Makalah
Disusun oleh
A. Latar Belakang
Allah SWT. menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, yaitu laki-laki dan
perempuan. tujuan diciptakannya manusia semata-mata adalah untuk beribadah
kepada Allah. Beribadah kepada Allah tidak hanya dengan salat dan berpuasa,
namun menikah juga merupakan suatu ibadah. Mengapa manusia harus menikah?,
agar mereka dapat meneruskan keturunan mereka dengan cara menikah. Karena
dengan cara menikah manusia memiliki ikatan yang sah antara laki-laki dan
perempuan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari perkawinan?
1
Sulaiman rasyid. 204. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Akgensindo. Hlm. 380
PEMBAHASAN
A. Pengertian perkawinan
َ ;َِك; ٰ; َذ; ل
;ك; َو; َز; و;َّ; ْ;ج; نَ; ا;هُ; ْم; بِ; ُح; و; ٍر; ِ;ع; ي; ٍن
Dari sudut ilmu bahasa kata perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
merupakan terjemahan dari bahasa Arab “nikah”. Kata “nikah” mengandung dua
pengertian, yaitu dalam arti yang sebenarnya (haqikat) berarti berkumpul dan
dalam arti kiasan berarti aqad atau mengadakan perjanjian perkawinan. Menurut
hukum islam yang dimaksud dengan perkawinan ialah aqad yang bersifat luhur
dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami
isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang
penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keadaan yang lazim
disebut sakinah3. Sedangkan pengertian perkawinan menurut Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 sebagaimana dirumuskan pada Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 menentukan pengertian perkawinan yang berbunyi:
2
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed. Fiqih
Munakahat. 2009. Jakarta: Amzah. Hlm. 35
3
Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 2
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 1 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak hanya merumuskan arti perkawinan,
melainkan terdapat pula tujuan perkawinan. Menurut K. Wantjik Saleh, arti
perkawinan ialah: ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri, sedangkan “tujuan” perkawinan ialah membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa4.
Rukun menurut para ulama fikih, bahwa rukun berfungsi menentukan sah atau
batalnya perbuatan hukum5. Rukun perkawinan merupakan sesuatu yang harus
ada dalam perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari6 :
8
Ahmad rofiq, 2013, Hukum perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,
hlm. 55-56
9
Ali Imron, op. cit hlm. 27-28
6) Orang yang terkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam
ihram haji/ umrah
7) Majelis ijab qabul itu harus dihadiri minimal 4 orang, yaitu:
calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai
wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.
C. Pencatatan Perkawinan
Pada mulanya syariat Islam baik Al-Qur’an atau al-Sunnah tidak mengatur
secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan
muamalat (mudayanah) yang dilakukan tidak secara tunai untuk waktu tertentu,
diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan perkembangan, dengan berbagai
pertimbangan kemaslahatan, hukum perdata Islam di Indonesia perlu mengaturnya
guna kepentingan kepastian hukum di dalam masyarakat.10
10
Ahmad Rofiq, Op. cit. hlm. 91.
11
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Sinar Grafika,
2007, hlm. 26.
dapat dijadikan sebagai alat bukti yang otentik agar seseorang mendapatkan
kepastian hukum.12
Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama sekali, karena perkawinan
selain merupakan akad suci, ia juga mengandung hubungan keperdataan. Ini dapat
dilihat dalam Penjelasan Umum nomor 2 (dua) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan sebagai berikut:
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina
berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dengan sedikit perubahan.
6. Bagi orang-orang Eropa dan warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan
yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.13
Pengungkapan kenyataan semacam ini dimaksud agar semua pihak dapat lebih
mengerti dan menyadari betapa penting nilai keadilan dan ketertiban dalam
sebuah perkawinan yang menjadi pilar tegaknya kehidupan rumah tangga. Faktor-
faktor yang memengaruhi, boleh jadi karena keterdesakan situasi, sementara
tuntutan untuk menghindari akibat negatif yang lebih besar, sangat mendesak.15
14
Zainuddin Ali, Op,Cit. hlm. 27
15
Ahmad Rofiq, Op, Cit, hlm. 93
2) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.16
Secara lebih rinci, Perturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Bab II Pasal 2
menjelaskan tentang pencatatan perkawinan:
16
Zainuddin Ali,Op,Cit ,hlm. 27
17
Ahmad Rofiq, Op,cit. hlm. 94.
