Anda di halaman 1dari 268

[TYPE THE COMPANY NAME]

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

[Type the document subtitle]

[Type the author name]


[Pick the date]
BAB I
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

1. Indikator
a. Peserta mampu menjelaskan landasan yang digunakan dalam UU KUP
b. Peserta mampu menjelaskan gambaran umum dari isi UU KUP
c. Peserta mampu menjelaskan pengertian pajak dalam UU KUP
d. Peserta mampu menjelaskan pengertian self Assessment System

2. Pendahuluan
a. Deskripsi Singkat
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya
ditulis UU KUP) merupakan ketentuan formil bagi undang-undang pajak materiil.
Hukum pajak materiil mempunyai fungsi menimbulkan pajak terutang yang meliputi
siapa yang menjadi subjek pajak dan apa objek pajaknya serta berapa tarif pajaknya.
Sementara hukum pajak formil mempunyai fungsi membuat pajak terutang dalam
hukum materiil dapat terealisasi menjadi penerimaan negara. Hukum pajak formil
berisi kewajiban dan hak formil Wajib Pajak. Dalam kewajiban formil diatur antara
lain meliputi bagaimana kewajiban tersebut ditunaikan serta sanksi apabila
kewajiban tersebut dilanggar. Dalam hak formil Wajib Pajak diatur bagaimana hak
tersebut dapat diperoleh.
Jika kita teliti UU KUP, maka dalam menunaikan kewajiban perpajakannya sejak
UU Perpajakan berlaku, terdapat sedikitnya empat fase yang mungkin akan dilalui
Wajib Pajak sampai pajak yang menjadi kewajibannya tersebut berakhir atau
menjadi pasti menurut hukum. Fase pertama menggambarkan sistem pemungutan
pajak Self Assessment yang dapat dilihat sejak kewajiban mendaftarkan diri dan
kepadanya diberikan NPWP, melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan sebagai
sarana untuk menghitung pajak terutang, melakukan pembayaran pajak dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak dan diakhiri dengan kewajiban menyampaikan
Surat Pemberitahuan (SPT) sebagai sarana untuk melaporkan seluruh kewajiban
perpajakannya dalam suatu masa pajak atau tahun pajak. Secara teoretis fase ini
diakhiri dengan penyampaian SPT termasuk pembetulan SPT.
Fase selanjutnya adalah fase pengawasan yang ditandai dengan tindakan
pemeriksaan pajak oleh Pemeriksa Pajak. Tidak semua Wajib Pajak terdaftar
dilakukan pemeriksaan. Apabila dalam periode lima tahun tidak dilakukan
pemeriksaan yang ditandai dengan tidak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak maka
kewajiban Wajib Pajak untuk suatu jenis pajak dalam suatu periode yang telah
ditunaikan dan dilaporkan menjadi pasti berdasarkan hukum. Dalam fase ini
Wajib Pajak bersifat pasif. Yang aktif sesuai dengan kewenangannya adalah
Pemeriksa Pajak. Meski tidak selalu, produk pemeriksaan dapat berupa Surat
Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan Pajak dapat menetapkan kekurangan pembayaran
pajak, kelebihan pembayaran pajak atau nihil.
Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan Surat Ketetapan Pajak maka Wajib
Pajak memiliki hak untuk mengajukan keberatan dan bersamaan dengan itu
memasuki fase sengketa pajak. Penyelesaian keberatan dilakukan di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak dengan penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Rohmat
Soemitro menamakannya peradilan semu sebab yang menyelesaikan sengketa
adalah yang bersengketa (Fiskus). Sengketa pajak tidak melulu berkaitan dengan
materi hasil pemeriksaan tetapi dapat juga berkaitan dengan salah tulis atau salah
hitung, sanksi administrasi maupun prosedur formal.
Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan keputusan Fiskus (SK Keberatan) maka
upaya hukum selanjutnya yang dapat dilakukan adalah mengajukan banding atau
gugatan ke Pengadilan Pajak dan ini merupakan fase penyelesaian sengketa. Untuk
upaya hukum luar biasa atas Putusan Banding maupun Putusan Gugatan, pihak yang
bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali yang penyelesaiannya dilakukan
oleh Mahkamah Agung.
Materi tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang disusun dalam
modul ini menggunakan kronologi berdasarkan fase-fase di atas dan tidak
berdasarkan urut-urutan Pasal-Pasalnya dengan harapan agar bagi pembacanya
khususnya peserta diklat dapat memahami KUP secara lebih mudah dan
komprehensif.
b. Prasyarat Kompetensi
Sebelum mempelajari modul ini peserta diklat telah memahami materi Pengantar
Hukum Pajak, Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai.
c. Standar Kompetensi
Setelah mempelajari materi modul diklat ini, peserta diklat diharapkan memahami
dan mampu menjelaskan kewajiban-kewajiban formil Wajib Pajak dan hak-hak yang
dimiliki Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009.
d. Kompetensi Dasar
1) Setelah mempelajari materi modul diklat ini, peserta diklat diharapkan mampu:
2) Menjelaskan kewajiban mendaftarkan diri bagi Wajib Pajak dan kewajiban
melaporkan usahanya bagi Pengusaha Kena Pajak;
3) Menjelaskan kewajiban pembukuan dan pencatatan bagi Wajib Pajak;
4) Menjelaskan kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak
dan hak berkaitan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan;
5) Menjelaskan kewajiban melakukan pembayaran pajak;
6) Menjelaskan pengertian, kewenangan, wewenang dan produk hukum
pemeriksaan pajak;
7) Menjelaskan penetapan dan ketetapan pajak;
8) Menjelaskan ketentuan mengenai penagihan pajak berdasarkan UU KUP;
9) Menjelaskan ketentuan dan prosedur penyelesaian sengketa pajak;
10) Menjelaskan ketentuan mengenai imbalan bunga dan besarnya imbalan bunga;
11) Menjelaskan pengertian tindak pidana di bidang perpajakan dan menjelaskan
pengertian penyidikan, kewenangan dan wewenang penyidik.

3. Landasan UU KUP
Dalam penjelasan UU KUP dinyatakan bahwa Undang-undang tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara
dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan. Dari penjelasan
tersebut kita meyakini bahwa falsafah yang melandasi segala pemungutan pajak adalah
Pancasila. Pancasila seharusnya menjadi ruh bagi setiap ketentuan yang dibuat dan
bagi pelaksanaan pemungutan di lapangan.
Sementara itu dasar hukum pajak mengacu pada Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang
berbunyi: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”.
Dalam penjelasannya diuraikan: “Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan
darimana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat sendiri, dengan
perantaraan Dewan Perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga
cara hidupnya…Oleh karena penetapan belanja mengenai hak Rakyat untuk
menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada
Rakyat, sebagai pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dasar hukum ini mengalami
perubahan dalam Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan 10 November 2001
yaitu menjadi Pasal 23A dengan bunyi: ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”
4. Tentang UU KUP
Undang-undang KUP memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada
prinsipnya berlaku bagi undang-undang pajak materiil, kecuali dalam undang-undang
pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata
cara perpajakannya. Undang-undang KUP telah mengalami beberapa kali perubahan
sejak diundangkan pertama kali dengan UU Nomor 6 Tahun 1983 yang berlaku 1 Januari
2004. Perubahan pertama dilakukan dengan UU Nomor 9 Tahun 1994 yang mulai
berlaku 1 Januari 1995. Perubahan kedua dilakukan dengan UU Nomor 16 Tahun
2000 yang mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2001. Perubahan ketiga dilakukan
dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2008. Perubahan
keempat yang merupakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 5
Tahun 2008 menjadi Undang-Undang, yaitu melalui UU Nomor 16 Tahun 2009.
Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 5 Tahun 2008 hanya mengatur tentang
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan
pelunasan kekurangan pembayaran pajak bagi Wajib Pajak yang menyampaikan
pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak
2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan
dilakukan paling lambat tanggal 28 Februari 2009.
Karena hanya merupakan undang-undang perubahan, undang- undang yang diubah
tetap berlaku sepanjang tidak ada aturan baru yang merubahnya. Undang-undang
perubahan mengatur mengenai materi yang mengalami perubahan saja. Undang-
Undang KUP tetap merupakan satu kesatuan yang terdiri dari Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan beserta seluruh
perubahannya. Oleh karena itu, sampai dengan perubahan terakhir, Undang-Undang
KUP biasa disebut dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
Tujuan dilakukannya perubahan ketiga UU KUP sebagaimana dinyatakan dalam
penjelasannya adalah:
a. meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan
negara;
b. meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna
meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap
mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah;
c. menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta
perkembangan di bidang teknologi informasi;
d. meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
e. menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
f. meningkatkan penerapan prinsip Self Assessment secara akuntabel dan konsisten;
dan
g. mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.
Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan
meningkatnya kepatuhan sukarela dan membaiknya iklim usaha.

Isi dari UU KUP dalam keseluruhan naskah adalah sebagai berikut:


Bab I : Ketentuan Umum
Bab II : Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Surat
Pemberitahuan, Dan Tata Cara Pembayaran Pajak
Bab III : Penetapan dan Ketetapan Pajak
Bab IV : Penagihan Pajak
Bab V : Keberatan dan Banding
Bab VI : Pembukuan dan Pemeriksaan
Bab VII : Ketentuan Khusus
Bab VIII : Ketentuan Pidana
Bab IX : Penyidikan
Bab X : Ketentuan Peralihan
Bab XI : Ketentuan Penutup

5. Definisi Pajak
Salah satu yang baru dalam perubahan ketiga UU KUP (UU Nomor 28 Tahun 2007)
adalah diberikannya definisi pajak. Dalam Pasal 1 UU KUP, pajak didefinisikan sebagai
berikut:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Jika kita simak definisi di atas maka terkandung dua dimensi pajak, yaitu dimensi
ekonomi dan dimensi hukum, dengan satu fungsi. Dalam dimensi ekonomi, pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
dengan tidak mendapat imbalan secara langsung. Kewajiban (kontribusi wajib) ini
muncul apabila berdasarkan undang-undang ada yang terutang oleh orang pribadi
atau badan. Sebaliknya kewajiban ini tidak muncul apabila tidak ada yang terutang.
Dimensi hukumnya, pajak berdasarkan undang-undang. Tidak ada pajak tanpa undang-
undang. Bahkan di dunia perpajakan dikenal istilah “Pajak tanpa undang-undang adalah
perampokan”. Perikatan di bidang perpajakan antara masyarakat Wajib Pajak dan
negara timbul karena berlakunya undang-undang. Undang-undang mempunyai sifat
memaksa. Maka dalam dimensi hukum, kontribusi wajib tadi bersifat memaksa. Bentuk
pemaksaan tersebut dapat dilihat baik dari sisi penagihannya yang bisa dilakukan
dengan Surat Paksa maupun dari sisi adanya sanksi baik administrasi maupun pidana
bagi yang melanggarnya. Kontribusi wajib yang tanpa imbalan apalagi memaksa memang
bisa dipersamakan dengan perampokan atau pemberian hadiah. Kontribusi wajib ini
menjadi pajak namanya apabila kita satukan dengan fungsinya yaitu untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada hakikatnya fungsi inilah yang
menjadi dasar bagi adanya pajak sebab negaralah yang menjadi alasan diberlakukannya
pajak.

6. Self Assessment
Salah satu ciri dari sistem pemungutan pajak Indonesia adalah Self Assessment, yaitu
sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat Wajib
Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang. Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan
penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan
melaporkannya secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang- undangan perpajakan. Secara
teoretis (sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan UU KUP) administrasi perpajakan
berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang
meliputi tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi
perpajakan.
Prinsip Self Assessment dalam UU KUP diterapkan secara jelas dalam Pasal 12 UU KUP
yang berbunyi:
a. Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada
adanya Surat Ketetapan Pajak.
b. Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh
Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
c. Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar,
Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
Dari Pasal 12 UU KUP tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penghitungan pajak
yang terutang (untuk Pajak Penghasilan, dan PPPN dan PPnBM), pembayarannya ke
Kas Negara, serta pelaporannya diserahkan sepenuhnya kepada Wajib Pajak dan tidak
didasarkan pada Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan administrasi pajak.
Perhitungan, pembayaran dan pelaporan yang dilakukan Wajib Pajak tersebut dianggap
benar (sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan) sepanjang
Direktur Jenderal Pajak tidak dapat membuktikan sebaliknya. Pada prinsip Self
Assessment beban pembuktian (bahwa pajak yang terutang yang telah dilaporkan adalah
tidak benar) berada di pihak Fiskus (Dirjen Pajak). Surat Ketetapan Pajak hanya
diterbitkan oleh Fiskus apabila perhitungan Wajib Pajak tersebut tidak benar
berdasarkan pada suatu pembuktian oleh Fiskus.

7. Siklus Pajak
Ada awal tentu ada akhirnya. Jika dikaitkan dengan mulai timbulnya pajak terutang
sampai dengan kepastian bahwa pajak yang terutang tersebut telah ditunaikan maka
dalam pajak ada juga suatu siklus. Untuk mudahnya sebut saja siklus pajak. Berbeda
dengan jual beli dimana hak dan kewajiban dalam perikatan yang timbul antara
penjual dan pembeli dapat “diselesaikan” seketika itu juga yaitu saat akad jual beli
telah disepakati dan transaksi telah dilakukan, dalam pajak tidak demikian. Di bidang
pajak perikatan antara masyarakat Wajib Pajak dan negara tidak diselesaikan secara
bersamaan sebagaimana dalam jual beli. Pada sistem pemungutan pajak Self Assessment,
setelah UU pajak berlaku, Wajib Pajak terlebih dahulu yang menghitung dan selanjutnya
menunaikan pajak hasil penghitungan tersebut. Dalam hal pajak hasil penghitungan
Wajib Pajak tersebut tidak benar (berdasarkan suatu bukti) maka Fiskus dapat
“membetulkan” penghitungan tersebut. Cerita tidak habis di sini sekiranya pajak hasil
penghitungan Fiskus oleh Wajib Pajak dianggap “tidak benar”. Terjadilah sengketa pajak
yang mungkin berakhir di Pengadilan Pajak. Ini yang penulis sebut siklus pajak. Setiap
tahapan atau fase dalam suatu siklus pajak melahirkan kewajiban dan hak di bidang
perpajakan. Dalam menunaikan kewajiban perpajakannya paling tidak setiap Wajib Pajak
akan melalui (meski tidak selalu) 5 fase sampai suatu kewajiban perpajakan untuk
satu jenis pajak dalam suatu periode waktu dianggap telah selesai ditunaikan dan telah
pasti secara hukum. Fase-fase tersebut adalah sbb:
a. Fase timbulnya hak dan kewajiban di bidang perpajakan
Fase ini ditandai dengan berlakunya undang-undang. Pemungutan pajak harus
diatur dengan undang-undang merupakan amanat dari Pasal 23A UUD 1945
(Amandemen ketiga) yang selengkapnya berbunyi:”Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Dengan
demikian maka dapat dikatakan bahwa tidak ada pajak tanpa diatur dengan undang-
undang. Hak dan kewajiban di bidang perpajakan baru muncul bersamaan dengan
berlakunya undang- undang.
Dalam hukum pajak terdapat hukum pajak materiil dan hukum pajak formil. Hukum
pajak materiil diatur dalam UU pajak materiil misalnya UU yang mengatur Pajak
Penghasilan dan UU yang mengatur Pajak Pertambahan Nilai. UU pajak material
melahirkan pajak terutang. Maka di dalamnya diatur tentang siapa yang menjadi
subjek pajak, apa objek pajaknya dan berapa tarifnya. Hukum pajak formil diatur
dalam UU pajak formil misalnya UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. UU pajak formil berisi prosedur dan tata cara agar pajak terutang
yang timbul berdasarkan hukum pajak matreril dapat direalisasikan menjadi
penerimaan negara. Dalam ketentuan formil diatur mengenai tata cara
pendaftaran menjadi Wajib Pajak, sarana menghitung pajak, tata cara pembayaran
dan penyetoran, pelaporan serta sanksi-sanksi. Untuk pajak penghasilan dan pajak
pertambahan nilai, ketentuan material dan formilnya diatur terpisah dalam UU
tersendiri. Dalam Pajak Bumi dan Bangunan ketentuan formil dan materiil terdapat
dalam satu undang- undang.
b. Fase Self Assessment
Pada Self Assessment System, dalam penerapannya, yang memulai suatu siklus
pajak adalah masyarakat Wajib Pajak. Aktifitas di bidang perpajakan dimulai oleh
Wajib Pajak. Aktifitas Fiskus lebih merupakan pelayanan bagi pelaksanaan kewajiban
di bidang perpajakan. Fase ini dimulai ketika suatu pihak, yang berdasarkan
ketentuan material yaitu UU PPh ditentukan sebagai Wajib Pajak, mendaftarkan
diri sebagai Wajib Pajak dan kemudian kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Setelah mendaftarkan diri kewajiban selanjutnya yang melekat
adalah menghitung pajak terutang dengan sarana pembukuan dan pencatatan,
melakukan pembayaran dengan sarana Surat Setoran Pajak dan melaporkan
semua kewajiban perpajakan yang telah ditunaikan dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan (SPT). Fase ini diakhiri dengan meyampaikan laporan SPT untuk
setiap jenis pajak dalam suatu periode pajak tertentu. Apabila dalam kurun waktu
lima tahun (sesuai perubahan terakhir UU KUP) tidak dilakukan pemeriksaan atau
tidak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak maka pajak terutang yang telah dilaporkan
dalam SPT tersebut telah pasti berdasarkan hukum dan selesailah kewajiban
perpajakan atas suatu jenis pajak dalam suatu periode. Namun seandainya terhadap
SPT yang disampaikan dilakukan pemeriksaan maka Wajib Pajak memasuki fase
pengawasan.
c. Fase pengawasan
Wajib Pajak memasuki fase ini apabila atas SPT yang dilaporkan dilakukan
pemeriksaan pajak. Dalam fase ini Wajib Pajak lebih bersifat pasif sebab beban
pembuktian terhadap ketidakbenaran pengisian SPT berada di pihak Fiskus.
Pemeriksaan pada hakikatnya adalah mencari bukti. Bukti ini berkaitan dengan
ketidakbenaran (bukan kebenaran) SPT yang diampaikan Wajib Pajak. Sekiranya
dalam pemeriksaan tidak ditemukan adanya bukti ketidakbenaran pengisian SPT
maka SPT tersebut dianggap benar dan penghitungan pajak di dalamnya telah pasti
berdasarkan hukum. Hal yang sama juga berlaku dalam hal ditemukan bukti yang
menyebabkan pajak yang terutang berbeda dengan yang dilaporkan dalam SPT dan
Wajib Pajak setuju terhadap perbedaan tersebut yang ditandai dengan tidak
diajukannya keberatan. Namun apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan maka
Wajib Pajak memasuki fase sengketa pajak.
d. Fase sengketa
Wajib Pajak memasuki fase sengketa pajak apabila Wajib Pajak tidak puas
terhadap keputusan yang diterbitkan Fiskus. Ketidakpuasan ini ditunjukkan dengan
upaya hukum formil misalnya mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak.
Untuk keberatan, penyelesaian dilakukan di tingkat Direktorat Jenderal Pajak.
Penyelesaiannya dilakukan oleh Dirjen Pajak dengan penerbitan suatu surat
keputusan keberatan. Rohmat Soemitro menyebutnya sebagai peradilan semu
sebab yang menyelesaikan sengketa adalah pihak yang bersengketa. Apabila Wajib
Pajak setuju dengan surat keputusan keberatan tersebut maka berarti telah pasti
kewajiban pajak untuk suatu jenis pajak dalam suatu periode waktu yang telah
ditunaikannya itu. Dan sekiranya Wajib Pajak tidak setuju dengan keputusan
keberatan dimaksud maka upaya hukum yang lebih tinggi dapat dilakukan yaitu
dengan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Dan Wajib Pajak dengan
demikian memasuki fase penyelesaian sengketa.
e. Fase penyelesaian sengketa
Penyelesaian sengketa pajak hanya bermuara pada salah satu dari dua lembaga
yaitu banding atau gugatan di Pengadilan Pajak. Secara teoretis hakim Pengadilan
Pajak adalah institusi terakhir yang akan memutuskan perkara sengketa pajak.
Produk dari hakim Pengadilan Pajak adalah Putusan (bukan keputusan). Namun
demikian terhadap kasus-kasus tertentu, pihak-pihak yang bersengketa dapat
mengajukan upaya hukum luar biasa atas Putusan hakim Pengadilan Pajak yaitu
dengan mengajukan Peninjauan Kembali yang perkaranya akan diputus oleh
Mahkamah Agung.
Dari siklus pajak di atas dapat kita ketahui bahwa kewajiban dan hak di bidang
perpajakan terhadap satu jenis pajak dalam satu periode pajak tidak seluruhnya timbul
secara bersamaan pada awal timbulnya pajak terutang melainkan berurutan mengikuti
fase-fase di atas. Misalnya kewajiban Wajib Pajak ketika dilakukan pemeriksaan hanya
timbul apabila terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dilakukan pemeriksaan pajak
oleh Fiskus. Hak mengajukan keberatan hanya timbul apabila diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak oleh Fiskus. Hak mengajukan banding hanya timbul apabila diterbitkan
Surat Keputusan Keberatan. Demikian seterusnya sampai pajak yang telah ditunaikan
tersebut telah pasti menurut hukum.

8. Ketentuan Peralihan UU KUP Perubahan Ketiga


Undang Undang KUP perubahan ketiga mulai berlaku tanggal 1 Januari 2008. Terkait
dengan hak dan kewajiban yang menyangkut UU KUP perubahan kedua (yang berlaku
sebelumnya) Pasal II dari UU KUP perubahan ketiga menyatakan sebagai berikut:
a. Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan
Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000.
b. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa
penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan
sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau
Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013.

9. Latihan
a. Apa falsafah yang melandasi UU KUP?
b. Jelaskan definisi pajak berdasarkan UU KUP?
c. Apa yang dimaksud dengan Self Assessment System?

10. Rangkuman
Falsafah yang melandasi UU KUP adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang
di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan
menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan.
Dalam keseluruhan naskah UU KUP berisi 11 bab yang terdiri dari: Ketentuan
Umum; NPWP, Pengukuhan PKP, Surat Pemberitahuan, dan Tata Cara Pembayaran
Pajak; Penetapan dan Ketetapan Pajak; Penagihan Pajak; Kebaratan dan Banding;
Pembukuan dan Pemeriksaan; Ketentuan Khusus; Ketentuan Pidana; Penyidikan;
Ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup.
Dalam UU KUP, Pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Salah satu ciri dari sistem pemungutan pajak Indonesia adalah Self Assessment, yaitu
sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat Wajib
Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang.
Dalam menunaikan kewajiban perpajakannya paling tidak setiap Wajib Pajak akan
melalui (meski tidak selalu) 5 fase sampai suatu kewajiban perpajakan untuk satu
jenis pajak dalam suatu periode waktu dianggap telah selesai ditunaikan dan telah
pasti secara hukum. Fase-fase itu adalah fase timbulnya hak dan kewajiban di bidang
perpajakan, fase Self Assessment, fase pengawasan, fase sengketa pajak, dan fase
penyelesaian sengketa.
II `BAB
MENDAFTARKAN DIRI DAN MELAPORKAN USAHANYA

1. Indikator
a. Peserta mampu menjelaskan ketentuan mengenai kewajiban mendaftarkan diri
b. Peserta mampu menjelaskan ketentuan mengenai kewajiban melaporkan usahanya
c. Pesertamampu menjelaskan sanksi berkaitan dengan kewajiban mendaftarkan diri dan
melaporkan usahanya
d. Peserta mampu menjelaskan berakhirnya kewajiban mendaftarkan diri dan melaporkan
usahanya
Mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya adalah kewajiban bagi Wajib Pajak.
Kewajiban formil ini timbul apabila telah memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam ketentuan pajak materil. Ketentuan pajak materil diantaranya meliputi UU yang
mengatur tentang Pajak Penghasilan dan UU yang mengatur tentang Pajak Pertambahan
Nilai.
Kewajiban formil pertama yang harus dipenuhi oleh suatu pihak yang berdasarkan
hukum pajak materiil (UU PPh) ditentukan sebagai Wajib Pajak adalah mendaftarkan
diri dan kepadanya akan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sedangkan
apabila berdasarkan UU PPN 1984, Wajib Pajak tersebut termasuk dalam kategori
Pengusaha Kena Pajak maka kewajiban formil selanjutnya yang harus dipenuhi untuk
menunaikan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai adalah dengan melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Kriteria bahwa suatu pihak
adalah Wajib Pajak ditentukan berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008.
Sedangkan kriteria Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak ditentukan berdasarkan
UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42
Tahun 2009.

11. Pengertian NPWP dan Pengukuhan PKP


Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya
(Pasal 1 angka 6 UU KUP). Nomor Pokok Wajib Pajak diberikan kepada Wajib Pajak yaitu
orang pribadi atau badan yang berdasarkan UU PPh dikenai kewajiban perpajakan
baik kewajiban perpajakan atas dirinya sendiri ataupun kewajiban memungut atau
memotong PPh pihak lain (withholding tax). Nomor Pokok Wajib Pajak terdiri dari 15
(lima belas) digit, yaitu 9 (sembilan) digit pertama merupakan Kode Wajib Pajak dan 6
(enam) digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan.

01.234.567.8 – 999 . 000


Kode WP Kode KPP Kode cabang

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah kewajiban bagi Wajib Pajak sebagai pengusaha
yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) atau ekspor BKP
atau ekspor JKP yang atas penyerahan atau ekspornya tersebut terutang Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana ditentukan oleh UU PPN 1984. Fungsi pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena
Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk
pengawasan administrasi perpajakan.

12. Yang Wajib Mendaftarkan Diri Dan Kepadanya Diberikan Npwp


Dalam Pasal 2 angka 1 UU KUP dinyatakan bahwa:
”Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri
pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.”
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.Yang dimaksud dengan
persyaratan subjektif adalah sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam UU
PPh 1984 dan perubahannya. Sedangkan persyaratan objektif adalah persyaratan bagi
subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk
melakukan pemotongan/pemungutan sesuai UU PPh 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif berdasarkan UU PPh dapat dibedakan sebagai berikut:
a. sebagai pemikul beban Pajak, yaitu bagi badan atau orang pribadi yang
memperoleh atau menerima penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan UU PPh,
yang terdiri dari Pajak Penghasilan badan dan Pajak Penghasilan Orang Pribadi;
b. sebagai pemungut dan atau pemotong pajak, terdiri dari pemungutan dan/atau
pemotongan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4
ayat 2, dan PPh Pasal 15.
Timbulnya kewajiban pajak subjektif sebagaimana diatur dalam Pasal 2A UU PPh 1984
dapat diuraikan sbb:
a. orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri, dimulai pada saat orang pribadi
tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan, dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia;
c. orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dimulai pada saat orang
pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia;
d. orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dimulai pada saat orang pribadi atau
badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia;
e. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak, dimulai
pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut.
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif secara formil dijabarkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.03/2008 adalah sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas;
Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang
mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang
tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
b. Wajib Pajak badan;
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 mengenai bentuk badan
lainnya disinggung bahwa dalam rangka pengukuhan Pengusaha sebagai
Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian bentuk badan lainnya adalah
bentuk kerjasama operasi.
Mengenai bentuk usaha tetap, UU PPh Pasal 2 ayat 1(a) menyatakan bahwa ”Bentuk
usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan
dengan subjek pajak badan.”
c. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan
pekerjaan bebas, apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang
disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Ketentuan mengenai PTKP terdapat dalam Pasal 7 UU PPh. Dalam perubahan
terakhir UU PPh (UU Nomor 36 Tahun 2008) yang mulai berlaku 1 Januari 2009,
PTKP ditetapkan sbb:
Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
1) Rp 54.000.000,- untuk diri Wajib Pajak orang pribadi

2) Rp 4.500.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin

3) Rp 54.000.000,- untuk istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.

