk orang. Gambar semacam ini misalnya,
dikerjakan oleh Leonardo da Vinci (1452-1519) dan Michaelangelo (1475-1564).

Gambar karya lengkap merupakan karya final, gambar sebagai karya jadi. Sebagai ungkapan
dalam bentuk gambar, ia berfungsi sebagai sarana komunikasi, mendeskripsikan dan
menjelaskan objek-objek secara visual, sebagaimana karya ilustrasi visual, gambar karya lengkap
berdiri sendiri sebagai karya yang selesai, seperti karya-karya lukis atau patung.

Dalam sketsa, kata Meyers, terdapat keinginan pembuatnya untuk merekam kejadian atau objek
yang dilihat sebagai momen yang menarik perhatian penggambarnya. Sketsa mungkin dibuat
untuk memenuhi kebutuhan sebagai latihan, main-main, atau semacam ungkapan pribadi. Dalam
hal yang terakhir, karya skets dipandang setara dengan lukisan. Oleh karenanya, Agus
Dermawan ketika mengomentari sketsa-sketsa karya Ipe Ma’roef (1938) seorang empu sketsa
Indonesia mengungkapkan sebagai lukisan garis. Ungkapan ini sekaligus menegaskan, bahwa
garis perannya amat menonjol dalam sebuah sketsa.

Meski bagi Fajar Sidik (1981) garis atau penggarisan merupakan unsure yang paling menonjol
hakiki dalam seni lukis, namun pada dasarnya terdapat perbedaan antara sketsa dengan lukisan,
ada ungkapan yang menarik yang disampaikan oleh Kusnadi, seorang seniman dan kritikus seni
rupa. Sketsa ibarat gesekan biola tunggal, sedangkan lukisan merupakan sebuah orkes yang
lengkap. Ungkapan ini menyatakan dua hal, pertama, sketsa seagai ungkapan estetis dihadirkan
secara sangat sederhan karena menggunakan garis secara hemat dan selektif. Umumnya sketsa
dikerjakan dengan cepat dan secara spontan. Jika sketsa dibangun oleh unsur-unsur garis sebagai
medium utamanya, lukisan merupakan ungkapan lengkap, dalam arti penyajiannya dibangun
dengan menggunakan unsur-unsur lain, seperti tekstur, kedalaman/ruang, gelap-terang, dan
warna disamping unsur garis. Bahkan dalam lukisan, unsure warna menjadi penting sebagai
unsur tambahannya (Schinneller,1966).

Kedua, baik sketsa maupun lukisan merupakan ungkapan artistik yang bersifat pribadi. Aspek
ungkapan yang bersifat pribadi ini lebih penting daripada aspek lain yang bersifat informatif-
naratif. Melalui sketsa, pembuatnya dapat mengungkapkan pengalaman yang bersifat pribadi
dengan total. Sebagaimana gesekan biola yang mendayu mengiris kalbu, sketsa dapat
menggetarkan perasaan orang yang melihatnya, sama halnya dengan sebuah lukisan. Jadi, sketsa
bukan lagi sebagai bagian dari perencanaan sebuah lukisan, melainkan memiliki otonomi sendiri,
berdiri sejajar dengan lukisan. Dengan demikian, sikap berkarya sketsa sama dengan ketika akan
berkarya lukisan. Ingat saja karya-karya Vincent van Gogh (1853-1890), pelukis ekspresionis
belanda itu.

Semasa hidupnya yang pendek, ia telah menyelesaikan kira-kira 3000 sketsa disamping 800
lukisancat minyak. Baginya sikap membuat gambar atau sketsa sama dengan sikap membuat
lukisan. Perasaan dan emosi sangat memegang peranan. Begitulah karya-karya sketsanya sebagai
gambar ekspresif. Dari sisi intensitas ekspresivitas, sejumlah karya sketsa beberapa pelukis
bahkan tampil lebih kuat dan menarik, meski hanya berupa goresan-goresan hitam putih atau
sebagai gambar rencana lukisan sekalipun. Sketsa karya Poussin (1593-1665) yang berjudul
“Massaere of the Innocents” misalnya, rasanya lebih menarik daripada lukisannya dengan judul
yang sama. Daya tarik dan kekuatan-kekuatan serupa juga dapat dijumpai pada karya-karya
sketsa pelukis Delacroix (1798-1863), Tiepolo (1690-1770), bahkan juga pada sketsa karya
Auguste Rodin (1840-1917) dan Henry Moore(1898-1986) pematung kenamaan itu.

II. Sebagaiman halnya dengan karya lukisan, sketsa memiliki keragaman tema, gaya dan teknik
pengungkapannya. Perbedaan yang mencolok hanyalah pada medium pengucapannya.

Mengenai tema, sketsa lebih banyak dikaitkan dengan subjek yang diangkat dari penggarapan
objek-objek out door, mengingat orang pada kaum impresionis di abad XIX dengan out door
paintingnya itu. Dalam hal ini, pemandangan diluar seperti kebun, lading, jalan-jalan,
perkampungan padat, keramaian kota, bangunan-bangunan, dan kesibukan-kesibukan orang di
pasar, merupakan objek-objek menarik yang menggugah penggambar atau pelukis untuk
membuat sketsa melalui pengalaman melihat langsung. Rupanya kontak langsung melalui
pengamatan untuk mendapatkan impresi dan mengembangkan imaji menjadi bagian penting dari
proses penciptaan dan pemilihan tema dalam sketsa. Itulah sebabnya sketsa dipandang sebagai
rekaman atas objek atau peristiwa yang menarik perhatian penggambarnya. Dengan proses kerja
seperti itu, tentulah banyak diperoleh keuntungan. Antara lain mempertajam pengamatan,
meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengkoordinasikan antara hasil pengamatan dengan
keterampilan tangan. Di lembaga-lembaga pendidikan seni, sketsa masih dipercaya sebagai
latihan-latihan yang wajib dilakukan bagi mahasiswa dalam rangka menumbuhkan dan
mengkukuhkan keprofesionalannya.

Dalam perkembangannya, sketsa kemudian tidak hanya menampilkan objek-objek nyata yang
kasat mata dan dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari, melainkan terjadi perkembangan
tema-tema sketsa. Munculah tema sketsa yang lebih merupakan pernyataan imaji, impian, kesan-
kesan, dan pikiran-pikiran penciptanya dan lebih abstrak. Sketsa pelukis Nashar (1928- )
misalnya, yang dipamerkan di Jakarta tahun 1976, dipandang Putu Wijaya telah membebaskan
garis sebagai batas dari wadag. Garis tersebut telah dibiarkan hidup sebagai garis, menjadi
wadag itu sendiri dalam kubungannya dengan kesan-kesan yang diperoleh batin pelukisnya. Atau
dapat saja kesan-kesan dalam pelukis Oesman Effendi yang amat subjektif atas apa yang
diamatinya itu, mewujudkan sketsa-sketsa yang hilang sosoknya dan berubah menjadi permainan
irama garis. Tudi Isbandi ( 1937- ) pelukis asal Surabaya, pernah membuat sketsa berjudul “kali
mas” dan yang tinggal dalam karyanya hanyalah berupa garis-garis seperti kawat namun sangat
esensial, sehingga menjadi abstrak. Pelopor lukisan abstrak Indonesia, Fajar Sidik (1930- )
membuat sketsa-sketsanya terbebas dari kenyataan visual dan bergaya abstrak.

Mengenai gaya sketsa, hamper penciptanya mengembangkan gaya pribadi masing-masing sesuai
dengan cita rasa dan tanggapannya atas lingkungan. Tetapi sebagai kecenderungan cara dan
corak ungkapan karya, barangkali dapat dikelompokkan menjadi beberapa saja.

Untuk menyebut kecenderungan yang berkembang disekitar kita, aganya dapat dikelompokkan
menjadi sketsa yang bercorak figurative, baik yang realis, ekspresionis, maupun dekoratif
kemudian corak surealistis-imajinatif dan corak abstrak.

Ipe Ma’roef dan kebanyakan pelukis sketsa, karya-karyanya dapat dikelompokkan ke dalam
sketsa figurative-realistis. Corak figuratif-realistis meski dimanifestasikan dengan garis yang
sederhanadan hemat, secara keseluruhan menunjukkan hasil pengamatan yang cermat atas objek
nyata dan masih setia pada proporsi, anatomi, dan gejala perspektig sebagaimana yang diberikan
oleh alam atau kenyataan visual.

Jika karya-karya sketsa Ipe kebanyakan termasuk corak figurative-realistis, sketsa-sketsa Affandi
(1907-1988), Nyoman Sunarso (1944- ) dan suwaji (1942- ) merupakan contoh sketsa
figurative ekspresifistis. Pada corak sketsa ini didorong oleh gejolak emosi dan spontanitas yang
kuat, sosok atau bentuk-bentuk yang digambarkan mengalami pendistorsian. Tubuh orang,
misalnya dibuat meliuk-liuk mengikuti irama dan getaran emosi sehingga mengesampingkan
proporsi yang wajar. Pelukis Widayat (1923- ) membuat sketsa figurative-dekoratif dan
surealistis-dekoratif kegemarannya melakukan stilisasi dan gubahan-gubahan ornamentik dalam
lukisannya, menampak pula pada karya sketsanya.

Sketsa surealistis yang naïf kekanak-kanakan, yang menggambarkan alam bawah sadar dan
penuh khayalan serta terasa absurd dapat dilihat pada karya pelukis muda Eddie hara (1957- ).
Jika Nashar dan Oesman effendi membuat sketsa-sketsa semi abstrak, Fajar Sidik dan beberapa
perupa muda membuat sketsa abstrak murni. Sketsa fajar Sidik berupa pola-pola bidang organis
yang tertata secara ritmis, menginatkan pada lukisannya “Dinamika Keruangan” yang menjadi
gayanya yang khas.

Dalam perjalanannya, dilihat dari segi teknik, sketsa belum seanekaragam lukisan. Barangkali
karena pada sketsa, penggambarannya melalui mengandalkan garis sebagai medium
pengucapannya. Soal garis, Read pernah bilang bahwa garis merupakan sarana yang paling
singkat dan abstrak untuk melukiskan mutu objek.

Melalui garis, dapat dibangun raut atau bentuk, bidang, tekstur, ruang, atau gelap terang dengan
arsir dan garis-garis silang, misalnya unsure warna, dapat saja dihadirkan dalam karya sketsa.
Tetapi pada dasarnya warna garislah yang lebih berbicara. Justru penyajian hitam-putih
merupakan kekuatan sketsa.

Membicarakan soal teknik tak dapat dilepaskan dari penggunaan bahan, alat, serta proses
penyajian karya. Bahan dan alat yang sering disebut media, dalam penciptaan sketsa biasanya
pensil dan arang serta media kering lainnya, dan tinta, yang menggunakan kuas, pena atau alat
lain sebagai media basah. Pensil dan arang merupakan media yang fleksibel serta dapat
menghasilkan jejak-jejak yang cukup bervariasi. Namun kecuali mudah terhapus, umunya nilai
kepekatannya kurang.

Penggunaan media basah dalam sketsa menampilkan goresan yang pekat, jelas, dan memiliki
kemungkinan untuk divariasikan pula penggunaannya. Adakalanya kepekatan garis-garis
dipadukan dengan cara bilas, yaitu membasahi atau menyapukan kuas basah dengan air. Cara
demikian, dapat memperoleh objek efek khusus dan variasi nada atau nilai gelap terang, karena
goresan tinta menjadi luntur dan mengembang. Tetapi upaya-upaya ini dalam sketsa dilakukan
tidak untuk kepentingan membuat rincian yang berlebihan, sketsa yang baik haruslah tetap sumir
dan menghindari penyajian rincian yang kurang esensial.

Bagaimanapun, garis merupakan unsure rupa yang fundamental dan potensial dalam karya
sketsa, ia tidak semata membentukl kontur. Potensi lain dari garis ialah kemampuannya
mengekspresikan gerakan-gerakan, ruang atau kedalaman, dan mengesankan massa bentuk,
potensi-potensi inilah yang harus dikuasai oleh pembuat sketsa beserta pemilihan dan
pemanfaatan media dalam mencapai nilai-nilai artistic karya.

Terdapat dua pendekatan dalam menggunakan garis sebagai medium ungkapan sketsa. Pertama,
pendekatan kontur dan yang kedua pendekatan gestur.

Pada pendekatan kontur, sketsa dihadirkan dengan garis-garis tunggal seakan tak terputus,
sebagai batas yang mengelilingibentuk subjek-subjeknya, tanpa harus kehilangan spontanitasnya.
Garis-garis yang dikerjakan secara free-hand itu, tampak eksplesit, tajam dan presisi. Tak ada
garis yang salah. Tak ada garis yang diulang dan berlebihan, apalagi arsir dalam sketsa itu.
Picasso (1881-1973), Henri Matisse menciptakan sketsa dengan cara ini. Meski garis-garis
mereka dibuat dengan tarikan sekali jadi dan dengan ketebalan yang sama, dengan susunan
tertentu dan pemenggalan-pemenggalan kontur ditempat-tempat yang pas, dapat dihadirkan
kesan ruang dalam sketsanya. Pengaturan bagian-bagian yang kosong menjadi penting dalam
menyatakan kesan ruang. Demikianlah, tarikan garis sekali jadi amat menentukan dalam sebuah
sketsa. Ipe mengibaratkan sketsa sebagai teater. sekali pemain muncul di panggung, tak ada
kesempatan untuk meralat kekeliruan, lain dengan dunia film yang diibaratkan melukis dengan
cat minyak.

Pada pendekatan gestur, sketsa dibentuk oleh garis-garis yang dihadirkan dengan gesekan-
gesekan tangan secara kontinyu sepanjang proses penciptaan. Dengan cara ini, bentuk sketsa
lebih merupak impresi tetapi mencitrakan gerak bentuk menjadi mengabur, karena dibangun oleh
garis riuh bertindihan dan liar, sejalan dengan reaksi emosi yang bergelora ketika
penggambarannya menghadapi objek jika dengan pendekatan kontur bentuk dirumuskan dengan
garis tunggal, pada pendekatan kontur gesture disugestikan dengan garis-garis jamak. Pelukis-
pelukis seperti Vincent van Gogh, daumier (1808-1879) atau Affandi membuat sketsa dengan
pendekatan gestur, baik pendekatan kontur maupun gestur, proses penggarapan sketsa dilakukan
dengan teknik langsung (direct method0, dalam arti dikerjakan sekali jadi tanpa melalui tahapan-
tahapan. Oleh karena itu waktu pengerjaannya berjalan dengan singkat, tetapi dengan segenap
jiwa yang intens dan total.

III. Demikian, sebagai bentuk ungkapan pengalaman estetis, sketsa memiliki karakteristik
kegarisan, sumir, esensial, dikerjakan secara langsung dan spontan dalam waktu singkat. Ia tidak
semata berupa kontur dan garis gestur yang riuh tanpa arti, ia tidak hanya rekaman objek,
melainkan ungkapan emosi dan kesan-kesan dalam sampai pada ke tingkat esensi objek, bahkan
hingga bernilai simbolik untuk menyatakan gagasan dan khayalan penciptanya. Ia dapat
mempresentasikan kenyataan fisik yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari sampai kepada
pernyataan dunia batin yang lebih dalam dan abstrak.

Sungguh merupakan upaya yang perlu disambut dengan gembira, bila ada beberapa pihak yang
mendukung dan menerbitkan kumpulan karya-karya sketsa, khususnya sketsa dengan objek
arsitektur stasiun K.A Tawang yang dikerjakan sepuluh mahasiswa pemenang lomba sketsa
baru-baru ini. Mudah-mudahan dapat meningkatkan apresiasi dan berdampak luas menggerakkan
dunia sketsa yang semakin lesu.
Semoga…!

Semarang, 12 Desember 1999


Aryo Sunaryo
Dosen Seni Rupa Universitas Negeri Semarang
Seorang pelukis, tinggal di Semarang.

