Anda di halaman 1dari 18

RUKUN, SYARAT DAN PENCATATAN PERKAWINAN

Makalah

Mata Kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia

Dosen pengampu: Dr. Rokhmadi, M.Ag.

Disusun oleh

1. Raden Lintar Rahma A.P (1702026079)

HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah SWT. menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, yaitu laki-laki dan
perempuan. tujuan diciptakannya manusia semata-mata adalah untuk beribadah
kepada Allah. Beribadah kepada Allah tidak hanya dengan salat dan berpuasa,
namun menikah juga merupakan suatu ibadah. Mengapa manusia harus menikah?,
agar mereka dapat meneruskan keturunan mereka dengan cara menikah. Karena
dengan cara menikah manusia memiliki ikatan yang sah antara laki-laki dan
perempuan.

Sebelum memulai perkawinan dilakukanlah pertama-tama yaitu peminangan.


Peminangan adalah menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki
kepada seorang perempuan ataupun sebaliknya.1 Setelah melakukan peminangan
lalu aka nada prosesi perkawinan dimana salah satu dari pengantin (laki-laki)
mengucapkan akad. Setelah berakad pastilah harus di laporkan kepada petugas
catatan sipil, agar perkawinan tersebut dapat diakui oleh Negara dan agama. Maka
dibuatlah sebuah akta pernikahan serta adanya catatan pernikahan. Nah apa saja
sih hal-hal yang harus diperhatikan dalam pencatatan dan dalam akte pernikahan?

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari perkawinan?

2. Apa saja rukun dan syarat perkawinan?

3. Bagaiamana proses pencatatan perkawinan?, apa saja syarat pencatatan


perkawinan?

4. Bagaimana bukti tulis yang sah atau perkawinan dalam proses


pencatatan perkawinan?

1
Sulaiman rasyid. 204. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Akgensindo. Hlm. 380
PEMBAHASAN

A. Pengertian perkawinan

Perkawinan acap kali dibedakan dengan pernikahan, sebenarnya arti dari


kedua kata tersebut memiliki arti yang sama. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia perkawinan memiliki tiga artian yaitu membentuk suatu keluarga
dengan lawan jenis, bersuami atau beristri dan menikah. Sedangan pernikahan
memiliki arti yaitu ikatan (akad) perkainan yang dilakukan sesuai dengan hukum
dan ajaran agama. Jadi perkawinan dan pernikahan memiliki makna yang sama
yaitu membentuk suatu ikatan dengan syarat dan ketentuan-ketentuan tertentu.

Menurut bahasa az-zawaj diartikan pasangan atau jodoh, misa;nya


sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah:2

َ ;ِ‫َك; ٰ; َذ; ل‬
;‫ك; َو; َز; و;َّ; ْ;ج; نَ; ا;هُ; ْم; بِ; ُح; و; ٍر; ِ;ع; ي; ٍن‬

Artinya: “Demikianlah, kami kawinkan mereka dengan bidadari.”(Qs. Ad-


Dukhan ayat 54); maksudnya, kami pasangkan mereka dengan bidadari.

Dari sudut ilmu bahasa kata perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
merupakan terjemahan dari bahasa Arab “nikah”. Kata “nikah” mengandung dua
pengertian, yaitu dalam arti yang sebenarnya (haqikat) berarti berkumpul dan
dalam arti kiasan berarti aqad atau mengadakan perjanjian perkawinan. Menurut
hukum islam yang dimaksud dengan perkawinan ialah aqad yang bersifat luhur
dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami
isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang
penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keadaan yang lazim
disebut sakinah3. Sedangkan pengertian perkawinan menurut Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 sebagaimana dirumuskan pada Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 menentukan pengertian perkawinan yang berbunyi:

2
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed. Fiqih
Munakahat. 2009. Jakarta: Amzah. Hlm. 35
3
Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 2
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 1 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak hanya merumuskan arti perkawinan,
melainkan terdapat pula tujuan perkawinan. Menurut K. Wantjik Saleh, arti
perkawinan ialah: ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri, sedangkan “tujuan” perkawinan ialah membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa4.

B. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun menurut para ulama fikih, bahwa rukun berfungsi menentukan sah atau
batalnya perbuatan hukum5. Rukun perkawinan merupakan sesuatu yang harus
ada dalam perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari6 :

1. Calon mempelai pria;


2. Calon mempelai wanita;
3. Wali dari calon mempelai wanita;
4. Ijab dan qabul; dan
5. Dua orang saksi
Setiap rukun perkawinan diatas harus memenuhi beberapa persyaratan
sebagai berikut:7
a. Syarat-syarat calon mempelai pria adalah:
1) Beragama islam
2) Laki-laki
4
Saleh, K. Wantjik, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 14
5
Neng Djubaidah. 2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak dicatat,
Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 90
6
Ali Imron. 2015, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Semarang: CV. Karya
Abadi Jaya, hlm 26
7
Ali Imron. Op. cit. hlm. 26
3) Jelas orangnya
4) Dapat memberikan persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
b. Syarat-syarat calon mempelai perempuan adalah:
1) Beragama islam
2) Perempuan
3) Jelas orangnya
4) Dapat dimintai persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
c. Syarat-syarat wali nikah8:
1) Laki-laki
2) Dewasa
3) Mempunyai hak perwalian
4) Tidak terdapat halangan
d. Saksi nikah syaratnya :
1) Minimal dua orang laki-laki
2) Hadir dalam ijab qabul
3) Dapat mengerti maksud akad
4) Islam
5) Dewasa
e. Syarat ijab qabul yaitu:9
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
3) Memakai kata-kata nikh, tawij atau terjemahan dari kata
nikah atau tazwij
4) Anatara ijab dan qabul bersambung,
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

8
Ahmad rofiq, 2013, Hukum perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,
hlm. 55-56
9
Ali Imron, op. cit hlm. 27-28
6) Orang yang terkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam
ihram haji/ umrah
7) Majelis ijab qabul itu harus dihadiri minimal 4 orang, yaitu:
calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai
wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.

C. Pencatatan Perkawinan

Pada mulanya syariat Islam baik Al-Qur’an atau al-Sunnah tidak mengatur
secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan
muamalat (mudayanah) yang dilakukan tidak secara tunai untuk waktu tertentu,
diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan perkembangan, dengan berbagai
pertimbangan kemaslahatan, hukum perdata Islam di Indonesia perlu mengaturnya
guna kepentingan kepastian hukum di dalam masyarakat.10

Al-Quran dan al-Hadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan


perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu,
sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum Islam. Pencatatan perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik
perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan
merupakan upaya untuk menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan
perkawinan. Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing
dimiliki oleh istri dan suami salinanya. Akta tersebut, dapat digunakan oleh
masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan
perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.11

Pencatatan Perkawinan Pada dasarnya syari’at Islam tidak mewajibkan adanya


pencatatan terhadap setiap terjadinya akad pernikahan, namun dilihat dari segi
manfaatnya pencatatan nikah amat sangat diperlukan, karena pencatatan nikah

10
Ahmad Rofiq, Op. cit. hlm. 91.
11
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Sinar Grafika,
2007, hlm. 26.
dapat dijadikan sebagai alat bukti yang otentik agar seseorang mendapatkan
kepastian hukum.12

Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama sekali, karena perkawinan
selain merupakan akad suci, ia juga mengandung hubungan keperdataan. Ini dapat
dilihat dalam Penjelasan Umum nomor 2 (dua) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan sebagai berikut:

“Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan


warga negaranya dan berbagai daerah seperti berikut:

1. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum


agama yang telah diresipir dalam Hukum Adat.

2. Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat.

3. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku


Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (Stbl. 19 Nomor 74).

4. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina
berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dengan sedikit perubahan.

5. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga Negara Indonesia


keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka.