4) Rp 4.500.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga

semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 rang untuk setiap keluarga.
Dari uraian mengenai kewajiban pajak subjektif dalam UU PPh 1984, diketahui bahwa
timbulnya kewajiban pajak subjektif berlaku bagi subjek pajak dalam negeri dan subjek
pajak luar negeri. Yang membedakan adalah timbulnya kewajiban subjektif subjek
pajak luar negeri bersamaan dengan timbulnya kewajiban pajak objektif (menjalankan
usaha melalui bentuk usaha tetap atau menerima/memperoleh penghasilan).
Sementara itu dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.03/2008, tidak
diatur mengenai kewajiban mendaftarkan diri bagi subjek pajak luar negeri. Kiranya
menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan yang memenuhi persyaratan subjektif
dalam Pasal 2 angka 1 UU KUP adalah persyaratan subjektif orang pribadi atau badan
sebagai subjek pajak dalam negeri. Dan memang demikian kelazimannya.
Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak
secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki
secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta (PP Nomor 80
Tahun 2007).
Warisan yang belum terbagi dalam kedudukannya sebagai Subjek Pajak menggunakan
Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan
tersebut.

13. Yang Wajib Melaporkan Usahanya Untuk Dikukuhkan Menjadi Pkp


Dalam Pasal 2 angka 2 UU KUP, yang wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah sbb: “Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha
yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan
usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.”
Dengan demikian yang wajib dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak adalah setiap
Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984. Yang
dimaksud dengan Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun
yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari
luar daerah pabean (Pasal 1 angka 4 UU KUP). Sedangkan pengusaha yang dikenai pajak
berdasarkan UU PPN 1984 adalah Pengusaha Kena Pajak yaitu Pengusaha yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya (Pasal 1 angka 5 UU KUP). Pajak Pertambahan Nilai yang terutang akibat
pengusaha melakukan penyerahan BKP atau JKP berdasarkan UU PPN 1984 harus
dipungut oleh pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP tersebut. Sebelum
melakukan pemungutan PPN terutang pengusaha tersebut wajib dikukuhkan terlebih
dahulu menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Pengertian Pengusaha Kena Pajak dalam Pasal 1 angka 5 UU KUP tersebut ternyata
berbeda dengan pengertian Pengusaha Kena Pajak dalam UU PPN 1984. Dalam Pasal 1
angka 15 UU PPN 1984, Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP yang dikenakan pajak berdasarkan UU ini,
tidak termasuk Pengusaha Kecil, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan
sebagai PKP. Dalam UU PPN 1984 pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan
atau penyerahan JKP yang tergolong pengusaha kecil tidak diwajibkan untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Batasan Pengusaha Kecil berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 adalah pengusaha yang selama
satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran
bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Selain itu, dalam Pasal 3A ayat 1 UU PPN 1984, yang wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak selain pengusaha yang menyerahkan BKP
ataupun pengusaha yang menyerahkan JKP adalah pengusaha yang melakukan ekspor
BKP dan ekspor JKP yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984.

14. Jangka Waktu Mendaftarkan Diri Dan Jangka Waktu Melaporkan


Usahanya
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.03/2008, jangka waktu
pendaftaran dan pelaporan diatur sebagai berikut:
a. Jangka waktu pendaftaran
1) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan. Saat
usaha mulai dijalankan adalah saat pendirian, atau saat usaha, atau pekerjaan
bebas nyata-nyata mulai dilakukan;
2) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan
pekerjaan bebas, apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang
disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama pada akhir bulan
berikutnya;
b. Jangka waktu pelaporan usaha
1) Wajib Pajak dan memenuhi ketentuan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebelum
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
2) Pengusaha Kecil, yang:
a) memilih sebagai Pengusaha Kena Pajak; atau
b) tidak memilih sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi sampai dengan suatu
bulan dalam suatu tahun buku jumlah nilai peredaran bruto atas
penyerahan Barang Kena Pajak melampaui batasan yang ditentukan sebagai
Pengusaha Kecil,
wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
paling lama akhir bulan berikutnya.

15. Tempat Mendaftarkan Diri Dan Atau Melaporkan Usahanya


a. Tempat mendaftarkan diri

Ketentuan mengenai pendaftaran bagi Wajib Pajak dalam Peraturan Menteri


Keuangan 20/PMK.03/2008 diatur sbb:
1) Wajib Pajak mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
(bagi WP orang pribadi) atau tempat kedudukan (bagi WP badan) Wajib Pajak
atau ke KPP tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan
perpajakan.
2) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan
bebas yang melakukan kegiatan usaha di beberapa tempat atau mempunyai
tempat usaha yang berbeda alamat dengan tempat tinggal, selain mendaftarkan
diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal juga mendaftarkan diri
ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat kegiatan usaha Wajib
Pajak.
3) Dalam hal tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha Wajib
Pajak berada dalam 2 (dua) atau lebih wilayah kerja KPP, Direktur Jenderal Pajak
dapat menetapkan KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
Pada prinsipnya NPWP hanya diberikan satu kepada setiap Wajib Pajak yaitu di KPP
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal bagi WP orang pribadi atau di KPP
yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan bagi WP badan. Dalam hal
terdapat lebih dari satu kegiatan usaha di beberapa tempat usaha yang berbeda
alamat dengan tempat tinggal atau tempat kedudukan WP, maka pendaftaran diri
pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha itu adalah hanya
untuk pemenuhan kewajiban perpajakan WP dengan status cabang yaitu kewajiban
perpajakan berupa pemotongan dan atau pemungutan pajak.
Dalam Lampiran I Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER-44/PJ/2008 dijelaskan bahwa
alamat tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha
didasarkan pada kenyataan atau menurut keadaan sebenarnya, tidak pada
pertimbangan yang bersifat formal. Wajib Pajak mendaftarkan diri pada KPP yang
wilayah kerjanya sesuai dengan tempat tinggal atau tempat kedudukan atau
tempat kegiatan usaha, tanpa harus sesuai dengan alamat tempat tinggal atau
tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha pada dokumen formal seperti
KTP/Paspor.
b. Tempat melaporkan usahanya

Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak melaporkan usahanya ke Kantor


Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak
atau ke Kantor Pelayanan Pajak tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. (Peraturan Menteri Keuangan 20/PMK.03/2008)
c. Tempat mendaftarkan diri bagi WP orang pribadi pengusaha tertentu
”Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat pendaftaran pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha
dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.” (Pasal 2 ayat 3 huruf
b UU KUP)
Pengertian Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dapat kita temukan dalam
empat peraturan, masing-masing sbb:
1) Penjelasan Pasal 25 ayat 7 huruf c UU PPh didefinisikan sebagai “Wajib Pajak
orang pribadi yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha.”
2) Peraturan Dirjen Pajak Nomor 9 Tahun 2008: “Wajib Pajak orang pribadi yang
mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat.”
3) Peraturan dirjen Pajak Nomor 44 Tahun 2008: “Wajib Pajak orang pribadi yang
mempunyai 1 (satu) tempat usaha yang berbeda dengan alamat tempat tinggal
atau lebih dari 1 (satu) tempat usaha.”
4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008: “Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan yang mempunyai
tempat usaha lebih dari satu, atau mempunyai tempat usaha yang berbeda
alamat dengan domisili.”
Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu selain mendaftarkan diri ke
KPP/KP4/KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak juga
mendaftarkan diri ke KPP/KP4/KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat
kegiatan usaha Wajib Pajak (Peraturan Dirjen Pajak Nomor 44 Tahun 2008).
Sebelumnya yang dimaksud dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-171/PJ./2002 tentang
Pelaksanaan Pengenaan PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu, adalah Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan
grosir dan/atau eceran barang-barang konsumsi melalui tempat usaha/gerai (outlet)
yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk perdagangan kendaraan dan
restoran.
Dalam KEP-171/PJ./2002 tersebut, Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP bagi setiap tempat usaha/gerai
(outlet) di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha/gerai
(outlet) tersebut (KPP lokasi) dan di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal Wajib Pajak (KPP domisili). Ketentuan ini juga berlaku dalam
hal tempat usaha/gerai (outlet) dan tempat tinggal Wajib Pajak yang bersangkutan
berada dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak yang sama.
d. Tempat pendaftaran bagi WP Tertentu dan tempat pelaporan bagi PKP Tertentu
”Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat pendaftaran dan/atau tempat
pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat dan ayat (2);” (Pasal 2 ayat 3 huruf
a UU KUP).
Tempat pendaftaran bagi Wajib Pajak Tertentu dan atau tempat pelaporan usaha
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Teretentu diatur dalam Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-9/PJ/2008 tanggal 25 Maret 2008. Yang dimaksud dengan
WP Tertentu dan atau Pengusaha Kena Pajak tertentu adalah Wajib Pajak dan
Pengusaha Kena Pajak:
1) badan usaha milik Negara;
2) penanaman modal asing tertentu;
3) bentuk usaha tetap dan orang asing tertentu;
4) perusahaan masuk bursa tertentu, termasuk badan-badan khusus (self regulatory
organization) yang didirikan dan beroperasi di bursa berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal serta perusahaan- perusahaan
tertentu lainnya yang melakukan kegiatan usaha di Pasar Modal;
5) perusahaan besar tertentu.
(Selengkapnya lihat Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER- 9/PJ/2008).

16. Penerbitan NPWP dan atau Pengukuhan PKP secara jabatan


Ketentuan mengenai penerbitan NPWP secara jabatan dan pengukuhan PKP secara
jabatan diatur dalam Pasal 2 ayat 4 UU KUP, yang berbunyi:
“Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat
(2).”
Penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan dapat dilakukan apabila
berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Dirjen Pajak ternyata orang pribadi
atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak dan atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Kewajiban perpajakan yang timbul akibat penerbitan NPWP dan atau pengukuhan PKP
secara jabatan dapat dihitung mulai sejak 5 tahun kebelakang sebelum diterbitkannya
NPWP dan atau pengukuhan PKP secara jabatan tersebut sebagaimana diatur dalam
Pasal 4a UU KUP yang berbunyi:
“Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang
dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok
Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.”
Misalkan terhadap Wajib Pajak diterbitkan NPWP secara jabatan pada tahun 2008 maka
atas kewajiban perpajakan yang timbul sebelumnya yaitu paling lama sampai dengan
tahun 2003 sesuai dengan data yang diperoleh atau dimiliki Dirjen Pajak dan sepanjang
Wajib Pajak tersebut telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, kewajiban perpajakannya
dihitung sejak tahun 2003.

17. Sanksi Berkaitan Dengan Kewajiban Mendaftarkan Diri Dan Melaporkan


Usahanya
Sanksi berkaitan dengan tidak dipenuhinya kewajiban mendaftarkan diri dan melaporkan
usahanya dapat berupa sanksi administrasi atau sanksi pidana.
Sanksi administrasi dikenakan apabila WP tidak melaksanakan kewajiban mendaftarkan
diri dan atau PKP tidak melaporkan usahanya sehingga diterbitkan NPWP dan atau
pengukuhan PKP secara jabatan. Terhadap kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
NPWP dan pengukuhan PKP secara jabatan tersebut dikenai sanksi administrasi berupa
bunga 2% per bulan paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya SKPKB sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 2 UU KUP.
Tidak memenuhi kewajiban mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya dalam
ketentuan pidana Pasal 39 UU KUP adalah tindak kejahatan dengan ancaman hukuman
penjara dan denda. Selengkapnya Pasal 39 ayat 1 huruf a dan b berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja : a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor
Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak; b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar.”
Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan (Pasal 39 ayat
2 UU KUP).
Dalam Pasal 39 ayat 3 dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan untuk
melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok
Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah
restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

18. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak


Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak adalah tindakan menghapuskan Nomor Pokok
Wajib Pajak dari tata usaha Kantor Pelayanan Pajak. Penghapusan NPWP hanya ditujukan
untuk kepentingan tata usaha perpajakan, dan tidak menghilangkan kewajiban
perpajakan yang harus dilakukan Wajib Pajak yang bersangkutan. Secara materil
berdasarkan Pasal 11 Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-161/PJ./2001 tanggal 21
Februari 2001 (yang tetap diberlakukan) Penghapusan NPWP dilakukan dalam hal:
a. Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
b. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
c. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai
dibagi;
d. Wajib Pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Bentuk usaha tetap yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai bentuk
usaha tetap;
f. Wajib Pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf
b yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak.
Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh NPWP meninggal dunia dan meninggalkan
warisan yang belum terbagi, maka warisan yang belum terbagi tersebut dalam
kedudukannya sebagai Subjek Pajak menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib
Pajak yang meninggal dunia, dan ahli warisnya wajib melaporkan dengan mengisi formulir
yang ditentukan.
Secara formil berdasarkan Pasal 2 ayat 6 UU KUP dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 20/PMK.03/2008, penghapusan NPWP dilakukan apabila:

a. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh:


1) Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya karena Wajib Pajak sudah tidak memenuhi
persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan;
2) Wajib Pajak badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran karena penghentian
atau penggabungan usaha;
3) wanita yang sebelumnya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan menikah
tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
4) Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang menghentikan kegiatan usahanya di
Indonesia; atau
b. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok
Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Berdasarkan UU PPh 1984 berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak dalam
negeri adalah sbb:
a. orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri, berakhir pada saat meninggal dunia
atau meninggalkan Indonesia untuk selama- lamanya;
b. badan, berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia;
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak, berakhir
pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
d. Penghapusan NPWP bagi wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah
tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dapat dilakukan dalam
hal suami dari wanita tersebut telah terdaftar sebagai Wajib Pajak.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 7 dinyatakan bahwa “Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan
Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang
pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan
diterima secara lengkap.” Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan penghapusan Nomor Pokok
Wajib Pajak dianggap dikabulkan.Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap
dikabulkan, Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan penghapusan
Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir (Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 20/PMK.03/2008).
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan apabila utang pajak telah dilunasi atau
hak untuk melakukan penagihan telah daluwarsa, kecuali dari hasil pemeriksaan
diketahui bahwa utang pajak tersebut tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi antara
lain karena:
a. Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan dan
tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan; atau
b. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan.

19. Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak


“Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.” (Pasal 2 ayat 8 UU KUP).
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah tindakan mencabut Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak dari tata usaha Kantor Pelayanan Pajak. Pencabutan pengukuhan
PKP dapat dilakukan karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak. Pencabutan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak hanya ditujukan untuk kepentingan tata usaha
perpajakan, dan tidak menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan
Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak tersebut dapat dilakukan dalam hal:
a. Pengusaha Kena Pajak pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain;
atau
b. Sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai Pengusaha Kena Pajak termasuk
Pengusaha Kena Pajak yang jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk
suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto
untuk Pengusaha Kecil.
Dalam hal jumlah peredaran bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah
peredaran bruto untuk Pengusaha Kecil, maka Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan
permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat 1
(satu) bulan setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan (Pasal 13 Kep. Dirjen
Pajak Nomor Nomor KEP-161/PJ./2001 yang masih berlaku).
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pencabutan PKP, maka Direktur Jenderal
Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan
pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat 8 dan 9
UU KUP. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, Dirjen Pajak tidak memberi suatu
keputusan, maka permohonan Pencabutan Pengukuhan PKP dianggap dikabulkan dan
surat keputusan mengenai Pencabutan PKP harus diterbitkan dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir. (Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 20/PMK.03/2008)

20. Latihan
a. Apa yang dimaksud dengan persyaratan subjektif dalam UU KUP? Jelaskan!
b. Apakah setiap Wajib Pajak adalah Pengusaha Kena Pajak? Jelaskan!
c. Jelaskan kapan paling lambat Wajib Pajak mendaftarkan diri!
d. Jelaskan kapan paling lambat pengusaha kena pajak wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak!
e. Apa sanksi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak yang melanggar kewajiban
mendaftarkan diri!

21. Rangkuman
Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Yang dimaksud dengan Wajib Pajak adalah orang atau badan yang telah
memenuhi persyaratan subjektif maupun objektif berdasarkan UU Pajak Penghasilan.
Setiap Wajib Pajak sebagai pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau
Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN 1984 wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Jangka waktu paling lambat mendaftarkan diri dan atau melaporkan usahanya diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.03/2008.
Apabila kewajiban mendaftarkan diri dan atau melaporkan usahanya tersebut tidak
dipenuhi maka Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan untuk menerbitkan
NPWP dan atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
Pelanggaran terhadap kewajiban mendaftarkan diri dan atau melaporkan usahanya dapat
dikenakan sanksi administrasi atau sanksi pidana.
Penghapusan NPWP dilakukan apabila: a. diajukan permohonan penghapusan NPWP
oleh:1) Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya karena Wajib Pajak sudah tidak memenuhi
persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan; 2) Wajib Pajak badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran
karena penghentian atau penggabungan usaha; 3) wanita yang sebelumnya telah
memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan; atau 4) Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang menghentikan kegiatan
usahanya di Indonesia; atau b. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
menghapuskan NPWP dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak tersebut dapat dilakukan dalam hal: PKP
pindah alamat ke wilayah kerja KPP lain; atau sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai
PKP termasuk PKP yang jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk suatu tahun
buku tidak melebihi batas jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk
Pengusaha Kecil.
BAB III
PEMBUKUAN DAN PENCATATAN

1. Indikator
a. Peserta mampu menjelaskan pengertian pembukuan dan pencatatan
b. Peserta mampu menjelaskan ketentuan formil berkaitan dengan kewajiban pembukuan
dan pencatatan
c. Peserta mampu menjelaskan sanksi berkaitan dengan kewajiban pembukuan dan
pencatatan
d. Peserta mampu menjelaskan pihak yang berhak menyelenggarakan pembukuan
dalam bahasa asing dan mata uang asing
Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan adalah kewajiban bagi setiap Wajib
Pajak yang diselenggarakan dalam satu tahun buku agar dengan pembukuan atau
pencatatan ini dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Kewajiban ini melekat
pada setiap Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri. Pembukuan atau pencatatan
merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk menghitung jumlah pajak yang terutang
dalam suatu periode waktu.
Dalam sistem pemungutan pajak yang menganut Self Assessment System timbulnya pajak
yang terutang dan yang bertanggungjawab terhadap penyetoran atau pembayaran ke Kas
Negara ditentukan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Dalam kalimat penjelasan UU
KUP (perubahan kedua) diungkapkan bahwa: “anggota masyarakat Wajib Pajak diberi
kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
(Self Assessment), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat
dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh
anggota masyarakat Wajib Pajak.” Selanjutnya sebagai sarana untuk menghitung pajak
yang terutang, UU KUP mewajibkan kepada setiap Wajib Pajak untuk menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan. Pembukuan dan pencatatan yang diselenggarakan oleh
Wajib Pajak harus dapat digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang.
22. Pengertian Pembukuan dan Pencatatan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut (Pasal 1 angka 29 UU KUP). Berbeda dengan laporan
keuangan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), laporan keuangan yang
dihasilkan oleh pembukuan hanya berupa neraca dan laporan laba rugi.
Fungsi pembukuan adalah agar dari pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak
yang terutang (Pasal 28 ayat 7 UU KUP). Sehingga apabila pembukuan yang
diselenggarakan tidak dapat digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang
maka secara material pembukuan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 28 UU KUP. Yang
dimaksud dengan dapat digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang,
sebagaimana penjelasannya, adalah selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan,
pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut.
Berbeda dengan pembukuan, pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara
teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai
dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang termasuk penghasilan yang bukan
objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

23. Yang wajib menyelenggarakan pembukuan


Berdasarkan Pasal 28 ayat 1 dan ayat 2 UU KUP, yang wajib menyelenggarakan
pembukuan adalah:
a. Wajib Pajak badan;
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto.

24. Yang tidak wajib pembukuan


Yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan
pencatatan adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Berdasarkan Pasal 14 ayat 2 UU PPh, Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya
dalam satu tahun kurang dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Mulai tahun pajak 2007
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PMK.03/2007 batasan tersebut diubah
menjadi kurang dari Rp1,8milyar. Dan mulai tahun pajak 2009 dengan berlakunya UU
Nomor 36 Tahun 2008 (tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan) batasan tersebut menjadi kurang dari Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib memberitahukan mengenai
penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3
(tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan. Pemberitahuan penggunaan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu
tersebut dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib
Pajak Orang Pribadi tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan jangka waktu
tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. (SE-02/PJ.43/2001).

25. Ketentuan mengenai pembukuan


Pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak harus memenuhi syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU KUP, yaitu:
a. harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan
atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
b. harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang
diizinkan oleh Menteri Keuangan;
c. diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas;
d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak;
e. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya
pajak yang terutang;
f. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan;

Prinsip Taat Asas


Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan
tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas
dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:
a. stelsel pengakuan penghasilan;
b. tahun buku;
c. metode penilaian persediaan; atau
d. metode penyusutan dan amortisasi.

Stelsel Kas dan Stelsel Akrual


Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti
penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi,
tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan
metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang
konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build
operate and transfer (BOT) dan real estat.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang
diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar
telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap
sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode
tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa,
misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan
jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni,
penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari
pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi
lain dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang
mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun
dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena
itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus
memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut.
a. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan,
baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus
diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
b. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi,
biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan
dan amortisasi.
c. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga
dinamakan stelsel campuran.

Pembukuan dalam mata uang asing dan mata uang selain rupiah
Pasal 28 ayat 8 UU KUP menyatakan bahwa:”Pembukuan dengan menggunakan bahasa
asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah
mendapat izin Menteri Keuangan.” Aturan pelaksanaannya dijabarkan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007, tanggal 28 Desember 2007, yaitu sbb:
a. Wajib Pajak dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing
dan satuan mata uang selain Rupiah yaitu Bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar
Amerika Serikat;
b. Wajib Pajak dimaksud meliputi:
1) Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yang beroperasi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang- undangan Penanaman Modal Asing;
2) Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya yang beroperasi berdasarkan kontrak
dengan Pemerintah RI sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan pertambangan selain pertambangan minyak dan gas bumi;
3) Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi;
4) Bentuk Usaha Tetap;
5) Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun
seluruhnya di bursa efek luar negeri;
6) Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang memerlukan reksadana dalam denominasi
satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat
Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar Modal
7) Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
pasar modal; atau
8) Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri,
yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan/atau dikuasasi oleh
perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan
istimewa.
c. Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang
Dollar AS oleh WP harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan,
kecuali bagi WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP dalam rangka Kontraktor Kontrak
Kerja Sama;
d. Izin tertulis dapat diperoleh WP dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala
Kantor Wilayah, paling lambat 3 (tiga) bulan:
1) sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris
dan satuan mata uang Dollar AS tersebut dimulai; atau
2) sejak tanggal pendirian bagi WP baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
pertama.
e. Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas
permohonan dimaksud paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima
secara lengkap;
f. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan belum ada keputusan maka permohonan
dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah atas nama Menkeu menerbitkan keputusan
pemberian izin.

26. Ketentuan mengenai pencatatan


Ketentuan mengenai pencatatan dalam Pasal 28 UU KUP adalah
a. harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan
atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
b. harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang
diizinkan oleh Menteri Keuangan;
c. Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah
pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai
pajak yang bersifat final.

27. Penyimpanan dokumen pembukuan


Dalam Pasal 28 ayat 11 UU KUP mengenai penyimpanan buku dan dokumen dinyatakan
bahwa: “Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik
atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia,
yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat
kedudukan Wajib Pajak badan.”
Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai
batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan,
dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk
yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan
faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
28. Sanksi berkaitan dengan kewajiban pembukuan dan pencatatan
Sanksi berkaitan dengan kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan terdiri
dari sanksi administrasi dan sanksi pidana.
a. Sanksi administrasi
Sanksi administrasi berkaitan dengan tidak dipenuhinya kewajiban
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan terdapat dalam Pasal 13 ayat 1
dan ayat 3 UU KUP yang menyatakan bahwa apabila kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 (mengenai pembukuan) atau Pasal 29 (mengenai
pemeriksaan) tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang
terutang, maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut ditagih dengan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar:
1) 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar
dalam satu Tahun Pajak;
2) 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong,
tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau
dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
3) 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
b. Sanksi pidana
Sanksi pidana berkaitan dengan tidak dipenuhinya kewajiban menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan terdapat dalam Pasal 39 ayat 1 huruf f, huruf g dan
huruf h dengan ancaman pidana sebagai berikut:
”Setiap orang yang dengan sengaja:
1) memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
2) tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
3) tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program
aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11);
atau
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar.
Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana
apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum
lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang
dijatuhkan (Pasal 39 ayat 2 UU KUP).
29. Latihan
a. Jelaskan pengertian pembukuan dan pencatatan!
b. Siapa yang wajib menyelenggarakan pembukuan?
c. Siapa yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan
pencatatan?
d. Siapa Wajib Pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan mata
uang US Dollar dan dalam bahasa Inggris?
e. Sanksi apa saja yang dapat dikenakan terhadap Wajib Pajak yang melanggar kewajiban
menyelenggarakan pembukuan?

30. Rangkuman
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk
periode Tahun Pajak tersebut
Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak
yang terutang termasukpenghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
bersifat final.
Yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah: a) Wajib Pajak badan; b) Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali yang menghitung
penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Ketentuan mengenai pembukuan dan pencatatan diatur dalam Pasal 28 UU KUP.
Sanksi terhadap pelanggaran menyelenggarakan pembukuan dapat berupa sanksi administrasi
atau sanksi pidana.
Wajib Pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Bahasa
Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat; meliputi: a) Wajib Pajak dalam rangka
Penanaman Modal Asing; b) Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan selain pertambangan
minyak dan gas bumi; c) Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang beroperasi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan pertambangan minyak dan gas bumi;
d) Bentuk Usaha Tetap; e) Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian
maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri; f) Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang
memerlukan reksadana dalam denominasi satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah
memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas
Pasar Modal –Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
pasar modal; atau g) Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar
negeri.
BAB IV
PELAPORAN PAJAK

1. Indikator
a. Peserta mampu menjelaskan mekanisme pelaporan pajak dalam UU KUP
b. Peserta mampu menjelaskan sanksi terkait dengan kewajiban pelaporan pajak
c. Peserta mampu menjelaskan hak yang terkait dengan penyampaian Surat Pembertahuan
Melaporkan semua kewajiban perpajakan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) adalah
kewajiban bagi setiap Wajib Pajak terdaftar. Dalam ajaran materil, kewajiban ini timbul
pada saat terutangnya pajak yaitu setelah berakhirnya Masa Pajak untuk pajak yang
terutang dalam suatu Masa Pajak atau setelah berakhirnya Tahun Pajak untuk pajak yang
terutang dalam satu Tahun Pajak. Semua kewajiban perpajakan yang dilaporkan meliputi
kewajiban menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajak yang terutang serta
kewajiban memotong, memungut dan menyetor pajak yang terutang. Secara teoretis,
pelaporan pajak merupakan aktivitas akhir sekaligus menjadi bukti formil bagi
terpenuhinya kewajiban perpajakan suatu Wajib Pajak untuk suatu jenis pajak tertentu
pada suatu periode pajak tertentu dalam kerangka “Self Assessment”.
Tidak ada pajak tanpa ada penetapan. Pada dasarnya SPT selain sebagai sarana pelaporan
juga merupakan sarana penetapan bagi setiap Wajib Pajak. Sebagai sarana penetapan,
SPT melahirkan pajak terutang yang wajib dibayar atau disetor ke Kas Negara oleh subjek
pajak yang bersangkutan.

31. Pengertian Surat Pemberitahuan


Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak,
dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Surat Pemberitahuan terdiri dari Surat Pemberitahuan Masa dan Surat
Pemberitahuan Tahunan.
SPT meliputi:
a. SPT Tahunan Pajak Penghasilan;
b. SPT Masa yang terdiri dari:
1) SPT Masa Pajak Penghasilan;
2) SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai; dan
3) SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai.
Surat Pemberitahuan dimaksud berbentuk:
1) formulir kertas (hardcopy); atau
2) e-SPT.
E-SPT adalah data SPT Wajib Pajak dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh Wajib Pajak
dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Aplikasi e-SPT adalah aplikasi dari Direktorat Jenderal Pajak yang dapat digunakan Wajib
Pajak untuk membuat e-SPT.

32. Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan


Kewajban melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau
bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dalam Surat Pemberitahuan tercantum dalam Pasal 3
ayat 1 UU KUP dengan rincian sbb:
“Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas,
dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.”
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat
Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar,
lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat
Pemberitahuan adalah:
a. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya;
b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan
unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
c. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang
harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib
disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau
dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak
dilakukan untuk setiap Masa Pajak.

33. Tempat dan Cara Pengambilan SPT


Wajib Pajak mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak (pada kantor- kantor Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-
tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah
terjangkau oleh Wajib Pajak) atau mengambil dengan cara lain yang tata cara
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Pasal 3
ayat 2 UU KUP). Dalam Peraturan Menbteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tanggal
28 Desember 2007 diatur sbb:
a. SPT berbentuk formulir kertas (hardcopy) dapat diambil secara langsung di tempat yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
b. SPT berbentuk e-SPT dapat diambil secara langsung oleh Wajib Pajak atau dengan cara
lain yaitu dengan mengunduh format SPT atau aplikasi e-SPT dari situs Direktorat Jenderal
Pajak.
34. Penandatanganan SPT
Mengenai kewajiban Wajib Pajak menandatangani SPT, selain tercantum dalam Pasal 3
ayat 1 UU KUP di atas juga terdapat dalam Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa:
”Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, jelas, dan menandatanganinya.”
Bagi Wajib Pajak badan yang berhak menandatangani SPT tersebut adalah pengurus atau
direksi (Pasal 4 ayat 2 UU KUP). Meskipun yang dimaksud dengan pengurus sebagaimana
diuraikan dalam penjelasan Pasal 32 ayat 4 UU KUP adalah termasuk orang yang nyata-
nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil
keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang
menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya
walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang
tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, dan termasuk pula bagi komisaris
dan pemegang saham mayoritas atau pengendali, namun untuk penandatangan SPT
seharusnya tetap orang yang namanya tercantum dalam susunan pengurus yang tertera
dalam akte pendirian maupun akte perubahan. Ketentuan mengenai orang yang tidak
tercantum namanya dalam akte pendirian beserta perubahannya yang dianggap sebagai
pengurus tepat diberlakukan bagi kewajiban perpajakan lainnya selain penandatanganan
SPT, misalnya untuk kepentingan penagihan pajak.
SPT yang disampaikan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak.
Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi
dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus
dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (Pasal 4 ayat 3 UU KUP).
Penandatanganan SPT oleh Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak dapat dilakukan secara
biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang
semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan biasa. Tanda
tangan elektronik atau tanda tangan digital adalah informasi elektronik yang dilekatkan,
memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain
termasuk sarana administrasi perpajakan yang ditujukan oleh Wajib Pajak atau kuasanya
untuk menunjukan identitas dan status yang bersangkutan. (Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 181/PMK.03/2007)

35. Cara Penyampaian SPT


Penyampaian SPT oleh Wajib Pajak dapat dilakukan:
a. secara langsung dan diberikan tanda penerimaan sirat;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. dengan cara lain meliputi:
1) melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat;
atau
2) E-Filing melalui ASP (Penyedia Jasa Aplikasi) dan diberikan Bukti
Penerimaan Elektronik.
E-Filing adalah suatu cara penyampaian SPT atau Pemberitahuan Perpanjangan
SPT Tahunan yang dilakukan secara on-line yang real time melalui Penyedia Jasa
Aplikasi atau Application Service Provider (ASP).
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007)

36. Batas Waktu Penyampaian SPT


Batas waktu penyampaian SPT oleh Pasal 3 ayat 3 UU KUP diatur sebagai berikut:
a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa
Pajak;
b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling
lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
c. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4
(empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
Untuk SPT Masa PPN, dasar hukum waktu penyampaiannya diatur dalam Pasal 15A ayat
2 UU PPN 1984. Dalam ayat tersebut ditetapkan bahwa Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan.
Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
Pajak.

37. SPT Dianggap Tidak Disampaikan


Dalam Pasal 3 ayat 7 UU KUP dinyatakan bahwa, Surat Pemberitahuan dianggap tidak
disampaikan apabila:
a. Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani;
b. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sesuai
dengan Peraturan Menteri Keuangan;
c. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun
sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak
telah ditegur secara tertulis; atau
d. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan
pemeriksaan atau menerbitkan Surat Ketetapan Pajak.
Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberitahukan kepada Wajib Pajak (Pasal 3 ayat 7a UU KUP). Surat Pemberitahuan
tersebut selanjutnya dianggap sebagai data perpajakan.
Mengenai dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang “Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta
Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat
Pemberitahuan” dinyatakan bahwa :
a. Suatu SPT terdiri dari SPT Induk dan Lampiran yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan;
b. SPT harus dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan;
Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak;
Dalam UU KUP yang pasti harus dilampirkan dalam SPT adalah sbb:
a. SPT Tahunan Pajak PPh WP yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri
dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang
diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. (Ps. 4 angka 4 UU KUP)
b. Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada
SPT, SPT dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga SPT dianggap tidak disampaikan.
{Pasal 4 angka 4b UU KUP}
c. Dalam hal WP menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan
menandatangani SPT, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada SPT. (Pasal 4
angka 3 UU KUP)

38. Wajib Pajak Pajak Penghasilan Tertentu Yang Dikecualikan Dari Kewajiban
Menyampaikan SPT
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2007 yang dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 dan SPT Tahunan PPh
Orang Pribadi yaitu WP Orang Pribadi yang dalam satu Tahun Pajak menerima atau
memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksus dalam UU PPh.
b. Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 yaitu Wajib Pajak
Orang Pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan
bebas.

39. Sanksi Karena Tidak Memenuhi Kewajiban Penyampaian SPT


Sanksi bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban pelaporan pajak yaitu menyampaikan
SPT, dapat berupa sanksi administrasi ataupun sanksi pidana. Sanksi administrasi dapat
berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU KUP atau berupa kenaikan sebagaimana
diatur dalam Pasal 13 ayat 3 UU KUP. Sanksi pidana dapat berupa kurungan atas tindak pidana
kealpaan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU KUP ataupun penjara atas tindak pidana
kesengajaan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU KUP.
a. Surat Teguran atas SPT yang tidak disampaikan
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu yang ditentukan atau
batas waktu perpanjangan penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan, dapat diterbitkan Surat Teguran (Pasal 3 ayat 5a UU KUP).
Penerbitan Surat Teguran, disamping merupakan bentuk pembinaan terhadap Wajib
Pajak, juga merupakan syarat bagi dikenainya Wajib Pajak yang bersangkutan dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 1 huruf b
dan Pasal 13 ayat 3 UU KUP.
b. Sanksi administrasi berupa denda
Sanksi administrasi berupa denda berkaitan dengan penyampaian SPT diatur dalam Pasal
7 UU KUP yang menyatakan bahwa apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktunya
atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT, dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar:
1) Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN,
2) Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya,
3) Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak badan
4) Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak
orang pribadi.
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda di atas tidak dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal
lagi di Indonesia;
d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan; atau
h. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Yang dimaksud dengan Wajib Pajak lain tersebut pada huruf h berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186/PMK.03/2007 adalah Wajib Pajak yang
tidak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan karena keadaan antara lain:
1) kerusuhan massal;
2) kebakaran;
3) ledakan bom atau aksi terorisme;
4) perang antarsuku; atau
5) kegagalan sistem komputer administrasi penerimaan negara atau perpajakan.
Penetapan Wajib Pajak tersebut dilakukan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak.
c. Sanksi administrasi berupa kenaikan
Sanksi administrasi berupa kenaikan dapat dikenakan melauli penerbitan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB) apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka
waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran (Pasal 13 ayat 1 huruf b UU KUP). Dari
Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan ditambah
dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sesuai dengan Pasal 13 ayat 3 UU KUP yaitu
sebesar:
1) 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar
dalam satu Tahun Pajak;
2) 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong,
tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau
dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
3) 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
d. Sanksi pidana berupa kurungan
Sanksi pidana kurungan dalam Pasal 38 UU KUP dikenakan terhadap setiap orang yang
karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban penyampaian SPT.
Pasal 38 UU KUP selengkapnya berbunyi: ” Setiap orang yang karena kealpaannya: a. tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi
isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak
benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan
tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama
1 (satu) tahun.”
Yang dimaksud dengan perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13A adalah “Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau
tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila
kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib
melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar
yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.”
e. sanksi pidana berupa penjara
Sanksi pidana berupa penjara dalam Pasal 39 UU KUP dikenakan terhadap setiap orang
yang karena kesengajaannya tidak memenuhi kewajiban penyampaian SPT (Pasal 39 ayat
1 huruf c dan d).
Selengkapnya dalam Pasal 39 ayat 1 huruf c dan d UU KUP berbunyi: ”Setiap orang yang
dengan sengaja: c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; d. menyampaikan Surat
Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2
(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
40. Hak Wajib Pajak berkaitan dengan penyampaian SPT
Berkaitan dengan kewajiban melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek
pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan melalui Surat Pemberitahuan, Wajib Pajak
mempunyai hak-hak sebagai berikut:
a. Memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
b. Membetulkan Surat Pemberitahuan
c. Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan

41. Memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan


a. Ketentuan dan tata cara memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
Hak Wajib Pajak untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
dinyatakan dalam Pasal 3 ayat 4 UU KUP yang berbunyi: “Wajib Pajak dapat
memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan
cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur
Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.”
Berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang melalui prosedur permohonan, pada UU
KUP perubahan ketiga hak memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
dapat diberikan melalui prosedur pemberitahuan. Hak ini diperlukan apabila WP baik
orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat menyampaikan SPT dalam jangka
waktunya karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan
laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu
penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan. Hak
memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan ini berguna bagi Wajib Pajak
untuk menghindari pelanggaran karena terlambat menyampaikan SPT Tahunan serta
sanksi administrasi yang menyertainya.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 diatur
mengenai hal ini yaitu sebagai berikut:
1) Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan disampaikan dalam bentuk formulir
kertas (hardcopy) atau dalam bentuk data elektronik (dihasilkan dari aplikasi
yang dibuat oleh Direktur Jenderal Pajak);
2) Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dibuat secara tertulis dan
disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak, sebelum batas waktu penyampaian
SPT Tahunan berakhir, dengan dilampiri:
a) penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang
batas waktu penyampaiannya diperpanjang;
b) laporan keuangan sementara; dan
c) Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak
yang terutang.
3) Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak
atau Kuasa Wajib Pajak dan dalam hal ditandatangani oleh Kuasa WP harus
dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.
4) Cara penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan SPT sama dengan cara
penyampaian SPT dan diberikan tanda penerimaan surat atau Bukti Penerimaan
Elektronik.
5) Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang tidak memenuhi ketentuan
dianggap bukan merupakan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dan
Dirjen Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak ybs.
b. Akibat administratif penundaan penyampaian SPT Tahunan
Apabila penundaan penyampaian SPT Tahunan menyebabkan kekurangan pembayaran
pajak terutang maka atas kekurangan tersebut dikenai sanksi administrasi berupa bunga,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 3 UU KUP yaitu:” Dalam hal Wajib Pajak
diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata
penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran
pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya
kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Contoh:
PT ABC setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis menunda jangka waktu
penyampaian SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2008 (Tahun Takwim) sampai dengan
tanggal 30 Juni 2009 dengan perhitungan sementara pajak terutang sebesar Rp100juta
dan kredit pajak Rp80juta. Kekurangan pajak (PPh Pasal 29) sebesar Rp20juta dilunasi
pada tanggal 25 April 2009. PT ABC menyampaikan SPT sesungguhnya pada tanggal 30
Juni 2009 dengan jumlah pajak yang terutang sebesar Rp120juta. Kekurangan
pembayaran dilunasi tanggal 28 Juni 2004.
Dari kasus di atas maka PT ABC dikenakan bunga sebesar: 2% x 2 x Rp20.000.000,00 =
Rp800.000,00
Jumlah bulan dihitung sejak 1 Mei 2009 – 28 Juni 2009 = 2 bulan.
42. Membetulkan Surat Pemberitahuan
Pembetulan SPT merupakan hak yang dimiliki Wajib Pajak dalam hal terdapat
kekeliruan pengisian SPT yang sudah disampaikan. Pembetulan dapat dilakukan oleh
Wajib Pajak dengan syarat belum dilakukan pemeriksaan. Pembetulan SPT ini dapat
dilakukan oleh Wajib Pajak antara lain untuk menghindari sanksi administrasi berupa
bunga karena pemeriksaan pajak. Kekeliruan pengisian SPT bisa juga disebabkan karena
kekeliruan kompensasi kerugian sebagai akibat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak,
SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Kedua hal tersebut diatur dalam Pasal 8 ayat 1 dan ayat 1a serta Pasal 8 ayat 6 UU KUP.
a. Ketentuan mengenai Pembetulan SPT
Pasal 8 ayat 1 UU KUP menyatakan bahwa:”Wajib Pajak dengan kemauan sendiri
dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan
menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan.” Pasal 8 ayat 1a UU KUP menyatakan:”Dalam hal
pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus
disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.”
Penjelasan dari ayat tersebut dapat diuraikan sbb:
1) Pernyataan tertulis dalam Pembetulan SPT dilakukan dengan cara memberi
tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT yang menyatakan bahwa
Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan SPT (PP Nomor 80 Tahun 2007);
2) Yang dimaksud dengan “mulai melakukan tindakan pemeriksaan” adalah pada
saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak,
wakil,
3) kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
4) Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak.
b. Sanksi akibat pembetulan SPT Tahunan yang menyebabkan kekurangan pembayaran
pajak
Apabila akibat pembetulan SPT Tahunan menyebabkan kekurangan pembayaran
pajak yang terutang maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenai
sanksi administrasi sesuai Pasal 8 ayat 2 UU KUP yang berbunyi:”Dalam hal
Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak
yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan
berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.”
Contoh:
PT ABC membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh Tahun 2008 pada tanggal 20 Februari
2010, yang semula menyatakan jumlah pajak terutang sebesar Rp100juta dan kredit
pajak sebesar Rp80juta, dibetulkan seharusnya jumlah pajak terutang sebesar
Rp130juta dan kredit pajak tetap. Kekurangan pembayaran pajak sebesar Rp30juta
dibayar pada tanggal 18 Februari 2010.
Dari kasus di atas maka PT ABC dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar:
2% x 10 x Rp30.000.000,00 = Rp6.000.000,00
Jumlah bulan dihitung sejak 1 Mei 2009 – 20 Februari 2010 = 10 bulan.
c. Sanksi akibat pembetulan SPT Masa yang menyebabkan kekurangan pembayaran pajak
Apabila akibat pembetulan SPT Masa menyebabkan kekurangan pembayaran pajak
yang terutang maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenai sanksi
administrasi sesuai Pasal 8 ayat 2a UU KUP yang berbunyi:”Dalam hal Wajib
Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang
pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Contoh:
PT ABC membetulkan sendiri SPT Masa PPN Masa Januari 2008 pada tanggal 20
November 2008, yang semula menyatakan jumlah Pajak Keluaran yang harus
dipungut sendiri sebesar Rp100juta dan kredit pajak Rp80juta, dibetulkan
seharusnya jumlah Pajak Keluaran yang harus dipungut sendiri sebesar Rp130juta
dan kredit pajak tetap. Kekurangan pembayaran pajak sebesar Rp30juta dibayar
pada tanggal 18 November 2010.
Dari kasus di atas maka PT ABC dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar: 2% x 10 x Rp30.000.000,00 = Rp6.000.000,00
Jumlah bulan dihitung sejak 16 Februari 2008 – 18 November 2008 = 10 bulan.
d. Pembetulan SPT karena kompensasi kerugian
Pasal 8 ayat 6 UU KUP menyatakan bahwa:”Wajib Pajak dapat membetulkan Surat
Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima
Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau
beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan
rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan
dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum melakukan tindakan pemeriksaan.”
Penjelasan atas ketentuan tersebut sebagaimana juga dinyatakan dalam PP Nomor 80
Tahun 2007, dapat diuraikan sbb:
1) Pembetulan harus dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali;
2) Jangka waktu 3 bulan untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan dihitung sejak
stempel pos pengiriman, atau dalam hal diterima secara langsung, jangka waktu 3
(tiga) bulan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali oleh Wajib Pajak;
3) Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan SPT Tahunan dimaksud, Dirjen Pajak
memperhitungkan rugi fiskal menurut Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali dalam penerbitan Surat Ketetapan Pajak;
4) Apabila Wajib Pajak tidak membetulkan SPT Tahunan dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sebagaimana dimaksud, Dirjen Pajak menghitung kembali kompensasi
kerugian dalam SPT Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan
Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Contoh 1:
PT A menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar Rp200.000.000,00,
Kompensasi kerugian berdasarkan SPT Tahunan
PPh tahun 2007sebesar Rp150.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 50.000.000,00
Terhadap SPT Tahunan PPh thn 2007 dilakukan pemeriksaan, dan pada tgl 6 Januari 2010
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp70juta.
Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tsb Dirjen Pajak akan mengubah perhitungan
Penghasilan Kena Pajak thn 2008 menjadi sbb:
Penghasilan Neto sebesar Rp200.000.000,00,
Rugi menurut Surat Ketetapan Pajak tahun 2007 sebesar Rp 70.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp130.000.000,00
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari SPT yang semula Rp50juta (Rp200juta -
Rp150juta) setelah pembetulan menjadi Rp130juta (Rp200juta - Rp70juta)

Contoh 2:
PT B menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar Rp300.000.000,00,
Kompensasi kerugian berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2007 sebesar
Rp200.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 100.000.000,00
Terhadap SPT Tahunan PPh thn 2007 dilakukan pemeriksaan, dan pada tgl 6 Januari 2010
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp250juta.
Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tsb Dirjen Pajak akan mengubah perhitungan
Penghasilan Kena Pajak thn 2008 menjadi sbb:
Penghasilan Neto sebesar Rp300.000.000,00,
Rugi menurut Surat Ketetapan Pajak
tahun 2007 sebesar Rp250.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 50.000.000,00
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari SPT yang semula Rp100juta (Rp300juta –
Rp200juta) setelah pembetulan menjadi Rp50juta (Rp300juta – Rp250juta)
43. Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT adalah hak Wajib Pajak. Hak ini pada
dasarnya diberikan kepada Wajib Pajak untuk menghindari kemungkinan Wajib Pajak
dikenai hukuman pidana. Hak mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT diatur dalam
Pasal 8 ayat 3 dan Pasal 8 ayat 4.
a. Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT karena kealpaan
Pasal 8 ayat 3 menyatakan bahwa:”Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan,
tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang
dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran
perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak
dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut
dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh
persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.”
Penjelasan ayat tersebut sebagaimana juga dinyatakan dalam PP Nomor 80 Tahun
2007 adalah sbb:
1) Ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
adalah “Setiap orang yang karena kealpaannya: a. tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan
tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan
atau paling lama 1 (satu) tahun.”
2) Pernyataan tertulis harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
a) penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya
terutang dengan format Surat Pemberitahuan;
b) Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak;
dan
c) Surat Setoran Pajak sebagai bukti pembayaran sanksi administrasi berupa
denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen)
3) Terhadap Wajib Pajak yang telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya dan
sekaligus melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang
beserta sanksi administrasinya tidak akan dilakukan penyidikan, sepanjang tidak
ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan
tersebut.
4) Apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut
diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk membetulkan sendiri
sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
b. Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT setelah dilakukan pemeriksaan
Pasal 8 ayat 4 UU KUP menyatakan bahwa: ”Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah
melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan
dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
1) pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
2) rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
3) jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
4) jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap
dilanjutkan.”
Mengenai sanksinya diatur dalam Pasal 8 ayat 5 yang menyatakan bahwa:”Pajak yang
kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus
dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.”
Dalam PP Nomor 80 Tahun 2007 diuraikan hal-hal berkaitan dengan pengungkapan
ketidakbenaran pengisian SPT sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat 4 UU KUP, yaitu
sebagai berikut:
1) Laporan tersendiri secara tertulis dimaksud harus ditandatangani oleh Wajib Pajak
dan dilampiri dengan:
a) penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan;
b) Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
c) Surat Setoran Pajak sebagai bukti pembayaran sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen).
2) Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT,
pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut beserta
pelunasan pajak yang telah dibayar.
3) Dalam hal hasil pemeriksaan tersebut membuktikan bahwa pengungkapan
ketidakbenaran pengisian SPT yang dilakukan oleh WP ternyata tidak mencerminkan
keadaan yang sebenarnya, Surat Ketetapan Pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya tersebut.
4) Dalam hal hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), SSP bukti pelunasan pajak dan pelunasan
sanksi tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak.
5) Pelunasan pajak yang kurang dibayar dan sanksi administrasi berupa kenaikan di
atas dapat diperhitungkan sebagai pembayaran atas Surat Ketetapan Pajak hasil
pemeriksaan berdasarkan permohonan WP.

44. Latihan
a. Jelaskan apa fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)!
b. Jelaskan dalam hal apa SPT dianggap tidak disampaikan!
c. Dengan cara apa saja SPT dapat disampaikan?
d. Jelaskan hak apa saja yang dimiliki oleh Wajib Pajak berkaitan dengan penyampaian SPT?
e. Jelaskan sanksi apa saja yang dapat dikenakan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi
kewajiban penyampaian SPT!

45. Rangkuman
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak,
dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Surat Pemberitahuan terdiri dari Surat Pemberitahuan Masa dan Surat
Pemberitahuan Tahunan.
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas,
dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak (Pasal 3 ayat 1 UU KUP.
Surat Pemberitahuan dapat disampaikan secara langsung atau melalui pos tercatat atau
melalui jasa ekspediri/kurir atau dengan e-Filing melalui ASP (Penyedia Jasa Aplikasi).
Bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan SPT dapat dikenai sanksi
administrasi maupun sanksi pidana.
Berkaitan dengan kewajiban menyampaikan SPT, Wajib Pajak mempunyai hak untuk
memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT, membetulkan SPT dan mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian SPT.
BAB V
PEMBAYARAN PAJAK

1. Indikator
a. Peserta mampu menjelaskan tata cara pemenuhan kewajiban membayar pajak
b. Peserta mampu menjelaskan sanksi terkait dengan kewajiban membayar pajak
c. Peserta mampu menjelaskan hak terkait dengan pembayaran pajak
Pembayaran pajak terutang ke Kas Negara adalah kewajiban bagi setiap Wajib Pajak atas
pajak tertutang yang telah ditetapkan. Kewajiban membayar pajak timbul atas pajak
terutang baik yang ditetapkan oleh penetapan Wajib Pajak sendiri melalui SPT maupun yang
ditetapkan oleh Fiskus melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak. Dengan demikian,
kewajiban ini lahir ketika pajak terutang telah ditetapkan. Kewajiban ini melekat pada setiap
Wajib Pajak yang bertanggungjawab terhadap pembayaran atau penyetoran pajak terutang
ke Kas Negara. Yang bertanggungjawab terhadap pembayaran atau penyetoran ke Kas
Negara adalah Wajib Pajak, baik sebagai pemikul beban pajak maupun sebagai pemotong
atau pemungut pajak.

46. Kewajiban Membayar Pajak Dan Sarana Pembayaran Pajak


Kewajiban perpajakan selanjutnya setelah diketahui adanya pajak yang terutang (objek
pajak) dan pihak yang bertanggungjawab terhadap pembayaran pajak yang terutang
tersebut ke Kas Negara (subjek pajak) adalah pembayaran dan penyetoran pajak. Kewajiban
membayar pajak yang terutang dinyatakan dalam Pasal 10 ayat 1 UU KUP yang berbunyi:
“Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
Sarana yang dipakai sebagai bukti telah dilakukan pembayaran dan penyetoran pajak adalah
Surat Setoran Pajak (SSP). Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran
pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara
lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Surat
Setoran Pajak ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh
Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan
validasi (Pasal 10 ayat 1a UU KUP). Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang
disamakan dengan Surat Setoran Pajak dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor
Transaksi Penerimaan Pajak (NTPN).

47. Jatuh Tempo Pembayaran/Penyetoran Pajak Dan Sanksi Administrasi Apabila


Pembayaran Setelah Tanggal Jatuh Tempo
a. Pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi
masing-masing jenis pajak
Berdasarkan Pasal 9 ayat 1 UU KUP, tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis
pajak ditentukan oleh Menteri Keuangan, paling lama 15 (lima belas) hari setelah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, tanggal 28 Desember 2007 ditentukan sebagai
berikut:
No Jenis pajak Jatuh tempo
1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong Paling lama tanggal 10 bulan
oleh Pemotong Pajak berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir
2. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus Paling lama tanggal 15 bulan
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir
3. PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Paling lama tanggal 10 bulan
Pemotong Pajak berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir
4. PPh Pasal 15 yang harus dibayar Paling lama tanggal 15 bulan
sendiri berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir
5. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Paling lama tanggal 10 bulan
Pemotong PPh berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir
6. PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang Paling lama tanggal 10 bulan
dipotong oleh Pemotong PPh berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir
7. PPh Pasal 25 Paling lama tanggal 15 bulan
berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir
8. PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM atas Dilunasi bersamaan dengan saat
impor pembayaran Bea Masuk dan dalam hal
Bea Masuk ditunda atau dibebaskan,
harus dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen pemberitahuan pabean impor
9. PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM atas Jangka waktu 1 (satu hari kerja)
impor yang dipungut Ditjen Bea dan setelah dilakukan pemungutan pajak
Cukai
10. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Pada hari yang sama dengan
bendahara pelaksanaan pembayaran atas
penyerahan barang yang dibiayai dari
belanja Negara atau belanja Daerah,
dengan SSP atas nama rekanan dan
ditandatangani oleh bendahara
11. PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan Paling lama tanggal 10 bulan
bakar minyak, gas, dan pelumas berikutnya setelah Masa Pajak
kepada penyalur/agen atau industri berakhir
yang dipungut oleh WP badan yang
bergerak dalam bidang produksi
bahan bakar minyak, gas, dan
pelumas
12. PPh Pasal 22 yang pemungutannya Paling lama tanggal 10 bulan
dilakukan oleh WP badan tertentu berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
sebagai Pemungut Pajak
13. PPN dan PPnBM yang terutang Berdasarkan Pasal 15A ayat (1) UU
dalam satu Masa Pajak PPN 1984, Penyetoran PPN oleh PKP
harus dilakukan paling lama akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya
Masa Pajak dan sebelum SPT Masa
PPN disampaikan.
14. PPN dan PPnBM yang Paling lama tanggal 7 bulan
pemungutannya dilakukan oleh berikutnya setelah Masa Pajak
Bendahara Pemerintah atau instansi berakhir
Pemerintah yang ditunjuk
15. PPN dan PPnBM yang Paling lama tanggal 15 bulan
pemungutannya dilakukan oleh berikutnya setelah Masa Pajak
Pemungut PPN selain Bendahara berakhir
Pemerintah atau instansi Pemerintah
yang ditunjuk
16. PPh Pasal 25 bagi WP dengan kriteria Paling lama pada akhir Masa Pajak
tertentu sebagaimana dimaksud dalam berakhir
Pasal 3 ayat (3b) UU
KUP yang melaporkan beberapa Masa
Pajak dalam satu SPT Masa
17. Pembayaran Masa selain PPh Pasal Paling lama sesuai dengan batas
25 bagi WP dengan kriteria tertentu waktu untuk masing-masing jenis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal pajak
3 ayat (3b) UU KUP yang melaporkan
beberapa Masa Pajak dalam satu
SPT Masa

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau
penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Termasuk hari libur
nasional adalah hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang
ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
Sanksi administrasi apabila pembayaran atau penyetoran dilakukan setelah tanggal
jatuh tempo sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2007 adalah berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang
dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran,
dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan (Pasal 9 ayat 2a UU KUP).
Contoh:
Angsuran masa PPh Pasal 25 Tahun 2008 sejumlah Rp10juta per bulan. Angsuran
Masa Pajak Mei Tahun 2008 dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan tanggal 19
Juni 2008. Tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak.
Sanksi bunga dalam STP dihitung 1 (satu) bulan = 1x 2% x Rp10.000.000,00 =
Rp200.000,00
b. Pembayaran kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Jatuh tempo pembayaran kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan
SPT Tahunan PPh harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan
disampaikan (Pasal 9 ayat 3 UU KUP).
Atas pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh
yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh
1 (satu) bulan (Pasal 9 ayat 2b UU KUP).
Contoh:
SPT Tahunan PPh Badan PT ABC yang melaporkan PPh terutang sebesar Rp100juta
dengan kredit pajak sebesar Rp80juta disampaikan tanggal 10 Mei 2009. Pajak yang
kurang dibayar sebesar Rp20juta dibayar pada tanggal 9 Mei 2009.
Disamping dikenai sanksi administrasi karena terlambat menyampaikan SPT, atas
keterlambatan pembayaran pajak yang kurang dibayar tersebut dikenai sanksi
administrasi berupa bunga 2% dengan masa 1 bulan (1 Mei 2009 – 9 Mei 2009):
1x 2% x Rp20.000.000,00 = Rp400.000,00
c. Pelunasan jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan STP, SKPKB, SKPKBT, SK
Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding serta Putusan Peninjauan Kembali
Dalam Pasal 9 ayat 3 UU KUP ditetapkan bahwa:”Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.”
Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu
pelunasan tersebut dapat diperpanjang paling lama menjadi
2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (Pasal 9 ayat 3a UU KUP). Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
187/PMK.03/2007, batasan Wajib Pajak usaha kecil ditentukan sebagai berikut:
1) Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil dengan kriteria sbb:
a) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri; dan
b) Menerima atau memperoleh peredaran usaha dari kegiatan usaha atau
menerima penerimaan bruto dari pekerjaan bebas dalam Tahun Pajak
sebelumnya tidak lebih dari Rp600juta (enam ratus juta rupiah).
2) Wajib Pajak badan dengan kriteria sebagai berikut:
a) modal Wajib Pajak badan 100% dimiliki oleh WNI;
b) menerima atau memperoleh peredaran usaha dalam Tahun Pajak sebelumnya
tidak lebih dari Rp900juta (sembilan ratus juta rupiah).
Wajib Pajak di daerah tertentu adalah Wajib Pajak yang tempat tinggal, tempat
kedudukan, atau tempat kegiatan usahanya berlokasi di daerah tertentu yang
ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
Sanksi bagi keterlambatan pembayaran jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam
ketentuan ini diatur dalam Pasal 19 ayat 1 UU KUP yang berbunyi:”Apabila Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau
Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari
tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya
Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Contoh:
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sebesar Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan
batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan
tanggal 6 November 2008 Rp 6.000.000,00.
Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan
sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar =Rp10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan =Rp 6.000.000,00 (-)
Kurang dibayar =Rp 4.000.000,00
Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00) =Rp80.000,00
Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut, Wajib
Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5
Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga
dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar =Rp10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan =Rp10.000.000,00 (-)
Kurang dibayar =Rp 0,00
Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp10.000.000,00) =Rp200.000,00
48. Hak Wajib Pajak berkaitan dengan pembayaran pajak
Berkaitan dengan pembayaran pajak, Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak khususnya bagi Wajib Pajak yang mengalami kesulitan
likuiditas yaitu dengan cara mengajukan permohonan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat 4
UU KUP yang menyatakan bahwa:”Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak
dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak
termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12
(dua belas) bulan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.”
a. Ketentuan mengenai pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 mengenai
pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur sebagai berikut:
1) Pembayaran pajak yang dapat dilakukan dengancara mengangsur
atau menunda pembayaran adalah atas:
a) pajak yang masih harus dibayar dalam STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK
Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah; dan
b) PPh Pasal 29.
2) Wajib Pajak terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak;
3) Permohonan harus diajukan paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum saat
jatuh tempo pembayaran utang pajak berakhir disertai alasan dan jumlah
pembayaran pajak yang dimohon diangsur atau ditunda;
4) Apabila batas waktu 9 (sembilan) hari tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaannya, permohonan Wajib Pajak
masih dapat dipertimbangkan Dirjen Pajak sepanjang Wajib Pajak dapat
membuktikan kebenaran keadaan di luar kekuasaannya tersebut;
5) Dirjen Pajak menerbitkan surat keputusan atas permohonan Wajib Pajak tersebut
berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian, atau menolak paling lama 7
(tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan;
6) Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, Dirjen Pajak tidak memberi suatu
keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima;
7) Surat Keputusan yang menerima seluruhnya atau sebagian, dengan jangka waktu
masa angsuran atau penundaan tidak melebihi 12 (dua belas) bulan dengan
mempertimbangkan kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan Wajib
Pajak;
8) Terhadap utang pajak yang telah diterbitkan surat keputusan tidak dapat lagi
diajukan permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran.
b. Sanksi administrasi akibat pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak
Sanksi administrasi berkaitan dengan dikabulkannya permohonan untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak baik sebagian maupun seluruhnya diatur dalam
Pasal 19 ayat 2 UU KUP yang berbunyi:”Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan
mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus
dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Contoh:
1) Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar
Rp1.120.000,00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas
akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan
untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan
dengan jumlah yang tetap sebesar Rp224.000,00. Sanksi administrasi berupa
bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut: angsuran ke-1 : 2% x
Rp1.120.000,00 = Rp22.400,00 angsuran ke-2 : 2% x Rp896.000,00 =
Rp17.920,00
angsuran ke-3 : 2% x Rp672.000,00 = Rp13.440,00
angsuran ke-4 : 2% x Rp448.000,00 = Rp8.960,00
angsuran ke-5 : 2% x Rp224.000,00 = Rp4.480,00.
2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk
menunda pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.
Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00 = Rp112.000,00.
49. Sanksi pidana terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban
penyetoran pajak
Yang termasuk dalam tindak pidana di bidang perpajakan berkaitan dengan kewajiban
pembayaran atau penyetoran pajak adalah apabila Wajib Pajak tidak menyetorkan pajak
yang telah dipotong atau dipungut dengan ancaman pidana penjara, sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 39 ayat 1 hurif i dan ayat 2 UU KUP yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39 ayat 1 huruf i UU KUP:
”Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau
dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”
Pasal 39 ayat 2 UU KUP:
”Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua)
kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan
sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang
dijatuhkan.”

50. Latihan
a. Jelaskan hak Wajib Pajak berkaitan dengan pembayaran pajak!
b. Jelaskan sanksi di bidang perpajakan yang berkaitan dengan pembayaran pajak!

51. Rangkuman
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Pasal 10 ayat 1 UU KUP).
Berdasarkan Pasal 9 ayat 1 UU KUP, tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak
ditentukan oleh Menteri Keuangan, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
Berkaitan dengan pembayaran pajak, Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak khususnya bagi Wajib Pajak yang mengalami kesulitan
likuiditas yaitu dengan cara mengajukan permohonan.
Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak sebagaimana
ditetapkan maka dapat dikenakan sanksi administrasi atau sanksi pidana tergantung jenis
pelanggarannya.

BAB VI
PEMERIKSAAN PAJAK

1. Indikator
a. Peserta mampu memahami pengertian pemeriksaan
b. Peserta mampu menjelaskan produk dari suatu pemeriksaan
c. Peserta mampu menjelaskan kewajiban Wajib Pajak ketika dilakukan pemeriksaan
d. Peserta mampu menjelaskan sanksi terkait dengan kewajiban Wajib Pajak ketika
dilakukan pemeriksaan
Tindakan untuk melakukan pemeriksaan pajak adalah hak yang dimiliki Direktur Jenderal
Pajak. Hak melakukan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak ini oleh UU KUP hanya
diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak. Hak ini merupakan bagian dari fungsi
pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan bersifat
terbatas atau bernama kewenangan. Yang dimaksud bersifat terbatas adalah pada
aktivitasnya yang harus selaras dengan tujuan pemeriksaan. Namun tidak terbatas pada
objek yang diperiksa. Artinya setiap Wajib Pajak tidak luput dari kemungkinan untuk
dilakukan pemeriksaan.
Kapan hak ini muncul? UU KUP tidak secara khusus menentukannya. Yang dijelaskan
hanya tujuannya yaitu menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Meskipun pemeriksaan pajak adalah hak, namun dalam kasus tertentu (seperti untuk
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak) pemeriksaan
pajak adalah kewajiban bagi Direktur Jenderal Pajak.

52. Pengertian Pemeriksaan


Secara resmi, definisi pemeriksaan mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan
perubahan UU KUP. Pada awal berlakunya UU KUP, pemeriksaan dengan nama “tindakan
pemeriksaan” didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh petugas perpajakan
dalam rangka melaksanakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak, untuk mencari bahan-
bahan guna penghitungan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang harus
dibayar. Selanjutnya pada perubahan pertama UU KUP (berlaku 1 Januari 1995),
pemeriksaan didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan,
dan mengolah data dan/atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Pada perubahan kedua UU KUP (berlaku 1 Januari 2001), definisi
pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data
dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Dalam perubahan terakhir UU KUP yang mulai berlaku 1 Januari
2008, pemeriksaan didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan menghimpun dan
mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pada prinsipnya tidak ada perubahan dalam pengertian pemeriksaan yang menyangkut
aktivitas pemeriksa yaitu mencari atau menghimpun bahan/data/keterangan/bukti.
Perubahan lebih pada tujuan pemeriksaan yang sebelumnya guna penghitungan jumlah
pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang harus dibayar diubah terakhir menjadi untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.

53. Kewenangan melakukan pemeriksaan pajak dan Tata Cara Pemeriksaan Pajak
Yang berwenang melakukan pemeriksaan pajak adalah Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 ayat 1 UU KUP yang berbunyi:
“Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.”
Tata cara pemeriksaan pajak sesuai dengan Pasal 31 UU KUP diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan di antaranya mengatur tentang pemeriksaan
ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil
pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan
akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. Berdasarkan wewenang
Pasal 31 UU KUP tersebut terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007
tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Peraturan ini
mengalami perubahan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
82/PMK.03/2011.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tersebut sesuai Pasal 46, berlaku
terhadap Surat Perintah Pemeriksaan yang diterbitkan mulai tanggal 1 Januari 2008
sedangkan yang diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 2008 berlaku Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.03/2006. Menurut
hemat penulis, sesuai kelazimannya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
199/PMK.03/2007 seharusnya berlaku terhadap pemeriksaan pajak berkaitan dengan
kewajiban di bidang perpajakan yang terkait dengan UU KUP sampai perubahan terakhir
(UU Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 28 Tahun 2007).
Terhadap kewajiban di bidang perpajakan yang berdasarkan UU KUP sampai perubahan
kedua (UU Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun
2000) tetap menggunakan tata cara pemeriksaan yang diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.03/2006. Sebagai
contoh, meskipun Surat Perintah Pemeriksaan diterbitkan mulai 1 Januari 2008 tetapi
sepanjang objek pemeriksaan adalah bukan SPT Masa Januari 2008 ke depan atau bukan
SPT Tahunan Tahun Pajak 2008 ke depan maka tetap mengacu pada tata cara
pemeriksaan yang lama.
54. Kriteria dilakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan WP
Pemeriksaan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak dalam
rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Meskipun merupakan kewenangan namun dalam hal Wajib Pajak mengajukan
permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU
KUP, pemeriksaan harus dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, pemeriksaan selain dilihat
sebagai kewenangan dalam arti dapat dilakukan oleh Dirjen Pajak, pemeriksaan juga
merupakan suatu keharusan bagi Dirjen Pajak. Untuk kedua hal tersebut kriterianya
adalah sebagai berikut:
a. Harus dilakukan Dirjen Pajak
Dirjen Pajak harus melakukan pemeriksaan dalam hal Wajib Pajak mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17B UU KUP, yaitu permohonan kelebihan pembayaran pajak yang dinyatakan
dalam Surat Pemberitahuan selain WP dengan kriteria tertentu (Pasal 17C UU KUP) dan
selain WP dengan persyaratan tertentu (Pasal 17D UU KUP). Pemeriksaan yang dilakukan
tersebut diikuti dengan ketentuan bahwa dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan
diterima lengkap, Surat Ketetapan Pajak harus sudah diterbitkan. Apabila jangka waktu 12
bulan tersebut terlewati dan Surat Ketetapan Pajak belum diterbitkan maka atas
permohonan kelebihan pembayaran pajak tersebut harus dikabulkan dan paling lambat
satu bulan harus diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
b. Dapat dilakukan Dirjen Pajak
Selain hal pada huruf a> di atas, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor
199/PMK.03/2007, pemeriksaan untuk tujuan menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
1) menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang telah diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak;
2) menyampaikan SPT yang menyatakan rugi;
3) tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi melampaui jangka waktu
yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran;
4) melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau
akan meninggalkan Indonesia untuk selama- lamanya; atau
5) menyampaikan SPT yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis
risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan WP
yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan.

55. Pemeriksaan untuk tujuan lain (Peraturan Menteri Keuangan Nomor


199/PMK.03/2007)
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau
pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan.
Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan kriteria antara lain:
a. pemberian NPWP secara jabatan;
b. Penghapusan NPWP;
c. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan PKP;
d. WP mengajukan keberatan;
e. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
f. Pencocokan data dan/atau alat keterangan;
g. Penentuan WP berlokasi di daerah terpencil;
h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN;
i. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
j. Penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian
sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/ atau
k. Memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda.

56. Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa


Dalam Pasal 29 diatur mengenai kewajiban Wajib Pajak ketika dilakukan pemeriksaan,
dengan ketentuan sbb:
a. Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
1) memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang
terutang pajak;
2) memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
3) memberikan keterangan lain yang diperlukan.
b. Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain tersebut
wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan
disampaikan.
c. Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta
keterangan yang diminta, WP terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya,
maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan
pemeriksaan.

57. Produk pemeriksaan untuk tujuan menguji kepatuhan pemenuhan


kewajiban perpajakan
Hasil pemeriksaan pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak, surat tagihan pajak atau
dapat juga ditingkatkan menjadi pemeriksaan bukti permulaan dalam hal hasil
pemeriksaan memberikan indikasi adanya tindak pidana di bidang perpajakan. Secara
detil, produk dimaksud dapat diuraikan sbb:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), apabila berdasarkan hasil pemeriksaan,
pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar (Pasal 13 ayat 1 UU KUP);
b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang (Pasal 17 ayat 1 UU KUP);
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah kredit
pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak;
d. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) apabila ditemukan data baru
yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT (Pasal 15 ayat 1 UU KUP);
e. Surat Tagihan Pajak (STP) apabila ditemukan sanksi administrasi berupa denda atau
bunga (Pasal 14 UU KUP);
f. Pemeriksaan dapat ditingkatkan menjadi pemeriksaan bukti permulaan apabila
ditemukan indikasi adanya tindak pidana di bidang perpajakan.

58. Sanksi administrasi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat


kekurangan pembayaran pajak
Apabila hasil pemeriksaan pajak ditemukan adanya kekurangan pembayaran pajak maka
atas kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenai sanksi administrasi berupa bunga
atau kenaikan dengan kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 2 dan 3, yaitu
sebagai berikut:
a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, atas jumlah kekurangan
pajak yang terutang dalam SKPKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB. (Pasal 13 ayat 2 UU KUP);
b. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN dan
PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen), atas jumlah pajak dalam SKPKB ditambah
dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%,. (Pasal 13 ayat 3 UU
KUP)
c. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 (mengenai pembukuan)
atau Pasal 29 (mengenai pemeriksaan) tidak dipenuhi sehingga tidak dapat
diketahui besarnya pajak yang terutang, atas jumlah pajak dalam SKPKB ditambah
dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar: a. 50% (dari PPh yang tidak
atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak; b. 100% dari PPh yang tidak atau
kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong
atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau c. 100% dari PPN Barang dan
Jasa dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar. (Pasal 13 ayat 3 UU KUP)
59. Sanksi apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban ketika dilakukan
pemeriksaan
Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban ketika dilakukan pemeriksaan maka dapat
dikenakan sanksi baik sanksi administrasi ataupun sanksi pidana tergantung jenis
pelanggarannya. Yang akan diuraikan pada subbab ini adalah apabila Wajib Pajak:
a. menolak dilakukan pemeriksaan;
b. tidak memperlihatkan dan/atau tidak meminjamkan buku atau catatan, dokumen
yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang
terutang pajak;
c. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
d. tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
e. memberikan keterangan lain yang diperlukan.
Apabila Wajib Pajak melakukan tindakan sebagaimana huruf a, b, dan c maka atas
tindakan tersebut dapat dikenai sanksi administrasi ataupun sanksi pidana.
Dapat dikenai sanksi administrasi karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat 1 dan ayat 3 UU KUP, yaitu apabila kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 (berkaitan dengan pemeriksaan) tidak dipenuhi sehingga tidak dapat
diketahui besarnya pajak yang terutang. Sanksi administrasi yang dikenakan adalah sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar: a. 50% (dari PPh yang tidak atau kurang dibayar
dalam satu Tahun Pajak; b. 100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau
kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau
kurang disetor; atau c. 100% dari PPN Barang dan Jasa dan PPnBM yang tidak atau kurang
dibayar.
Selain itu tindakan sebagaimana pada huruf a, b, dan c yang menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara termasuk dalam kategori tindak pidana di bidang perpajakan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat 1 huruf e, huruf f dan huruf g, dengan
ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar. Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi
pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan tersebut
sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang
dijatuhkan.
Tindakan pada huruf d dan e tidak termasuk dalam tindak pidana di bidang perpajakan
sebab tindakan yang demikian tidak terdapat dalam UU KUP sebagai tindak pidana.
Namun demikian tetap dapat dikenai sanksi administrasi karena memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 1 dan ayat 3 UU KUP, yaitu apabila kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 (berkaitan dengan pemeriksaan) tidak dipenuhi
sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang. Sanksi administrasi yang
dikenakan adalah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar: a. 50% (dari PPh yang
tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak; b. 100% dari PPh yang tidak atau
kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong
atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau c. 100% dari PPN Barang dan Jasa
dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar.
60. Latihan
a. Jelaskan pengertian dan tujuan pemeriksaan pajak!
b. Jelaskan jenis-jenis pemeriksaan pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri keuangan Nomor 199/PMK.03/2007!
c. Apa saja kewenangan yang dimiliki Pemeriksa Pajak?
d. Apa saja kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa?
e. Apa saja produk pemeriksaan pajak untuk tujuan menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak?

61. Rangkuman
Dalam perubahan terakhir UU KUP yang mulai berlaku 1 Januari 2008, pemeriksaan
didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Tata cara pemeriksaan pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
199/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007. Dalam perturan tersebut di antaranya
mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban
menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak
Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu
yang ditentukan.
Wajib Pajak yang diperiksa wajib: a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek
yang terutang pajak; b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang
yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau c.
memberikan keterangan lain yang diperlukan.
Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban ketika dilakukan pemeriksaan maka dapat
dikenakan sanksi baik sanksi administrasi ataupun sanksi pidana tergantung jenis
pelanggarannya.
Hasil pemeriksaan pajak khususnya yang bertujuan menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dapat berupa Surat Ketetapan Pajak, surat tagihan pajak atau
dapat juga ditingkatkan menjadi pemeriksaan bukti permulaan dalam hal hasil
pemeriksaan memberikan indikasi adanya tindak pidana di bidang perpajakan.
BAB VII
PENETAPAN dan KETETAPAN

1. Indikator
a. Peserta mampu memahami pengertian penetapan dan ketetapan
b. Peserta mampu menjelaskan tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak
c. Peserta mampu menjelaskan tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak
d. Peserta mampu menjelaskan ketentuan peralihan mengenai Surat Ketetapan Pajak
Pada dasarnya tidak ada pajak tanpa adanya penetapan. Dalam kerangka sistem
pemungutan pajak yang menganut Self Assessment System, pengertian penetapan
merujuk pada aktivitas di bidang perpajakan di mana Wajib Pajak menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melapor sendiri kewajiban perpajakannya. Dengan
demikian penetapan adalah aktivitas di pihak Wajib Pajak pada fase Self Assessment.
Sedangkan ketetapan merupakan kewenangan yang dimiliki Fiskus dalam “menghitung
kembali” pajak yang sudah ditunaikan Wajib Pajak apabila terdapat cukup bukti untuk itu.
Baik penetapan maupun penerbitan ketetapan dapat melahirkan pajak yang terutang.
Keduanya merupakan sarana formil yang disediakan UU KUP untuk dapat melahirkan
pajak yang terutang.

62. Pengertian Penetapan


Dalam Self Assessment System, seperti yang dianut dalam UU perpajakan kita, Wajib
Pajak diberi kewenangan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan dan
membayar sendiri pajak terutang yang menjadi kewajibannya. Kewajiban membayar
pajak yang terutang tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak tanpa menggantungkan pada
adanya Surat Ketetapan Pajak. Pajak yang dihitung, diperhitungkan dan dibayar sendiri
tersebut kemudian dilaporkan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan. Apabila Surat
Pemberitahuan telah disampaikan (telah diterima bukti penerimaan SPT) maka kewajiban
perpajakan yang dilaporkan dalam SPT tersebut telah dianggap benar, sebagaimana bunyi
Pasal 12 ayat 2 UU KUP yang menyatakan bahwa: ”Jumlah Pajak yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Misalkan PT XYZ adalah WP badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang-
barang elektronik. PT XYZ melaporkan seluruh penghasilan yang diperoleh selama tahun
2008 dan kredit pajaknya dalam SPT PPh badan Tahun 2008, dengan perincian sbb:
Penghasilan Neto: Rp 1.000.000.000,00
PPh terutang Rp 282.500.000,00
Kredit Pajak Rp 202.500.000,00
Pajak yang kurang dibayar Rp 80.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang sebesar Rp 282.500.000,00 hasil perhitungan Wajib Pajak
adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Sedangkan kredit pajak sebesar Rp 202.500.000,00 dan PPh yang
kurang dibayar sebesar Rp 80.000.000,00 yang telah dilunasi adalah pembayaran pajak
oleh WP tanpa didahului dengan Surat Ketetapan Pajak, yaitu melalui
pemotongan/pemungutan pihak ketiga dan dibayar sendiri.

63. Pengertian Ketetapan


Dalam Self Assessment System, beban pembuktian untuk menyatakan bahwa pajak yang
terutang dalam Surat Pemberitahuan adalah tidak benar berada pada pihak Fiskus
(Direktur Jenderal Pajak), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 ayat 3 UU KUP yang
menyatakan bahwa: “Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak
yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.”
Proses pembuktian atau bukti yang diperoleh di atas dapat berasal dari pemeriksaan atau
adanya keterangan lain. Maka apabila dari bukti tersebut ternyata jumlah pajak yang
terutang menurut Wajib Pajak sebagaimana dilaporkan dalam SPT adalah tidak benar,
selanjutnya Dirjen Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang dengan menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak.
Contoh:
PT XYZ adalah WP badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang-barang
elektronik. PT XYZ melaporkan seluruh penghasilan yang diperoleh selama tahun 2008
dan kredit pajaknya dalam SPT PPh badan Tahun 2008, dengan perincian sbb:
Penghasilan Neto: Rp1.000.000.000,00
PPh terutang Rp 282.500.000,00
Kredit Pajak Rp 202.500.000,00
Pajak yang kurang dibayar Rp 80.000.000,00
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan bahwa pajak yang dihitung dan dilaporkan PT XYZ
dalam SPT PPh Tahun 2008 tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi
yang sebenarnya sehingga PPh terutang kurang dilaporkan, maka Direktur Jenderal Pajak
menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu dengan menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak.

64. Surat Ketetapan Pajak


Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
1) Pengertian SKPKB
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah
pajak yang masih harus dibayar. Dari definisi tersebut maka format Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah sbb:
Jumlah Pokok Pajak Rp10.000.000,00
Jumlah Kredit Pajak Rp 6.000.000,00
Jumlah Kekurangan Pembayaran Pokok Pajak Rp 4.000.000,00
Besarnya Sanksi Administrasi Rp 2.000.000,00
Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar Rp 6.000.000,00
2) Penerbitan SKPKB
Dalam hal apa Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak? Pasal 13
ayat 1 UU KUP menyatakan bahwa: ”Dalam jangka waktu 5 (lima tahun) setelah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut :
a) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar;
b) apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara
tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam
Surat Teguran;
c) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak
seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai
tarif 0% (nol persen);
d) apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak
dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e) apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
3) SKPKB yang diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
Pasal 13 ayat 1 huruf a menyatakan bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam
hal apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar. Atas jumlah kekurangan pajak yang terutang
dalam SKPKB tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2 % (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan,
dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar {Pasal 13 (2) UU KUP}.
Contoh:
PT XYZ adalah WP badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang-
barang elektronik, menyampaikan SPT PPh badan Tahun 2008 (tahun takwim)
pada tgl 30 April 2009, dengan perincian sbb:
Penghasilan Neto Rp1.000.000.000,00
PPh terutang Rp 282.500.000,00
Kredit Pajak Rp 202.500.000,00
Pajak yang kurang dibayar Rp 80.000.000,00
Kekurangan (PPh Pasal 29) tersebut dibayar tgl 29 April 2009. Apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan ternyata Penghasilan Neto seharusnya adalah
Rp1.100.000.000,00 sehingga PPh terutang seharusnya adalah Rp312.500.000,00
dan seandainya SKPKB diterbitkan tanggal 10 Oktober 2009, maka rincian
SKPKB adalah sbb:
Jumlah Pokok Pajak Rp 312.500.000,00
Jumlah Kredit Pajak Rp 282.500.000,00
Jumlah Kekurangan Pokok Pajak Rp 30.000.000,00
Sanksi administrasi (bunga 10 bulan) Rp 6.000.000,00
Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp 36.000.000,00
4) SKPKB yang diterbitkan apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktunya
dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran;
Pasal 13 ayat 1 huruf b menyatakan bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam hal
apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktunya dan
setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran. Atas jumlah kekurangan pajak dalam SKPKB
yang diterbitkan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
a) 50 % (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dibayar dalam satu Tahun Pajak;
b) 100 % (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong
atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
c) 100 % (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
(Pasal 13 ayat 3 UU KUP).
Contoh:
PT ABC adalah WP badan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Sampai dengan
tanggal 30 April 2009, PT ABC belum menyampaikan SPT Tahunan PPh badan
tahun 2008. Oleh KPP diterbitkan Surat Teguran pd tgl 20 Mei 2009 agar
menyampaikan SPT dimaksud paling lambat tgl 3 Juni 2009. PT ABC baru
menyampaikan SPT tersebut tgl 5 Juni 2009, dengan perincian sbb:
Rugi (Rp200.000.000,00)
PPh terutang Rp --
Kredit Pajak Rp --
Pajak yang kurang dibayar Rp --
Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata menunjukkan laba neto sebesar
Rp100juta sehingga PPh terutang seharusnya adalah Rp12.500.000,00 dan
seandainya SKPKB diterbitkan tanggal 10 Desember 2009, maka rincian SKPKB
adalah sbb: Jumlah Pokok Pajak Rp12.500.000,00
Jumlah Kredit Pajak Rp --
Jumlah Kekurangan Pokok Pajak Rp12.500.000,00
Sanksi administrasi (50%) Rp 6.250.000,00
Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp18.750.000,00
5) SKPKB yang diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain mengenai PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan
selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
Pasal 13 ayat 1 huruf c menyatakan bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam hal
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN dan
PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenakan tarif 0 % (nol persen). Atas jumlah pajak dalam SKPKB yang
diterbitkan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 %
(seratus persen) dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar (Pasal 13
ayat 3).
Contoh:
PT PQR adalah pabrikan tekstil yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, melaporkan SPT Masa PPN Desember 2008 dengan rincian sbb:
Pajak Keluaran Rp200.000.000,00
Pajak Masukan Rp230.000.000,00
Kurang/(Lebih) bayar (Rp30.000.000,00)
Atas kelebihan tersebut dikompensasikan ke Masa Januari 2009.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan, Pajak Keluaran adalah sebesar
Rp220juta sehingga terdapat jumlah yang tidak seharusnya dikompensasi dan
SKPKB diterbitkan tanggal 10 Desember 2009, maka rincian SKPKB adalah sbb:
Jumlah Pokok Pajak Rp220.000.000,00
Jumlah Kredit Pajak (Rp230.000.000,00)
Jumlah Lebih bayar (Rp10.000.000,00)
Dikompensasikan ke Masa Jan’09 Rp 30.000.000,00 Jumlah kekurangan Pokok
Pajak Rp 20.000.000,00 Sanksi adm. Pasal 13 (3) c (100%) Rp 20.000.000,00
Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp 40.000.000,00
6) SKPKB yang diterbitkan apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang
terutang;
Pasal 13 ayat 1 huruf d menyatakan bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam hal
apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 (berkaitan dengan
pembukuan) atau Pasal 29 (kewajiban ketika dilakukan pemeriksaan) tidak
dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang. Atas
jumlah kekurangan pajak dalam SKPKB yang diterbitkan ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar :
a) 50 % (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dibayar dalam satu Tahun Pajak;
b) 100 % (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong
atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
c) 100 % (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
(Pasal 13 ayat 3 UU KUP)
Contoh:
PT XYZ adalah WP badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang-
barang elektronik, menyampaikan SPT PPh badan Tahun 2008 (tahun takwim)
pada tgl 30 April 2009, dengan perincian sbb:
Penghasilan Neto Rp1.000.000.000,00
PPh terutang Rp 282.500.000,00
Kredit Pajak Rp 202.500.000,00
Pajak yang kurang dibayar Rp 80.000.000,00
Kekurangan (PPh Pasal 29) tersebut dibayar tgl 29 April 2009. Apabila ketika
dilakukan pemeriksaan ternyata PT XYZ tidak meminjamkan buku-buku, catatan-
catatan serta dokumen yang menjadi dasar pengisian SPT sehingga pajak
terutang tidak dapat dihitung. Maka misalkan berdasarkan data yang ada
Penghasilan Neto dapat dihitung sebesar Rp1,1milyar dan SKPKB diterbitkan
tanggal 10 Oktober 2009, rincian SKPKB adalah sbb:
Jumlah Pokok Pajak Rp 312.500.000,00
Jumlah Kredit Pajak Rp 282.500.000,00
Jumlah Kekurangan Pokok Pajak Rp 30.000.000,00
Sanksi adm. Pasal 13 (3) huruf a (50%) Rp 15.000.000,00
Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp 45.000.000,00
7) SKPKB yang diterbitkan apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan NPWP dan/atau
dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan
Pasal 13 ayat 1 huruf e menyatakan bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam hal
apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4a). Atas kekurangan jumlah pajak dalam SKPKB yang
diterbitkan ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua
persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB (Pasal 13 ayat 2).
Contoh:
CV PQR adalah pengusaha di bidang perdagangan barang elektronik yang mulai
berusaha sejak awal Januari 2007, tetapi belum mendaftarkan diri sampai dengan
tanggal 10 Oktober 2009 ketika Dirjen Pajak menerbitkan NPWP secara jabatan.
Berdasarkan data yang ada, diperoleh penghasilan neto selama tahun 2007
adalah sbb:
Penghasilan Neto Rp1.000.000.000,00
PPh terutang Rp 282.500.000,00
Kredit Pajak Rp 0,00
Pajak yang kurang dibayar Rp 282.500.000,00
Atas kekurangan pembayaran PPh badan tahun 2007 sebagai akibat penerbitan
NPWP secara jabatan, Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKPKB. Misalkan
diterbitkan tgl 10 Oktober 2009 maka SKPKB tersebut adalah sbb:
Jumlah Pokok Pajak Rp 282.500.000,00
Jumlah Kredit Pajak Rp 0,00
Jumlah Kekurangan Pokok Pajak Rp 282.500.000,00
Sanksi administrasi (bunga 22 bulan) Rp 6.000.000,00
Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp 36.000.000,00
8) Daluwarsa Penerbitan SKPKB
Ketentuan mengenai daluwarsa penerbitan SKPKB diatur dalam
Pasal 13 UU KUP yaitu sbb:
a) Daluwarsa atau jangka waktu Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKPKB adalah
5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak.
b) Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam
Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak, tidak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak.
c) Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah lewat, SKPKB tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 48 % dari jumlah pajak yg tidak atau kurang dibayar,
apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan
pengadilan yg telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sebagai contoh, atas PPh badan tahun pajak (tahun takwim) 2008 yang saat
terutang pajaknya adalah akhir Desember 2008, dalam jangka waktu sejak awal
Januari 2009 sampai dengan akhir Desember 2013 Dirjen Pajak berhak
menerbitkan SKPKB dengan kriteria di atas. Sejak awal Januari 2014, SKPKB hanya
dapat diterbitkan (dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48%) apabila
Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau
tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
berdasarkan putusan pengadilan yg telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
1) Pengertian SKPKBT
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah Surat Ketetapan Pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan (Pasal 1 angka 17
UU KUP). Dari definisi tersebut maka SKPKBT terdiri dari:
Jumlah Pajak Rp10.000.000,00
Jumlah Pajak Yang Telah Ditetapkan Rp 6.000.000,00
Tambahan Jumlah Pajak Rp 4.000.000,00
Besarnya Sanksi Administrasi Rp 4.000.000,00
Tambahan Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar Rp 8.000.000,00
2) Penerbitan SKPKBT
Kewenangan dan kriteria penerbitan SKPKBT diatur dalam Pasal 15 ayat 1 UU KUP
yang berbunyi :”Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah
pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.”
Yang dimaksud data baru adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu
yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang
oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam
Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan
perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan. Selain itu, yang termasuk
dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a) tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta
lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
b) pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar,
lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan Fiskus dapat menerapkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam
menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan
atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila
memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa
sehingga membuat Fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak
yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan
kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang
semula belum terungkap.
Contoh:
a) Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya
iklan Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas
Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya
adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
b) Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan
perincian tersebut sehingga Fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran
berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat
dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau
hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.
c) Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan
pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian
harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat
pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan
perincian tersebut sehingga Fiskus tidak dapat meneliti kebenaran
pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam
kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan
ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta
tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat
dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang
menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data
tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.
d) Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha
Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak
penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan
untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi,
pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai
hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak
Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
e) Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak
mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga
tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh Fiskus,
sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung
secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan
tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan
tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.
3) Sanksi administrasi akibat diterbitkannya SKPKBT
Mengenai sanksi administrasi yang dikenakan sehubungan penerbitan SKPKBT,
Pasal 15 ayat 2 dan ayat 3 UU KUP menyatakan sebagai berikut:
a) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
b) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan
keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam
rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Contoh penerbitan SKPKBT:
Terhadap SPT PPh Pasal 23 Masa Desember 2008 a/n PT FGH telah dilakukan
pemeriksaan dan diterbitkan SKPKB tanggal 10 Oktober 2009 dengan perincian
sbb:
Jumlah Pokok Pajak Rp100.000.000,00
Jumlah Kredit Pajak Rp 90.000.000,00
Jumlah Kekurangan Pokok Pajak Rp 10.000.000,00
Sanksi adm. bunga Pasal 13 (2) Rp 2.000.000,00
Jumlah yang masih harus dibayar Rp 12.000.000,00
Pada bulan Mei 2010 ditemukan data baru berupa objek PPh Pasal 23 yang belum
dipotong oleh PT FGH dan seharusnya dilaporkan dalam SPT Masa Desember
2008 dengan jumlah pokok pajak Rp20juta. Sehingga seharusnya jumlah pokok
pajak pada Masa Des’08 adalah Rp120juta.
Misalkan setelah dilakukan pemeriksaan diterbitkan SKPKBT tanggal 25 Mei
2010, maka rincian SKPKBT adalah sbb:
Jumlah Pajak Rp120.000.000,00
Jumlah Pajak yang telah ditetapkan Rp100.000.000,00
Tambahan Jumlah Pajak Rp 20.000.000,00
Besarnya sanksi administrasi (100%) Rp 20.000.000,00
Tambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp 40.000.000,00
Sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut tidak dapat dikenakan apabila data
baru yang menjadi dasar penerbitan SKPKBT berasal dari keterangan tertulis dari
PT FGH.
4) Daluwarsa penerbitan SKPKBT
Daluwarsa atau jangka waktu Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT
diatur dalam Pasal 15 yaitu sbb:
a) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 5
(lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.
b) Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut telah lewat, SKPKBT tetap dapat
diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat
puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar,
dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana
karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana
lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Sebagai contoh, untuk PPh badan tahun pajak 2008 (tahun takwim). Saat terutang
pajaknya adalah akhir Desember 2008. Maka dalam jangka waktu 5 tahun
yaitu sejak awal Januari 2009 sampai dengan akhir Desember 2013, Dirjen Pajak
dapat menerbitkan SKPKBT setelah dilakukan pemeriksaan apabila atas PPh
badan tahun pajak 2008 tersebut yang sudah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
ditemukan data baru. Sejak awal Januari 2014, SKPKBT (dengan sanksi
administrasi berupa bunga 48%) hanya dapat diterbitkan apabila Wajib Pajak
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak
pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
1) Pengertian SKPLB
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar
daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. (Pasal 1 angka 19 UU
KUP)
2) Penerbitan SKPLB
Kriteria penerbitan SKPLB diatur dalam Pasal 17 UU KUP. Penerbitan SKPLB dapat
dilakukan setelah melalui pemeriksaan ataupun setelah meneliti kebenaran
pembayaran pajak. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang
lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang
telah ditetapkan.
a) SKPLB hasil pemeriksaan
Pasal 17 ayat 1 menyatakan bahwa:”Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang.”
SKPLB yang diterbitkan berdasarkan Pasal 17 ayat 1 ini adalah SKPLB yang
diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas SPT yang disampaikan WP
yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai
dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Apabila WP
setelah menerima SKPLB dan menghendaki pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). Hal dapat terjadi apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang (untuk PPh dan PPN) atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang (untuk PPnBM).
Contoh:
PT XYZ adalah WP badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
barang-barang elektronik, menyampaikan SPT PPh badan Tahun 2008
(tahun takwim) pada tgl 30 April 2009, dengan perincian sbb:
Penghasilan Neto Rp1.000.000.000,00
PPh terutang Rp 282.500.000,00
Kredit Pajak (Rp 202.500.000,00)
Pajak yang kurang dibayar Rp 80.000.000,00
Kekurangan (PPh Pasal 29) tersebut dibayar tgl 29 April 2009.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Penghasilan Neto
seharusnya adalah Rp900.000.000,00 sehingga PPh terutang seharusnya
adalah Rp252.500.000,00, maka Dirjen Pajak menerbitkan SKPLB dengan
rincian sbb:
Pajak Yang Terutang Rp252.500.000,00

Jumlah Kredit Pajak (Rp282.500.000,00)


Jumlah Kelebihan Pembayaran Pajak (Rp 30.000.000,00)
b) SKPLB setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak
Pasal 17 ayat 2 menyatakan bahwa:”Berdasarkan permohonan Wajib Pajak,
Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak,
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
Dalam hal terdapat pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang yaitu
terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan yang dapat berupa:
1. terlalu besar dipotong/dipungut;
2. seharusnya tidak dipotong/tidak dipungut
dan pajak yang salah dipotong/dipungut tsb telah disetorkan dan dilaporkan,
WP yang melakukan pemotongan/pemungutan atau PKP yang melakukan
pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang salah dipotong atau
dipungut tsb, maka terhadap:
1. PPh yang salah dipotong atau dipungut tsb dapat diminta kembali oleh
Wajib Pajak yang dipotong/dipungut dengan surat permohonan,
sepanjang belum dikreditkan.
2. PPN dan PPnBM yang salah dipungut tsb dapat diminta kembali oleh PKP
yang dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan
atau belum dibebankan sebagai biaya.
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007)
Atas permohonan tersebut Dirjen Pajak setelah meneliti kebenaran
pembayaran pajak dimaksud menerbitkan SKPLB dalam jangka waktu paling
lama 3 bulan sejak surat permohonan diterima.
c) SKPLB dapat diterbitkan lagi
Sejak berlakunya UU KUP perubahan ketiga, SKPLB dapat diterbitkan lagi yang
ketentuannya diatur dalam Pasal 17 ayat 3 UU KUP. Selengkapnya tertulis
sebagai berikut:
‘Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang
lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak
yang telah ditetapkan.‘
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa SKPLB dapat diterbitkan
lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata:
1. terdapat kelebihan pembayaran pajak yang lebih besar; dan
2. sebelumnya telah diterbitkan SKPLB
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
1) Pengertian SKPN
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah
pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang
dan tidak ada kredit pajak (Pasal 1 angka 18 UU KUP).
2) Penerbitan SKPN
Ketentuan mengenai penerbitan SKPN diatur dalam Pasal 17A yang berbunyi:
”Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar
sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.” Hal ini dapat terjadi apabila:
a) untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang
terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
b) untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah
pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
c) untuk PPnBM, jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang
terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.
Contoh:
PT JKL adalah WP badan yang melakukan kegiatan usaha industri garmen
menyampaikan SPT PPh badan Tahun 2008 (tahun takwim) pada tgl 30 April
2009 yang menyatakan rugi, dengan perincian sbb:
Rugi Neto Rp1.000.000.000,00
PPh terutang Rp --
Kredit Pajak Rp --
Pajak yang kurang/(lebih) dibayar Rp Nihil
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata rugi neto seharusnya
adalah Rp400.000.000,00 dan PPh terutang tetap nihil. Karena berdasarkan
hasil pemeriksaan tidak ada PPh terutang dan tidak ada kredit pajak maka
selanjutnya Dirjen Pajak menerbitkan SKPN.
e. Surat Tagihan Pajak (STP)
1) Pengertian STP
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda (Pasal 1 angka 20 UU KUP). Dengan
demikian fungsi STP adalah untuk melakukan:
a) tagihan pajak; dan/atau
b) tagihan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
2) Penerbitan STP
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
a) Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b) dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan/atau salah hitung;
c) Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
d) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
e) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5) Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
selain:
1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
f) Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
penerbitan faktur pajak; atau
g) Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a)
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
(Pasal 14 ayat 1 UU KUP)
3) STP untuk melakukan tagihan pajak
Surat Tagihan Pajak untuk melakukan tagihan pajak dapat diterbitkan dalam hal:
a) Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b) dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan/atau salah hitung;
Yang dimaksud dengan penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-
lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan
penghitungannya.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak yang
diterbitkan akibat kasus di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan,
dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
Contoh 1:
PPh Pasal 25 Tahun 2008 setiap bulan sebesar Rp100.000.000,00 jatuh tempo tiap
tanggal 15. Bulan Juni 2008, dibayar tepat waktu sebesar Rp40.000.000,00. Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan kurang dibayar sebesar Rp60juta.
Atas kekurangan PPh Pasal 25 tersebut diterbitkan STP pada tanggal 18 September
2008 dengan penghitungan sbb:
Kekurangan bayar PPh Pasal 25 bulan Juni Rp60.000.000,00
Bunga = 3 x 2% x Rp60.000.000,00 Rp 3.600.000,00
Jumlah yang harus dibayar Rp 63.600.000,00
Tiga bulan dihitung sejak 1 Juli 2008 sampai dengan 18 September 2008.
Contoh 2:
SPT Tahunan PPh tahun 2008 (tahun takwim) yang disampaikan pada tanggal 31
Maret 2009 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang
menyebabkan PPh kurang bayar sebesar Rp1.000.000,00.

Misalkan atas kekurangan PPh tersebut diterbitkan STP


pada tanggal 12 Juni 2009 dengan penghitungan sbb:
Kekurangan bayar PPh Rp1.000.000,00
- Bunga = 6 x 2% x Rp1.000.000,00= Rp 120.000,00
Jumlah yang harus dibayar Rp 1.120.000,00
Enam bulan dihitung yaitu sejak tanggal 1 Januari 2009 sampai dengan 12 Juni
2009.
4) STP untuk melakukan tagihan sanksi administrasi berupa bunga
Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan terhadap Wajib Pajak yaitu sbb:
a) Pasal 8 ayat 2 KUP: dalam hal WP membetulkan sendiri SPT Tahunan yg
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar;
b) Pasal 8 ayat 2a KUP: dalam hal WP membetulkan sendiri SPT Masa yg
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar;
c) Pasal 9 ayat 2a KUP : pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang dalam
suatu Masa Pajak dilakukan setelah tanggal jatuh tempo;
d) Pasal 9 ayat 2b KUP : pembayaran atau penyetoran kekurangan pajak yang
terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh dilakukan setelah tanggal jatuh tempo
penyampaian SPT Tahunan
e) Pasal 19 ayat 1 KUP: dalam hal jumlah pajak yang masih harus dibayar
menurut ketetapan, pada saat jatuh tempo tidak atau kurang dibayar;
f) Pasal 19 ayat 2 KUP: dalam hal WP diperbolehkan mengangsur atau menunda
pembayaran pajak;
g) Pasal 19 ayat 3 KUP: dalam hal WP diperbolehkan menunda penyampaian
SPT Tahunan yang penghitungan sementara pajak yang terutang kurang dari
jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
h) Pasal 14 ayat 1 huruf g: PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a)
UU PPN 1984 dan perubahannya.
Contoh:
PT ABC membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh Tahun 2008 pada tanggal 20
Februari 2010, yang semula menyatakan jumlah pajak terutang sebesar Rp100juta
dan kredit pajak sebesar Rp80juta, dibetulkan seharusnya jumlah pajak terutang
sebesar Rp130juta dan kredit pajak tetap. Kekurangan pembayaran pajak sebesar
Rp30juta dibayar pada tanggal 18 Februari 2010.

Dari kasus di atas maka PT ABC dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai
dengan Pasal 8 ayat 2 UU KUP sebesar:
2% x 10 x Rp30.000.000,00 = Rp6.000.000,00
Jumlah bulan dihitung sejak 1 Mei 2009 – 20 Februari 2010 = 10 bulan.
DJP menerbitkan STP untuk menagih sanksi administrasi berupa bunga tersebut.
5) STP untuk melakukan tagihan sanksi administrasi berupa denda
Sanksi administrasi berupa denda yang penagihannya dilakukan dengan
penerbitan STP adalah sbb:
a) berkaitan dengan Faktur Pajak
1. Pasal 14 ayat 1 huruf d: pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat
faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
2. Pasal 14 ayat 1 huruf e: pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP
yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 dan perubahannya, selain:
a. 1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (5) huruf b UU PPN 1984 dan perubahannya; atau
b. 2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g UU PPN
1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh PKP
pedagang eceran;
3. Pasal 14 ayat 1 huruf f: PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan
masa penerbitan faktur pajak;
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak tersebut, selain wajib
menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak (Pasal 14 ayat 4 UU
KUP).
b) Berkaitan dengan penyampaian SPT
Pasal 7 ayat 1 KUP: yaitu sanksi administrasi berupa denda apabila SPT tidak
disampaikan dalam jangka waktunya;

Contoh:
Pengusaha Kena Pajak A pada tanggal 30 Mei 2008 menyerahkan Barang Kena
Pajak dengan harga jual Rp10juta kepada Pengusaha Kena Pajak B. Pelunasan
dilakukan oleh A pada tanggal 2 Juli 2008 dan bersamaan dengan itu PKP A
menerbitkan Faktur Pajak Standar tertanggal 2 Juli 2008.
PKP A terlambat membuat Faktur Pajak Standar yang seharusnya paling
lambat tanggal 30 Juni 2005.
Apabila keterlambatan tersebut diketahui DJP misal melalui pemeriksaan,
maka PKP A dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% x DPP (2% x
Rp10.000.000,00 = Rp200.000,00) dan penagihannya dilakukan dengan
penerbitan STP.
6) Kekuatan hukum STP
Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak (Pasal 14 ayat 2 UU KUP). Surat
Tagihan Pajak disamakan kekuatan hukumnya dengan Surat Ketetapan Pajak
sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.

f. Ketentuan peralihan mengenai penetapan


Terkait dengan penetapan pajak, ketentuan peralihan sebagaimana diatur dalam Pasal II
UU Nomor 28 Tahun 2007 (perubahan ketiga UU KUP) menyatakan sebagai berikut:
1) Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan
Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2000.
2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa
penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan
sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013.
3) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008. Berdasarkan UU
KUP perubahan kedua, daluwarsa penetapan untuk pajak terutang dalam tahun
Pajak 2007 dan sebelumnya adalah 10 tahun setelah berakhirnya tahun pajak
atau masa pajak. Namun dengan ketentuan peralihan tersebut daluwarsa
penetapannya ditetapkan pada akhir Tahun 2013, selain penetapan yang
dilakukan karena Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (Pasal 13 ayat 5 UU KUP dan Pasal 15 ayat 4 UU KUP).
Berdasakan aturan peralihan tersebut maka, penetapan pajak terutang untuk PPh
badan Tahun Pajak 2007 meskipun daluwarsanya (berdasarkan UU KUP perubahan
kedua) adalah akhir Tahun 2017, namun berdasarkan aturan peralihan tersebut
daluwarsa penetapannya adalah akhir Tahun 2013. Daluwarsa penetapan pajak
untuk Tahun Pajak 2008 berlaku ketentuan berdasarkan UU KUP perubahan ketiga
(yang berlaku mulai 1 Januari 2008) yaitu 5 tahun atau akhir Tahun 2013.

65. Latihan
a. Jelaskan dalam hal apa saja Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB)!
b. Jelaskan dalam hal apa saja Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)!
c. Jelaskan dalam hal apa saja Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar!
d. Jelaskan dalam hal apa saja Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Nihil!
e. Apa fungsi Surat Tagihan Pajak?
f. Jelaskan dalam hal apa saja Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan
Pajak!
66. Rangkuman
Dalam Self Assessment System, seperti yang dianut dalam UU perpajakan kita, Wajib
Pajak diberi kewenangan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan dan
membayar sendiri pajak terutang yang menjadi kewajibannya. Kewajiban membayar
pajak yang terutang tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak tanpa menggantungkan pada
adanya Surat Ketetapan Pajak.
Beban pembuktian untuk menyatakan bahwa pajak yang terutang dalam Surat
Pemberitahuan adalah tidak benar berada pada pihak Fiskus (Direktur Jenderal Pajak),
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 ayat 3 UU KUP yang menyatakan bahwa:
“Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal
Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.”
Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan dalam hal: a. apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; b.
apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; c. apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN dan PPnBM ternyata tidak
seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0 %
(nol persen); d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29
tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yg terutang; e. apabila
kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan dalam hal ditemukan data
baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan dalam hal: a) jumlah kredit pajak atau
jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang, b) terdapat
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru
ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran
pajak yang telah ditetapkan.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan
jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau
tidak ada pembayaran pajak.
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda.
BAB VIII
PERMOHONAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
PAJAK (RESTITUSI)

Indikator:

 Peserta mampu menjelaskan pengertian dan sebab-sebab terjadinya pengembalian


kelebihan pembayaran pajak
 Peserta mampu menjelaskan mekanisme pengembalian kelebihan
pembayaran pajak

Kelebihan pembayaran pajak adalah hak bagi Wajib Pajak. Hak ini timbul
apabila terdapat kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan (SPT) atau apabila terdapat kekeliruan pemungutan atau
pemotongan yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. Hak ini dapat
ditunaikan setelah terlebih dahulu diajukan permohonan. Sejatinya sebuah
permohonan maka ia dapat dikabulkan seluruhnya atau sebagian atau dapat
juga ditolak. Setiap permohonan lazimnya ditindaklanjuti dengan pemeriksaan.
Tetapi dalam kasus tertentu seperti permohonan restitusi oleh WP dengan kriteria
tertentu dan oleh WP yang memenuhi persyaratan tertentu, permohonan ini
ditindaklanjuti dengan penelitian. Dan untuk restitusi akibat kekeliruan
pemotongan atau pemungutan permohonan kelebihan pembayaran pajak
ditindaklanjuti dengan ”hanya” meneliti kebenaran pembayaran pajak.
Dengan demikian, tindakan hukum yang dilakukan oleh Fiskus apabila
terdapat permohonan kelebihan pembayaran pajak dapat berupa pemeriksaan,
penelitian atau meneliti kebenaran pembayaran pajak tergantung dari status
permohonan tersebut. Berbeda dengan pemeriksaan sebagaimana telah dibahas
dalam bab sebelumnya, penelitian memiliki arti sebagai serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan
lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan
penghitungannya.

9.1. Sebab Kelebihan Pembayaran Pajak

Kelebihan pembayaran pajak dapat terjadi dalam dua hal, yaitu:


1. Kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang sebagaimana
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan;
Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam
Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak
atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau
dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang
telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
2. Terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

Yaitu terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan yang dapat


berupa: a) terlalu besar dipotong/dipungut;d an b)seharusnya tidak
dipotong/tidak dipungut.

9.2. Kelebihan pembayaran pajak dalam Surat Pemberitahuan

Permohonan restitusi sebagai akibat dari SPT yang menyatakan


kelebihan pembayaran pajak, tata cara dan prosedurnya dibedakan dalam 3
jenis Wajib Pajak, yaitu:
1. Selain Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan Wajib Pajak yg
memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 17B);
2. Wajib Pajak dengan kriteria tertentu (Pasal 17C); dan

3. Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 17D)


9.2.1. Selain WP dengan kriteria tertentu dan WP yg memenuhi
persyaratan tertentu
Selain Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan WP yang
memenuhi persyaratan tertentu, ketentuan mengenai permohonan
kelebihan pembayaran pajak dalam Surat Pemberitahuan diatur
dalam Pasal 17B, yaitu sbb:
1.Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap, kecuali
terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
2. Apabila setelah melampaui jangka waktu tersebut Dirjen Pajak
tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1
(satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
3. Terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, apabila
pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang
perpajakan tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan
dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan
tindak pidana di bidang perpajakan; atau dilanjutkan dengan
penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan,
tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan SKPLB,
kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan,
dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan saat
diterbitkan SKPLB, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
Contoh:

PT DEF adalah WP badan selain WP dengan kriteria tertentu dan WP


yang memenuhi persyaratan tertentu. PT DEF menyampaikan SPT
Tahunan 2008 pada tanggal 30 April 2009 yang menyatakan lebih
bayar dengan rincian sbb:
Penghasilan Neto Rp1.000.000.000,00

PPh terutang Rp 282.500.000,00

Kredit Pajak (Rp 482.500.000,00)

Pajak yang lebih dibayar (Rp 200.000.000,00)


Atas kelebihan tersebut WP mengajukan permohonan restitusi
melalui SPT yang disampaikan tersebut.
Terhadap SPT Tahunan PPh Tahun 2008 atas nama PT DEF, DJP harus
melakukan pemeriksaan dan paling lambat tanggal 29 April 2010 (12
bulan sejak SPT diterima secara lengkap) harus sudah menerbitkan
skp. Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan dapat berupa SKPKB,
SKPN, atau SKPLB.
Apabila sampai dengan tanggal 29 April 2010 DJP belum menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak maka permohonan restitusi dianggap
dikabulkan dan paling lambat tanggal 30 Mei 2010 harus diterbitkan
SKPLB.

9.2.2. Wajib Pajak dengan kriteria tertentu

Ketentuan mengenai permohonan pengembalian kelebihan


pembayaran pajak oleh Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur
dalama Pasal 17C, yaitu sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu
adalah Wajib Pajak dengan kriteria;
a) tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;

b) tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak,


kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak;

c) Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau


lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan
pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun
berturut-turut; dan

d) tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di


bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5
(lima) tahun terakhir.

2. Wajib Pajak dengan kriteria tertentu ditetapkan dengan


Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
3. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling
lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap
untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan
Nilai.
4. Wajib Pajak dengan kriteria tertentu tidak dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
apabila:
a. terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan;

b. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk


suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;

c. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk


suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu)
tahun kalender; atau

d. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

5. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap


Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, dan menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak, setelah melakukan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak.
6. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, Dirjen Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah
kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pembayaran pajak.
Contoh:

PT LMN adalah WP badan yang ditetapkan DJP sebagai WP dengan


kriteria tertentu. PT LMN menyampaikan SPT Tahunan 2008 pada
tanggal 30 April 2009 yang menyatakan lebih bayar dengan rincian
sbb:
Penghasilan Neto Rp1.000.000.000,00

PPh terutang Rp 282.500.000,00

Kredit Pajak (Rp 482.500.000,00)

Pajak yang lebih dibayar (Rp 200.000.000,00) Atas


kelebihan tersebut WP mengajukan permohonan restitusi. Setelah
dilakukan penelitian diterbitkan SKPPKP pada tanggal 20 Juli 2009
dengan jumlah restitusi sesuai permohonan.
Apabila misalnya DJP melakukan pemeriksaan pada tanggal 10
Agustus 2009 dan ditemukan ketidakbenaran sehingga PPh
terutang menjadi Rp312.500.000,00. Atas kekurangan pembayaran
pajak tersebut diterbitkan SKPKB, dengan rincian sbb:
Jumlah Pokok Pajak Rp312.500.000,00 Jumlah Kredit
Pajak (482,5juta – 200juta) Rp282.500.000,00 Jumlah
Kekurangan Pokok Pajak Rp 30.000.000,00 Sanksi adm. Pasal 17C
(5) (100%) Rp 30.000.000,00 Jumlah
yang masih harus dibayar Rp 60.000.000,00

9.2.3. Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu

Ketentuan mengenai permohonan pengembalian kelebihan


pembayaran pajak bagi Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan
tertentu diatur dalam Pasal 17D UU KUP jo Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007, yaitu sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu adalah :
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas;

b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau


pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan
jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu, yaitu:

(1) Jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT


Tahunan PPh sama dengan batasan peredaran usaha WP
Orang Pribadi yang diperbolehkan menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto (peredaran usaha kurang
dari Rp1,8milyar dalam satu tahun);
(2) Jumlah lebih bayar menurut SPT Tahunan PPh kurang dari
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);atau

(3) Jumlah lebih bayar menurut SPT Tahunan PPh paling


banyak 0,5% (setengah persen) dari jumlah peredaran
usaha sebagaimana dimaksud pada angka 1)

c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan


jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu, yaitu:

(1) Jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT


Tahunan PPh paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah);dan

(2) Jumlah lebih bayar menurut SPT Tahunan PPh kurang dari
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah
penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah
tertentu, yaitu:

(1) Jumlah peredaran yang tercantum dalam SPT Masa PPN


untuk suatu Masa Pajak paling banyak
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah);dan

(2) Jumlah lebih bayar menurut SPT Masa PPN paling banyak
Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah)

2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas


permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan
sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Pertambahan Nilai.
3. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu dan
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak setelah melakukan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
4. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah
pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
9.3. Kelebihan pembayaran pajak akibat terdapat pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang.
Dalam hal terdapat pembayaran pajak yang tidak seharusnya
terutang yaitu terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan yang dapat
berupa; a) terlalu besar dipotong/dipungut, b) seharusnya tidak
dipotong/tidak dipungut, dan pajak yang salah dipotong/dipungut tsb telah
disetorkan dan dilaporkan, maka pajak yang salah dipotong atau dipungut tsb
dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong/dipungut. Direktur
Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak,
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Lihat subbab 8.3.3.

9.4. Latihan

1. Jelaskan sebab-sebab terjadinya kelebihan pembayaran pajak!

2. Jelaskan secara ringkas bagaimana Wajib Pajak memperoleh haknya atas


kelebihan pembayaran pajak!

9.5. Rangkuman

Kelebihan pembayaran pajak dapat terjadi karena: kredit pajak lebih


besar daripada pajak yang terutang sebagaimana dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan; atau karena terdapat pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang.
Permohonan restitusi sebagai akibat dari SPT yang menyatakan
kelebihan pembayaran pajak, tata cara dan prosedurnya dibedakan dalam 3
jenis Wajib Pajak, yaitu: a) Selain Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan
Wajib Pajak yg memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 17B); b) Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu (Pasal 17C); dan c) Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu (Pasal 17D).
Dalam hal terdapat pembayaran pajak yang tidak seharusnya
terutang, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran
pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

9.6. Test Formatif


Instruksi : Jawab B bila “Benar” dan S bila “Salah”.

1. B -- Setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak atas permohonan


S restitusi akibat kekeliruan pemotongan pajak dapat diterbitkan
SKPLB.
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu memperoleh hak
2. B -- pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dengan
S penerbitan SKPLB.
Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak diberikan
kepada WP dengan kriteria tertentu setelah dilakukan
3. B -- pemeriksaan.
S Setiap permohonan restitusi harus dilakukan pemeriksaan sebelum
diterbitkan skp.

4. B --
S
5. B -- Selain WP dengan kriteria tertentu atau WP yang memenuhi
S persyaratan tertentu, permohonan kelebihan pembayaran pajak
dalam SPT paling lama 12 bulan sejak permohonan diterima lengkap
harus diterbitkan skp.
Terhadap setiap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan
6. B -- kelebihan pembayaran pajak akan diterbitkan SKPLB.
S Salah satu kriteria Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah
7. B -- tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan.
S Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang
8. B -- telah diberikan pengembalian pendahuluan terdapat kekurangan
S pembayaran pajak maka dapat dikenai sanksi administrasi berupa
kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. Apabila
terhadap permohonan restitusi yang sudah diterbitkan SKPPKP
dilakukan pemeriksaan dan berdasarkan hasil
9. B -- pemeriksaan terdapat kekurangan pembayaran pajak akan
S diterbitkan SKPKBT.
Permohonan restitusi adalah hak Wajib Pajak yang diperoleh
setelah mengajukan permohonan.

10. B --
S

9.7. Umpan Balik dan tindak lanjut

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban yang terdapat di


bagian akhir Modul. Hitunglah jawaban Anda yang benar. Kemudian gunakanlah
rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi
ini.
Rumus:
Jumlah Soal Yang Dijawab Dengan Benar
Nilai = ---------------------------------------------------- x 100%
Jumlah Soal
Dengan hasil penghitungan itu dapat dilakukan klasifikasi penilaian yaitu:
a. Bila > 80%, Sangat Baik
b. Bila 70% - 79%, Baik
c. Bila 60% - 69%, Cukup
d. Bila < 60%, Kurang

Bila Anda mencapai penguasaan di atas 70% atau lebih, Anda dapat
meneruskan ke Kegiatan Belajar 9, apabila belum supaya memperdalam terlebih
dahulu Kegiatan Belajar 8.
10. Kegiatan Belajar 9

PENAGIHAN PAJAK

Indikator:

 Peserta mampu memahami pengertian penagihan pajak

 Peserta mampu menjelaskan pengertian hak mendahului

 Peserta mampu menghitung bunga penagihan

Penagihan pajak adalah kewenangan yang dimiliki Fiskus untuk menagih


utang pajak yang tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak yang dilakukan dengan
prosedur tertentu berdasarkan Undang-Undang. Terhadap utang pajak yang
timbul yang tidak dilunasi dalam jangka waktunya akan dilakukan penagihan
pajak. Penagihan dilakukan terhadap penanggung pajak yaitu yang
bertanggungjawab atas pembayaran pajak baik secara pribadi maupun renteng.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penagihan pajak dengan Surat Paksa diatur
dalam UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 19 Tahun 2000.

10.1. Dasar Penagihan Pajak

Yang menjadi dasar penagihan pajak berdasarkan Pasal 18 UU KUP


adalah Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah.

10.2. Objek Penagihan Pajak

Objek penagihan pajak berdasarkan UU KUP adalah utang pajak


yaitu jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali
yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai
dengan jangka waktunya. Yang dimaksud dengan tidak dibayar sesuai
dengan jangka waktunya adalah:
tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran;
tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan
pembayaran;
tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak.

Atas utang pajak tersebut selanjutnya akan dilakukan penagihan


dengan Surat Paksa, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 20 ayat 1
bahwa: “Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar
bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a)
dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.”

10.3. Penanggung Pajak

Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung


jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (Pasal 1 angka 28 UU KUP). Dalam Pasal 32
ayat 2 UU KUP dinyatakan bahwa yang bertanggungjawab secara pribadi
dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang adalah wakil
dari Wajib Pajak yaitu:
a. badan oleh pengurus;
b. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk
melakukan pemberesan;
d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya,
pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam
pengampuan oleh wali atau pengampunya,
kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal
Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin
untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
Termasuk dalam pengertian pengurus adalah orang yang nyata-nyata
mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.

10.4. Bunga Penagihan

Pasal 19 ayat 1 UU KUP menyatakan bahwa: ”Apabila Surat Ketetapan


Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak
yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan
tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh
tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat
Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Penjelasan dari Pasal 19 ayat 1 UU KUP beserta contohnya adalah

sbb:

Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan


jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada
saat jatuh tempo pelunasan atau terlambat dibayar.
Contoh:
a. Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar sebesar Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7
Oktober 2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008.
Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008
Rp6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan
Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar =Rp10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan =Rp 6.000.000,00(-)
Kurang dibayar =Rp 4.000.000,00
Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00) =Rp 80.000,00

b. Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada
huruf a, Wajib Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan
pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi
berupa bunga dihitung sebagai berikut:

Pajak yang masih harus dibayar = Rp10.000.000,00


Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan = Rp10.000.000,00
Kurang dibayar = Rp 0,00
Bunga 1 (satu) bulan
(1 x 2% x Rp10.000.000,00) = Rp 200.000,00

10.5. Penagihan Seketika dan Sekaligus

Ketentuan mengenai penagihan seketika dan sekaligus terdapat


dalam Pasal 20 ayat 2 UU KUP. Yang dimaksud dengan “penagihan
seketika dan sekaligus” adalah tindakan penagihan pajak yang
dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa
menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang
pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak. Penagihan
seketika dan sekaligus dilakukan apabila:

a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-


lamanya atau berniat untuk itu;

b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang


dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan
perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;

c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan


badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau
memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya,
atau melakukan perubahan bentuk lainnya;

d. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau

e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan.
10.6. Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 20 ayat 3 UU
KUP). Ketentuan yang dimaksud adalah UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 19 Tahun 2000.

10.7. Hak Mendahulu

Ketentuan mengenai hak mendahulu yang dimiliki negara dalam


pelunasan utang pajak dibanding kreditur lainnya diatur dalam Pasal 21 UU
KUP yaitu sbb:
1. Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-
barang milik Penanggung Pajak.
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang
dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik
Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran
kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
2. Ketentuan tentang hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi
administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan
pajak.
3. Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu
lainnya, kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman
untuk melelang suatu brg bergerak dan/atau brg tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang
dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan
penyelesaian suatu warisan.
4. Dalam hal WP dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator,
likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan dilarang membagikan harta WP dalam pailit, pembubaran
atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum
menggunakan harta tsb untuk membayar utang pajak WP tsb.
5. Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak
tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah.
6. Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:

a) dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi


maka jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
b) dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan
angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut
dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.

10.8. Daluwarsa Penagihan

Ketentuan mengenai daluwarsa penagihan pajak dan tertangguhnya


daluwarsa tersebut diatur dalam Pasal 22 yaitu sbagai berikut:
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui
waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.

(2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Paksa;

b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun
tidak langsung;

c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(4); atau

d. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

10.9. Latihan

1) Jelaskan apa objek penagihan pajak itu?

2) Apa yang dimaksud dengan Penanggung Pajak?

3) Apa yang dimaksud dengan Penagihan Seketika dan Sekaligus?

4) Diatur di mana ketentuan mengenai penagihan pajak dengan Surat


Paksa?

10.10. Rangkuman

Yang menjadi dasar penagihan pajak berdasarkan Pasal 18 UU KUP


adalah Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah.
Objek penagihan pajak berdasarkan UU KUP adalah utang pajak
yaitu jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar
bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan
jangka waktunya.
Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan
UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000.
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu
5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali.

10.11. Test Formatif

Instruksi: Jawab B apabila pernyataan “Benar” dan S apabila “Salah”

1. B -
-S

5. B -- S

2. B -
-S

6. B -- S
3. B -
-S

4. B -
-S
Yang menjadi masih harus dibayar bertambah. Penagihan seketika dan sekaligus
dasar penagihan dilakukan apabila Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia
pajak berdasarkan untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu.
Pasal 18 UU KUP Ketentuan lebih lanjut mengenai penagihan pajak dengan Surat
adalah Surat Paksa diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Tagihan Pajak, Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir
Surat Ketetapan dengan UU Nomor 19 Tahun 2000.
Pajak Kurang Bayar, Yang dimaksud dengan penagihan seketika dan sekaligus adalah
serta Surat tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak
Ketetapan Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
Kurang Bayar pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis
Tambahan, dan pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Surat Keputusan Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 10 tahun sejak
tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Pembetulan, Surat
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Keputusan
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Keberatan,
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan
Putusan Banding,
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
serta Putusan
Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu
Peninjauan
lainnya, kecuali terhadap biaya perkara yang hanya disebabkan
Kembali, yang
oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak
menyebabkan
dan/atau barang tidak bergerak.
jumlah pajak yang
7. B -- Pengurus dari Wajib Pajak badan bertanggungjawab terhadap
S pembayaran pajak yang terutang.

8. B - Ketentuan mengenai hak mendahulu hanya terhadap pokok


-S pajaknya saja tidak atas sanksi administrasi.
9. B - Surat Tagihan Pajak bukan merupakan Dasar Penagihan Pajak. Negara
-S mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen.
10. B -
-S

10.12. Umpan Balik dan tindak lanjut

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban yang terdapat di bagian


akhir Modul. Hitunglah jawaban Anda yang benar. Kemudian gunakanlah rumus di
bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi ini. Rumus:
Jumlah Soal Yang Dijawab Dengan Benar

Nilai = ---------------------------------------------------- x 100%

Jumlah Soal

Dengan hasil penghitungan itu dapat dilakukan klasifikasi penilaian yaitu:

a. Bila > 80%, Sangat Baik

b. Bila 70% - 79%, Baik

c. Bila 60% - 69%, Cukup

d. Bila < 60%, Kurang


Bila Anda mencapai penguasaan di atas 70% atau lebih, Anda dapat
meneruskan ke Kegiatan Belajar 10, apabila belum supaya memperdalam terlebih
dahulu Kegiatan Belajar 9.
11. Kegiatan Belajar 10

SENGKETA PAJAK

Indikator:

 Peserta mampu menjelaskan pengertian sengketa pajak

 Peserta mampu menjelaskan upaya hukum yang dapat dilakukan apabila terjadi sengketa
pajak
 Peserta mampu menjelaskan konsekuensi hukum akibat diajukan keberatan dan banding
terhadap pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB atau SKPKBT

11.1. Pengertian Sengketa Pajak

Yang dimaksud dengan sengketa pajak dalam bab ini adalah sengketa
pajak sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 UU Pengadilan
Pajak, yaitu: ”sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib
Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan
kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”

Sengketa pajak timbul antara dua pihak yaitu Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang dalam hal ini Direktur
Jenderal Pajak. Sengketa timbul akibat dikeluarkannya suatu keputusan
yang dikeluarkan Direktur Jenderal Pajak sesuai kewenangan yang
dimilkinya berdasarkan UU KUP dan terhadap keputusan tersebut Wajib
Pajak atau Penanggung Pajak merasa tidak puas yang selanjutnya
mengajukan upaya hukum sesuai UU KUP. Selanjutnya, penyelesaian
sengketa pajak yang demikian hanya bermuara pada Banding atau Gugatan
di Pengadilan Pajak.
11.2. Penyelesaian Sengketa Pajak

Terhadap setiap keputusan yang dikeluarkan Fiskus yang


menyangkut Wajib Pajak atau Penanggung Pajak berpotensial menimbulkan
sengketa pajak apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak merasa tidak puas
terhadap keputusan tersebut dan sepanjang keputusan tersebut dapat
diajukan Banding atau Gugatan. Dalam pengertian ini muara penyelesaian
sengketa pajak hanya melalui Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak.
Meskipun demikian sebelum sampai kepada Pengadilan Pajak “sengketa
pajak” bisa saja diselesaikan terlebih dahulu di Direktorat Jenderal Pajak
untuk beberapa keputusan. Selain itu terdapat juga sengketa pajak yang
penyelesaiannya di lakukan pada tingkat Mahkamah Agung, yaitu
peninjauan kembali. Dengan pengertian seperti ini, maka penyelesaian
sengketa pajak bisa diselesaikan di Direktorat Jenderal Pajak (sebelum ke
Pengadilan Pajak), atau di Pengadilan Pajak. Sementara itu untuk upaya
hukum luar biasa berupa peninjauan kembali diselesaikan di Mahkamah
Agung.

11.3. Penyelesaian di Direktorat Jenderal Pajak “sebelum” ke


Pengadilan Pajak
Penyelesaian sengketa pajak yang dapat diselesaikan di Direktorat Jenderal
Pajak atau penyelesaiannya menjadi kewenangan Direktur Jenderal Pajak,
berdasarkan UU KUP terdiri dari: pembetulan suatu keputusan, pengurangan
atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan
ketetapan pajak, pengurangan/pembatalan STP, dan pembatalan hasil
pemeriksaan atau SKP hasil pemeriksaannya. Rinciannya adalah sebagai
berikut:

11.3.1. Pembetulan suatu keputusan


Pasal 16 ayat UU KUP menyatakan bahwa: “Atas permohonan
Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat
membetulkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga,
yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung,
dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka
menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila
terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu
dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan
tersebut tidak mengandung persengketaan antara Fiskus dan Wajib
Pajak.
Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh Fiskus
maupun berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau
kekeliruan tersebut harus dibetulkan.
Pengertian ”membetulkan” pada ayat ini, antara lain,
menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung
pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung,
dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi
permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena
jabatan.

a) Keputusan yang dapat dibetulkan

Keputusan yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau


kekeliruan adalah sebagai berikut:
a. Surat Ketetapan Pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar;
b. Surat Tagihan Pajak;

c. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;


d. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
e. Surat Keputusan Pembetulan;

f. Surat Keputusan Keberatan;

g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;

h. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;

i. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau

j. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.

b) Jenis kekeliruan atau kesalahan yang dapat dibetulkan

Ruang lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini


terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a. kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa
nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor Surat
Ketetapan Pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan
tanggal jatuh tempo;
b. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari
penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian
dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
c. kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan
dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan
penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak
Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam
tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak.
c) Jangka waktu keputusan pembetulan

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama

6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan


diterima, harus memberi keputusan atas permohonan
pembetulan yang diajukan Wajib Pajak (Pasal 16 ayat 2).
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi


suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan
tersebut dianggap dikabulkan (Pasal 16 ayat 3).
Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak
wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal
yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian
permohonan Wajib Pajak tersebut (Pasal 16 ayat 4).

11.3.2. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi

Kewenangan Dirjen Pajak untuk melakukan pengurangan


atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan diberikan oleh Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP yang
berbunyi: “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas
permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan
Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.”
Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang
dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian
petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah
atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian,
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah
ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Sebagai peraturan pelaksanaan diterbitkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 21/PMK.03/2008, dengan pengaturan sebagai
berikut:
1> Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan
yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya meliputi sanksi administrasi berupa bunga, denda,
dan/atau kenaikan, yang tercantum dalam:
a> Surat Tagihan Pajak

b> Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); atau

c> Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).


b. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang
tercantum dalam SKPKB atau SKPKBT, hanya dapat dilakukan
dalam hal Surat Ketetapan Pajak tersebut:

i. tidak diajukan keberatan;

ii. diajukan keberatan tetapi telah dicabut oleh Wajib Pajak;


atau

iii. diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan.


c.Permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi tersebut harus memenuhi persyaratan sbb:

i. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Tagihan Pajak,


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan;

ii. Permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa


Indonesia dengan memberikan alasan yang mendukung
permohonannya;

iii. Permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak


tempat WP terdaftar;

iv. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang terutang; dan

v. Surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan


dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib
Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat
kuasa khusus.
d. Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak
dapat dipertimbangkan;

e. Permohonan hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak


2 (dua) kali;

f. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan kedua,


permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal keputusan Dirjen Pajak atas
permohonan yang pertama dikirim;

g. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6


(enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus
memberi keputusan atas permohonan yang diajukan;

h. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat tetapi Direktur


Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Dirjen Pajak harus
menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan yang
diajukan;

i. Keputusan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dapat berupa


mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak
permohonan Wajib Pajak;

j. Apabila diminta oleh WP, Dirjen Pajak wajib memberikan


keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk
menolak atau mengabulkan sebagian permohonan WP.

k. Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat mengurangkan


atau menghapuskan sanksi administrasi dalam Surat Tagihan
Pajak yang diterbitkan sebagai akibat dari:

i. diterbitkannya surat ketetapan pajak karena Pengusaha


Kena Pajak tidak membuat faktur pajak; dan

ii. penerapan ketentuan Pasal 19 ayat 1 UU KUP (bunga


penagihan terlambat melunasi utang pajak)

l. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tersebut


dilakukan apabila diterbitkan SK Pembetulan, SK
Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar,
atau SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali, yang mengakibatkan pajak yang masih
harus dibayar berkurang atau dibatalkan.
11.3.3. Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak,

Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan


pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak diatur dalam Pasal 36
ayat (1) huruf b, yang berbunyi: ”Direktur Jenderal Pajak karena
jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan
atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar.”

Direktur Jenderal Pajak berlandaskan unsur keadilan dapat


mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak
benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya
karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat
keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material
terpenuhi.

Sebagai peraturan pelaksanaan diterbitkan Peraturan Menteri


Keuangan Nomor 21/PMK.03/2008, dengan pengaturan sebagai
berikut:
1. Permohonan untuk memperoleh pengurangan atau pembatalan
ketetapan pajak yang tidak benar dapat diajukan oleh Wajib
Pajak dalam hal:
i. Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan;

ii. Wajib Pajak mengajukan keberatan tetapi kemudian mencabut


pengajuan keberatan tersebut; atau

iii. Wajib Pajak mengajukan keberatan, tetapi tidak


dipertimbangkan.

2. Permohonan harus memenuhi persyaratan sbb:

a) 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Ketetapan Pajak;

b) Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;

c) Mencantumkan jumlah pajak yang seharusnya terutang


menurut penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan
yang mendukung permohonannya;
d) Disampaikan ke KPP tempat WP terdaftar; dan

e) Dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib


Pajak surat permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa
khusus.
3. Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak
dapat dipertimbangkan;
4. Permohonan hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak
2 (dua) kali;
5. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan kedua,
permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal keputusan Dirjen Pajak atas
permohonan yang pertama dikirim;
6. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus memberi
keputusan atas permohonan yang diajukan;
7. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat tetapi Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak
dianggap dikabulkan dan Dirjen Pajak harus menerbitkan
keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan.
8. Keputusan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dapat berupa
mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak
permohonan Wajib Pajak;
9. Apabila diminta oleh WP, Dirjen Pajak wajib memberikan
keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk
menolak atau mengabulkan sebagian permohonan WP.

11.3.4. Pengurangan/Pembatalan STP

Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan


pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak terdapat dalam
Pasal 36 ayat (1) huruf c UU KUP yang berbunyi; “Direktur Jenderal
Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar.”
Prosedur dan ketentuan mengenai hal tersebut diatur selain
dalam Pasal 36 juga diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 21/PMK.03/2008 sebagai aturan pelaksanaannya, dengan
rincian sebagai berikut:
1) Permohonan untuk memperoleh pengurangan atau pembatalan
Surat Tagihan Pajak yang tidak benar harus memenuhi
persyaratan sbb:

a> 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Ketetapan Pajak; b>


Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
c> Mencantumkan jumlah pajak yang seharusnya terutang
menurut penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan
yang mendukung permohonannya;
d> Disampaikan ke KPP tempat WP terdaftar; dan

e> Dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib


Pajak surat permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa
khusus.
2) Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak
dapat dipertimbangkan;

3) Permohonan hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak


2 (dua) kali;

4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan kedua,


permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal keputusan Dirjen Pajak atas
permohonan yang pertama dikirim;

5) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)


bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus memberi
keputusan atas permohonan yang diajukan;

6) Apabila jangka waktu tersebut telah lewat tetapi Direktur


Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Dirjen Pajak harus
menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan yang
diajukan.

7) Keputusan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dapat berupa


mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak
permohonan Wajib Pajak;

8) Apabila diminta oleh WP, Dirjen Pajak wajib memberikan


keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk
menolak atau mengabulkan sebagian permohonan WP.
11.3.5. Pembatalan hasil pemeriksaan atau SKP hasil pemeriksaannya

Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak


Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas
permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan
pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan
hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak
tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan
batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat
dipertimbangkan.
Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk membatalkan
hasil pemeriksaan atau Surat Ketetapan Pajak hasil pemeriksaan
terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d, yang berbunyi: ”Direktur
Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak
dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau Surat Ketetapan
Pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:

1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan;


atau

2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.

Prosedur dan ketentuan mengenai hal tersebut diatur selain


dalam Pasal 36 juga diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 21/PMK.03/2008 sebagai aturan pelaksanaannya, dengan
rincian sebagai berikut:
a. Permohonan untuk memperoleh pembatalan hasil pemeriksaan
pajak atau Surat Ketetapan Pajak dari hasil pemeriksaan dapat
diajukan oleh Wajib Pajak dalam hal:
i. Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan;

ii. Wajib Pajak mengajukan keberatan tetapi kemudian


mencabut pengajuan keberatan tersebut; atau

iii. Wajib Pajak mengajukan keberatan, tetapi tidak


dipertimbangkan.

b. Permohonan harus memenuhi persyaratan sbb:

i. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Ketetapan Pajak;


ii. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;

iii. Mencantumkan jumlah pajak yang seharusnya terutang


menurut penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan
yang mendukung permohonannya;
iv. Disampaikan ke KPP tempat WP terdaftar; dan

v. Dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan


Wajib Pajak surat permohonan harus dilampiri dengan surat
kuasa khusus.
c. Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dianggap telah dilaksanakan
apabila Pemeriksa Pajak telah memberikan kesempatan untuk
hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka
pembahasan akhir dan Wajib Pajak tidak menggunakan hak
tersebut sesuai dengan batas waktu yang ditentukan;
d. Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak
dapat dipertimbangkan;
e. Permohonan hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling
banyak 1 (satu) kali.
f. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus memberi
keputusan atas permohonan yang diajukan;
g. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat tetapi Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Dirjen Pajak harus
menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan yang
diajukan;
h. Keputusan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dapat berupa
mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak
permohonan Wajib Pajak;
i. Apabila diminta oleh WP, Dirjen Pajak wajib memberikan
keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk
menolak atau mengabulkan sebagian permohonan WP.

11.3.6. Keberatan

Dalam penjelasan Pasal 25 ayat 1 UU KUP dijelaskan bahwa


apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan
pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya,
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur
Jenderal Pajak. Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau
isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak,
atau pemotongan atau pemungutan pajak.
Ketentuan mengenai keberatan dalam Pasal 25 ayat 1 UU KUP
berbunyi: “Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Direktur Jenderal Pajak atas suatu:

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;


b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;

c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;

d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau

e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga


berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.”

Yang dimaksud dengan "suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu)


keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu)
Masa Pajak atau Tahun Pajak.

Contoh:

Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan


Tahun Pajak 2009 harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu)
surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak tersebut harus
diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.

a) Ketentuan mengenai pengajuan keberatan

Ketentuan dan syarat pengajuan keberatan diatur dalam


Pasal 25 UU KUP jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor
194/PMK.03/2007 adalah sebagai berikut:
1> Keberatan diajukan oleh Wajib Pajak dengan menyampaikan
surat keberatan;
2> Surat keberatan disampaikan oleh Wajib Pajak ke KPP
tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat PKP
dikkukuhkan melalui:
a. penyampaian langsung;

b. pos dengan bukti pengiriman surat; atau

c. cara lain, meliputi: a) melalui perusahaan jasa ekspedisi


atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau b) e-
Filing melalui ASP;
3> Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat
keberatan harus memenuhi syarat sbb:
a) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b) mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau
jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah
rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai
alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
c) 1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu)
Surat Ketetapan Pajak, untuk 1 (satu) pemotongan pajak,
atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
d) Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus
dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib
Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
e) diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
dikirim Surat Ketetapan Pajak atau sejak tanggal
pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga
kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka
waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur); dan
f) surat keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan
dalam hal surat keberatan ditandatangani oleh bukan
Wajib Pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri
dengan surat kuasa khusus;
4> Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut
bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan
Keberatan;
5> Pengajuan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan
dan tidak diterbitkan SK Keberatan diberitahukan secara
tertulis kepada WP;
6> Dalam hal surat keberatan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak belum memenuhi persyaratan, Wajib Pajak dapat
menyampaikan perbaikan surat keberatan dengan
melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sebelum
jangka waktu 3 (tiga) bulan dimaksud terlampaui;
7> Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan perbaikan surat
keberatan, tanggal penyampaian perbaikan surat keberatan
merupakan tanggal surat keberatan diterima;
8> Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama

12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan


diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan;
9> Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat
berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak,
atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus
dibayar;
10> Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan
Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan
Keberatan, keberatan yang diajukan Wajib Pajak dianggap
dikabulkan dan Direktur Jenderak Pajak wajib menerbitkan
Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib
Pajak;
11> Untuk keperluan pengajuan keberatan, Wajib Pajak dapat
meminta kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memberi
keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
pengenaan pajak atau penghitungan rugi;
12> Direktur Jenderal Pajak wajib memberi keterangan yang
diminta oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama
20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permintaan Wajib
Pajak diterima;
13> Jangka waktu pemberian keterangan oleh Dirjen Pajak atas
permintaan WP tersebut tidak menunda jangka waktu
pengajuan keberatan.
b) Jangka waktu pelunasan pajak akibat pengajuan keberatan

Persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah


harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban
perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak pada saat
pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut harus
dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan. Hal ini
diatur dalam Pasal 25 ayat 3a yang berbunyi:”Dalam hal Wajib
Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak, Wajib
Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling
sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan
disampaikan.”
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka
waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
3 (satu bulan sejak tanggal diterbitkan SKPKB atau SKPKBT) atau
ayat 3a (jangka waktu pelunasan bagi WP usaha kecil dan WP di
daerah tertentu) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan
sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan (Pasal 25 ayat
7 UU KUP).
Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak
menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per
bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan
atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan.
Contoh:

Setelah dilakukan pemeriksaan atas SPT PPh badan tahun 2008


atas nama PT ABC diterbitkan SKPKB tertanggal 10 Oktober
2009 dengan rincian sbb: Jumlah Pokok Pajak
Rp120.000.000,00
Jumlah kredit pajak Rp100.000.000,00
Jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak Rp20.000.000,00

Besarnya sanksi administrasi (2% x 10 bulan)Rp 4.000.000,00


Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp 24.000.000,00 Misalkan
dalam pembahasan akhir, PT ABC hanya menyetujui jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak sebesar Rp5.000.000,00.
Dalam hal PT ABC mengajukan keberatan maka PT ABC wajib
melunasi pajak yang masih harus dibayar yang telah disetujui
yaitu sebesar Rp6juta {Rp5juta + (20% x Rp5juta)} sebelum
surat keberatan disampaikan. Jumlah pajak yang belum dibayar
pada saat mengajukan keberatan yaitu sebesar Rp18juta,
tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan SK
Keberatan.
Sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan (Pasal 19) atas
jumlah Rp18juta tidak diberlakukan.
Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat 9 UU KUP dinyatakan
bahwa “Dalam hal keberatan WP ditolak atau dikabulkan
sebagian, WP dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.”
Contoh:

Misalkan keberatan PT ABC pada kasus di atas ditolak dengan SK


Keberatan tanggal 20 Februari 2009, maka atas jumlah pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang
telah dibayar sebelum mengajukan keberatan yaitu Rp18juta
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% atau
Rp9juta. Jatuh tempo pelunasan kekurangan
pembayaran pajak ditambah sanksi administrasi (Rp27juta)
dalam SK Keberatan tersebut adalah tanggal 19 Maret 2009.
Apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan banding maka
sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh
persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.
(Pasal 25 ayat 10 KUP)
11.4. Penyelesaian di Pengadilan Pajak

Penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak yaitu berupa


banding dan gugatan.

11.4.1. Banding

Upaya hukum selanjutnya yang dimiliki Wajib Pajak dalam hal


tidak puas dengan keputusan keberatan yang diterbitkan Fiskus
adalah mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak
sebagaimana tertera dalam Pasal 27 ayat 1 UU KUP bahwa: “Wajib
Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan
peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).”
Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
Wajib Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan
Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku (Pasal 1 angk 6 UU Pengadilan Pajak. Yang dapat
diajukan banding oleh Wajib Pajak adalah Surat Keputusan
Keberatan.
Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak
Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan
Surat Keputusan Keberatan tersebut {Pasal 27 ayat 3}.
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan
permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan
keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat
Keputusan Keberatan yang diterbitkan (Pasal 27 ayat 4a UU KUP).

A) Jangka waktu pelunasan SK Keberatan dalam hal WP


mengajukan banding
Bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu
pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan
atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat 5a
bahwa: ”Dalam hal WP mengajukan banding, jangka waktu
pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3),
ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum
dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan
Banding.”
Contoh:

Misalkan PT ABC pada contoh sebelumnya mengajukan


banding, maka kekurangan pembayaran pajak (Rp18juta),
tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan
Putusan Banding.
Sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan (Pasal 19) atas
jumlah Rp18juta tidak diberlakukan.
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau
dikabulkan sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa
akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak
tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana
dimaksud pada ayat ini. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
27 ayat 5d UU KUP bahwa: “Dalam hal permohonan banding
ditolak atau dikabulkan sebagian, WP dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.”
Contoh:

Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar


(SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar
Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya
menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar
Rp200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB
tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan
keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak
mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah
pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar
Rp750.000.000,00.
Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan
oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih
harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam hal ini
baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi
administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25
ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar
100% x (Rp450.000.000,00 – Rp200.000.000,00) =
Rp250.000.000,00.

B) Putusan Banding

Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak


atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang
diajukan oleh Wajib Pajak (Pasal 1 angka 31 UU KUP).
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan
khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara
{Pasal 27 ayat 2 UU KUP}. Sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam penjelasan Pasal
15 ayat 1 yang menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan
“pengadilan khusus” dalam ketentuan ini antara lain … pengadilan
pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.”

11.4.2. Gugatan

Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh


Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan
Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku (Pasal 1 angka 7 UU Pengadilan Pajak).

Mengenai gugatan diatur dalam Pasal 23 ayat 2 UU KUP


yaitu sbb:” Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:

a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan


Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;

b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;


c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan
perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan
Pasal 26; atau

d. penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan


Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan
prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan

hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.”

11.5. Penyelesaian di Mahkamah Agung, “setelah” di Pengadilan


Pajak

Upaya hukum berikutnya yang merupakan upaya hukum luar biasa


yang dapat dilakukan baik oleh Wajib Pajak maupun Fiskus adalah
peninjauan kembali. Peninjauan kembali diatur dalam UU Pengadilan Pajak,
yaitu sbb:
Pasal 77 ayat 3:
“Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas
putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.”
Pasal 91:

Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan


alasan-alasan sebagai berikut:

a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan


atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus
atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu;

b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat


menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di
Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda;

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari
pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1)
huruf b dan c;

d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa


dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau

e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

11.6. Latihan

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan sengketa pajak!


2. Dalam hal apa pembetulan surat keputusan dapat dilakukan?
3. Dalam hal apa pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
dapat dilakukan?
4. Jelaskan dalam hal apa Dirjen Pajak dapat membatalkan Surat
Ketetapan Pajak?
5. Dalam hal apa hasil pemeriksaan dan skp-nya dapat dibatalkan!
6. Apa saja yang dapat diajukan keberatan oleh Wajib Pajak?
7. Apa saja yang dapat diajukan banding?
8. Apa saja yang dapat diajukan gugatan?

11.7. Rangkuman

Sengketa pajak dalam bab ini adalah sengketa yang timbul dalam
bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan
pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa (Pasal 1 angka 5 UU Pengadilan Pajak).
Penyelesaian sengketa pajak pada prinsipnya bisa diselesaikan di
Direktorat Jenderal Pajak, atau Pengadilan Pajak. Sementara itu untuk
upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali diselesaikan di
Mahkamah Agung.
Penyelesaian sengketa pajak yang dapat diselesaikan di Direktorat
Jenderal Pajak atau penyelesaiannya menjadi kewenangan Direktur
Jenderal Pajak, berdasarkan UU KUP terdiri dari: a) pembetulan suatu
keputusan; b) pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; c)
pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak; d) pengurangan atau
pembatalan surat tagihan pajak; e) pembatalan hasil pemeriksaan dan skp-
nya; dan f) keberatan.
Penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak terdiri dari
gugatan dan banding.

11.8. Test Formatif

Instruksi: Jawab B apabila pernyataan “Benar” dan S apabila “Salah”

1. B -- Terhadap penerbitan SK Keberatan tidak dapat diajukan Gugatan.


S Terhadap SKPKB dapat langsung diajukan Banding.
2. B --
S
3. B --
S Banding dan Gugatan adalah sengketa pajak yang diselesaikan di
4. B -- Pengadilan Pajak.
S Terhadap kesalahan hitung atau kesalahan tulis dalam SKPKB
dapat dilakukan pembetulan baik melalui permohonan maupun
secara jabatan.
5. B -- Dasar pertimbangan pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak
S benar adalah asas keadilan.
6. B -- Peninjauan Kembali diajukan ke Pengadilan Pajak.
S
7. B --
S Meskipun Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SKPKB namun atas
jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB tersebut tetap
8. B -- wajib dibayar.
S Terhadap Surat Tagihan Pajak dapat diajukan keberatan kepada
9. B -- Dirjen Pajak.
S Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di
10. B -- lingkungan peradilan tata usaha negara.
S Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak atas
pemotongan PPh Pasal 23 oleh pihak ketiga.

11.9. Umpan Balik

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban yang terdapat di bagian


akhir Modul. Hitunglah jawaban Anda yang benar. Kemudian gunakanlah rumus di
bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi ini. Rumus:
Jumlah Soal Yang Dijawab Dengan Benar

Nilai = ---------------------------------------------------- x 100%


Jumlah Soal

Dengan hasil penghitungan itu dapat dilakukan klasifikasi penilaian yaitu:

a. Bila > 80%, Sangat Baik

b. Bila 70% - 79%, Baik

c. Bila 60% - 69%, Cukup

d. Bila < 60%, Kurang

Bila Anda mencapai penguasaan di atas 70% atau lebih, Anda dapat
meneruskan ke Kegiatan Belajar 11, apabila belum supaya memperdalam terlebih
dahulu Kegiatan Belajar 10.
12. Kegiatan Belajar 11

IMBALAN BUNGA

Indikator:

 Peserta mampu menjelaskan sebab-sebab timbulnya imbalan bunga

 Peserta mampu menghitung besarnya imbalan bunga

Imbalan bunga adalah hak yang dimiliki Wajib Pajak apabila terdapat
kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atau
diterbitkannya keputusan pembetulan, keputusan pengurangan, atau keputusan
pembatalan atas Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang
keputusannya mengabulkan sebagian atau seluruhnya atau diterbitkannya
keputusan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Hak ini bersifat
otomatis artinya dapat diperoleh Wajib Pajak tanpa melaui suatu permohonan
ataupun pemberitahuan.
Ketentuan mengenai imbalan bunga diatur dalam Pasal 27A UU KUP jo
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.03/2007 sebagaimana diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2011.
Imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat:

a. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 11 ayat (3) UU KUP;
b. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17B ayat 3 UU KUP, yaitu SKPLB yang diterbitkan
setelah jangka waktu satu bulan setelah dalam jangka waktu 12 bulan tidak
diterbitkan surat ketetapan atas permohonan kelebihan pembayaran pajak
dalam SPT;
c. kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat

(1) UU KUP, yaitu terhadap permohonan kelebihan pembayaran pajak

dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan pemeriksaan bukti permulaan


tersebut tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan dengan penyidikan,
tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang
perpajakan; atau dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak
pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
d. kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau
permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27A ayat 1 UU KUP,
e. kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak
mengabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat 1a UU
KUP;
f. kelebihan pembayaran sanksi administrasi berupa denda Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga
Pasal 19 ayat (1) UU KUP karena Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang
mengabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (2) UU
KUP.

12.1. Keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) KUP;

Pasal 11 ayat 3 UU KUP berbunyi: ”Apabila pengembalian


kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan,
Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak,
dihitung sejak batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir
sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan.” Batas waktu
pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 11 ayat 2 UU
KUP dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima.
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dimaksud dalam
ayat tersebut adalah akibat:
 diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sehubungan dengan diterbitkannya SKPLB hasil pemeriksaan atas SPT yang
tidak menunjukkan kelebihan pambayaran pajak {Pasal 17 ayat (1)};
 diterbitkannya SKPLB setelah Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran
pembayaran pajak akibat pembayaran pajak yang tidak seharusnya
terutang {Pasal 17 ayat (2)};
 diterbitkannya SKPLB hasil pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dalam SPT {Pasal 17B};
 diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak atas permohonan kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu {Pasal 17C} atau dari Wajib Pajak yang
memenuhi persyaratan tertentu {Pasal 17D};
 diterbitkannya SK Keberatan, SK Pembetulan, SK Pengurangan Sanksi Adm,
SK Penghapusan Sanksi Adm, SK Pengurangan Ketetapan Pajak, SK
Pembatalan Ketetapan Pajak atau SK Pemberian Imbalan Bunga, atau
diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yg
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
Jangka waktu satu bulan di atas merupakan batas waktu penerbitan
SPMKP (Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak) sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195 tahun 2007.

12.2. Keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak


Lebih Bayar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B
ayat (3) KUP;

Pasal 17B ayat 1 dan ayat 2 UU KUP mengatur bahwa apabila


setelah melampaui jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (untuk selain WP
dengan kriteria tertentu dan WP yang memenuhi persyaratan tertentu)
diterima secara lengkap, Dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan,
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap
dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling
lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
Selanjutnya dalam Pasal 17B ayat 3 UU KUP dinyatakan bahwa:
”Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.”
Yang dimaksud dengan sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 dalam ayat tersebut adalah jangka waktu setelah
satu bulan dari jangka waktu 12 bulan Dirjen Pajak seharusnya memberikan
suatu keputusan terhadap permohonan kelebihan pembayaran pajak.
Dalam Peraturan Menteri Nomor 195 tahun 2007, hal ini ternyata
berlaku juga bagi keterlambatan penerbitan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) yang sesungguhnya tidak diatur
dalam UU KUP. Masa bunga bagi penghitungan imbalan bunga untuk
keterlambatan penerbitan SKPPKP adalah dihitung sejak:
jangka waktu 3 (tiga) bulan berakhir untuk SKPPKP PPh; atau

jangka waktu 1 (satu) bulan berakhir untuk SKPPKP PPN.

Karena tidak diatur dalam UU KUP mengenai jangka waktu dimulainya


penghitungan masa bunga maka imbalan bunga bagi keterlambatan
penerbitan SKPPKP dihitung sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan
tersebut.

12.3.Kelebihan pembayaran pajak karena tertangguh akibat


pemeriksaan bukti permulaan (Pasal 17B ayat 4 UU KUP);

Pasal 17 ayat 1 dan ayat 1a UU KUP mengatur bahwa ketentuan


mengenai keharusan Dirjen Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak paling
lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak (selain WP dengan kriteria tertentu dan selain
WP yang memenuhi persyaratan tertentu) diterima secara lengkap, tidak
berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.
Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana tersebut tidak
sampai pada penuntutan dan dalam hal diterbitkan SKPLB maka Wajib
Pajak tersebut berhak atas imbalan bunga sebagaimana diatur dalam Pasal
17B ayat 4 UU KUP yang berbunyi:
”Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang
perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) tidak dilanjutkan dengan
penyidikan; dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan
penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau dilanjutkan dengan
penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi
diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dalam hal
kepada WP diterbitkan SKPLB, kepada WP diberikan imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan saat diterbitkan
SKPLB, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”

12.4.Kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan


atau permohonan banding atau peninjauan kembali diterima
sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27A ayat (1) KUP;

Imbalan bunga akibat kelebihan pembayaran pajak karena


pengajuan keberatan atau permohonan banding atau peninjauan kembali
diterima sebagian atau seluruhnya diatur dalam Pasal 27A ayat (1) KUP
yang berbunyi:
”Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan
peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak
yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah
dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran
dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan
ketentuan sebagai berikut:

a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali; atau
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali.”

Kelebihan pembayaran pajak karena SK Pembetulan, SK


12.5.
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau SK Pembatalan
Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya
sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1a) UU KUP;

Imbalan bunga akibat kelebihan pembayaran pajak karena SK


Pembetulan, SK Pengurangan Ketetapan Pajak, atau SK Pembatalan
Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya diatur dalam
Pasal 27A ayat (1a) KUP yang berbunyi:
“Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan
Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan
sebagian atau seluruhnya menyebabkan kelebihan pembayaran pajak dengan
ketentuan sebagai berikut:

a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak;

b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak; atau

c. untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang


menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak.”

12.6.Kelebihan pembayaran sanksi administrasi Pasal 14 ayat (4)


dan atau Pasal 19 ayat (1) berdasarkan SK Pengurangan
Sanksi Administrasi atau SK Penghapusan Sanksi Administrasi
sebagai akibat diterbitkan SK Keberatan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan
sebagian atau seluruh permohonan WP, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27A ayat (2) KUP

Selengkapnya Pasal 27A ayat (2) UU KUP berbunyi:


“Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas
pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1) berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi
atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat
diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan
Wajib Pajak.”
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (4) adalah sanksi administrasi 2% dari Dasar Pengenaan Pajak
yang dikenakan terhadap:
 PKP tidak membuat atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat
waktu;
 PKP tidak mengisi faktur pajak secara lengkap;

 PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan


faktur pajak.
Sedangkan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) UU KUP adalah berupa bunga penagihan sebesar
2% per bulan dalam hal jumlah pajak yang masih harus dibayar menurut
ketetapan, pada saat jatuh tempo tidak atau kurang dibayar.

12.7. Latihan

a) Dalam hal apa imbalan bunga dapat diberikan?

b) Bagaimana imbalan bunga pada nomor 1 dihitung?


12.8. Rangkuman

Imbalan bunga adalah hak yang dimiliki Wajib Pajak apabila terdapat
kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atau
diterbitkannya keputusan pembetulan, keputusan pengurangan, atau
keputusan pembatalan atas Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan
Pajak yang keputusannya mengabulkan sebagian atau seluruhnya atau
diterbitkannya keputusan pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi.
Imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat: a)
keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak; b) keterlambatan
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; c) kelebihan pembayaran pajak
karena tertangguh akibat pemeriksaan bukti permulaan;
d) kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan atau
permohonan banding atau peninjauan kembali diterima sebagian atau
seluruhnya; e) Kelebihan pembayaran pajak karena SK Pembetulan, SK
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau SK Pembatalan Ketetapan Pajak yang
dikabulkan sebagian atau seluruhnya; dan f) kelebihan pembayaran sanksi
administrasi Pasal 14 ayat (4) dan atau Pasal 19 ayat (1) berdasarkan SK
Pengurangan Sanksi Administrasi atau SK Penghapusan Sanksi Administrasi
sebagai akibat diterbitkan SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan
WP.

12.9. Test Formatif

Instruksi: Jawab B apabila pernyataan ”Benar” dan S apabila ”Salah”.

1. B -
-S
2. B -
-S

3. B -
-S
4. B - Imbalan bunga adalah hak Wajib Pajak yang diperoleh setelah
-S mengajukan permohonan.
Imbalan bunga dapat diberikan apabila terjadi keterlambatan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (3) UU KUP.
Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya,
selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud
dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang telah dibayar
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran
dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan.
Terhadapat sanksi administrasi dalam STP yang sudah dibayar dan
terhadap STP tersebut diterbitkan SK Penghapusan Sanksi
administrasi tidak dapat diberikan imbalan bunga.
5. B -- Imbalan bunga dapat diberikan terhadap kelebihan pembayaran
S pajak karena Surat Keputusan Pembetulan.
6. B - Imbalan bunga dapat diberikan terhadap SPT yang menyatakan
-S tidak lebih bayar tetapi berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan
SKPLB.
Imbalan bunga dapat diberikan terhadap kelebihan pembayaran
7. B - pajak karena peninjauan kembali diterima sebagian atau
-S seluruhnya.
Batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak
berdasarkan Pasal 11 ayat 2 UU KUP dilakukan paling lama 1
8. B - (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
-S pajak diterima.
Kelebihan pembayaran pajak akibat pembatalan skp tidak dapat
diberikan imbalan bunga.
Imbalan bunga tidak dapat diberikan apabila pemeriksaan atas
9. B - permohonan lebih bayar dilanjutkan ke pemeriksaan bukti
-S permulaan.
10. B -
-S

12.10. Umpan Balik dan tindak lanjut

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban yang terdapat di bagian


akhir Modul. Hitunglah jawaban Anda yang benar. Kemudian gunakanlah rumus di
bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi ini. Rumus:
Jumlah Soal Yang Dijawab Dengan Benar

Nilai = ---------------------------------------------------- x 100%

Jumlah Soal
Dengan hasil penghitungan itu dapat dilakukan klasifikasi penilaian yaitu:

a. Bila > 80%, Sangat Baik

b. Bila 70% - 79%, Baik

c. Bila 60% - 69%, Cukup

d. Bila < 60%, Kurang

Bila Anda mencapai penguasaan di atas 70% atau lebih, Anda dapat
meneruskan ke Kegiatan Belajar 12, apabila belum supaya memperdalam terlebih
dahulu Kegiatan Belajar 11.
13. Kegiatan Belajar 12

TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DAN PENYIDIKAN

Indikator:

 Peserta mampu memahami pengertian tindak pidana di bidang perpajakan

 Peserta mampu memahami pengertian pemeriksaan bukti permulaan

 Peserta mampu memahami pengertian penyidikan pajak

13.1. PENGERTIAN TINDAK PIDANA DAN KETENTUAN PIDANA

Aturan umum mengenai tindak pidana adalah bahwa suatu


perbuatan termasuk dalam kategori tindak pidana apabila perbuatan
tersebut memenuhi kriteria sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang
yang memuat ketentuan mengenai pidana. Hal ini tertera dalam Bab I Pasal
1 ayat 1 KUHP bahwa: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada.” Seseorang tidak dapat dinyatakan melakukan tindak pidana sepanjang
tindakannya itu tidak dapat dibuktikan sebagai tindak pidana sesuai
perumusan dalam ketentuan pidana.
Mengacu pada pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam
bukunya Asas dan Dasar Perpajakan 3, bahwa suatu tindak pidana dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana umum atau tindak pidana khusus.
Tindak pidana khusus diberikan pengertian sebagai tindak pidana yang
diatur tersendiri dalam undang-undang khusus, yang memberikan peraturan
khusus tentang cara penyidikannya, tuntutannya, pemeriksaannya maupun
sanksinya yang menyimpang dari ketentuan yang dimuat dalam KUHP yang
lazimnya lebih ketat dan lebih berat. Definisi tersebut diberikan dengan
tambahan kalimat: jika tidak diberikan ketentuan yang menyimpang, maka
ketentuan KUHP umum tetap berlaku. Pengertian tersebut dan penjelasan
selanjutnya dari buku itu memberikan penekanan pada tata cara penyidikan,
tuntutannya, pemeriksaannya yang khusus sebagai unsur suatu tindak pidana
merupakan tindak pidana khusus. Apabila atas sangkaan suatu tindak pidana
dilakukan penyidikan yang tata caranya tidak mengacu pada KUHP maka
tindak pidana tersebut
merupakan tindak pidana khusus. Termasuk dalam tindak pidana khusus
dalam pemahaman ini adalah tindak pidana korupsi.
Dengan demikian apabila suatu sangkaan tindak pidana dilakukan
penyidikan berdasarkan KUHP maka tindak pidana tersebut merupakan
tindak pidana umum meskipun rumusan tindak pidananya (ketentuan
pidana) tidak diatur dalam KUHP tetapi dalam UU lainnya. Tindak pidana
perpajakan, misalnya, merupakan tindak pidana umum meskipun rumusan
mengenai tindak pidananya diatur dalam undang-undang perpajakan sebab
tata cara penyidikannya mengacu kepada KUHP. Tentang hal ini Prof.
Rochmat Soemitro menulis bahwa tindak pidana di bidang perpajakan
adalah tindak pidana umum yang sanksinya diatur dalam ketentuan khusus
dalam UU Pajak.

13.2. TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

Ketentuan pidana tidak hanya terdapat dalam Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana tetapi dapat dijumpai juga dalam undang-undang
lain seperti UU di bidang perpajakan, UU Bea dan Cukai, UU Imigrasi, UU
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan sebagainya. Timbul pertanyaan
adalah apakah tindak pidana di bidang perpajakan adalah tindak pidana
yang rumusannya ada dalam undang-undang perpajakan saja? Atau apakah
tindak pidana di bidang perpajakan tidak hanya tindak pidana yang
rumusannya ada dalam rumusan undang-undang perpajakan tetapi dalam
ketentuan lain?
Rochmat Soemitro berpendapat bahwa “jika tindak pidana tersebut
dilakukan dalam bidang perpajakan maka dikatakan, bahwa perbuatan itu
merupakan tindak pidana fiskal, walaupun perumusannya tidak terdapat
dalam perundang-undangan pajak”. Apabila kita setuju dengan pendapat ini,
maka penyidik PNS (pejabat DJP) dapat melakukan tindakan penyidikan
atas sangkaan tindak pidana terhadap para tersangka meskipun tindak pidana
yang dilakukan tidak terdapat dalam perumusan undang- undang
perpajakan sepanjang tindakan tersebut dilakukan dalam bidang
perpajakan. Misalkan tentang pemerasan yang dilakukan pegawai pajak.
Dalam UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) tidak
dijumpai ketentuan pidana berkaitan dengan pemerasan. Rumusan
tentang pemerasan dijumpai dalam KUHP. Berdasarkan pengertian di atas
maka tindakan pemerasan yang dilakukan pegawai pajak termasuk dalam
tindak pidana di bidang perpajakan.
Menurut pendapat penulis, meskipun tindak pidana di bidang
perpajakan adalah tindak pidana umum yang tata cara penyidikan dan
tuntutannya dilakukan berdasarkan KUHP namun dalam menentukan
apakah suatu tindak pidana merupakan tindak pidana di bidang perpajakan
adalah dengan melihat apakah tindakan tersebut sesuai kekhususannya
termasuk ke dalam rumusan dalam undang-undang perpajakan. Maka
dalam kasus pemerasan di atas tidak bisa dikategorikan sebagai tindak
pidana di bidang perpajakan karena perumusan pemerasan sebagai tindak
pidana tidak ditemukan dalam undang-undang di bidang perpajakan.
Undang-undang perpajakan yang memuat ketentuan pidana adalah UU
KUP, UU PBB, UU Bea Meterai, UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

13.2.1. TINDAK PIDANA DALAM UU KUP

A. Bagi setiap orang selaku Wajib Pajak

Rumusan tindak pidana bagi setiap orang selaku Wajib


Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya diuraikan
dalam Pasal 38 UU KUP untuk tindakan yang dilakukan karena
kealpaan dan Pasal 39 UU KUP untuk tindakan yang dilakukan
karena sengaja dengan rincian sbb:
 Pasal 38

Setiap orang yang karena kealpaannya:

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau


b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan
yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan
yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A,
didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana
kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu)
tahun.
 Pasal 39

(1) Setiap orang yang dengan sengaja:


a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok
Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak
Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau
tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di
Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak
meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
diselenggarakan secara program aplikasi on-line di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau
dipungut
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1


(satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

(3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan


tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa
hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau
pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang
dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi
yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan
yang dilakukan.

Ketentuan dalam Pasal 39 UU KUP ini berlaku juga bagi


wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang
menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang
menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan (Pasal 43 ayat 1 UU KUP).

B. Bagi setiap orang berkaitan dengan Faktur Pajak

Rumusan tindak pidana bagi setiap orang berkaitan dengan


penerbitan Faktur Pajak diuraikan dalam Pasal 39A dengan rincian
sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja:

a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti


pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti
setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang
sebenarnya; atau
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan


paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6
(enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan
pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Ketentuan dalam Pasal 39A UU KUP ini berlaku juga bagi


wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang
menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang
menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan (Pasal 43 ayat 1 UU KUP).
C. Bagi pejabat

Rumusan tindak pidana bagi pejabat adalah berkaitan


dengan kerahasiaan jabatan yang diuraikan dalam Pasal 41 UU KUP
dengan rincian sebagai berikut:
“(1)Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban
merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah).
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya
atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban
pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang
yang kerahasiaannya dilanggar.”
Seorang pejabat dapat disangka melakukan tindak pidana
berkaitan dengan kealpaan maupun sengaja melalaikan kewajiban
merahasiakan segala sesuatu dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya apabila atas tindakan itu dilakukan pengaduan oleh
orang yang kerahasiaannya dilanggar. Tanpa ada pengaduan pejabat
yang bersangkutan tidak dapat dituntut (delik aduan).

D. Bagi pihak ketiga

Yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak


Bagi pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan
Wajib Pajak seperti bank, akuntan publik, notaris, konsultan
pajak, kantor administrasi wajib memberikan keterangan atau
bukti yang diminta dalam rangka pemeriksaan pajak, penagihan
pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU KUP. Apabila kewajiban ini
dilanggar maka merupakan tindak pidana di bidang perpajakan
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 41A UU KUP yang berbunyi:
“Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti
yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi
dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau
memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).”
Ketetentuan dalam Pasal 41A UU KUP ini berlaku juga bagi
yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang
membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain

Kewajiban memberikan informasi bagi instansi pemerintah,


lembaga, asosiasi dan pihak lain diatur dalam Pasal 35A ayat 1 UU
KUP yang berbunyi:
(1) Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain,
wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan
perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
Apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi maka yang
demikian itu merupakan tindak pidana di bidang perpajakan
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 41C UU KUP yaitu sebagai
berikut:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak


terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling
banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan
informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan
atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan
informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada
negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).

E. Bagi setiap orang yang menghalangi penyidikan

Tindak pidana bagi setiap orang yang menghalangi penyidikan,


seperti menghalangi penyidik melakukan penggeledahan atau
menyembunyikan barang bukti dirumuskan dalam Pasal 41B UU KUP
yaitu sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).”
Ketetentuan dalam Pasal 41A UU KUP ini berlaku juga bagi
yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

13.2.2. TINDAK PIDANA DALAM UU PBB

Ketentuan mengenai tindak pidana dalam UU PBB


dirumuskan dalam Pasal 24 dan Pasal 25 yaitu sebagai berikut: Pasal
24:
Barang siapa karena kealpaannya:

a. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan


Obyek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak;
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan
keterangan yang tidak benar; sehingga menimbulkan kerugian
pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-
lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2
(dua) kali pajak yang terutang.
Pasal 25:

(1) Barang siapa dengan sengaja:

a. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan


Obyek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak;
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi
isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan
keterangan yang tidak benar;

c. memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen


lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;

d. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau


dokumen lainnya;

e. tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan


keterangan yang diperlukan; sehingga menimbulkan
kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya
sebesar 5 (lima) kali pajak yang terhutang.

(2) Terhadap bukan Wajib Pajak yang bersangkutan yang melakukan


tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan huruf
e, dipidana dengan pidana kurungan selama- lamanya 1 (satu)
tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,- (dua juta
rupiah).

(3) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di
bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang
dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan


Pasal 25 ayat (2) adalah pelanggaran. Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) adalah kejahatan.

13.2.3. TINDAK PIDANA DALAM UU BEA METERAI

Perumusan tindak pidana dalam UU tentang Bea Meterai


terdapat dalam Pasal 13 dan Pasal 14 yaitu sebagai berikut:
Pasal 13:

Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang


Hukum Pidana:

a. barangsiapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan


kertas meterai atau meniru dan memalsukan tanda tangan yang
perlu untuk mensahkan meterai;

b. barangsiapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk


diedarkan atau memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu,
yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak;

c. barangsiapa dengan sengaja menggunakan, menjual,


menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau
dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang mereknya,
capnya, tanda-tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya
mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum
dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan
melawan hak;

d. barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas


yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu
kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai.

Pasal 14

(1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b tanpa izin
Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya 7 (tujuh) tahun.

(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah


kejahatan.

13.2.4. TINDAK PIDANA DALAM UU PENAGIHAN PAJAK DENGAN


SURAT PAKSA

Perumusan tindak pidana berkaitan dengan penagihan pajak


dengan Surat Paksa terdapat dalam UU Nomor 19 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, yaitu pasal 41A
dengan rincian sebagai berikut:

Pasal 41A:
(1) Penanggung Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

(2) Apabila pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat


(3) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak
melaksanakan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu dan denda paling
banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak menuruti perintah atau
permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, atau
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan tindakan dalam melaksanakan ketentuan
undang-undang yang dilakukan oleh Jurusita Pajak, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua)
minggu dan denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah)."
13.3. PENYIDIKAN PAJAK

13.3.1. Pemeriksaan Bukti Permulaan

Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang


dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Bukti
Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa
keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk
adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak
pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Pemeriksaan Bukti Permulaan merupakan tindakan
pemeriksaan sebelum dilakukan penyidikan pajak. Ketentuan
mengenai Pemeriksaan Bukti Permulaan diatur dalam Pasal 43A UU
KUP, yaitu sebagai berikut:
(1) Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan,
dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti
permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan.
(2) Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan
yang menyangkut petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri
Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan
Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti
permulaan.
(3) Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana
korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut
wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana
Korupsi.
Ketentuan lebih lanjut mengenbai Tata Cara Pemeriksaan Bukti
Permulaan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
202/PMK.03/2007.

13.3.2. Pengertian Penyidikan

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah


serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya.
Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus
sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan
menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.

13.3.3. Kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana di bidang


perpajakan dan wewenangnya

Penyidik dalam KUHP Pasal 6 ayat 1 adalah :

a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;

b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang


khusus oleh undang-undang.
Untuk tindak pidana di bidang perpajakan penyidikan
dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang wewenangnya diatur dalam UU
KUP.
Kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan diatur dalam Pasal 44 ayat 1 UU KUP yang berbunyi:
“Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat
dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai
penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.”
Wewenang penyidik pajak (Pejabat PNS DJP) diatur dalam
Pasal 44 ayat 2 UU KUP yaitu sebagai berikut:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan
atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih
lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai
orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang
dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau
badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan
penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang
berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau
dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam pelaksanaan tugasnya penyidik pejabat pegawai negeri
sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak berada di bawah
koordinasi penyidik pejabat polisi negara RI yang mempunyai
wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 KUHP yaitu sebagai
berikut:

a. menerima lapran atau pengaduan dari seseorang tentang


adanya tindak pidana,
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.

13.3.4. Penghentian Penyidikan

Berdasarkan Pasal 44A UU KUP, penyidik dapat menghentikan


penyidikan dalam hal:
a. tidak terdapat cukup bukti, atau

b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang


perpajakan, atau
c. penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa,
atau
d. tersangka meninggal dunia.

Penghentian penyidikan dapat juga dilakukan meskipun tidak


memenuhi kriteria di atas. Hal ini dapat dilakukan untuk kepentingan
penerimaan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 44B UU KUP
yang lengkapnya berbunyi:
“(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan
Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat
permintaan.

(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah
Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang
dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah
dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak
seharusnya dikembalikan.”

13.4. Latihan

a) Apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan?

b) Jelaskan pengertian penyidikan?

c) Dalam hal apa penyidik dapat menghentikan proses penyidikan?

13.5. Rangkuman

Suatu tindak pidana merupakan tindak pidana di bidang perpajakan


adalah dengan melihat apakah tindakan tersebut sesuai kekhususannya
termasuk ke dalam rumusan dalam undang-undang perpajakan.
Ketentuan pidana dalam UU KUP mengatur tindak pidana bagi:

 setiap orang selaku Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban


perpajakannya diuraikan dalam Pasal 38 UU KUP untuk tindakan yang
dilakukan karena kealpaan dan Pasal 39 UU KUP;
 setiap orang berkaitan dengan penerbitan Faktur Pajak diuraikan dalam
Pasal 39A;
 bagi pejabat adalah berkaitan dengan kerahasiaan jabatan yang
diuraikan dalam Pasal 41 UU KUP;
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang
perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
Untuk tindak pidana di bidang perpajakan penyidikan dilakukan
oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak yang wewenangnya diatur dalam UU KUP.

13.6. Test Formatif

Instruksi: Jawab B apabila pernyataan “Benar” dan S apabila “Salah”.

1. B -
-S
2. B -
-S
3. B -- S

4. B -- S
Suatu perbuatan terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4
tidak dapat (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
dipidana, kecuali Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai
berdasarkan Pengusaha Kena Pajak adalah tindak pidana di bidang perpajakan.
kekuatan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah serangkaian tindakan yang
ketentuan dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti
perundang- yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang
undangan pidana perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
yang telah ada.
Setiap orang
yang
dengan
sengaja
menolak
dilakukan
pemeriksaan
sehingga
dapat

menimbulkan
kerugian
pada
pendapatan negara
dipidana dengan
pidana penjara
paling singkat 6
(enam) bulan dan
paling lama 6
(enam) tahun dan
denda paling
sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak
5. B - Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan
-S menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yang berlaku.
Penyidikan tidak dapat dihentikan meskipun tersangka meninggal
6. B - dunia.
-S Penyidik pajak tidak berwenang melakukan penggeledahan.
7. B -
-S
8. B -- Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
S Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai
penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam pelaksanaan tugasnya penyidik pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak berada di bawah
9. B - koordinasi penyidik pejabat polisi negara RI.
-S Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri
Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan.
10. B -
-S

13.7. Umpan Balik dan tindak lanjut

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban yang terdapat di bagian


akhir Modul. Hitunglah jawaban Anda yang benar. Kemudian gunakanlah rumus di
bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi ini. Rumus:
Jumlah Soal Yang Dijawab Dengan Benar
Nilai = ---------------------------------------------------- x 100%

Jumlah Soal

Dengan hasil penghitungan itu dapat dilakukan klasifikasi penilaian yaitu:

a. Bila > 80%, Sangat Baik

b. Bila 70% - 79%, Baik

c. Bila 60% - 69%, Cukup

d. Bila < 60%, Kurang

Bila Anda mencapai penguasaan di atas 70% atau lebih, Anda telah
menyelesaikan seluruh Kegiatan Belajar.
14. Test Formatif

A. Pilihan berganda:

1. Orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas wajib mendaftarkan diri paling lama ....
a. satu bulan setelah saat pekerjaan bebas nyata-nyata dimulai

b. akhir bulan berikutnya setelah bulan saat pekerjaan bebas nyata-nyata


dimulai
c. sebelum pekerjaan bebas nyata-nyata dimulai

d. akhir bulan berikutnya setelah bulan penghasilan netonya melebihi PTKP

2. Wajib Pajak di bawah ini dapat menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan
mata uang selain Rupiah, kecuali:
a. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing

b. Bentuk Usaha Tetap

c. Wajib Pajak yang sudah go publik

d. Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama pertambangan minyak dan gas
bumi
3. Wajib Pajak di bawah ini wajib mendaftarkan diri dan kepadanya diberikan NPWP
sehubungan dengan kewajiban perpajakan hanya sebagai pemotong dan pemungut pajak,
kecuali ....
a. Joint operation c. Bendahara

Pemerintah
b. Anak perusahaan d. Kantor cabang

4. Pasal 28 (11) UU KUP tentang penyimpanan dokumen pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain, termasuk hasil pengolahan data dan pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi on line, wajib disimpan selama ....
a. 5 tahun

b. 8 tahun

c. 10 tahun

d. 15 tahun

5. Pembukuan harus diselenggarakan dengan prinsip taat asas. Yang dimaksud dengan prinsip
taat asas adalah ....
a. pembukuan harus diaudit oleh Kantor Akuntan Publik
b. metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan
diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang
c. prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-
tahun sebelumnya
d. pembukuan didukung dengan pengendalian intern yang memadai dan
didukung dengan bukti yang cukup
6. Hak Wajib Pajak berkaitan dengan penyampaian SPT Tahunan untuk menghindari sanksi
administrasi berupa denda karena terlambat menyampaikan SPT Tahunan adalah ....
a. Pembetulan SPT

b. Perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT

c. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT

d. Penundaan pembayaran PPh Pasal 29

7. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,


dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Standar pemeriksaan tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 199/PMK.03/2007 meliputi:
a. standar umum, standar pelaksanaan Pemeriksaan, dan standar
pelaporan hasil Pemeriksaan
b. standar umum, standar persiapan Pemeriksaan, dan standar
pelaksanaan Pemeriksaan
c. standar umum, standar pelaksanaan Pemeriksaan, dan standar
penetapan hasil Pemeriksaan
d. standar umum, standar pelaksanaan Pemeriksaan, dan standar perilaku
Pemeriksa Pajak
8. Penerbitan SKPKB dengan sanksi administrasi berupa bunga dapat dikenakan apabila ....
a. SPT tidak disampaikan dalam jangka waktunya dan setelah ditegur secara
tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam
Surat Teguran
b. kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan
c. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN dan
PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak
d. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak
dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yg terutang
9. Sebelumnya telah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
(SKPPKP) terhadap SPT yang menyatakan Lebih Bayar atas nama PT ABC, ketika
dilakukan pemeriksaan pajak dan hasil pemeriksaan menunjukkan adanya kekurangan
pembayaran pajak atas SPT LB tersebut. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan
....
a. SKPKB dengan sanksi administrasi berupa kenaikan

b. SKPKB dengan sanksi administrasi berupa bunga

c. SKPKBT dengan sanksi administrasi berupa kenaikan

d. SKPKBT dengan sanksi administrasi berupa bunga

10. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dapat diterbitkan dalam hal ....

a. terdapat kelebihan pembayaran pajak akibat diterbitkannya SK Keberatan

b. diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak

c. terdapat kesalahan pemotongan oleh pemotong pajak

d. terdapat pengenaan sanksi administrasi yang tidak seharusnya

11. Surat Tagihan Pajak berfungsi untuk melakukan tagihan sanksi administrasi berupa denda,
dalam hal ....
a. Pengusaha Kena Pajak terlambat menerbitkan Faktur Pajak

b. Wajib Pajak terlambat membayar PPh Pasal 25

c. Pengusaha Kena Pajak terlambat membayar PPN terutang

d. Wajib Pajak terlambat membayar SKPKB

12. Produk hukum pemeriksaan pajak di bawah ini tidak dapat diajukan keberatan oleh Wajib
Pajak:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan(SKPKBT)

b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPKLB)

c. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

d. Surat Tagihan Pajak (STP)


13. Landasan yang dipakai dalam penerbitan Surat Keputusan pengurangan atau pembatalan
ketetapan pajak yang tidak benar baik secara jabatan maupun melalui permohonan Wajib
Pajak adalah ….
a. asas pemerintahan yang baik

b. asas keadilan

c. asas kepastian hukum

d. asas kewajaran

14. Gugatan terhadap pelaksanaan Surat Paksa diajukan kepada ....

a. Direktorat Jenderal Pajak

b. Pengadilan Negeri

c. Pengadilan Pajak

d. Mahkamah Agung

15. Penyelesaian sengketa pajak yang diselesaikan di Pengadilan Pajak adalah:

a. Banding dan Peninjauan Kembali

b. Gugatan dan Peninjauan Kembali

c. Banding dan Gugatan

d. Keberatan dan Banding


B. Pilihan Ganda Asosiasi

Pilihlah jawaban A, B, C atau D dengan ketentuan sebagai berikut:

 A bila pernyataan nomor 1, 2 dan 3 benar

 B bila pernyataan nomor 1 dan 3 benar

 C bila pernyataan nomor 2 dan 4 benar

 D bila semua pernyataan benar

1) Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur


untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak
tersebut. Yang dimaksud dengan laporan keuangan dalam pengertian
pembukuan tersebut meliputi ….
1. Neraca

2. Laporan arus kas


3. Laporan laba rugi

4. Laporan perubahan posisi keuangan

2) Wajib Pajak di bawah ini dapat menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa


asing dan mata uang selain Rupiah:
1. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing

2. bentuk usaha tetap

3. Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama

4. Wajib Pajak yang telah go publik

3) Pembayaran pajak yang dapat dilakukan dengan cara mengangsur atau


menunda pembayaran adalah atas:
1. Pajak yang masih harus dibayar dalam Putusan Banding

2. Pajak yang masih harus dibayar dalam STP

3. Pajak Penghasilan Pasal 29

4. Pajak Kurang Bayar dalam SPT Masa PPN

4) Wajib Pajak dapat dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan dalam hal ....

1. Wajib Pajak tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau


ruang yang dipandang perlu guna kelancaran pemeriksaan sehingga tidak
dapat diketahui besarnya pajak yang terutang
2. Wajib Pajak mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang
ketidakbenaran pengisian SPT yang tengah dilakukan pemeriksaan, yang
mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar
3. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktunya dan
setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran
4. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan
5) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dapat diterbitkan dalam hal:

1. Berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah kredit pajak atau jumlah pajak


yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang
2. Setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak terdapat pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang
3. berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang
lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran
pajak yang telah ditetapkan.
4. berdasarkan hasil penelitian jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang
dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang
6) Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak yang
dalam penerbitannya terdapat ....
1. kekeliruan dalam penerapan tarif

2. kekeliruan penerapan sanksi administrasi

3. kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak

4. kekeliruan pengkreditan pajak

7) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu ....

1. Surat Tagihan Pajak

2. Pemotongan oleh pihak ketiga

3. Surat Keputusan Pembetulan

4. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan

8) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan Gugatan terhadap ...

1. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan

2. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi

3. pelaksanaan Surat Paksa


4. Putusan Banding

9) Hak Wajib Pajak berikut ini dapat diperoleh dengan cara menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak:
1. imbalan bunga

2. menyelenggarakan pencatatan bagi WP Orang Pribadi tertentu

3. penundaan pembayaran pajak

4. memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh

10) Penyelesaian sengketa pajak yang dilakukan di Pengadilan Pajak adalah:

1. Banding

2. Peninjauan Kembali

3. Gugatan

4. Keberatan
KUNCI JAWABAN (TES FORMATIF DAN TES SUMATIF)

JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 1

1. B

2. S

3. B

4. S

5. B

6. B

7. B

8. S

9. B

10. B

JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 2

1. B
2. S

3. B

4. S

5. B

6. B

7. S

8. B

9. S

10. B

JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 3

1. B

2. S

3. S

4. B

5. B

6. B
7. S
8. S

9. B

10. B

JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 4

1. B

2. S

3. S

4. B

5. B

6. S

7. S

8. B

9. B

10. B

200 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN@DTS DASAR PAJAK


I
JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 5

1. S

2. B

3. B

4. B

5. S

6. S

7. S

8. B

9. B

10. B

JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 6

1. S

2. B

3. B

4. S
200 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN@DTS DASAR PAJAK
I
5. B

6. B

200 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN@DTS DASAR PAJAK


I
7. S

8. B

9. S

10. B

JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 7

1. B

2. S

3. S

4. B

5. S

6. S

7. S

8. S

9. S

10. B
201 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN@DTS DASAR PAJAK
I
JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 8

1. B

2. S

3. S

4. S

5. B

6. S

7. B

8. B

9. S

10. B

JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 9

1. B

2. B

3. B
202 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN@DTS DASAR PAJAK
I
4. B

5. S

203 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN@DTS DASAR PAJAK


I
6. B

7. B

8. S

9. S

10. B

JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 10

1. S

2. S

3. B

4. B

5. B

6. S

7. S

8. S

9. B
10. B

JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 11

1. S

2. B

3. B

4. S

5. B

6. S

7. B

8. B

9. S

10. S

JAWABAN TES FORMATIF KEGIATAN BELAJAR 12

1. B

2. B
3. B

4. S
5. B

6. S

7. S

8. B

9. B

10. B

JAWABAN SUMATIF PILIHAN GANDA

1. a

2. c

3. b

4. c

5. c

6. b

7. a

8. b
9. a

10. c

11. a

12. d

13. b

14. c

15. c

JAWABAN SUMATIF PILIHAN GANDA ASOSIASI

1. B

2. A

3. A

4. A

5. A

6. D

7. C
8. A

9. C

10. B
DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan


Umum dan Tata Cara Perpajakan (LN RI Tahun 1983 Nomor 46, TLN RI
Nomor 3262 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (LN RI Tahun 2007 Nomor 85, TLN
RI Nomor 4740);
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Republik Indonesia, UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001


tentang Pemberantasan Tindak Korupsi;
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan
Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 1989;
Soemitro, Rochmat, Asas dan Dasar Perpajakan 3, Bandung, Eresco, 1991;

Anda mungkin juga menyukai