Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem Ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sebuah ethical economy,
sedangkan sistem ekonomi lain, baik kapitalisme maupun sosialisme, berangkat dari kepentingan
(interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan perorangan (selfishness) dan sosialisme
berangkat dari kepentingan kolektif (collectivism). Ekonomi Islam meletakkan hak individu
dan masyarakat dalam neraca keseimbangan yang adil. Berkenaan dengan bagaimana konsep
ekonomi Islam itu, terdapat tiga madzhab yang memiliki pandangan yang berbeda, yaitu:
Pertama, madzhab Bagir al-Sadr yang memandang bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak
pernah bisa sejalan dengan Islam, karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif.
Karenanya, madzhab ini menggunakan istilah iqtishâd, bukan ekonomi Islam. Kedua, madzhab
Mainstream yang berpandangan bahwa, sebagaimana ekonomi konvensional, kelangkaan
sumber daya menjadi penyebab munculnya masalah ekonomi. Ketiga, madzhab Alternatif
Kritis yang berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap
sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Mannan
mendefinisikan ekonomi islam sebagai sebua ilmu sosial yang mempelajari masalah – masalah
ekonomi bagi suatu masyarakat yang diilhami oleh nilai – nilai islam. Ekonomi islam itu
berhubungan dengan produksi , distribusi dan konsumsi barang serta jasa didalam kerangka
masyarakat islam yang didalamnya jalan hidup islami ditegakkan sepenuhnya.1
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya Islamic Economics: Theory and
Practice (1970) dan The Making of Islamic Economic Society (1984). Ia mendefinisikan
ekonomi Islam sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi
rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.” Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada masalah
”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat.
Bedanya adalah pilihan individu terhadap alternatif penggunaan sumber daya, yang dipengaruhi
oleh keyakinan terhadap nilai-nilai Islam.
Oleh karena itu, menurut Mannan, yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem
sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang mempengaruhi pola, struktur, arah dan
komposisi produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan demikian, tugas utama ekonomi Islam
adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran
sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah distribusi yang lebih adil.2

1
Muhammed aslam Haneef.Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. (Jakarta: Rajawali pers.2010).hal. 17
2 Hulwati, Ekonomi Islam, ( Jakarta: Ciputat Press Group, 2009), hlm.1-3
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; The Economic Enterprise in
Islam (1971) dan Some Aspects of The Islamic Economy (1978). Ia mendefinisikan ekonomi
Islam sebagai “respon para pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi pada
zaman mereka masing-masing. Dalam usaha ini, mereka dibantu oleh Qur’an dan Sunnah, baik
sebagai dalil dan petunjuk maupun sebagai eksprimen.” Siddiqi menolak determinisme ekonomi
Marx. Baginya, ekonomi Islam itu modern, memanfaatkan teknik produksi terbaik dan metode
organisasi yang ada. Sifat Islamnya terletak pada basis hubungan antarmanusia, di samping pada
sikap dan kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem tersebut.
Ciri utama yang membedakan perekonomian Islam dan sistem-sistem ekonomi modern
yang lain, menurutnya, adalah bahwa di dalam suatu kerangka Islam, kemakmuran dan
kesejahteraan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh
karena itu, ia mengusulkan modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya
untuk mewujudkan perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan yang
dicapai.3

B. RUMUSAN MASALAH

A. Apa Itu Pola Pemikiran Ekonomi Islam Pada Periode Kontemporer ?


B. Apa Itu Pola Pemikiran Tokoh Madzhab Al-Iqtishoduna ?
C. Apa Itu Pola Pemikiran Tokoh Madzhab Mainstream ?
D. Apa Itu Pola Pemikiran Tokoh Madzhab Alternatif ?

B. TUJUAN MAKALAH

A. Mengetahui Pola Pemikiran Ekonomi Islam Pada Periode Kontemporer


B. Mengetahui Pola Pemikiran Tokoh Madzhab Al-Iqtishoduna
C. Mengetahui Pola Pemikiran Tokoh Madzhab Mainstream
D. Mengetahui Pola Pemikiran Tokoh Madzhab Alternatif

3
Op.Cit. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. (Jakarta: Rajawali pers.2010).hal. 38
BAB II
PEMBAHASAN

A. POLA PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM PADA PERIODE


KONTEMPORER

Dalam perkembangan ekonomi global dan semakin meningkatnya minat masyarakat


dengan ekonomi perbankan secara islami, maka ekonomi islam mempunyai tantangan besar
dalam menghadapinya. Diantaranya adalah: pertama, ujian atas kredibilitas sistem ekonomi dan
keuangannya. Kedua, bagaimana sistem ekonomi islam dapat meningkatkan dan menjamin
kelangsungan hidup serta kesejahteraan umat, dapat menghapus kemiskinan dan pengangguran,
serta dapat memajukan ekonomi dalam negeri. Ketiga, mengenai perangkat peraturan: hukum
dan kebijakan baik dalam skala nasional dan internasional.4
Ekonomi islam tidak bisa begitu saja terlepas dari ekonomi konvensional. Paradigma
ekonomi konvensional akan tetap berfungsi dalam membentuk paradigma ekonomi islam dan
pelaksanaannya. Terdapat beberapa pandangan/madzhab yang populer dalam era kontemporer
ini, diantaranya adalah madzhab iqtishaduna yang dipelopori oleh Baqr as-Sadr. Madzhab ini
memandang bahwa ilmu ekonomi tidak akan pernah sejalan dengan hukum islam karena
keduanya berangkat dari folosofi yang bertolak belakang. Disamping itu teori-teori yang
dikembangkan oleh ekonomi konvesional akan ditolak dan tidak dipergunakan sama sekali,
sebagai gantinya madzhab ini menyusun teori-teori baru tentang ekonomi yang sumbernya
langsung dari al-Quran dan as-Sunnah.
Selanjutnya terdapat satu madzhab yang bertolak belakang dengan madzhab baqir, yaitu
madzhab Mainstream. Madzhab ini tidak meninggalkan teori konvesional secara sekaligus,
karena madzhab ini punya pandangan bahwa semua permasalahan ekonomi hampir tidak ada
bedanya dengan pandangan konvesional. Letak perbedaanya hanya terdapat di cara
menyelesaikan masalah ekonomi tersebut.
Berikutnya terdapat madzhab Alternatif, yang berpandangan bahwa analitis kritis tidak
hanya dilakukan di sistem ekonomi sosialisme dam kapitalisme saja, bahkan harus dilakukan di
ekonomi islam itu sendiri. Madzhab ini juga mengkritik madzhab-madzhab lainnya, madzhab
Baqr dianggap berusaha menemukan teori baru yang sebenarnya telah ditemukan orang lain.

4
Mariyah Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer, ( Bandung: Alfabeta, 2010 ), hlm. viii
Madzhab Mainstream dianggap sebagai jiplakan dari ekonomi neo-klasik hanya saja di madzhab
ini menghilangkan unsur riba dan memasukkan variabel zakat serta niat.5
Dalam hakikatnya nilai-nilai dasar ekonomi syariah dengan background tauhid harus
meliputi: kepemilikan (ownership), keseimbangan (equilibrium), dan keadilan (justice). Ketiga
nilai dasar tersebut dapat diperincikan sebagai berikut.6
1. (ownership)
Pemilikan terletak pada kemanfaatanya dan bukan mengusai secara mutlak terhadap
sumber-sunber ekonomi
Pemilikan terbatas sepanjang usia hidup manusia, jika orang itu mati maka harus
didistribusikan kepada ahlu warisnya menurut ketentuan islam
Pemilikan perorangan tidak dibolehkan terhadap sumber-sumber ekonomi yang
menyangkut kepentingan umum atau hajat hidup orang banyak. Sumber-sumber ini
menjadi milik umum atau dikuasai negara.

2. Keseimbangan (equilibrium), yang pengaruhnya terlihat pada berbagai aspek tingkah


laku ekonomi muslim, misalnya kesederhanaan (moderation), berhemat (parsimory), dan
menjauhi keborosan (extravagance).
3. Keadilan (justice). Keadilan dalam masalah ekonomi:

a) Keadilan berarti kebebasan yang bersyarat akhlak islam.


b) Keadilan harus ditetapkan disemua fase kegiatan ekonomi. Artinya keadilan dalam
produksi dan konsumsi.
.

B. POLA PEMIKIRAN TOKOH MADZHAB Al-IQTISHODUNA

Adapun Paham dari aliran ini adalah pemikirannya tentang masalah ekonomi yang
muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat dari sistem
ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat
memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah
tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu, masalah

5
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar Yogyakarta: EKONSIA, 2002

6
Mariyah Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer, ( Bandung: Alfabeta, 2010 ), hlm.21
ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang tidak terbatas, tetapi karena keserakahan
manusia yang tidak terbatas.
Aliran ini menolak pernyataan yang menyatakan bahwa masalah ekonomi disebabkan
oleh adanya keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang tersedia
jumlahnya terbatas. Karena hal tersebut bertentangan dengan firman Allah: “Sesungguhnya
Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Q.S. al-Qamar: 49).
Aliran ini dipelopori oleh Baqir Sadr. Nama aliran ini pun diambil dari nama karyanya
Iqtishādunā. Menurutnya, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh Islam untuk
dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan masalah
ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Baginya, Islam tidak mengurusi
hukum permintaan dan penawaran ... (tidak pula) hubungan antara laba dan bunga bank ... (tidak
pula) fenomena diminishing returns di dalam produksi, yang baginya merupakan ”ilmu
ekonomi”. Jadi menurutnya, ekonomi Islam adalah doktrin karena ia membicarakan semua
aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai keadilan
sosial. Sebagai doktrin, sistem ekonomi Islam juga berhubungan dengan pertanyaan ”apa yang
seharusnya” berdasarkan kepercayaan, hukum, konsep dan definisi yang diambil dari Al-Qur’an
dan Hadits. Di dalam doktrin ekonomi Sadr, keadilan menempati posisi sentral, sehingga
menjadi tolak ukur untuk menilai teori, kegiatan dan output ekonomi. adal

M. BAQIR AS-SADR (1935-1980 M)

1. Biografi, Pemikiran dan Karyanya

Muhammad Baqir As-Sadr berasal dari keluarga shi’tie yang dilahirkan pada tanggal 1 Maret
1935 M/25 Dzul Qa’dah 1353 H di Baghdad. Buku Falsafatuna dan Iqtishaduna merupakan
karya besar yang mengharumkan namanya di kalangan cendekiawan muslim. Dari karyanya
dalam aspak kehidupan ekonomi, yakni Iqtishaduna melahirkan madzhab tersendiri. Menurut
mazhab ini, ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Baginya ekonomi Islam
hanyalah mazhab, bukan ilmu.

Menurut teori ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang
tidak terbatas sedangkan sumber daya yang tersedia terbatas. Mazhab Iqtishaduna menolak
hal ini karena dalam Islam tidak pernah dikenal adanya sumber daya yang terbatas.

Sadr berpendapat bahwa permasalahan ekonomi muncul dikarenakan oleh dua faktor.
Pertama karena perilaku manusia yang melakukan kezaliman dan kedua karena mengingkari
nikmat Allah SWT7. Yang dimaksud zhalim disini adalah proses kecurangan seperti
penimbunan atau ikhtikar. Sedangkan yang dimaksud ingkar adalah manusia cenderung
menafikan nikmat Allah dengan melakukan eksploitasi sumber daya alam. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa permasalahan ekonomi bukan akibat dari keterbatasan alam dalam
merespon setiap dinamika kebutuhan manusia.

Lebih jauh, mazhab ini berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya
distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat system ekonomi yang membolehkan
eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap
sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah tidak memiliki akses
terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu, masalah ekonomi muncul
bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak
terbatas.

2. Hubungan Milik

Kepemilikan pribadi dalam pandangan Sadr hanya terbatas pada hak memakai dan adanya
prioritas untuk menggunakan serta hak untuk melarang orang lain untuk menggunakan
sesuatu yang telah menjadi miliknya. Dalam hal ini Sadr menganggap bahwa kepemilikan
yang dimiliki manusia hanya bersifat sementara, sedangkan kepemilikan yang mutlak adalah
milik Allah SWT.

Baqir As-Sadr memandang format kepemilikan bersama menjadi dua yakni;

(i) Kepemilikan public, (ii) Milik Negara.

