Bab Ii Kajian Pustaka: Sumber: WHO (2010)
Bab Ii Kajian Pustaka: Sumber: WHO (2010)
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anemia
(referensi) yang disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah merah (eritrosit)
dan Hb, meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau kehilangan darah yang
konsentrasi hemoglobin (HGB), hematokrit (HCT) atau jumlah sel darah merah
(RBC). Untuk menjabarkan definisi anemia maka perlu ditetapkan batas yang
menderita anemia dan 50% penyebab utama anemia tersebut adalah anemia gizi
WHO (2008). Menurut Ruel (2001) kejadian anemia gizi yang paling banyak
terjadi di dunia adalah defisiensi zat besi dan paling banyak diderita oleh remaja.
WHO menetapkan batasan prevalensi anemia untuk kategori masalah
Anemia
Populasi
Ringan Sedang Berat
Anak usia 6 - 59 bulan 10-10,9 7-9,9 <7
Anak usia 5 – 11 tahun 11-11,4 8-10,9 <8
Anak usia 12 – 14 tahun 11-11,9 8-10,9 <8
Wanita tidak hamil (≥15 tahun) 11-11,9 8-10,9 <8
Wanita hamil 10-10,9 7-9,9 <7
Laki-laki ((≥15 tahun) 11-12,9 8-10,9 <8
Sumber : WHO (2011)
hematologi bervariasi pada bayi, anak anak dan remaja, umumnya lebih tinggi
saat lahir dan menurun selama beberapa tahun kemudian. Nilai pada orang dewasa
umumnya lebih tinggi dibandingkan tiga kelompok umur di atas (Kemenkes RI,
2011).
a. Hematokrit (HCT)
Nilai normal
Deskripsi
total.
Implikasi klinik
3) Nilai HCT biasanya sebanding dengan jumlah sel darah merah pada
mikrositik.
4) Pada pasien anemia karena kekurangan besi (ukuran sel darah merah lebih
kecil), nilai HCT akan terukur lebih rendah karena sel mikrositik
terkumpul pada volume yang lebih kecil, walaupun jumlah sel darah
b. Hemoglobin (Hb)
Nilai normal
Deskripsi
oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2). Hb tersusun dari globin (empat
rantai protein yang terdiri dari dua unit alfa dan dua unit beta) dan heme
(mengandung atom besi dan porphyrin: suatu pigmen merah). Pigmen besi
yang kehilangan oksigen (dalam vena) berwarna merah tua. Satu gram
Implikasi klinik
luka bakar), penyakit paru-paru kronik, gagal jantung kongestif dan pada
luka bakar.
Nilai normal
Pria : 4,4 - 5,6 x 106 sel/mm3SI unit: 4,4 - 5,6 x 1012 sel/L
Deskripsi
kejaringan tubuh dan mengangkut CO2 dari jaringan tubuh ke paru-paru oleh
yang luas sehingga jumlah oksigen yang terikat dengan Hb dapat lebih
banyak. Bentuk bikonkaf juga memungkinkan sel berubah bentuk agar lebih
mudah melewati kapiler yang kecil. Jika kadar oksigen menurun hormon
Implikasi klinik
1) Secara umum nilai Hb dan Hct digunakan untuk memantau derajat anemia,
2) Jumlah sel darah merah menurun pada pasien anemia leukemia, penurunan
antiretroviral.
tinggi.
Perhitungan
Deskripsi
MCV adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah. MCV
(ukuran normal), Mikrositik (ukuran kecil < 80 fL), atau Makrositik (ukuran
Implikasi klinik
3) Pada anemia sel sabit, nilai MCV diragukan karena bentuk eritrosit yang
abnormal.
4) MCV adalah nilai yang terukur karenanya memungkinkan adanya variasi
Perhitungan
Deskripsi
Implikasi Klinik
Perhitungan
MCHC = hemoglobin/hematokrit
Deskripsi
baik, karena ukuran sel akan mempengaruhi nilai MCHC, hal ini tidak berlaku
pada MCH.
