ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR (METODOLOGI BERFIKIR)
a. Difinisi & Sejarah Kemunculan Aswaja
Istilah ahlusunnah waljamaah (ASWAja) , merupakan gabungan dari tiga kata, yakni ahl, assunnah dan aljamaah. Secara etimologis, kata ahl berarti golongan, kelompok atau komunitas. Sedangkan kata assunnah memiliki arti yang cukup variatif, yakni wajah bagian atas, kening, karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh. Dan aljamaah berarti perkumpulan sesuatu yang terdiri dari tiga keatas. Adapun secara terminologi ahlu sunnah waljamaah berarti kelompok yang konsisten menjalankan sunnah Nabi SAW dan mentauladani para sahabat nabi dalam akidah (tauhid), amaliyah badaniyah (syariat) dan akhlaq qalbiyah (tasawuf). Terminologi istilah ahlu sunnah wal jamaah merupakan pendifinisian yang didasarkan pada hadits Nabi SAW yang menyatakan hanya ada satu golongan yang selamat dari 73 golongan akibat perpecahan kelompok umat Nabi Muhammad SAW : “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, umatku akan bercerai-berai ke dalam 73 golongan. Yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka”, ditanyakan : “siapakah mereka (golongan yang masuk surga) itu, wahai Rasulallah?”. Beliau menjawab :”mereka adalah ahlusunnah wal jama’ah”.(HR Thabrani). Dalam hadits lain dijelaskan juga bahwa : umat ininantinya juga akan terpecah menjadi 73 sekte, satu yang selamat, yang lainnya dalam kerusakan. Sahabat bertanya, “ siapakah yang selamat itu ya Nabi ?”, nabi Menjawab : “Ahlusunnah waljama’ah”, sahabat bertanya kembali:” siapa ahlusunnah wal jama’ah?” jawab Nabi:”adalah apa yang aku dan sahabatku praktekkan hari ini”. Di indonesia, Nahdlatul ulama’ merumuskan ASWAJA dengan dua pengertian, pertama aswaja sudah ada sejak zaman nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’inatta’ibin (assalaf ashshalih). Oleh karena itu aswaja didefinisikan sebagai kelompok yang senantiasa konsisten mengikuti sunnah Nabi SAW dan thariqoh (jalan) para sahabatnya dalam aqidah, fiqh dan tasawuf. Kedua, aswaja adalah paham keagamaan yang muncul setelah imam abu alhasan al’asyari dan imam abu manshur almaturidi memformulasikan akidah islam yang sesuai dengan al-qur’an dan assunnah. Karena kelompok aswaja juga dikenal dengan penganut paham asy’ariyah dan maturidiyah.syaikh murtadha azzubbaidi dalam kitab al’ittihaf ass’adah almuttaqin, syarah kitab ihya’ ulumuddin karya imam al-ghazali menyatakan : ketika diucapkan secara mutlak istilah ahlusunnah wal jama’ah, maka yang dikehendaki mereka ialah kelompok penganut paham asy’ariyah dan maturidiyah. KH Hasyim Asya’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya jam’iyah nahdlatul ulama menandaskan : “ciri ahlusunnah wal jama’ah adalah mereka yang dibidang tauhid mengikuti imam abu hasan al’asyari atau abu mansur almaturidi; dibidang fiqh nebgikuti madzhab empat : imam abu hanifah, imam malik bin anas, imam syafi’I bin idris dan imam ahmad bin hambal; dan dalam bidang tasawuf mengikuti ajaran syaikh junaid albaghdadi dan imam al-ghazali. Sejarah kemunculan aswaja dilatr belakangi sejak terbunuhnya khalifah ketiga yaitu sahabat ustman bin affan, sejak saat itu mulai terjadi beberapa perpecahan bahkan ada yang sampai berperang salah satunya adalah perang antara khalifah keempat ali bin abi tholib dengan sayyidah aisyah (mertuanya) yang disebabkan oleh tuntutan qishas darah kepada pembunuh utsman bin affan , perang ini dikenal dengan perang jamal. Kemudian, pecah perang shiffin antara sahabat ali dengan sahabat muawiyah yang kemudian memunculkan peristiwa Tahkim (arbitrase) dan mengakibatkan kemunculan kelompok syiah yang mendukung Ali dan kelompok khawarij yang