Perbedaan antara kepemilikan public dan Negara terletak pada tata cara pengelolaannya.
Kepemilikan publik digunakan untuk seluruh kepentinagn masyarakat. Misalnya rumah sakit,
sekolah, dan sebagainya. Sedangkan kepemilikan negara dapat digunakan tidak hanya bagi
kebaikan semua orang, melainkan dapat pula digunakan untuk suatu bagian dari masyarakat,
jika negara memang menghendakinya. Misalnya ghanimah, jizyah, pajak, cukai, harta orang
yang tidak memiliki ahli waris, dsb.

3. Peran Negara dalam Perekonomian

7
Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Negara memiliki kekuasaan sehingga mempunyai tanggung jawab yang besar untuk
memastikan bahwasannya keadilan berlaku. Diantaranya ialah fungsi-fungsi sebagai berikut:

v Distribusi sumber daya alam kepada individu ysng berdasarkan pada keinginan dan
kepastian untuk bekerja.

v Pelaksanaan yang tepat sesuai dengan undang-undang yang sah pada penggunaan sumber
daya.

v Memastikan keseimbangan sosial.

Intinya, Negara harus memenuhi standar kehidupan masyarakat yang seimbang secara
keseluruhan. Negara pun harus memberikan keamanan social serta memastikan
keseimbangan social dan keamana secara keseluruhan. Sehingga masyarakat percaya bahwa
Negara yang menjalankan tugas sebgagai pengatur keseimbangan ekonomi masyarakat secara
keseluruhan.

4. Larangan Riba dan Perintah Zakat

Sadr tidak banyak membicarakan riba. Penafsirannya pada riba terbatas pada uang modal.
Sedangkan mengenai zakat, ia memandang hal ini sebagai tugas Negara. Mengenai pemikiran
ekonominya, ia memisahkan antara produksi dan distribusi sebagai pusat di dalam ekonomi.
Menurutnya, produksi adalah suatu proses dinamis, mengubah dengan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sedangkan distribusi sebagai bagian dari system social, yaitu
total hubungan antar system social yang memancar dari kebutuhan orang dan bukan dari gaya
produksi.

5. Teori Produksi Islam

Sadr mengklasifikasi dua aspek yang mendasari terjadinya aktivitas produksi. Pertama adalah
aspek obyektif atau aspek ilmiah yang berhubungan dengan sisi teknis dan ekonomis yang
terdiri atas sarana-sarana yang digunakan, kekayaan alam yang diolah dan kerja yang
dilakukan dalam aktivitas produksi. Aspek ini berusaha untuk menjawab pertanyaan dasar
mengenai what, how, dan whom(The three fundamental economic problem).

Yang kedua yaitu aspek subyektif. Terdiri atas motif psikologis, tujuan yang hendak dicapai
lewat aktifitas produksi, dan evaluasi aktivitas produksi menurut konsepsi keadilan yang
dianut.
Selain itu menurut Sadr sumber asli produksi terdiri dari tiga kelompok yakni, alam, modal,
dan kerja. Adapun sumber alam yang digunakan untuk produksi dibagi menjadi tanah,
substansi-substansi primer, dan air.

ð Strategi pertumbuhan produksi

a. strategi doctrinal/ intelectual

Strategi ini bertolak pada asumsi bahwa manusia termotivasi untuk bekerja keras sebagai
ibadah. Membiarkan sumber-sumber menganggur, tindakan mubazir, dan juga produksi
barang haram merupakan hal yang dilarang didalam Islam. Pemikiran inilah yang dikatakan
sebagai landasan doctrinal dalam mewujudkan produksi.

b. strategi legislatif/ hukum

Untuk menjamin lancarnya strategi doktrinal tersebut, diperlukan aturan hukum, antara lain:

ü tanah yang menganggur dapat disita oleh negara untuk kemudian didistribusikan kepada
orang yang mampu menggarapnya.

ü Larangan memiliki tanah dengan jalan paksa

ü Larangan kegiatan yang tidak memiliki semangat produktif.

ü Pelarangan riba, ikhtikar, pemusatan kekayaan, dan juga tindakan mubazir

ü Melakukan regulasi pasar dan juga pengawasan terhadapnya (pasar)

6. Pandangan Terhadap Kapitalisme Demokrat

Sistem kapitalisme demokrat mengakui hak individu secara penuh dan meyakini bahwa
kepentingan semua orang akan terjamin apabila kepentingan pribadi setiap individu
diperhatikan dari seluruh bidang. Menurut mereka, tujuan pemerintah hanya melindungi
kepentingan dan keuntungan pribadi individu.

Dalam sistem ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara
menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah
teori yang tidak sepenuhnya benar, bahkan kemiskinan menjadi salah satu produk dari sistem
ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil. Fakta
empiris menunjukkan bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat
menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan.

Dalam kaitan ini, Baqr As-Sadr, menolak asumsi ekonomi konvensional bahwa masalah
ekonomi muncul disebabkan oleh faktor kelangkaan. Menurut Sadr masalah ekonomi muncul
karena distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat system ekonomi yang
membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki
akses terhadap sumber daya sehingga menjadi kaya. Sementara yang miskin tidak memiliki
akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Berangkat dari pemikiran ini,
Sadr tidak setuju dengn pemikiran ekonomi yang ada, tetapi menggantinya dengan istilah
Iqtishad, yang bermakna seimbang, adil, pertengahan dan keadilan inilah yang harus
melandasi system ekonomi yang berkembang.8

7. Kritik Terhadap Kapitalisme Sosialis

Pada dasarnya, sosialisme dilahirkan untuk memecahkan masalah sosial yang terjadi pada
masyarakat pada umumnya saat itu. Dimana system ini berprinsip pada tiga hal, yakni:
menghapus kepemilikan pribadi kepada kepemilikan bersama, seluruh hasil produksi
dibagikan secara merata sesuai dengan yang dibutuhkan dan pemerintah harus memiliki
regulasi yang matang mengenai pengaturan kehidupan ekonomi masyarakat.

Namun pada kenyataannya, analisis ini kurang tepat untuk diterapkan pada kehidupan
masyarakat. Karena ternyata permasalahan baru justru timbul dari penyelesaian yang tidak
tepat. Dimana ketika kepemilikan pribadi dihapus dan digantikan dengan kepemilikan
bersama, justru bertentangan dengan karakter manusia. Dan para penguasa komunis pun
mengakui kegagalan mereka.

C. POLA PEMIKIRAN TOKOH MADZHAB MAINSTREAM

Ekonomi islam mempunyai dua sifat dasar yaitu, Rabbani dan Insani. Disebut Rabbani karena
ekonomi islam sarat dengan tujuan dan nilai-nilai Ilahiyyah sedang disebut Insani karena sistem
ekonomi islam dilaksanakan dan ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Atas dasar hal ini maka
muncullah konsep-konsep. Antara lain:

8
Jurnal Iqtishad,Vol.1, No. 1, Februari 2009, Euis Amalia, Hal. 102
1. Konsep tauhid
Konsep ini menjelaskan tentang keesaan Allah, yakni bagaimana hubungan manusia dengan
Allah serta hubungan dengan sesamanya dan alam sekitar. Sebagaiamana firman Allah:

.‫و ﻣﺎ ﺧﻠﻘﺖ اﻟﺠﻦ و اﻻﻧﺴﺎن اﻻ ﻟﯿﻌﺒﺪون‬


Dan tidaklah aku jadikan jin dan manusia itu melainkan untuk menyembah dan beribadah
kepaaku.
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa hidup manusia penuh dengan pengabdian kepada
Allah SWT, bukan hanya pada ibadah khusus seperti sholat, zakat, dan haji, bahkan
mencakup seluruh aktivitas manusia termasuk aktivitas dibidang ekonomi.

2. Konsep Rububiyyah
Peraturan yang ditetapkan Allah bertujuan untuk memelihara dan menjaga kehidupan
manusia ke arah kesempurnaan dan kemakmuran. Oleh karena itu manusia dituntut untuk
mencari dan menjaga rezeki yang diberikan Allah.

3. Konsep Khalifah
Manusia sebagai kholifah di muka bumi adalah sebuah qodrat dari Allah SWT. Hal ini
merupakan rumusan untuk membina konsep ekonomi islam, dan sekaligus sebagai falsafah
ekonomi islam. Manusia yang telah diberi amanah sebagai kholifah haruslah merealisasika
kesejahteraan yang seharusnya menjadi tujuan ekonomi islam.

4. Konsep Tazkiyah
Konsep ini adalah konsep yang membentuk kesucian jiwa dan ketinggian akhlaq,
sebagaimana misi dari dakwah nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlaq.9
Rasulullah bersabda:

‫اﻧﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﻻﺗﻤﻢ ﻣﻜﺎرم اﻻﺧﻼق‬


Sesungguhnya hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik.
Dari keempat konsep tersebut seorang tokoh madzhab mainstream yang bernama Dr. Monzer
Kahf, ketua Economist Group Association of Muslim Social Scientist, USA, dan salah seorang
ekonom di Islamic Reserch dan Training Institute Islamic Devolepment Bank (IRTI-IDB),
mempunyai pandangan bahwa ekonomi adalah sebagai bagian tertentu dari agama. Beliau
juga adalah orang yang pertama mengaktualisasi analisis penggunaan beberapa institusi islam

9
Hulwati, Ekonomi Islam, ( Jakarta: Ciputat Press Group, 2009), hlm.1-3
(misal zakat) terhadap agregat ekonomi, seperti simpanan, investasi, konsumsi, dan
pendapatan.10
Beliau mempunyai asumsi dasar yakni tetntang islamic man. Baginya, semua oarang yang
berkeinginan untuk menerima paradigma islam maka dia dapat disebut sebagai Islamic Man.
Jadi orang islam tidak harus muslim. Apabila seseorang terbiasa menerima tiga pilar ekonomi
islam maka pemikiran dan segala apa yang diputuskan akan berbeda dengan orang yang
menjalankan ekonomi konvesional. Adapun tiga pilar tersebut adalah:
Segala sesuatu adalah mutlak milik Allah, dan umat manusia sebagai kholifah-Nya
(memiliki hak / bertanggungjawab)
Tuhan itu satu, hanya hukum Allah yang dapat diperlakukan
Kerja adalah kebijakan, dan kemalasan adalah sifat buruk; oleh karena itu diperlukan
sikap memperbaiki diri sendiri.11

Teori konsumsi dalam ekonomi islam juga mengenal rasionalisme. Rasionalisme adalah salah
satu istilah yang paling bebas digunakan dalam ekonomi, karena segala sesuatu dapat
dirasionalisasikan sekali kita mengacunya kepada beberapa perangkat aksioma yang relevan.
Rasionalisme dalam islam dinyatakan sebagai alternative yang konsisten dengan nilai-nilai
Islam.
Seorang dapat dianggap rasional menurut islam apabila dia melakukan hal-hal berikut:
a. Menghindarkan diri dari sikap israf (berlebih-lebihan melampauhi batas)
b. Mengutamakan akhirat dari pada dunia
c. Konsisten dalam prioritas pemenuhan keperluan
d. Memperhatikan etika dan norma
Adapun konsep asas rasionalisme islam menurut Monzer Kahf adalah konsep kesuksesan,
jangka waktu perilaku konsumen, konsep kekayaan, konsep barang, etika konsumen. Dan
kelima konsep terebut dapat diuraikan sebagai berikut:
- Konsep kesuksesan
Dalam dunia islam tidak pernah mengungkiri orang menjadi sukses dalam
perekonomian. Namun kesuksesan tersebut tidak hanya kesuksesan duniawi saja akan
tetapi juga kesuksesan kelak hari kiamat yaitu mencapai ridlo ilahi. Kesuksesan dalam
kehidupan muslim diukur dengan moral agama Islam.
- Jangka waktu perilaku konsumen