Implikasi Klinik
Dampak yang akan terjadi jika remaja putri atau wanita usia subur
mengalami anemia adalah akan mudah terinfeksi atau mudah sakit karena daya
tahan tubuh yang rendah sehingga produktivitas kerja rendah (Kemenkes RI,
2014). Dampak lain akibat terjadi anemia pada remaja ialah berbagai komplikasi
antara lain berupa gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh
(Abdulsalam & Daniel, 2002). Anemia juga mempunyai dampak yang merugikan
bagi kesehatan remaja berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan
keadaan lesu, pusing, mata berkunang-kunang, dan wajah pucat, sehingga dapat
konsentrasi.
2.1.4 Penyebab anemia
Salah satu penyebab utama anemia Menurut Abdulsalam & Daniel (2002)
poliposis yang biasanya terjadi pada usia 5 tahun- masa remaja, kemudian pada
usia remaja-dewasa khusus untuk remaja putri selain karena faktor pertumbuhan
remaja putri juga akan mengalami masa menstruasi dan dimasa ini mereka akan
Kekurangan gizi atau anemia gizi biasanya terjadi karena kekurangan zat besi
akibat penderita memang kurang mengonsumsi makanan yang kaya akan zat besi
seperti sayuran hijau, ikan, hati, telur, dan daging, serta kebiasaan mengkonsumsi
makanan yang mengandung zat penghambat absorpsi zat besi dalam tubuh dalam
Zat besi adalah salah satu mineral mikro yang penting dalam proses
pembentukan sel darah merah. Secara alamiah zat besi diperoleh dari makanan.
penyakit anemia gizi atau yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kurang darah
(Citrakesumasari, 2012). Jenis-jenis bahan makanan sumber zat besi dapat dilihat
penyerapan zat besi oleh tubuh. Ada 2 macam bentuk zat besi dalam makanan
yaitu hem dan non hem. Zat besi hem berasal dari hewan, penyerapannya tidak
tergantung pada jenis kandungan makanan lain, dan lebih mudah diabsorpsi
dibandingkan zat besi non hem. Walaupun kandungan zat besi hem dalam
hewani seperti daging, ikan dan ayam merupakan sumber utama zat besi hem.
Penyerapan zat besi non hem termasuk rendah hanya 5% dan sangat tergantung
pada jenis makanan lain atau menu yang bervariasi. Menu makanan yang
merupakan kombinasi sumber non hem dengan sumber zat besi hem dapat
zat besi. Apabila kebutuhan zat besi dalam tubuh tidak dapat tercukupi melalui
asupan makanan, maka dapat ditambahkan dengan suplemen Fe, hal tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fikawati et al, (2004) yang
rata-rata kadar Hb sebesar 2,20 gr/dl dan pemberian suplementasi zat besi 2
salah satu strategi yang dilaksanakan untuk meningkatkan intake Fe. Suplementasi
Fe hanya akan berhasil jika individu mematuhi aturan konsumsi. Beberapa faktor
yang menyebabkan rendahnya konsumsi tablet tambah darah ini adalah faktor
individu, misalnya lupa mengonsumsi TTD, harganya mahal jika harus membeli,
adanya efek samping seperti mual, gangguan pada lambung dan gangguan
pencernaan.
skrining. Center for Desease Contol and Prevention (CDC) menyarankan agar
remaja/wanita dewasa yang tidak hamil dengan faktor risiko anemia diskrining
setiap 1 tahun sekali dan remaja/wanita dewasa yang tidak hamil tanpa faktor
anak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan fisik, psikis
a. Remaja Awal
Remaja awal dimulai dari umur 12 tahun sampai dengan 16 tahun. Pada
b. Remaja Akhir
Remaja yang tergolong dalam remaja akhir jika sudah memasuki usia 17
tahun sampai dengan 25 tahun. Pada masa ini umumnya remaja telah
bekerja.
Remaja putri adalah kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi gizi
khususnya zat besi. Pada saat remaja putri sedang dalam masa pertumbuhan
puncak dibutuhkan zat bezi yang lebih tinggi yaitu untuk kebutuhan basal tubuh
dan pertumbuhan itu sendiri. 1 tahun setelah puncak pertumbuhan, remaja putri
biasanya akan mengalami haid pertama (menarche). Kebutuhan zat bezi yang
tinggi diperlukan untuk menggantikan zat bezi yang hilang pada saat menstruasi
laki yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Waktu terjadi proses kematangan
seksual pada laki-laki dan perempuan berbeda, hal ini dipengaruhi oleh asupan zat
gizi pada saat anak-anak. Kematangan seksual dinegara miskin berjalan lebih
lama dibandingkan negara yang lebih maju. Hal ini dipengaruhi oleh status sosial
masalah baik itu masalah kesehatan, hormonal, hingga masalah kenakalan remaja.