menolak Kebijakan Ali. Berselang 3 tahun kemudian, sahabat Ali meninggal yaitu pada tahun 40 H atau 661 M. sejak kematian sahabat Ali, umat islam telah terpecah setidaknya menjadi empat kelompok, yaitu kelompok syiah, kelompok khawarij, kelompok pendukung kekhalifahan mu’awiyah dan sejumlah sahabat yang menghindarkan diri dari konflik politik diantaranya adalah ibn umar, ibn abbas, ibn mas’ud dan lain-lain. Aswaja sebagai sebuah sekte islam eksistensinya semakin populer ketika imam Abu Alhasan al’asy’ari keluar dari paham muktazilah dan menyerang akidah paham tersebut. Abu Alhasan al’asy’ari adalah murid abu ali aljaba’I seorang tokok muktazilah sekaligus ayah tirinya, beliau memutuskan keluar dari paham muktazilah karena abu ali aljaba’I tidak dapat menjawab pertanyaan beliau mengenai takdir tiga saudara yang meninggal dunia. “ bagaimana pendapatmu tentang tiga saudara yang meninggal dunia, yang satu orang yang taat, yang kedua orang yang durhaka, dan yang ketiga meninggal saat kecil ?” Abu ali aljaba’I menjawab:” yang taatdiberi pahala dan masuk surga, yang durhaka disiksa dan masuk neraka, dan yang kecil berada diantara surga dan neraka, tidak diberi pahala dan tidak disiksa. Abu alhasan bertanya:” jika yang kecil mengatakan: ”wahai Tuhanku, kenapa engkau mencabut nyawaku ketika aku masih kecil?, jika engkau biarkan aku hidup, aku akan taat dan masuk surga” lalu bagaimana jawaban Allah SWT?”’ abu ali aljaba’I berkata:” Allah akan menjawab :”aku maha tahu, jika engkau hidup hingga dewasa, maka engkau akan durhaka sehingga masuk neraka, maka yang terbaik adalah engkau mati saat masih kecil.”abu hasan bertanya lagi:”jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan: wahai Tuhanku, Jika engkau tahu aku akan durhaka, kenapa Engkau tidak mematikanku saat masih kecil, sehingga aku tidak akan durhaka dan masuk surga?”, lalu apa yang dikatakan Allah SWT?”, pada pertanyaan ini, abu ali aljaba'i. Dengan demikian, aswaja adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita mengamalkan syariat islam sesuai yang diajarkan oleh Rasullah, sahabat dan salafus alshalih. Apabila dewawa ini ditwmukan banyak kelompok yang mengklaim kelompoknya sebagai aswaja, maka harus ditegaskan bahwa aswaja bukanlah klaim, melainkan paham keagamaan dengan bukti kesesuaian akidah, amaliah dan akhlaknya dengan akidah, amaliah dan akhlak Rasulallah dan yang telah disepakati para sahabat dimasa khulafa’ arrasyidin berdasar dalil dan hujjah yang dapat dipertanggung jawabkan. b. Garis-Garis Besar Doktrin Aswaja doktrin aswaja meliputi doktrin keimanan, keislaman dan keihsanan. Islam, iman dan ihsan merupakan trilogi agama yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, ketiganya saling berkaitan dan harus saling diintegrasikan untuk menyepurnakan keislaman seseorang. Imam izzudin bin abdissalam mengatakan,”hakikat islam adalah aktivitas badaniah dalam menjalankan kewajiban agama, hakikat iman adalah aktifitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat ihsan adalah aktifitas ruh dalampenyaksian kepada Allah SWT”. Dalam perkembangan selanjutnya, ketekunan ulama dalam mendalami dimensi keislaman melahirkan disiplin ilmu fiqh, kecenderungan ulama yang menekuni dimensi keimanan melahirkan disiplin ilmu tauhid dan kecenderungan ulama yang menekuni dimensi keihsanan melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau akhlak. Aswaja mengakomodir ketiga dimensi tersebut sebagai doktin dan ajaran esensialnya. 