Anda di halaman 1dari 24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anemia

2.1.1 Epidemiologi anemia

Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana rendahnya

konsentrasi hemoglobin (Hb) atau hematokrit berdasarkan nilai ambang batas

(referensi) yang disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah merah (eritrosit)

dan Hb, meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau kehilangan darah yang

berlebihan (Citrakesumasari, 2012). Menurut Oehadian (2012) Anemia

didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah merah:

konsentrasi hemoglobin (HGB), hematokrit (HCT) atau jumlah sel darah merah

(RBC). Untuk menjabarkan definisi anemia maka perlu ditetapkan batas yang

disebut cut off point.

Tabel 1 Kadar Hemoglobin dan Volume Hematokrit Sebagai Indikator Anemia.

Kelompok Umur Hemoglobin (g/dL) Hematokrit (gr/L)


Anak usia 6 bulan – 2 tahun <11,0 <0,33
Anak usia 5 – 11 tahun <11,5 <0,34
Anak usia 12 – 14 tahun <12,0 <0,36
Wanita tidak hamil <12,0 <0,36
Wanita hamil <11,0 <0,33
Pria dewasa <13,0 <0,39
Sumber : WHO (2010)

Anemia terjadi sekitar dua milyar atau sepertiga penduduk dunia

menderita anemia dan 50% penyebab utama anemia tersebut adalah anemia gizi

WHO (2008). Menurut Ruel (2001) kejadian anemia gizi yang paling banyak

terjadi di dunia adalah defisiensi zat besi dan paling banyak diderita oleh remaja.
WHO menetapkan batasan prevalensi anemia untuk kategori masalah

kesehatan masyarakat, sehingga dapat diketahui tingkat masalah kesehatan

masyarakat yang dialami oleh suatu daerah berdasarkan prevalensi kejadian

anemia di daerah tersebut.

Tabel 2 Kategori Masalah Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Prevalensi Anemia.

Masalah Kesehatan Masyarakat Prevalensi Anemia (%)


Normal ≤4,9
Ringan 5-19,9
Sedang 20-39,9
Berat ≥40
Sumber : WHO (2008)
Anemia juga diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahannya. WHO

(2011) menetapkan derajat keparahan anemia berdasarkan kelompok umur dan

jenis kelamin seperti pada tabel berikut.

Tabel 3 Derajat Keparahan Anemia

Anemia
Populasi
Ringan Sedang Berat
Anak usia 6 - 59 bulan 10-10,9 7-9,9 <7
Anak usia 5 – 11 tahun 11-11,4 8-10,9 <8
Anak usia 12 – 14 tahun 11-11,9 8-10,9 <8
Wanita tidak hamil (≥15 tahun) 11-11,9 8-10,9 <8
Wanita hamil 10-10,9 7-9,9 <7
Laki-laki ((≥15 tahun) 11-12,9 8-10,9 <8
Sumber : WHO (2011)

2.1.2 Pemeriksaan hematologi

Pemeriksaan panel hematologi (hemogram) terdiri dari leukosit, eritrosit,

hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit dan trombosit. Rentang nilai normal

hematologi bervariasi pada bayi, anak anak dan remaja, umumnya lebih tinggi

saat lahir dan menurun selama beberapa tahun kemudian. Nilai pada orang dewasa
umumnya lebih tinggi dibandingkan tiga kelompok umur di atas (Kemenkes RI,

2011).

a. Hematokrit (HCT)

Nilai normal

Pria : 40% - 50 % SI unit : 0,4 - 0,5

Wanita : 35% - 45% SI unit : 0.35 - 0,45

Deskripsi

Hematokrit menunjukan persentase sel darah merah tehadap volume darah

total.

Implikasi klinik

1) Penurunan nilai HCT merupakan indikator anemia (karena berbagai

sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah dan

hipertiroid. Penurunan HCT sebesar 30% menunjukkan pasien mengalami

anemia sedang hingga parah.

2) Peningkatan nilai HCT dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi,

kerusakan paru-paru kronik, polisitemia dan syok.

3) Nilai HCT biasanya sebanding dengan jumlah sel darah merah pada

ukuran eritrosit normal, kecuali pada kasus anemia makrositik atau

mikrositik.

4) Pada pasien anemia karena kekurangan besi (ukuran sel darah merah lebih

kecil), nilai HCT akan terukur lebih rendah karena sel mikrositik

terkumpul pada volume yang lebih kecil, walaupun jumlah sel darah

merah terlihat normal.


5) Nilai normal HCT adalah sekitar 3 kali nilai hemoglobin.