Masalah kesehatan pada masa remaja dapat berawal dari usia yang sangat dini.
Masalah kesehatan tersebut dapat berupa gejala sisa infeksi atau malnutrisi pada
masa anak-anak yang berlanjut menjadi beban pada usia remaja. Salah satu
masalah malnutrisi pada remaja adalah anemia, karena masa remaja merupakan
masa pertumbuhan yang sangat cepat sehingga terjadinya anemia pada masa ini
untuk remaja putri dan ±3000 kalori untuk remaja putra. Remaja putri lebih
keinginan yang hebat dari remaja putri untuk mengontrol berat badannya.
Permasalahan gizi yang lain pada remaja adalah adanya kebiasaan diet, pola
makan vegetarian dan kebiasaan makan remaja yang bersandar sangat hebat pada
restoran “fast food” dengan menu minim akan kandungan gizi (Moore, 1997).
2.2.4 Kebutuhan gizi remaja
kkal/cm tinggi badan sebagai penentu kebutuhan energy yang lebih baik.
Perkiraan energy untuk remaja putri dengan usia 11-18 tahun yaitu 10-19 kkal/cm.
Untuk remaja putri berkisar antara 0,27-0,29 gram/cm. Kebutuhan akan semua
jenis mineral meningkat, peningkatan kebutuhan akan zat bezi dan kalsium paling
tinggi karena kedua mineral ini merupakan komponen penting membentuk tulang
otot. Asupan kalsium yang dianjurkan 800 mg (praremaja) sampai 1.200 (remaja).
Kehilangan zat besi yang dibutuhkan pada wanita berjumlah sama, yaitu
sekitar 0,8 mg perhari. Namun, wanita dewasa mengalami kehilangan zat besi
tambahan akibat menstruasi dan hal ini menaikkan kebutuhan rata-rata setiap
harinya sehingga zat besi yang harus diserap adalah 1,4 mg per hari (jumlah ini
kebutuhan yang 10 % lagi diperlukan absorpsi harian paling sedikit 2,4 mg zat
besi guna mengimbangi kehilangan yang sangat tinggi pada saat menstruasi)
(Citrakesumasari, 2012).
yaitu remaja umur 12-16 tahun memiliki risiko 2 kali lebih tinggi dibandingkan
anak umur 2-11 tahun dengan prevalensi sebagai berikut, anemia paling banyak
terjadi pada anak berusia 12-16 tahun 4,7%, usia 2-5 tahun 2,3%, dan usia 6-11
tahun 1,8% (Nead et al, 2004). Menurut Arumsari (2008), remaja putri usia 13-15
tahun berisiko 2 kali lebih besar menderita anemia dibandingkan usia 10-12 tahun.
Selain faktor umur, menurut hasil penelitian yang dilakukan pada 408
remaja sekolah di Bonga Town, Ethiopia barat daya, didapatkan hasil yang
signifikan tentang pengaruh jenis kelamin terhadap anemia pada remaja yaitu
remaja wanita memiliki risiko 3 kali lebih tinggi menderita anemia dibandingkan
dengan remaja laki-laki (Tesfaye et al, 2015). Hal tersebut juga didukung oleh
berarti bahwa lebih banyak jaringan tidak aktif didalam tubuhnya meskipun
mempunyai berat badan yang sama dengan laki-laki. Kebutuhan zat gizi anak
laki-laki berbeda dengan anak wanita dan biasanya anak laki-laki kebutuhannya
lebih tinggi karena memiliki aktifitas fisik yang lebih tinggi. Dengan kandungan
lemak yang lebih banyak, aktivitas yang tidak terlalu tinggi dan faktor endokrin
serta perubahan hormonal maka umunya kejadian obesitas lebih dijumpai pada
al (2012) didapatkan hasil yang signifikan bahwa status sosial ekonomi keluarga
dapat menyebabkan anemia. Selain itu didapatkan bahwa status ekonomi keluarga
yang rendah memiliki risiko 3 kali lebih tinggi menderita anemia (Kaur et al,
2006)
tingkat pendidikan dan sosial ekonomi menengah ke atas akan memiliki banyak
pilihan dalam memilih makanan sumber zat besi, utamanya jenis heme (hewani)
yang merupakan sumber zat pelancar Fe di dalam tubuh, dibandingkan jenis non-
heme (nabati). Hal tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Siahaan
pada remaja di wilayah Kota Depok. Seorang ayah yang tidak sekolah memiliki
risiko 9 kali lebih tinggi untuk menderita anemia (Tesfaye et al, 2015). Hasil
Selain pendidikan orang tua, indikator lain yang berpengaruh ialah pekerjaan
orang tua. Pekerjaan orang tua merupakan faktor penentu kualitas dan kuantitas
tubuh akan zat gizi salah satunya adalah zat besi yang dapat berdampak timbulnya
tingkat pendapatan keluarga dengan anemia pada siswi di SMP Negeri 2 Manado.