10
www.google.com Konsep Asas Rasionalisme Islam Menurut Mozer Kahf
11
Nor Chamidi, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 386
Kehidupan manusia di dunia hanyalah sementara dan ada kehidupan yang lebih kekal
yakni kehidupan akhirat. Maka dalam mencapai kepuasan harus ada keseimbangan
antara dunia dan akhirat. Oleh karena itu, keuntungan di dunia sanggup dikorbankan
demi kepuasan di akhirat.
- Konsep kekayaan
Dalam islam kekayaan adalah amanah dari Allah SWT untuk mencapai kesuksesan
dan kepuasan di hari kiamat kelak, kebalikannya konvesional memandang kekayaan
sebagai hak individu dan merupakan pengukur tahap pencapaian mereka di dunia.
- Konsep barang
Dalam Al-Quran barang dibagi menjadi dua: at-thoyyibah (baik, bersih, dan suci serta
berfaedah) dan al-rizq (rezeki, anugrah, dan hadiah dari Allah) yang semuanya
mengandung halal dan haram. Sedang dalam pandangan ekonomi islam barang di bagi
menjadi tiga: dloruriyyat (barang primer), hajiyyat (barang sekunder), dan tahsiniyyat
(barang tersier). Dalam penggunaan barang-barang tersebut harus memperhatikan
maqoshid al-syar’ah (tujuan-tujuan syariah).
- Etika konsumen
Agama islam tidak melarang manusia untuk menggunakan barang dalam mencapai
kepuasan selagi manusia itu tidak mengkonsumsi barang yang haram dan yang
merusak dirinya. Tetapi islam melarang menggunakan barang dengan niat isrof
(pembadziran) dan tabdzir (spending in the wrong way) misal, suap dan berjudi.12
Adapun corak utama dari pemikiran aliran ini adalah kebalikan dari aliran Iqtishādunā dalam
memandang masalah ekonomi. Menurut aliran ini, masalah ekonomi timbul memang
dikarenakan kelangkaan (scarcity) Sumber Daya Alam sementara keinginan manusia tidak
terbatas. Untuk itu, manusia diarahkan untuk melakukan prioritas dalam memenuhi segala
kebutuhannya. Dan keputusan dalam menentukan skala prioritas tersebut tidak dapat
dilakukan semaunya sendiri karena dalam Islam sudah ada rujukannya sesuai dengan Al-
Qur’an dan As-Sunnah.
Aliran ini ditokohi oleh 4 tokoh utama, yaitu Muhammad Abdul Mannan, Muhammad
Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf.
a. Muhammad Abdul Mannan.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; Islamic Economics: Theory
and Practice (1970) dan The Making of Islamic Economic Society (1984). Ia mendefinisikan
ekonomi Islam sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah

12
Ibid, hlm.389-390
ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.” Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada
masalah ”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan dalam
ekonomi Barat. Bedanya adalah pilihan individu terhadap alternatif penggunaan sumber daya,
yang dipengaruhi oleh keyakinan terhadap nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, menurut
Mannan, yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem sosio-ekonomi lain adalah sifat
motivasional yang mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi produksi, distribusi dan
konsumsi. Dengan demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran sehingga dimungkinkan untuk
mengubah keduanya ke arah distribusi yang lebih adil.
1. Biografi Muhammad Abdul Mannan
Muhammad Abdul Mannan lahir di Bangladesh tahun 1938. Pada tahun 1960, ia
mendapat gelar Master di bidangEkonomi dari Rajashi University dan bekerja di Pakistan.
Tahun 1970, ia meneruskan belajar di Michigan State University dan mendapat gelar Doktor
pada tahun 1973. Setelah mendapat gelar doctor, Mannan mengajar di Papua Nugini. Pada
tahun 1978, ia ditunjuk sebagai Profesor di International Centre for Research in Islamic
Economics di Jeddah.
Sebagian karya Abdul Mannan adalah Islamic Economics, Theory and Practice, Delhi,
Sh. M. Ashraf, 1970. Buku ini oleh sebagian besar mahasiswa dan sarjana ekonomi Islam
dijadikan sebagai buku teks pertama ekonomi Islam. Penulis memandang bahwa kesuksesan
Mannan harus dilihat di dalam konteks dan periode penulisannya. Pada tahun 1970-an,
ekonomi Islam baru sedang mencari formulanya, sementara itu Mannan berhasil mengurai
lebih seksama mengenai kerangka dan ciri khusus ekonomi Islam. Harus diakui bahwa pada
saat itu yang dimaksud ekonomi Islam adalah fikih muamalah.
Seiring dengan berlalunya waktu, ruang lingkup dan kedalaman pembahasan ekonomi
Islam juga berkembang. Hal tersebut mendorong Abdul Mannan menerbitkan buku lagi pada
tahun 1984 yakni The Making of Islamic Economiy. Buku tersebut menurut Mannan dapat
dipandang sebagai upaya yang lebih serius dan terperinci dalam menjelaskan bukunya yang
pertama.13

2. Asumsi Dasar Muhammad Abdul Mannan


Beberapa asumsi dasar dalam ekonomi Islam, sebagai berikut:
Pertama, Mannan tidak percaya kepada “harmony of interests” yang terbentuk oleh
mekanisme pasar seperti teori Adam Smith. Sejatinya harmony of interests hanyalah angan-
angan yang utopis karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai naluri untuk menguasai

13
Ibid.hal. 15 - 16
pada yang lain. Hawa nafsu ini jika tidak dikendalikan maka akan cenderung merugikan pada
yang lain. Begitulah kehidupan kapitalistik yang saat ini tengah terjadi, di mana kepentingan
pihak-pihak yang kuat secara faktor produksi dan juga kekuasaan mendominasi percaturan
kehidupan. Oleh karena itu, Mannan menekankan pada perlunya beberapa jenis intervensi
pasar. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia secara pribadi tidak bisa menciptakan
keadilan yang sesungguhnya. Manusia cenderung menindas pada manusia yang lain. Oleh
karena itu, ekonomi Islam diharapkan akan bekerja pada perpotongan antara mekanisme
pasar dan perencanaan terpusat.
Kedua, penolakannya pada Marxis. Teori perubahan Marxis tidak akan mengarah pada
perubahan yang lebih baik. Teori Marxis hanyalah reaksi dari kapitalisme yang jika ditarik
garis merah tidak lebih dari solusi yang tidak tuntas. Bahkan, lebih jauh teori Marxis ini
cenderung tidak manusiawi karena mengabaikan naluri manusia yang fitrah, di mana setiap
manusia mempunyai kelebihan antara satu dan lainnya dan itu perlu mendapatkan reward
yang berarti. Dia berpendapat, hanya ekonomi Islam yang dapat memberikan perubahan yang
lebih baik. Alasan utama Mannan adalah karena ekonomi Islam memiliki nilai-nilai etika dan
kemampuan motivasional. Tetapi, Mannan tidak menjelaskan perbedaan nilai etika Islam dan
kemampuan motivasional tersebut dengan nilai-nilai Marxis beserta motivasinya.
Ketiga, Mannan menyebarkan gagasan perlunya melepaskan diri dari paradigma kaum
neoklasik positivis, dengan menyatakan bahwa observasi harus ditujukan kepada data historis
dan wahyu. Argumen ini sebenarnya bertolak belakang dari agumennya sendiri untuk
meninggalkan paradigma kaum neoklasik yang mendasarkan pada historis. Hanya saja,
Mannan lebih jauh menampilkan “wahyu” sebagai penunjukan dan pelengkap dalam arah
observasi ekonomi. Jadi, rupanya Mannan sangat menaruh perhatian pada norma wahyu
dalam setiap observasi ekonominya. Ini dapat dipahami bahwa ekonomi Islam dibangun dari
pondasi utama yaitu dalil-dalil syara’ yang notabenenya sebagai wahyu. Oleh karena itu,
semua observasi ekonomi yang meninggalkan wahyu akan kehilangan ruh dari ekonomi
Islam tersebut.
Keempat, Mannan menolak gagasan kekuasaan produsen atau kekuasaan konsumen. Hal
tersebut menurutnya akan memunculkan dominasi dan eksploitasi. Dalam kenyataan, sistem
kapitalistik yang ada saat ini dikotomi kekuasaan produsen dan kekuasaan konsumen tak
terhindarkan. Oleh karena itu, Mannan mengusulkan perlunya keseimbangan antara kontrol
pemerintah dan persaingan dengan menjunjung nilai-nilai dan norma-normasepanjang
diizinkan oleh syariah. Hanya saja, mekanisme kontrol dengan upaya menjunjung nilai-nilai
dan norma yang sesuai dengan syariah belum dijabarkan dengan baik. Artinya, mekanisme ini
akan sangat beragam sesuai dengan persepsi dan sistem kekuasaan yang ada di tiap-tiap
negara.
Kelima, dalam hal pemilikan individu dan swasta, Mannan berpendapat bahwa Islam
mengizinkan pemilikan swasta sepanjang tunduk pada kewajiban moral dan etik. Dia
menambahkan bahwa semua bagian masyarakat harus memiliki hak untuk mendapatkan
bagian dalam harta secara keseluruhan. Namun, setiap individu tidak boleh menyalahgunakan
kepercayaan yang dimilikinya dengan cara mengeksploitasi pihak lain. Pandangan Mannan
ini masih bersifat normatif. Mannan dalam beberapa tulisannya belum menjelaskan secara
gamblang cara, instrumen dan sistem yang dia pakai sehingga keharmonisan ekonomi Islam
di masyarakat dapat terwujud. Misalnya, Mannan belum membedakan sifat dari kepemilikan
individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara, serta hal-hal apa yang tidak boleh
dilakukan intervensi dari ketiganya. Hanya saja Mannan telah menjelaskan norma bahwa
kekayaan tidak boleh terkonsentrasi pada tangan orang-orang kaya saja. Menurutnya, zakat
dan shadaqah memegang peranan penting untuk memainkan peranan distributifnya, sehingga
paham kapitalis yang mengarah pada individualisme tidak ada dalam ekonomi Islam.
Keenam, dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam, langkah pertama Mannan adalah
menentukan basic economic functions yang secara sederhana meliputi tiga fungsi, yaitu
konsumsi, produksi dan distribusi. Ada lima prinsip dasar yang berakar pada syariah untuk
basic economic functions berupa fungsi konsumsi, yakni prinsip righteousness, cleanliness,
moderation, beneficence dan morality. Perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh
kebutuhannya sendiri yang secara umum adalah kebutuhan manusia yang terdiri dari
necessities, comforts dan luxuries.14
Pada setiap aktivitas ekonomi, aspek konsumsi selalu berkaitan erat dengan aspek
produksi. Dalam kaitannya dengan aspek produksi, Mannan menyatakan bahwa sistem
produksi dalam negara (Islam) harus berpijak pada kriteria obyektif dan subyektif. Kriteria
obyektif dapat diukur dalam bentuk kesejahteraan materi, sedangkan kriteria subyektif terkait
erat dengan bagaimana kesejahteraan ekonomi dapat dicapai berdasarkan syariah Islam. Jadi,
dalam sistem ekonomi kesejahteraan tidak semata-mata ditentukan berdasarkan materi saja,
tetapi juga harus berorientasi pada etika Islam. Hal ini berbeda dengan pandangan kapitalistik
yang berorientasi pada materi untuk mengukur kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Oleh
karena itu, tidak heran jika dalam pendekatan kapitalistik, azas yang dipakai adalah
pemenuhan kebutuhan materi secara melimpah dengan prinsip produk, to product and to
product. Akibat dari azas dan prinsip ini, maka telah muncul masyarakat pembosan dan
cenderung mencari materi secara terus menerus sehingga sering kali makna kebahagiaan dan

14 ibid
kesejahteraan yang sesungguhnya menjadi kabur. Islam tidak menekankan yang demikian,
namun, lebih menekankan pada keseimbangan antara pemenuhan materi dan senantiasa
berorientasi pada prinsip dan etika Islam. Dalam Islam, halal dan haram menjadi standar
utama dalam melakukan aktifitas ekonomi dan aktifitas lainnya.
Aspek penting lainnya adalah aspek distribusi pendapatan dan kekayaan. Mannan
mengajukan rumusan beberapa kebijakan untuk mencegah konsentrasi kekayaan pada
sekelompok masyarakat saja melalui implementasi kewajibanyang dijustifikasi secara Islam
dan distribusi yang dilakukan secara sukarela.15

3. Ciri – cirri dan Kerangka Institusional


Berdasarkan asumsi dasar di atas, Mannan membahas sifat, ciri dan kerangka institusinal
ekonomi Islam, sebagai berikut:

a. Kerangka Sosial Islam dan Hubungan yang Terpadu antara Individu, Masyarakat,
dan Negara
Keterpaduan antara individu, masyarakat dan negara. Abdul Mannan menekankan
bahwa ekonomi berpusat pada individu, karena menurutnya, masyrakat dan negara ada karena
adanya individu. Oleh karena itu, ekonomi Islam harus digerakkan oleh individu yang patuh
pada agama dan bertanggung jawab pada Allah swt dan masyarakat. Menurutnya, kebebasan
individu dijamin oleh control social dan agama. Kebebasan individu adalah kemampuan
untuk menjalankan semua kewajiban yang digariskan oleh syariah. Mannan menjamin tidak
ada konflik antara individu, masyarakat dan negara, karena syariah telah meletakkan peranan
dan posisi masing-masing dengan jelas. Bahkan, antara kebebasan individu dan kontrol
masyarakat dan negara akan saling melengkapi, karena mempunyai tujuan dan maksud baik
yang bersama-sama diupayakan dalam menjalankan sistem ekonomi Islam.

b. Kepemilikan Swasta yang Relatif dan Kondisional


Kepemilikan swasta yang bersifat relatif dan kondisional. Isu dasar dari setiap
pembahasan ekonomi, termasuk juga ekonomi Islam adalah masalah kepemilikan. Dalam hal
ini, Mannan mendukung pandangan yang menyatakan bahwa kepemilikan absolut terhadap
segala sesuatu hanyalah pada Allah swt saja. Manusia dalam posisinya sebagai khalifah di
muka bumi bertugas untuk menggunakan semua sumberdaya yang telah disediakan oleh-Nya
untuk kebaikan dan kemaslahatannya.