6) Satu unit darah akan meningkatkan Hct 2% - 4%.

b. Hemoglobin (Hb)

Nilai normal

Pria : 13 - 18 g/dL SI unit : 8,1 - 11,2 mmol/L

Wanita : 12 - 16 g/dL SI unit : 7,4 – 9,9 mmol/L

Deskripsi

Hemoglobin adalah komponen yang berfungsi sebagai alat transportasi

oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2). Hb tersusun dari globin (empat

rantai protein yang terdiri dari dua unit alfa dan dua unit beta) dan heme

(mengandung atom besi dan porphyrin: suatu pigmen merah). Pigmen besi

hemoglobin bergabung dengan oksigen. Hemoglobin yang mengangkut

oksigen darah (dalam arteri) berwarna merah terang sedangkan hemoglobin

yang kehilangan oksigen (dalam vena) berwarna merah tua. Satu gram

hemoglobin mengangkut 1,34 mL oksigen. Kapasitas angkut ini berhubungan

dengan kadar Hb bukan jumlah sel darah merah.

Implikasi klinik

1) Penurunan nilai Hb dapat terjadi pada anemia (terutama anemia karena

kekurangan zat besi), sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan

asupan cairan dan kehamilan.

2) Peningkatan nilai Hb dapat terjadi pada hemokonsentrasi (polisitemia,

luka bakar), penyakit paru-paru kronik, gagal jantung kongestif dan pada

orang yang hidup di daerah dataran tinggi.


3) Konsentrasi Hb berfluktuasi pada pasien yang mengalami perdarahan dan

luka bakar.

4) Konsentrasi Hb dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan anemia,

respons terhadap terapi anemia, atau perkembangan penyakit yang

berhubungan dengan anemia.

c. Eritrosit/sel darah merah (RBC)

Nilai normal

Pria : 4,4 - 5,6 x 106 sel/mm3SI unit: 4,4 - 5,6 x 1012 sel/L

Wanita : 3,8-5,0 x 106 sel/mm3 SI unit: 3,5 - 5,0 x 1012 sel/L

Deskripsi

Fungsi utama eritrosit adalah untuk mengangkut oksigen dari paru-paru

kejaringan tubuh dan mengangkut CO2 dari jaringan tubuh ke paru-paru oleh

Hb. Eritrosit yang berbentuk cakram bikonkaf mempunyai area permukaan

yang luas sehingga jumlah oksigen yang terikat dengan Hb dapat lebih

banyak. Bentuk bikonkaf juga memungkinkan sel berubah bentuk agar lebih

mudah melewati kapiler yang kecil. Jika kadar oksigen menurun hormon

eritropoetin akan menstimulasi produksi eritrosit.

Implikasi klinik

1) Secara umum nilai Hb dan Hct digunakan untuk memantau derajat anemia,

serta respon terhadap terapi anemia

2) Jumlah sel darah merah menurun pada pasien anemia leukemia, penurunan

fungsi ginjal, talasemin, hemolisis dan lupus eritematosus sistemik. Dapat


juga terjadi karena obat (drug induced anemia). Misalnya: sitostatika,

antiretroviral.

3) Sel darah merah meningkat pada polisitemia vera, polisitemia sekunder,

diare/dehidrasi, olahraga berat, luka bakar, orang yang tinggal di dataran

tinggi.

d. Mean Corpuscular Volume (MCV)

Perhitungan

MCV (femtoliter) = 10 x Hct (%) : Eritrosit (106 sel/μL)

Nilai normal : 80 – 100 (fL)

Deskripsi

MCV adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah. MCV

menunjukkan ukuran sel darah merah tunggal apakah sebagai Normositik

(ukuran normal), Mikrositik (ukuran kecil < 80 fL), atau Makrositik (ukuran

kecil >100 fL).

Implikasi klinik

1) Penurunan nilai MCV terlihat pada pasien anemia kekurangan besi,

anemia pernisiosa dan talasemia, disebut juga anemia mikrositik.

2) Peningkatan nilai MCV terlihat pada penyakit hati, alcoholism, terapi

antimetabolik, kekurangan folat/vitamin B12, dan terapi valproat, disebut

juga anemia makrositik.

3) Pada anemia sel sabit, nilai MCV diragukan karena bentuk eritrosit yang

abnormal.
4) MCV adalah nilai yang terukur karenanya memungkinkan adanya variasi

berupa mikrositik dan makrositik walaupun nilai MCV tetap normal.

5) MCV pada umumnya meningkat pada pengobatan Zidovudin (AZT) dan

sering digunakan sebagi pengukur kepatuhan secara tidak langsung.

e. Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)

Perhitungan

MCH (picogram/sel) = hemoglobin/sel darah merah

Nilai normal : 28– 34 pg/ sel

Deskripsi

Indeks MCH adalah nilai yang mengindikasikan berat Hb rata-rata di dalam

sel darah merah, dan oleh karenanya menentukan kuantitas warna

(normokromik, hipokromik, hiperkromik) sel darah merah. MCH dapat

digunakan untuk mendiagnosa anemia.

