1. Indikator
a. Peserta mampu menjelaskan landasan yang digunakan dalam UU KUP
b. Peserta mampu menjelaskan gambaran umum dari isi UU KUP
c. Peserta mampu menjelaskan pengertian pajak dalam UU KUP
d. Peserta mampu menjelaskan pengertian self Assessment System
2. Pendahuluan
a. Deskripsi Singkat
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya
ditulis UU KUP) merupakan ketentuan formil bagi undang-undang pajak materiil.
Hukum pajak materiil mempunyai fungsi menimbulkan pajak terutang yang meliputi
siapa yang menjadi subjek pajak dan apa objek pajaknya serta berapa tarif pajaknya.
Sementara hukum pajak formil mempunyai fungsi membuat pajak terutang dalam
hukum materiil dapat terealisasi menjadi penerimaan negara. Hukum pajak formil
berisi kewajiban dan hak formil Wajib Pajak. Dalam kewajiban formil diatur antara
lain meliputi bagaimana kewajiban tersebut ditunaikan serta sanksi apabila
kewajiban tersebut dilanggar. Dalam hak formil Wajib Pajak diatur bagaimana hak
tersebut dapat diperoleh.
Jika kita teliti UU KUP, maka dalam menunaikan kewajiban perpajakannya sejak
UU Perpajakan berlaku, terdapat sedikitnya empat fase yang mungkin akan dilalui
Wajib Pajak sampai pajak yang menjadi kewajibannya tersebut berakhir atau
menjadi pasti menurut hukum. Fase pertama menggambarkan sistem pemungutan
pajak Self Assessment yang dapat dilihat sejak kewajiban mendaftarkan diri dan
kepadanya diberikan NPWP, melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan sebagai
sarana untuk menghitung pajak terutang, melakukan pembayaran pajak dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak dan diakhiri dengan kewajiban menyampaikan
Surat Pemberitahuan (SPT) sebagai sarana untuk melaporkan seluruh kewajiban
perpajakannya dalam suatu masa pajak atau tahun pajak. Secara teoretis fase ini
diakhiri dengan penyampaian SPT termasuk pembetulan SPT.
Fase selanjutnya adalah fase pengawasan yang ditandai dengan tindakan
pemeriksaan pajak oleh Pemeriksa Pajak. Tidak semua Wajib Pajak terdaftar
dilakukan pemeriksaan. Apabila dalam periode lima tahun tidak dilakukan
pemeriksaan yang ditandai dengan tidak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak maka
kewajiban Wajib Pajak untuk suatu jenis pajak dalam suatu periode yang telah
ditunaikan dan dilaporkan menjadi pasti berdasarkan hukum. Dalam fase ini
Wajib Pajak bersifat pasif. Yang aktif sesuai dengan kewenangannya adalah
Pemeriksa Pajak. Meski tidak selalu, produk pemeriksaan dapat berupa Surat
Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan Pajak dapat menetapkan kekurangan pembayaran
pajak, kelebihan pembayaran pajak atau nihil.
Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan Surat Ketetapan Pajak maka Wajib
Pajak memiliki hak untuk mengajukan keberatan dan bersamaan dengan itu
memasuki fase sengketa pajak. Penyelesaian keberatan dilakukan di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak dengan penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Rohmat
Soemitro menamakannya peradilan semu sebab yang menyelesaikan sengketa
adalah yang bersengketa (Fiskus). Sengketa pajak tidak melulu berkaitan dengan
materi hasil pemeriksaan tetapi dapat juga berkaitan dengan salah tulis atau salah
hitung, sanksi administrasi maupun prosedur formal.
Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan keputusan Fiskus (SK Keberatan) maka
upaya hukum selanjutnya yang dapat dilakukan adalah mengajukan banding atau
gugatan ke Pengadilan Pajak dan ini merupakan fase penyelesaian sengketa. Untuk
upaya hukum luar biasa atas Putusan Banding maupun Putusan Gugatan, pihak yang
bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali yang penyelesaiannya dilakukan
oleh Mahkamah Agung.
Materi tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang disusun dalam
modul ini menggunakan kronologi berdasarkan fase-fase di atas dan tidak
berdasarkan urut-urutan Pasal-Pasalnya dengan harapan agar bagi pembacanya
khususnya peserta diklat dapat memahami KUP secara lebih mudah dan
komprehensif.
b. Prasyarat Kompetensi
Sebelum mempelajari modul ini peserta diklat telah memahami materi Pengantar
Hukum Pajak, Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai.
c. Standar Kompetensi
Setelah mempelajari materi modul diklat ini, peserta diklat diharapkan memahami
dan mampu menjelaskan kewajiban-kewajiban formil Wajib Pajak dan hak-hak yang
dimiliki Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009.
d. Kompetensi Dasar
1) Setelah mempelajari materi modul diklat ini, peserta diklat diharapkan mampu:
2) Menjelaskan kewajiban mendaftarkan diri bagi Wajib Pajak dan kewajiban
melaporkan usahanya bagi Pengusaha Kena Pajak;
3) Menjelaskan kewajiban pembukuan dan pencatatan bagi Wajib Pajak;
4) Menjelaskan kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak
dan hak berkaitan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan;
5) Menjelaskan kewajiban melakukan pembayaran pajak;
6) Menjelaskan pengertian, kewenangan, wewenang dan produk hukum
pemeriksaan pajak;
7) Menjelaskan penetapan dan ketetapan pajak;
8) Menjelaskan ketentuan mengenai penagihan pajak berdasarkan UU KUP;
9) Menjelaskan ketentuan dan prosedur penyelesaian sengketa pajak;
10) Menjelaskan ketentuan mengenai imbalan bunga dan besarnya imbalan bunga;
11) Menjelaskan pengertian tindak pidana di bidang perpajakan dan menjelaskan
pengertian penyidikan, kewenangan dan wewenang penyidik.
3. Landasan UU KUP
Dalam penjelasan UU KUP dinyatakan bahwa Undang-undang tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara
dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan. Dari penjelasan
tersebut kita meyakini bahwa falsafah yang melandasi segala pemungutan pajak adalah
Pancasila. Pancasila seharusnya menjadi ruh bagi setiap ketentuan yang dibuat dan
bagi pelaksanaan pemungutan di lapangan.
Sementara itu dasar hukum pajak mengacu pada Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang
berbunyi: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”.
Dalam penjelasannya diuraikan: “Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan
darimana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat sendiri, dengan
perantaraan Dewan Perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga
cara hidupnya…Oleh karena penetapan belanja mengenai hak Rakyat untuk
menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada
Rakyat, sebagai pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dasar hukum ini mengalami
perubahan dalam Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan 10 November 2001
yaitu menjadi Pasal 23A dengan bunyi: ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”
4. Tentang UU KUP
Undang-undang KUP memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada
prinsipnya berlaku bagi undang-undang pajak materiil, kecuali dalam undang-undang
pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata
cara perpajakannya. Undang-undang KUP telah mengalami beberapa kali perubahan
sejak diundangkan pertama kali dengan UU Nomor 6 Tahun 1983 yang berlaku 1 Januari
2004. Perubahan pertama dilakukan dengan UU Nomor 9 Tahun 1994 yang mulai
berlaku 1 Januari 1995. Perubahan kedua dilakukan dengan UU Nomor 16 Tahun
2000 yang mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2001. Perubahan ketiga dilakukan
dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2008. Perubahan
keempat yang merupakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 5
Tahun 2008 menjadi Undang-Undang, yaitu melalui UU Nomor 16 Tahun 2009.
Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 5 Tahun 2008 hanya mengatur tentang
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan
pelunasan kekurangan pembayaran pajak bagi Wajib Pajak yang menyampaikan
pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak
2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan
dilakukan paling lambat tanggal 28 Februari 2009.
Karena hanya merupakan undang-undang perubahan, undang- undang yang diubah
tetap berlaku sepanjang tidak ada aturan baru yang merubahnya. Undang-undang
perubahan mengatur mengenai materi yang mengalami perubahan saja. Undang-
Undang KUP tetap merupakan satu kesatuan yang terdiri dari Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan beserta seluruh
perubahannya. Oleh karena itu, sampai dengan perubahan terakhir, Undang-Undang
KUP biasa disebut dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
Tujuan dilakukannya perubahan ketiga UU KUP sebagaimana dinyatakan dalam
penjelasannya adalah:
a. meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan
negara;
b. meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna
meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap
mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah;
c. menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta
perkembangan di bidang teknologi informasi;
d. meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
e. menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
f. meningkatkan penerapan prinsip Self Assessment secara akuntabel dan konsisten;
dan
g. mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.
Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan
meningkatnya kepatuhan sukarela dan membaiknya iklim usaha.
5. Definisi Pajak
Salah satu yang baru dalam perubahan ketiga UU KUP (UU Nomor 28 Tahun 2007)
adalah diberikannya definisi pajak. Dalam Pasal 1 UU KUP, pajak didefinisikan sebagai
berikut:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Jika kita simak definisi di atas maka terkandung dua dimensi pajak, yaitu dimensi
ekonomi dan dimensi hukum, dengan satu fungsi. Dalam dimensi ekonomi, pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
dengan tidak mendapat imbalan secara langsung. Kewajiban (kontribusi wajib) ini
muncul apabila berdasarkan undang-undang ada yang terutang oleh orang pribadi
atau badan. Sebaliknya kewajiban ini tidak muncul apabila tidak ada yang terutang.