1. Doktrin Keimanan Iman adalah pembenaran kepada Allah, Rasul dan segala risalah yang dibawa Rasul. Doktrin keimanan termanifestasikan kedalam bidang Tauhid. pada bidang ini, Aswaja berpedoman pada akidah islamiyah yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al’Asy’ari (260 H-324 H) dan Abu Mansur Almaturidi (w. 333 H). konsep tauhid aswaja menganai af’al(perbuatan) Allah, berada ditengah anatra paham jabariyah disatu pihak dan paham qodariyah dan muktazilah dipihak lain. Paham jabariyah menyatakan peniadaan kuasa manusia atas segala kehendak dan perbuatan secara mutlak, sedangkan paham qadariyah dan muktazilah menyatakan makhluk memiliki kuasa mutlak atas kehendak dan perbuatan. Dari kedua konsep ini, lahirlah aswaja yang lebih bersikap moderat diantara paham-paham ekstrim tersebut. Aswaja meyakini bahwa makhlk memiliki kebebasan kehendak (sebatas ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa perbuatan. Dalam keyakinan aswaja, secara dhahir manusia adalah memiliki kuasa namun secara batin, manusia adalah majbur(tidak memiliki kuasa apapun). Jadi, menurut paham aswaja, jika kita menginginkan sesuatu kita wajib berikhtiyar terlebih dahulu dan mengimbanginya dengan do’a serta tawakkal mengenai hasil ikhtiyar kita. 2. Doktrin Keislaman Doktrin keislaman yang selanjutnya termanifesasikan dalam bidang fiqh (meliputi ubudiyah, mu’amalah, munakahah, jinayah, siyasah dll), Aswaja berpedoman pada salah satu dari empat madzhab fiqh : Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah. Alasan mendasar aswaja membatasi hanya kepada empat madzhab ini adalah ke-empat madzhab ini dinilai paling moderat dan otensitasnya sudah terpercaya. Jalan tengah (tawasuth) yang ditempuh aswaja diantara madzhab dawud adhdahiri yang cenderung tekstualitas dan madzhab mu’tazilah yang cenderung rasionalitas diyakini sebagai jalan terbaik dan sesuai ajaran Nabi SAW yaitu dalam sabdanya “ sebaik-baiknya perkara adalah tengahnya”. Empat madzhab ini melandaskan hukum pada al-qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. 3. Doktrin Keihsanan Doktrin keihsanan termanifestasikan dalam bidang tasawuf atau akhlak, dalam hal ini aswaja berpedoman pada konsep tasawuf yang dirumuskan oleh Imam Al-Ghazali atau Imam aljunaid al Baghdadi. Limitasi kepada kedua tokoh ini, tidak berarti aswaja menafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi lainnya. Konsep tasawuf menurut Imam Alghazali mencakup takhalli (pengkosongan hal-hal buruk), tahalli (pengisian hal-hal baik) sehingga seseorang dapat mencapai tajalli yaitu keadaan seseorang yang merasakan kehadiran Allah. c. Metodologi Pemikiran (Manhaj al-fikr Aswaja) Ciri dari Metodologi aswaja adalah menghindari sikap tatharruf (ekstrim). Baik ektrim kanan atau ekstrim kiri. aswaja mengambil jalan moderat (tawasuth), berimbang atau harmoni (tawazun), netral atau adil (ta’adul) dan toleran (tasamuh). 1. Tawasuth (Moderat) Tawasuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung kekanan atau kekiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, khususnya di indonesia yang terdiri dari berbagai suku, adat dan istiadat, sikap moderat sangat penting untuk mengakomodir berbagai kepentingan dan perselisihan sehingga dapat menjaga keutuhan NKRI. Sikap ini didasarkan pada Firman Allah yaitu QS. AlBaqarah :143. 2. Tawazun (Berimbang) Tawazun berarti seimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil atau pertimbangan ketika mencetuskan sebuah keputusan sehingga dapat selalu menjaga kesejahteraan umat. Tawazun sangat menghindari sikap ekstrim kanan ataupun kiri karena hal tersebut dapat memicu ketidakseimbangan. Sikap tawazun ini didasarkan pada QS. Alhadid :25. 