Dari hasil penelitian lain didapatkan remaja dengan orang tua yang bekerja
sebagai pekerja harian memiliki risiko 2 kali lipat untuk menderita anemia
hidup dan pola makan traditional ke pola makan praktis dan siap saji, dan jika
(Zuhdy, 2015).
keluarga lebih dari 5 orang memiliki risiko 2 kali lebih tinggi untuk menderita
anemia. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Priscillia et al (2015) yang
remaja putri tentang anemia diketahui bahwa mayoritas remaja putri di SMAN 15
Medan berpengetahuan cukup 77,7%, hal ini disebabkan karena masih kurangnya
50%, dari guru 25,5%, dari keluarga 16%, dari petugas kesehatan 7,4%, dan dari
teman 1,1%. Hal ini dapat dimaklumi karena sumber informasi berupa media
massa adalah media informasi yang cukup berkembang dan mudah diakses
sehingga dapat kita lihat bahwa hampir sebagian masyarakat menggunakan media
2012).
kurang tentang anemia memiliki peluang 8,750 kali untuk menderita anemia
baik.
Pola makan merupakan kebiasaan seseorang makan dalam satu hari. Pola
makan ini meliputi frekuensi makan, jenis bahan makanan, porsi makan, dan ada
atau tidaknya pantangan makan. Pola makan dapat dipengaruhi oleh adanya
budaya, norma, adat, keluarga, teman ataupun lingkungan tempat mereka tinggal.
perilaku makan yang tidak sehat mempengaruhi terjadinya anemia. Begitu juga
pada penelitian Balci et al (2012) diperoleh bahwa kebiasaan makan yang tidak
Selain kebiasaan makan yang tidak teratur, jenis makanan yang dikonsumsi
al (2016) yang menjadi salah satu faktor risiko terjadinya anemia pada remaja di
Masalah pola makan pada remaja tidak terlepas dari keinginan mereka
untuk menjaga berat badan, seperti pada penelitian Balci et al (2012) didapatkan
faktor risiko penyebab anemia pada remaja salah satunya adalah rasa takut
bertambahnya berat badan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan pada 6000
Pedesaan Anji India, diperoleh hasil bahwa remaja yang melakukan diet
dengan remaja yang tidak melakukan diet vegetarian (Kaur et al, 2006).
Masalah kekurangan gizi pada orang dewasa (18 keatas) merupakan masalah
penelitian yang dilakukan oleh Wibowo et al (2013) tentang hubungan status gizi
dan anemia pada remaja putri di SMP Muhammadiyah 3 Semarang, didapatkan
Penilaian status gizi dapat dilakukan melalui empat cara yaitu antropometri,
klinis, biokimia dan biofisik. Cara pengukuran status gizi yang paling sering
untuk menentukan status gizi dapat dilakukan dengan menggunakan Indeks Massa
Tubuh (IMT) yang diperoleh berdasarkan pada perhitungan berat badan dan tinggi
badan.