Implikasi Klinik

1) Peningkatan MCH mengindikasikan anemia makrositik

2) Penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik

f. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)

Perhitungan

MCHC = hemoglobin/hematokrit

Nilai normal : 32 – 36 g/dL

Deskripsi

Indeks MCHC mengukur konsentrasi Hb rata-rata dalam sel darah merah;

semakin kecil sel, semakin tinggi konsentrasinya. Perhitungan MCHC


tergantung pada Hb dan Hct. Indeks ini adalah indeks Hb darah yang lebih

baik, karena ukuran sel akan mempengaruhi nilai MCHC, hal ini tidak berlaku

pada MCH.

Implikasi Klinik

1) MCHC menurun pada pasien kekurangan besi, anemia mikrositik, anemia

karena piridoksin, talasemia dan anemia hipokromik.

2) MCHC meningkat pada sferositosis, bukan anemia pernisiosa

2.1.3 Dampak anemia

Dampak yang akan terjadi jika remaja putri atau wanita usia subur

mengalami anemia adalah akan mudah terinfeksi atau mudah sakit karena daya

tahan tubuh yang rendah sehingga produktivitas kerja rendah (Kemenkes RI,

2014). Dampak lain akibat terjadi anemia pada remaja ialah berbagai komplikasi

antara lain berupa gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh

kembang yang terlambat, penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku

(Abdulsalam & Daniel, 2002). Anemia juga mempunyai dampak yang merugikan

bagi kesehatan remaja berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan

tubuh dan daya konsentrasi, serta penurunan kemampuan belajar, sehingga

menurunkan prestasi belajar sekolah (Citrakesumasari, 2012).

Menurut Indartanti & Kartini (2014) anemia sering dikeluhkan dengan

keadaan lesu, pusing, mata berkunang-kunang, dan wajah pucat, sehingga dapat

menyebabkan menurunnya aktivitas dan prestasi belajar karena kurangnya

konsentrasi.
2.1.4 Penyebab anemia

Salah satu penyebab utama anemia Menurut Abdulsalam & Daniel (2002)

adalah kehilangan berlebihan karena perdarahan dan infestasi parasit dan

poliposis yang biasanya terjadi pada usia 5 tahun- masa remaja, kemudian pada

usia remaja-dewasa khusus untuk remaja putri selain karena faktor pertumbuhan

remaja putri juga akan mengalami masa menstruasi dan dimasa ini mereka akan

mengalami kehilangan banyak darah.

Selain perdarahan atau penyakit infeksi, anemia juga disebabkan karena

kekurangan gizi yang menjadi unsur penting dalam memproduksi hemoglobin.

Kekurangan gizi atau anemia gizi biasanya terjadi karena kekurangan zat besi

akibat penderita memang kurang mengonsumsi makanan yang kaya akan zat besi

seperti sayuran hijau, ikan, hati, telur, dan daging, serta kebiasaan mengkonsumsi

makanan yang mengandung zat penghambat absorpsi zat besi dalam tubuh dalam

waktu bersamaan (Citrakesumasari, 2012).

Zat besi adalah salah satu mineral mikro yang penting dalam proses

pembentukan sel darah merah. Secara alamiah zat besi diperoleh dari makanan.

Kekurangan zat besi dalam menu makanan sehari-hari dapat menimbulkan

penyakit anemia gizi atau yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kurang darah

(Citrakesumasari, 2012). Jenis-jenis bahan makanan sumber zat besi dapat dilihat

pada tabel dibawah ini.


Tabel 4 Bahan Makanan dan Kandungan Zat Besi

Bahan Makanan Zat Besi (mg/100gr)


Hati 6,0-14,0
Daging sapi 2,0-4,3
Ikan 0,5-1,0
Telur ayam 2,0-3,0
Kacang-kacangan 1,9-14,0
Tepung gandum 1,5-7,0
Sayuran daun hijau 0,4-18,0
Umbi-umbian 0,2-0,3
Buah-buahan 0,2-0,4
Beras 0,5-0,8
Susu sapi 0,1-0,4
Sumber : Wirakusumah (1999)

Bentuk zat besi yang terdapat dalam makanan juga mempengaruhi

penyerapan zat besi oleh tubuh. Ada 2 macam bentuk zat besi dalam makanan

yaitu hem dan non hem. Zat besi hem berasal dari hewan, penyerapannya tidak

tergantung pada jenis kandungan makanan lain, dan lebih mudah diabsorpsi

dibandingkan zat besi non hem. Walaupun kandungan zat besi hem dalam

makanan hanya 5-10% akan tetapi penyerapannya mencapai 25%. Makanan

hewani seperti daging, ikan dan ayam merupakan sumber utama zat besi hem.

Penyerapan zat besi non hem termasuk rendah hanya 5% dan sangat tergantung

pada jenis makanan lain atau menu yang bervariasi. Menu makanan yang

merupakan kombinasi sumber non hem dengan sumber zat besi hem dapat

meningkatkan penyerapan zat besi non hem (Wirakusumah, 1999).