18
Ahmad Rofiq, Op,Cit, hlm. 94.
bentuk konkretnya, penyimpangan tadi dapat dideteksi melalui prosedur yang
diatur dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975:
a) Kantor urusan agama Kecamatan untuk Nikah, Talak dan Rujuk, bagi
orang yang beragama Islam (lihat UU no. 22 tahun 1946 jo. UU No Tahun
1954).
19
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm.14-15.
20
Abdul Manan,Op,Cit, hlm.14-15.
21
http://journal.unipdu.ac.id/index.php/jhki/article/view/607/519. Diakses pukul
14.30.
b) Foto copy kutipan akta kelahiran dengan membawa aslinya.
d) Foto copy kutipan akta perceraian atau kutipan akta kematian bagi mereka
yang pernah kawin.
e) Bagi mempelai yang berusia di bawah 21 tahun harus ada izin dari orang
tua, apabila pada saat pencataan perkawinan orang tuanya berhalangan
hadir, harus ada surat izin resmi diketahui oleh pejabat yang berwenang
f) Surat izin Pengadilan Negeri bagi calon mempelai di bawah usia 21 tahun,
apabila tidak mendapat persetujuan dari orang tua.
g) Surat izin Pengadilan Negeri apabila calon mempelai pria di bawah usia
19 tahun dan wanita di bawah 16 tahun
Paspor
Dokumen Imigrasi
D. Akta Nikah
3) Izin kawin sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
Undang-Undang Perkawinan.
22
Zainuddin Ali,Op.Cit. hlm. 28.
6) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan.
Selain hal itu, dalam Akta Nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan
yang biasa disebut taklik talak atau penggantungan talak, yaitu teks yang dibaca
oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia terhadap istrinya.Sesudah
pembacaan tersebut kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan salinanaya
yang telah disiapakan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang
berlaku.Setelah itu, diikuti oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang
mengahadiri akad nikah.Kemudian wali nikah atau yang mewakilinya, juga turut
serta bertanda tangan. Dengan penandatanganan Akta Nikah dan salinanaya maka
perkawinan telah tercatat secara yuridis normative berdasarkan pasal 11 PP
Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan pasal 6 ayat
(2) Kompilasi Hukum Islam.24
23
Zainuddin Ali, Op.Cit. hlm. 28.
24
Zainuddin Ali,Op.cit. hlm. 29.
Pengadilan.Selain itu, Akta Nikah juga juga berfungsi untuk membuktikan
keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum
ke pengadilan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian, pasal 7 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah yang dibuat oleh pegawai Pegawai Pencatat Nikah.25
25
Zainuddin Ali, Op,cit. ,hlm. 29
SIMPULAN
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk
membentuk suatu keluarga. Tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah untuk
membentuk suatu keluarga (berumah tangga) yang bahagia dan kekal dengan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu adalah pengertian secara singkat dari
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid, Sulaiman 2014. Fiqih Islam. Sinar Baru Akgensindo. Bandung.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed. Fiqih
Munakahat. 2009. Amzah. Jakarta
Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta. Jakarta
Saleh, K. Wantjik, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia. Jakarta
Djubaidah. Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak dicatat,
Sinar Grafika. , Jakarta.
Imron. Ali. 2015, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, CV. Karya Abadi Jaya.
Semarang.
Rofiq, Ahmad, 2013, Hukum perdata Islam di Indonesia, Rajawali Pers. Jakarta.
Ali, Zainuddin, , 2007, Hukum Perdata Islam di Indonesia, PT Sinar Grafika,
Jakarta.
http://journal.unipdu.ac.id/index.php/jhki/article/view/607/519, diakses pada
tanggal 6 September 208 pukul 14.03
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana
Prenada, Jakarta.