tubuh (IMT) dan konsentrasi hemoglobin, begitu juga pada penelitian yang
memiliki IMT yang kurang dari batas normal, berisiko 1,5 kali lebih tinggi untuk
menderita anemia. Sedangkan menurut Nead et al (2004) Body Mass Index (BMI)
panjang/tinggi badan (TB) untuk mengetahui massa tubuh. Pengukuran ini dapat
dipengaruhi oleh umur karena pada masa remaja 20% tinggi badan dan 50% berat
remaja putri usia 13-17 tahun mendapatkan hasil, remaja yang memiliki lingkar
menurut umur (IMT/U) karena dengan perubahan umur akan terjadi perubahan
komposisi tubuh. Pada usia remaja nilai IMT/U harus dibandingkan dengan suatu
indeks yang disebut z-skor. Z-skor merupakan deviasi nilai seseorang dari nilai
merupakan perhitungan manual dan IMT/U pada remaja (Kemenkes RI, 2010).
Tabel 5 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Umur IMT/U Anak Umur 5-18
Tahun.
Dari hasil penelitian tentang status gizi khususnya obesitas, didapatkan hasil
bahwa anak yang obesitas, memiliki risiko 2 kali lebih tinggi menderita anemia
(Nead et al., 2004). Hal yang berbeda di peroleh pada penelitian Arumsari (2008)
yaitu, remaja putri dengan status gizi kurus berisiko 8 kali lebih tinggi menderita
anemia dibandingkan dengan remaja putri status gizi gemuk, dan remaja putri
dengan status gizi normal berisiko 6 kali lebih tinggi menderita anemia
perdarahan menstruasi yang berlebih memiliki risiko 5 kali lebih tinggi menderita
anemia (Kaur et al, 2006). Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian Masita
kejadian anemia.
Wanita dalam usia reproduktif akan mengalami kehilangan zat besi ketika
ml/hari yang sama dengan kebutuhan tambahan 0,5 mg zat besi per hari.
Kehilangan darah setiap hari ini dihitung dari kandungan zat besi dalam darah
yang hilang selama menstruasi selama periode satu bulan. Sekitar 10 % wanita
akan kehilangan sebanyak 80 ml darah yang setara dengan 1 mg besi per hari.
Dengan mengambil nilai yang lebih tinggi (1 mg/hari), kehilangan total zat besi
(kehilangan basal plus menstruasi) pada wanita akan sebesar 30µg/kg BB/hari
anemia. Salah satu infeksi penyebab anemia disebabkan adanya infestasi parasit
trichiura. Kejadian ini biasa terjadi di negara-negara tropis, lembab serta keadaan
malaria, dan amoebiasis. faktor lain seperti malaria, infeksi parasit dan
hemoglobinopati juga tidak jarang menyebabkan anemia (WHO, 2008). Dari hasil
parasit pada saluran pencernaan mempengaruhi anemia pada remaja yaitu remaja
yang pernah mengalami infeksi parasite, 5 kali lebih tinggi berisiko menderita
anemia. Hal serupa juga diteliti oleh Kaur et al, (2006) hasilnya remaja yang
memiliki riwayat infeksi cacing memiliki risiko 4 kali lebih tinggi menderita
anemia.
mg/hari memiliki risiko 2 kali lebih tinggi menderita anemia, sedangkan remaja
yang asupan zat besi <14 mg/hari memiliki risiko 4 kali lebih tinggi menderita
diberikan suplementasi 2 kali/minggu sebesar 2,28 g/dl. Dengan hasil yang tidak
terlalu jauh berbeda maka pemberian suplementasi zat besi untuk meningkatkan
guna menurunkan risiko terjadinya anemia pada remaja (Fikawati et al, 2004).
2.3.9 Persepsi citra tubuh
dirinya sendiri, bagaimana merasakan orang lain menerima dirinya dan apakah ia
mempercayai penampilan fisiknya (Sen & Kanani, 2006). Konsep tubuh ideal
makanan terhadap sumber zat besi yang dianggap sebagai makanan dengan lemak
citra tubuh dengan kejadian anemia, kejadian anemia lebih besar pada remaja
yang mempunyai citra tubuh negatif dibandingkan pada remaja yang mempunyai
citra tubuh positif (Masita, 2008). Pada penelitian Rahayu & Dieny (2012)
cenderung mempunyai perilaku makan yang tidak sesuai sehingga asupan zat
besinya rendah.