2.1.5 Pencegahan dan pengobatan anemia

Pencegahan anemia dapat dilakukan dengan memelihara keseimbangan

antara asupan Fe dengan kebutuhan dan kehilangan Fe. Kebutuhan Fe untuk

memelihara keseimbangan didalam tubuh bervariasi antara satu remaja dengan


remaja lainnya. Pemenuhan kebutuhan zat besi dilakukan dengan peningkatan

asupan makanan/nutrisi yang mengandung lebih banyak zat besi dan

meminimalkan konsumsi makanan yang mengandung faktor penghambat absorbs

zat besi. Apabila kebutuhan zat besi dalam tubuh tidak dapat tercukupi melalui

asupan makanan, maka dapat ditambahkan dengan suplemen Fe, hal tersebut

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fikawati et al, (2004) yang

memperoleh hasil, pemberian suplementasi zat besi 1 kali/minggu dapat menaikan

rata-rata kadar Hb sebesar 2,20 gr/dl dan pemberian suplementasi zat besi 2

kali/minggu menaikan kadar Hb sebesar 2,28 gr/dl.

Suplementasi Fe atau dalam bentuk tablet tambah darah (TTD) merupakan

salah satu strategi yang dilaksanakan untuk meningkatkan intake Fe. Suplementasi

Fe hanya akan berhasil jika individu mematuhi aturan konsumsi. Beberapa faktor

yang menyebabkan rendahnya konsumsi tablet tambah darah ini adalah faktor

individu, misalnya lupa mengonsumsi TTD, harganya mahal jika harus membeli,

adanya efek samping seperti mual, gangguan pada lambung dan gangguan

pencernaan.

Dalam upaya identifikasi dan pengobatan anemia diperlukan suatu

skrining. Center for Desease Contol and Prevention (CDC) menyarankan agar

remaja/wanita dewasa yang tidak hamil dengan faktor risiko anemia diskrining

setiap 1 tahun sekali dan remaja/wanita dewasa yang tidak hamil tanpa faktor

risiko anemia diskrining 5–10 tahun sekali.


2.2 Remaja

2.2.1 Definisi remaja

Remaja (adolescence) didefinisikan sebagai masa transisi dari masa anak-

anak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan fisik, psikis

dan psikososial (Dewi, 2012). Remaja mengalami 3 tahap perkembangan yang

dibagi berdasarkan umur, yaitu:

a. Remaja Awal

Remaja awal dimulai dari umur 12 tahun sampai dengan 16 tahun. Pada

masa ini remaja telah memasuki pendidikan menengah tingkat pertama

sampai pendidikan menengah tingkat atas.

b. Remaja Akhir

Remaja yang tergolong dalam remaja akhir jika sudah memasuki usia 17

tahun sampai dengan 25 tahun. Pada masa ini umumnya remaja telah

memasuki tingkat pendidikan menengah atas, perguruan tinggi, atau telah

bekerja.

2.2.2 Perkembangan remaja Putri

Remaja putri adalah kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi gizi

khususnya zat besi. Pada saat remaja putri sedang dalam masa pertumbuhan

puncak dibutuhkan zat bezi yang lebih tinggi yaitu untuk kebutuhan basal tubuh

dan pertumbuhan itu sendiri. 1 tahun setelah puncak pertumbuhan, remaja putri

biasanya akan mengalami haid pertama (menarche). Kebutuhan zat bezi yang

tinggi diperlukan untuk menggantikan zat bezi yang hilang pada saat menstruasi

(Wirakusumah, 1999). Masa remaja dimulai pada saat anak perempuan


mengalamai menstruasi yang pertama atau menarche, sedangkan pada anak laki-

laki yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Waktu terjadi proses kematangan

seksual pada laki-laki dan perempuan berbeda, hal ini dipengaruhi oleh asupan zat

gizi pada saat anak-anak. Kematangan seksual dinegara miskin berjalan lebih

lama dibandingkan negara yang lebih maju. Hal ini dipengaruhi oleh status sosial

ekonomi di masing-masing negara (Arisman, 2009).

2.2.3 Masalah gizi pada remaja

Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, remaja menghadapi berbagai

masalah baik itu masalah kesehatan, hormonal, hingga masalah kenakalan remaja.

Masalah kesehatan pada masa remaja dapat berawal dari usia yang sangat dini.

Masalah kesehatan tersebut dapat berupa gejala sisa infeksi atau malnutrisi pada

masa anak-anak yang berlanjut menjadi beban pada usia remaja. Salah satu

masalah malnutrisi pada remaja adalah anemia, karena masa remaja merupakan

masa pertumbuhan yang sangat cepat sehingga terjadinya anemia pada masa ini

akan mengakibatkan tidak tercapainya tinggi badan optimal (Arisman, 2009).

Kebutuhan kalori semasa pertumbuhan remaja sangat tinggi yaitu ± 2200

untuk remaja putri dan ±3000 kalori untuk remaja putra. Remaja putri lebih

mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan kalori karena dipengaruhi

keinginan yang hebat dari remaja putri untuk mengontrol berat badannya.