6. Bagi orang-orang Eropa dan warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan
yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.13

Sebagai akibat adanya pemahaman fikih Imam Syafi’i yang sudah


membudaya di kalangan umat Islam Indonesia. Menurut paham mereka,
pernikahan dianggap cukup apabila syarat dan rukunya sudah dipenuhi, tanpa
12
http://journal.unipdu.ac.id/index.php/jhki/article/view/607/519, diakses pada
tanggal 6 September 208 pukul 14.03
13
Ahmad Rofiq, Op,Cit. hlm. 92
diikuti oleh pencatatan, apalagi akta nikah. Kondisi seperti ini terjadi dalam
masyarakat sehingga masih ditemukan perkawinan dibawah tangan (perkawinan
yang dilakukan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita
tanpa dicatat oleh pegawai pencatat nikah dan tidak mempunyai Akta Nikah).
Belum lagi, apabila ada oknum yang memanfaatkan “peluang” ini, untuk mencari
keuntungan pribadi, tanpa mempertimbangkan sisi dan nilai keadilan yang
merupakan misi utama sebuah perkawinan, seperti poligami liar tanpa izin istri
pertama, atau tanpa izin Pengadilan Agama. Kenyataan dalam masyarakat seperti
ini merupakan hambatan suksesnya pelaksanaan undang-undang perkawinan pasal
5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam.14

Pengungkapan kenyataan semacam ini dimaksud agar semua pihak dapat lebih
mengerti dan menyadari betapa penting nilai keadilan dan ketertiban dalam
sebuah perkawinan yang menjadi pilar tegaknya kehidupan rumah tangga. Faktor-
faktor yang memengaruhi, boleh jadi karena keterdesakan situasi, sementara
tuntutan untuk menghindari akibat negatif yang lebih besar, sangat mendesak.15

Akan halnya tentang pencatatan perkawinan, Kompilasi Hukum Islam


menjelaskannya dalam Pasal 5:

1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap


perkawinan harus dicatat.

2) Pencatatan pernikahan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai


Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 22
tahun 1946 jo.undang-undang Nomor 32 tahun 1954.

Adapun teknis pelaksanaannya, dijelaskan dalam Pasal 6 yang berbunyi:

1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus


dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan
Nikah.

14
Zainuddin Ali, Op,Cit. hlm. 27
15
Ahmad Rofiq, Op, Cit, hlm. 93
2) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.16

Secara lebih rinci, Perturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Bab II Pasal 2
menjelaskan tentang pencatatan perkawinan:

1. Pencatat perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya


menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sebagaimana
dimaksudkan dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk.

2. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya


menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi


tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang
berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 9 PP ini.17

Lembaga pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif, selain


substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai
cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu
perkawinan. Setidaknya ada dua manfaat pencatatan perkawinan, yakni manfaat
preventif dan manfaat represif.18

Manfaat preventif, yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan


atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum
agama dan kepercayaannya itu, maupun menurut perundang-undangan. Dalam

16
Zainuddin Ali,Op,Cit ,hlm. 27
17
Ahmad Rofiq, Op,cit. hlm. 94.
18
Ahmad Rofiq, Op,Cit, hlm. 94.
bentuk konkretnya, penyimpangan tadi dapat dideteksi melalui prosedur yang
diatur dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan


kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tepat perkawinan akan
dilangsungkan.

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10


(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu


alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala
Daerah.

Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut


hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut
perundang-undangan yang berlaku. Di negara Indonesia ada dua instansi atau
lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan rujuk).
Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah :

a) Kantor urusan agama Kecamatan untuk Nikah, Talak dan Rujuk, bagi
orang yang beragama Islam (lihat UU no. 22 tahun 1946 jo. UU No Tahun
1954).

b) Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang


tunduk kepada :

1) Stb. 1933 Nomor 75 jo. Stb. Nomor 1936 Nomor 607


tentang peraturan catatan sipil untuk orang Indonesia
Kristen, Madura, Minahasa, Ambonia.