Daftar Pustaka

Bentara Budaya Jakarta, 1995, Garis dan Warna: Proses Kreatif Ipe Ma’roef. Jakarta, PT.
gramedia Pustaka Utama
Bersinar Lubis, 1995. “Goresan sebuah Puncak”, artikel dalam gatra 22 Juli 1995
Meyers S. Berray, 1969. Understanding the Arts, New York: Rinehart & Winst
Peter & Linda murray, 1988. Dictionary of Art & Artists. London: Penguin Book
Read, Herbert. 1959. The Meaning of Art. Toront: Penguin Book Ltd
Schinneller, J.A. 1966. Art search and Self Discovery. Pensylvania: international text Book
Cmpany
Sidik, Fajar & Aming P. 1981. Desain Clementer, Yogyakarta: STSRI ASRI
Simon, Howard. 1968. Teghniques of Drawing. New York: Dover Publiations Inc
Sunaryo, aryo. 1990. “Garis, Medium Ungkapan yang Potensial” makalah dalam diskusi dalam
rangka pergelaran seni di IKIP Ujung Pandang
Toney, Anthony. 1966. Creative Painting and Drawing. New York: Dover Publiations Inc
Wijaya, Putu. 1976. “Kesan-kesan dalam” Artikel dalam Tempo 27 November 1976
Wijaya, Putu. 1976. Sketsa-sketsa Henk Ngantung, dari Masa ke Masa. Jakarta: Penerbit Sinar
harapan

Mar

BERBAGAI JENIS MEDIA


PEMBELAJARAN
Media pembelajaran banyak jenis dan macamnya. Dari yang palng sederhana dan
murah hingga yang canggih dan mahal. Ada yang dapat dibuat oleh guru sendiri dan ada yang
diproduksi pabrik. Ada yang sudah tersedia di lingkungan untuk langsung dimanfaatkan dan
ada yang sengaja dirancang.
Berbagai sudut pandang untuk menggolongkan jenis-jenis media.
Rudy Bretz (1971) menggolongkan media berdasarkan tiga unsur pokok (suara, visual dan
gerak):
1. Media audio
2. Media cetak
3. Media visual diam
4. Media visual gerak
5. Media audio semi gerak
6. Media visual semi gerak
7. Media audio visual diam
8. Media audio visual gerak
Anderson (1976) menggolongkan menjadi 10 media:
1. audio : Kaset audio, siaran radio, CD, telepon
2. cetak : buku pelajaran, modul, brosur, leaflet, gambar
3. audio-cetak : kaset audio yang dilengkapi bahan tertulis
4. proyeksi visual diam : Overhead transparansi (OHT), film bingkai (slide)
5. proyeksi audio visual diam : film bingkai slide bersuara
6. visual gerak : film bisu
7. audio visual gerak : film gerak bersuara, Video/VCD, Televisi
8. obyek fisik : Benda nyata, model, spesimen
9. manusia dan lingkungan : guru, pustakawan, laboran
10. komputer : CAI
Schramm (1985) menggolongkan media berdasarkan kompleksnya suara, yaitu: media
kompleks (film, TV, Video/VCD,) dan media sederhana (slide, audio, transparansi, teks). Selain
itu menggolongkan media berdasarkan jangkauannya, yaitu media masal (liputannya luas dan
serentak / radio, televisi), media kelompok (liputannya seluas ruangan / kaset audio, video,
OHP, slide, dll), media individual (untuk perorangan / buku teks, telepon, CAI).
Henrich, dkk menggolongkan:
1. media yang tidak diproyeksikan
2. media yang diproyeksikan
3. media audio
4. media video
5. media berbasis komputer
6. multi media kit.
Pada artikel ini, media akan diklasifikasikan menjadi media visual, media audio, dan
media audio-visual.