Dimensi hukumnya, pajak berdasarkan undang-undang. Tidak ada pajak tanpa undang-
undang. Bahkan di dunia perpajakan dikenal istilah “Pajak tanpa undang-undang adalah
perampokan”. Perikatan di bidang perpajakan antara masyarakat Wajib Pajak dan
negara timbul karena berlakunya undang-undang. Undang-undang mempunyai sifat
memaksa. Maka dalam dimensi hukum, kontribusi wajib tadi bersifat memaksa. Bentuk
pemaksaan tersebut dapat dilihat baik dari sisi penagihannya yang bisa dilakukan
dengan Surat Paksa maupun dari sisi adanya sanksi baik administrasi maupun pidana
bagi yang melanggarnya. Kontribusi wajib yang tanpa imbalan apalagi memaksa memang
bisa dipersamakan dengan perampokan atau pemberian hadiah. Kontribusi wajib ini
menjadi pajak namanya apabila kita satukan dengan fungsinya yaitu untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada hakikatnya fungsi inilah yang
menjadi dasar bagi adanya pajak sebab negaralah yang menjadi alasan diberlakukannya
pajak.
6. Self Assessment
Salah satu ciri dari sistem pemungutan pajak Indonesia adalah Self Assessment, yaitu
sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat Wajib
Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang. Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan
penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan
melaporkannya secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang- undangan perpajakan. Secara
teoretis (sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan UU KUP) administrasi perpajakan
berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang
meliputi tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi
perpajakan.
Prinsip Self Assessment dalam UU KUP diterapkan secara jelas dalam Pasal 12 UU KUP
yang berbunyi:
a. Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada
adanya Surat Ketetapan Pajak.
b. Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh
Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
c. Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar,
Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
Dari Pasal 12 UU KUP tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penghitungan pajak
yang terutang (untuk Pajak Penghasilan, dan PPPN dan PPnBM), pembayarannya ke
Kas Negara, serta pelaporannya diserahkan sepenuhnya kepada Wajib Pajak dan tidak
didasarkan pada Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan administrasi pajak.
Perhitungan, pembayaran dan pelaporan yang dilakukan Wajib Pajak tersebut dianggap
benar (sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan) sepanjang
Direktur Jenderal Pajak tidak dapat membuktikan sebaliknya. Pada prinsip Self
Assessment beban pembuktian (bahwa pajak yang terutang yang telah dilaporkan adalah
tidak benar) berada di pihak Fiskus (Dirjen Pajak). Surat Ketetapan Pajak hanya
diterbitkan oleh Fiskus apabila perhitungan Wajib Pajak tersebut tidak benar
berdasarkan pada suatu pembuktian oleh Fiskus.
7. Siklus Pajak
Ada awal tentu ada akhirnya. Jika dikaitkan dengan mulai timbulnya pajak terutang
sampai dengan kepastian bahwa pajak yang terutang tersebut telah ditunaikan maka
dalam pajak ada juga suatu siklus. Untuk mudahnya sebut saja siklus pajak. Berbeda
dengan jual beli dimana hak dan kewajiban dalam perikatan yang timbul antara
penjual dan pembeli dapat “diselesaikan” seketika itu juga yaitu saat akad jual beli
telah disepakati dan transaksi telah dilakukan, dalam pajak tidak demikian. Di bidang
pajak perikatan antara masyarakat Wajib Pajak dan negara tidak diselesaikan secara
bersamaan sebagaimana dalam jual beli. Pada sistem pemungutan pajak Self Assessment,
setelah UU pajak berlaku, Wajib Pajak terlebih dahulu yang menghitung dan selanjutnya
menunaikan pajak hasil penghitungan tersebut. Dalam hal pajak hasil penghitungan
Wajib Pajak tersebut tidak benar (berdasarkan suatu bukti) maka Fiskus dapat
“membetulkan” penghitungan tersebut. Cerita tidak habis di sini sekiranya pajak hasil
penghitungan Fiskus oleh Wajib Pajak dianggap “tidak benar”. Terjadilah sengketa pajak
yang mungkin berakhir di Pengadilan Pajak. Ini yang penulis sebut siklus pajak. Setiap
tahapan atau fase dalam suatu siklus pajak melahirkan kewajiban dan hak di bidang
perpajakan. Dalam menunaikan kewajiban perpajakannya paling tidak setiap Wajib Pajak
akan melalui (meski tidak selalu) 5 fase sampai suatu kewajiban perpajakan untuk
satu jenis pajak dalam suatu periode waktu dianggap telah selesai ditunaikan dan telah
pasti secara hukum. Fase-fase tersebut adalah sbb:
a. Fase timbulnya hak dan kewajiban di bidang perpajakan
Fase ini ditandai dengan berlakunya undang-undang. Pemungutan pajak harus
diatur dengan undang-undang merupakan amanat dari Pasal 23A UUD 1945
(Amandemen ketiga) yang selengkapnya berbunyi:”Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Dengan
demikian maka dapat dikatakan bahwa tidak ada pajak tanpa diatur dengan undang-
undang. Hak dan kewajiban di bidang perpajakan baru muncul bersamaan dengan
berlakunya undang- undang.
Dalam hukum pajak terdapat hukum pajak materiil dan hukum pajak formil. Hukum
pajak materiil diatur dalam UU pajak materiil misalnya UU yang mengatur Pajak
Penghasilan dan UU yang mengatur Pajak Pertambahan Nilai. UU pajak material
melahirkan pajak terutang. Maka di dalamnya diatur tentang siapa yang menjadi
subjek pajak, apa objek pajaknya dan berapa tarifnya. Hukum pajak formil diatur
dalam UU pajak formil misalnya UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. UU pajak formil berisi prosedur dan tata cara agar pajak terutang
yang timbul berdasarkan hukum pajak matreril dapat direalisasikan menjadi
penerimaan negara. Dalam ketentuan formil diatur mengenai tata cara
pendaftaran menjadi Wajib Pajak, sarana menghitung pajak, tata cara pembayaran
dan penyetoran, pelaporan serta sanksi-sanksi. Untuk pajak penghasilan dan pajak
pertambahan nilai, ketentuan material dan formilnya diatur terpisah dalam UU
tersendiri. Dalam Pajak Bumi dan Bangunan ketentuan formil dan materiil terdapat
dalam satu undang- undang.
b. Fase Self Assessment
Pada Self Assessment System, dalam penerapannya, yang memulai suatu siklus
pajak adalah masyarakat Wajib Pajak. Aktifitas di bidang perpajakan dimulai oleh
Wajib Pajak. Aktifitas Fiskus lebih merupakan pelayanan bagi pelaksanaan kewajiban
di bidang perpajakan. Fase ini dimulai ketika suatu pihak, yang berdasarkan
ketentuan material yaitu UU PPh ditentukan sebagai Wajib Pajak, mendaftarkan
diri sebagai Wajib Pajak dan kemudian kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Setelah mendaftarkan diri kewajiban selanjutnya yang melekat
adalah menghitung pajak terutang dengan sarana pembukuan dan pencatatan,
melakukan pembayaran dengan sarana Surat Setoran Pajak dan melaporkan
semua kewajiban perpajakan yang telah ditunaikan dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan (SPT). Fase ini diakhiri dengan meyampaikan laporan SPT untuk
setiap jenis pajak dalam suatu periode pajak tertentu. Apabila dalam kurun waktu
lima tahun (sesuai perubahan terakhir UU KUP) tidak dilakukan pemeriksaan atau
tidak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak maka pajak terutang yang telah dilaporkan
dalam SPT tersebut telah pasti berdasarkan hukum dan selesailah kewajiban
perpajakan atas suatu jenis pajak dalam suatu periode. Namun seandainya terhadap
SPT yang disampaikan dilakukan pemeriksaan maka Wajib Pajak memasuki fase
pengawasan.
c. Fase pengawasan
Wajib Pajak memasuki fase ini apabila atas SPT yang dilaporkan dilakukan
pemeriksaan pajak. Dalam fase ini Wajib Pajak lebih bersifat pasif sebab beban
pembuktian terhadap ketidakbenaran pengisian SPT berada di pihak Fiskus.
Pemeriksaan pada hakikatnya adalah mencari bukti. Bukti ini berkaitan dengan
ketidakbenaran (bukan kebenaran) SPT yang diampaikan Wajib Pajak. Sekiranya
dalam pemeriksaan tidak ditemukan adanya bukti ketidakbenaran pengisian SPT
maka SPT tersebut dianggap benar dan penghitungan pajak di dalamnya telah pasti
berdasarkan hukum. Hal yang sama juga berlaku dalam hal ditemukan bukti yang
menyebabkan pajak yang terutang berbeda dengan yang dilaporkan dalam SPT dan
Wajib Pajak setuju terhadap perbedaan tersebut yang ditandai dengan tidak
diajukannya keberatan. Namun apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan maka
Wajib Pajak memasuki fase sengketa pajak.
d. Fase sengketa
Wajib Pajak memasuki fase sengketa pajak apabila Wajib Pajak tidak puas
terhadap keputusan yang diterbitkan Fiskus. Ketidakpuasan ini ditunjukkan dengan
upaya hukum formil misalnya mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak.
Untuk keberatan, penyelesaian dilakukan di tingkat Direktorat Jenderal Pajak.
Penyelesaiannya dilakukan oleh Dirjen Pajak dengan penerbitan suatu surat
keputusan keberatan. Rohmat Soemitro menyebutnya sebagai peradilan semu
sebab yang menyelesaikan sengketa adalah pihak yang bersengketa. Apabila Wajib
Pajak setuju dengan surat keputusan keberatan tersebut maka berarti telah pasti
kewajiban pajak untuk suatu jenis pajak dalam suatu periode waktu yang telah
ditunaikannya itu. Dan sekiranya Wajib Pajak tidak setuju dengan keputusan
keberatan dimaksud maka upaya hukum yang lebih tinggi dapat dilakukan yaitu
dengan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Dan Wajib Pajak dengan
demikian memasuki fase penyelesaian sengketa.
e. Fase penyelesaian sengketa
Penyelesaian sengketa pajak hanya bermuara pada salah satu dari dua lembaga
yaitu banding atau gugatan di Pengadilan Pajak. Secara teoretis hakim Pengadilan
Pajak adalah institusi terakhir yang akan memutuskan perkara sengketa pajak.
Produk dari hakim Pengadilan Pajak adalah Putusan (bukan keputusan). Namun
demikian terhadap kasus-kasus tertentu, pihak-pihak yang bersengketa dapat
mengajukan upaya hukum luar biasa atas Putusan hakim Pengadilan Pajak yaitu
dengan mengajukan Peninjauan Kembali yang perkaranya akan diputus oleh
Mahkamah Agung.
Dari siklus pajak di atas dapat kita ketahui bahwa kewajiban dan hak di bidang
perpajakan terhadap satu jenis pajak dalam satu periode pajak tidak seluruhnya timbul
secara bersamaan pada awal timbulnya pajak terutang melainkan berurutan mengikuti
fase-fase di atas. Misalnya kewajiban Wajib Pajak ketika dilakukan pemeriksaan hanya
timbul apabila terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dilakukan pemeriksaan pajak
oleh Fiskus. Hak mengajukan keberatan hanya timbul apabila diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak oleh Fiskus. Hak mengajukan banding hanya timbul apabila diterbitkan
Surat Keputusan Keberatan. Demikian seterusnya sampai pajak yang telah ditunaikan
tersebut telah pasti menurut hukum.
9. Latihan
a. Apa falsafah yang melandasi UU KUP?
b. Jelaskan definisi pajak berdasarkan UU KUP?
c. Apa yang dimaksud dengan Self Assessment System?
10. Rangkuman
Falsafah yang melandasi UU KUP adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang
di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan
menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan.
Dalam keseluruhan naskah UU KUP berisi 11 bab yang terdiri dari: Ketentuan
Umum; NPWP, Pengukuhan PKP, Surat Pemberitahuan, dan Tata Cara Pembayaran
Pajak; Penetapan dan Ketetapan Pajak; Penagihan Pajak; Kebaratan dan Banding;
Pembukuan dan Pemeriksaan; Ketentuan Khusus; Ketentuan Pidana; Penyidikan;
Ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup.
Dalam UU KUP, Pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Salah satu ciri dari sistem pemungutan pajak Indonesia adalah Self Assessment, yaitu
sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat Wajib
Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang.
Dalam menunaikan kewajiban perpajakannya paling tidak setiap Wajib Pajak akan
melalui (meski tidak selalu) 5 fase sampai suatu kewajiban perpajakan untuk satu
jenis pajak dalam suatu periode waktu dianggap telah selesai ditunaikan dan telah
pasti secara hukum. Fase-fase itu adalah fase timbulnya hak dan kewajiban di bidang
perpajakan, fase Self Assessment, fase pengawasan, fase sengketa pajak, dan fase
penyelesaian sengketa.
II `BAB
MENDAFTARKAN DIRI DAN MELAPORKAN USAHANYA
1. Indikator
a. Peserta mampu menjelaskan ketentuan mengenai kewajiban mendaftarkan diri
b. Peserta mampu menjelaskan ketentuan mengenai kewajiban melaporkan usahanya
c. Pesertamampu menjelaskan sanksi berkaitan dengan kewajiban mendaftarkan diri dan
melaporkan usahanya
d. Peserta mampu menjelaskan berakhirnya kewajiban mendaftarkan diri dan melaporkan
usahanya
Mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya adalah kewajiban bagi Wajib Pajak.
Kewajiban formil ini timbul apabila telah memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam ketentuan pajak materil. Ketentuan pajak materil diantaranya meliputi UU yang
mengatur tentang Pajak Penghasilan dan UU yang mengatur tentang Pajak Pertambahan
Nilai.
Kewajiban formil pertama yang harus dipenuhi oleh suatu pihak yang berdasarkan
hukum pajak materiil (UU PPh) ditentukan sebagai Wajib Pajak adalah mendaftarkan
diri dan kepadanya akan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sedangkan
apabila berdasarkan UU PPN 1984, Wajib Pajak tersebut termasuk dalam kategori
Pengusaha Kena Pajak maka kewajiban formil selanjutnya yang harus dipenuhi untuk
menunaikan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai adalah dengan melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Kriteria bahwa suatu pihak
adalah Wajib Pajak ditentukan berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008.
Sedangkan kriteria Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak ditentukan berdasarkan
UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42
Tahun 2009.
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah kewajiban bagi Wajib Pajak sebagai pengusaha
yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) atau ekspor BKP
atau ekspor JKP yang atas penyerahan atau ekspornya tersebut terutang Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana ditentukan oleh UU PPN 1984. Fungsi pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena
Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk
pengawasan administrasi perpajakan.
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 rang untuk setiap keluarga.
Dari uraian mengenai kewajiban pajak subjektif dalam UU PPh 1984, diketahui bahwa
timbulnya kewajiban pajak subjektif berlaku bagi subjek pajak dalam negeri dan subjek
pajak luar negeri. Yang membedakan adalah timbulnya kewajiban subjektif subjek
pajak luar negeri bersamaan dengan timbulnya kewajiban pajak objektif (menjalankan
usaha melalui bentuk usaha tetap atau menerima/memperoleh penghasilan).
Sementara itu dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.03/2008, tidak
diatur mengenai kewajiban mendaftarkan diri bagi subjek pajak luar negeri. Kiranya
menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan yang memenuhi persyaratan subjektif
dalam Pasal 2 angka 1 UU KUP adalah persyaratan subjektif orang pribadi atau badan
sebagai subjek pajak dalam negeri. Dan memang demikian kelazimannya.
Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak
secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki
secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta (PP Nomor 80
Tahun 2007).
Warisan yang belum terbagi dalam kedudukannya sebagai Subjek Pajak menggunakan
Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan
tersebut.
20. Latihan
a. Apa yang dimaksud dengan persyaratan subjektif dalam UU KUP? Jelaskan!
b. Apakah setiap Wajib Pajak adalah Pengusaha Kena Pajak? Jelaskan!
c. Jelaskan kapan paling lambat Wajib Pajak mendaftarkan diri!
d. Jelaskan kapan paling lambat pengusaha kena pajak wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak!
e. Apa sanksi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak yang melanggar kewajiban
mendaftarkan diri!
21. Rangkuman
Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Yang dimaksud dengan Wajib Pajak adalah orang atau badan yang telah
memenuhi persyaratan subjektif maupun objektif berdasarkan UU Pajak Penghasilan.
Setiap Wajib Pajak sebagai pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau
Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN 1984 wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Jangka waktu paling lambat mendaftarkan diri dan atau melaporkan usahanya diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.03/2008.
Apabila kewajiban mendaftarkan diri dan atau melaporkan usahanya tersebut tidak
dipenuhi maka Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan untuk menerbitkan
NPWP dan atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
Pelanggaran terhadap kewajiban mendaftarkan diri dan atau melaporkan usahanya dapat
dikenakan sanksi administrasi atau sanksi pidana.
Penghapusan NPWP dilakukan apabila: a. diajukan permohonan penghapusan NPWP
oleh:1) Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya karena Wajib Pajak sudah tidak memenuhi
persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan; 2) Wajib Pajak badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran
karena penghentian atau penggabungan usaha; 3) wanita yang sebelumnya telah
memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan; atau 4) Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang menghentikan kegiatan
usahanya di Indonesia; atau b. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
menghapuskan NPWP dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak tersebut dapat dilakukan dalam hal: PKP
pindah alamat ke wilayah kerja KPP lain; atau sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai
PKP termasuk PKP yang jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk suatu tahun
buku tidak melebihi batas jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk
Pengusaha Kecil.
BAB III
PEMBUKUAN DAN PENCATATAN
1. Indikator
a. Peserta mampu menjelaskan pengertian pembukuan dan pencatatan
b. Peserta mampu menjelaskan ketentuan formil berkaitan dengan kewajiban pembukuan
dan pencatatan
c. Peserta mampu menjelaskan sanksi berkaitan dengan kewajiban pembukuan dan
pencatatan
d. Peserta mampu menjelaskan pihak yang berhak menyelenggarakan pembukuan
dalam bahasa asing dan mata uang asing
Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan adalah kewajiban bagi setiap Wajib
Pajak yang diselenggarakan dalam satu tahun buku agar dengan pembukuan atau
pencatatan ini dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Kewajiban ini melekat
pada setiap Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri. Pembukuan atau pencatatan
merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk menghitung jumlah pajak yang terutang
dalam suatu periode waktu.