Permasalahan gizi yang lain pada remaja adalah adanya kebiasaan diet, pola

makan vegetarian dan kebiasaan makan remaja yang bersandar sangat hebat pada

restoran “fast food” dengan menu minim akan kandungan gizi (Moore, 1997).
2.2.4 Kebutuhan gizi remaja

Penentuan kebutuhan gizi remaja secara umum di dasarkan kepada

recommende daily allowance (RDA). Arisman (2009) menganjurkan penggunaan

kkal/cm tinggi badan sebagai penentu kebutuhan energy yang lebih baik.

Perkiraan energy untuk remaja putri dengan usia 11-18 tahun yaitu 10-19 kkal/cm.

Untuk remaja putri berkisar antara 0,27-0,29 gram/cm. Kebutuhan akan semua

jenis mineral meningkat, peningkatan kebutuhan akan zat bezi dan kalsium paling

tinggi karena kedua mineral ini merupakan komponen penting membentuk tulang

otot. Asupan kalsium yang dianjurkan 800 mg (praremaja) sampai 1.200 (remaja).

Kehilangan zat besi yang dibutuhkan pada wanita berjumlah sama, yaitu

sekitar 0,8 mg perhari. Namun, wanita dewasa mengalami kehilangan zat besi

tambahan akibat menstruasi dan hal ini menaikkan kebutuhan rata-rata setiap

harinya sehingga zat besi yang harus diserap adalah 1,4 mg per hari (jumlah ini

memenuhi 90 % kebutuhan pada wanita yang sedang menstruasi untuk memenuhi

kebutuhan yang 10 % lagi diperlukan absorpsi harian paling sedikit 2,4 mg zat

besi guna mengimbangi kehilangan yang sangat tinggi pada saat menstruasi)

(Citrakesumasari, 2012).

2.3 Determinan Anemia Pada Remaja

2.3.1 Karakteristik individu

Dari hasil penelitian didapatkan faktor umur dapat mempengaruhi anemia,

yaitu remaja umur 12-16 tahun memiliki risiko 2 kali lebih tinggi dibandingkan

anak umur 2-11 tahun dengan prevalensi sebagai berikut, anemia paling banyak
terjadi pada anak berusia 12-16 tahun 4,7%, usia 2-5 tahun 2,3%, dan usia 6-11

tahun 1,8% (Nead et al, 2004). Menurut Arumsari (2008), remaja putri usia 13-15

tahun berisiko 2 kali lebih besar menderita anemia dibandingkan usia 10-12 tahun.

Selain faktor umur, menurut hasil penelitian yang dilakukan pada 408

remaja sekolah di Bonga Town, Ethiopia barat daya, didapatkan hasil yang

signifikan tentang pengaruh jenis kelamin terhadap anemia pada remaja yaitu

remaja wanita memiliki risiko 3 kali lebih tinggi menderita anemia dibandingkan

dengan remaja laki-laki (Tesfaye et al, 2015). Hal tersebut juga didukung oleh

penelitian Nead et al (2004) yang mendapatkan jika dibandingkan dengan remaja

laki-laki remaja wanita berisiko 2 kali lebih tinggi menderita anemia.

Komposisi tubuh wanita dikatakan lebih banyak mengandung lemak yang

berarti bahwa lebih banyak jaringan tidak aktif didalam tubuhnya meskipun

mempunyai berat badan yang sama dengan laki-laki. Kebutuhan zat gizi anak

laki-laki berbeda dengan anak wanita dan biasanya anak laki-laki kebutuhannya

lebih tinggi karena memiliki aktifitas fisik yang lebih tinggi. Dengan kandungan

lemak yang lebih banyak, aktivitas yang tidak terlalu tinggi dan faktor endokrin

serta perubahan hormonal maka umunya kejadian obesitas lebih dijumpai pada

wanita terutama pada saat remaja (Zuhdy, 2015).

2.3.2 Status sosial ekonomi keluarga

Penelitian tentang status sosial ekonomi keluarga pernah dilakukan oleh

Masita (2008) diperoleh bahwa, status ekonomi keluarga yang miskin

mempengaruhi kejadian anemia pada remaja. Berdasarkan hasil penelitian Balci et

al (2012) didapatkan hasil yang signifikan bahwa status sosial ekonomi keluarga
dapat menyebabkan anemia. Selain itu didapatkan bahwa status ekonomi keluarga

yang rendah memiliki risiko 3 kali lebih tinggi menderita anemia (Kaur et al,

2006)

Status sosial ekonomi keluarga juga meliputi tingkat pendidikan dan

tingkat sosial ekonomi. Menurut Citrakesumasari (2012) Seseorang dengan

tingkat pendidikan dan sosial ekonomi menengah ke atas akan memiliki banyak

pilihan dalam memilih makanan sumber zat besi, utamanya jenis heme (hewani)

yang merupakan sumber zat pelancar Fe di dalam tubuh, dibandingkan jenis non-

heme (nabati). Hal tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Siahaan

(2012) yang mendapatkan tingkat pendidikan ayah mempengaruhi status anemia

pada remaja di wilayah Kota Depok. Seorang ayah yang tidak sekolah memiliki

risiko 9 kali lebih tinggi untuk menderita anemia (Tesfaye et al, 2015). Hasil

penelitian pada remaja di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2007

menunjukkan adanya hubungan tingkat pendidikan orang tua dengan kejadian

anemia pada remaja (Hasrul et al, 2008).

Selain pendidikan orang tua, indikator lain yang berpengaruh ialah pekerjaan

orang tua. Pekerjaan orang tua merupakan faktor penentu kualitas dan kuantitas

makanan karena berhubungan dengan pendapatan. Apabila pendapatan

meningkat, penyediaan makanan yang bermutu juga akan meningkat. Sebaliknya

penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan penyediaan pangan secara

kualitas maupun kuantitas sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan

tubuh akan zat gizi salah satunya adalah zat besi yang dapat berdampak timbulnya

anemia (Nursari, 2009).


Menurut penelitian Priscillia, Malonda, & Kawatu (2015) terdapat hubungan

tingkat pendapatan keluarga dengan anemia pada siswi di SMP Negeri 2 Manado.

Dari hasil penelitian lain didapatkan remaja dengan orang tua yang bekerja

sebagai pekerja harian memiliki risiko 2 kali lipat untuk menderita anemia

(Tesfaye et al, 2015). Peningkatan pendapatan dapat mempengaruhi pemilihan

jenis dan makanan yang dikonsumsi. Meningkatnya pendapatan seseorang dalam

keluarga akan mempengaruhi susunan makanan. Peningkatan ekonomi

dimasyarakat yang diikuti oleh peningkatan pendidikan dapat mengubah gaya

hidup dan pola makan traditional ke pola makan praktis dan siap saji, dan jika

dikonsumsi berlebihan akan menyebabkan kelebihan kalori penyebab obesitas

(Zuhdy, 2015).

Selain faktor diatas, jumlah anggota keluarga juga dapat mempengaruhi

anemia pada remaja, menurut penelitian Tesfaye et al (2015) jumlah anggota

keluarga lebih dari 5 orang memiliki risiko 2 kali lebih tinggi untuk menderita

anemia. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Priscillia et al (2015) yang

meyatakan bahwa terdapat hubungan antara jumlah tanggungan keluarga dengan

anemia pada siswi SMP Negeri 2 Manado.

2.3.3 Pengetahuan Tentang Anemia

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan seseorang

dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat

pendidikan yang semakin tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat

untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya

hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi (Citrakesumasari, 2012).


Menurut penelitian Sihotang & Febriany (2012) mengenai tingkat pengetahuan

remaja putri tentang anemia diketahui bahwa mayoritas remaja putri di SMAN 15

Medan berpengetahuan cukup 77,7%, hal ini disebabkan karena masih kurangnya

informasi yang diperoleh remaja putri tentang anemia.

Pengetahuan remaja putri mengenai anemia dapat diperoleh dari berbagai

sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan remaja putri tentang

anemia mayoritas diperoleh informasi dari media (elektronik, cetak, internet)

50%, dari guru 25,5%, dari keluarga 16%, dari petugas kesehatan 7,4%, dan dari

teman 1,1%. Hal ini dapat dimaklumi karena sumber informasi berupa media

massa adalah media informasi yang cukup berkembang dan mudah diakses

sehingga dapat kita lihat bahwa hampir sebagian masyarakat menggunakan media

(elektronik, cetak, internet) sebagai sumber informasi (Sihotang & Febriany,

2012).

Pengetahuan yang dimaksud tentang anemia meliputi definisi, penyebab,

sampai dengan pencegahan dan pengobatan. Menurut penelitian Anggraini,

Husaini, & Khairiati (2017) didapatkan responden dengan tingkat pengetahuan

kurang tentang anemia memiliki peluang 8,750 kali untuk menderita anemia

dibandingkan dengan responden yang memiliki tingkat pengetahuan cukup dan

baik.

2.3.4 Pola makan

Pola makan merupakan kebiasaan seseorang makan dalam satu hari. Pola

makan ini meliputi frekuensi makan, jenis bahan makanan, porsi makan, dan ada

atau tidaknya pantangan makan. Pola makan dapat dipengaruhi oleh adanya
budaya, norma, adat, keluarga, teman ataupun lingkungan tempat mereka tinggal.

Menurut Masita (2008) penelitian pada remaja di Purworejo mendapatkan

perilaku makan yang tidak sehat mempengaruhi terjadinya anemia. Begitu juga

pada penelitian Balci et al (2012) diperoleh bahwa kebiasaan makan yang tidak

teratur merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia.

Selain kebiasaan makan yang tidak teratur, jenis makanan yang dikonsumsi

juga berpengaruh terhadap kejadian anemia. Berdasarkan penelitian Ahankari et

al (2016) yang menjadi salah satu faktor risiko terjadinya anemia pada remaja di

India adalah kurangnya konsumsi sayur dan buah.

Masalah pola makan pada remaja tidak terlepas dari keinginan mereka

untuk menjaga berat badan, seperti pada penelitian Balci et al (2012) didapatkan

faktor risiko penyebab anemia pada remaja salah satunya adalah rasa takut

bertambahnya berat badan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan pada 6000

remaja perempuan dari empat Desa di Pusat Pelatihan Kesehatan Kasturba

Pedesaan Anji India, diperoleh hasil bahwa remaja yang melakukan diet

vegetarian memiliki risiko 5 kali lebih tinggi menderita anemia dibandingkan

dengan remaja yang tidak melakukan diet vegetarian (Kaur et al, 2006).

2.3.5 Status gizi

Masalah kekurangan gizi pada orang dewasa (18 keatas) merupakan masalah

penting, karna selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu juga dapat

mempengaruhi produktifitas kerja (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002). Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Wibowo et al (2013) tentang hubungan status gizi
dan anemia pada remaja putri di SMP Muhammadiyah 3 Semarang, didapatkan

hubungan yang bermakna antara status gizi dan anemia.

Penilaian status gizi dapat dilakukan melalui empat cara yaitu antropometri,

klinis, biokimia dan biofisik. Cara pengukuran status gizi yang paling sering

digunakan adalah antropometri (Supariasa et al, 2002). Pengukuran antropometri

pada remaja dilakukan untuk memantau dan mengevaluasi pertumbuhan dan

perkembangan yang dipengaruhi oleh faktor hormonal. Pengukuran antropometri

untuk menentukan status gizi dapat dilakukan dengan menggunakan Indeks Massa

Tubuh (IMT) yang diperoleh berdasarkan pada perhitungan berat badan dan tinggi

badan.

Menurut Thompson (2007) terdapat korelasi positif antara indeks massa

tubuh (IMT) dan konsentrasi hemoglobin, begitu juga pada penelitian yang

dilakukan Permaesih & Herman (2005) menunjukkan bahwa remaja yang

memiliki IMT yang kurang dari batas normal, berisiko 1,5 kali lebih tinggi untuk

menderita anemia. Sedangkan menurut Nead et al (2004) Body Mass Index (BMI)

>85% memiliki risiko 2 kali lebih tinggi untuk menderita anemia.

Indikator antropometri di lapangan berupa pengukuran berat badan (BB) dan

panjang/tinggi badan (TB) untuk mengetahui massa tubuh. Pengukuran ini dapat

dipengaruhi oleh umur karena pada masa remaja 20% tinggi badan dan 50% berat

badan telah tercapai. Penelitian faktor risiko anemia dengan menghitung

antropometri (lingkar lengan atas) pernah dilakukan di Maharashtra, India pada

remaja putri usia 13-17 tahun mendapatkan hasil, remaja yang memiliki lingkar

lengan <22cm berisiko mengalami anemia (Ahankari et al, 2016)


Pengukuran IMT dapat dilakukan pada anak-anak, remaja dan orang

dewasa. Khusus untuk anak-anak dan remaja digunakan perhitungan IMT

menurut umur (IMT/U) karena dengan perubahan umur akan terjadi perubahan

komposisi tubuh. Pada usia remaja nilai IMT/U harus dibandingkan dengan suatu

indeks yang disebut z-skor. Z-skor merupakan deviasi nilai seseorang dari nilai

median populasi referensi dibagi dengan simpangan baku populasi. Berikut

merupakan perhitungan manual dan IMT/U pada remaja (Kemenkes RI, 2010).

Nilai IMT yang diukur − Median Nilai IMT (referensi)


z − Skor =
Standar Deviasi dari standar/referensi

Tabel 5 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Umur IMT/U Anak Umur 5-18
Tahun.

Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)


Sangat kurus <-3SD
Kurus -3SD sampai dengan <-2SD
Normal -2SD sampai dengan 1SD
Gemuk >1SD sampai dengan 2SD
Obesitas >2SD
Sumber: Kemenkes RI (2010)

Dari hasil penelitian tentang status gizi khususnya obesitas, didapatkan hasil

bahwa anak yang obesitas, memiliki risiko 2 kali lebih tinggi menderita anemia

(Nead et al., 2004). Hal yang berbeda di peroleh pada penelitian Arumsari (2008)

yaitu, remaja putri dengan status gizi kurus berisiko 8 kali lebih tinggi menderita

anemia dibandingkan dengan remaja putri status gizi gemuk, dan remaja putri

dengan status gizi normal berisiko 6 kali lebih tinggi menderita anemia

dibandingkan dengan remaja putri status gizi gemuk.