A. MEDIA VISUAL
1. Media yang tidak diproyeksikan
a. Media realia adalah benda nyata. Benda tersebut tidak harus dihadirkan di ruang kelas,
tetapi siswa dapat melihat langsung ke obyek. Kelebihan dari media realia ini adalah
dapat memberikan pengalaman nyata kepada siswa. Misal untuk mempelajari
keanekaragaman makhluk hidup, klasifikasi makhluk hidup, ekosistem, dan organ
tanaman.
b. Model adalah benda tiruan dalam wujud tiga dimensi yang merupakan representasi atau
pengganti dari benda yang sesungguhnya. Penggunaan model untuk mengatasi kendala
tertentu sebagai pengganti realia. Misal untuk mempelajari sistem gerak, pencernaan,
pernafasan, peredaran darah, sistem ekskresi, dan syaraf pada hewan.
c. Media grafis tergolong media visual yang menyalurkan pesan melalui simbol-simbol
visual. Fungsi dari media grafis adalah menarik perhatian, memperjelas sajian pelajaran,
dan mengilustrasikan suatu fakta atau konsep yang mudah terlupakan jika hanya
dilakukan melalui penjelasan verbal. Jenis-jenis media grafis adalah:
1) gambar / foto: paling umum digunakan
2) sketsa: gambar sederhana atau draft kasar yang melukiskan bagian pokok tanpa
detail. Dengan sketsa dapat menarik perhatian siswa, menghindarkan verbalisme,
dan memperjelas pesan.
3) diagram / skema: gambar sederhana yang menggunakan garis dan simbol untuk
menggambarkan struktur dari obyek tertentu secara garis besar. Misal untuk
mempelajari organisasi kehidupan dari sel samapai organisme.
4) bagan / chart : menyajikan ide atau konsep yang sulit sehingga lebih mudah dicerna
siswa. Selain itu bagan mampu memberikan ringkasan butir-butir penting dari
penyajian. Dalam bagan sering dijumpai bentuk grafis lain, seperti: gambar, diagram,
kartun, atau lambang verbal.
5) grafik: gambar sederhana yang menggunakan garis, titik, simbol verbal atau bentuk
tertentu yang menggambarkan data kuantitatif. Misal untuk mempelajari
pertumbuhan.

2. Media proyeksi
1. Transparansi OHP merupakan alat bantu mengajar tatap muka sejati, sebab tata letak
ruang kelas tetap seperti biasa, guru dapat bertatap muka dengan siswa (tanpa harus
membelakangi siswa). Perangkat media transparansi meliputi perangkat lunak
(Overhead transparancy / OHT) dan perangkat keras (Overhead projector / OHP).
Teknik pembuatan media transparansi, yaitu:
- Mengambil dari bahan cetak dengan teknik tertentu
- Membuat sendiri secara manual
2. Film bingkai / slide adalah film transparan yang umumnya berukuran 35 mm dan diberi
bingkai 2X2 inci. Dalam satu paket berisi beberapa film bingkai yang terpisah satu sama
lain. Manfaat film bingkai hampir sama dengan transparansi OHP, hanya kualitas visual
yang dihasilkan lebih bagus. Sedangkan kelemahannya adalah beaya produksi dan
peralatan lebih mahal serta kurang praktis. Untuk menyajikan dibutuhkan proyektor
slide.

B. MEDIA AUDIO
1. Radio
Radio merupakan perlengkapan elektronik yang dapat digunakan untuk mendengarkan
berita yang bagus dan aktual, dapat mengetahui beberapa kejadian dan peristiwa-peristiwa
penting dan baru, masalah-masalah kehidupan dan sebagainya. Radio dapat digunakan
sebagai media pembelajaran yang cukup efektif.
2. Kaset-audio
Yang dibahas disini khusus kaset audio yang sering digunakan di sekolah. Keuntungannya
adalah merupakan media yang ekonomis karena biaya pengadaan dan perawatan murah.

C. MEDIA AUDIO-VISUAL
1. Media video
Merupakan salah satu jenis media audio visual, selain film. Yang banyak dikembangkan
untuk keperluan pembelajaran, biasa dikemas dalam bentuk VCD.
2. Media komputer

Media ini memiliki semua kelebihan yang dimiliki oleh media lain. Selain mampu menampilkan
teks, gerak, suara dan gambar, komputer juga dapat digunakan secara interaktif, bukan hanya
searah. Bahkan komputer yang disambung dengan internet dapat memberikan keleluasaan
belajar menembus ruang dan waktu serta menyediakan sumber belajar yang hampir tanpa
batas.

Anda mungkin juga menyukai