15
ibid
Kepemilikan resmi diakui keberadaannya menurut Islam, namun legitimasi
kepemilikan itu tidaklah mutlak. Dalam legitimasi kepemilikan tersebut terdapat kewajiban-
kewajiban moral, agama dan kemasyarakatan dari individu yang bersangkutan.
Mannan mengusulkan pandangannya untuk mengatur kepemilikan oleh swasta antara
lain; tidak boleh ada aset yang menganggur, pembayaran zakat, penggunaan yang
menguntungkan, penggunaan yang tidak membahayakan, pemilikan kekayaan secara sah,
penggunaan yang seimbang (tidak boros dan juga tidak kikir), distribusi returns yang tepat,
tidak boleh terjadi konsentrasi kekayaan dan penerapan Hukum Islam tentang warisan.
Sebagai konsekwensi dari tawaran Mannan ini, maka setiap pelanggaran terhadap syarat-
syarat tersebut membuka peluang campur tangan negara. Namun, Mannan tidak menyebutkan
secara detail apakah individu yang melanggar itu masih boleh memegang hak miliknya atau
kehilangan haknya.

c. Mekanisme Pasar Didukung Oleh Kontrol, Pengawasan dan Kerja Sama dengan
Perusahaan Negara Terbatas.
Mekanisme pasar dan peran negara. Dalam upaya pencapaian titik temu antara sistem
harga dengan perencanaan negara, Mannan mengusulkan adanya bauran yang optimal antara
persaingan, kontrol yang terencana dan kerjasama yang bersifat sukarela. Mannan tidak
menjelaskan lebih lanjut bagaimana bauran ini dapat tercipta. Sekali lagi Mannan telah
memunculkan pemikiran normatif elektis yang masih sangat membutuhkan tindakan kongkrit
untuk merelaisasikan norma tersebut dengan teknik-teknik dan pendekatan tertentu. Tetapi
yang jelas, Mannan tidak setuju dengan mekanisme pasar saja untuk menentukan harga dan
output. Hal itu akan memunculkan ketidakadilan dan arogansi.
Lebih jauh, Mannan menegaskankan bahwa permintaan efektif yang mendasari
mekanisme pasar dan ketidakmerataan pendapatan akan mengakibatkan gagalnya mekanisme
pasar dalam penyediaan kebutuhan dasar untuk kepentingan permintaan kelompok kaya. Oleh
karena itu, Mannan mengusulkan konsep kebutuhan efektif untuk menggantikan konsep
permintaan efektif.

d. Implementasi Zakat dan Penghapusan Bunga ( Riba )


Implementasi zakat. Mannan memandang bahwa zakat merupakan sumber utama
penerimaan negara, namun tidak dipandang sebagai pajak melainkan lebih sebagai kewajiban
agama, yaitu sebagai salah satu rukun Islam. Karena itulah maka zakat merupakan poros
keuangan negara Islam. Sungguhpun demikian, beberapa pengamat ekonomi Islam
melakukan kritik terhadap zakat yang menyatakan bahwa sekalipun dalam konotasi agama,
kaum muslimin berupaya menghindari pembayaran zakat itu.
Zakat bersifat tetap dan para penerimanya juga sudah ditentukan (asnaf delapan).
Zakat tidak menyebabkan terjadinya efek negatif atas motifasi kerja. Justru zakat menjadi
pendorong kerja, karena tak seorangpun ingin menjadi penerima zakat sehingga ia rajin
bekerja agar menjadi orang yang senantiasa membayar zakat. Selain itu, jika seseorang
membiarkan hartanya menganggur, maka ia akan semakin kehilangan hartanya karena
dikurangi dengan pengeluaran zakat tiap tahun. Oleh karena itu, ia harus bekerja dan hartanya
harus produktif.
kedudukan zakat dalam kebijakan fiskal perlu dikaji lebih mendalam. Salah satunya
dengan melakukan penelusuran sejarah masyarakat muslim sejak masa Rasulullah saw
sampai sekarang. Hal itu penting karena zakat memiliki dua fungsi, yaitu fungsi spiritual dan
fungsi sosial (fiskal). Fungsi spiritual merupakan tanggungjawab seorang hamba kepada
Tuhannya yang mensyariatkan zakat. Sedangkan fungsi sosial adalah fungsi yang dimainkan
zakat untuk membiayai proyek-proyek sosial yang dapat juga diteruskan dalam kebijakan
penerimaan dan pengeluaran negara.
Sistem ekonomi Islam melarang riba. Seperti juga ahli ekonomi yang lainnya,
Mannan sangat menekankan penghapusan sistem bunga dalam sistem ekonomi Islam.
Sehubungan dengan permasalahan bunga ini, Mannan memberi aternatif dengan mengalihkan
sistem bunga kepada sistem mudhrabah, yang menurutnya merupakan bagi laba (rugi) dan
sekaligus partisipasi berkeadilan. Dengan mudhrabah, tidak saja semangat Qur’ani akan lebih
terpenuhi, namun, pada saat yang sama penciptaan lapangan kerja dan pembangkitan kegiatan
ekonomi akan lebih sejalan dengan norma kerja sama menurut Islam. Tentu saja tawaran
Mannan tidak sebatas pada alternatif penggunaan akad mudhrabah saja, namun, disertai pula
tawaran transaksi lainnya, mulai mushyrakah, ijarah, kafalah, wakalah, dan sebagainya.16

4. Distribusi
Mannan memandang kepedulian Islam secara realistis kepada si miskin demikian besar
sehingga Islam menekankan pada distribusi pendapatan secara merata dan merupakan pusat
berputarnya pola produksi dalam suatu negara Islam. Mannan berpendapat bahwa distribusi
merupakan basis fundamental bagi alokasi sumber daya.17
Selanjutnya, Mannan menegaskan bahwa distribusi kekayaan muncul karena pemilikan
orang pada faktor produksi dan pendapatan tidak sama. Oleh karena itu, sebagian orang

16
Op.Cit. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. (Jakarta: Rajawali pers.2010).hal.20 - 25
17
Ibid. hal 26
memiliki lebih banyak harta daripada yang lain adalah hal yang wajar, asalkan keadilan
manusia ditegakkan dengan prinsip kesempatan yang sama untuk mengakses faktor produksi
bagi semua orang. Jadi, seseorang tetap dapat memperoleh surplus penerimaannya asal ia
telah menunaikan semua kewajibannya. Lebih jauh, Mannan menyatakan bahwa dalam
ekonomi Islam, inti masalah bukan terletak pada harga yang ditawarkan oleh pasar,
melainkan terletak pada ketidakmerataan distribusi kekayaan.
Pembahasan tentang kepemilikan yang paling menonjol dibahas oleh Mannan adalah
tentang kepemilikan tanah sebagai salah satu faktor produksi yang paling penting. Menurut
Mannan, secara umum tanah dapat dimiliki melalui kerja seseorang. Mannan juga
berpendapat bahwa seorang penggarap juga punya hak atas kepemilikan tanah. Implikasi dari
pendapatnya itu, maka pemilik tanah diperbolehkan untuk menyewa maupun berbagi hasil
tanaman, sekalipun ia lebih setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa tanah sebaiknya
tidak disewakan dan lebih baik digarap dengan sistem bagi hasil.
Berkaitan dengan landlordism, Mannan memberikan kritikannya terhadap sewa tanah
tersebut karena hal itu dapat mengarah kepada penciptaan kelas kapitalistik dan dapat
menjadi ancaman bagi penciptaan masyarakat di negara Islam yang berkeadilan. Mannan
menambahkan bahwa penciptaan kelas kapitalistik juga mengancam etika dan moral Islam.
Namun demikian, Mannan memunculkan ambigu pada paparannya yang menyatakan bahwa
“Islam tidak mengenal eksploitasi pekerja dengan modal, dan tidak pula Islam menyetujui
penghapusan kelas kapitalis.18
Kritikan Mannan pada teori distribusi neoklasik lebih ditekankan pada perlakuan
distribusi sebagai perluasan dari teori harga, terutama menyangkut masalah distribusi
fungsional pendapatan. Namun, sekali lagi kritikan ini menimbulkan ambigu karena Mannan
juga mengakui adanya empat faktor produksi serta menguraikan mengapa masing-masing
faktor produksi layak mendapat imbalan. Mannan mengakui upah, sewa dan laba, namun,
mengkritik bunga sebagai imbalan dari modal. Dia tidak menjelaskan lebih jauh mekanisme
perolehan pendapatan dari imbalan faktor produksi modal tersebut dengan tidak merugikan
pekerja.

5. Produksi
Mannan berpendapat bahwa produksi terkait dengan utility atau penciptaan nilai guna.
Agar dapat dipandang sebagai utility dan mampu meningkatkan kesejahteraan, maka barang
dan jasa yang diproduksi harus berupa hal-hal yang halal dan menguntungkan, yaitu hanya
barang dan jasa yang sesuai aturan syariah. Menurut Mannan, konsep Islam mengenai

18
Ibid. hal 27
kesejahteraan berisi peningkatan pendapatan melalui peningkatan produksi barang yang baik
saja, melalui pemanfaatan sumber-sumber tenaga kerja dan modal serta alam secara maksimal
maupun melalui partisipasi jumlah penduduk maksimal dalam proses produksi.19
Pandangan Mannan yang menekankan pada kualitas, kuantitas dan maksimalisasi dan
partisipasi dalam proses produksi, menjadikan rumah tangga produksi memiliki fungsi yang
berbeda dalam ekonomi. Rumah tangga produksi atau firm bukan hanya sebagai pemasok
komoditas, namun juga sebagai penjaga kebersamaan antara pemerintah bagi kesejahteraan
ekonomi dan masyarakat.
Lebih jauh, pendapat Mannan ini akan berimplikasi pada tujuan rumah tangga produksi
yang tidak saja hanya memaksimalkan laba, namun juga harus memperhatikan moral, sosial
dan kendala-kendala institusional. Menurut Abdul Mannan, gabungan dari motif laba,
kebersamaan dan tanggung jawab sosial, serta dorongan moral akan memacu proses produksi
dan distribusi menjadi maksimal.
Dalam sistem ekonomi Islam, surplus produksi diperlukan sebagai persediaan generasi
sekarang dan generasi yang akan datang. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis
dan sosialis yang cenderung rakus dengan konsentrasi kekayaan pada mereka yang mampu
menguasai faktor produksi. Ekonomi Islam menekankan pada individu dan pemerintah untuk
berperan banyak dalam kegiatan produksi.
Sementara itu, proses produksi menurut Mannan adalah usaha bersama antara anggota
masyarakat untuk menghasilkan barang dan jasa bagi kesejahteraan ekonomi mereka.20
Kebersamaan anggota masyarakat jika diaplikasikan dalam lingkungan ekonomi akan
menghasilkan lingkungan kerjasama dan perluasan sarana produksi, bukan konsentrasi dan
eksploitasi sumber daya dan faktor produksi lainnya. Keadaan demikian akan menimbulkan
efisiensi. Barang tidak akan dihasilkan dengan mempertimbangkan permintaan efektif, namun
berdasarkan kebutuhan efektif, yaitu kebutuhan yang didefinisikan menurut rambu-rambu
norma dan nilai-nilai Islam.
Tahap akhir dari pandangan Mannan tentang produksi adalah produksi sebagai suatu
proses sosial. Mannan mengajukan gagasannya bahwa penawaran harus berdasarkan
kapasitas potensial yang akan mengakomodasi pemberian kebutuhan dasar kepada semua
anggota masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah (miskin). Berdasarkan asumsi
ini maka produsen tidak hanya melakukan reaksi dari harga pasar, melainkan juga atas
perencanaan nasional untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, pembagian

19
Ibid. hal 29
20
Ibid. hal 26
kerja dan spesialisasi untuk berproduksi harus berjalan secara efisien dan adil serta secara
konstan menekankan perlunya humanisasi proses produksi.

b. Muhammad Nejatullah Siddiqi.


Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; The Economic Enterprise
in Islam (1971) dan Some Aspects of The Islamic Economy (1978). Ia mendefinisikan
ekonomi Islam sebagai “respon para pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi yang
dihadapi pada zaman mereka masing-masing. Dalam usaha ini, mereka dibantu oleh Qur’an
dan Sunnah, baik sebagai dalil dan petunjuk maupun sebagai eksprimen.” Siddiqi menolak
determinisme ekonomi Marx. Baginya, ekonomi Islam itu modern, memanfaatkan teknik
produksi terbaik dan metode organisasi yang ada. Sifat Islamnya terletak pada basis hubungan
antarmanusia, di samping pada sikap dan kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem
tersebut. Ciri utama yang membedakan perekonomian Islam dan sistem-sistem ekonomi
modern yang lain, menurutnya, adalah bahwa di dalam suatu kerangka Islam, kemakmuran
dan kesejahteraan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai tujuan spritual dan moral.
Oleh karena itu, ia mengusulkan modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan
peralatannya untuk mewujudkan perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan
tujuan yang dicapai. 1. Biografi Muhammad Najetullah Siddiqi
Muhammad Nejatullah Sidiqi merupakan salah satu tokoh yang memberikan
kontribusinya pada periode islam pada Periode Kontemporer ini.21 Mohammad Nejatullah
Siddiqi lahir di Gorakhpur, India pada tahun1931. Pria yang Saat ini tinggal di Aligarh India
ini adalah salah satu ahli ekonomi Islam terkenal yang berasal dari India.22 Siddiqi merupakan
ekonom India yang memenagkan penghargaan dari King Faizal Internasional Prize dalam
bidang studi Islam.
Siddiqi menempuh pendidikannya di Aligarh Muslim University. Ia tercatat sebagai
murid dari Sanvi Darsgah Jamaat-e-Islami Hind, Rampur. Ia juga mengeyam pendidikan
diMadrasatul Islah, Saraimir, Azamgarh.
Karir Siddiqi dimulai saat ia menjabat sebagai Associate Professor Ekonomi dan Profesor
Studi Islam di Aligarh University dan sebagai Profesor Ekonomi di Universitas King Abdul
AzizJeddah. Kemudian ia juga mendapat jabatan sebagai fellow di Center for Near Eastern
Studies di University of California, Los Angeles. Setelah itu, ia menjadi pengawas sarjana di
Islamic Research & Training Institute, Islamic Development Bank, Jeddah.

21
Drs. Nur Chamid, MM. Jejak Langkah SEjarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010) hlm.340
22
Op.Cit. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. (Jakarta: Rajawali pers.2010).hal.37
Selama karir akademiknya, Siddiqi telah mengawasi dan menguji sejumlah tesis dari
calon professor di universitas-universitas di India, Arab Saudi dan Nigeria. Ia juga mendapat
beberapa penghargaan di bidang pendidikan seperti Shah Waliullah Award in New Delhi
(2003), A prolific writer in Urdu on subjects as Islami Adab (1960), Muslim Personal Law
(1971), Islamic Movement in Modern Times (1995) selain penghargaan King Faisal
International Prize untuk Studi Islam yang berhasil dimenangkan.

2. Ciri – Ciri Sistem Ekonomi Islam


a. HAk yang Relatif dan Terbatas bagi individu, Masyarakat, dan Negara
Dari semua hak yang dianugerahkan kepada manusia, Siddiqi menganggap bahwa “
hak untuk mendapatkan kebebasan menyembah Allah Swt. Sebagai hak primer manusia”.
Tak boleh ada yang menghalangi atau membatasi hak fundamental ini. Atas dasar
inilahSiddiqi mencoba menghubungkan ekonomi Islam. Karena orang hanya dapat mencapai
sukses dengan memenuhi kebutuhan materialnya secara jujjur dan benar, maka ia harus diberi
kebebasan untuk memiliki, memanfaatkan dan mengatur milik maupun barang dagangannya.
Namun semua hak itu memancar dari kewajiban manusiasebagai kepercayaan dan khalifah
Allah SWT dimuka bumi, jadi Siddiqi memandang kepemilikan –Swasta atau Pribadi sebagai
suatu hak individual selama ia melaksanakan kewajibannya seta tidak menyalah gunakan
haknya itu.

b. Peranan Negara yang Positif dan Aktif


Tidak seperti Mannan, Siddiqi konsisten dalam dukungannya terhadap peran aktif dan positif
negaa didalam system ekonomi. Sekalipun ia menyetujui dan membela perlunya system pasar
berfungsi dengan baik, ia tidak memandangnya sebagai suatuyang keamat dan tak bias
dilanggar. Jika pasar gagal mencapai keadilan, maka Negara harus campur tanan. Ia
menyebut penyediaan kebutuhan dasar bagi semua orang serta penyediaan barang – barang
public dan sosial. Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar diperkuas jangkauannya ke
lingkungan ekonomi dan Siddiqi meruujuk pada lembaga Hisbah .
Sekalipun ia menghendaki adanya peran aktif pemerintah, Siddiqi bersikukuh
menyatakan bahwa hal itu tidaklah dapat disamakan dengan system sosialis. Ada dua alas an
untuk itu: pertama : kepemilikan pribadi diakui dan secara umum menjadi norma; dan kedua:
alasan serta tujuan campur tangan Negara berdasarkan pada aturan Negara.

c. Implementasi Zakat dan Penghapusan Riba


Siddiqi menyatakan bahwa tidak ada system ekonomi yang dapat disebut islami jika dua cirri
utama ini tidak ada, karena keduanya disebutkan secara eksplisit daklam Al – Qur’an dan
Sunnah. Zakat adalah hak mereka yang tak berpuntya dalam harta siberpunya.
Siddiqi tidak memiliki pandangan lain mengenai bunga. Baginya, bunga adalahr iba, dan
oleh karenanya harus dilenyapkan.23 Ia mengusulkan system Mudharabah sebagai gantinya.
Siddiqi merupakan pengkritik yang paling setia terhadap bank – bank Islam yang ada karena
bank – bank itu berkonsentrasi kepada kedua praktik tersebut adalah kelangsungan hidup
ekonomis dan penyalah gunaan dana yang dipinjam. Siddiqi mempertahankan pandangannya
dengan menyatakan bahwa bank di dalam perekonomian Islam harus melihat kembali pada
fungsinya, yakni tidak hanya sebagai lembaga perantara melainkan juga sebagai agen
ekonomi, dan bagaimanapun harus secara langsung terlibat dalam penciptaan kegiatan
ekonomi.

d. Jaminan Kebutuhan Dasar Bagi Manusia


Siddiqi memandang jaminan akan terpenuhi kebutuhan dasar bagi semua orang
sebagai salah satu cirri utama system ekonomi Islam. Memang diharapkan orang dapat
memenuhi kebutuhan melalui usaha mereka sendiri. Namun, ada saja diantara mereka yang
untuk sementara tidak dapat bekerja karena meenganggur atau sebagian lagi malah
menganggur permanen karena memang tidak mampu bekerja dan oleh karenanya harus
dujaman kebutuhannya.
Pandangan Sidiqi terhadap penyediaan kebutuhan dasar dapat ditafsirkan mirip
dengan strategi kebutuhan dasar ataau dengaan praktik – praktik di beberapaa program
kesejahteraan kapitalis. Siddiqi menekankan bahwa suatu jaminan berupa kebutuhan hidup
minimal bagi semua orang itu paling baik dilakukan melalui distribusi asset yang
menghasilkan pendapatan yang lebih adil daloam jangka panjang.24

3. Distribusi
Distribusi sebagai konsekuensi konsumsi (permintaan) dan produksi (penawaran).
Baginya hal itu mengekalkan gagasan palsu tentang kekuasaan konvensional, menciptakan
khayalan bahwa masyarakt melakukan permintaan terhadap apa yang mereka ingin konsumsi,
kaum produsen memproduksi karena menuruti kontribusi yang diberikan kepada proses
produksi (distribusi fungsional). Tetapi permintaan, menurut Siddiqi , dibatasi atau ditentukan
oleh distribusi awal pendapatan dan kekayaan. Oleh karena itu, distribusi, semua determinan

23
M.N.Siddiqi. Banking without Interest. Islamic foundation Leicester, 1983
24
Ibid. hal.45 - 50
dan ketimpangannya, haruslah dipelajari dan dikoreks dari sumbernya, bukan hanya sekedar
mengatakan saja seperti yang terjadi dalam ekonomi konvensional (neoklasik). Dalam
kenyataannya siddiqi menganggap bahwa pendapatan dan kekayaan awal yang tak seimbang
dan tak adil sebagai salah satu situasi yang menjadi jalan bagi berlakunya campur tangan
negara, disamping pemenuhan kebutuhan dan mempertahankan praktik-praktik pasar yang
jujur.
Kekayaan dapat di usahakan maupun diwarisi namun dipandang sebagai suatu amanah
dari dari Allah Swt, sang pemilik mutlak. Siddiqi tegas sekali menggariskan bahwa oleh
karena tidak ada pernyataan eksplisit didalam Al-Quran dan sunnah yang melarang
kepemilikan kekayaan oleh swasta, maka dibolehkan. Hanya saja, hak memiliki kekayaan itu
terbatas sifatnya. Hak itu terbatas dalam pengertian bahwa masing-masing individu, negara
dan masyarakat memiliki klaim untuk memiliki yang dibatasi oleh tempat dan hubungannya
di dalam sistem sosio –ekonomi Islam. hak memiliki kekayaan ini, menurut Siddiqi tidak
boleh menimbulkan konflik karena semua lapisan masyarakat akan bekerja demi tujuan
bersama yakni menggunakan semua sumber daya yang diberikan oleh Allah Swt. Bagi
kebaikan semua orang. Jika terjadi konflik kepentingan, maka kepentingan masyarakat atau
kepentingan umum harus didahulukan mengingat komitmen Islam terhadap kepentingan
umum (maslahah ‘aammah).
Oleh karena itu, sekalipun kepemilikan swasta itu merupakan hal mendasar didalam
aturan islam, siddiqi memandang tujuan memiliki kekayaan sebagai penciptaan keadilan dan
penghindaran ketidakadilan dan penindasan itu sebagai persoalan yang lebih mendasar
didalam masalah hak kepemilikan. Menurut Siddiqi Islam menolak pandangan sosialisme
bahwa kepemilikan sosial atas semua sarana produksi itu merupakan kondisi harus
menghapuskan eksploitasi. Yang jelas, didalam Islam sumber daya alam itu seerti sungai,
gunung, laut, jembatan, jalan raya, adalah milik umum dan tidak dapat dimiliki oleh swasta.
Kepemilikan individual terbatas dalam pengertian bahwa hak itu ada jika kewajiban-
kewajiban sosial sudah ditunaikan. Dalam pengertian itu, kekayaan swasta dipandang sebagai
suatu hal yang mengandung maksud tertentu yakni untuk memberi kebutuhan materiil kepada
manusia, pada waktu yang sama, bekerja bagi kebaikan masyarakat.penggunaan kekayaan
swasta haruslah benar bersamaan dengan norma – norma kerja sama, persaudaraan, simpati,
dan pengorbanan diri. Setiap pelanggaran terhadap semua persyaratan tersebut seperti
penimbunan, eksploitasi dan penyalahgunaan akan menyebabkan hilangnya hak memiliki.
Negara dan masyarakat adalah penjaga kepentingan sosial dalam hal ini.25

25
Ibid. hal.51 - 54
4. Produksi
Pendekatan Siddiqi pada produksi tenggelam dalam paradigma neoklasik. Perubahannya
adalah bahwa, didalam sistem ekonomi islam, kta berhubungan dengan apa yang disebut
Islamic man. Perubahan mendasar ini dikatakan akan mentransformasikan tujuan produksi
dan norma perilaku para produsen. Baginya maksimisasi laba bukanlah satu-satunya motif
dan bukan pula motif utama produksi. Menurut siddiqi adalah keberagaman tujuan yang
mencakup maksimisasi laba dengan memerhatikan kepentingan masyarakat (maslahah
aammah), produksi kebutuhan dasar masyarakat, penciptaan employment serta pemberlakuan
harga rendah untuk barang-barang esensial. Tujuan utama perusahaan yakni pemuhan
kebutuhan seseorang secara sedrhana, mencukupi tanggungan keluarga, persediaan untuk
menghadapi kemungkinan-kemungkinan masa depan, ersediaan untuk keturunan dan pelayan
sosial, serta sumbangan dijalan Allah Swt. Dengan kata lain, produsen sebgaimana
konsumen, diharapkan memiliki sikap mementingkan kepentingan orang lain. Bukannya
hanya mengejar laba maksimum, produsen memproduksi sejumlah tertentu yang masih
menghasilkan laba, yang batas bawahnya adalah cukup untuk bertahan hidup, atau laba yang
memuaskan (satisfactory).
Jadi jika maksimisasi laba tak lagi merupakan motif satu-satunya maupun utama, konsep
rasionalitas pun lalu memeiliki arti yang berbeda. Kerja sama (sebagai lawan dari persaingan
samapai mati) dengan produsen lain dengan tujuan mencapai tujuan-tujuan sosial akan
menjadi norma, sehingga mengharuskan adanya akses yang lebih besar kepada informasi
dalam sistem ekonomi islam.
Barang haram tidak diproduksi , barang mewah akan minimal, dan barang perlu akan
ditingkatkan produksinya, sementara praktik perdagangan yang jujur akan didorong oleh
pahala surga yang dijanjikan kepada pedagang yang jujur didalam Al-Quran. Sekalipun setiap
produsen individual di asumsikan telah memiliki sifat yang di inginkan, mengikuti panduan
keadilan dan kebajikan, negara masih diharapkan untuk menjamin penyediaan keperluan
dasar dan mengawasi berlakunya kejujuran dipasar.disamping perubahan norma perilaku dan
Tujuan yang hendak dikejar, siddiqi tetap menyatakan bahwa dengan kekuatannya sendiri,
pasar tidak dapat menjamin distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan diperluka
campur tangan negara.26

c. Syed Nawab Haidar Naqvi.


Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya; Ethics and Economics: An
Islamic Synthesis (1981). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “perilaku muslim sebagai

26
Ibid. hal.55 - 58
perwakilan dari ciri khas masyarakat muslim.” Ada 3 tema besar yang mendominasi
pemikiran Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama, kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu
subjek dari upaya manusia yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil
berdasarkan pada prinsip etika ilahiyyah, yakni keadilan (Al-’Adl) dan kebajikan (Al-Ihsān).
Menurutnya, hal itu berarti bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi dalam
ekonomi Islam, dan faktor etika inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem
ekonomi lainnya. Kedua, melalui prinsip Al-’Adl wa Al- Ihsān, ekonomi Islam memerlukan
suatu bias yang melekat dalam kebijakan-kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah
secara ekonomis. Bias tersebut mencerminkan penekanan Islam terhadap keadilan, yang ia
terjemahkan sebagai egalitarianisme. Ini adalah suatu butir penting yang sering kali ia
tekankan dalam tulisannya. Dan ketiga adalah diperlukannya suatu peran utama negara dalam
kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator kekuatan-kekuatan pasar
dan penyedia (supplier) kebutuhan dasar, tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam produksi
dan distribusi, baik di pasar barang maupun faktor produksi, demikian pula negara berperan
sebagai pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan atau
penjelmaan amanah Allah tatkala ia meletakkan negara sebagai penyedia, penopang dan
pendorong kegiatan ekonomi.

d. Monzer Kahf.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya; The Islamic Economy: Analytical
of The Functioning of The Islamic Economic System (1978). Ia tidak mengusulkan suatu
definisi ”formal” bagi ekonomi Islam, tetapi karena ilmu ekonomi berhubungan dengan
perilaku manusia dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi, maka ekonomi Islam,
menurutnya, dapat dilihat sebagai sebuah cabang dari ilmu ekonomi yang dipelajari dengan
berdasarkan paradigma (yakni aksioma, sistem nilai dan etika) Islam, sama dengan studi
ekonomi Kapitalisme dan ekonomi Sosialisme. Dengan pandangannya ini, ia mencela
kelompok-kelompok ekonom Islam tertentu. Ia menengarai suatu kelompok yang mencoba
untuk menekankan dengan terlalu keras perbedaan antara ekonomi Islam dan Barat.
Kelompok itu tidak memahami bahwa perbedaan antara keduanya sebenarnya terletak pada
filosofi dan prinsipnya, bukan pada metode yang digunakan. Di pihak lain, terdapat juga
kelompok lain yang secara implisit menerima asumsi-asumsi ekonomi Barat yang sarat nilai.
Kelompok lain yang ia tegur adalah mereka yang mecoba menyamakan antara ekonomi Islam
dan Fiqih Mu’amalat. Kelompok ini, menurutnya, telah menyempitkan ekonomi Islam
sehingga hanya berisi sekumpulan perintah dan larangan saja, padalah seharusnya mereka
membicarakan hal-hal seperti teori konsumsi atau teori produksi. Semua kelompok tersebut
tidak memahami posisi ekonomi Islam dalam kerangka atau kategorisasi cabang ilmu
pengetahuan serta tidak pula bisa memisah-misahkan berbagai seginya seperti filosofinya,
prinsip atau aksiomanya, serta fungsi aktualnya.

Monzer kahf juga mengembangkan pemikirannya di bidang konsumsi islam dengan


memperkenalkan Final Spending (FS) sebagai variable standar dalam melihat kepuasan
maksimum yang diperoleh konsumen muslim. Salah satunya dimulai dengan melihat adanya
asumsi bahwa secara khusus institusi zakat diasumsikan sebagai sebuah bagian dari struktur
sosio-ekonomi. Kahf berasumsi bahwa zakat merupakan keharusan bagi muzakki. Oleh
karena itu, meskipun zakat sebagai spending yang memberikan keuntungan, namun karena
sifat dari zakat yang tetap, maka diasumsikan di luar Final spending. Rumus Final Spending
bagi individu menurut analisa Kahf adalah:
FS = (Y-S) + (S-SZ)
FS = (Y-SY) + (SY-ZSY) atau
Fs = Y (I-ZS)
Keterangan : FS = Final Spending
s = Presentasi Y yang ditabung
Y = Pendapatan
S = Total tabungan
Z = Presentasi zakat
Semakin tinggi s maka semakin kecil FS.27

D. POLA PEMIKIRAN TOKOH MADZHAB ALTERNATIF

Aliran ini dikenal sebagai aliran yang kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik
sebagai ilmu maupun sebagai peradaban. Aliran ini mengkritik kedua aliran sebelumnya. Aliran
Iqtishādunā dikritik karena dianggap berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya
sudah ditemukan tokoh-tokoh sebelumnya, sedangkan aliran Mainstream dikritik sebagai
jiplakan ekonomi aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan menghilangkan unsur riba serta
memasukkan variabel zakat dan akad, sehingga tidak ada yang orisinil dari aliran ini. Namun
aliran ini tidak hanya mengkritik ekonomi Islam saja, ekonomi konvensional pun juga telah
dikritik.
27
Jomo K.S., Islamic Economic Alternatives, Critical and Perspectives and Directins, (Kuala Lumpur: Iqra, 1993), hlm. 12
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Timur Kuran, Sohrab Behdad, dan Abdullah Saeed.
a. Timur Kuran.
Ia adalah seorang dosen ekonomi di Southern California University, USA.
Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “The Economyc System
in Contemporary Islamic Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International
Journal of Middle East Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The Notion of Economic
Justice in Contemporary Islamic Thought”, dalam International Journal of Middle East
Studies Volume 21 tahun 1989.

b. Sohrab Behdad.
Pemikirannya dapat ditemukan dalam tulisan artikelnya yang berjudul “Property
Rights in Contemporary Islamic Economic Thought: A Critical Perspective” dalam jurnal
Review of Social Economy Volume 47 tahun 1989.

c. Abdullah Saeed.
Ia adalah seorang Profesor Studi Arab-Islam di University of Melbourne, Australia.
Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “Islamic Banking in
Practice: A Critical Look at The Murabaha Financing Mechanism” dalam Journal of Arabic,
Islamic & Middle Eastern Studies tahun 1993, dan “The Moral Context of The Prohibition of
Riba in Islam Revisited” dalam American Journal of Islamic Social Science tahun 1995.

d. Abu a’la al- maududi

1. Biografi dan Karyanya

Abu A’la merupakan cendekiawan muslim yang berasal dari India, dilahirkan pada tanggal 25
September 1903 M/3 Rajab 1321 H di kota Hyberad. Cendekiawan ini merupakan putra dari
Abu Hasan yang berketurunan dari sufi besar tarekat Christiyah. Madrasah Furqoniyah
merupakan pendidikan awal beliau, kemudian orang tua beliau lebih memilih mendidiknya di
rumah sehingga ia menjadi seorang tradisionalis fundamentalis.28

Dengan bukunya yang berjudul “Al-Jihad fil Islam”, beliau menceritakan kehidupannya
dalam perkumpulan tahrik-e-hijrat sekitar tahun 1920 ketika masih bekerja sebagai seorang
wartawan. Tidak lama, beliau pun bekerja sebagai koresponden di Jabalpur dan di tahun ini

28
Abularaq, Sayyid Abu A’la Maududi: Sawanih, Tahrik, Lahore, 1971. Penerjemahan resmi tentang kisah hidup Maududi
pula beliau hijrah ke Delhi dan bekerja sebagai editor pembantu. Beliau meninggal pada
tanggal 22 September 1979 di Buffalo, New York dan dimakamkan di Lehrah, Lahore.