3. Ta’adul (Netral/Adil) Ta’adul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi, dan menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti setara atau sama, sikap ini harus didasarkan pada proporsional hak dan kewajiban masing-masing. Apabila dalam realitasnya terdapat tafadhul (keunggulan), maka keadilan menuntut adanya perbedaan atau pengutamaan. Sikap adil ini didasarkan pada firman Allah SWT pada QS. Almaidah:9). 4. Tasamuh (Toleran) Tasamuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain-lain yang bersifat sensitif. Toleransi dalam agama atau keyakinan bukan berarti kompromi akidah, tidak boleh mengakui kebenaran dan kepercayaan orang lain. Toleransi tetap menuntut menyakini perkara-perkara yang haq dan yang batil yang sudah diajarkan oleh Rasulallah dan para sahabatnya. Hal ini didasari oleh Firman Allah dalam QS. Al-kafirun:6. Toleransi dalam bidang tradisi-budaya bangsa ialah sikap permisif yang bersedia menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Agama islam adalah agama yang dapat diakulturasikan dengan tradisi-budaya masyarakat, sehingga islam akan menerima tradisi-budaya masyarakat selama tidak bertentangan dengan ajaran islam. Fungsi akulturasi dalam islam sendiri tidak langsung merubah secara paten tradisi-budaya yang tidak selaras dengan ajaran islam, melainkan islam akan memasukkan nilai-nilai islami tanpa membuang tradisi-budaya masyarakat. Hal inilah yang menjadikan agama islam dapat dengan mudah diterima di indonesia. dalam upaya menegakkan agama dan kemaslahatan, aswaja juga menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar, prinsip ini secara spesifik lebih ditekankan dalam mengantisippasi maupun menghilangkan kemungkaran. Syekh nawawi AlBantani dalam kitabnya , Tafsir munir berkata “ amar ma’ruf nahi munkar termasuk fardhu kifayah. Amar ma’ruf nahi munkar tidak bolleh dilakukan kecuali oleh seorang yang tahu betul keadaan dan siasat bermasyarakat agar ia tidak tambah menjerumuskan orang dalam perbuatan dosa yang lebih parah. d. Esensi Khilafah Dalam Pandangan Aswaja Dalam pandangan aswaja, esensi dan hakikat dari sebuah negara atau pemerintahan adalah sebagai salah satu instrumen (wasa’il) untuk usaha terwujudnya aplikasi syariat secara kaffah dalam kehidupan ummat dalam mencapai cita-cita atau tujuan akhir. Karena esensi dan hakikatnya yang hanya sebagai perantara(wasa’il), maka pemerintahan atau negara tidak harus terikat dengan bentuk, sistem ataupun dasar ideologi negara tertentu. Yang paling penting wasa’il tersebut tidak menjadi rintangan masyarakat dalam menjalankan syariat dan dakwah islam. Pendirian khilafah islamiyah bagi aswaja (baca: Nahdlatul Ulama) dalam konteks keindonesiaan, bukanlah cita-cita urgen, sebab eksistensinya hanyalah sebagai wasa’il, terdapat cita-cita (maqashid) yang jauh lebih penting dan esensial yaitu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar ditengah kehidupan masyarakat, dan tugas maqashid ini dapat dijalankan tidak harus melalui pendirian khilafah islamiyah. Karena gerak perjuangan Aswaja (NU) dalam konteks indonesia bukan didasari oleh semangat pendirian khilafah islamiyah melainkan semangat perjuangan menegakka syariat dalam perilaku keseharian umat. Sehingga NU selalu menentang keras jika terdapat sekelompok orang yang ingin menjadikan indonesia atau merubah indonesia menjadi khilafay islamiyah. Penolakan ini bukan tanpa dasar, hal ini karena NU menyadari bahwa misi pendirian khilafah islamiyah oleh sekelompok orang dewasa ini tidak murni hanya mengusung misi mendirikan negara islam saja, melainkan juga mengusung paham dan ideologu aliran mereka, seperti ideologi wahabi, syi’ah atau lainnya. Hal ini logis, karena sekelompok orang tersebut pastinya tidak akan berkeinginan mendirikan khilafah islamiyah kecuali paham mereka juga menjadi paham atau ideologi resmi negara. Hal ini sangatlah berbahaya ehingga NU sangat menolak keras Pendirian khilafah islamiyah di indonesia. e. Aswaja Sebagai Manhaj Al-Fikr Ahlusunnah wal jama’ah merupakan bagian integral dalam PMII, hal ini sudah disebutkan dalam Nilai dasar pergerakan (NDP). Disadari atau tidak disadari, amaliyah aswaja sudah diamaliahkan oleh kader PMII dalam kehidupan sehari-hari. Akarnya tertanam dalam pemahaman dan prilaku penghayatan setiap kader dalam menjalankan syariat islam. Tahun 1994, dimotori oleh KH aqil Siraj muncul gugatan terhadap aswaja yang sampai saat itu diperlakukan sebagai madzhab. Padahal didalam aswaja sudah terdapat berbagai madzhab khusunya dalam bidang fiqh. Selain itu gugatan ini juga dilatar belakangi oleh perkembangan zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat. Dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan dan isi aswaja sebagaimana selama ini digunakan, lahirlah gagasan aswaja sebagai manhaj al-fikr (Metode berpikir). Dari gagasan tersebut, KH aqil siraj memberikan pengertian lain mengenai aswaja yaitu orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan dasar-dasar moderisasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlusunnah wal jama’ah harus diletakkan secara proporsional, yakni ahlusunnah wal jama’ah bukan sebagai madzhab, melainkan sebuah manhaj al-fikr yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya (Tabi’in). namun harus diakui bahwa kelahiran aswaja sebagai manhaj tidak dapat terlepas dari pengaruh tuntutan realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya. Dari uraian diatas, aswaja memiliki dua konsep utama yaitu aswaja sebagai madzhab fiqih dan aswaja sebagai manhaj al-fikr. Perbedaan mendasar dari keduanya ialah konsep pertama meletakkan fiqih sebagai sebuah kebenaran ortodoksi, sedangkan konsep kedua menempatkan fiqih sebagai strategi untuk melakukan interpretasi sosial. Pada perkembangannya, konsep aswaja sebagai manhaj al-fikr mulai dikembangkan juga menjadi manhajul amal (pendekatan melakukan kegiatan), aswaja diposisikan sebagai metode berfikir dan bertindak dalam mencari, menemukan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. menjadikan aswaja sebagai manhaj al-fikr merupakan kebijakan cerdas, karena kompleksitas permasalahan yang ada pada zaman sekarang akan sangat sulit diselesaikan jika masih menjadikan aswaja sebagai madzhab. Menurut Badrun (2000_, terdapat lima ciri dalam memposisikan aswaja sebagai manhaj al-fikr atau manhaj al-amal : 1. Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru. 2. Makna madzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (qauly) menjadi bermadzhab secara metodologis (manhajy). 3. Melakukan verifikasi mendasar terhadap ma’na ajaran yang pokok (ushul) dan ma’na ajaran yang cabang (furu’). 4. Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial bukan sebagai hukum positif. 5. Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah sosial dan budaya. Munculnya aswaja sebagai madzhab manhaj sesungguhnya sebuah pemahaman kembali terhadap esensi “realitas teks-teks” (sumber rujukan) hukum islam. Menyadari bahwa realitas teks sebenarnya tidak pernah netral atau selalu berhubungan dengan motif-motif dibalik turunnya teks atau yang dikenal sebagai asbabun nuzul atau asbabul wurud. Dibutuhkan pemahaman mendalam terkait hal-hal yang melingkupi proses turunnya teks sehingga melahirkan ketentuan hukum. Ketika hukum dirasa sudah tidak sesuai dengan realitas sosial, maka dibutuhkan kontekstualisasi perumusan hukum dengan tetap memperhatikan esensi tujuan hukum (maqashid asy-syar’iyah). Untuk memenuhi hal itu kaderisasi aswaja menjadi salah satu alternatif yang mesti dilakukan agar dikemudian hari tidak terjadi kekosongan kader.