2.3.6 Pola menstruasi

Pada penelitian remaja di India, didapatkan lama menstruasi/riwayat

perdarahan menstruasi yang berlebih memiliki risiko 5 kali lebih tinggi menderita

anemia (Kaur et al, 2006). Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian Masita

(2008) lama menstruasi pada remaja/wanita usia subur dapat mempengaruhi

kejadian anemia.

Wanita dalam usia reproduktif akan mengalami kehilangan zat besi ketika

menstruasi. Kehilangan rata-rata darah pada saat menstruasi adalah sekitar 30

ml/hari yang sama dengan kebutuhan tambahan 0,5 mg zat besi per hari.

Kehilangan darah setiap hari ini dihitung dari kandungan zat besi dalam darah

yang hilang selama menstruasi selama periode satu bulan. Sekitar 10 % wanita

akan kehilangan sebanyak 80 ml darah yang setara dengan 1 mg besi per hari.

Dengan mengambil nilai yang lebih tinggi (1 mg/hari), kehilangan total zat besi

(kehilangan basal plus menstruasi) pada wanita akan sebesar 30µg/kg BB/hari

(>1,5 mg/hari). Wanita tersebut tidak akan mampu mempertahankan

keseimbangan besi yang positif jika kebutuhan zat besinya berdasarkan

kehilangan rata-rata saat menstruasi sebanyak 30 ml (Citrakesumasari, 2012).

2.3.7 Penyakit infeksi

Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penting dalam kejadian

anemia. Salah satu infeksi penyebab anemia disebabkan adanya infestasi parasit

misalnya cacing tambang (ankilostoma & nekator), schistosoma, dan trichuris

trichiura. Kejadian ini biasa terjadi di negara-negara tropis, lembab serta keadaan

sanitasi yang buruk (Arisman, 2009).


Menurut WHO (2001) beberapa penyakit infeksi yang menjadi masalah

hingga menimbulkan anemia adalah schistosomiasis, infeksi cacing trichuriasis,

malaria, dan amoebiasis. faktor lain seperti malaria, infeksi parasit dan

hemoglobinopati juga tidak jarang menyebabkan anemia (WHO, 2008). Dari hasil

penelitian yang dilakukan oleh Tesfaye et al (2015) diperoleh bahwa infeksi

parasit pada saluran pencernaan mempengaruhi anemia pada remaja yaitu remaja

yang pernah mengalami infeksi parasite, 5 kali lebih tinggi berisiko menderita

anemia. Hal serupa juga diteliti oleh Kaur et al, (2006) hasilnya remaja yang

memiliki riwayat infeksi cacing memiliki risiko 4 kali lebih tinggi menderita

anemia.

2.3.8 Konsumsi tablet tambah darah

Hasil penelitian di Wardha India, menunjukkan asupan zat besi 14-20

mg/hari memiliki risiko 2 kali lebih tinggi menderita anemia, sedangkan remaja

yang asupan zat besi <14 mg/hari memiliki risiko 4 kali lebih tinggi menderita

anemia (Kaur et al, 2006).

Pada penelitian lain didapatkan rata-rata kenaikan kadar Hb siswi yang

diberikan suplementasi 1 kali/minggu adalah sebesar 2,20 g/dl sedangkan yang

diberikan suplementasi 2 kali/minggu sebesar 2,28 g/dl. Dengan hasil yang tidak

terlalu jauh berbeda maka pemberian suplementasi zat besi untuk meningkatkan

kadar Hb dapat diberikan cukup 1 kali/minggu (suplementasi Fe program

pemerintah yang kandungannya ferrous sulfat 60 mg Fe dan 0,25 mg asam folat)

guna menurunkan risiko terjadinya anemia pada remaja (Fikawati et al, 2004).
2.3.9 Persepsi citra tubuh

Perilaku makan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah citra

tubuh (body image). Citra tubuh menunjukkan bagaimana seseorang memandang

dirinya sendiri, bagaimana merasakan orang lain menerima dirinya dan apakah ia

mempercayai penampilan fisiknya (Sen & Kanani, 2006). Konsep tubuh ideal

tinggi langsing menimbulkan remaja putri melakukan pembatasan asupan

makanan terhadap sumber zat besi yang dianggap sebagai makanan dengan lemak

tinggi (Rahayu & Dieny, 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada remaja putri di SMKN 3 dan

SMAN 6 di Kabupaten Purworejo menunjukkan hubungan yang bermakna antara

citra tubuh dengan kejadian anemia, kejadian anemia lebih besar pada remaja

yang mempunyai citra tubuh negatif dibandingkan pada remaja yang mempunyai

citra tubuh positif (Masita, 2008). Pada penelitian Rahayu & Dieny (2012)

mendapatkan sebanyak 41,25% remaja memiliki citra tubuh negatif dan

cenderung mempunyai perilaku makan yang tidak sesuai sehingga asupan zat

besinya rendah.

Anda mungkin juga menyukai