2. Format Sistem Ekonomi Islam

Menurut Al-Maududi, Islam telah menerangkan sebuah system ekonomi. Akan tetapi, Islam
hanya menentukan landasan dasar yang bisa membuat kita menyusun sebuah rancangan
ekonomi yang sesuai di setiap masa. Dalam bidang ekonomi, Islam telah membuat beberapa
peraturan dan menyusun sejumlah batasan dimana kita boleh membuat suatu system.
Sebagaimana perkembangan yang ada, kita harus menyimpulkan peraturan baru yang berada
pada batasan-batasan yang ditemukan oleh Islam.29

Jawaban beliau juga dibenarkan oleh Yusuf Qardhawi ketika temannya bertanya bertanya
mengenai hal yang sama. Saat itu beliau mengatakan “Aturan dalam Islam ada yang bersifat
global dan rinci. Yang global biasanya untuk hal-hal yang memungkinkan berubah karena
faktor waktu dan tempat. Sedangkan yang rinci untuk hal-hal yang baku. Masalah ekonomi
dan politik sering berubah, temporal, menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu untuk
masalah ini Islam cukup meletakkan dasarnya.”30

3. Tujuan Organisasi Ekonomi dalam Islam

a. Kebebasan Individu (Individual Freedom)

Tujuan yang pertama dan utama dari Islam ialah untuk memelihara kebebasan individu dan
untuk membatasinya ke dalam tingkatan yang hanya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Alasannya adalah karena seseorang harus bertanggung jawab secara individu kepada Allah
dan bukannya secara kolektif. Oleh karena itu, Islam menentukan peraturan ekonomi yang
menghasilkan kebebasan secara maksimal terhadap kegiatan ekonomi kepada setiap individu,
dan mengikat mereka yang hanya kepada batasan-batasan yang sekiranya penting untuk
menjaga mereka tetap pada jalur yang ditentukan. Tujuan semua ini adalah menyediakan
kebebasan kepada setiap individu dan mencegah munculnya sistem tirani yang bisa
mematikan perkembangan manusia.31

b. Keselarasan dalam Perkembangan Moral dan Materi

29
Syed Abu A’la Maududi, Economic system of Islam, Islamic Publication Ltd. Pakistan. 1994, h.82
30
Dr. Yusuf Qardhawi, Norma &Etika Ekonomi Islam, GIP, h.22
31
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, gramata publishing, Jakarta 2005 hal. 276.
Yang kedua, perkembangan moral manusia adalah kepentingan dasar bagi Islam. Jadi penting
bagi individu di dalam masyarakat untuk memiliki kesempatan mempraktekkan kebaikan
secara sengaja. Maka kedermawanan, kemurahan hati, dan kebaikan lainnya menjadi suatu
yang hidup dalam masyarakat. Karena itulah Islam tidak bersandar seluruhnya kepada hukum
untuk menegakkan keadilan sosial, tetapi memberikan otoritas utama kepada pembentukan
moral manusia seperti iman, taqwa, pendidikan, dan lain-lainnya.

c. Kerjasama, Keserasian dan Penegakkan Keadilan

Yang ketiga, Islam menjunjung tinggi persatuan manusia dan persaudaraan serta

menentang perselisihan dan konflik. Maka dari itu Islam tidak membagi masyarakat ke dalam
kelas sosial. Jika menengok kepada analisis terhadap peradaban manusia akan kelas sosial
terbagi menjadi dua; yang pertama kelas yang dibuat-buat dan tercipta secara tidak adil yang
dipaksakan oleh system ekonomi, politik dan sosial yang jahat seperti Brahmana, Feodal,
Kapitalis. Adapun Islam tidak menciptakan kelas seperti itu dan bahkan membasminya. Yang
kedua, kelas yang tercipta secara alami, karena adanya rasa hormat menghormati dan
perbedaan kemampuan dan kondisi dari masyarakatnya.

4. Prinsip-prinsip Dasar

a. Kepemilikan Pribadi dan Batasannya (Private Property and Its Limits)

Islam tidak memperbolehkan manusia untuk mencari penghidupan dengan cara-cara yang
akan menyebabkan timbulnya kekacauan dalam memperoleh harta kekayaan. Ajaran Islam
menegakkan perbedaan antara halal (yang sah) dan haram (tidak sah) dalam menilai berbagai
cara yang merugikan dan merusakkan moral.

b. Keadilan Distribusi (Equitable Distribution)

Peraturan penting dalam ekonomi Islam ialah membangun suatu system distribusi yang adil.
Kemudian dalam hal pengeluaran, Islam menentukan kondisi yang tidak menyebabkan
kerugian moral dari individu atau yang membahayakan public secara umum. Islam juga tidak
menyetujui seseorang untuk menahan hartanya dari sirkulasi.

Selain itu, Al-Maududi pun menyebutkan bahwa Islam melarang umatnya berbuat terhadap
orang lain atau menggunakan aturan yang tidak adil dalam mencari harta, tetapi mendukung
penggunaan semua cara yang adil dan jujur dalam mendapatkan harta kekayaan. Hak individu
untuk memiliki harta dan bekerja secara bebas diperbolehkan tetapi hendaklah menurut
landasan teretentu, karena islam tidak akan toleran terhadap tindakan penyalahgunaan hak-
hak tersebut.

Jelasnya terdapat hanya tiga penggunaan yang munasabah terhadap harta yang diperoleh
seseorang. Dibelanjakan, atau diinvestasikan untuk pengembangan hartanya atau disimpan
saja.

Maka, jalur yang benar menghasilkannya secara halal, mengeluarkannya sesuai kebutuhan,
menginvestasikannya kepada jalur sirkulasi yang halal pula. Dan dalam hal ini, Islam juga
melarang adanya reservasi terhadap kesempatan ekonomi untuk beberapa individu, keluarga,
kelas yang menghalangi kelas lainnya untuk menggunakan kesempatan itu.

b. Hak-hak Sosial

Islam kemudian menghubungkan kembali hak sosial dengan kekayaan individu dalam
berbagai bentuk, salah satunya yaitu seseorang yang memiliki harta lebih mempunyai
kewajiban untuk memberikan bantuan kepada kerabatnya yang tidak bisa memenuhi
kebutuhan hidup.32 Semua ini bertujuan untuk menanamkan moral kedermawanan, lapang
dada dan mencegah sifat egoism dan kikir.

c. Zakat

Dalam perekonomian konvensional, dikenal istilah pajak. Sedangkan dalam Islam, dikenal
istilah zakat yang dipungut sesuai dengan besarnya pengeluaran atau dengan kata lain
pungutan yang ditarik melalui harta yang diakumulasikan, perdagangan, pertanian,
peternakan dan berbagai macam bisnis lainnya. Namun pada dasarnya, zakat sangatlah jauh
berbeda dengan pajak. Karena dana zakat tidak disalurkan untuk pembangunan sarana umum,
melainkan untuk memenuhi hak-hak orang yang telah ditentukan oleh Allah, yakni mustahiq.

Selain itu, menurut Al-Maududi zakat adalah solidaritas umat Islam untuk mewujudkan jiwa
saling tolong menolong di kehidupan social. Ini adalah inovasi yang baik bagi mereka yang
sedang mengalami kemandekan dalam berekonomi. Ini juga merupakan sarana untuk
menolong mereka yang tidak mampu, yang sakit, para yatim piatu sehingga terwujud

32
Ibid., hal. 278.
persamaan, kestabilan kondisi dan ketentraman jiwa. Di atas semua itu, zakat adalah sesuatu
yang tidak pernah hilang dalam pikiran umat Islam.33

c. Hukum Waris (Law of Inheritance)

Hukum waris pada intinya ialah mendistribusikan kekayaan yang dimiliki oleh almarhum.
Hukum waris dimaksudkan agar harta yang dimiliki oleh almarhum tidak terpusat pada satu
orang atau satu keturunan, tetapi terdistribusi kepada pihak-pihak yang berhak
menerimanya.34

d. Peran Tenaga Kerja, Modal dan Pengelolaan (Role of Labor, Capital and Management)

Islam mengenali hak pemilik tanah dan pemodal, begitu pula terhadap pekerja dan pelaku
bisnis yang menerangkan secara jelas bahwa Islam menganggap keduanya sebagai factor
ekonomi. Kemudian dari faktor-faktor tersebut harus adil dalam pembagian keuntungan.
Intinya, Islam melepaskan kepada kebiasaan dalam pembagiannya. Jika diantara faktor-faktor
tersebut terdapat ketidakadilan maka hukum tidak hanya boleh melakukan intervensi,
melainkan bertugas untuk mengarahkan kepada regulasi keadilan dalam distribusi profit
diantara modal, tenaga kerja dan pengelolaan.

5. Teori Bunga

Al-Maududi telah membahas secara khusus dan memberikan kritik secara rasional terhadap
teori bunga, serta membicarakan panjang lebar mengenai aspek-aspek negatif dan
menunjukkan kejahatan-kejahatannya secara fundamental. Masalah yang pertama kali harus
kita putuskan adalah apakah bunga itu merupakan pembayaran yang beralasan? Apakah para
kreditor itu adil apabila menuntut untuk membayar bunga atas hutang yang diberikan? Dan
adilkah jika penghutang dituntut harus membayar bunga terhadap pemberi pinjaman sesuatu
yang melebihi pinjaman pokok? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan
menyelesaikan separuh dari masalah bunga. Jika dapat ditunjukkan bahwa bunga tidak dapat
dibenarkan baik oleh akal maupun keadilan, lalu mengapa bunga masih menjadi perdebatan.
Mengapa peraturan yang tak beralasan tersebut tetap dibiarkan berlangsung berada di tengah
masyarakat. Terdapat perbedaan pendapat yang menyolok di antara para ahli yang
mendukung doktrin bunga, yaitu untuk apakah bunga itu dibayarkan? Sebagian mengatakan

33
Ekonomi Zakat Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syariah. Abdul Hami Mahmud Al-Ba’ly. Jakarta. 2006
34
Syed Abu A’la Maududi, Economic system of Islam, Islamic Publication Ltd. Pakistan. 1994, h.62
bunga itu merupakan harga, tetapi harga itu untuk apa? Para pelopor institusi bunga mendapat
kesulitan besar untuk memperoleh kesepakatan dalam masalah ini.

Ø Teori Piutang Menanggung resiko

Menurut Al-Maududi, sesungguhnya kreditor hanya meminjamkan sejumlah uang yang


berlebih dari yang ia perlukan dan yang tidak ia gunakan sendiri. Oleh karena itu, tidak boleh
dikatakan sebagai imbalan karena itu tidak menahan diri dari sesuatu yang memungkinkan
dirinya menuntut imbalan. Kemudian sewa itu sendiri hanya dikenakan terhadap barang-
barang yang dapat digunakan berulang-ulang.

Ø Teori Pinjaman memperoleh Keuntungan

Pemikiran ini mengatakan bahwa waktu itu sendiri memiliki harga yang meningkatkan
sejalan dengan periode waktu. Kemudian masa peminjam menginvestasikan
modalnya,mempunyai harga tertentu baginya dan ia akan menggunakannya untuk
memperoleh keuntungan. Maka tidak ada alasan mengapa kreditor tidak boleh menikmati
sebagian dari keuntungan peminjam.

Tetapi kemudian Al-maududi mengajukan pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan
masuk akal oleh para pendukung teori bunga ini. Yakni dengan pertanyaan “bagaimana dan
darimana sumbernya kreditor itu mendapatkan informasi bahwa peminjam itu nyata-nyata
memperoleh keuntungan dan tidak mengalami kerugian dengan investasi modal pinjamannya
itu? Bagaimana ia mengetahui bahwa peminjam itu akan memperoleh keuntungan yang pasti
sehingga dengan begitu ia menetapkan bagian keuntungan tersebut? Dan bagaimana
pemberi pinjaman dapat memperhitungkan bahwa peminjam pasti akan memperoleh
keuntungan yang begitu banyak selama masa modal digunakannya sehingga ia akan mampu
membayar harga tertentu secara pasti setiap bulan atau setiap tahun?” Para pendukung teori
bunga ini tidak mampu memberikan jawaban yang masuk akal terhadap masalah tersebut.35

Ø Teori Produktivitas Modal

Pendapat ini memandang bahwa modal adalah produktif yang dapat diartikan bahwa modal
mempunyai daya untuk menghasilkan barang yang jumlahnya lebih banyak daripada yang
dapat dihasilkan tanpa modal itu, atau bahwa modal mempunyai daya untuk menghasilkan
nilai tambah daripada nilai yang telah ada itu sendiri. Dan bunga merupakan imbalan atas

35
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, gramata publishing, Jakarta 2005 hal. 282-283.
pelayanan produktif tersebut atas modal kepada peminjam dalam proses produksi. Tetapi
pernyataan bahwa produktivitas merupakan kualitas yang melekat pada modal adalah tidak
beralasan karena modal menjadi produktif hanya apabila digunakan untuk bisnis yang dapat
mendatangkan keuntungan oleh seseorang. Apabila modal digunakan untuk tujuan-tujuan
konsumsi, maka modal tidak mempunyai kualifikasi semacam itu. Meskipun modal
digunakan dalam usaha-usaha yang mendatangkan keuntungan, tidak perlu kiranya
menghasilkan nilai lebih. Dapat dinyatakan bahwa produktivitas tersebut merupakan kualitas
yang melekat pada modal. Sering terjadi, terutama dalam keadaan ekonomi yang merosot,
penanaman modal tidak hanya menipiskan keuntungan tetapi ternyata melibatkan keuntungan
menjadi kerugian.