2) Stb. 1857 Nomor 23 tentang peraturan perkawinan


dilakukan menurut ketentuan Stb. 1849. Nomor 25 yaitu
tentang pencatatan sipil Eropa.
3) Stb. 1917 Nomor 129 pencatatan perkawinan yang
dilakukan menurut ketentuan Stb. 1917 Nomor 130 jo. Stb.
1919 Nomor 81 tentang peraturan pencatatan sipil
campuran.

4) Pencatatan sipil untuk perkawinan campuran sebagaimana


diatur dalam Stb. 1904 Nomor 279.

5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan


bahwa orang kristen di Sumatera, Kalimantan, Bali, NTB
dan NTT, sebagian di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya
yang belum diatur tersendiri sebagaimana tersebut dalam
poin-poin di atas, pencatatan perkawinan bagi mereka ini
dilaksanakan dikantor catatan sipil berdasarkan ketentuan
pasal 3-9 peraturan ini.19

Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap


perkawinan yang dilaksanakan diwilayah masing-masing. Kelalaian mencatat
perkawinan inidapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawinan
tersebut. Salah satu kegunaan pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol
dengan konkret tentang data NTR.20

Pencatatan Perkawinan dalam Sistem Hukum Indonesia

Adapun Persyaratan yang harus dipenuhi pada saat pencatatan perkawinan


adalah sebagai berikut:21

a) Foto copy bukti pengesahan perkawinan menurut agamanya dengan


membawa aslinya

19
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm.14-15.
20
Abdul Manan,Op,Cit, hlm.14-15.
21
http://journal.unipdu.ac.id/index.php/jhki/article/view/607/519. Diakses pukul
14.30.
b) Foto copy kutipan akta kelahiran dengan membawa aslinya.

c) Foto copy Kartu Keluarga dan KTP dengan membawa aslinya.

d) Foto copy kutipan akta perceraian atau kutipan akta kematian bagi mereka
yang pernah kawin.

e) Bagi mempelai yang berusia di bawah 21 tahun harus ada izin dari orang
tua, apabila pada saat pencataan perkawinan orang tuanya berhalangan
hadir, harus ada surat izin resmi diketahui oleh pejabat yang berwenang

f) Surat izin Pengadilan Negeri bagi calon mempelai di bawah usia 21 tahun,
apabila tidak mendapat persetujuan dari orang tua.

g) Surat izin Pengadilan Negeri apabila calon mempelai pria di bawah usia
19 tahun dan wanita di bawah 16 tahun

h) Surat keputusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan


hukum yang pasti bila ada sanggahan.

i) Surat izin dari Pengadilan Negeri bila ingin berpoligami.

j) Dispensasi Camat apabila pelaksanaan pencatatan perkawinan kurang dari


sepuluh hari sejak tanggal pengajuan permohonan.

k) Kutipan Akta Kelahiran Anak yang akan diakui/disahkan dalam


perkawinan, apabila ada.

l) Hasil pengumuman yang tidak ada sanggahan.

m) Akta Perjanjian harta terpisah perkawinan apabila kedua mempelai


menghendaki dan harus disahkan oleh pegawai pencatat pada Kantor
Catatan Sipil.
n) Bagi mereka yang berusia di bawah 21 tahun harus ada izin dari Balai
Harta Peninggalan apabila orang tua meninggal dunia dengan
melampirkan Akta Kematian orang tuanya.

o) Bagi anggota TNI surat izin dari komandan.

p) Bagi WNI Keturunan agar melampirkan foto copy :

 Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia.

 Surat Bukti ganti nama ( bila sudah ganti nama )

q) Bagi WNA melampirkan foto copy :

 Paspor

 Dokumen Imigrasi

 Surat tanda Melapor Diri ( STMD )

 Surat Izin dari Kedutaan/perwakilan dari negara Sahabat, khusus


Taiwan dari Kamar Dagang dan negara-negara yang lain yang
tidak mempunyai perwakilan harus ada rekomendasi dari
Departemen Luar Negeri, Dirjen Protokol dan Konsuler.