Dalam sistem pemungutan pajak yang menganut Self Assessment System timbulnya pajak
yang terutang dan yang bertanggungjawab terhadap penyetoran atau pembayaran ke Kas
Negara ditentukan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Dalam kalimat penjelasan UU
KUP (perubahan kedua) diungkapkan bahwa: “anggota masyarakat Wajib Pajak diberi
kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
(Self Assessment), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat
dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh
anggota masyarakat Wajib Pajak.” Selanjutnya sebagai sarana untuk menghitung pajak
yang terutang, UU KUP mewajibkan kepada setiap Wajib Pajak untuk menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan. Pembukuan dan pencatatan yang diselenggarakan oleh
Wajib Pajak harus dapat digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang.
22. Pengertian Pembukuan dan Pencatatan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut (Pasal 1 angka 29 UU KUP). Berbeda dengan laporan
keuangan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), laporan keuangan yang
dihasilkan oleh pembukuan hanya berupa neraca dan laporan laba rugi.
Fungsi pembukuan adalah agar dari pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak
yang terutang (Pasal 28 ayat 7 UU KUP). Sehingga apabila pembukuan yang
diselenggarakan tidak dapat digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang
maka secara material pembukuan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 28 UU KUP. Yang
dimaksud dengan dapat digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang,
sebagaimana penjelasannya, adalah selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan,
pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut.
Berbeda dengan pembukuan, pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara
teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai
dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang termasuk penghasilan yang bukan
objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
Pembukuan dalam mata uang asing dan mata uang selain rupiah
Pasal 28 ayat 8 UU KUP menyatakan bahwa:”Pembukuan dengan menggunakan bahasa
asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah
mendapat izin Menteri Keuangan.” Aturan pelaksanaannya dijabarkan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007, tanggal 28 Desember 2007, yaitu sbb:
a. Wajib Pajak dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing
dan satuan mata uang selain Rupiah yaitu Bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar
Amerika Serikat;
b. Wajib Pajak dimaksud meliputi:
1) Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yang beroperasi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang- undangan Penanaman Modal Asing;
2) Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya yang beroperasi berdasarkan kontrak
dengan Pemerintah RI sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan pertambangan selain pertambangan minyak dan gas bumi;
3) Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi;
4) Bentuk Usaha Tetap;
5) Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun
seluruhnya di bursa efek luar negeri;
6) Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang memerlukan reksadana dalam denominasi
satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat
Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar Modal
7) Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
pasar modal; atau
8) Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri,
yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan/atau dikuasasi oleh
perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan
istimewa.
c. Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang
Dollar AS oleh WP harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan,
kecuali bagi WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP dalam rangka Kontraktor Kontrak
Kerja Sama;
d. Izin tertulis dapat diperoleh WP dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala
Kantor Wilayah, paling lambat 3 (tiga) bulan:
1) sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris
dan satuan mata uang Dollar AS tersebut dimulai; atau
2) sejak tanggal pendirian bagi WP baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
pertama.
e. Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas
permohonan dimaksud paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima
secara lengkap;
f. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan belum ada keputusan maka permohonan
dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah atas nama Menkeu menerbitkan keputusan
pemberian izin.
30. Rangkuman
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk
periode Tahun Pajak tersebut
Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak
yang terutang termasukpenghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
bersifat final.
Yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah: a) Wajib Pajak badan; b) Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali yang menghitung
penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Ketentuan mengenai pembukuan dan pencatatan diatur dalam Pasal 28 UU KUP.
Sanksi terhadap pelanggaran menyelenggarakan pembukuan dapat berupa sanksi administrasi
atau sanksi pidana.
Wajib Pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Bahasa
Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat; meliputi: a) Wajib Pajak dalam rangka
Penanaman Modal Asing; b) Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan selain pertambangan
minyak dan gas bumi; c) Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang beroperasi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan pertambangan minyak dan gas bumi;
d) Bentuk Usaha Tetap; e) Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian
maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri; f) Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang
memerlukan reksadana dalam denominasi satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah
memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas
Pasar Modal –Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
pasar modal; atau g) Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar
negeri.
BAB IV
PELAPORAN PAJAK
1. Indikator
a. Peserta mampu menjelaskan mekanisme pelaporan pajak dalam UU KUP
b. Peserta mampu menjelaskan sanksi terkait dengan kewajiban pelaporan pajak
c. Peserta mampu menjelaskan hak yang terkait dengan penyampaian Surat Pembertahuan
Melaporkan semua kewajiban perpajakan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) adalah
kewajiban bagi setiap Wajib Pajak terdaftar. Dalam ajaran materil, kewajiban ini timbul
pada saat terutangnya pajak yaitu setelah berakhirnya Masa Pajak untuk pajak yang
terutang dalam suatu Masa Pajak atau setelah berakhirnya Tahun Pajak untuk pajak yang
terutang dalam satu Tahun Pajak. Semua kewajiban perpajakan yang dilaporkan meliputi
kewajiban menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajak yang terutang serta
kewajiban memotong, memungut dan menyetor pajak yang terutang. Secara teoretis,
pelaporan pajak merupakan aktivitas akhir sekaligus menjadi bukti formil bagi
terpenuhinya kewajiban perpajakan suatu Wajib Pajak untuk suatu jenis pajak tertentu
pada suatu periode pajak tertentu dalam kerangka “Self Assessment”.
Tidak ada pajak tanpa ada penetapan. Pada dasarnya SPT selain sebagai sarana pelaporan
juga merupakan sarana penetapan bagi setiap Wajib Pajak. Sebagai sarana penetapan,
SPT melahirkan pajak terutang yang wajib dibayar atau disetor ke Kas Negara oleh subjek
pajak yang bersangkutan.
38. Wajib Pajak Pajak Penghasilan Tertentu Yang Dikecualikan Dari Kewajiban
Menyampaikan SPT
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2007 yang dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 dan SPT Tahunan PPh
Orang Pribadi yaitu WP Orang Pribadi yang dalam satu Tahun Pajak menerima atau
memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksus dalam UU PPh.
b. Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 yaitu Wajib Pajak
Orang Pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan
bebas.
Contoh 2:
PT B menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar Rp300.000.000,00,
Kompensasi kerugian berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2007 sebesar
Rp200.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 100.000.000,00
Terhadap SPT Tahunan PPh thn 2007 dilakukan pemeriksaan, dan pada tgl 6 Januari 2010
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp250juta.
Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tsb Dirjen Pajak akan mengubah perhitungan
Penghasilan Kena Pajak thn 2008 menjadi sbb:
Penghasilan Neto sebesar Rp300.000.000,00,
Rugi menurut Surat Ketetapan Pajak
tahun 2007 sebesar Rp250.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 50.000.000,00
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari SPT yang semula Rp100juta (Rp300juta –
Rp200juta) setelah pembetulan menjadi Rp50juta (Rp300juta – Rp250juta)
43. Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT adalah hak Wajib Pajak. Hak ini pada
dasarnya diberikan kepada Wajib Pajak untuk menghindari kemungkinan Wajib Pajak
dikenai hukuman pidana. Hak mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT diatur dalam
Pasal 8 ayat 3 dan Pasal 8 ayat 4.
a. Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT karena kealpaan
Pasal 8 ayat 3 menyatakan bahwa:”Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan,
tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang
dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran
perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak
dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut
dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh
persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.”
Penjelasan ayat tersebut sebagaimana juga dinyatakan dalam PP Nomor 80 Tahun
2007 adalah sbb:
1) Ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
adalah “Setiap orang yang karena kealpaannya: a. tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan
tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan
atau paling lama 1 (satu) tahun.”
2) Pernyataan tertulis harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
a) penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya
terutang dengan format Surat Pemberitahuan;
b) Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak;
dan
c) Surat Setoran Pajak sebagai bukti pembayaran sanksi administrasi berupa
denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen)
3) Terhadap Wajib Pajak yang telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya dan
sekaligus melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang
beserta sanksi administrasinya tidak akan dilakukan penyidikan, sepanjang tidak
ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan
tersebut.
4) Apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut
diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk membetulkan sendiri
sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
b. Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT setelah dilakukan pemeriksaan
Pasal 8 ayat 4 UU KUP menyatakan bahwa: ”Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah
melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan
dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
1) pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
2) rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
3) jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
4) jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap
dilanjutkan.”
Mengenai sanksinya diatur dalam Pasal 8 ayat 5 yang menyatakan bahwa:”Pajak yang
kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus
dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.”
Dalam PP Nomor 80 Tahun 2007 diuraikan hal-hal berkaitan dengan pengungkapan
ketidakbenaran pengisian SPT sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat 4 UU KUP, yaitu
sebagai berikut:
1) Laporan tersendiri secara tertulis dimaksud harus ditandatangani oleh Wajib Pajak
dan dilampiri dengan:
a) penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan;
b) Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
c) Surat Setoran Pajak sebagai bukti pembayaran sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen).
2) Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT,
pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut beserta
pelunasan pajak yang telah dibayar.
3) Dalam hal hasil pemeriksaan tersebut membuktikan bahwa pengungkapan
ketidakbenaran pengisian SPT yang dilakukan oleh WP ternyata tidak mencerminkan
keadaan yang sebenarnya, Surat Ketetapan Pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya tersebut.
4) Dalam hal hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), SSP bukti pelunasan pajak dan pelunasan
sanksi tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak.
5) Pelunasan pajak yang kurang dibayar dan sanksi administrasi berupa kenaikan di
atas dapat diperhitungkan sebagai pembayaran atas Surat Ketetapan Pajak hasil
pemeriksaan berdasarkan permohonan WP.
44. Latihan
a. Jelaskan apa fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)!
b. Jelaskan dalam hal apa SPT dianggap tidak disampaikan!
c. Dengan cara apa saja SPT dapat disampaikan?
d. Jelaskan hak apa saja yang dimiliki oleh Wajib Pajak berkaitan dengan penyampaian SPT?
e. Jelaskan sanksi apa saja yang dapat dikenakan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi
kewajiban penyampaian SPT!
45. Rangkuman
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak,
dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Surat Pemberitahuan terdiri dari Surat Pemberitahuan Masa dan Surat
Pemberitahuan Tahunan.
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas,
dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak (Pasal 3 ayat 1 UU KUP.
Surat Pemberitahuan dapat disampaikan secara langsung atau melalui pos tercatat atau
melalui jasa ekspediri/kurir atau dengan e-Filing melalui ASP (Penyedia Jasa Aplikasi).
Bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan SPT dapat dikenai sanksi
administrasi maupun sanksi pidana.
Berkaitan dengan kewajiban menyampaikan SPT, Wajib Pajak mempunyai hak untuk
memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT, membetulkan SPT dan mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian SPT.
BAB V
PEMBAYARAN PAJAK
1. Indikator
a. Peserta mampu menjelaskan tata cara pemenuhan kewajiban membayar pajak
b. Peserta mampu menjelaskan sanksi terkait dengan kewajiban membayar pajak
c. Peserta mampu menjelaskan hak terkait dengan pembayaran pajak
Pembayaran pajak terutang ke Kas Negara adalah kewajiban bagi setiap Wajib Pajak atas
pajak tertutang yang telah ditetapkan. Kewajiban membayar pajak timbul atas pajak
terutang baik yang ditetapkan oleh penetapan Wajib Pajak sendiri melalui SPT maupun yang
ditetapkan oleh Fiskus melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak. Dengan demikian,
kewajiban ini lahir ketika pajak terutang telah ditetapkan. Kewajiban ini melekat pada setiap
Wajib Pajak yang bertanggungjawab terhadap pembayaran atau penyetoran pajak terutang
ke Kas Negara. Yang bertanggungjawab terhadap pembayaran atau penyetoran ke Kas
Negara adalah Wajib Pajak, baik sebagai pemikul beban pajak maupun sebagai pemotong
atau pemungut pajak.
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau
penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Termasuk hari libur
nasional adalah hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang
ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
Sanksi administrasi apabila pembayaran atau penyetoran dilakukan setelah tanggal
jatuh tempo sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2007 adalah berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang
dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran,
dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan (Pasal 9 ayat 2a UU KUP).
Contoh:
Angsuran masa PPh Pasal 25 Tahun 2008 sejumlah Rp10juta per bulan. Angsuran
Masa Pajak Mei Tahun 2008 dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan tanggal 19
Juni 2008. Tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak.
Sanksi bunga dalam STP dihitung 1 (satu) bulan = 1x 2% x Rp10.000.000,00 =
Rp200.000,00
b. Pembayaran kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Jatuh tempo pembayaran kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan
SPT Tahunan PPh harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan
disampaikan (Pasal 9 ayat 3 UU KUP).
Atas pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh
yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh
1 (satu) bulan (Pasal 9 ayat 2b UU KUP).
Contoh:
SPT Tahunan PPh Badan PT ABC yang melaporkan PPh terutang sebesar Rp100juta
dengan kredit pajak sebesar Rp80juta disampaikan tanggal 10 Mei 2009. Pajak yang
kurang dibayar sebesar Rp20juta dibayar pada tanggal 9 Mei 2009.
Disamping dikenai sanksi administrasi karena terlambat menyampaikan SPT, atas
keterlambatan pembayaran pajak yang kurang dibayar tersebut dikenai sanksi
administrasi berupa bunga 2% dengan masa 1 bulan (1 Mei 2009 – 9 Mei 2009):
1x 2% x Rp20.000.000,00 = Rp400.000,00
c. Pelunasan jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan STP, SKPKB, SKPKBT, SK
Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding serta Putusan Peninjauan Kembali
Dalam Pasal 9 ayat 3 UU KUP ditetapkan bahwa:”Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.”
Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu
pelunasan tersebut dapat diperpanjang paling lama menjadi
2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (Pasal 9 ayat 3a UU KUP). Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
187/PMK.03/2007, batasan Wajib Pajak usaha kecil ditentukan sebagai berikut:
1) Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil dengan kriteria sbb:
a) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri; dan
b) Menerima atau memperoleh peredaran usaha dari kegiatan usaha atau
menerima penerimaan bruto dari pekerjaan bebas dalam Tahun Pajak
sebelumnya tidak lebih dari Rp600juta (enam ratus juta rupiah).
2) Wajib Pajak badan dengan kriteria sebagai berikut:
a) modal Wajib Pajak badan 100% dimiliki oleh WNI;
b) menerima atau memperoleh peredaran usaha dalam Tahun Pajak sebelumnya
tidak lebih dari Rp900juta (sembilan ratus juta rupiah).
Wajib Pajak di daerah tertentu adalah Wajib Pajak yang tempat tinggal, tempat
kedudukan, atau tempat kegiatan usahanya berlokasi di daerah tertentu yang
ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
Sanksi bagi keterlambatan pembayaran jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam
ketentuan ini diatur dalam Pasal 19 ayat 1 UU KUP yang berbunyi:”Apabila Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau
Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari
tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya
Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Contoh:
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sebesar Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan
batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan
tanggal 6 November 2008 Rp 6.000.000,00.
Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan
sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar =Rp10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan =Rp 6.000.000,00 (-)
Kurang dibayar =Rp 4.000.000,00
Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00) =Rp80.000,00
Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut, Wajib
Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5
Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga
dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar =Rp10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan =Rp10.000.000,00 (-)
Kurang dibayar =Rp 0,00
Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp10.000.000,00) =Rp200.000,00
48. Hak Wajib Pajak berkaitan dengan pembayaran pajak
Berkaitan dengan pembayaran pajak, Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak khususnya bagi Wajib Pajak yang mengalami kesulitan
likuiditas yaitu dengan cara mengajukan permohonan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat 4
UU KUP yang menyatakan bahwa:”Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak
dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak
termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12
(dua belas) bulan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.”
a. Ketentuan mengenai pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 mengenai
pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur sebagai berikut:
1) Pembayaran pajak yang dapat dilakukan dengancara mengangsur
atau menunda pembayaran adalah atas:
a) pajak yang masih harus dibayar dalam STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK
Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah; dan
b) PPh Pasal 29.
2) Wajib Pajak terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak;
3) Permohonan harus diajukan paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum saat
jatuh tempo pembayaran utang pajak berakhir disertai alasan dan jumlah
pembayaran pajak yang dimohon diangsur atau ditunda;
4) Apabila batas waktu 9 (sembilan) hari tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaannya, permohonan Wajib Pajak
masih dapat dipertimbangkan Dirjen Pajak sepanjang Wajib Pajak dapat
membuktikan kebenaran keadaan di luar kekuasaannya tersebut;
5) Dirjen Pajak menerbitkan surat keputusan atas permohonan Wajib Pajak tersebut
berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian, atau menolak paling lama 7
(tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan;
6) Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, Dirjen Pajak tidak memberi suatu
keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima;
7) Surat Keputusan yang menerima seluruhnya atau sebagian, dengan jangka waktu
masa angsuran atau penundaan tidak melebihi 12 (dua belas) bulan dengan
mempertimbangkan kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan Wajib
Pajak;
8) Terhadap utang pajak yang telah diterbitkan surat keputusan tidak dapat lagi
diajukan permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran.
b. Sanksi administrasi akibat pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak
Sanksi administrasi berkaitan dengan dikabulkannya permohonan untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak baik sebagian maupun seluruhnya diatur dalam
Pasal 19 ayat 2 UU KUP yang berbunyi:”Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan
mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus
dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Contoh:
1) Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar
Rp1.120.000,00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas
akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan
untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan
dengan jumlah yang tetap sebesar Rp224.000,00. Sanksi administrasi berupa
bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut: angsuran ke-1 : 2% x
Rp1.120.000,00 = Rp22.400,00 angsuran ke-2 : 2% x Rp896.000,00 =
Rp17.920,00
angsuran ke-3 : 2% x Rp672.000,00 = Rp13.440,00
angsuran ke-4 : 2% x Rp448.000,00 = Rp8.960,00
angsuran ke-5 : 2% x Rp224.000,00 = Rp4.480,00.
2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk
menunda pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.
Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00 = Rp112.000,00.
49. Sanksi pidana terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban
penyetoran pajak
Yang termasuk dalam tindak pidana di bidang perpajakan berkaitan dengan kewajiban
pembayaran atau penyetoran pajak adalah apabila Wajib Pajak tidak menyetorkan pajak
yang telah dipotong atau dipungut dengan ancaman pidana penjara, sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 39 ayat 1 hurif i dan ayat 2 UU KUP yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39 ayat 1 huruf i UU KUP:
”Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau
dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”
Pasal 39 ayat 2 UU KUP:
”Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua)
kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan
sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang
dijatuhkan.”
50. Latihan
a. Jelaskan hak Wajib Pajak berkaitan dengan pembayaran pajak!
b. Jelaskan sanksi di bidang perpajakan yang berkaitan dengan pembayaran pajak!
51. Rangkuman
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Pasal 10 ayat 1 UU KUP).
Berdasarkan Pasal 9 ayat 1 UU KUP, tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak
ditentukan oleh Menteri Keuangan, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
Berkaitan dengan pembayaran pajak, Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak khususnya bagi Wajib Pajak yang mengalami kesulitan
likuiditas yaitu dengan cara mengajukan permohonan.
Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak sebagaimana
ditetapkan maka dapat dikenakan sanksi administrasi atau sanksi pidana tergantung jenis
pelanggarannya.
BAB VI
PEMERIKSAAN PAJAK
1. Indikator
a. Peserta mampu memahami pengertian pemeriksaan
b. Peserta mampu menjelaskan produk dari suatu pemeriksaan
c. Peserta mampu menjelaskan kewajiban Wajib Pajak ketika dilakukan pemeriksaan
d. Peserta mampu menjelaskan sanksi terkait dengan kewajiban Wajib Pajak ketika
dilakukan pemeriksaan
Tindakan untuk melakukan pemeriksaan pajak adalah hak yang dimiliki Direktur Jenderal
Pajak. Hak melakukan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak ini oleh UU KUP hanya
diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak. Hak ini merupakan bagian dari fungsi
pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan bersifat
terbatas atau bernama kewenangan. Yang dimaksud bersifat terbatas adalah pada
aktivitasnya yang harus selaras dengan tujuan pemeriksaan. Namun tidak terbatas pada
objek yang diperiksa. Artinya setiap Wajib Pajak tidak luput dari kemungkinan untuk
dilakukan pemeriksaan.
Kapan hak ini muncul? UU KUP tidak secara khusus menentukannya. Yang dijelaskan
hanya tujuannya yaitu menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Meskipun pemeriksaan pajak adalah hak, namun dalam kasus tertentu (seperti untuk
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak) pemeriksaan
pajak adalah kewajiban bagi Direktur Jenderal Pajak.
53. Kewenangan melakukan pemeriksaan pajak dan Tata Cara Pemeriksaan Pajak
Yang berwenang melakukan pemeriksaan pajak adalah Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 ayat 1 UU KUP yang berbunyi:
“Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.”
Tata cara pemeriksaan pajak sesuai dengan Pasal 31 UU KUP diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan di antaranya mengatur tentang pemeriksaan
ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil
pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan
akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. Berdasarkan wewenang
Pasal 31 UU KUP tersebut terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007
tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Peraturan ini
mengalami perubahan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
82/PMK.03/2011.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tersebut sesuai Pasal 46, berlaku
terhadap Surat Perintah Pemeriksaan yang diterbitkan mulai tanggal 1 Januari 2008
sedangkan yang diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 2008 berlaku Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.03/2006. Menurut
hemat penulis, sesuai kelazimannya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
199/PMK.03/2007 seharusnya berlaku terhadap pemeriksaan pajak berkaitan dengan
kewajiban di bidang perpajakan yang terkait dengan UU KUP sampai perubahan terakhir
(UU Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 28 Tahun 2007).
Terhadap kewajiban di bidang perpajakan yang berdasarkan UU KUP sampai perubahan
kedua (UU Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun
2000) tetap menggunakan tata cara pemeriksaan yang diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.03/2006. Sebagai
contoh, meskipun Surat Perintah Pemeriksaan diterbitkan mulai 1 Januari 2008 tetapi
sepanjang objek pemeriksaan adalah bukan SPT Masa Januari 2008 ke depan atau bukan
SPT Tahunan Tahun Pajak 2008 ke depan maka tetap mengacu pada tata cara
pemeriksaan yang lama.
54. Kriteria dilakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan WP
Pemeriksaan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak dalam
rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Meskipun merupakan kewenangan namun dalam hal Wajib Pajak mengajukan
permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU
KUP, pemeriksaan harus dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, pemeriksaan selain dilihat
sebagai kewenangan dalam arti dapat dilakukan oleh Dirjen Pajak, pemeriksaan juga
merupakan suatu keharusan bagi Dirjen Pajak. Untuk kedua hal tersebut kriterianya
adalah sebagai berikut:
a. Harus dilakukan Dirjen Pajak
Dirjen Pajak harus melakukan pemeriksaan dalam hal Wajib Pajak mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17B UU KUP, yaitu permohonan kelebihan pembayaran pajak yang dinyatakan
dalam Surat Pemberitahuan selain WP dengan kriteria tertentu (Pasal 17C UU KUP) dan
selain WP dengan persyaratan tertentu (Pasal 17D UU KUP). Pemeriksaan yang dilakukan
tersebut diikuti dengan ketentuan bahwa dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan
diterima lengkap, Surat Ketetapan Pajak harus sudah diterbitkan. Apabila jangka waktu 12
bulan tersebut terlewati dan Surat Ketetapan Pajak belum diterbitkan maka atas
permohonan kelebihan pembayaran pajak tersebut harus dikabulkan dan paling lambat
satu bulan harus diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
b. Dapat dilakukan Dirjen Pajak
Selain hal pada huruf a> di atas, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor
199/PMK.03/2007, pemeriksaan untuk tujuan menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
1) menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang telah diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak;
2) menyampaikan SPT yang menyatakan rugi;
3) tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi melampaui jangka waktu
yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran;
4) melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau
akan meninggalkan Indonesia untuk selama- lamanya; atau
5) menyampaikan SPT yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis
risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan WP
yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan.
61. Rangkuman
Dalam perubahan terakhir UU KUP yang mulai berlaku 1 Januari 2008, pemeriksaan
didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Tata cara pemeriksaan pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
199/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007. Dalam perturan tersebut di antaranya
mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban
menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak
Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu
yang ditentukan.
Wajib Pajak yang diperiksa wajib: a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek
yang terutang pajak; b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang
yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau c.
memberikan keterangan lain yang diperlukan.
Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban ketika dilakukan pemeriksaan maka dapat
dikenakan sanksi baik sanksi administrasi ataupun sanksi pidana tergantung jenis
pelanggarannya.
Hasil pemeriksaan pajak khususnya yang bertujuan menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dapat berupa Surat Ketetapan Pajak, surat tagihan pajak atau
dapat juga ditingkatkan menjadi pemeriksaan bukti permulaan dalam hal hasil
pemeriksaan memberikan indikasi adanya tindak pidana di bidang perpajakan.
BAB VII
PENETAPAN dan KETETAPAN
1. Indikator
a. Peserta mampu memahami pengertian penetapan dan ketetapan
b. Peserta mampu menjelaskan tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak
c. Peserta mampu menjelaskan tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak
d. Peserta mampu menjelaskan ketentuan peralihan mengenai Surat Ketetapan Pajak
Pada dasarnya tidak ada pajak tanpa adanya penetapan. Dalam kerangka sistem
pemungutan pajak yang menganut Self Assessment System, pengertian penetapan
merujuk pada aktivitas di bidang perpajakan di mana Wajib Pajak menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melapor sendiri kewajiban perpajakannya. Dengan
demikian penetapan adalah aktivitas di pihak Wajib Pajak pada fase Self Assessment.
Sedangkan ketetapan merupakan kewenangan yang dimiliki Fiskus dalam “menghitung
kembali” pajak yang sudah ditunaikan Wajib Pajak apabila terdapat cukup bukti untuk itu.
Baik penetapan maupun penerbitan ketetapan dapat melahirkan pajak yang terutang.
Keduanya merupakan sarana formil yang disediakan UU KUP untuk dapat melahirkan
pajak yang terutang.
Dari kasus di atas maka PT ABC dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai
dengan Pasal 8 ayat 2 UU KUP sebesar:
2% x 10 x Rp30.000.000,00 = Rp6.000.000,00
Jumlah bulan dihitung sejak 1 Mei 2009 – 20 Februari 2010 = 10 bulan.
DJP menerbitkan STP untuk menagih sanksi administrasi berupa bunga tersebut.
5) STP untuk melakukan tagihan sanksi administrasi berupa denda
Sanksi administrasi berupa denda yang penagihannya dilakukan dengan
penerbitan STP adalah sbb:
a) berkaitan dengan Faktur Pajak
1. Pasal 14 ayat 1 huruf d: pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat
faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
2. Pasal 14 ayat 1 huruf e: pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP
yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 dan perubahannya, selain:
a. 1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (5) huruf b UU PPN 1984 dan perubahannya; atau
b. 2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g UU PPN
1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh PKP
pedagang eceran;
3. Pasal 14 ayat 1 huruf f: PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan
masa penerbitan faktur pajak;
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak tersebut, selain wajib
menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak (Pasal 14 ayat 4 UU
KUP).
b) Berkaitan dengan penyampaian SPT
Pasal 7 ayat 1 KUP: yaitu sanksi administrasi berupa denda apabila SPT tidak
disampaikan dalam jangka waktunya;
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak A pada tanggal 30 Mei 2008 menyerahkan Barang Kena
Pajak dengan harga jual Rp10juta kepada Pengusaha Kena Pajak B. Pelunasan
dilakukan oleh A pada tanggal 2 Juli 2008 dan bersamaan dengan itu PKP A
menerbitkan Faktur Pajak Standar tertanggal 2 Juli 2008.
PKP A terlambat membuat Faktur Pajak Standar yang seharusnya paling
lambat tanggal 30 Juni 2005.
Apabila keterlambatan tersebut diketahui DJP misal melalui pemeriksaan,
maka PKP A dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% x DPP (2% x
Rp10.000.000,00 = Rp200.000,00) dan penagihannya dilakukan dengan
penerbitan STP.
6) Kekuatan hukum STP
Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak (Pasal 14 ayat 2 UU KUP). Surat
Tagihan Pajak disamakan kekuatan hukumnya dengan Surat Ketetapan Pajak
sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
65. Latihan
a. Jelaskan dalam hal apa saja Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB)!
b. Jelaskan dalam hal apa saja Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)!
c. Jelaskan dalam hal apa saja Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar!
d. Jelaskan dalam hal apa saja Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Nihil!
e. Apa fungsi Surat Tagihan Pajak?
f. Jelaskan dalam hal apa saja Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan
Pajak!
66. Rangkuman
Dalam Self Assessment System, seperti yang dianut dalam UU perpajakan kita, Wajib
Pajak diberi kewenangan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan dan
membayar sendiri pajak terutang yang menjadi kewajibannya. Kewajiban membayar
pajak yang terutang tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak tanpa menggantungkan pada
adanya Surat Ketetapan Pajak.
Beban pembuktian untuk menyatakan bahwa pajak yang terutang dalam Surat
Pemberitahuan adalah tidak benar berada pada pihak Fiskus (Direktur Jenderal Pajak),
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 ayat 3 UU KUP yang menyatakan bahwa:
“Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal
Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.”
Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan dalam hal: a. apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; b.
apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; c. apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN dan PPnBM ternyata tidak
seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0 %
(nol persen); d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29
tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yg terutang; e. apabila
kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan dalam hal ditemukan data
baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan dalam hal: a) jumlah kredit pajak atau
jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang, b) terdapat
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru
ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran
pajak yang telah ditetapkan.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan
jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau
tidak ada pembayaran pajak.
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda.
BAB VIII
PERMOHONAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
PAJAK (RESTITUSI)
Indikator:
Kelebihan pembayaran pajak adalah hak bagi Wajib Pajak. Hak ini timbul
apabila terdapat kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan (SPT) atau apabila terdapat kekeliruan pemungutan atau
pemotongan yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. Hak ini dapat
ditunaikan setelah terlebih dahulu diajukan permohonan. Sejatinya sebuah
permohonan maka ia dapat dikabulkan seluruhnya atau sebagian atau dapat
juga ditolak. Setiap permohonan lazimnya ditindaklanjuti dengan pemeriksaan.
Tetapi dalam kasus tertentu seperti permohonan restitusi oleh WP dengan kriteria
tertentu dan oleh WP yang memenuhi persyaratan tertentu, permohonan ini
ditindaklanjuti dengan penelitian. Dan untuk restitusi akibat kekeliruan
pemotongan atau pemungutan permohonan kelebihan pembayaran pajak
ditindaklanjuti dengan ”hanya” meneliti kebenaran pembayaran pajak.
Dengan demikian, tindakan hukum yang dilakukan oleh Fiskus apabila
terdapat permohonan kelebihan pembayaran pajak dapat berupa pemeriksaan,
penelitian atau meneliti kebenaran pembayaran pajak tergantung dari status
permohonan tersebut. Berbeda dengan pemeriksaan sebagaimana telah dibahas
dalam bab sebelumnya, penelitian memiliki arti sebagai serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan
lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan
penghitungannya.
(2) Jumlah lebih bayar menurut SPT Tahunan PPh kurang dari
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah
penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah
tertentu, yaitu:
(2) Jumlah lebih bayar menurut SPT Masa PPN paling banyak
Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah)
9.4. Latihan
9.5. Rangkuman
4. B --
S
5. B -- Selain WP dengan kriteria tertentu atau WP yang memenuhi
S persyaratan tertentu, permohonan kelebihan pembayaran pajak
dalam SPT paling lama 12 bulan sejak permohonan diterima lengkap
harus diterbitkan skp.
Terhadap setiap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan
6. B -- kelebihan pembayaran pajak akan diterbitkan SKPLB.
S Salah satu kriteria Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah
7. B -- tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan.
S Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang
8. B -- telah diberikan pengembalian pendahuluan terdapat kekurangan
S pembayaran pajak maka dapat dikenai sanksi administrasi berupa
kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. Apabila
terhadap permohonan restitusi yang sudah diterbitkan SKPPKP
dilakukan pemeriksaan dan berdasarkan hasil
9. B -- pemeriksaan terdapat kekurangan pembayaran pajak akan
S diterbitkan SKPKBT.
Permohonan restitusi adalah hak Wajib Pajak yang diperoleh
setelah mengajukan permohonan.
10. B --
S
Bila Anda mencapai penguasaan di atas 70% atau lebih, Anda dapat
meneruskan ke Kegiatan Belajar 9, apabila belum supaya memperdalam terlebih
dahulu Kegiatan Belajar 8.
10. Kegiatan Belajar 9
PENAGIHAN PAJAK
Indikator:
sbb:
b. Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada
huruf a, Wajib Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan
pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi
berupa bunga dihitung sebagai berikut:
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan.
10.6. Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun
tidak langsung;
10.9. Latihan
10.10. Rangkuman
1. B -
-S
5. B -- S
2. B -
-S
6. B -- S
3. B -
-S
4. B -
-S
Yang menjadi masih harus dibayar bertambah. Penagihan seketika dan sekaligus
dasar penagihan dilakukan apabila Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia
pajak berdasarkan untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu.
Pasal 18 UU KUP Ketentuan lebih lanjut mengenai penagihan pajak dengan Surat
adalah Surat Paksa diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Tagihan Pajak, Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir
Surat Ketetapan dengan UU Nomor 19 Tahun 2000.
Pajak Kurang Bayar, Yang dimaksud dengan penagihan seketika dan sekaligus adalah
serta Surat tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak
Ketetapan Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
Kurang Bayar pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis
Tambahan, dan pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Surat Keputusan Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 10 tahun sejak
tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Pembetulan, Surat
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Keputusan
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Keberatan,
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan
Putusan Banding,
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
serta Putusan
Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu
Peninjauan
lainnya, kecuali terhadap biaya perkara yang hanya disebabkan
Kembali, yang
oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak
menyebabkan
dan/atau barang tidak bergerak.
jumlah pajak yang
7. B -- Pengurus dari Wajib Pajak badan bertanggungjawab terhadap
S pembayaran pajak yang terutang.
Jumlah Soal
SENGKETA PAJAK
Indikator:
Peserta mampu menjelaskan upaya hukum yang dapat dilakukan apabila terjadi sengketa
pajak
Peserta mampu menjelaskan konsekuensi hukum akibat diajukan keberatan dan banding
terhadap pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB atau SKPKBT
Yang dimaksud dengan sengketa pajak dalam bab ini adalah sengketa
pajak sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 UU Pengadilan
Pajak, yaitu: ”sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib
Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan
kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
Sengketa pajak timbul antara dua pihak yaitu Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang dalam hal ini Direktur
Jenderal Pajak. Sengketa timbul akibat dikeluarkannya suatu keputusan
yang dikeluarkan Direktur Jenderal Pajak sesuai kewenangan yang
dimilkinya berdasarkan UU KUP dan terhadap keputusan tersebut Wajib
Pajak atau Penanggung Pajak merasa tidak puas yang selanjutnya
mengajukan upaya hukum sesuai UU KUP. Selanjutnya, penyelesaian
sengketa pajak yang demikian hanya bermuara pada Banding atau Gugatan
di Pengadilan Pajak.
11.2. Penyelesaian Sengketa Pajak
11.3.6. Keberatan
Contoh:
11.4.1. Banding
B) Putusan Banding
11.4.2. Gugatan
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari
pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1)
huruf b dan c;
11.6. Latihan
11.7. Rangkuman
Sengketa pajak dalam bab ini adalah sengketa yang timbul dalam
bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan
pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa (Pasal 1 angka 5 UU Pengadilan Pajak).
Penyelesaian sengketa pajak pada prinsipnya bisa diselesaikan di
Direktorat Jenderal Pajak, atau Pengadilan Pajak. Sementara itu untuk
upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali diselesaikan di
Mahkamah Agung.
Penyelesaian sengketa pajak yang dapat diselesaikan di Direktorat
Jenderal Pajak atau penyelesaiannya menjadi kewenangan Direktur
Jenderal Pajak, berdasarkan UU KUP terdiri dari: a) pembetulan suatu
keputusan; b) pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; c)
pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak; d) pengurangan atau
pembatalan surat tagihan pajak; e) pembatalan hasil pemeriksaan dan skp-
nya; dan f) keberatan.
Penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak terdiri dari
gugatan dan banding.
Bila Anda mencapai penguasaan di atas 70% atau lebih, Anda dapat
meneruskan ke Kegiatan Belajar 11, apabila belum supaya memperdalam terlebih
dahulu Kegiatan Belajar 10.
12. Kegiatan Belajar 11
IMBALAN BUNGA
Indikator:
Imbalan bunga adalah hak yang dimiliki Wajib Pajak apabila terdapat
kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atau
diterbitkannya keputusan pembetulan, keputusan pengurangan, atau keputusan
pembatalan atas Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang
keputusannya mengabulkan sebagian atau seluruhnya atau diterbitkannya
keputusan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Hak ini bersifat
otomatis artinya dapat diperoleh Wajib Pajak tanpa melaui suatu permohonan
ataupun pemberitahuan.
Ketentuan mengenai imbalan bunga diatur dalam Pasal 27A UU KUP jo
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.03/2007 sebagaimana diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2011.
Imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali; atau
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali.”
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
12.7. Latihan
Imbalan bunga adalah hak yang dimiliki Wajib Pajak apabila terdapat
kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atau
diterbitkannya keputusan pembetulan, keputusan pengurangan, atau
keputusan pembatalan atas Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan
Pajak yang keputusannya mengabulkan sebagian atau seluruhnya atau
diterbitkannya keputusan pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi.
Imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat: a)
keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak; b) keterlambatan
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; c) kelebihan pembayaran pajak
karena tertangguh akibat pemeriksaan bukti permulaan;
d) kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan atau
permohonan banding atau peninjauan kembali diterima sebagian atau
seluruhnya; e) Kelebihan pembayaran pajak karena SK Pembetulan, SK
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau SK Pembatalan Ketetapan Pajak yang
dikabulkan sebagian atau seluruhnya; dan f) kelebihan pembayaran sanksi
administrasi Pasal 14 ayat (4) dan atau Pasal 19 ayat (1) berdasarkan SK
Pengurangan Sanksi Administrasi atau SK Penghapusan Sanksi Administrasi
sebagai akibat diterbitkan SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan
WP.
1. B -
-S
2. B -
-S
3. B -
-S
4. B - Imbalan bunga adalah hak Wajib Pajak yang diperoleh setelah
-S mengajukan permohonan.
Imbalan bunga dapat diberikan apabila terjadi keterlambatan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (3) UU KUP.
Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya,
selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud
dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang telah dibayar
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran
dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan.
Terhadapat sanksi administrasi dalam STP yang sudah dibayar dan
terhadap STP tersebut diterbitkan SK Penghapusan Sanksi
administrasi tidak dapat diberikan imbalan bunga.
5. B -- Imbalan bunga dapat diberikan terhadap kelebihan pembayaran
S pajak karena Surat Keputusan Pembetulan.
6. B - Imbalan bunga dapat diberikan terhadap SPT yang menyatakan
-S tidak lebih bayar tetapi berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan
SKPLB.
Imbalan bunga dapat diberikan terhadap kelebihan pembayaran
7. B - pajak karena peninjauan kembali diterima sebagian atau
-S seluruhnya.
Batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak
berdasarkan Pasal 11 ayat 2 UU KUP dilakukan paling lama 1
8. B - (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
-S pajak diterima.
Kelebihan pembayaran pajak akibat pembatalan skp tidak dapat
diberikan imbalan bunga.
Imbalan bunga tidak dapat diberikan apabila pemeriksaan atas
9. B - permohonan lebih bayar dilanjutkan ke pemeriksaan bukti
-S permulaan.
10. B -
-S
Jumlah Soal
Dengan hasil penghitungan itu dapat dilakukan klasifikasi penilaian yaitu:
Bila Anda mencapai penguasaan di atas 70% atau lebih, Anda dapat
meneruskan ke Kegiatan Belajar 12, apabila belum supaya memperdalam terlebih
dahulu Kegiatan Belajar 11.
13. Kegiatan Belajar 12
Indikator:
(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan
informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan
atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan
informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada
negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Pasal 14
Pasal 41A:
(1) Penanggung Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak menuruti perintah atau
permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, atau
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan tindakan dalam melaksanakan ketentuan
undang-undang yang dilakukan oleh Jurusita Pajak, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua)
minggu dan denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah)."
13.3. PENYIDIKAN PAJAK
13.4. Latihan
13.5. Rangkuman
1. B -
-S
2. B -
-S
3. B -- S
4. B -- S
Suatu perbuatan terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4
tidak dapat (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
dipidana, kecuali Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai
berdasarkan Pengusaha Kena Pajak adalah tindak pidana di bidang perpajakan.
kekuatan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah serangkaian tindakan yang
ketentuan dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti
perundang- yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang
undangan pidana perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
yang telah ada.
Setiap orang
yang
dengan
sengaja
menolak
dilakukan
pemeriksaan
sehingga
dapat
menimbulkan
kerugian
pada
pendapatan negara
dipidana dengan
pidana penjara
paling singkat 6
(enam) bulan dan
paling lama 6
(enam) tahun dan
denda paling
sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak
5. B - Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan
-S menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yang berlaku.
Penyidikan tidak dapat dihentikan meskipun tersangka meninggal
6. B - dunia.
-S Penyidik pajak tidak berwenang melakukan penggeledahan.
7. B -
-S
8. B -- Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
S Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai
penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam pelaksanaan tugasnya penyidik pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak berada di bawah
9. B - koordinasi penyidik pejabat polisi negara RI.
-S Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri
Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan.
10. B -
-S
Jumlah Soal
Bila Anda mencapai penguasaan di atas 70% atau lebih, Anda telah
menyelesaikan seluruh Kegiatan Belajar.
14. Test Formatif
A. Pilihan berganda:
1. Orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas wajib mendaftarkan diri paling lama ....
a. satu bulan setelah saat pekerjaan bebas nyata-nyata dimulai
2. Wajib Pajak di bawah ini dapat menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan
mata uang selain Rupiah, kecuali:
a. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing
d. Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama pertambangan minyak dan gas
bumi
3. Wajib Pajak di bawah ini wajib mendaftarkan diri dan kepadanya diberikan NPWP
sehubungan dengan kewajiban perpajakan hanya sebagai pemotong dan pemungut pajak,
kecuali ....
a. Joint operation c. Bendahara
Pemerintah
b. Anak perusahaan d. Kantor cabang
4. Pasal 28 (11) UU KUP tentang penyimpanan dokumen pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain, termasuk hasil pengolahan data dan pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi on line, wajib disimpan selama ....
a. 5 tahun
b. 8 tahun
c. 10 tahun
d. 15 tahun
5. Pembukuan harus diselenggarakan dengan prinsip taat asas. Yang dimaksud dengan prinsip
taat asas adalah ....
a. pembukuan harus diaudit oleh Kantor Akuntan Publik
b. metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan
diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang
c. prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-
tahun sebelumnya
d. pembukuan didukung dengan pengendalian intern yang memadai dan
didukung dengan bukti yang cukup
6. Hak Wajib Pajak berkaitan dengan penyampaian SPT Tahunan untuk menghindari sanksi
administrasi berupa denda karena terlambat menyampaikan SPT Tahunan adalah ....
a. Pembetulan SPT
10. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dapat diterbitkan dalam hal ....
11. Surat Tagihan Pajak berfungsi untuk melakukan tagihan sanksi administrasi berupa denda,
dalam hal ....
a. Pengusaha Kena Pajak terlambat menerbitkan Faktur Pajak
12. Produk hukum pemeriksaan pajak di bawah ini tidak dapat diajukan keberatan oleh Wajib
Pajak:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan(SKPKBT)
b. asas keadilan
d. asas kewajaran
b. Pengadilan Negeri
c. Pengadilan Pajak
d. Mahkamah Agung
4) Wajib Pajak dapat dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan dalam hal ....
8) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan Gugatan terhadap ...
9) Hak Wajib Pajak berikut ini dapat diperoleh dengan cara menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak:
1. imbalan bunga
1. Banding
2. Peninjauan Kembali
3. Gugatan
4. Keberatan
KUNCI JAWABAN (TES FORMATIF DAN TES SUMATIF)
1. B
2. S
3. B
4. S
5. B
6. B
7. B
8. S
9. B
10. B
1. B
2. S
3. B
4. S
5. B
6. B
7. S
8. B
9. S
10. B
1. B
2. S
3. S
4. B
5. B
6. B
7. S
8. S
9. B
10. B
1. B
2. S
3. S
4. B
5. B
6. S
7. S
8. B
9. B
10. B
1. S
2. B
3. B
4. B
5. S
6. S
7. S
8. B
9. B
10. B
1. S
2. B
3. B
4. S
200 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN@DTS DASAR PAJAK
I
5. B
6. B
8. B
9. S
10. B
1. B
2. S
3. S
4. B
5. S
6. S
7. S
8. S
9. S
10. B
201 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN@DTS DASAR PAJAK
I
JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 8
1. B
2. S
3. S
4. S
5. B
6. S
7. B
8. B
9. S
10. B
1. B
2. B
3. B
202 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN@DTS DASAR PAJAK
I
4. B
5. S
7. B
8. S
9. S
10. B
1. S
2. S
3. B
4. B
5. B
6. S
7. S
8. S
9. B
10. B
1. S
2. B
3. B
4. S
5. B
6. S
7. B
8. B
9. S
10. S
1. B
2. B
3. B
4. S
5. B
6. S
7. S
8. B
9. B
10. B
1. a
2. c
3. b
4. c
5. c
6. b
7. a
8. b
9. a
10. c
11. a
12. d
13. b
14. c
15. c
1. B
2. A
3. A
4. A
5. A
6. D
7. C
8. A
9. C
10. B
DAFTAR PUSTAKA