Ø Teori Present Value > Future Value

Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih mengutamakan
kehendaknya di masa sekarang serta kepuasan sekarang daripada yang akan datang. Para ahli
tersebut menjelaskan fenomena bunga dengan suatu rumusan yang sangat dikenal dengan
menurunkan nilai barang di waktu mendatang dibanding dengan nilai barang di waktu kini.
Singkatnya, bunga dapat dianggap sebagai agio yang diperoleh dari barang-barang yang
waktu sekarang terhadap perubahan atau penukaran barang di waktu yang akan datang.
Boehm, pendukung penting dari pendapat ini, memberikan tiga alasan terhadap penurunan
nilai di waktu yang akan datang:

· Keuntungan di masa yang akan datang diragukan karena ketidakpastian peristiwa yang akan
datang serta kehidupan manusia, sedangkan keuntungan pada masa kini jelas dan pasti.

· Kepuasan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi manusia daripada
kepuasan mereka di waktu yang akan datang karena mungkin mereka tidak mempunyai
kehendak semacam itu di waktu yang akan datang.

· Oleh karena dalam kenyataannya barang-barang pada waktu kini lebih penting dan
berguna,dengan demikian barang-barang tersebut mempunyai nilai yang lebih tinggi
dibanding dengan barang-barang di waktu yang akan datang.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, mereka mengatakan bahwa keuntungan pasti masa kini
sudah jelas diutamakan daripada keuntungan di masa yang akan datang. Oleh karena itu,
modal yang dipinjamkan kepada peminjam sekarang memiliki nilai yang lebih tinggi daripada
sejumlah uang yang dikembalikan beberapa tahun kemudian. Sesungguhnya, bunga
merupakan nilai kelebihan yang ditambahkan pada modal yang dipinjamkan pada masa
pembayarannya agar mempunyai nilai yang sama dengan modal pinjaman semula.

Yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah sifat manusia sungguh-sungguh menganggap


kehendak masa sekarang lebih penting dan berharga daripada keinginan-keinginannya di
masa yang akan datang? Jika demikian, lalu mengapa banyak orang tidak membelanjakan
seluruh pendapatannnya sekarang tetapi senang menyimpan pendapatannya itu untuk
keperluan di masa yang akan datang? Kita akan banyak menjumpai orang yang menahan
keinginannya di masa kini demi untuk keinginan masa depan yang merupakan peristiwa yang
tidak dapat dilihat dan disangka. Segala usaha manusia kini diarahkan untuk masa depan yang
lebih baik, sehingga kemungkinan kehidupan manusia di masa yang akan datang lebih
bahagia dan sejahtera. Sangat sulit bagi kita untuk menemukan orang yang secara sukarela
menciptakan hari ini yang lebih bahagia dan sejahtera dengan mengorbankan kebahagiaan
dan kesejahteraannya di masa depan.

Maududi menjelaskan akan bahaya kejahatan institusi bunga dan menunjukkan bagaimana
bunga itu dapat menyengsarakan dan menghancurkan masyarakat. Sekarang kita akan
membicarakan kejahatan-kejahatan moral, budaya dan ekonomi tersebut satu persatu.

Ø Kejahatan Moral dan Spiritual

Institusi bunga menimbulkan perasaan cinta terhadap uang dan hasrat untuk mengumpulkan
harta demi kepentingannya sendiri. Bunga menjadikan manusia egois, bakhil, berwawasan
sempit serta berhati batu. Bunga membentuk sikap tidak mengenal belas kasihan, mendorong
sifat tamak, menaburkan sifat cemburu, dan memupuk sifat bakhil dalam berbagai cara.
Secara ringkas, bunga mendorong dan menyuburkan sifat-sifat buruk terhadap diri manusia
yang dapat menimbulkan kesengsaraan di kalangan masyarakat.

Ø Kejahatan Sosial Budaya

Institusi bunga akan menyebarkan keegoisan yang merusak semangat mengabdi kepada
masyarakat dan tidak membantu pertumbuhan masyarakat. Kepentingan orang kaya pun
dianggap bertentangan dengan kepentingan orang miskin.

Ø Kejahatan Ekonomi

Apabila dipinjamkan untuk kepentingan konsumsi, maka yang terjadi kan menurunkan
standar hdup dan pendidikan anak-anak mereka karena pembayaran angsuran bunga yang
berat secara terus menerus. Kecemasan dalam hal tersebut akan mempengaruhi efisiensi kerj.
Dan pembayaran bunga juga telah mengurangi daya beli di kalangan mereka. Pinjaman yang
dilakukan untuk hal produktif biasanya dilakukan oleh pedagang dan pelaku bisinis lainnya.

Maududi berpendapat bahwa dampaknya akan negatif bagi masyarakat bila dipungut bunga
pada sektor produktif. Pertama, terakumulasinya modal secara sia-sia karena pemodal
menahannya dengan harapan adanya kenaikan suku bunga. Kedua, sikap tamak untuk
menaikkan bunga yang lebih tinggi yang menyebabkan tidak dislurkannya dana yang
seharusnya dikerjakan oleh pelaku bisnis dan dapat sangat cepat mempengaruhi kehancuran
ekonomi. Ketiga, modal tidak diinvestasikan ke dalam banyak perusahaan yang sangat
bermanfaat panjang dengan mengharapkan meningginya bunga di masa depan. Hal ini
merupakan hambatan dalam pembangunan industri.36

E. Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia


A. Imam Thalkhah dan Abdul Aziz
Mengenai gerakan islam kontemporer sesungguhnya tidak hanya memerlukan
tersediahnya konstruk-konstruk teoritik yang memadai, tetapi juga memerlukan tersedianya
pengetahuan empiris yang dapat menjelaskan pertama-tama megenai ilam kontemporer dan
kemudian mengindentifikasi gerkannya. Dalam hal konsep teoritis, patut dicatat pendapat
Sharon Shiddique yang menyatakan bahwa studi tentang Islam kontemporer di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia, khususnya di lihat dari perspektif ke-Asia Tenggaraan,
teryata kurang memuaskan karena keterbatasan konseptualisasinya.37Masalah utamanya,
terletak pada kurang memadainya konsep-konsep sosiologis Barat tentang agama, yang
menempatkan individu pada pusat analisis, sementara islam tidak semata-matamenandungi
rumusan hubungan pribadi antara manusia dengan tuhannya, melainkan rumusan tentang
tatanansosial kemasyrakatan, politik, dan sebagainya. Masalah lainnya berkaitan dengan
pendekatan studi ideologi terhadap islam konemporer.
Guna pemahami terhadap gerakan islam kontemporer di Indonesia, kjian ini akan
bertolak dari tinjauan terhadap pandangan yang memahami islam di Indonesia dari dua
pardigma, yaitu Islam Tradisional dan Islam Modernis.
Ada tiga aspek tentang Islam Tradisional dan Islam Modernis yaitu sebagai berikut:
pertama, semangat pemurnian ajaran. Kedua, sikap terhadap tradisi bermazhab, khususnya di
bidang fiqih, yang menimbulkan perselisihan di sekitar masalah khilafiah dan masalah taqlid.
Ketiga, sikap terhadap perubahan dan rasionalitas.

36 Ibid., hal 285


37
Sharoon siddique, islam kontemporer, agama atau ideology Pesantren no.3/vo.iv/1987.hal.17
B. Akar Gerakan Islam Konremporer
Pada umumnya, gerakan-gerakan islam baik yangtradisional maupun modernis
muncul sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus1995, yait
pada periode antara 1900-1940-an. Meski demikian akar-akar gerakannya tumbu jauh
sebelum periode tersebut. Akar-akar gerakan islam tradisional mulai bersemi bersamaan
dengan semakn meluasnya pemeluk islam di pedalaman Jawa pada saat islam mulai
mengalami proses menyerap dan diserap oleh unsure-unsur budaya lokal. Sementara
akar-akar gerakan modern Islam dapatdi acak melalui pengaruh gerakan reformasi yang
dilakukan Jamaluddin Al-Afghani.
Orientasi baru tampak dari keinginan gerakan-gerakan kontemporer untuk:
1. Mencari penyelesaian dalam rangka mengatasi antgonisme di antar
komunitas-komunitas islam, melalui pemurnian ajaran yang lebih mendasar.
2. Menggunakan aspek-aspek yang fungsionalnya dari ajaran mazhab.
3. Mencari pijakan baru di dalam jaran islam guna menyantuni da memikirkan
masa depan umat islam secara lebih “manusiawi”.
BAB III
KESIMPULAN

Sistem ekonomi Islam pada dasarnya berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme. Tetapi
dalam beberapa hal merupakan kompromi antara kedua aliran tersebut, dan berdiri di antara
keduanya. Islam memandang persoalan ekonomi tidak dari perspektif kapitalis, yang
memberikan kebebasan dan hak pemilikan tak terbatas pada setiap individu serta mendukung
eksploitasi seseorang. Juga tidak memandang dari perspektif sosialis, yang ingin merampas
semua hak individu dan menjadikan individu semata-mata sebagai budak ekonomi yang
dikendalikan negara; tatapi ia memberi perhatian pada naluri ke egoisan manusia tanpa
membiarkannya menjadi berbahaya bagi masyarakat. Rekonsiliasi antara kepentingan diri
sendiri dan anggota masyarakat dicapai melalui tindakan-tindakan hukum dan moral.
Islam meletakkan ekonomi pada posisi tengah dan keseimbangan yang adil dalam bidang
ekonomi. Keseimbangan diterapkan dalam segala segi, imbang antara modal dan usaha, antara
produksi dan konsumsi, antara produsen dan konsumen dan antara golongan-golongan dalam
masyarakat. Essensinya, bahwa seluruh aktivitas perekonomian dalam Islam selalu
mengedepankan
kemaslahatan dan penuh rasa keadilan bagi seluruh pelaku ekonomi, di mana al-Qur’ân dan
sunnah sebagai landasan berfikirnya. Wallâh a`lam bi al-shawâb.
Dalam era kontemporer ada tiga madzhab dalam ekonomi islam. diantaranya adalah
iqtishaduna yang berpendapat ilmu ekonomi tidak akan pernah bisa sejalan dengan islam.
Keduanya tidak pernah dapat disatukan karena berangkat dari filosofi yang saling kontradiktif,
mainstream yang berpendapat bahwa masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya dengan
pandangan ekonomi konvensional. Hanya saja letak perbedaannya terletak pada cara
menyelesaikan masalah tersebut, alternatif yang berpendapat analitis kritis bukan saja harus
dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga tehadap ekonomi islam itu sendiri.
Dr. Monzer Kahf mempunyai pandangan bahwa ekonomi adalah sebagai bagian tertentu
dari agama. Beliau juga adalah orang yang pertama mengaktualisasi analisis penggunaan
beberapa institusi islam (misal zakat) terhadap agregat ekonomi, seperti simpanan, investasi,
konsumsi, dan pendapatan.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz Abdul, Tholkah Imam, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Pustaka
Firdaus,1989
Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Departemen Agama RI, Al-quran dan terjemahnya, Bandung: CV Penebit Jumanatul ‘Ali,
2007
Hulwati, Ekonomi Islam, Jakarta: Ciputat Press Group, 2009
Haneef, Mohamed Aslam.2010. Pemikiran konomi Islam Kontemporer.Jakarta: Rajawali
Pers
Karim, Adimarwan. 2002. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Pustaka Pelajar
Mariyah Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer, Bandung: Alfabeta, 2010
M.N.Siddiqi.1983. Banking without Interest. Islamic foundation Leicester
Nor Chamidi, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010
Abularaq, Sayyid Abu A’la Maududi: Sawanih, Tahrik, Lahore, 1971. Penerjemahan resmi
tentang kisah hidup Maududi

Syed Abu A’la Maududi, Economic system of Islam, Islamic Publication Ltd. Pakistan

Dr. Yusuf Qardhawi, Norma &Etika Ekonomi Islam, GIP, h.22

Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, gramata publishing, Jakarta 2005 hal. 276.

Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar Yogyakarta: EKONSIA, 2002

Syed Abu A’la Maududi, Economic system of Islam, Islamic Publication Ltd. Pakistan. 1994,
h.62

Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, gramata publishing, Jakarta 2005 hal. 282-
283.

Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

[ Jurnal Iqtishad,Vol.1, No. 1, Februari 2009, Euis Amalia, Hal. 102


Abdul Hami Mahmud Al-Ba’ly. Ekonomi Zakat Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan
Syariah. Jakarta. 2006

Jomo K.S., Islamic Economic Alternatives, Critical and Perspectives and Directins, (Kuala
Lumpur: Iqra, 1993), hlm. 12

Anda mungkin juga menyukai