 Pas foto berdampingan ukuran 4 x 6 cm sebanyak 4 lembar.

 Dua orang saksi yang memenuhi persyaratan.

D. Akta Nikah

Setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan wanita untuk


melangsungkan perkawinan, yang kemudian kesepakatan itu, diumumkan oleh
pihak Pegawai Pencatatan Nikah dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang
terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan. Ketentuan
dan tata caranya diatur dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
sebagai berikut:

1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman


kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud pasal
8 PP ini.

2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing


agamanya dan kepercayaan itu.

3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing


hukum agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan dilangsungkan
dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.22

Kalau perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai


Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinanya dan telah diisi mengenai hal-hal
yang diperlukanya, seperti diatur dalam pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975. Akta Nikah memuat sepuluh langkah yang harus terpenuhi, yaitu
sebagai berikut.

1) Nama, tanggal, tempat lahir, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat


kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.

2) Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka.

3) Izin kawin sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
Undang-Undang Perkawinan.

4) Dispensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-


Undang Perkawinan.

5) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Undang-Undang


Perkawinan.

22
Zainuddin Ali,Op.Cit. hlm. 28.
6) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan.

7) Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhamkam/Pangab bagi Angkatan


Bersenjata.

8) Perjanjian perkawinan apabila ada.

9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para


saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.

10) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa


apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.23

Selain hal itu, dalam Akta Nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan
yang biasa disebut taklik talak atau penggantungan talak, yaitu teks yang dibaca
oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia terhadap istrinya.Sesudah
pembacaan tersebut kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan salinanaya
yang telah disiapakan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang
berlaku.Setelah itu, diikuti oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang
mengahadiri akad nikah.Kemudian wali nikah atau yang mewakilinya, juga turut
serta bertanda tangan. Dengan penandatanganan Akta Nikah dan salinanaya maka
perkawinan telah tercatat secara yuridis normative berdasarkan pasal 11 PP
Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan pasal 6 ayat
(2) Kompilasi Hukum Islam.24

Akta Nikah menjadi bukti autentik dari suatu pelaksanaan perkawinan


sehingga dapat menjadi jaminan hukum bila terjadi salah seorang suami atau istri
melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Sebagai contoh, seorang suami
tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibanya, sementara kenyataanya ia
mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka
pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke

23
Zainuddin Ali, Op.Cit. hlm. 28.
24
Zainuddin Ali,Op.cit. hlm. 29.
Pengadilan.Selain itu, Akta Nikah juga juga berfungsi untuk membuktikan
keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum
ke pengadilan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian, pasal 7 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah yang dibuat oleh pegawai Pegawai Pencatat Nikah.25

25
Zainuddin Ali, Op,cit. ,hlm. 29
SIMPULAN

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk
membentuk suatu keluarga. Tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah untuk
membentuk suatu keluarga (berumah tangga) yang bahagia dan kekal dengan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu adalah pengertian secara singkat dari
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid, Sulaiman 2014. Fiqih Islam. Sinar Baru Akgensindo. Bandung.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed. Fiqih
Munakahat. 2009. Amzah. Jakarta
Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta. Jakarta
Saleh, K. Wantjik, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia. Jakarta
Djubaidah. Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak dicatat,
Sinar Grafika. , Jakarta.
Imron. Ali. 2015, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, CV. Karya Abadi Jaya.
Semarang.
Rofiq, Ahmad, 2013, Hukum perdata Islam di Indonesia, Rajawali Pers. Jakarta.
Ali, Zainuddin, , 2007, Hukum Perdata Islam di Indonesia, PT Sinar Grafika,
Jakarta.
http://journal.unipdu.ac.id/index.php/jhki/article/view/607/519, diakses pada
tanggal 6 September 208 pukul 14.03
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana
Prenada, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai